You are on page 1of 8

Ekstrapiramidal Syndrom

A. PENDAHULUAN Susunan Piramidal dan Ekstrapiramidal Susunan Piramidal Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke LMN atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok UMN. Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik sarafkranial dan motoneuron dikornu anterius medulaspinalis. Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula interna. Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung dimotoneuron sarafkranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga. Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis ventralis

Sistem ekstrapiramidal Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.1 Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan efek samping pada pasien karena memiliki afinitas yng kuat pada reseptor muskarinik. Pendekatan farmakologi pada manifestasi psikosis ini terpusat pada neurotransmitter yang mengontrol respon neuronneuron terhadap rangsangan.2,3 Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).2 B. DEFINISI Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.4 C. EPIDEMIOLOGI Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi. Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang, umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang. Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.1,3,5 D. ETIOLOGI Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:1 Tabel 1. Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. Ekstrapiramidal Chlorpromazine 150-1600 ++ Thioridazine 100-900 +

Perphenazine Trifluoperazine Fluphenazine Haloperidol Pimozide Clozapine Zotepine Sulpride Risperidon Quetapine Olanzapine Aripiprazole 10-20 + E. PATOFISIOLOGI Susunan Piramidal

8-48 5-60 5-60 2-100 2-6 25-100 75-100 200-1600 2-9 50-400 10-20

+++ +++ +++ ++++ ++ + + + + +

Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower motor neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok upper motor neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis . Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu. Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang membentuk inti motorik saraf kranial dan motoneuron dikornu anterius medulaspinalis.1,3 Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai kapsula interna.6 Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung di motorneuron saraf kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian dari serabut kortikobulbar berakhir di intiinti saraf kranial motorik sisi ipsilateral juga.6 Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis ventralis.6 Susunan Ekstrapiramidal Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).1,3 Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba

diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik.1,3 Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidustalamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.1,3,6 Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabka efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.1,4 F. GEJALA KLINIS Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson.2 Reaksi Distonia Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa meni dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh). Hal ini akan menggangu pasien, dapat menimbulkan nyeri hingga mengancam nyawa seperti distonia laring atau diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.2,5 Otot-otot yang sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang (trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusionI, memuntir) atau spasme pada seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia glosofaringeal yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.2 Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:1 Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang

berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal). Gambar 1. Posisi Abnormal pada Pasien yang Mengalami Distonia a. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi neuroleptik: 1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis) 2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai) 3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia) 4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia) 5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah 6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik) 7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh. b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik). c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik). d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi. Akatisia Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot. Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel. Akatisia sering sulit dinilai dan sering salah diagnosis dengan anxietas atau agitasi dari pasien psikotik, yang disebabkan dosis antipsikotik yang kurang. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifesatsi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.3,6 Sindrom Parkinson

Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinsonism adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinsonism sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.3,6 Tardive Dyskinesia Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain. Gambar 2. Gerakan Involunter pada Tardive Dyskinesia Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadangkadang terbatas. Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.2 G. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada pasien yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.1,2 Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat pernah mengalami sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.1,2 Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik

medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.1 Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian obat-obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan sesegera mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.1,2 Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.2 Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive dyskinesia ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis medikasinya. Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson idiopatik umumnya untuk tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun penggunaan golongan Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.2 H. DIAGNOSIS BANDING Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:1,2 1. Sindroma putus obat 2. Parkinson disease 3. Tetanus 4. Gangguan gerak ekstrapiramidal primer 5. Distonia primer Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham. I. PROGNOSIS Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun. J. KOMPLIKASI Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik. K. KESIMPULAN Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur

striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi. Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive dyskinesia. Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil (THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam. Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian. DAFTAR PUSTAKA 1. Kaplan H.I.MD, Saddock B.J.MD, Grebb J.A.MD. Sinopsis Psikiatri Jilid 1 .Bagian psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.1997 2. Kaplan H.I.MD, Saddock B.J.MD, Grebb J.A.MD. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 .Bagian psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.1997 3. Katzung, BG. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI. EGC. 1997 4. Maramis, WE.Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Airlangga University Press.2007 5. Mardjono, M.Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2006 6. Maslim.R,SPKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga. Bagian ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007 7. Maulany, RF. Buku Saku Psikiatri. EGC.2008

http://fathirphoto.wordpress.com/2011/11/08/sindrom_ekstrapiramidal/

Fathir Natsir S.Ked, 2011

You might also like