You are on page 1of 8

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan basis pembangunan bangsa. Apabila kita menginginkan bangsa ini menjadi bangsa yang sejahtera, yang harus kita lakukan pertama kali adalah membangun kesejahteraan keluarga itu sendiri. Membangun kesejahteraan keluarga bukan hanya tugas dan tanggung jawab pemerintah, tapi juga tugas dan tanggung jawab masyarakat. Salah satu sasaran pembangunan keluarga sejahtera adalah menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mendorong peningkatan kesejahteraan keluarga, baik dalam bidang Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan, pendidikan, agama, maupun kelembagaan keluarga sebagai basis pembinaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Program Keluarga Berencana (KB) Nasional merupakan program

pembangunan sosial dasar yang sangat penting artinya bagi pembangunan nasional dan kemajuan bangsa. Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1992 Pasal 1 ayat 12 menyatakan bahwa KB adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (BKKBN, 2008). Selama ini yang ada dalam pemikiran masyarakat bahwa ber-KB merupakan masalah wanita/ibu saja. Padahal disadari banyak keluhan dari para ibu yang tidak cocok menggunakan salah satu alat kontrasepsi yang berdampak gemuk, pusing dan keluhan kesehatan lainnya. Dengan demikian, sangat diperlukan peran serta yang

Universitas Sumatera Utara

aktif dari pasangan-pasangan tersebut baik istri maupun suami (Humas Pemkab Tulungagung, 2008). Keikutsertaan suami/pria dalam program KB di Indonesia sangat diperlukan karena biasanya suami lebih dominan sebagai penentu kebijaksanaan keluarga. Berbagai cara KB yang melibatkan pria adalah : pantang berkala, senggama terputus, kondom dan vasektomi. Untuk pasangan suami-istri yang ingin menunda atau menjarangkan kehamilan maka cara pantang berkala, senggama terputus dan kondom cukup efektif oleh karena meskipun gagal, anak tetap masih diharapkan sedangkan untuk yang tidak menginginkan kehamilan lagi maka cara vasektomi adalah yang paling baik. Vasektomi adalah cara KB yang mantap di mana saluran air mani (vas deferens) diputuskan sehingga sperma dari dalam testis tidak akan keluar bersama cairan mani lain pada saat melakukan hubungan suami istri (Tjokronegoro, 2003). Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1997, keikutsertaan pria dalam program KB nasional masih rendah yaitu baru mencapai 1,1% dengan rincian : kondom 0,7% dan vasektomi 0,4%. Pada tahun 2003 partisipasi pria dalam ber-KB semakin meningkat walaupun tidak secara signifikan yaitu sebesar 1,3%, terdiri atas 0,7% dengan kondom, dan sisanya yang 0,6% dengan vasektomi (BKKBN, 2007). Di Sumatera Utara, keikutsertaan pria dalam ber-KB masih jauh lebih rendah dari angka nasional di atas terutama jika dilihat dari jumlah akseptor vasektomi yang hanya mencapai 0,19% dari tahun 2006 hingga November 2008 yaitu sebanyak 3.766 orang dari 2.017.229 PUS (BKKBN, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengenai hasil pelayanan peserta Medis Operasi Pria (MOP) di Sumatera Utara mulai dari tahun 2006 hingga November 2008 dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut : Tabel 1.1. Hasil Pelayanan Peserta Medis Operasi Pria (MOP) di Sumatera Utara dari Tahun 2006 hingga November 2008 No Kabupaten/Kota Metode Kontrasepsi MOP PUS Akseptor KB % 1. Deli Serdang 25 198.348 0,01 2. Langkat 108 114.444 0,09 3. Karo 10 36.944 0,03 4. Simalungun 512 94.905 0,54 5. Asahan 1161 74.578 1,56 6. Labuhan Batu 23 98.068 0,02 7. Tapanuli Tengah 6 27.804 0,02 8. Tapanuli selatan 1 22.740 0,00 9. Tapanuli Utara 143 18.961 0,75 10 Nias 0 34.885 0,00 11. Dairi 211 18.933 1,11 12. Medan 36 198.614 0,02 13. Pematang Siantar 3 23.324 0,01 14. Tanjung Balai 18 15.615 0,12 15. Binjai 28 26.509 0,11 16. Tebing Tinggi 412 17.420 2,37 17. Sibolga 35 9.061 0,39 18. Madina 3 38.647 0,01 19. Toba Samosir 10 10.353 0,10 20. Padang Sidempuan 0 19.090 0,00 21. Hbg Hasundutan 124 11.962 1,04 22. Pak-Pak Barat 202 2.818 7,17 23. Nias Selatan 0 34.096 0,00 24. Samosir 19 9.967 0,19 25. Serdang Bedagai 3 78.691 0,00 26. Batubara 668 43.840 1,52 27. Padang Lawas Utara 0 18.494 0,00 28. Padang Lawas 5 16.970 0,03 JUMLAH 3766 1.316.081 0,29 Sumber : Data BKKBN Sumut tahun 2008

Universitas Sumatera Utara

Salah satu kota di Sumut yang melaksanakan program KB pria adalah Kota Tebing Tinggi. Menurut BKKBN (2008), Tebing Tinggi memiliki jumlah akseptor vasektomi mulai dari tahun 2006 hingga November 2008 sebanyak 412 orang yang tersebar di lima kecamatan yaitu : Kecamatan Padang Hulu, Rambutan, Padang Hilir, Tebing Tinggi Kota, dan Bajenis. Pada bulan November 2008 Walikota Tebing Tinggi memperoleh penghargaan dari Presiden Republik Indonesia berupa Satya Lencana Wira Karya sebagai peringkat ke-2 setelah Pak-Pak Barat dalam rangka dilaksanakannya Program Peningkatan Partisipasi Pria dalam Ber-KB di Beberapa Daerah di Sumut. Pelaksanaan program KB Nasional di Tebing Tinggi lebih terarah dan menunjukkan hasil yang menggembirakan sejak ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Tebing Tinggi No. 12 tahun 2006 tentang pembentukan susunan organisasi Kantor Pemberdayaan Perempuan dan KB (P2KB) serta tentang penjabaran tugas dan P2KB di mana pencapaian akseptor aktif tahun 2007 di Tebing Tinggi sebanyak 16.577 orang (71,75% dari 23.105 PUS), sedangkan pencapaian akseptor baru sebanyak 3.367 orang (BPS, 2008). Menurut BKKBN (2008), pencapaian akseptor aktif dari Januari hingga November 2008 di Tebing Tinggi sebanyak 17.420 orang (71,75% dari 24.278 PUS), sedangkan pencapaian akseptor baru sebanyak 4.283 orang. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) No. 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, indikator keberhasilan KB dapat dilihat dari cakupan peserta KB aktif sebesar 70% dari jumlah PUS. Program KB di Tebing Tinggi telah

Universitas Sumatera Utara

berhasil, keberhasilan ini dapat dilihat dari cakupan peserta KB aktif dari tahun 2006 hingga November 2008 telah melebihi target yaitu sebesar 71,75%. Keberhasilan pelaksanaan KB sangat ditentukan oleh komitmen politis dan operasional yang kuat, mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat lini lapangan, Advokasi dan KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) yang luas dan merata, serta peran serta masyarakat yang terpelihara dengan baik. Sesuai dengan PP 38 dan PP 41 tahun 2007, di mana Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam mengakomodir perbedaan geografis dan budaya yang beranekaragam di setiap daerah di Indonesia demi percepatan Tujuan Nasional dalam peningkatan pembangunan sehingga tercapainya kesejahteraan masyarakat maka Pemerintah Kota Tebing Tinggi membentuk Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana di mana salah satu kebijakannya adalah upaya untuk meningkatan partisipasi pria dalam program KB kontap pria. Kebijakan tersebut antara lain dengan memberikan insentif Rp. 150.000 kepada masing-masing akseptor vasektomi. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pada umumnya para akseptor vasektomi di Tebing Tinggi berprofesi sebagai penarik beca, buruh bangunan, petugas parkir, pedagang keliling dan kepala lingkungan. Mereka umumnya berasal dari keluarga pra-sejahtera yang memiliki anak lebih dari 3 orang. Jenis pekerjaan tersebut merupakan jumlah terbanyak dari para akseptor vasektomi di Tebing Tinggi (Yustono, 2007). Meskipun program KB di Tebing Tinggi telah berhasil bahkan memperoleh penghargaan khususnya bagi pelaksanaan program KB kontap pria (vasektomi),

Universitas Sumatera Utara

namun ada dugaan bahwa peserta vasektomi dimobilisasi dengan adanya pemberian insentif bagi mereka yang melakukan vasektomi secara sukarela oleh pemerintah sebesar Rp. 150.000. Dugaan ini didukung oleh survei awal yang dilakukan oleh peneliti kepada 7 orang akseptor vasektomi bahwa pada umumnya alasan mereka memutuskan menggunakan vasektomi adalah karena adanya insentif tersebut. Menurut Ali dalam Anfasa (1982), para akseptor vasektomi sebaiknya melakukan vasektomi secara sukarela tanpa dipengaruhi oleh adanya anjuran, bujukan, apalagi paksaan dari berbagai pihak. Keputusan yang dipengaruhi oleh paksaan merupakan keputusan yang bersifat otomatis. Berdasarkan teori keputusan yang diungkapkan oleh Irwin D. Bross dalam Syamsi (1995) bahwa keputusan otomatis merupakan keputusan yang berdasarkan gerak refleks serta tidak didasarkan pada berbagai pertimbangan dan kemudian hari. Sebuah penelitian mengungkapkan beberapa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat adopsi inovasi KB pria di kalangan prajurit wilayah Medan antara lain : tingkat pengetahuan, tingkat kesehatan fisik, serta pengaruh istri, sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh yaitu jumlah anak, lama menikah dan sifat inovasi (Simanjuntak, 2007). Hasil penelitian lain di desa Kaligentong Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali (1993) menyimpulkan bahwa karakteristik akseptor vasektomi yang berkaitan dengan penerimaan vasektomi antara lain : pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, jumlah anak, sedangkan karakteristik yang tidak berpengaruh adalah umur dan agama (Rahayuningtyas, 2009). pikiran sehingga lebih memungkinkan terjadi penyesalan di

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian lain yang dilakukan di Kecamatan Jogonalan Kabupaten Klaten (2001), faktor kerelaan istri, pendapat suami tentang vasektomi, serta status sosial ekonomi suami di masyarakat memiliki hubungan yang bermakna dengan keikutsertaan vasektomi. Faktor pendidikan dan keharmonisan keluarga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan keikutsertaan vasektomi (Ambarwati, 2009). Beberapa alasan yang mendorong suami untuk menggunakan kontrasepsi vasektomi di antaranya adalah karena alasan kesadaran, ekonomi, kesehatan, prosedural, keamanan, dan alasan psikologis (Ruthanti, 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan keputusan menggunakan vasektomi di kota Tebing Tinggi. Penelitian tidak dilakukan di Pak-Pak Barat sebagai Kab/Kota yang memiliki peminat vasektomi terbesar sejak tahun 2006 hingga November 2008 di Sumut disebabkan berbagai keterbatasan yang dimiliki penulis baik dalam hal waktu maupun biaya di mana penulis merupakan salah satu warga Kota Tebing Tinggi.

1.2. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan keputusan menggunakan vasektomi di Kota Tebing Tinggi tahun 2009.

Universitas Sumatera Utara

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan pengaruh karakteristik akseptor vasektomi (meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anak, pengetahuan tentang vasektomi, dan dukungan istri) dan kompensasi terhadap tingkatan

keputusan menggunakan vasektomi.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Dapat memberikan masukan kepada petugas KB agar dapat meningkatkan peran serta masyarakat khususnya kaum pria (bapak) dalam menggunakan metode kontrasepsi vasektomi sebagai program KB. 2. Menambah pengetahuan penulis dalam penelitian lapangan dan dapat dimanfaatkan sebagai referensi ilmiah untuk pengembangan ilmu khususnya Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. 3. Dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

You might also like