You are on page 1of 5

PRO CEEDING SIM PO SIUM NASIO NAL IATM I 2001

Yogyakart a, 3- 5 O kt ober 2001


IATM I 2001- 16
FAKTOR KOREKSI TERHADAP PERHITUNGAN dEKSPONEN
AKIBAT ADANYA PERUBAHAN TIPE BIT DAN UKURAN BIT
Rudi Rubiandini R.S., Tumpal Ebenhaezar S.,

Dedi Setiadi
Teknik Perminyakan, ITB
rrr@bdg.centrin.net.id
Kata kunci : tekanan formasi, dEksponen, parameter pemboran, PDC Bit, three cone bit.
ABSTRAK
Di lapangan terdapat beberapa metoda yang biasa digunakan untuk mendeteksi tekanan formasi. Salah satu metode yang
paling sering digunakan ialah metode deksponen (Jordan dan Shirley,1987)4). Metode ini menghitung suatu konstanta yang disebut
deksponen berdasarkan parameter-parameter pemboran seperti ROP, WOB, diameter bit, RPM, dan berat lumpur. Deksponen ini
dapat memperkirakan tekanan formasi secara kualitatif. Plot deksponen terhadap kedalaman akan membentuk suatu trend bagi
formasi bertekanan normal. Kemiringan dari trend ini bernilai positif sebab deksponen akan membesar bila kekerasan batuan
membesar. Bila terjadi penyimpangan pada plot deksponen terhadap kedalaman, misalnya deksponen menyimpang ke kiri atau ke
kanan dari trend normal yang ada, maka dapat dipastikan bahwa gradien tekanan formasi telah berubah. Kemudian, tekanan formasi
yang baru harus segera dihitung dan berat lumpur yang digunakan harus disesuaikan.
Pada kenyataannya deksponen tidak hanya bergantung pada variabel-variabel yang telah disebutkan di atas. Bila tipe bit
diganti, misalnya dari three cone bit ke PDC bit, maka harga deksponen akan turun dengan drastis. Pada kondisi normal, penurunan
harga deksponen menunjukkan adanya kenaikan gradien tekanan formasi. Jadi, bila PDC bit digunakan maka perhitungan deksponen
memerlukan koreksi sehingga perhitungan tekanan formasi memberikan hasil yang tepat.
Harga deksponen juga dipengaruhi oleh perubahan dari diameter bit, walaupun variabel ini telah diperhitungkan dalam
perhitungan deksponen.
Sayangnya nilai koreksi untuk perubahan tipe atau ukuran bit sangat tergantung pada tipe formasi atau batuan yang sedang
dibor.Akibatnya, untuk mencari faktor koreksi untuk beberapa lapangan akan menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit,
karena kita akan berhadapan dengan ribuan baris data pemboran. Untuk itu, penggunaan software yang tepat akan sangat membantu.
1. PENDAHULUAN
Memperkirakan tekanan formasi dengan tepat merupakan hal
yang sangat penting untuk melanjutkan pemboran ke lapisan
yang lebih dalam. Tekanan formasi yang tinggi atau lebih
tinggi dari tekanan hidrostatik lumpur pemboran dapat
menyebabkan masuknya fluida formasi ke lubang bor. Jika
fluida formasi tersebut merupakan gas yang mudah terbakar
atau gas beracun maka dapat terjadi sembur liar (blow out)
atau dapat membahayakan keselamatan para pekerja di
permukaan. Jika tekanan formasi yang tinggi tersebut dapat
dideteksi lebih dini maka hal-hal tersebut di atas dapat
dihindari.
Untuk mendeteksi adanya tekanan formasi yang tinggi
dengan metoda dEksponen ini ada beberapa parameter
pemboran yang dievaluasi, antara lain : laju penembusan,
berat pada pahat, kecepatan putar, serta diameter pahat.
Bahkan dari hubungan parameter-parameter tersebut, dapat
diperkirakan besarnya tekanan formasi pada kedalaman
tersebut.
2. TEORI DASAR METODE dEKSPONEN
Jordan dan Shirley
4)
telah membuat suatu hubungan
matematis antara laju penembusan R, kecepatan putar rotary
table N, berat pahat W, dan diameter pahat D untuk
digunakan dalam memperkirakan tekanan pori formasi.
Persamaan tersebut ialah :
4)

.. (1)
Pengembangan persamaan di atas dalam bentuk logaritmik
memberikan hubungan :

..(2)
Dalam satuan lapangan, persamaan di atas menjadi :
4)

..(3)
d dalam persamaan di atas dikenal sebagai deksponen yang
tidak berdimensi. Baik harga suku R/60kN
e
dan suku
12W/10
6
D pada persamaan di atas selalu lebih kecil dari satu,
sehingga harga logaritma dari masing-masing adalah negatif.
Kemudian Jordan dan Shirley menyederhanakan pesamaan di
atas dengan mengasumsikan k sama dengan 1 dan e juga sama
dengan 1.
Dalam formasi yang terkompaksi normal, bertambahnya
kedalaman menyebabkan laju penembusan berkurang karena
batuan semakin kompak akibat bertambahnya tekanan
overburden. Dengan demikian harga deksponen bertambah.
Pertambahan deksponen ini mengikuti suatu kecenderungan
yang disebut trend deksponen normal.
d
D
W
e
N k R
,
_


1
]
1

1
]
1

D
W
e
kN
R
d
log
log
1
]
1

1
]
1

D
W
e
kN
R
d
6
10
12
log
60
log
Fakt or Koreksi t erhadap Perhit ungan d eksponen Akibat Adanya Perubahan Tipe Bit Dan Ukuran Bit Rudi Rubiandini/ Tumpal Ebenhaezar/ Dedi Set iadi
IATM I 2001- 16
Tetapi jika suatu saat pemboran menembus formasi
bertekanan abnormal maka laju penembusan akan naik
dengan tiba-tiba, meninggalkan trend laju penembusan pada
kedalaman sebelumnya. Perbedaan tekanan antara lubang
sumur dengan formasi yang kecil, bahkan negatif akan
mengakibatkan batuan yang sedang dibor semakin mudah
terlepas, sehingga laju penembusan bertambah. Disamping
itu, pada zona bertekanan tinggi batuannya memiliki porositas
yang lebih tinggi, butiran batuan kurang rapat satu sama
lainnya, sehingga batuannya lebih mudah dibor. Jika dikaitkan
dengan persamaan deksponen, maka naiknya harga laju
penembusan R akan mengakibatkan turunnya harga
deksponen.
Jika dibuat hubungan antara deksponen terhadap kedalaman,
maka perubahan harga deksponen yang mengindikasikan
zona bertekanan abnormal ini akan menunjukkan terjadinya
penyimpangan ke kiri dari trend deksponen normal
(deksponen mengecil). Sebaliknya, bila diperoleh data
deksponen yang menunjukkan penyimpangan ke kanan
(membesar) maka hal ini mengindikasikan adanya zona
bertekanan lebih rendah dari tekanan normal (subnormal) dan
berpotensi pada terjadinya lost circulation.
Persamaan dasar deksponen di atas tidak mempertimbangkan
adanya pengaruh berat lumpur terhadap laju penembusan.
Untuk itu, deksponen perlu dikoreksi sesuai dengan berat
lumpur yang digunakan. Deksponen yang telah dikoreksi
sebagai fungsi dari berat lumpur ialah :
1)

...(4)
Untuk memperkirakan besarnya tekanan formasi, baik pada
kedalaman dengan tekanan normal maupun abnormal, terlebih
dulu ditentukan garis deksponen terkoreksi normal. Garis ini
dibuat berdasarkan regresi linear pada titik-titik pada
kedalaman awal yang mengikuti kecenderungan/trend.
Kemudian dari garis ini ditentukan persamaan hubungan
antara deksponen terkoreksi normal terhadap kedalaman.
Dengan persamaan ini dapat ditentukan deksponen terkoreksi
normal pada setiap kedalaman.
Maka EMW (mewakili tekanan pori formasi dalam satuan
ppg) pada setiap kedalaman dapat ditentukan :
1)
(5)
Selama penggunaan metoda dEksponen ini telah banyak
ditemui bahwa pada pemboran yang menggunakan
Polycristaline Diamond Compact Bit (PDC) ditemui
penyimpangan atau pergeseran dari deksponen ke arah kiri.
Hal ini dapat dijelaskan karena pada pemboran dengan
menggunakan PDC bit ini laju penembusan yang terjadi bisa
mencapai 6 hingga 30 kali pemboran yang menggunakan
three cone bit. Dengan bertambahnya ROP maka sesuai
dengan persamaan (3) harga deksponen akan berkurang. Ini
akan mengakibatkan harga deksponen terkoreksi akan
meninggalkan trend yang ada sebelumnya, meskipun
sebenarnya pada kedalaman tersebut tidak terdapat perubahan
tekanan formasi. Namun penyimpangan akibat penggunaan
PDC bit ini juga akan terjadi pada formasi bertekanan
abnormal, yang menyebabkan penyimpangan menjadi lebih
besar lagi, sehingga interpretasi dari deksponen akan sedikit
mengalami kesulitan. Hal ini akan dibahas setelah bagian ini.
3. PENGOLAHAN DATA PARAMETER PEMBORAN
DENGAN METODA dEKSPONEN
Seperti telah dijelaskan di atas, deksponen merupakan suatu
parameter yang diturunkan dari persamaan laju penembusan
pemboran, di mana trend nilai deksponen terhadap
kedalaman dapat mencerminkan perubahan tekanan formasi
batuan.
Deksponen dihitung dengan menggunakan persamaan (3).
Dengan memplot deksponen terkoreksi terhadap kedalaman
(Gambar-1), dan menarik garis trend tekanan normal, maka
dapat ditentukan tekanan formasi dalam satuan EMW, seperti
telihat pada Gambar-2.
Dari Gambar-1 dapat dilihat pada kedalaman 2100 m nilai
deksponen mulai menyimpang ke arah kiri, yang
menandakan adanya formasi bertekanan abnormal. Hal ini
juga dapat dilihat pada plot EMW, yaitu pada kedalaman
2111 m EMW mulai bertambah. Namun kemudian terlihat
bahwa tekanan ekuivalen formasi terus naik hingga mencapai
puncaknya pada kedalaman 2350 m, yaitu sekitar 35 ppg. Hal
ini tidak realistis, sebab seharusnya tekanan abnormal formasi
tidak mencapai harga ini. Biasanya tekanan abnormal hanya
berkisar antara 11 hingga 17 ppg. Selain itu dapat dilihat juga
bahwa lumpur yang digunakan saat pemboran tidak pernah
mencapai nilai EMW dari deksponen tadi. Berat lumpur
maksimum hanya mencapai 15.2 ppg pada kedalaman
2500 m.
Kejadian yang menarik di sini ialah pada interval kedalaman
zona abnormal (kurang lebih 2200 hingga 2700 meter)
pemboran menggunakan bit jenis PDC, berbeda dengan zona
di atasnya, yaitu bit jenis three cone bit. Seperti kita ketahui,
pemboran dengan menggunakan PDC bit akan mempunyai
laju penetrasi yang sangat tinggi, bisa mencapai 6 hingga 30
kali pemboran dengan three cone bit untuk kondisi yang
sama.
2)
Dengan demikian, perkiraan tekanan formasi dengan
menggunakan deksponen koreksi ini akan mengalami
kesalahan karena perbedaan sifat-sifat dari bit yang
digunakan. Laju penetrasi yang tinggi akibat penggunaan
PDC Bit ini akan mengakibatkan nilai deksponen koreksi
bergeser lebih ke kiri (semakin kecil) (Gambar-1) walaupun
seandainya tidak terdapat perubahan tekanan formasi, sesuai
persamaan (3). Pergeseran akibat penggunaan PDC bit ini
dapat dilihat dengan jelas pada plot EMW terhadap
kedalaman (Gambar-2), yaitu pada kedalaman 2215 m
terdapat pergeseran/peningkatan EMW secara drastis, dari
sekitar 15 ppg menjadi sekitar 25 ppg.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
operasi pemboran yang menggunakan dua jenis bit, yaitu
three cone bit dan PDC bit, perhitungan deksponen pada
interval kedalaman yang menggunakan PDC Bit harus
dikoreksi, yaitu koreksi terhadap harga deksponen terkoreksi.
Untuk melakukan ini penulis menggunakan data dari dua
buah sumur pada reservoar yang sama, di mana pada zona
abnormal masing-masing sumur menggunakan bit PDC.
Penulis berusaha menyelaraskan perkiraan tekanan pori
formasi (EMW) dengan berat lumpur yang dipakai pada saat
itu dan juga dengan membandingkannya dengan hasil
perkiraan tekanan pori batuan di lapangan, sehingga dapat
ditentukan suatu koreksi terhadap harga deksponen
terkoreksi.
d
MW
fn
G
c
d .
Gfn
dc
dcn
EMW
Fakt or Koreksi t erhadap Perhit ungan d eksponen Akibat Adanya Perubahan Tipe Bit Dan Ukuran Bit Rudi Rubiandini/ Tumpal Ebenhaezar/ Dedi Set iadi
IATM I 2001- 16
Hal lain yang patut dicermati ialah pada interval kedalaman di
bawah zona tekanan abnormal (di bawah 2760 m), terdapat
juga kesalahan perhitungan EMW formasi, di mana EMW
formasi pada zona ini lebih besar dari berat lumpur yang
digunakan pada kedalaman tersebut (Gambar-2), suatu hal
yang tidak mungkin, karena pemboran pada sumur ini bukan
merupakan pemboran under balanced. Kesimpulan yang dapat
ditarik di sini ialah akibat perubahan ukuran bit (pada interval
ini ukuran bit ialah 8.5, sedangkan ukuran bit pada interval
di atas formasi bertekanan normal ialah 17.5). Jadi pada
interval kedalaman di bawah formasi tekanan abnormal tadi
juga perlu dilakukan koreksi terhadap deksponen terkoreksi
akibat perubahan ukuran bit.
Setelah melakukan beberapa set perhitungan trial and error
maka penulis memperoleh dua konstanta koreksi, yaitu
masing-masing konstanta koreksi terhadap penggunaan bit
PDC dan koreksi terhadap perubahan ukuran bit (dari 17.5
menjadi 12.5). Ternyata konstanta koreksi terhadap bit PDC
ialah sebesar 0.225. Artinya, pada interval kedalaman yang
menggunakan bit PDC, nilai deksponen terkoreksi perlu
ditambahkan dengan 0.225. Angka ini ternyata berlaku juga
untuk sumur kedua, walaupun keduanya menggunakan bit
PDC dengan seri yang berbeda.
Sehingga persamaaan Dcorr yang telah dikoreksi terhadap
penggunaan PDC menjadi:

. (6)
Hal yang sama juga dilakukan terhadap deksponen normal
pada kedalaman di bawah zona bertekanan abnormal (seksi
8.5), yaitu dengan menambahkan faktor koreksi sebesar 0.35
pada deksponen terkoreksi, akibat perubahan ukuran bit dari
17.5 menjadi 8.5. Selain itu, pada kedalaman bit PDC juga
perlu ditambahkan faktor koreksi (sebesar 0.2) karena pada
kedalaman ini juga terjadi perubahan ukuran bit (17.5
menjadi 12.5). Angka koreksi ini ternyata juga berlaku untuk
sumur kedua. Untuk penggunaan yang lebih umum, penulis
mencoba membuat persamaan yang dapat mendekati
hubungan antara besarnya faktor koreksi terhadap perubahan
diameter bit, dengan asumsi hubungan antara faktor koreksi
dan perubahan diameter bit ialah linier.
..(7)
Sehingga persamaan Dcorr pada kedalaman yang mengalami
perubahan ukuran bit menjadi:
.(8)
Bila terdapat suatu interval kedalaman yang mengalami
perubahan ukuran bit dan juga menggunakan PDC maka
kedua koreksi di atas harus dilakukan. Plot deksponen
koreksi yang telah dikoreksi terhadap perubahan tipe dan
ukuran bit dapat dilihat pada Gambar-3.
Hasil perhitungan-perhitungan di atas dapat dilihat pada
Gambar-4 dan 4a. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
koreksi yang telah dilakukan terhadap deksponen normal
pada interval kedalaman pemboran yang menggunakan PDC
Bit dan kedalaman bit dengan ukuran 8.5 memberikan harga
EMW formasi yang sesuai dengan berat lumpur yang
digunakan pada saat pemboran..
Perhitungan deksponen menggunakan software dengan
program Delphi 5 yang dapat mempermudah dan
mempercepat penentuan tekanan formasi selama operasi
pemboran berlangsung. Software tersebut dapat menentukan
harga deksponen dan deksponen terkoreksi terhadap
kedalaman kemudian dengan menarik garis trend tekanan
normal akan dapat ditentukan tekanan formasi dalam satuan
EMW. Faktor koreksi terhadap perhitungan deksponen akibat
adanya perubahan tipe dan ukuran bit dapat diperkirakan
dengan menggunakan software ini (Gambar-5 dan 5a).
4. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan :
1. Perhitungan deksponen dengan menggunakan PDC bit
memerlukan koreksi pada harga deksponen
terkoreksinya, sebesar 0.225.
2. Perhitungan deksponen pada kedalaman yang
menggunakan ukuran bit yang berbeda memerlukan
koreksi, sebesar 0.35 untuk perubahan dari 17.5 ke 8.5
dan 0.2 untuk perubahan dari 17.5 ke 12.5, sehingga
persamaannya ialah : .
3. Untuk interval kedalaman yang menggunakan PDC dan
mengalami perubahan ukuran pahat maka perlu dilakukan
koreksi dengan kedua koreksi di atas.
4. Penggunaan software akan sangat membantu perhitungan
deksponen untuk mendeteksi tekanan formasi secara
tepat selama operasi pemboran berlangsung.
DAFTAR SIMBOL
D = diameter bit, in
d = eksponen berat pada pahat dan diameter pahat
terhadap laju penembusan
d1 = diameter bit awal , inci.
d2 = diameter bit yang baru, inci.
dc = deksponen terkoreksi pada kedalaman yang
dievaluasi
dcn = deksponen terkoreksi normal
e = eksponen kecepatan putar meja putar terhadap
laju penembusan.
EMW = ekivalen mud weight, ppg.
faktor koreksi yang perlu ditambahkan pada
deksponen normal setelah diameter bit diganti.
Gfn = gradien tekanan normal (biasanya dipakai 9 ppg)
k = kemudahan formasi untuk dibor (drillability)
MW = berat lumpur yang digunakan, ppg
N = kecepatan putar rotary table, rpm
R = laju penembusan, ft/hr
W = weight on bit, lbs
DAFTAR PUSTAKA
1. Bourgoyne, Adam T. (1986) Applied Drilling
Engineering. SPE Text Book Series, Vol. 2.
2. Ebenhaezar, Tumpal. (2001) Hubungan NROP, Spesific
Energy (SE) dan Deksponen dalam pengambilan
keputusan selama pemboran. Tugas Akhir, Jurusan
Teknik Perminyakan ITB.
3. Putra, Erwinsyah. (1992) Spesifikasi Energy (SE) Sebagai
Parameter Optimasi Bit Dibandingkan Dengan Cost Per
Foot (CPF). Kolokium, Jurusan Teknik Perminyakan, ITB
225 . 0
9
' + d
MW
Corr
D
[ ]
2 1
04 . 0 d d x
c
f
[ ]
2 1
04 . 0
9
' d d x d
MW
D
Corr
+

C
f
Fakt or Koreksi t erhadap Perhit ungan d eksponen Akibat Adanya Perubahan Tipe Bit Dan Ukuran Bit Rudi Rubiandini/ Tumpal Ebenhaezar/ Dedi Set iadi
IATM I 2001- 16
4. Jordan, J.R., and Shirley, O.J. (1987) Application of
Drilling Performance Data to Overpressures Detection.
SPE Reprint Series No. 22 Drilling, pp. 43-50.
5. Rubiandini R.S., Rudi (2001) Hydraulic and Drilling
Operation, LPM ITB, Bandung.
6. Rubiandini R.S., Rudi (2001) Diktat Kuliah :
Perancangan Pemboran, Diktat Kuliah, Jurusan Teknik
Perminyakan ITB, Bandung.
Gambar-1
Plot deksponen terkoreksi terhadap kedalaman
Gambar-2
Plot EMW dan berat lumpur terhadap kedalaman
Gambar-3
Plot deksponen terkoreksi yang telah dikoreksi
terhadap tipe bit PDC dan ukuran bit
Gambar-4
Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi
terhadap tipe bit PDC dan ukuran bit
Fakt or Koreksi t erhadap Perhit ungan d eksponen Akibat Adanya Perubahan Tipe Bit Dan Ukuran Bit Rudi Rubiandini/ Tumpal Ebenhaezar/ Dedi Set iadi
IATM I 2001- 16
Gambar-4.a
Plot EMW dan berat lumpur yang telah dikoreksi
terhadap tipe bit PDC dan ukuran bit
Gambar-5
Program perhitungan deksponen
Gambar-5a
Program perhitungan deksponen

You might also like