You are on page 1of 23

2012

Tugas Farmasi Fisik


KOLOID

Disusun Oleh : Diah Tristiani Dyah Putri Ayu Dinastyar Liska Hartikasari M. Nur Miftahuddin

Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Banten


2010-2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi, karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul KOLOID ini. Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak terlepas dari bantuan pihak lain. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih pada semua pihak yang telah menyumbangkan pikiran dan bantuan kepada penulis. Kami menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis menerima saran dan kritik dari para pembaca. Akhirnya, penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis, dan umumnya untuk para pembaca. Amiin.

Tangerang, 30 Desember 2012

Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar Daftar Isi ..................................................................................................... i .................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan .................................................................................................... 1 1.1 Tujuan .................................................................................................... 1

BAB II Pembahasan .................................................................................................... 2 a. Sistem Terdispersi ........................................................................................ 2 b. Ukuran dan Bentuk Partikel Koloid .......................................................... 2 c. Sistem Terdispersi ........................................................................................ 2 d. Tipe Sistem Koloid ....................................................................................... 5 e. Sifat-sifat Optis Koloid ................................................................................ 7 f. Sifat Kinetik Koloid ..................................................................................... 9 g. Sifat-sifat Elektrolisis Koloid .................................................................... 11 h. Fenomena Elektrokinetik .......................................................................... 12 i. Stabilitas Sistem Koloid ............................................................................. 13 j. Sensitisasi dan Kerja Koloid Pelindung................................................... 16 k. Pelarutan ................................................................................................... 16 l. Aplikasi Koloid dalam Bidang Farmasetika ........................................... 19

Daftar Pustaka

.................................................................................................. 20

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1

TUJUAN

1. Membedakan berbagai tipe koloid dan karakter utama sistem-sistem itu. 2. Memahami sifat optis utama koloid dan aplikasi sifat ini pada analisis koloid. 3. Mengetahui tipe-tipe utama sistem mikroskopik yang digunakan untuk analisis koloid. 4. Mengerti sifat kinetik utama koloid. 5. Memahami sifat elektris utama koloid dan aplikasi sifat tersebut pada stabilitas, sensitisasi, dan kerja pelindung yang dimiliki koloid. 6. Mengenali manfaat pelarutan oleh koloid. 7. Memahami manfaat dan mengetahui tipe utama sistem penghantaran obat koloid modern. 8. Memperlihatkan pengetahuan dasar tentang termodinamika miselisasi.

BAB II PEMBAHASAN

a. Sistem Terdispersi
Apoteker harus memahami teori dan teknologi sistem terdispersi. Meskipun aspekaspek kuantitatif dalam subjek ini belum berkembang sebaik perkembang sebaik perkembangan kimia mikromolekul, teori dalam bidang kimia koloid cukup membantu dalam menyelesaikan masalah memusingkan yang muncul dalam pembuatan dan pemberian emulsi, suspensi, salep, serbuk, dan bentuk sediaan kempa. Pengetahuan tentang fenomena antarmuka dan pengenalan yang baik tentang karakteristik koloid dan partikel kecil sangat penting dalam memahami perilaku dispersi farmasetis. Dispersi molekuler bersifat homogen dan membentuk larutan sejati.

b. Ukuran dan Bentuk Partikel Koloid


Partikel-partikel dalm kisaran ukuran koloid, memiliki luas permukaan yang sangat besar bila dibandingkan dengan luas permukaan dari partikel-partikel lebih besar yang memiliki volume yang sama. Jadi,suatu kubus yang memiliki sisi 1 cm dan Volume 1 cm 3 memiliki luas permukaan total 6 cm2. Bila kubus yang sama dibagi menjadi kubus-kubus yang lebih kecil yang masing-masing memiliki sisi 100 m, volume total tetap sama, tetapi luas permukaan total meningkat menjadi 600.000 cm2. Nilai ini menunjukan peningkatan luas permukaan sebesar 105 kali lipat. Untuk membandingkan luas permukaan bahan-bahan yang berbeda secara kuantitatif, digunakan istilah permukaan spesifik. Istilah ini didefinisikan sebagai luas permukaan per satuan berat atau volume bahan.

c. Sistem Terdispersi
Sistem terdispersi terdiri atas bahan partikulat, yang dikenal sebagai fase terdispersi, yang terdistribusi diselur medium kontinu atau medium dispersi. Bahan-bahan terdispersi dapat berkisar dari partikel-partikel berdimensi atom dan molekul sampai partikel-partikel yang memiliki ukuran dalam satuan milimeter. Oleh sebab itu, cara yang paling mudah untuk
2

menggolongkan sistem terdispersi adalah berdasarkan diameter partikel rerata bahan terdispersi. Berdasarkan ukuran fase terdispersi, sistem terdispersi umumnya digolongkan dalam tiga tipe, yakni (a) dispersi molekuler, (b) dispersi koloid, dan (c) dispersi kasar. Tabel Penggolongan Sistem Terdispersi berdasarkan Ukuran Partikel Golongan Kisaran Ukuran Partikel Sifat Sistem ` Tidak terlihat dengan mikroskop elektron ` Dapat melewati Dispersi Molekuler Kurang dari 1 nm ultrafilter dan membran semifermiabel ` Mengalami difusi cepat Contoh Molekul oksigen, Ionion biasa, glukosa

` Tidak dapat dianalisis dengan mikroskop biasa ` Dapat telihat dengan mikroskop elektron Dispersi Koloid 1 nm sampai 0.5 m ` Dapat melewati kertas saring ` Tidak dapat melewati membran semipermiabel ` Difusi berlangsung sangat lambat ` Dapat terlihat dengan mikroskop Lebih besar dari 0,5 Dispersi Kasar m ` Tidak dapat melewati kertas saring biasa ` Tidak berdialisis melalui membran semipermeabel ` Tidak berdifusi

Sol perak koloid, polimer alam dan sintesis, keju, mentega, cat, susu, krim cukur, dll.

Butir-butir pasir, sebagian besar emulsi dan suspensi farmasetis, sel-sel darah merah.

Karena perbedaan ukuran, partikel-partikel koloid relatif mudah dipisahkan dari partikel-partikel molekuler. Teknik pemisahan yang dikenal sebagai dialisis ini menggunakan membran semifermiabel kolodion atau selofan. Ukuran pori membran akan mencegah lewatnya partikel koloid, tetapi dapat melewatkan molekul kecil dan ion, seperti urea,

glukosa dan natrium klorida. Prinsip membran ini dapat diilustrasikan pada gambar dibawah ini.

Keadaan awal

Saat kesetimbangan

Sketsa yang menunjukan penghilangan elektrolit dari bahan koloid dengan cara difusi melalui suatu membran semipermiabel. Kondisi pada kedua sisi membran (A dan B) pada saat awal dan pada saat terjadi kesetimbangan ditunjukan pada gambar. Lingkaran kosong adalah partikel-partikel koloid yang berukuran terlalu besar untuk melewati membran. Titiktitik penuh adalah partikel-partikel elektrolit yang melewati pori-pori membran. Metode ini filtrasi dilakukan dalam tekanan negatif (pengisapan) melalui suatu membran dialisis yang diletakan dalam corong Buchener. Dialisis juga dapat digunakan untuk memperoleh bahan subkoloid yang bebas dari kontaminan koloid dalam hal ini, kita cukup mengumpulkan cairan buangannya. Ultrafiltrasi juga telah digunakan untuk memisahkan dan memurnikan bahan koloid. Ketika dialisis dan ultrafiltrasi dilakukan untuk menghilangkan pengotor bermuatan, seperti kontaminan ionik, proses dapat dipercepat dengan menggunakan potensial listrik lintas membran. Proses ini disebut elektrodialisis.

Dialisis semakin banyak digunakan tahun-tahun belakangan ini untuk mengkaji ikatan bahan-bahan yang penting dalam bidang farmasetis pada partikel-partikel koloid. Dialisis terjadi secara invivo. Jadi, ion-ion dan molekul kecil dengan mudah berpindah dari darah, melalui membran semipermiabel alami, ke cairan jaringan. Komponen koloid dalam darah tetap tinggal di dalam sistem kapiler. Prinsip dialisis dimanfaatkan dalam sistem ginjal buatan, yang menghilangkan pengotor-pengotor berbobotmolekul kecil dari tubuh dengan melewatkannya melalui membran semipermeabel.

d. TIPE SISTEM KOLOID


1. Koloid Liofilik Sistem yang mengandung partikel-partikel koloid yang banyak berinteraksi dengan medium dispersi dikenal semua jenis fase terdispersi dapat membentuk koloid dalam segala jenis media yang mungkin, kecuali untuk kombinasi gas-gas. Karena semua gas berampur dengan merata pada tingkat molekuler, gas hanya membentuk larutan dengan sesama gas. Tabel Dispersi Koloid MEDIUM DISPERSI FASE TERDISPERSI TIPE KOLOID CONTOH

Padat

Padat

Sol Padat

Mutiara,Opal

Padat

Cair

Emulsi padat

Keju, mentega

Padat

Gas

Busa Padat

Batu marshmallow

apung,

Cair

Padat

Gel

Jelly, cat

Cair

Cair

Emulsi

Susu, mayones

Cair

Gas

Busa

Whipped cream, krim cukur

Gas

Padat

Aerosol Padat

Asap, debu

Gas

Cair

Aerosol Cair

Awan, kabut

haliun,

Sebagai koloid liofilik (suka pelarut). Karena afinitasnya pada medium dispersi, bahan-bahan tersebut relatif mudah membentuk dispersi koloid, atau sol. Jadi, sol koloid liofilik biasanya dapat diperoleh hanya dengan melarutkan bahan tersebut dalam pelarut yang digunakan. Sebagai contoh, disolusi akasia atau gelatin dalam air atau seluloid dalam amil astate akan membentuk sol. Keberagaman sifat golongan koloid ini disebabkan oleh tarik-menarik antara fese terdispersi dan medium dispersi, yang mengakibatkan solvasi, yaitu penempelan molekulmolekul pelarut dengan molekul-molekul fase terdispersi. Untuk koloid hidrofilik, yang menggunakan air sebagai medium dispersi, peristiwa solvasi ini disebut hidrasi. Sebagian besar koloid liofilik merupakan molekul organik, misalnya, gelatin, akasia, insulin, albumin, karet, dan polistiren.

2. Koloid Liofobik Golongan koloid kedua ini terdiri atas bahan-bahan yang mempunyai tarikmenarik kecil, itupun jika ada, terhadap medium dispersi. Golongan ini disebut koloid liofobik (tidak suka pelarut)dan tentu dapat diduga, sifat golongan ini berbeda dari koloid liofilik. Hal ini terutama karena tidak adanya selubung pelarut disekeliling partikel. Kolid liofobik umumnya tersusun atas partikel-partikel anorganik yang terdispersi dalam air. Contoh bahan semacam ini antara lain emas, perak, belerang, arsen (III) sulfida, dan perak iodida. Tidak seperti koloid liofilik, pembuatan koloid liofobik memerlukan metode khusus. Metode-metode tersebut antara lain (a) metode dispersi, yaitu ukuran partikel-partikel kasar diperkecil dan (b) metode kondensasi, yaitu bahan-bahan berukuran subkoloid diagregasi menjadi partikel-partikel koloid. Kondisi yang dipersyaratkan untuk pembentukan koloid liofobik dengan cara kondensasi atau agregasi adalah keadaan awal yang sangat lewat jenuh yang diikuti dengan pembentukan dan pertumbuhan inti. Keadaan lewat jenuh dapat diperoleh dengan mengganti

pelarut atau mengurangi suhu. Sebagai contoh, jika belerang dilarutkan dalam alkohol, kemudian larutan pekat ini ditungkan kedalam air berlebih, banyak inti kecil akan terbentuk dalam larutan lewat jenuh tersebut. Inti kecil ini akan tumbuh dengan dengan cepat membentuk sol koid.

3. Koloid Gabungan: Misel dan Konsentrasi Misel Kritis

Koloid Gabungan

atau amfifilik merupakan golongan ketiga dalam

penggolongan ini. amfifil atau bahan aktif permukaan dicirikan oleh adanya dua daerah yang berbeda yang memiliki afinitas terhadap larutan yang berlawanan di dalam molekul atau ion yang sama. Jika terdapat dalam suatu medium cair dengan konsentrasi rendah, amfifil berada dalam keadaan terpisah-pisah dan berukuran subkoloid. Jika konsentrasi ditingkatkan, terjadi agregasi pada suatu kisaran konsentrasi yang sempit. Agregat ini yang mungkin mengandung 50 monomer atau lebih disebut misel. Karena diameter tiap misel kurang lebih 50 , misel berada dalam kisaran ukuran yang sebelumnya telah kita tetapkan sebagai koloid. Konsentrasi monomer saat mulai membentuk misel disebut konsentrasi misel kritis (critical micelle concentration, CMC) . jumlah monomer yang beragregasi membentuk suatu misel dikenal sebagai bilangan agregasi misel. Fenomena pembentukan misel dapat diterangkan sebagai beriku. Dibawah CMC, konentrasi amfifil yang mengalami adsorbsi pada antarmuka udara-air meningkat apabila konsentrasi total amfifil dinaikan. Kenaikan konsentrasi akhirnya mencapai satu titik ketika antarmuka dan fase bulk jenuh oleh monomer. Titik inilah yang disebut CMC. Amfifil yang terus ditambahkan melebihi konsentrasi ini akan beragregasi membentuk misel dalam fase bulk, dan dengan cara ini, energi bebas sistem dikurangi. Sebagaimana sol liofilik, pembentukan koloid gabungan terjadi secara spontan asalkan konsentrasi amfifil dalam larutan melebihi CMC. Amfifil dapat bersifat anionik, kationik, nonionik, atau amfolitik (zwiterionik). Sifatsifat ini memberikan cara mudah untuk menggolongkan koloid gabungan.

e. SIFAT-SIFAT OPTIS KOLOID


1. Efek Faraday-Tyndal Bila suatu berkas cahaya yang kuat melewati suatu sol kolid, suatu kerucut kasar mata terbentuk sebagai akibat peristiwa penghamburan cahaya oleh partikel partikel koloid. inilah yang disebut efek Faraday-Tyndall. Ultramikroskop, ciptaan Zsigmondy, memungkinkan seseorang untuk menentukan titik-titik cahaya yang menyebabkan pembentukan kerucut Tyndall. Seberkas cahaya yang kuat dilewatkan melalui sol dengan latar belakang gelap pada sudut kanan terhadap bidang pengamatan, dan walaupaun partikel-partikel tersebut tidak dapat dilihat secara langsung, bintik-bintik terang yang berkaitan dengan partikel dapat diamati dan dihitung.

2. Mikroskop Elektron Penggunaan iltramikroskop telah berkurang tahun-tahun belakangan ini karena alat ini sering kali tidak dapat memecahkan masalah koloid liofilik. Mikroskop elektron ii banyak digunakan untuk mengamati ukuran, bentuk dan struktur partikel-partikel koloid. Mikroskop elektron mampu menghasilkan gambar parikel yang sebenarnya, bahkan partikel-partikel dengan ukuran yang mendekati ukuran molekul. Keberhasilan mikroskop elektron disebabkan oleh daya resolusinya yang tinggi, yang dapat didefinisikan dengan istilah d, yaitu jarak terkecil antara dua objek yang terpisah, namun tetap dapat dibedakan. Makin kecil panjang gelombang radiasi yang digunakan, makin kecil nilai d dan makin besar daya resolusi. Mikroskop optis menggunakan cahaya tampak sebagai sumber radiasi dan hanya mampu meresolusi dua partikel yang terpisah sejauh kirakira 20 nm (200 ). Sumber radiasi mikroskop elektron adalah seberkas elektron berenergi tinggi yang mempunyai panjang gelombang dalam daerah 0,01 nm (0,1 ). Instrumentasi yang digunakan saat ini menghasilkan d kira-kira 0,5 nm (5 ); ukuran ini memberikan daya resolusi yang jauh lebih besar dibandingkan mikroskop optis.

3. Hamburan Cahaya Sifat ini sangat bergantung pada efek Faraday-Tyndall dan banyak digunakan untuk menentukan bobot molekul koloid. sifat ini juga dapat digunakan untuk memperoleh informasi tentang bentuk dan ukuran partikel-pertikel ini. hamburan dapat digambarkan dengan istilah turbiditas atau kekeruhan, , yakni penurunan intensitas secara fraksional akibat penghamburan ketika cahaya masuk melewati 1 cm larutan. Istilah tersebut dapat dinyatakan
8

sebagai intensitas cahaya yang terhambur dalam segala arah, Is, dibagi dengan intensitas cahaya masuk, I. Ketika fase terdispersi berada pada konsentrasi tertentu, kekeruhan sebanding dengan bobot molekul koloid liofilik. Karena kekeruhan sebagian besar koloid liofilik yang rendah, lebih mudah mengukur cahaya yang terhambur (pada sudut tertentu dibandingkan berkas masuk) dari pada cahaya yang terpancar. Kekeruhan kemudian dapat dihitung dari intensitas cahaya yang terhambur, asalkan ukuran partikel lebih kecil dibandingkan dengan panjang gelombang cahaya yang digunakan.

4. Hamburan Cahaya dan Bobot Molekul Misel Setelah dilakukan modifikasi yang sesuai, persamaan dapat digunakan untuk menghitung bobot molekul agregat koloidal dan misel. Apabila molekul-molekul amfifil bergantung membentuk misel, kekeruhan dispersi misel berbeda dari t larutan molekul amfifil karena, dalam keadaan ini, misel juga berada dalam keseimbangan dengan spesi-spesi monomer. Di bawah nilai CMC, konsentrasi monomer meningkat secara linear sesuai dengan konsentrasi total, c; di atas nilai CMC, konsentrasi monomer tetap mendekati konstan;yaitu cmonomerCMC. Apabila misel tidak berinteraksi baik di antara misel-misel itu sendiri maupun dengan molekul-molekul medium, kemiringan plot persamaan adalah nol; yakni koefisien virial kedua,B, adalah nol dan garis sejajar dengan sumbu horizontal. Sifat ini merupakan sifat khas sistem misel nonionik dan zwiterionik yang memiliki distribusi ukuran yang sempit. Akan tetapai, dengan meningkatnya konsentrasi misel, interaksi antar misel menghasilkan nilai B positif, kemiringan garis bernilai positif. Untuk misel ionik, plot berupa garis lurus dengan kemiringan positif. Hal ini disebabkan oleh interaksi saling tolak antar misel yang

menghasilkan koefisien interaksi,B, bernlai positif. Koefisien virial kedua negatif biasanya merupakan indikasi bahwa sistem misel merupakan indikasi bahwa sistem misel merupakan polidispersi.

e. SIFAT KINETIK KOLOID


Dalam bagian ini dikelompokan beberapa sifat sistem koloid yang berhubungan dengan gerakan partikel berkenaan dengan medium dispersi. Gerakan ini dapat dipicu oleh panas (gerak brown, difusi, osmosis), dipicu oleh gravitasi (sedimentasi), atau diberikan secara eksternal (viskositas).

1. Gerakan Brown Lama sebelum Zsigmondy menguraikan gerakan acak partikel partikel koloid dalam bidang mikroskopik, Robert Brown (1827) telah meneliti fenomena ini. Gerakan tidak beraturan Yang dapat diamati pada partikel-partikel sebesar kira-kira 5 m selanjutnya dijelaskan sebagai hasil pemboman partikel-partikel oleh malekul-molekul medium dispersi. Gerakan molekul tentu saja tidak dapat diamati karena molekul-molekul tersebut terlalu kecil sehingga sulit dilihat. Kecepatan partikel meningkat dengan semakin kecilnya ukuran partikel. Peningkatan viskositas medium, yang dapat diperoleh dengan menambahkan glisesrin atau senyaw serupa, menurunkan dan akhirnya menghentikan gerak Brown. 2. Difusi Partikel-partikel berdifusi secara spontan dari daerah berkonsentrasi lebih tinggi kedaerah dengan konsentrasi lebih rendah sampai konsentrasi keseluruhan sistem itu seragam. Difusi adalah hasil dari gerak Brown. Berdasarkan hukum Fick pertama jumlah zat, dq, yang berdifusi dalam waktu, dt, melalui bidang seluas S berbanding lurus dengan perubahan konsentrasi, dc, sesuai dengan jarak yang ditempuh., dx.

3. Viskositas Viskositas menyatakan tahanan suatu sistem untuk mengalir pada suatu tekanan yang diberikan. Makin kental suatu cairan, makin besar gaya yang diperlukan untuk membuat cairan tersebut dapat mengalir dengan laju tertentu. Prinsip dan penerapan dasar viskositas dibahas secara terperinci pada Bab 20. Bagian ini membahas sifat-sifat aliran sistem koloid encer dan cara menggunakan data viskositas untuk memperoleh bobot molekul bahan yang menyusun fase dispersi. Kajian viskositas juga memberikan informasi tentang bentuk partikel dalam larutan. Einstein mengembangkan suatu persamaan aliran yang berlaku pada dispersi koloid encer dari partikel-partikel berbentuk bola, yakni : =0 (1+2,5 ) Dalam persamaan diatas, yang didasarkan pada teori hidrodinamik, 0 adalah viskositas medium dispersi dan adalah viskositas dispersi ketika fraksi volume partikelpartikel koloid yang ada adalah . Fraksi volume didefinisikan sebagai volume partikel-

10

partikel dibagi dengan volume total dispersi; Karena itu, fraksi volume ekuivalen dengan konsentrasi. Baik 0 maupun dapat ditentukan dengan menggunakan viskometer kapiler. Viskositas dispersi koloid dipengaruhi oleh bentuk partikel fase dispersi. Koloid bulat (spherocolloid) membentuk dispersi yang memiliki viskositas relative rendah, sedangkan sistem yang mengandung paritkel-partikel linear bersifat lebih kental. Seperti kita lihat pada bagian sebelumnya, hubungan antara bentuk dan viskositas mencerminkan tingkat solvasi partikel. Jika suatu koloid linear ditempatkan dalam suatu pelarut yang mempunyai afinitas rendah bagi koloid tersebut, koloid tersebut cenderung membulat yaitu mulai mengambil bentuk bulat, dan viskositas menurun. Proses ini memberikan suatu cara untuk mendeteksi perubahan bentuk partikel dan makromolekul kolid yang fleksibel. Karakteristik polimer yang digunakan sebagai pengganti plasma darah (pengembang plasma) sebagian bergantung pada bobot molekul bahan. Karakteristik tersebut meliputi ukuran dan bentuk makromolekul serta kemampuan polimer untuk memberikan viskositas dan tekanan osmotik yang sesuai pada darah. Metode yang diuraikan dalam bab ini digunakan untuk menentukan bobot molekul rata-rata amilum hidroksietil, dekstran, dan sediaan-sediaan gelatin yang digunakan sebagai pengembang plasma. Ultrasentrifugasi, hamburan cahaya, analisis sinar-X (hamburan sinar-X sudut kecil), dan alat-alat analitik lain digunakan oleh paradies untuk menentukan sifat-sifat structural tirotrisin, suatu campuran antibiotik peptide, yaitu gramisidin dan tirosidin B. Agregat antibiotik ini memiliki bobot molekul 28600 dalton dan diketahui berbentuk batang dengan panjang 170 dan diameter 30 .

f. SIFAT-SIFAT ELEKTROLISIS KOLOID


Sifat-sifat koloid yang bergantung pada, atau yang dipengaruhi oleh adanya muatan pada permukaan partikel akan dibicarakan dalam bagian ini. Berbagai cara bagaimana permukaan partikel-partikel yang terdispersi dalam medium cair mendapatkan muatan telah diuraikan dalam Bab 16, yang membicarakan tentang fenomena antarmuka. Selain itu, telah disingggung mengenai potensial zeta (elektrokinetik) dan bagaimana keterkaitan potensial ini dengan potensial Nernst (elektrodinamik). Diagram potensial versus jarak untuk suatu partikel koloid sferis, sebagai contoh : sistem semacam itu dapat dibentuk apabila larutan encer kalium iodida ditambahkan pada larutan perak nitrat yang ekuimolar. Akibatnya,
11

terbentuk endapan koloid partikel-partikel perak iodida, dank arena ion-ion perak berada dalam keadaan berlebih serta diadsorpsi, suatu partikel bermuatan positif dihasilkan. Jika dilakukan prosedur sebaliknya, yakni perak nitrat ditambahkan pada larutan kalium iodida, ion-ion iodida diadsorpsi pada partikel-partikel sebagai ion penentu potensial dan menghasilkan pembentukan sol bermuatan negative.

g. FENOMENA ELEKTROKINETIK Pergerakan suatu permukaan bermuatan sehubungan dengan fase cair yang berdekatan merupakan prinsip utama yang mendasari empat fenomena elektrokinetik : elektroforesis, elektroosmosis, potensial sedimentasi, dan potensial beraliran. Elektroforesis meliputi pergerakan partikel bermuatan dalam suatu cairan yang dipengaruhi oleh beda potensial yang digunakan. Suatu sel elektroforesis yang memiliki dua elektroda berisi dispersi. Jika suatu potensial diaplikasikan pada elektroda, partikel-partikel berpindah ke elektroda yang memilki muatan berlawanan. Prinsip elektroosmosis pada dasarnya berlawanan dengan elektroforesis. Penggunaan suatu potensial pada elektroforesis menyebabkan suatu partikel yang bermuatan bergerak relative menuju cairan yang tidak bergerak . Akan tetapi, jika zat padat dibuat tidak bergerak (misalnya, dengan membentuk suatu kapiler atau membuat partikel-partikel menjadi suatu sumbat berpori), cairanlah yang akan bergerak relative menuju permukaan yang bermuatan. Inilah yang disebut elektroosmosis; disebut demikian karena cairan bergerak melalui sumbat atau membrane yang diseberangnya diberikan potensial. Elektroosmosis memberikan metode lain untuk mendapatkan potensialzeta, yaitu dengan menentukan laju aliran cairan melalui sumbat pada kondisi standar. Potensial sedimentasi, kebalikan dari elektroforesis adalah pembentukan potensial saat partikel-paritikel mengalami sedimentasi. Potensial beraliran berbeda dari elektroosmosis dalam hal potensial berbentuk dengan mendesak cairan unutuk mengalir melalui suatu sumbatatau lapisan partikel. Schoot meneliti sifat elektrokinetik suspense magnesium hidroksida yang digunakan sebagai antasida dan laksatif. Takenaka dkk, mengkaji sifat elektroforetik mikrokapsul sulfametoksazol dalam suatu droplet koaservat gelatin-akasia sebagai bagian dari penelitian untuk menstabilkan obat-obat semacam itu dalam mikrokapsul. Crommelin menentukan efek penambahan senyawa penginduksi muatan, seperti stearilamin atau fostatidilserin, pada potensial zeta liposom fostatidilkolin dan kolesterol
12

dalam medium cair. Stabilitas fisik liposom tersebut diprediksikan berdasarkan teori Derjaguin-Landau-Verwey-Overbeek (DLVO). Akan tetapi, stabilitas fisik yang

diprediksikan dari teori tersebut tidak sesuai dengan stabilitas yang diperoleh berdasarkan percobaan. Schoot dan Young mementukan mobilitas elektroforetik bakteri gram-positif Streptococus faecalis dan bakteri gram-negatif Escherichia coli sebagai fungsi kekuatan ion dan pH. Peningkatan konsentrasi elektrolit dapar (peningkatan kekuatan ion) menurunkan mobilitas (v/E) S.faecalis. Baik E.coli maupun S.faecalis bermuatan negative pada rentang pH penelitian. Gugus kimia yang bertanggung jawab atas muatan pada permukaan kedua bakteri tersebut agaknya adalah gugus karboksil. Besar dan tanda muatan listrik obat-obat amfolitik pada pH fisiologik mempengaruhi absorpsi obat-obat itu dari saluran gastrointestinal dan perlintasan obat menembus membrane bakteri. Schoot dan Astigarrabia menentuka titik isoelektrik, empat sulfonamide yang sangat sukar larut dengan menggunakan elektroforesis suspensi keempat zat itu sebagai fungsi pH. Titik isoelektrik keempat sulfonamide itu berada antara 3,5 dan 4,6; ini menunjukan bahwa pada pH fisiologik normal 7,4. Sulfonamida adalah asam lemah dan bukan ion zwiter.

h. STABILITAS SISTEM KOLOID Ada atau tidaknya, serta besarnya suatu muatan pada partikel kolid merupakan factor yang menentukan stabilitas sistem koloid. Stabilitas pada dasarnya dapat diperoleh dengan dua cara : memberikan muatan listrik pada partikel-partikel terdispersi dan melapisi tiap partikel dengan suatu selubung pelarut pelindung yang mencegah saling melekatnya partikel ketika partikel-partikel tersebut saling bertabrakan karena gerak Brown. Efek yang kedua hanya signifikan untuk sol liofilik. Sol liofobik tidak stabil secara termodinamik. Partikel-partikel dalam sol semacam ini distabilkan hanya dengan adanya muatan listrik pada permukaanya. Muatan yang sama menyebabkan tolak-menolak sehingga mencegah koagulasi partikel. Jika sedikit ion terakhir dihilangkan dari sistem dengan cara dialisis, partikel-partikel dapat menggumpal (aglomerasi) dan mengurangi luas permukaan total; karena pertambahan ukuran, partikel-partikel suspensi kemungkinan mengendap dengan cepat. Oleh sebab itu, penambahan sejumlah kecil elektrolit pada sol liofobik cenderung menstabilkan sisitem dengan memberikan muatan pada partikel. Akan tetapi, penambahan elektrolit melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk adsorpsi maksimum oleh partikel kadangkadang mengakibatkan akumulasi ion-ion yang berlawanan dan mengurangi potensial zeta hingga dibawah nilai kritis. Potensial kritis untuk tetesan
13

minyak yang terdispersi halus dalam air (hydrosol minyak) kira-kira 40 milivolt; nilai yang tinggi ini menandakan ketidakstabilan yang relative besar. Sebaliknya, potensial zeta kritis sol emas mendekati nol; hal ini menunjukan bahwa partikel-partikel hanya membutuhkan sedikit muatan untuk stabilisasi. Jadi, partikel-partikel tersebut menunjukan stabilitas yang nyata terhadap elektrolit yang ditambahkan. Valensi ion-ion yang mempunyai muatan berlawanan dengan muatan partikel tampaknya menentukan keefektifan elektrolit dalam mengkoagulasi koloid. Kekuatan pengendapan meningkat dengan cepat seiring bertambahnya valensi atau muatan ion. Pernyataan ini dikenal sebagai kaidah Schulze-Hardy. Pengamatan ini menyebabkan Verwey dan Overbeek serta Derjaguin dan Landau secara terpisah dapat mengembangkan suatu teori yang menjelaskan stabilitas koloid liofobik. Berdasarkan pendekatan yang dikenal sebagai teori DLVO ini, gaya pada partikel koloid dalam suatu dispersi disebabkan oleh tolak-menolak elektrostatik dan tarik-menarik van der Walls tipe London. Gaya-gaya tersebut menghasilkan energy potensial tolak-menolak, VR, dan tarik-menarik, VA, antar partikel. Kurva lekuk (lembah) tarik-menarik sekunder yang dangkal (atau minimum) kadangkadang teramati pada jarak pisah antar partikel yang lebih jauh. Keberadaan minimum sekunder penting untuk flokulasi dispersi kasar terkendali. Berdasarkan prinsip ini, seseorang dapat menentukan dengan cukup kuantitatif jumlah elektrolit bertipe valensi tertentu yang dibutuhkan untuk mengendapkan suatu koloid. Memang bukan hanya elektrolit yang menyebabkan koagulasi partikel-partikel koloid, tetapi pencampuran koloid yang memiliki muatan berlawanan juga dapat mengakibatkan penggumpalan bersama. Koloid liofilik dan koloid gabungan bersifat stabil secara termodinamik dan berada dalam bentuk larutan sejati sehingga sistem tersebut merupakan fase tunggal.Penambahan elektrolit pada koloid liofilik dalam jumlah sedang tidak mengakibatkan koagulasi, seperti yang terjadi pada koloid liofobik. Akan tetapi, apabila garam secukupnya ditambahkan, penggumpalan dan pengendapan partikel dapat terjadi. Fenomena yang dikenal sebagaipengusiran garam (salting out) ini telah dibicarakan dalam bab tentang kelarutan. Sebagaimana kaidah Schulze-Hardy mengatur susunan ion berdasarkan urutan kapasitas mengkoagulasi koloid hidrofobik, deret Hofmeister atau deret liotropik membuat peringkat kation dan anion berdasarkan urutan koagulasi sol hidrofilik. Beberapa anion dalam deret Hofmeister yang diurutkan berdasarkan penurunan kemampuan mengendapkan adalah sitrat, tartrat, sulfat, asetat, klorida, nitrat, bromide, dan iodide. Kemampuan mengendapkan

14

berhubungan langsung dengan hidrasi ion; dengan demikian, berhubungan juga dengan kemampuan memisahkan molekul-molekul air dari partikel-partikel koloid. Alkohol dan aseton juga dapat menurunkan kelarutan koloid hidrofilik sedemikian rupa sehingga penambahan sejumlah kecil elektrolit dapat menyebabkan koagulasi. Penambahan pelarut yang kurang polar menyebabkan campuran pelarut menjadi tidak baik untuk koloid, dan elektrolit kemudian dapat mengusir koloid dengan relative mudah. Jadi, kita dapat menganggap flokulasi pada penambahan alcohol, yang diikuti dengan penambahan garam, sebagai perubahan bentuk bertahap dari sol yang bersifat liofilik menjadi sol yang bersifat cenderung liofobik. Bila koloid hidrofilik yang bermuatan negative dan positif dicampur, partikel-partikel kemungkinan memisah dari dispersi membentuk suatu lapisan yang kaya akan agregat koloid. Lapisan yang banyak mengandung koloid tersebut dikenal sebagai koaservat. Fenomena pemisahan larutan makromolekuler menjadi dua lapisan cairan disebut sebagai koaservasi. Sebagai contoh, bayangkan pencampuran gelatin dan akasia. Gelatin pada pH dibawah 4,7 (titik isoelektrik gelatin) bermuatan positif; akasia memiliki muatan negative yang relative tidak terpengaruh oleh pH dalam kisaran asam. Bila larutan koloid-koloid ini dicampur dengan perbandingan tertentu, terjadi koaservasi. Viskositas lapisan atas, yang kini mengandung sangat sedikit koloid, sangat berkurang jauh dibawah viskositas koaservat, dan dalam bidang farmasi, keadaan seperti ini dianggap menunjukkan ketaktercampuran fisik. Koaservasi tidak selalu melibatkan interaksi antar partikel yang bermuatan; koaservasi gelatin dapat juga disebabkan oleh penambahan alcohol, natrium sulfat, atau zat makromolekul seperti pati. Takenaka dkk. membuat sediaan sulfametoksazol mikrokapsul dalam koaservat gelatin-akasia dan melaporkan tentang ukuran partikel, ketebalan dinding, dan porositas mikrokapsul. Badawi dan El-Sayed meneliti kelarutan dan laju disolusi dalam keadaan setimbang dari suatu koaservat sulfatiazol yang dikompleks dengan povidon. Para peneliti ini mengamati adanya peningkatan laju disolusi karena koaservasi. Dalam membentuk koaservat, endapan amorf terbentuk ketika sulfonamide direaksikan dengan asam atau basa dalam larutan berair atau ketika larutan obat dalam alcohol diencerkan dengan air. Dengan adanya povidon, suatu kompleks terbentuk dengan sulfatiazol yang mengendap sebagian, menghasilkan suatu koaservat. Penambahan resorsinol (suatu senyawa pembentuk koaservat untuk povidon) pada campuran natrium sulfatiazol dan povidon dalam air juga akan menyebabkan koaservasi.

15

i. SENSITISASI DAN KERJA KOLOID PELINDUNG Penambahan sejumlah kecil koloid hidrofilik atau hidrofobik pada suatu koloid hidrofobik yang memiliki muatan berlawanan cenderung mensensitisasi atau bahkan mengkoagulasi partikel-partikel. Beberapa peneliti menganggap hal ini disebabkan oleh penurunan potensial zeta sampai dibawah nilai kritis (biasanya sekitar 20-50 milivolt). Peneliti lain menyatakan bahwa ketidakstabilan partikel-partikel hidrofobik berkaitan dengan pengurangan ketebalan lapisan ion yang mengelilingi partikel serta penurunan tolak-menolak coulomb antar partikel. Akan tetapi, penambahan sejumlah besar hidrofil (koloid hidrofilik) menstabilkan sistem tersebut; hidrofil teradsorpsi pada partikel-partikel hidrofobik. Fenomena ini dikenal sebagai perlindungan, dan sol hidrofilik yang ditambahkan dikenal sebagai koloid pelindung. Beberapa metode untuk mendapatkan stabilisasi koloid hidrofilik (yaitu kerja pelindung) telah dikaji oleh Schott. Sifat pelindung biasanya dinyatakan sebagai bilangan emas. Bilangan emas adalah berat minimum koloid pelindung dalam milligram (berat kering fase terdispersi) yang dibutuhkan untuk mencegah perubahan warna dari merah menjadi lembayung dalam 10 ml sol emas pada penambahan 1 ml larutan natrium klorida 10%. Contoh sensitisasi dan kerja pelindung dalam bidang kefarmasian dapat dilihat ketika bismut subnitrat disuspensikan dalam dispersi tragakan; campuran ini membentuk gel yang mengeras menjadi massa keras didasar wadah. Bismut subkarbonat dapat bercampur dengan tragakan karena merupakan senyawa yang tidak berdisosiasi dengan memadai untuk membebaskan ion bismut. Fenomena ini kemungkinan melibatkan sensitisasi dan koagulasi gom oleh ion Bi3+. Gom yang terflokulasi kemudian beragregasi dengan paritkel-partikel bismut subnitrat membentuk gel atau gumpalan keras (hard cake). Jika ditambahkan fosfat, sitrat, atau tartrat, ion-ion tersebut akan melindungi gom dari pengaruh koagulasi oleh ion-ion Bi3+, dan tanpa diragukan, dengan mengurangi potensial zeta pada partikel-partikel bismuth, ion tersebut akan memflokulasi sebagian bahan yang tidak larut. Kecenderungan pembentukan gumpalan oleh sistem yang terflokulasi sebagian ini jauh lebih kecil dibandingkan oleh sistem yang terdeflokulasi. Efek ini penting dalam formulasi suspensi.

j. PELARUTAN

16

Suatu sifat penting koloid gabungan dalam larutan yaitu kemampuan misel-misel untuk meningkatkan kelarutan bahan yang biasanya tidak larut, atau sangat sukar larut, dalam medium dispersi yang digunakan. Fenomena yang dikenal sebagai pelarutan (solubilisasi) ini telah dikaji oleh banyak penulis, antara lain Mulley, Nakagawa, Elworthy dkk., Serta Attwood dan Florence. Pelarutan telah dimanfaatkan dibidang farmasi selama bertahun-tahun; pada tahun 1892, Engler dan Dieckhoff meningkatkan kelarutan sejumlah senyawa dalam larutan sabun. Lokasi, distribusi, dan orientasi obat terlarut dalam misel penting untuk diketahui guna memahami aspek kinetic proses pelarutan dan interaksi obat dengan berbagai unsure berbeda membentuk misel. Factor ini dapat mempengaruhi stabilitas dan bioavaibilitas obat serta berhubungan juga dengan keseimbangan antara sifat polar dan nonpolar dari molekul tersebut. Molekul nonpolar dalam system verair yang menganadung zat akti permukaan ionic akan berbeda pada inti hidrokarbon dari misel, sedangkan zat terlarut polar akan cenderung teradsorpsi pada permukaan misel. Distribusi anisotropic molekul-molekul air dalam jaket polar menguntungkan inklusi ( pelarutan ) berbagai macam molekul. Oleh sebab itu, pelarutan dapat terjadi baik pada inti maupun pada jaket, yang disebut juga lapisan palisade. Jadi senyawa-senyawa tertentu akan tertahan diantara rantai-rantai polioksietilen. Pada kondisi ini, senyawa dapat dianggap mengalami inklusi di dalam polioksietilen yang merupakan bagian terluar misel dan bukan diadsorpsi pada permukaan misel. Resonansi magnet inti ( NMR ) dan teknik pencitraan spektroskopik yang menggunakan daerah spectrum cahaya tampak dan ultraviolet digunakan untuk menetapkan lokasi pelarutan. Beberapa karateristik spektroskopik ultraviolet sensitive terhadap polaritas medium. Dimana geseran spectrum senyawa yang terlarut dalam misel digunakan untuk menetapkan polaritas lingkungan mikro dari lokasi pelarutannya. Fraksi oabat yang berada pada permukaan misel dalam keadaan teradsorpsi berhubungan dengan aktivitas permukaan yang dimiliki obat. Pada konsentrasi yang digunakan, bahan aktif permukaan tidak boleh toksik jika digunakan untuk obat dalam, harus dapat bercampur dengan pelarut ( biasanya air), bercampur dengan bahan yang akan dilarutkan, bebas dari bau dan rasa yang tidak enak, dan relative tidak menguap. Toksisitas merupaka factor penting yang perlu diperhatikan. Oleh sebab itu, kebanyakan system terlarut menggunakan surfaktan nonionic. Jumlah surfaktan yang digunakan juga penting untuk diperhatikan, karena pada penggunaan yang berlebih dapat menyebabkan toksik dan penurunan daya adsorpsi dan aktivitasnya. Dan apabila kekurangan akan mengakibatkan pengendapan zat yang akan dilarutkan.
17

A) Factor yang Mempengaruhi Pelarutan Naik turunnya suatu kelrutan surfaktan obat sangat bervariasi tergantung pada sifat kimia surfaktan dan lokasi obat dalam misel. Missal, apabila suatu obat hidrofobik dilarutakan dalam inti misel, peningkatan rantai alkil lipofilik pada surfaktan akan meningkatkan pelarutan. Pada saat yang bersamaan, pemanjangan jari-jari misel karena meningkatnya panjang rantai alkil mengurangi tekanan laplace sehingga mempermudah masuknya molekul obat kedalam misel. Untuk misel yang mengandung surfaktan ionic, pemanjangan jari-jari inti hidrokarbon merupakan metode utama peningkatan pelarutan, sedangkan pada misel yang mengandung surfaktan nonionic, efeknya belum teruji.

B) Temodinamika Pelarutan Pelarutan dapat dipandang sebagai partisi suatu obat di antara fase misel dan lingkungan berair. Jadi energy bebas standar pelarutan dapat dihitung dari koefisien pastisi misel / medium air. Pelarutan suatu hidrokarbon dalam inti hidrofobik sama dengan transfer hidrokarbon dari air ke medium organic. Dimana fungsi dari termodinamika adalah untuk transfer berbagai zat terlarut yang memiliki polaritas berbeda dari air ke larutan misel dank e pelarut organic pada suhu 250C.

C) Titik Krafft dan Titik Kabut Sifat lain dari surfaktan ialah peningkatan kelarutan dengan cepat di atas suhu tertentu, yang dikenal sebaga Titik Krafft. Titik Krafft merupakan suatu suhu tertentu ketika surfaktan sama dengan CMC. Jika suatu surfaktan memiliki titik krafft dibawah normal, maka tidak akan terjadi miselisasi atau akan terbentuknya endapan bukan misel. Dengan kenaikan suhu, maka kelarutan akan meningkat perlahan-lahan. Disebabkan karena konsentrasi misel kritis, maka kristal-kristal surfaktan melebur dengan bergabung menjadi misel-misel yang mudah larut.

D) Koaservasi dan Fenomena Titik Kabut Pelarutan dapat mengubah sifat misel tertentu seperti umumnya titik kabut dan ukuran misel. Solubilizat organic umumnya menurunkan titik kabut surfaktan nonionic. Hidrokarbon alifatik cenderung meningkatkan titik kabut, sedangkan hirokarbon aromatic senderung menurunkan atau meningkatkan titik kabut dimana bergantung terhadapa konsentrasinya. Peningkatan ukuran misel menunjukkan
18

terjadinya restrukturisasi misel, dimana menghasilkan misel yang lebih simetris dengan hidrasi yang lebih besar. Koaservasi disini merupakan suatu bentuk peralihan dari larutan yang mengandung misel mirip batang dalam keadaan gas menjadi dua larutan, yaitu salah satu larutan dalam bentuk yang lebih kental dan larutan yang lainnya dalam keadaan yang lebih encer. Agregat misel yang kental ini ternyata masih dapat menampung hidrokarbon yang dimana dapat merubah bentuk dari batang menjadi globul. Globul-globul ini terjadi akibat adanya gaya tarik menarik antara globul kecil, lemah dan system tidak dapat berada dalam keadaan mengental dan keadaan gas secara bersamaan. Dalam system ini terjadi fenomena unik yaitu, system surfaktan biner ( dua fasa ) dimana suatu koaservat dapat diubah menjadi larutan fase tunggal oleh pelarutan hidrokarbon di dalam misel, pelarutan ini terjadi akibat aadanya kenaikan titik kabut pada misel tersebut yang membuat si hidrokarbon bereaksi.

k. Aplikasi Koloid dalam Bidang Farmasetika Koloid digunakan secara luas untuk memodifikasi obat. Sifat yang paling sering dipengaruhi adalah kelarutan suatu obat. Akan tetapi, bentuk kolid banyak obat memperlihatkan sifat yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan bentuk biasa dari obat tersebut penting lain dari koloid dalam bidang farmasetika adalah penggunaan koloid sebagai system penghantar obat. System penghantar obat yang paling sering digunakan mencakup hidrogel, mikrosfer, mikroemulsi, liposom, miselm nanopartikel, dan nanokristal.

19

Daftar Pustaka

20

You might also like