You are on page 1of 21

BAB II PROFIL PEREDARAN SENJTA KECIL KALIBER RINGAN ILEGAL DI DUNIA DAN INDONESIA

Bab ini akan membahas seluk beluk peredaran senjata kecil kaliber ringan (SKKR) ilegal baik dalam tingkatan global maupun Indonesia secara khusus. Pemaparan tentang potret peredaran senjata ilega dalam tingkatan ilegal hanya digunakan sebagai gambaran umum tentang senajat kecil kaliber ringan ilegal. Pada kasus Indonesia akan dipaparkan tentang pola penyelundupan dan peredaran senjata api ilegal. Pemaparan dalam kasus Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan gambaran umum tentang peredaran senjata api ilegal secara global, mengingat hal ini juga menjadi masalah bersama komunitas internasional melalui PBB dengan program implementasi pengaggulngan SKKR-nya.

A. Gambaran Umum SKKR Ilegal di Dunia Sebuah konsekuensi yang tidak terelakkan dari Perang Dunia I ialah berlebihnya kapasitas industri di segala bidang yang berhubungan dengan produksi orang di Eropa dan Amerika Utara, termasuk produksi senjata kecil kaliber ringan (SKKR). Pada saat sektor-sektor industri militer lainnya tengah berjuang, para produser SKKR menghadapi beberapa beban tambahan dalam

21

menyesuaikan produksi senjata yang ditujukan bagi pasar warga sipil. Senjatasenjata dibeli saat fase-fase awal dari kelebihan produksi ini yang kemudian dalam jumlah besar keluar dari jalur pasar legal. Surplus senjata yang berasal dari Perang Duni II juga tampaknya mengarah pada penyebaran yang bersifat illegal. Sumber-sumber tambahan dari senjata yang telah dibeli, sebagai sebuah bentuk pengelakan hukum yang tadinya relatif mudah bahkan negara-negara dengan persyaratan registrasi seolah-olah merupakan perintah,sebelum reformasi hukum pada tahun 1970an menjadikan pengelakan lebih sulit. Sejak saat itu, kebangkitan pasar informal (seperti pasar gelap, kebocoran sistem pengadaan senjata militer, penyelundupan dan transaksi pribadi berskala kecil) kemudian muncul sebagai persoalan dimana-mana1. Diperkirakan terdapat 693 juta SKKR dalam sirkulasinya di dunia. Senjata-senjata ini diproduksi di lebih dari 90 negara dan lebih dari 1200 perusahaan secara international terlibat di beberapa aspek perdagangan SKKR. Pasar SKKR illegal di seluruh dunia diperkirakan bernilai $ 4 Milyar dan pasar illegal diperkirakan nilainya mencapai $ 1 Milyar. Beberapa negara exporter terbesar SKKR di seluruh dunia, diantaranya Russia, Amerika Serikat, Italia, Jerman, Belgia dan China. Sedangkan negara-negar importer terbesar diantaranya temasuk Amerika Serikat, Arab Saudi, Siprus, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan
1 Small Arm Survey, Small Arms, Big Business: Products and Producers, diakses dari http://www.smallarmssurvey.org/fileadmin/docs/A-Yearbook/2001/en/Small-ArmsSurvey-2001-Chapter-01-EN.pdf, pada 10/10/12

Kanada2. Persoalan SKKR belum mendapatkan perhatian akademis seperti halnya persoalan yang terkait dengan proliferasi nuklir. Hal ini mungkin dikarenakan melihat penyebaran dan karakteristik umum dari senjata ini, SKKR jauh melebihi senjata jenis lain yang berjenis nuklir, kimia, atau senjata biologis. Small Arms Survey, sebuah organisasi yang meneliti dan melaporkan seputar isu senjata ini setiap tahunnya memperkirakan 300.000 orang tewas setiap tahun oleh senjata ini,sekitar sepertiga datang dari konflik dan sisanya yang merupakan pembunuhan dan tindakan bunuh diri juga dilakukan oleh senjata ringan berkaliber kecil (SKKR). Korban yang berhasil bertahan dari luka-luka yang mereka alami tetap hidup dengan kondisi yang memilikan. Dampak yang besar ini membuktikan bahwa SKKR merupakan senjata pemusnah massal yang sebenarnya. SKKR sangat tepat jika disebut sebagai senjata penghancur manusia (individual destruction) karena setiap tahunnya terdapat ratusan ribu manusia meninggal dan terluka parah akibat penggunaan senjata ini baik dalam daerah konflik maupun daerah non-konflik. Dampak buruk proliferasi dan

penyalahgunaan SKKR tidak hanya dibatasi zona konflik saja. Pembangunan ekonomi juga sering terkena pengaruh buruk dari adanya kekerasan dan kriminalitas yang kebanyakan dilakukan dengan SKKR. Kekerasan SKKR juga merampas hak masyarakat dan kelangkaan sumber layanan kesehatan, dan
2 Small Arm Survey, Ibid

23

menghambat peluang bagi investasi dan pembangunan kembali selepas masa konflik3. SKKR juga merupakan jenis senjata pilihan bagi sejumlah besar kelompok ekstrim dan separatis, yang menggunakannya untuk melakukan penyerangan mulai dari pembunuhan pegawai pemerintah sampai kepada penurunan tumpuk pemerintahan. Dalam pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia maupun Hukum Kemanusiaan Internasional (International Humanitarian Law), pihak yang berperang di banyak daerah konflik sekarang ini menjadikan masyarakat sipil sebagai target. Masyarakat sipil, terutama yang kedudukannya paling lemah, adalah kelompok yang menderita dampak terparah akibat konflik-konflik tersebut. Organisasi-organisasi kemanusiaan dan pasukan penjaga perdamaian melihat upaya untuk mencapai target mereka menyelamatkan jiwa di wilayah yang terkena wabah SKKR merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan, bahkan hampir tidak mungkin. Pada dasarnya jumlah tebesar SKKR pada pasar gelap sebelumnya diproduksi dan diperdagangkan secara legal sampai kemudian beralih kepada pasar gelap (illegal). Terdapat tujuh jalur utama dimana peralihan ini terjadi4: 1. Metode pertama dan yang paling banyak dilakukan berhubungan dengan pengapalan produksi senjata-senjata legal secara langsung
3 Small Arm Survey, Ibid 4 Stohl, Rachel, The Tangled Web of Illicit Arms Trafficking, dapat diakses di http://www.cdi.org/pdfs/terrorinshadows-sthol.pdf, pada 10/10/2012

menuju dan melalui negara-negara terlarang. Anggota panel PBB yang memberikan sanksi terhadap Angola dan Liberia berhasil menemukan sejumlah pelanggaran atas embargo senjata, baik oleh para negara pemasok maupun pihak yang memperbolehkan senjata-senjata ini diangkut melalui wilayah mereka. Petugas pemerintah menerima suapan sebagai ganti ijin ekspor bagi kelompok-kelompok tertentu termasuk juga layanan-layanan lainnya. Membayar uang pelicin sudah menjadi suatu kebiasaan di negara-negara dimana para petugas pemerintah menerima gaji yang kecil bahkan di luar upah standart. 2. Rendahnya pemasokan dalam sistem pemasokan (stockpile) dan manajemen mengakibatkan persenjataan milik pemerintah menjadi rentan diselundupkan 3. Persenjataan milik negara dapat dijarah selama masa ketidakstabilan berlangsung. Sebagai contoh, pada tahun 1997, lebih dari setengah juta senjata dicuri dari persenjataan militer Albania. Senjata-senjata ini dengan cepat menyebar sampai melewati Balkan. 4. Senjata-senjata ini hilang begitu saja dari tangan para prajurit. Dari Amerika Serikat sampai Filipina, senjata-senjata ini secara kebetulan berpindah tempat dan tidak terhitung. Diperkirakan satu juta senjata jenis SKKR hilang dan terbesar di seluruh dunia setiap tahunnya dan

25

seringkali berakhir di pasar gelap. 5. Para petugas militer (prajurit) bisa saja menjual senjata milik mereka untuk mendapatkan uang. Di negara-negara dimana prajuritnya tidak dibayar dengan pantas, terdapat kelebihan senjata yang belum dikumpulkan dari stok militer, atau prajurit yang merasa simpati terhadap kelompok pemberontak, senjata bisa saja dijual untuk sejumlah uang. Beberapa dokumen menunjukkkan kasus dimana petugas-petugas militer Israel menjual senjata 6. Senjata-senjata ini juga sering kali dicuri dari pemilik legal sekaligus juga pemilik illegal. Pemilik-pemilik senjata ini merupakan sasaran empuk bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan senjata secepat mungkin. Perampokan senjata dalam skala kecil saja mampu memasukkan senjata senilai setengah juta US dollar ke dalam pasar gelap setiap tahunnya. 7. Hukum (peraturan) pembelian domestik memfasilitasi masuknya SKKR ke dalam pasar gelap. Di negara-negara dimana tidak ada batasan tentang berapa banyak senjata yang bisa dimiliki oleh seseorang secara legal pada saat yang sama, fenomena straw purchasing menjadi sebuah hal yang umum terjadi.

Inti persoalan dalam isu ini ialah perdagangan global SKKR yang terus meningkat dan secara umum tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tidak terdapatnya aturan standar yang dapat diterima secara universal dan mengikat secara hukum yang memampukan setiap negara untuk mencegah perdagangan senjata illegal. Kewajiban untuk mengontrol perdagangan senjata terletak pada pemerintah yang dituntut baik dari segi niat baik maupun kemampuan untuk beraksi dalam level pemerintahan jika peraturan yang efektif harus ditetapkan. Rejim ekspor dalam level nasional sering kali menunjukan kekurangan akibat celah-celah peraturan yang mengijinkan transfer kepada pihakpihak yang tidak bertanggungjawab atau kurangnya hukum terkait dengan larangan perdagangan senjata. Perjanjian-perjanjian regional yang mencakup perdagangan senjata berlisensi, seperti European Union Code of Conduct on Arms Export hanya dapat memberikan rekomendasi kepada masing-masing pemerintah. EU Code hanya menyarankan kriteria yang tepat bagi negara yang telah menandatangani perjanjian tersebuit untuk mempertimbangkan tindakan mereka saat memberikan jaminan lisensi ekspor kepada pengusaha senjata, tetapi gagal untuk mencegah bentuk transfer yang berakhir di tangan para pelanggar HAM. Kesepakatan dan perjanjian internasional yang ada hanya meminta pemerintah beraksi untuk mengawasi transfer senjata di masa mendatang agar tidak keluar kontrol dan

27

mengajukan pengawasan terhadap senjata yang sudah terlanjur menyebar di pasaran. Sebuah aspek penting dan krusial dalam menangani perdagangan senjata ilegal harus mencakup pemberantasan atau paling tidak mereduksi permintaan akan senjata. Perkembangan yang terjadi selama dasawarsa 1990an mendorong masyarakat internasional untuk meninjau kembali rezim pelucutan dan pengawasan senjata, dan ini memungkinkan muculnya isu SKKR sebagaimasalah kebikajan multilateral. Adanya perubahan yang paling signifikan ialah perubahan dalam matriks konflik selama masa Perang Dingin dimana konfik internal dan komunal mulai memiliki profil yang lebih tinggi dibandingkan dengan konflik antar negara. Konflik komunal bukanlah gejala yang sama sekali baru, tetapi karena profil mereka yang semakin meningkat berarti perhatian yang lebih besar harus diberikan kepada persoalan SKKR ini. Selain itu, perdagangan global yang semakin bebas dan konsekuensinya berupa menurunnya pengawasan oleh Pabean serta perkembangan cara-cara untuk menutupi perdagangan internasional illegal seperti melalui pencucian uang telah membuka peluang besar bagi lalu lintas senjata sebagai komoditas yang menguntungkan.

B. Peredaran SKKR Melalui Broker Senjata Ilegal Semasa Perang Dingin berlangsung, pemerintah-pemerintah

memanfaatkan pialang senjata swasta untuk memfasilitasi perjanjian dagang senjata tertutup (rahasia). Namun sepetinya para penjual senjaga ilegal (arms trafficksers) itu tidak hilang begitu saja setelah perang Dingin berakhir, dan jalur (jaringan) yang mereka kembangkan tetap beroperasi sampai saat ini. Sebagai tambahan lebih dari 15 tahun terakhir ini, pasar gelap dunia sama halnya pasar legal telah meningkat secara global. Dan sebagaimana sejumlah metode transportasi barang-barang dari satu tempat ke tempat lain telah semakin terintegrasi, para pedagang gelap ini menjadi cukup mahir dalam memanfaatkan jaringan yang ada untuk tujuan-tujuan ilegal5. Dalam usaha untuk mengangkut produk mereka tanpa deteksi pihak berwenang, para pialang ini begantung pada courterfiet document (dokumen yang memiliki kekuatan hukum diperoleh dari hasil penyuapan) dan petugas yang korupsi. Mereka mengangkut senjata-senjata tersebut mengguankan dokumen tadi (seperti sertifikat palsu yang sudah habis masa berlakunya, daftar cargo yang belum lengkap, dan bills of lading) dan menjalankan proses pengangktuan (baisanya mengguankan kalap) ke berbagai negara seperti layaknya kapal biasa. Mereka bahkan seringkali menyamarkan pengapalan senajga-senjata tersebut sebagai bantuan kemanusiaan dan suplai barang-barang lainnya6.
5 United Nations Institue for Disarmament Research (UNIDIR) Report 2006, Developing a Mechanism to Prevent Illicit Brokering in Small Arms and Light Eeapons : Scope and Implicaiton. 6 Small Arm Survey, Small Arms, Big Business: Products and Producers, diakses dari http://www.smallarmssurvey.org/fileadmin/docs/A-Yearbook/2001/en/Small-Arms-

29

Para ahli yakin, bahwa hari-hari dimana hanya prajurit veteran, mantan eksekutif perusahaan senjata, mantan intel, atau bahkan jurnalis (wartawan) perang saja yang dinamakan broker senjata telah lewat masanya. Sekarang muncul generasi muda dealer senjata yang menghabiskan seluruh hidup mereka mempelajari dan memahami bagian tersulit dari metode-metode pasar bebas dan memakai teknologi-teknologi terbaru. Persoalan menyangkut kurangnya regulasi terhadap penjualan senjata termasuk kosnistensi pelaksanaanya terlihat sangat jelas. Para broker senjatasenjata ini diketahui telah banyak melalukan transaksi dan transfer senjata ilegal kepada para aktor yang berada di daerah konflik ataupun di daerah yang terkena embargo senjata. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjalin hubungan dagang dengn pelanggar berat HAM. Proses transfer senjata dan amunisi yang dilakukan secara ilegal yang pada umumnya berada pada kategori senjata ringan kaliber kecil atau SKKR ini tidak hanya dapat menciptakan pelanggaran besarbesaran terhadap Hak Asasi Manusia dan International Humanitarian Law, tetapi juga dapat menghambat prospek terciptanya kondisi damai yang stabil dari konflik dan pembangunan berkelanjutan. Ketidakadaan kontrol yang ketat terkait dengan peraturan-peraturan yang berlaku selama ini membuat tanggungjawab atas pengaturan dan fasilitas transfer senjata menjadi lebih sulit. Secara umum, arms brokers dapat diartikan sebagai pihak penengah yang
Survey-2001-Chapter-01-EN.pdf, pada 10/10/12

mengatur proses transfer senjata antara dua atau lebih pihak. Intinya, para broker ini menyatukan para pembeli, penjual, transporter, pihak keuangan dan asuransi untuk membuat sebuah perjanjian dagang. Lebih khusus lagi, broker menunjukkan tujuah aktivitas utama untuk memfasiliasi perjanjian dagang yaitu7: 1. Mengidentifikasi pembeli dan penjual yang potensial 2. Menawarkan saran/petunjuk secara teknis, misalnya dalam hal sistem senjata, bentuk transportasi, dan general features dan perjanjian dagang tadi 3. Identifikasi tipe dan kuantitas dari senjata yang dibutuhkan, termasuk soal harga dan cara pembayaran 4. Proses mediasi dan negoisasi 5. Menyusun sistematika keuangan bagi terealisasinya transaksi-transaksi yang relevan 6. Menyiapkan dokumen yang dibutuhkan, termasuk serifikat pengguna terakhir dan ekspor-impor 7. Mengatur transportasi dari senjata yang telah dipesan

Aktivitas-aktivitas ini seara umum dibagi dalam dua kategori utama. Di kategori pertama, terkenal dengan core brokering acitivy yakni mediasi perjanjian
7 Small Arm Survey, Small Arms, Big Business: Products and Producers, diakses dari http://www.smallarmssurvey.org/fileadmin/docs/A-Yearbook/2001/en/Small-ArmsSurvey-2001-Chapter-01-EN.pdf, pada 10/10/12

31

penjualan dan pembelian senjata dimana para broker ini bisa masuk atau tidak ke dalam pemilikan langsung senjata-senjata yang mereka jual, walaupun seringkali mereka lebih memilih untuk tidak masuk dalam wilayah pemilikan senjata-senjata tersebut. Di kategori kedua disebut dengan associated activities termasuk di antaranya transportasi, keuangan, asuransi, dan pengadaan layanan teknis. Patut dicatat bahwa ketika sampai pada level kebijakan, perbedaan mencolok antara core brokering acitivies, dengan associated brokering acitivies bisa jadi tidak sesuai kepada perbedaan aktivitas-aktivitas para broker tersebut. Dalam hal ini, pengawasan pedagangan yang relevan harus dibawa ke dalam ruang lingkup yang lebih besar guna mencegah agen-agen ilegal ini memanfaatkan celah hukum yang tercipta oleh pengertian restriktif dari aktivitas yang terkontrol. Jika melihat keseluruhan aktivitas yang dijalankan para broker ini, maka dapat disimpulkan bahwa mereka secara umum tidak terjangkau oleh hukum yuridis nasional. Berkebalikan dengan aktor penting lainnya dalam perdagangan senjata, seperti para importer dan eksporter, broker beroperasi di wilayah hampa hukum yang dapat, dan telah dimanfaat untuk menampilkan transfer senjata kepada pengguna ilegal. Para pengguna ini sudah termasuk negara-negara di bawah sanksi embargo nasional dan internasional, aktor-aktor non negara bersenjata, negara-negara yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM dan standar hukum

kemanusiaan, seperti halnya dengan penerima senjata di wilayah rawan konflik. Sebuah argumen yang sering disuarakan dalam forum-forum diskusi internasional menyatakan bahwa kontrol (pengawasan) terhadap aktivitas para broker ini tidak diperlukan, karena aktivitas yang dirancang untuk mengontrol para broker ini secara implisit telah termasuk dalam peraturan ekspor senjata. Para broker ini, ternyata sangat bergantung penuh pada perjanjian yang disebut dengan third coutnry brkering deals. Dalam perjanjian-perjanjian dagang ini, senjata yang telah ditransfer tidak dieskpor, diimpor atau ditransit melalui negara tempat para broker ini beroperasi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, senjata yang ditransfer tidak perlu memasuki wilayah kepemilikan senjata broker-broker8. Sebagai konsekuensinya, bahkan jika negara-negara mampu melakukan kontrol secara ketat terhadap transfer SKKR yang melewati wilayah atau kepemilikan personal di bawah jurisdiksi mereka, broker-broker ini pada umumnya tidak akan dititupi oleh regulasi terkait. Bahkan sebenarnya, celah ini lah yang biasanya dipakai oleh para broker-broker tersebut. Lebih lagi, negaranegara tanpa kontrol nasional dalam resiko aktivitas pedagangan dengan negara pihak ketiga menjadi dasar operasional yang menarik bagi agen-agen yang berharap dapat menghindari tipikal pemeritahan dengan pengawasan yang baik di setiap aktivitas perdagangan mereka.
8 Small Arm Survey, Arms Brokering: Taking Stock and Moving Forward the United Nations Process, diakses dari http://www.grippubclications.eu/pub/rapports/rg05-hs_courtage.pdf, pada 10/10/2012

33

Ada begitu banyak contoh dimana para broker ini tinggal di satu negara dan memfasillitasi perjanjian dagang antara warga yang berasal dari dua negara yang berbeda. Salah satunya yang saling terkenal ialah broker senjata asal Ukraina berkebangsaan Israel, Leonid Minin. Minin sudah terkenal sebagai buron oleh Kepolisian Italia dan Belgia karena aktivitas perdagangan senjatanya yang lintas batas negara bahkan lintas batas benua, jumlah pengiriman senjata yang mencapai ratusan ton, dan keberadaanya yang sulit dilacak, serta sulitnya menjerat Minin ke dalam sanksi perdagangan ilegal karena ketidakan hukum yang memadai untuk menangani aktivitas ilegalnya yang lintas negara (kedaulatan). Tidak hanya itu, aktivitas perdagangan senjata ilegal Minin juga mampu menembus angka jutaan dalam Amerika. Melalui perannya sebagai Makelar, Minin berhasil mempersenjati baik aktor negara maupun non negara di daerahdaerah konflik seperti Liberia dan Sieera Leone, yang kemudian seperti banyak diketahui disalahgunakan untuk kebutuhan perang9. Contoh lain misalnya pada bulan April 2006, dua WNI juga di tahan oleh pihak berwenang AS untuk tuduhan yang sama. Para broker senjata yang berjumlah 4 orang yakni Hadianto Djoko Djuliarso dan Ignatius Fernandus Soeharli (keduanya WNI) serta Brahim bin Amran (kebangsaan Singapura) dan David Beecroft (kebangsaan Inggris) dituduh telah melanggar tiga peraturan
9 United Nations Institue for Disarmament Research (UNIDIR) Report 2006, Developing a Mechanism to Prevent Illicit Brokering in Small Arms and Light Eeapons : Scope and Implicaiton.

perundangan AS. Pertama, undang-undang tentang pencucian uang. Kedua, tentang konspirasi melawan hukum AS. Dan yang ketiga, undang-undang tentang ekspor senjata. Rincian pesanan mereka berkisar : 245 rudal Sidewinder (AIM 9P2 dan AIM 9P-4), 882 unit senapan mesin MP5, 800 pistol kaliber 9 mm, 16 senapan sniper (semuanya merek Heckler & Koch), dan 5.000 butir amunisi senjata otomatis yang nantinya akan dikapalkan ke Indonesia melalui Singapura10.

C. Peredaran Senjata Kecil Kaliber Ringan di Indonesia Jika melihat catatan laporan dari ICG pada Agustus 2010 tentang senjata ilegal di Indonesia, sumber dari peredaran senjata secara umum dapat dilacak dari dua sumber yaitu luar dan dalam negeri.11 Dari segi sumber dalam negeri, senjatasenjata tersebut bersala dari kepemilikan Polri dan TNI yang peredarannya disebabkan oleh penjualan oleh oknum dalam institusi tersebut maupun dirampas oleh pelaku kejahatan. Namun, yang menjadi sorotan dari ICG terutama adalah maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam tubuh institusi tersebut sehingga menyebabkan maraknya penjualan senjata secara ilegal. Sumber lain juga bisa berasal dari kelompok sipil, khususnya pembuatan senjata ilegal yang sering digunakan dalam tindak kejahatan serta separatisme sperti di Aceh dan

10 Majalah Gatra Edisi 23, Senin, 17 April 2006, Pesan Sembarang, Kau Kutahan. 11 ICG Policy Briefing, Illicit Arms in Indonesia, Jakarta 6 September 2010. Dapat diakses di www.crisigroup.org

35

Papua12. Dari segi sumber luar negeri, senjata-senjata tersebut diselundupkan dari wilayah-wilayah konflik seperti di Mindanao, Filipina Selatan dan Pattani Thailand Selatan. Senjata-senjata tersebut membanjiri daerah-daerah konflik di Indonesia seperti Aceh, Maluku, Poso bahkan ke daerah-daerah yang tidak terkena konflik komunal di Pulau Jawa seperti yang terungkap pada penangkapan teroris di Solo dan Depok. Ancaman yang ditimbulkan dari peredaran senjata ini adalah gerakan disintergarasi dan separatisme serta terorisme. Indonesia pantas meresponya dengan segala upaya agar tetap terjaganya keutuhan bangsa dan negara. Hal ini sejalan dengan yang dipaparkan oleh Kemenlu di atas di mana Indonesia sangat berkepenting dalam meredam laju peredaran senjata kecil dan kaliber ringan ilegal.
Gambar I. Pola penyelundupan SKKR ilegal di Indonesia dan aktor-aktor yang terlibat13

12 Ibid. 13 Rachmanto, Anggi Setio, Pola Penyelundupan dan Peredaran Senjata Api Ilegal di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia vol. V, no. 2 Agustus 2009, hal. 31-46

Di sisi lain, kepemilikan senjata legal juga perlu mendapat sorotan. Hal ini karena senjata legal sangat berpotensi untuk menjadi ilegal dalam

penggunanannya maupun pemindahtanganannya. Estimasi yang beredar hingga pertengahan tahun 2007 saja sebanyak 18.000 pucuk senjata api dimiliki perorangan di Indonesia. Jenis senjata api sekitar 5.000 pucuk, gas atau hampa 3.000 pucuk dan terbanyak jenis peluru karet mencapai 11.000 pucuk. Walaupun senjata tersebut dimiliki secara legal, tetap saja memiliki potensi negatif yang cukup membahayakan bagi keamanan negara14. Tabel I. Jenis Senjata Yang Sering Diselundupkan15
14Tempo Interaktif, Ada 18 Ribu Senjata Api Milik Perorangan, diakses dari http://www.tempointeraktif.com, pada 10/10/2012 15 Rachmanto, Anggi Setio, Pola Penyelundupan dan Peredaran Senjata Api Ilegal di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia vol. V, no. 2 Agustus 2009, hal. 31-46.

37

Dari segi penyelundupan senjata, menurut Rachmanto, setidaknya ada dua permasalahan utama yag dihadapi Indonesia. Pertama, belum adanya penetapan peraturan yang jelas mengenai batas wilayah Indonesia, terutama untuk wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga. Kedua, tidak adanya wewenang yang jelas dalam pengelolaan perbatasan negara Indonesia dengan negara lainnya, sehingga kondisi perbatasan perbatasan Indonesiasaat ini berada dalam tahap kritis terutama dari stabilitas keamanan. Senjata-senjata api ini kemudian banyak digunakan dalam konflik-konflik dalam negeri16.
16 Rachmanto, Anggi Setio, Pola Penyelundupan dan Peredaran Senjata Api Ilegal di Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia vol. V, no. 2 Agustus 2009, hal. 31-46.

Penyelundupan senjata selama ini dilakukan oleh para teroris, broker, penjahat-penjahat trans-nasional dan kelompok-kelompok tertentu. Mereka menyelundupkan senjata ini dan bahan peledak lainnya dalam jumlah besar dari Selatan Filipina dan Malaysia melalui General Santos, Tawi-tawi, Sandakan, Tawau, Nunukan dan Palu. Investigasi terhadap kasus pemboman Christmas Island pada tahun 2000 memunculkan bahwa para pelaku kejahatan ini menggunakan rute lain, yakni dari Johor, Tanjung Pinang dan Batam17.
Gambar II. Jalur Peredaran SKKR ilega di Asia Tenggara18

17 National Report by the Government of Indonesia on the Implementation of The United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons. Dapat diakses di http://disarmament.un.org/cab/nationalreports/2005/Indonesia.pdf 18 Veronika, Nuri Widiastuti, Kebijakan Pengaturan Small Arms and Light Weapons (SALW) di Indonesia, Jurnal Pertahanan September 2012, Volume 2, Nomor 3

39

Di sisi lain, selama kurun waktu tahun 2010-2012, jajaran Polda Aceh telah berhasil mengakumulasi sekitar 900 senjata api ilegal dari berbagai jenis, 20.000 butir amunisi dan 33 paket bahan peledak. Temuan terbanyak sebelumnya hanya berkisar antara tiga sampai empat pucuk. Kejadian yang terbaru misalnya pada tanggal 16 Oktober 2012, dilaporkan bahwa Polisi mengamankan sebelas pucuk senjata laras panjang M-16 A1, 3 pucuk laras panjang AK-56, satu laras panjang pelontar GLM beserta empat amunisinya, 23 magasin AK-56, 26 magasin pendek M-16, 15 magasin panjang M-16 dan 26 butir amunisi aktif. Seluruh temuan itu diakui sebagai senjata peninggalan masa konflik di Aceh19. Sebagai kesimpulan, peredaran SKKR ilegal memang menyangkut banyak actor dengan berbagai motif. Keberadaan wilyaha-wilayah konflik, tidak saja di Indonesia seperti Aceh, Papua serta Poso, tapi juga wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara seperti Thailand Selatan dan Filipina Selatan menjadikan permasalahan SKKR ilegal lebih rumit. Dalam hal ini, kebijakan yang komprhensif harus diambil oleh Indonesia tidak saja dalam lingkup dalam negeri tetapi juga kerjasama keamanan antar-negara. Dua permbahasaan yang menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia itu akan dibahas dalam bab selanjutnya.

19 www.analisadaily.com, Temuan Senjata di Bireuen Terbesar di Aceh, diakses dari http://www.analisadaily.com/news/read/2012/10/16/81387/temuan_ senjata_di_ bireuen_terbesar_di_aceh/#.UIE966CGfMw, diakses pada 17/10/2012

41

You might also like