You are on page 1of 11

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Emergency

Disusun Oleh : Livia Baransyah 0810720043

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA A. DEFINISI Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008). Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008)
B. ETIOLOGI Cedera kepala disebabkan oleh a. Kecelakaan lalu lintas b. Jatuh c. Trauma benda tumpul d. Kecelakaan kerja e. Kecelakaan rumah tangga f. Kecelakaan olahraga g. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
C. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004). a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu 1) Cedera kepala tumpul. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak. 2). Cedera tembus. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004) b. Berdasarkan morfologi cedera kepala. Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi 1). Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak. 2). Fraktur tulang kepala Fraktur pada tulang tengkorak 3). Cedera kepala di area intrakranial. Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus. 1). Cedera otak fokal yang meliputi a). Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) b). Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut. c). Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik d). Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) e). Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH) 2). Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011) Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi . a). Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI b). Kontsuio cerebri c). Edema cerebri d). Iskemia cerebri MANIFESTASI KLINIS Cedera kepala yang sudah di uraikan di atas menurut (Judikh Middleton, 2007) akan menimbulkan gangguan neurologis / tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi a. Lobus frontal atau bagian depan kepala dengan tanda-tanda 1). Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan) a) Ketidakmampuan untuk melkukan gerakan rumit yang di perlukan untuk menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi b). Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain c). Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir d). Ketidakmampuan fokus pada tugas e). Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional) f). Perubahan dalam perilaku sosial g). Perubahan dalam personalitas h). Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memory) b. Lobus parietal, dekat bagian belakang dan atas dari kepala 1). Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang bersamaan 2). Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)

3). Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia) 4). Gangguan dalam membaca (alexia) 5). Kesulitan menggambar obyek 6). Kesulitan membedakan kiri dan kanan 7). Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia) 8). Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang memicu kesulitan dalam perawatan diri 9). Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan 10). Kesulitan koordinasi mata dan tangan c. Lobus oksipital, area paling belakang, di belakang kepala 1). Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang) 2). Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan 3). Kesulitan mengenali warna (aknosia warna) 4). Teriptanya halusinasi 5). Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek 6). Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata 7). Kesulitan mengenali obyek yang bergambar 8). Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek 9). Kesulitan membaca dan menulis d. Lobus temporal : sisi kepala di atas telinga 1). Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia) 2). Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke) 3). Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar 4). Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek 5). Hilang ingatan jangka pendek 6). Gangguan memori jangka panjang 7). Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual 8). Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi) 9). Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten 10). Peningkatan perilaku agresif e. Batang otak : dalam di otak 1). Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato 2). Menelan makanan dan air (dysfagia)

3). Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan 4). Masalah dalam keseimbangan dan gerakan 5). Sakit kepala dan mual (vertigo) 6). Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur) f. Cerebellum : dasar otak 1) Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus 2) Kehilangan kemampuan berjalan 3) Ketidakmampuan meraih obyek 4) Bergetar (tremors) 5) Sakit kepala (vertigo) 6) Ketidakmampuan membuat gerakan cepat

d. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya. Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi 1). Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 15. 1. Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
2. Tidak ada kehilangan kesadaran 3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang 4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing 5. Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala 6. Tidak adanya criteria cedera kepala sedang-berat 2). Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 13. Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan. a). Amnesia paska trauma b). Muntah c). Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal) d). Kejang 3). Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8. a). Penurunan kesadaran sacara progresif b). Tanda neorologis fokal c). Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)

Patofisiologi cedera kepala Menurut Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan permeabilitas faskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis. Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.

Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan Diagnostik: a) CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang. d) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. e) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

Penatalaksanaan Cedera Kepala Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit (Fauzi,2002). Untuk penatalaksanaan cedera kepala menurut (IKABI, 2004) telah menempatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu cedera kepala ringan,cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Penatalaksanaan penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-13 meliputi ; Anamnesa penderita yang. terdiri dari; nama,umur,jenis kelamin, ras, pekerjaan. b. Mekanisme cedera kepala.

c. Waktu terjadinya cedera. d. Adanya gangguan tingkat kesadaran setelah cedera. e. Amnesia : retrogade, antegrade. f. Sakit kepala : ringan, sedang, berat g. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik h. Pemeriksaan neurulogis secara periodik. i. Pemeriksaan CT scan kepala. j. Penderita dilakukan rawat inap untuk observasi. k. Bila kondisi penderita membaik (90%). penderita dapat dipulangkan dan kontrol di poliklinik. l. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan protokol cedera kepala berat. Cedera kepala sedang walaupun masih bisa menuruti perintah sederhana masih ada kemungkinan untuk jatuh ke kondisi cedera kepala berat. Maka harus diperhatikan dan ditangani secara serius. Penatalaksanaan cedera kepala sedang adalah untuk mencegah terjadinya cedera kepala sekunder oleh karena adanya massa intrakranial atau infeksi intrakranial. Penderita yang setelah lewat 24 jam terjadinya trauma kepala, meskipun keadaan stabil harus dilakukan perawatan untuk keperluan obserfasi.(Markam S, Atmadja, Budijanto A, 1999). Observasi bertujuan untuk menemukan sedini mungkin penyulit asau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala. (Hidajat, 2004). Untuk melakukan observasi pada panderita cedera kepala digunakan metode glasgow coma scale (GCS).
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa: A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15) Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis: 1. Simple head injury (SHI) Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran. 2. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI. B. Pasien dengan kesadaran menurun 1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut: a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera

organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral 3. Cedera kepala berat (CGS=3-8) Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah: o Jalan nafas (Air way) Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan o Pernafasan (Breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator. o Sirkulasi (Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah b. Pemeriksaan fisik Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya. c. Pemeriksaan radiologi Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK) Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut: 1. Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang

terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom 2. Drainase Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus 3. Terapi diuretik o Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm o Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv 4. Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari. 5. Streroid Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala 6. Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar. e. Keseimbangan cairan elektrolit Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada

keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah. f. Nutrisi Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari g. Epilepsi/kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang. Pengobatan: o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang Komplikasi sistematik o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker. o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.

Komplikasi Cedera Kepala Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi a. Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah

masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh. b. Kejang/Seizure Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy c. Infeksi Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain. d. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran. e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

You might also like