You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, dengan kemampuan
untuk memulai pengolahan informasi penglihatan sebelum informasi tersebut ditransmisikan
melalui nervus opticus ke korteks visual. Retina yang sehat dan intak merupakan kunci dari
penglihatan yang jernih.
Ablasio retina (retinal detachment) mengarah pada terpisahnya lapisan fotoreseptor
retina dari lapisan epitel pigmen retina di bawahnya. Ablasio retina ini merupakan salah satu
keadaan emergensi yang memerlukan penanganan yang cepat. Ablasio retina lebih besar
kemungkinannya terjadi pada orang yang menderita rabun jauh (miopia) dan pada orang orang
yang anggota keluarganya pernah mengalami ablasio retina. Ablasio retina dapat pula
disebabkan oleh penyakit mata lain, seperti tumor, peradangan, akibat trauma atau sebagai
komplikasi dari diabetes mellitus. Bila tidak segera dilakukan tindakan, ablasio retina dapat
menyebabkan cacat penglihatan atau kebutaan yang menetap.

1.2 Batasan Masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada anatomi retina, fisiologi retina, defenisi dan
klasifikasi ablasio retina, diagnosis ablasio retina, penatalaksanaan ablasio retina, komplikasi dan
prognosis ablasio retina.

1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang ablasio
retina.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina
Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang terdiri atas beberapa lapisan yang
melapisi bagian dalam dua pertiga belakang bola mata. Retina membentang ke depan hampir
sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora serrata.



Gambar 1. Anatomi retina

Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut:
1. Membran limitans interna, merupakan membrane hialin antara retina dan vitreus
2. Lapisan serabut saraf, yang merupakan akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju nervus opticus
3. Lapisan sel ganglion
4. Lapisan pleksiform dalam, yang merupakan sambungan sel ganglion, dengan sel
amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam, merupakan badan-badan sel bipolar, amakrin dan horizontal
6. Lapisan pleksiform luar, merupakan sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan
fotoreseptor
7. Lapisan inti luar, merupakan lapisan inti sel fotoreseptor (sel kerucut dan sel batang)
8. Membrane limitans eksterna, merupakan membrane ilusi
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar sel batang dan kerucut.
10. Lapisam epitel pigmen retina, merupakan batas antara retina dengan koroid. Lapisan
membrane Bruch sebenarnya Merupakan membrane basalis epitel pigmen retina.
Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar
membrane Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, serta cabang-cabang dari arteria centralis
retinae, yang mendarahi dua pertiga dalam retina. Fovea seluruhnya diperdarahi oleh
koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami
ablasi.

Gambar 2. Gambar retina normal
2.2 Fisiologi Retina
Fungsi utama mata adalah untuk memfokuskan berkas cahaya dari lingkungan ke sel-sel
batang dan kerucut, sel fotoreseptor retina. Fotoreseptor kemudian mengubah energi menjadi
sinyal listrik untuk disalurkan ke SSP. Retina terdiri dari bagian pigmen retina dan bagian saraf
retina. Bagian pigmen retina terdiri dari selapis sel epitel. Lapisan sel-sel ini mengandung
pigmen melanin, dan bersama-sama dengan pigmen di koroid mempertajam penglihatan dengan
cara menyerap cahaya setelah cahaya mengenai retina untuk mencegah pemantulan dan
penghamburan cahaya di dalam mata. Cahaya harus melewati lapisan ganglion dan bipolar
sebelum mencapai fotoreseptor di semua daerah retina kecuali fovea yang terletak tepat di tengah
retina.
2.3 Ablasio Retina
2.3.1 Defenisi dan Klasifikasi Ablasio Retina
Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan retina sensorik, yakni lapisan
fotoreseptor dan jaringan bagian dalam, dari epitel pigmen retina di bawahnya. Terdapat tiga
jenis utama: ablasi regmatogenosa, ablasi traksional, dan ablasi eksudatif (serosa atau
hemoragik).
1
a) Ablasio Retina Regmatogenosa
Merupakan bentuk tersering dari ablasio retina. Ablasio retina regmatogenosa terjadi
akibat adanya robekan di retina sehingga cairan vitreus masuk ke belakang antara sel epitel
pigmen retina dengan retina sensorik. Terjadi pendorongan retina oleh cairan vitreus yang
masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan
retina dan terlepas dari lapisan epitel pigmen. Ablasio retina regmatogenosa spontan biasanya
didahului atau disertai oleh pelepasan vitreus posterior dan berhubungan dengan myopia
tinggi, afakia, degenerasi lattice, dan trauma mata.

Gambar 3. Robekan pada retina yang menyebabkan ablasio retina regmatogenosa

Gambar 4. Gambaran funduskopi pada ablasio retina regmatogenosa
b) Ablasio Retina Akibat Traksi
Ablasio retina ini terjadi akibat adanya perlengketan antara vitreus dengan retina.
Pelengketan tersebut menyebabkan penarikan retina sensorik sehingga terlepas dari lapisan
epitel pigmen retina di bawahnya. Ablasio retina akibat traksi adalah jenis tersering pada
retiopati diabetik proliferatif. Kelainan ini juga dapat menyertai vitreoretinopati proliferatif,
retinopati prematuritas, atau trauma mata.
Dibandingkan dengan ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina akibat traksi memiliki
permukaan yang lebih konkaf dan cenderung lebih terlokalisasi, biasanya tidak meluas ke ora
serrata. Traksi fokal dari membran-membran selular dapat menyebabkan robekan retina dan
menimbulkan kombinasi ablatsio retina regmatogenosa-traksioanal. Traksi vitreoretina
meningkat dengan bertambahnya usia, semakin menyusutnya vitreus gel, semakin sering juga
menyebabkan ablasio retina posterior pada kira-kira dua pertiga orang yang berumur lebih
dari 70 tahun.

Gambar 5. Gambaran funduskopi ablasio retina traksioanal
c) Ablasio Retina Exudative (Serosa dan Hemoragik)
Ablasio retina serosa dan hemoragik dapat terjadi walaupun tidak terdapat pemutusan
retina atau traksi vitreoretina. Ablasi ini adalah hasil dari penimbunan cairan di bawah retina
sensorik terutama disebabkan oleh penyakit epitel pigmen retina dan koroid. Penyakit-
penyakit degeneratif, inflamasi, dan infeksi, serta neovaskularisasi subretina akibat
bermacam-macam hal mungkin berkaitan dengan ablasio retina jenis ini. Ablasi jenis ini juga
dapat menyertai penyakit peradangan dan penyakit vascular sistemik, atau tumor intraocular.


Gambar 6. Gambaran funduskopi ablasio retina exudative
2.3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat insidens ablasio retina 1 dalam 15.000 populasi dengan prevalensi
0,3%. Kelompok tertentu memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
lainnya. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6 dioptri) memiliki resiko sebesar 5%, dan individu
dengan afakia memiliki resiko sebesar 2% untuk terjadinya ablasio retina. Ekstraksi katarak
dengan komplikasi hilangnya vitreus saat operasi meningkatkan angka kejadian ablasio retina
hingga 10%.
Faktor etiologi yang terbanyak di seluruh dunia yang berhubungan dengan ablasio retina
adalah myopia, afakia, dan trauma. Kira-kira 40-50% dari seluruh pasien dengan ablasio retina
memiliki myopia, 30-40% sudah pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan 10-20%
pernah mengalami trauma okular. Ablasi yang disebabkan oleh trauma lebih sering terjadi pada
usia muda, dan ablasi yang berhubungan dengan myopia terjadi pada umumnya pada orang
berusia 25-45 tahun. Diperkirakan sekitar 15% orang yang mengalami ablasio retina pada satu
mata akan mengalami ablasi juga pada mata yang lainnya.
Tidak terdapat kecenderungan terhadap jenis kelamin. Semakin bertambahnya usia, maka
insidensnya semakin bertambah. Ablasio retina sering terjadi pada orang yang berusia 40-70
tahun.
2.3.3 Diagnosis
Diagnosis ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi,
dan pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis gejala yang sering dikeluhkan penderia adalah:
Floaters (terlihat benda melayang), yang terjadi karena adanya kekeruhan di vitreus
oleh adanya darah, pigmen retina yang terlepas atau degenerasi vitreus itu sendiri,
kadang-kadang penderita merasa ada tabir atau bayangan yang datang dari perifer
(biasanya dari sisi nasal) meluas dalam lapangan pandang. Tabir ini bergerak
bersama-sama dengan gerakan mata dan menjadi lebih nyata. Pada stadium awal,
penglihatannya membaik di malam hari, dan memburuk di siang hari, terutama
sesudah stres fisik (membungkuk, mengangkat) atau mengendarai mobil di jalanan
yang bergelombang.
Fotopsia/ light flashes (kilatan cahaya) tanpa adanya cahaya disekitarnya, yang
umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam
keadaan gelap. Keadaan ini disebabkan oleh tarikan pada retina misalnya pada
vitreoretinopati proliferative, dan bisa terjadi pada orang normal jika terjadi cedera
tumpul pada mata.
Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian seperti
tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang telah lanjut dapat
terjadi penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.
Selain gejala-gejala tersebut di atas, dalam anamnesis perlu ditanyakan adanya
riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya (seperti: ekstraksi katarak,
pengangkatan benda asing intraokular, dsb), riwayat penyakit mata sebelumnya
(uveitis, perdarahan vitreus, dan retinopati diabetik), riwayat keluarga dengan
penyakit mata, serta penyakit sistemik yang berhubungan dengan ablasio retina.
b) Pemeriksaan oftalmologi
Pemeriksaan visus, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya
macula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau kekeruhan vitreus
yang menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat menurun bila macula
lutea ikut terangkat.
Pemeriksaan lapangan pandang, akan terjadi lapangan pandang seperti tertutup tabir
dan dapat terlihat skotoma relative sesuai dengan kedudukan ablasio retina, pada
lapangan pandang dapat terlihat pijaran api seperti halilintar kecil dan fotopsia.
Pemeriksaan funduskopi yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis ablasio
retina dengan menggunakan binokuler indirek oftalmoskopi. Pada pemeriksaan ini
retina yang mengalami ablasi tampak sebagai membran abu-abu merah muda yang
menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi cairan bermakna pada
ruang subretina, didapatkan pergerakan undulasi retina ketika mata berggerak.
Pembuluh darah retina yang terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok,
dan membengkok di tepi ablasio. Pada retina yang mengalami ablasio terlihat lipatan-
lipatan halus. Suatu robekan pada retina terlihat agak merah karena terdapat
pembuluh darah koroid di bawahnya.

Gambar 7. Gambaran funduskopi pada ablasio retina
Robekan pada retina secara umum memiliki lima bentuk, yaitu:
U-tears, (gambar 8.a) terdapat flap di bagian apex yang tertarik ke anterior.
Robekan ini sebenarnya terdiri dari dua robekan yang bertemu di apex.
Incomplete U-tears, dapat berbentuk linier (gambar 8.b), L-shaped (gambar 8.c).
Operculated tears, (gambar 8.d) dimana katup (flap) sepenuhnya tertarik.
Dialysis, (gambar 8.e) merupakan robekan yang mengelilingi ora serrata.


Gambar 8. Morfologi robekan retina
Robekan retina dapat juga dibedakan berdasarkan lokasinya, yaitu:
Oral, dimana robekan terdapat di vitreus base
Post-oral, dimana robekan terdapat di antara vitreus base dan equator
Equatorial, dimana robekan terdapat pada atau dekat dengan garis equator
Post-equatorial, dimana robekan terapat di belakang garis equator
Macular, dimana robekan terdapat di daerah macula lutea.

c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta,
antara lain glaucoma, diabetes mellitus, maupun kelianan darah
Pemeriksaan ultrasonografi yaitu ocular B-scan ultrasonografi juga digunakan untuk
mendiagnosis ablasio retina dan keadaan patologis lain yang menyertainya seperti
proliferative vitreoretinopati, benda asing intraocular. Pemeriksaan ini sangat
membantu apabila terjadi kekeruhan pada vitreus sehingga sulit untuk melakukan
pemeriksaan funduskopi. Selain itu ultrasonografi juga digunakan untuk mengetahui
kelainan yang menyebabkan ablasio retina eksudatif misalnya tumor dan posterior
skleritis.

Gambar 9. Gambaran ultrasonografi ablasio retina
2.3.4 Penatalaksanaan
Tujuan utama bedah ablasi adalah untuk menemukan dan memperbaiki semua robekan
retina; digunakan krioterapi atau laser untuk menimbulkan adhesi antara epitel pigmen dan retina
sensorik sehingga mencegah influx cairan lebih lanjut ke dalam ruang subretina, mengalirkan
cairan subretina ke dalam dan ke luar, dan meredakan traksi vitreoretina.

a) Retinopeksi Pneumatik
Pada retinopeksi pneumatik, udara atau gas yang dapat memuai disuntikkan ke dalam
vitreus untuk mempertahankan retina pada posisinya, sementara untuk menutup robekan
retina secara permanen dapat direkatkan dengan laser atau krioterapi.
Teknik ini memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah dibandingkan cara lain dan
hanya digunakan pada robekan retina tunggal kecil yang mudah dicapai, cairan subretina
yang minimal, dan tidak adanya traksi vitreoretina. Jika robekan dapat ditutupi oleh
gelembung gas, cairan subretina akan menghilang 1-2 hari.

Gambar 10. Prosedur penyuntikan gas pada pneumatic retinopexy

b) Scleral Buckling
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina regmatogenosa terutama bila
tanpa disertai komplikasi lain. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung
lokasi dan jumlah robekan retina. Sabuk ini biasanya terbuat dari bahan silikon. Sabuk
diletakkan mengelilingi sklera lalu dijahit untuk mempertahankan posisinya sehingga
terjadi tekanan dari luar. Pemasangan sclera buckling ini diharapkan dapat dengan lembut
menekan sclera dari luar ke retina. Sementara robekan di retina dapat direkatkan dengan
laser atau krioprobe dan juga untuk menghindari masuknya kembali cairan vitreus ke
rongga retina.
Angka keberhasilannya adalah 92-94% pada kasus-kasus tertentu yang sesuai.
Kompliksinya antara lain perubahan kelainan refraksi, diplopia akibat fibrosis atau
terganggunya otot-otot ekstraokular oleh eksplan, ekstruksi eksplan, dan kemungkinan
peningkatan resiko vitreoretinaproliferatif.



Gambar 11. Prosedur pemasangan sclera buckling

c) Vitrektomi Pars Plana
Vitrektomi pars plana memungkinkan pengangkatan unsur penyebab traksi diikuti
dengan penyingkiran membran-membran fibrotik. Vitrektomi dilakukan dengan membuat
insisi kecil pada bola mata kemudian memasukkan instrument melalui pars plana.
Dibawah mikroskop, badan vitreus dan semua komponen penarikan epiretina dan
subretina dikeluarkan.
Vitrektomi pars plana memungkinkan pelepasan traksi vitreoretina, drainase internal
cairan subretina jika diperlukan dengan penyuntikan perfluorocarbon atau cairan berat,
dan penyuntikan udara atau gas yang dapat memuai untuk mempertahankan retina pada
posisinya, atau penyuntikan dengan minyak jika dibutuhkan tamponade retina yang lebih
lama.
Teknik ini digunakan bila terdapat robekan retina multipel, di superior, atau di
posterior; bila visualisasi retina terhalang, misalnya oleh perdarahan viterus; dan bila ada
vitreoretinopati proliferative yang bermakna. Mungkin diperlukan pengaturan posisi
pasien pascaoperasi.



Gambar 12. Prosedur vitrektomi pars plana

2.3.5 Komplikasi
Komplilasi pasca operasi dapat berupa rasa tidak nyaman pada mata, mata berair,
bengkak, dan gatal. Namun gejala-gejala ini biasanya dapat diobati dengan obat tetes mata.
Pandangan kabur dapat terus berlanjut hingga berbulan-bulan, dan pengukuran kaca mata yang
baru dibutuhkan terutama diakibatkan oleh pemasangan scleral buckle yang dapat merubah
bentuk bola mata. Pemasangan scleral buckle juga dapat menyebabkan diplopia karena
mempengaruhi otot yang mengontrol gerakan bola mata. Komplikasi lain meliputi peningkatan
tekanan pada mata (glaucoma), perdarahan vitreus, perdarahan di retina atau di belakang retina,
katarak ataupun ptosis. Infeksi juga dapat terjadi pada sclera buckle atau bahkan meluas ke
dalam bola mata (endophtalmitis).
2.3.6 Prognosis
Pembedahan pada ablasio retina sukses pada sekitar 80% pasien yang menjalani satu
prosedur. Dan lebih dari 90% retinanya melekat kembali dengan sukses pada pasien yang
mengalami operasi tambahan.
Bila retina berhasil direkatkan kembali mata akan mendapatkan kembali sebagian fungsi
penglihatan dan kebutaan total dapat dicegah. Tetapi seberapa jauh penglihatan dapat dipulihkan
dalam jangka sekitar enam bulan sesudah tindakan operasi tergantung pada sejumlah faktor. Bila
macula ikut mengalami ablasi, penglihatan sentral jarang sekali yang kembali menjadi normal.
Korpus vitreum yang terus menyusut dan munculnya pertumbuhan jaringan di permukaan
retina menyebabkan tidak semua retina yang terlepas dapat direkatkan kembali. Bila retina tidak
dapat direkatkan kembali, maka mata akan terus menurun penglihatannya dan akhirnya menjadi
buta
Bisa juga terjadi robekan, lubang, dan tarikan baru yang mengarah pada ablasio retina
kembali. Menurut study jangka panjang, menunjukkan bahwa meskipun sudah diberikan
pencegahan terhadap robekan atau lubang pada retina, sekitar 5-9% pasien dapat mengalami
ablasio retina. Walau bagaimana pun pembedahan pada ablasio retina sudah membuat langkah
yg besar dalam 20 tahun belakangan dengan mengembalikan penglihatan yang sangat berguna
bagi ribuan orang.











BAB III
KESIMPULAN
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, dengan kemampuan
untuk memulai pengolahan informasi penglihatan sebelum informasi tersebut ditransmisikan
melalui nervus opticus ke korteks visual. Retina yang sehat dan intak merupakan kunci dari
penglihatan yang jernih.
Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan retina sensorik, yakni lapisan
fotoreseptor dan jaringan bagian dalam, dari epitel pigmen retina di bawahnya. Terdapat tiga
jenis utama: ablasi regmatogenosa, ablasi traksional, dan ablasi eksudatif (serosa atau
hemoragik). Dan yang tersering adalah ablasio retina regmatogenosa.
Ablasio retina regmatogenosa terjadi akibat adanya robekan di retina sehingga cairan
vitreus masuk ke belakang antara sel epitel pigmen retina dengan retina sensorik. Ablasio retina
traksional terjadi akibat adanya perlengketan antara vitreus dengan retina. Pelengketan tersebut
menyebabkan penarikan retina sensorik sehingga terlepas dari lapisan epitel pigmen retina di
bawahnya. Ablasio retina exudatif (serosa dan hemoragik) dapat terjadi walaupun tidak terdapat
pemutusan retina atau traksi vitreoretina. Ablasi ini adalah hasil dari penimbunan cairan di
bawah retina sensorik terutama disebabkan oleh penyakit epitel pigmen retina dan koroid.
Di Amerika Serikat insidens ablasio retina 1 dalam 15.000 populasi dengan prevalensi
0,3%. Kelompok tertentu memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
lainnya. Pasien dengan miopia yang tinggi (>6 dioptri) memiliki resiko sebesar 5%, dan individu
dengan afakia memiliki resiko sebesar 2% untuk terjadinya ablasio retina. Ekstraksi katarak
dengan komplikasi hilangnya vitreus saat operasi meningkatkan angka kejadian ablasio retina
hingga 10%.
Diagnosis ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi,
dan pemeriksaan penunjang yang lengkap. Diagnosis ditujukan untuk mengetahui morfologi,
lokasi, jenis dan tingkat keparahan ablasio retina.
Penatalaksanaan dari ablasio retina adalah dengan pembedahan. Tujuan utama bedah
ablasi adalah untuk menemukan dan memperbaiki semua robekan retina; digunakan krioterapi
atau laser untuk menimbulkan adhesi antara epitel pigmen dan retina sensorik sehingga
mencegah influx cairan lebih lanjut ke dalam ruang subretina, mengalirkan cairan subretina ke
dalam dan ke luar, dan meredakan traksi vitreoretina.
Terdapat tiga prosedur pembedahan dalam penatalaksanaan ablasio retina, yaitu
retinopeksi pneumatik, sclera buckling dan vitrektomi pars plana. Ketiga prosedur ini dipilih
terutama berdasarkan lokasi dan jenis ablasi yang terjadi. Dapat dilakukan kombinasi dari
beberapa prosedur dalam suatu pengobatan ablasio retina.
Pembedahan pada ablasio retina sukses pada sekitar 80% pasien yang menjalani satu
prosedur. Dan lebih dari 90% retinanya melekat kembali dengan sukses pada pasien yang
mengalami operasi tambahan.
Bila retina berhasil direkatkan kembali mata akan mendapatkan kembali sebagian fungsi
penglihatan dan kebutaan total dapat dicegah. Tetapi seberapa jauh penglihatan dapat dipulihkan
dalam jangka sekitar enam bulan sesudah tindakan operasi tergantung pada sejumlah faktor. Bila
macula ikut mengalami ablasi, penglihatan sentral jarang sekali yang kembali menjadi normal.

































DAFTAR PUSTAKA


1. P. Riordan-Eva, John PW. Vaughan dan Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. 2010.
Jakarta: EGC.

2. Ming ALS, Constable IJ. Color Atlas of Ophthalmology. Edisi 3

3. Kanski, Jack J. Clinical Ophthalmology. Edisi 5. 2003

4. Dahl, Andrew A. 2010. Retinal Detachment. Available at:
http://www.medicinenet.com/retinal_detachment/article.htm Accessed on November, 11
th

2012

5. Larkin, Gregory L. (September, 2012). Retinal Detachment. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/798501-overview Accessed on November, 11
th

2012

6. Waldron, Rhonda G. (February, 2012). B-Scan Ocular Ultrasound. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30 Accessed on November,
12
th
2012

7. Patel, Chirag C. (August, 2011). Pars Plana Vitrectomy. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1844160-overview Accessed on November 12
th

2012

You might also like