You are on page 1of 24

1

LATAR BELAKANG MASALAH Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TRTM, 2000, h.41) merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau lebih rendah) yang bermula sebelum usia 18 tahun disertai penurunan fungsi adaptif. Fungsi adaptif ialah kemampuan individu tersebut untuk secara efektif menghadapi kebutuhan untuk mandiri yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Data dari American Psychiatric Accociation (APA) 2000, sekitar 1-3% dari jumlah penduduk menyandang retardasi mental yang dapat dijumpai di lingkungan sekitar tempat tinggal. Keterlambatan ini mencakup rentang fungsi kognitif dan sosial (Rathus, 2005, h.149). Permasalahan penyandang cacat menurut Pola Dasar Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial adalah adanya gangguan fisik dan mobilitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari, gangguan keterampilan kerja yang produktif, rawan kondisi sosial ekonomi, gangguan mental psikologis, seperti rendah diri, terisolasi dan kurang percaya diri, hambatan melaksanakan fungsi sosial, seperti tidak mampu bergaul, berkomunikasi secara wajar, tidak mampu berpartisipasi dan lebih banyak tergantung pada orang lain (Mangunsong, 1998, h.111). Hasil penelitian Fredmen pada tahun 1972 (dalam Rathus, 2005, h.150), mengemukakan penyandang retardasi mental ringan pada saat berusia dewasa awal harus mampu mencapai keterampilan sosial dan pekerjaan yang cukup untuk mencari nafkah, meskipun demikian memerlukan bimbingan dan bantuan apabila

mengalami stres sosial atau stres ekonomi yang luar biasa, dan mampu belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas enam pada umur belasan tahun dan dapat dibimbing dalam kemampuan sosialnya. Salah satu bentuk peran lingkungan dalam membantu penyesuaian sosial adalah dukungan sosial (Froland dalam Payne, 1985, h.239). American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAID) juga menyarankan dukungan sosial penting untuk tahap perkembangan individu penyandang retardasi mental, karena dukungan sosial dapat meningkatkan fungsi adaptif individu, membantunya mandiri, keterampilan bermasyarakat yang baik, dan meningkatkan kesehatan. Pemberian dukungan yang optimal melalui pendekatan person center merupakan cara untuk meningkatkan pendidikan,

pekerjaan, rekreasi, dan lingkungan hidup bagi penyandang retardasi mental. Pada penelitian ini digunakan metode studi kasus, kasus pertama subjek diperoleh peneliti di Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang saat melakukan survey awal, disana ternyata penyandang Retardasi Mental yang menjadi asisten guru di kelas-kelas. Subjek berinisial TD yang mempunyai nilai IQ 56, umur subjek sekitar 23 tahun dan subjek sempat mengalami kebingungan saat lulus Sekolah Menengah Atas untuk mencari pekerjaan, kemudian subjek diajak tetangga yang kebetulan kepala sekolah di SLB N Semarang untuk menjadi asisten guru. Kasus yang kedua berinisial AY, subjek adalah laki-laki penyandang retardasi mental dengan angka IQ 47 (Skala Weschler), sekarang subjek masih sekolah di SLB C Ungaran, umur Subjek sekitar 27 tahun. Hasil wawancara dengan Ibu Subjek, menunjukkan bila Subjek AY bisa melakukan pekerjaan yang

cukup baik, kemandirian yang baik, dan melakukan penyesuaian sosial yang baik pula, dengan didukung hasil observasi si AY ini suatu hari bisa ikut kerja bakti, pertemuan karang taruna dan menjalankan ibadah dengan baik, seperti les mengaji dan sholat. PERMASALAHAN PENELITIAN Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikemukakan suatu permasalahan penelitian yang akan ditemukan jawabnya melalui penelitian ini. Bagaimana Gambaran Proses Interaksi Sosial Mempengaruhi Penyesuaian Sosial Penyandang Retardasi Mental? TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses interaksi sosial yang mempengaruhi penyesuaian sosial penyandang retardasi mental pada usia dewasa awal. Tahapan dan dinamika psikologi proses interaksi di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat pada penyandang retardasi mental. MANFAAT PENELITIAN Manfaat secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Manfaat secara praktis , bagi orangtua diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang anak retardasi mental sehingga dalam perkembangannya dapat membantu ke arah yang optimal. Manfaat bagi sekolah dan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi untuk lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk disebarluaskan, sehingga instansi tersebut memperoleh informasi yang relevan mengenai kasus yang sedang

dihadapi, misal: pelaksanaan terapi dan program-program bagi individu retardasi mental untuk penyesuaian sosialnya. Manfaat bagi peneliti, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan referensi untuk peneliti dan dapat menumbuhkan minat untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan tentang penyandang retardasi mental. TINJAUAN PUSTAKA Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TRTM, 2000, h.41) ) Retadarsi mental merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata ( IQ kira-kira 70 atau lebih rendah ) yang bermula sebelum usia 18 tahun disertai penurunan fungsi adaptif. Fungsi adaptif ialah kemampuan individu tersebut untuk secara efektif menghadapi kebutuhan untuk mandiri yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Klasifikasi Retardasi Mental Klasifikasi retardasi mental berdasarkan hasil pertemuan American Psychiatric Accociation (APA) di Washinghton 1994 (Lumbantobing, 2001, h. 5-7) yaitu:
1) Retardasi mental ringan (IQ antara 50-55 sampai 70 skala

Weschler) Penderita retardasi mental ringan merupakan kelompok dari penderita retardasi mental yang dapat di didik (educable).
2) Retardasi mental sedang (IQ antara 35-40 atau 50-55 skala

Weschsler)

Penderita retardasi mental sedang setara dengan kelompok biasa disebut dapat dilatih (trainable). Kelompok ini terdiri dari sekitar 10% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental.
3) Retardasi Mental berat (IQ antara 20-25 atau 35-40 skala

Weschler) Kelompok retardasi mental ini berjumlah sekitar 3-4 % dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Kemampuan

berkomunikasi mereka dengan bahasa sangat sedikit. 4) Retardasi mental sangat berat (IQ kurang dari 20-25 skala Weschler) Kelompok retardasi mental sangat berat berjumlah sekitar 12% dari jumlah keseluruhan kelompok retardasi mental. Penderita menunjukkan gangguan yang berat dalam bidang sensori motor. Perkembangan motorik dan mengurus diri serta kemampuan komunikasi dapat dengan latihan-latihan yang adekuat Aspek penyesuaian sosial meliputi perilaku nyata yang ditampilkan, penyesuaian sosial terhadap berbagai kelompok, sikap sosial dan kepuasan pribadi. Hal ini penting bagi individu usia dewasa awal untuk berinteraksi dengan keadaan rumah, sekolah dan masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial, yaitu pola asuh orang tua, teman, penerimaan diri, pendidikan anak, determinan psikologi, kondisi lingkungan, wawasan sosial, dan budaya setempat.

American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAID) pada tahun 2007, mengategorikan penyesuaian diri yang adaptif pada penyandang retardasi mental yaitu: Aktivitas Sosial a. b. Sosialisasi di dalam keluarga. Dapat berekreasi dan mampu menjalani aktivitas untuk kesenangan. c. d. e. f. pribadinya. g. Dapat bekerja yang ringan dan Pembuatan keputusan seksual yang sesuai. Dapat bersosialisasi di luar keluarga. Mencari dan memelihara pertemanan. Dapat memberi tahu tentang kebutuhan

mengisyaratkan hubungan dengan lawan jenis. h. lain. Aktivitas Tingkah laku a. b. c. d. e. f. Mempelajari perilaku atau ketrampilan spesifik. Mempelajari pembuatan keputusan yang sesuai dengan situasi. Mendapat Akses dan memperoleh perawatan kesehatan mental. Menentukan pilihan pribadinya (mandiri) ke dalam aktivitas harian. Perilaku yang sesuai dengan norma atau aturan di dalam masyarakat. Dapat mengendalikan kemarahan dan aggresi. Menawarkan bantuan dan membantu orang

Aktivitas Keluarga a. b. c. d. Dapat menggunakan toilet sendiri. Dapat mencuci pakaian secara sendiri. Dapat menyiapkan dan makan makanan secara mandiri. Dapat menjalani pekerjaan rumah tangga seperti, membersihkan membersihkan rumah. e. f. g. Mandi dan menjaga kesehatan pribadi dan mengurus kebutuhan. Dapat mengoperasikan peralatan rumah dan teknologi. Ambil bagian dalam aktivitas kesenangan di dalam rumah.

Bonner (dalam Gerungan, 1996, h.57) mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu hubungan antara dua individu atau lebih, didalamnya perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Definisi tersebut memposisikan manusia sebagai subjek dan sebagai objek dalam hubungan interpersonal sebab dalam suatu relasi tentunya harus ada proses saling memberi dan menerima. Baron dan Byrne (1974, h.111) mengemukakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial antara lain: a. Faktor Imitasi Imitasi adalah menirukan perilaku orang lain kemudian melakukan tingkah laku yang sama dengan perilaku tersebut. Peranan dalam interaksi sosial biasanya pada awal-awal perkembangan anak. b. Faktor Sugesti

Sugesti ialah pengaruh yang bersifat psikis, baik yang datang dari diri sendiri maupun yang datang dari orang lain.. c. Faktor Identifikasi Identifikasi adalah dorongan untuk menjadi identik dengan orang lain. Biasanya identifikasi individu mempelajarinya dari orang tua, oleh sebab itu peranan orangtua sangat penting bagi tempat identifikasi anak. d. Faktor Simpati Simpati adalah perasaan rasa tertarik kepada orang lain. Interaksi sosial dapat terjalin dengan adanya rasa ketertarikan secara emosi, seperti cinta, penerimaan diri dan kasih sayang. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan metode penelitian kualitatif yang timbul dari keinginan untuk dapat memahami beberapa fenomena yang bersifat kompleks, dalam konteks yang sebenarnya (Hendriani, 2006). Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan metode penelitian kualitatif yang timbul dari keinginan untuk dapat memahami beberapa fenomena yang bersifat kompleks, dalam konteks yang sebenarnya (Hendriani, 2006). Metode studi kasus adalah dengan mengamati secara mendalam pada subjek penelitian, digunakan untuk keperluan psikologi klinis karena individu memiliki aspek unik dari dirinya yang tidak dapat ditiru (individual differences). Subjek Penelitian dan Informan

Peneliti mencari subjek penelitian dengan menggunakan teknik sampling purposif. Teknik sampling ini dapat langsung mengarahkan peneliti pada karakteristik subjek penelitian secara lebih pasti, sehingga informasi yang dikumpulkan benar-benar relevan dengan tujuan awal penelitian. Subjek pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu : subjek kasus dan subjek informan. Adapun karakteristik subjek kasus dalam penelitian ini adalah :
1. Subjek berumur 18-40 tahun untuk wanita maupun untuk laki-laki.

Dengan pertimbangan bahwa individu dengan usia yang sudah bisa dikatakan dewasa awal. 2. Subjek adalah seorang penyandang retardasi mental ringan dan sedang, yang memenuhi ketentuan-ketentuan diagnosis penyandang retardasi mental ringan atau sedang, tidak memiliki gangguan psikopatologis lainnya seperti autis. 3. Pernah Sekolah atau sudah lulus di Sekolah Luar Biasa C atau C-1 (Tuna Grahita). Sebab penelitian ini bertujuan untuk meneliti penyesuaian sosial penyandang retardasi mental di keluarga, sekolah dan masyarakat. Setelah mendapatkan subjek kasus, langkah berikutnya adalah mencari beberapa subjek informan yang akan dijadikan sebagai sumber informasi yang bersifat utama di dalam penelitian ini. Subjek penelitian dengan syarat sebagai berikut: 1. Memiliki kedekatan dengan subjek, dan 2. Mengenal subjek dalam kehidupan kesehariannya minimal selama dua tahun.

10

Berdasarkan syarat-syarat tersebut, peneliti menunjuk beberapa alternatif orang untuk dijadikan sebagai subjek informan dalam penelitian ini, antara lain : orang tua, saudara, guru dan tetangga subjek kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Wawancara Wawancara menurut Poerwandari (2001, h. 75) adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara sebagai salah satu metode untuk

mengumpulkan berbagai informasi dari para informan di lapangan penelitian. Wawancara adalah metode pengumpulan informasi yang sering digunakan dalam sebuah penelitian, karena pelaksanaannya mudah, murah, dan fleksibel. 2. Observasi Peneliti akan lebih menekankan observasi kepada subjek kasus untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang penampilan dan perilaku subjek. Keuntungan menggunakan metode observasi dalam sebuah penelitian kualitatif adalah dapat melihat secara langsung dan mendapatkan informasi yang murni tentang subjek penelitian. Observasi dalam penelitian ini juga ditujukan untuk membahas mengenai lingkungan tempat tinggal, keadaan sosial, penampilan fisik, perilaku, dan kehidupan subjek penelitian di lingkungan sosialnya. Metode observasi yang digunakan pada penelitian ini lebih bersifat empiris, bukan interpretatif. 3. Dokumentasi

11

Kelengkapan informasi dari lapangan didukung dengan pencarian beberapa dokumen penting. Dokumen tersebut berupa rapor dan rekaman medik subjek kasus dari Psikiater dan guru kelas yang menanganinya, untuk mengetahui perjalanan perkembangan penyandang retardasi mental dan status sosial secara keseluruhan. Peneliti juga menggunakan hasil pemeriksaan psikologis dengan menggunakan tes-tes proyektif, antara lain : Draw a Person Test (DAP test), BAUM test, dan House Tree Person Test (HTP test). Keabsahan data penelitian ditentukan oleh 4 kriteria yaitu: derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan

(dependability), dan kepastian (confirmability). ANALISIS INFORMASI Untuk melakukan analisis informasi, peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut (Cresweel,1997, h.63) : 1. Membuat dan mengatur data yang sudah dikumpulkan. 2. Membaca dengan teliti data yang sudah diatur. 3. Deskripsi Analisis Kasus 4. Agreasi kategorisasi 5. Pola - Pola Kategori 6. Interpretasi 7. Generalisasi naturalistis DESKRIPSI KANCAH PENELITIAN Pada awal proses penelitian peneliti survey awal terlebih dahulu untuk mencari kasus penyandang retardasi mental saat usia dewasa awal di Sekolah Luar

12

Biasa Negeri Semarang. Subjek TD adalah penyandang retardasi mental ringan yang diperbantukan sebagai assisten guru di SLB negeri Semarang dan Subjek AY adalah penyandang retrdasi mental kategori sedang yang masih sekolah di SLB Yayasan Putera Mandiri Ungaran, sedangkan informan penelitian ini adalah orang yang memiliki kedekatan dengan subjek yang berjumlah sembilan orang antara lain orangtua subjek kasus, guu kelas yang dekat dengan subjek, dan tetangga subjek. Pada penelitian ini peneliti tidak melakukan wawancara terhadap kedua subjek karena subjek TD maupun Subjek AY mengalami kesulitan dalam komunikasi karena sulit untuk merespon pertanyaan peneliti. Selama pelaksanaan proses penggalian data, harus diakui bahwa tidak semuanya berjalan lancar dan tanpa kendala. Beberapa kendala yang dialami dalam proses penelitian dan pengumpulan data antara lain: 1. 2. 3. Keterbatasan peneliti Keterbatasan subjek Waktu PEMBAHASAN A. Pembahasan Kasus I (Subjek TD) Subjek TD berumur 22 tahun merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Subjek mengalami retardasi mental kategori ringan. Setelah subjek ditinggal ibu kandungnya, subjek dirawat oleh neneknya saat ayah bekerja. Perkembangan masa balita termasuk lambat sebab subjek dilahirkan secara prematur dan baru bisa berjalan sekitar umur 20 bulan. Keluarga yang mulai curiga tentang perkembangan subjek memeriksakan subjek ke psikiater, ternyata

13

didiagnosis mengalami retardasi mental ringan. Penerimaan ayah pertama kali sedikit kaget tetapi subjek diterima secara positif di lingkungan keluarganya. Pemberian penanganan ini berupa pemeriksaan dokter, psikiater dan pemberianpemberian treatment untuk mendorong pertumbuhan subjek. Saat berumur 14 tahun ayah subjek menikah lagi. Penerimaan subjek pertama kali dengan ibu barunya cenderung baik walaupun saat pertama kali melihat ibunya dekat dengan ayahnya, subjek merasa iri dan meri. Subjek masih sulit untuk melepaskan kelekatan ke ayahnya dan tidak rela kalau subjek kehilangan kelekatan dengan ayahnya karena sejak kecil ayah memberikan kenyamanan kepada subjek sehingga subjek takut kehilangan figur ayahnya. Ibu cenderung keras dan mencoba membuat subjek untuk menuju kemandirian yang membuat konflik antara subjek dan ibu karena kesepahaman yang tidak tercapai. Subjek yang sejak kecil dimanja dan dituruti segala permintaannya tiba-tiba subjek dikontrol oleh ibunya yang membuat subjek kaget dan sempat patuh terhadap ibunya, tetapi tindakan ibu yang cenderung keras dalam memerintahkan suatu tugas membuat subjek cenderung untuk mematuhi perintah ibunya dibandingkan dengan ayahnya. Pola asuh yang diterapkan ibu adalah kontrol terhadap kegiatan subjek, membiasakan subjek untuk mandiri, membiasakan untuk memberikan pekerjaan, pengawasan terhadap perkembangan anak dan pemberian pelatihan kemandirian. Salah satu bentuk kontrol ibu adalah pemberian makanan yang sederhana, pengawasan saat subjek disekolah dan sedikit demi sedikit mengajarkan subjek untuk melakukan aktivitas kesehariannya. Interaksi dengan orangtua cenderung

14

terbatas, hanya sebatas pemenuhan kebutuhan anak. Kerjasama antara anak dengan kedua orangtua cenderung kurang karena seringkali anak tidak bersedia melaksanakan perintah yang diberikan orangtuanya, hal ini tidak terjadi bila subjek berada di sekolah, subjek cenderung untuk bekerjasama dengan teman dan guru untuk melaksanakan perintahnya. Selain itu, subjek juga kurang bisa menjalankan aktivitas kesehariannya dengan baik. Penampilan subjek selalu menggunakan baju rapi, tetapi subjek kurang menjaga kebersihan badannya. Ibu membantu subjek untuk menjalankan aktivitas keseharian dan memberikan tugas kerumah-tanggaan seperti menyapu, mengepel dan membiasakan untuk mandiri. Subjek sedikit demi sedikit belajar untuk bisa menjalankan aktivitasnya tetapi hal ini sulit dilakukan sebab subjek sejak kecil tidak diajarkan untuk menjalankan aktivitas ini. Secara sosial ibu juga membantu subjek untuk menjalankan aktivitas sosial seperti memberi kebebasan untuk bermain dan menjalankan aktivitas rekreasi tetapi tetap memonitor anak dalam pergaulan supaya tidak mudah terpengaruh. Peran ibu sangat besar sebab ayah saat remaja masih agak kurang perhatian terhadap perkembangan anaknya dan menyerahkan perkembangan subjek pada ibu. Sekolah merupakan tempat sosial yang paling utama bagi subjek sehingga peran sekolah sangat penting bagi perkembangan subjek. Sekolah berperan membantu subjek untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang baik bagi subjek. Subjek mempunyai keinginan yang tinggi untuk mempelajari sesuatu dari sekolah, sekolah juga membantu subjek untuk mempunyai kompetensi yang baik. Subjek cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk memperoleh

15

hasil yang tinggi padahal dengan kemampuannya yang terbatas membuat subjek sulit untuk mewudjudkan keinginan-keinginannya Hubungan dengan teman membuat subjek ingin bersahabat dan berteman secara lebih akrab, subjek lebih banyak mengikuti teman-temannya karena bila tidak diikuti takut kehilangan temannya tersebut. Kecenderungan untuk meniru dan identifikasi terhadap temannya cukup besar dan sebagian besar perilakunya didasari oleh faktor imitasi dan identifikasi, subjek mudah sekali tersugesti (terpengaruh) oleh ajakan dan perintah dari temannya yang menyebabkan subjek belum dapat memperoleh identitas dirinya saat remaja. Subjek cenderung mengalami kekacauan identitas karena subjek masih mempunyai gambaran diri dan tidak bisa menentukan pilihan, ketidak-mampuan membina hubungan yang lama, dan kurang mengerti tentang aturan-aturan masyarakat yang menyebabkan subjek mengalami penyimpangan (deviance). Pengaruh teman ada yang positif dan negatif, positifnya subjek bisa bersosialisasi dengan teman-temannya dan bermain dengan mereka. Pengaruh negatifnya teman-teman sekolahnya mengajak dan mengajarkan hal yang buruk bagi subjek. Pengaruh yang negatif itu antara lain subjek ikut menonton film porno, bermain sampai malam, dan meminta uang subjek. Subjek tidak bisa menolak ajakan tersebut bahkan subjek hanya meniru dan mencontoh perbuatan temannya karena subjek takut dijauhi temannya, selain itu subjek tidak mengerti tentang konsep baik dan buruk. Apalagi saat itu subjek berada di tahap pubertas menuju remaja, hal ini membuat kebutuhan seksual meningkat, bahkan ketika nonton film subjek mengajak pacarnya untuk nonton di rumahnya yang selalu sepi

16

karena orangtuanya sibuk untuk bekerja. Kebutuhan seksual subjek relatif normal, dia punya pacar dan kebutuhan ini sampai ke tahap intimacy, bukan hanya sekedar teman tapi subjek menjalin keakraban dengan pacarnya memberikan perhatian dan memberikan parcel. Payne (1981, h.120) menyatakan penyandang retardasi mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara mandiri. Ia akan bertindak konsumtif dengan cara membelajakan seluruh uangnya, tidak bisa merencanakan masa depan bahkan suka berbuat kesalahan dan penyesuaiannya cenderung baik dan mendekati normal, lebih cepat frustrasi dalam menghadapi masalah yang komplek, pada penyandang retardasi mental diharapkan untuk diberi pelatihan secara spesifik guna membantunya dalam memecahkan masalah. Subjek TD juga cenderung boros dalam membelanjakan sesuatu dan tidak mau disalahkan bila membuat kesalahan. Sekolah juga memberikan bimbingan bagi subjek saat melakukan kesalahan seperti ketika subjek ketahuan membawa VCD porno di sekolah, tindakan sekolah adalah memberi pengarahan yang sesuai dengan aturan-aturan sekolah dan sekolah memberikan hukuman untuk subjek karena melanggar peraturan sekolah. Sekolah mengumpulkan seluruh murid dan menghancurkan VCD porno tersebut. Setelah lulus SMA subjek mempunyai keinginan untuk bekerja, dengan membawa ijazah SMA luar biasa, subjek hampir setiap hari melamar pekerjaan ke perusahaaan. Keinginan untuk bekerja ini lebih disebabkan karena faktor eksternal yaitu paman subjek yang bercanda ke subjek kalau pacarnya minta menikah tetapi

17

subjek harus bekerja dulu. Tidak adanya pekerjaan membuat subjek cukup tertekan dan stress karena hampir setiap hari subjek berjalan-jalan keliling untuk mencari kerja. Situasi ini membuat keluarga bingung mencarikan solusi untuk permasalahannya, kemudian saat itu keluarga diberi solusi dari tetangga subjek yang kebetulan guru Sekolah Luar Biasa agar anaknya bekerja di rumahnya membantunya mendidik anak-anak Sekolah Luar Biasa, tetapi gaji yang diberikan berasal dari orangtua. Dukungan jaringan kerja dari tetanggannya membuat subjek bisa mengaktualisasi diri dan keinginannya untuk bekerja tercapai. Hubungan subjek dengan teman sebayanya di sekolah cenderung tidak dekat disebabkan karena teman-temannya merasa subjek senangnya menyuruh dan cenderung untuk mendominasi. Sikap subjek yang ingin disamakan dengan guru juga membuat teman-temannya merasa tidak nyaman dengan dirinya terutama anak-anak yang duduk di kelas SMP dan SMA, tetapi bila dengan muridnya subjek cukup dekat dan sangat dihormati oleh murid-muridnya kelas SD dan TK (taman kanak-kanak). Subjek juga mempunyai masalah dengan temannya yang disebabkan berebut cewek yang ingin dijadikan pacar olehnya. Temannya sempat memukul subjek sampai mukanya lebam, temennya tidak terima subjek mendekati pacarnya. Subjek disekolah juga sempat ketahuan berciuman di kamar mandi sekolahnya dengan temannya. Kebutuhan seksual yang cukup tinggi membuat subjek mempunyai keinginan menikah yang cukup besar, biasanya keinginan ini timbul setelah subjek melihat pengantin yang menikah. Subjek pernah meminta keluarganya untuk dinikahkan, subjek dipengaruhi oleh pamannya untuk meminta ayahnya

18

menikahkannya. Subjek tidak dapat mengontrol perilakunya saat itu, dia mengamuk sampai ayahnya di dorong. Di lingkungan tempat tinggalnya sekarang ini subjek cenderung untuk kesepian dan terisolasi karena teman bermainnya dulu sudah ada yang menikah dan bekerja sehingga dia kehilangan teman bermainnya. Aktivitasnya sekarang hanya dirumah saja bahkan saat liburan akhir pekan banyak dia gunakan untuk pergi ke mall sendirian. Menurut ibu subjek, saat liburan tiba subjek seringkali keluar masuk rumah untuk melihat situasi diluar rumah untuk mencari teman. Lingkungan menilai perilaku subjek cenderung baik secara sosial, terlebih lagi di lingkungan sekolah, subjek merupakan salah satu panutan disekolah dan guru banyak yang menilai subjek sebagai individu yang mempunyai kelebihan. Sekolah juga menyediakan fasilitas untuk mendukung kemampuan subjek dalam bidang musik seperti pemberian les khusus keyboard pada subjek. Teman-teman di sekolah menilai subjek sebagai individu yang suka menyuruh, teman-temannya menjauhi subjek. Di dalam keluarganya, subjek belum bisa memenuhi keinginan orangtuanya untuk mandiri. Orangtua juga berpandangan kalau subjek masih perlu untuk dituruti keinginannya sampai sekarang. Subjek masih dipenuhi kebutuhannya oleh ayahnya terutama memberikan fasilitas secara material tetapi di dalam keluarganya subjek kurang mendapatkan dukungan emosional, dukungan informatif dan dukungan penghargaan yang membuat subjek kurang nyaman berada di keluarga. Masyarakat menilai subjek hanya bisa melakukan tugas yang ringan seperti ikut lomba, sedangkan peran dan harapan yang ditugaskan cenderung rendah. Sikap teman yang sebaya di lingkungan juga

19

menjauhi karena adanya ketidak cocokan dengan subjek, baik secara kognitif dan sosial, sehingga subjek cenderung memilih untuk dirumah saja. B. Pembahasan Kasus II (Subjek AY) Subjek AY berusia 28 tahun merupakan putera kedua dari dua bersaudara. Subjek mengalami retardasi mental kategori sedang. Saat subjek berumur 6 bulan subjek terjatuh dan menyebabkan subjek dirawat di rumah sakit karena kejang-kejang. Keluarga mulai curiga saat itu perkembangan subjek yang lebih lambat daripada kakaknya, kemudian saat umur enam tahun, subjek diperiksakan ke dokter dan di diagnosis mengalami retardasi mental yang disebabkan adanya kerusakan otak. Reaksi pertama kali keluarga memang cukup kaget, tetapi keluarga menerima secara positif. Lumbantobing (2001, h.106) menyatakan penyandang retardasi mental kategori sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca dan berhitung walaupun mereka bisa menulis namanya sendiri dan alamat rumahnya. Dapat dididik mengurus diri, mandi, berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang sederhana seperti menyapu, tetapi memerlukan pengawasan yang terus-menerus. Pada subjek AY cenderung kesulitan dalam hal akademis, subjek sangat sulit sekali untuk menguasainya cenderung untuk menerima perintah oranglain dalam melakukan tingkah laku, dan cenderung sulit melakukan komunikasi dua arah. Setiap perkembangan individu selalu muncul adanya konflik sosial, konflik tersebut menurut Erikson disebut dengan konflik Psikososial yang khas antara individu dengan lingkungannya, pada subjek AY konflik tersebut kurang

20

terlihat karena kemampuan diri subjek yang terlalu rendah sehingga subjek kurang bisa merespon konflik yang berasal dari lingkungan. Saat usia bayi ibu memberikan curahan kasih sayang yang sama terhadap kedua anaknya, subjek mulai mengembangkan rasa percaya kepada pengasuhnya ini. Pelayanan yang diberikan ibu sesuai dengan kebutuhan subjek sehingga subjek merasakan kenyamanan dengan ibunya. Pada masa sekolah subjek mempunyai keinginan yang cukup tinggi untuk belajar tetapi kemampuannya membuatnya sulit untuk mengikuti pelajaran, Subjek saat sekolah mampu beraktivitas di masyarakat dan mengikuti kegiatan olahraga. Subjek menyelesaikan sekolah di bangku SD Luar Biasa sekitar 15 tahun. Penerapan pola asuh ibu cenderung dominan dalam setiap tindakan subjek, ibu sangat sensitif dan responsif terhadap perkembangan subjek saat kecil, ketika subjek ada kemunduran perkembangan ibu langsung konsultasi ke dokter, perhatian ibu membuat subjek merasa nyaman bersama ibunya. Ibu cenderung mengkontrol tindakan subjek, tindakan bertujuan agar anaknya bisa berkembang dengan optimal dengan kemampuan yang dimilikinya. Ibu memberikan pelatihan yang terus-menerus terutama dalam masalah akademik dan kemandirian saat dirumah. Bentuk-bentuk yang diterapkan untuk mengontrol subjek adalah dengan membiasakan subjek untuk mengerjakan tugas kerumah-tanggaan, membiasakan untuk pelatihan bina diri seperti mandi, pemberian pengawasan yang ketat dengan cara pengaturan jadwal yang harus dipatuhi, pengawasan untuk melindungi subjek supaya bertindak dengan benar, dan pemberian perhatian berupa pengertian-

21

pengertian supaya subjek melakukan sesuatu. Ibu mulai sedikit demi sedikit memberikan tugas kepada kakaknya untuk mengasuh adiknya, lewat dukungan dari kakaknya diharapkan subjek tidak mengalami kesulitan untuk masa depannya. Hubungan antar anggota keluarga cenderung harmonis, walaupun kedua orangtua subjek sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tetapi saat dirumah kebersamaan tetap dibina. Bentuk kebersamaan itu antara lain nonton televisi bersama, pergi makan bersama anggota keluarga, belanja bersama dan mengadakan rekreasi keluarga. Hubungan subjek dengan kakak cenderung kurang dekat, kakak subjek kurang memberikan perhatian terhadap perkembangan subjek, paling hanya sekedar menyapa. Hal ini terjadi karena kemampuan subjek dalam komunikasi dua arah cenderung sulit terutama saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Subjek dalam setiap perilakunya lebih untuk melakukan imitasi yaitu melakukan peniruan tingkah laku orang lain. Subjek cenderung tidak bisa untuk mengidentifikasi dan hanya meniru saja, sehingga tindakan subjek cenderung hanya ikut-ikut saja. Subjek juga mudah terpengaruh dengan ajakan orang lain (sugestibel). Saat remaja subjek cenderung tidak punya identitas yang jelas, sehingga subjek cenderung mengalami kekacauan identitas yang punya identitas yang berubah lewat pembelajaran secara langsung dari oranglain terutama teman dan orang yang lebih tua. Kebutuhan seksual subjek cenderung tidak tampak karena subjek cenderung belum bisa mengerti tentang konsep peran antara lakilaki dan perempuan.

22

Sekolah memberikan pelatihan bagi setiap muridnya. Program di sekolah antara lain pelatihan motorik dan pelatihan bina diri. Efek dari pemberian pelatihan bagi subjek adalah membiasakan untuk mandiri minimal untuk kemandirian tubuhnya dengan cara membersihkan dan merawat tubuhnya. Bina diri subjek cenderung baik, bisa mandi sendiri dan gosok gigi walaupun tidak terlalu bersih. Subjek cenderung sulit bila ada perintah yang komplek, pemberian perintah harus yang sifatnya kongkret dan sangat detail, tetapi kelemahannya adalah saat akan melakukan tugas tersebut subjek harus diperintah terlebih dahulu, bila tidak subjek cenderung tidak mengerti atas tindakan yang akan dilakukannya. Subjek dalam melakukan tingkah laku cenderung dengan pola-pola yang selalu sama dan kesulitan untuk keluar dari hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan. Lingkungan sosial menilai perilaku subjek cenderung baik secara sosial, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Ibu subjek sudah bangga dengan kemasyarakatan subjek yang cenderung baik sehingga ibu subjek membebaskan subjek untuk beraktivitas. Keluarga menerima dan memberikan dukungan dengan baik dengan baik sehingga subjek merasa nyaman berada di keluarganya. Subjek merasa tidak malu dengan aktivitas dengan masyarakat karena masyarakat mengerti keadaan subjek dan memberikan dukungan bagi subjek. Di lingkungan sekolah subjek dipandang dengan kemampuan yang rendah sudah dapat beraktivitas dengan temannya dan bina dirinya sudah baik. Masyarakat mengerti kemampuan subjek yang terbatas sehingga subjek diterima dan diberi pekerjaan yang mudah. Subjek dipandang masyarakat mudah untuk bergaul walaupun mempunyai kelemahan.

23

SARAN 1. a. Bagi Orangtua Subjek Pemberian dukungan dan pelatihan yang intensif,

berkesinambungan, dan konsisten terhadap anaknya terutama pada pemberian pelatihan kemandirian bagi anak dengan cara membiasakan kedua subjek untuk melakukan aktivitas keseharian sendiri dan monitoring perilaku anak sesuai dengan kemampuannya.
b.

Pemberian nasehat dan pembantasan fasilitas yang bijaksana bagi

subjek TD membantunya untuk memahami keinginan-keinginannya yang cukup tinggi, agar subjek nantinya bisa hidup mandiri. c. Pemberian pengenalan keadaaan sosial membantu kedua subjek

untuk mengerti tentang keadaan sosial di sekitar lingkungannya.


d.

Perlunya pemberian nasehat, pengenalan dan monitoring terhadap

perkembangan seksual bagi subjek TD membantunya untuk mengontrol dorongan seksualnya dengan baik dan sebaiknya orangtua menikahkan subjek TD agar kelak istrinya bisa merawat subjek.
e.

Subjek AY perlu dibekali pelatihan vokasional agar subjek

mempunyai kemampuan untuk lebih mandiri. 2. Bagi Sekolah a. Perlunya program tentang keterampilan sosial bagi penyandang retardasi mental agar mempunyai kesiapan dalam menghadapi realita sosial di masyarakat.

24

b. Tersedianya program penyediaan lapangan pekerjaan sangat bagus bagi para penyandang retardasi mental, tetapi perlu diadakannya evaluasi untuk mengetahui pengaruh dari program kepada subjek TD. c. Bagi sekolah subjek AY perlu adanya pemberian keterampilan vokasional bagi murid SMA LB.

3.

Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti yang lain, dapat membahas dengan tema yang berbeda tentang penyandang retardasi mental yang masih sedikit penelitiannya di Indonesia. Fokusnya adalah pada penyandang retardasi mental ringan dengan tema problem solving. aspirasi, penyesuaian seksual dan pengelolaan

kemandirian, karena penyandang retardasi mental ringan lebih mempunyai permasalahan secara psikologis dan sosial daripada karakteristik penyandang retardasi mental lainnya.

You might also like