You are on page 1of 8

BAB 5 PRINSIP-PRINSIP ANALISIS MEKANIK

5.1 TINJAUAN UMUM Analisis mekanik adalah ekspresi kuantitatif dari distribusi frekuensi besar butir partikel dalam material granuler, fragmental, atau material berbentuk serbuk. Analisis mekanik tidak harus mencakup proses pemisahan aktual zat ke dalam kelas-kelas besar butir serta tidak pula hanya diterapkan pada zat yang tidak terkonsolidasi. Metoda analisis mekanik dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yakni: (1) metoda modern yang memiliki presisi cukup tinggi; dan (2) metoda lama. Perbedaan mendasar diantara kedua kelompok metoda itu adalah bahwa metoda modern dilandasi oleh suatu teori matematika mengenai sistem sedimentasi. Selain itu, metoda lama berusaha memisahkan zat ke dalam kelas-kelas besar butir, sedangkan metoda baru tidak demikian. Semua metoda analisis ditunjang oleh beberapa prinsip dasar, misalnya prinsip settling velocity partikel, dispersi dan koagulasi suspensi, serta berbagai teori penerapannya. Faktorfaktor yang terlibat dalam dispersi dan koagulasi telah dibahas pada Bab 3. Bab ini akan menujukan perhatiannya pada prinsip-prinsip lain dari analisis mekanik. Sejarah perkembangan berbagai metoda analisis mekanik merupakan sebuah topik yang layak mendapat perhatian para peneliti yang sering melakukan analisis mekanik. Walau demikian, karena keterbatasan tempat, topik itu tidak akan dibahas panjang lebar disini. Pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai sejarah perkembangan metodametoda analisis mekanik di-persilahkan untuk menelaah karya tulis Krumbein.1 5.2 SISTEM DISPERSI Suspensi zat padat dalam zat cair akan disebut sistem dispersi (disperse system) apabila zat padat itu demikian rata tersebar dalam zat cair tersebut sedemikian rupa sehingga individuindividu partikel zat padat itu mungkin tidak lagi memiliki kebenaan primer dan penelaahan yang lebih tepat dilakukan terhadap campuran itu adalah penelaahan keseluruhan partikel sebagai sebuah sistem. Zat padat dalam suatu sistem dispersi disebut fasa terdispersi (dispersed phase), sedangkan zat cair dalam sistem itu dinamakan medium dispersi (dispersion medium). Berdasarkan keseragaman ukuran partikel padat yang menyusunnya, sistem dispersi dibedakan menjadi dua tipe: (1) sistem monodispersi (monodisperse system), yakni sistem dispersi yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya relatif seragam; (2) sistem polidispersi (polydisperse system), yakni sistem dispersi yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya beragam. Kedua sistem dispersi itu lebih jauh dapat digolongkan lagi berdasarkan ukuran partikel padat yang ada didalamnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, sistem polidispersi sudah barang tentu akan termasuk ke dalam lebih dari satu kategori ukuran partikel. Berdasarkan ukuran partikel padat yang ada didalamnya, sistem dispersi dapat dibedakan menjadi 4 sistem: 1) Sistem dispersi kasar (coarse disperse system). Pada sistem ini, partikel-partikel padat penyusunnya memiliki diameter > 0,1 mikron (> 0,0001 mm). Limit bawah ukuran partikel penyusun sistem ini umumnya disepakati merupakan limit atas dari sistem koloid. Walau demikian, diakui pula bahwa ada suatu zona transisi antara sistem dispersi kasar dan sistem koloid, dimana pada zona transisi itu sistem akan memiliki beberapa sifat sistem dispersi kasar sekaligus sifat-sifat sistem koloid. Zona transisi ini dapat meluas hingga mencakup sistem yang disusun oleh partikel-partikel padat yang berukuran lebih dari 1 mikron. Sistem dispersi kasar dapat dibedakan menjadi 3 kategori:

W. C. Krumbein (1932) A history of the principles and methods of mechanical analysis. Jour. Sed. Petr. vol. 2, h. 89124. Kekeliruan yang ada dalam makalah itu diperbaiki dalam Journal of Sedimentary Petrography, vol. 3, h. 95.

a) Sistem makroskopis (macroscopic system), di dalam sistem mana individu-individu partikel dapat dikenal dengan mata telanjang; kelompok ini mencakup partikel-partikel yang diameternya > 10 mikron (> 0,01 mm). b) Sistem mikroskopis (microscopic system), di dalam sistem mana individu-individu partikel dapat dikenal dengan bantuan compound microscope. Diameter minimal dari partikel-partikel yang termasuk ke dalam sistem ini adalah sekitar 0,2 mikron (0,0002 mm). c) Sistem ultramikroskopis (ultramicroscopic system), di dalam sistem mana partikel tidak tampak sebagai individu-indivdu diskrit sewaktu dilihat di bawah compound microscope. 2) Sistem dispersi koloid (coloidal disperse system). Diameter partikel-partikel koloid berkisar mulai dari sekitar 0,0001 mm hingga sekitar 106 mm. Partikel-partikel terbesar dari sistem ini termasuk ke dalam kelompok ultramikroskopis. Koloid dapat didefinisi-kan sebagai wujud dimana fasa terdispersi tersebar secara merata sedemikian rupa sehingga tingkah laku koloid itu tergantung pada luas permukaannya. Dispersi dan koagulasi merupakan dua fenomena yang sering muncul dalam koloid. 3) Sistem dispersi molekuler (molecular disperse system). Ini merupakan sistem dispersi yang hanya mengandung partikel-partikel dengan diameter < 106 mm. Karena itu, sistem ini merupakan larutan murni. Perlu dipahami bahwa penggolongan sistem dispersi tersebut di atas bersifat arbitrer karena sifat-sifat partikel penyusun sistem dispersi sangat bervariasi. Hal itu terutama berlaku untuk sistem polidispersi, dimana tidak jarang kita menemukan kisaran besar butir mulai dari partikel kasar, koloid, hingga material yang benar-benar larut. Analisis mekanik terutama berkaitan dengan sistem 1 (sistem dispersi kasar) dan 2 (sistem dispersi koloid). Metoda-metoda analisis sangat tergantung pada ukuran dominan atau pada kisaran besar butir partikel. Metodametoda analisis yang dikenal dewasa ini paling efektif diterapkan pada partikel-partikel dengan diameter > 1 mikron (0,001 mm) sehingga sebagian besar analisis mekanik dilaksanakan dalam kaitannya dengan sistem dispersi kasar. Material yang lebih halus dari 1 mikron seringkali dikelompokkan ke dalam satu kategori. Untuk melukiskan pengaruh ukuran terhadap metoda-metoda analisis yang biasa digunakan dewasa ini, berikut akan dikemuka-kan sebuah skema pembagian sistem dispersi serta metodametoda analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis setiap sistem itu. 1. Sistem dispersi kasar. Partikel-partikel > 10 mm: pengukuran langsung dengan metoda makroskopis; metoda ayakan. a. Partikel-partikel dengan diameter antara 0,05 dan 10 mm: metoda ayakan, pengukuran langsung dengan metoda mikroskopis. b. Partikel-partikel dengan diameter antara 0,001 dan 0,05 mm: metoda sedimentasi tidak langsung (metoda pipet, neraca Odn, tabung Wiegner, dsb), namun dalam beberapa kasus kelompok ini dibagi lebih jauh menjadi bebeapa kategori: (i) Partikel dengan diameter 0,01 hingga 0,05 mm: rising current elutriation; metoda sentrifugal. (ii) Partikel dengan diameter 0,001 hingga 0,01 mm: metoda sedimentasi tidak langsung. (iii) Partikel dengan diameter 0,0001 hingga 0,001 mm: metoda sentrifugal. 2. Sistem dispersi koloid: metoda sentrifugal, ultramikroskop, turbiditas, serta berbagai metoda optik. 5.3 KONSEP UKURAN DALAM ZAT PADAT YANG TIDAK BERATURAN Jika semua tanah dan sedimen disusun oleh partikel berbentuk bola sempurna, maka definisi ukuran akan menjadi sederhana. Kenyataannya, partikel alami jarang yang memiliki bentuk teratur. Selain itu, karena partikel-partikel penyusun suatu campuran dapat memiliki bentuk yang bervariasi. Karena itu, tidak mengherankan apabila masalah definisi besar butir telah menarik perhatian banyak ahli. Pada beberapa kasus, definisi besar butir tergantung pada besaran partikel: partikel-partikel besar yang relatif mudah ditangani didefinisikan dengan satu himpunan kriteria tertentu, sedangkan partikel-partikel halus didefinisikan dengan himpunan

kriteria yang lain. Hingga tingkat tertentu, definisi besar butir didasarkan pada cara-cara yang paling mudah diterapkan secara langsung untuk mendapatkan nilai ukuran itu dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu penelaahan paling menyeluruh terhadap konsep ukuran partikel yang tidak beraturan dilakukan oleh Wadell.2 Tulisan di bawah ini terutama didasarkan pada hasil penelaahan Wadell. Thesis yang diajukan oleh Wadell adalah bahwa besar butir suatu partikel paling baik diungkapkan oleh nilai volumenya karena volume suatu benda tidak tergantung pada bentuknya. Penggunaan diameter terpanjang, diameter menengah, dan diameter terpendek, atau nilai rata-rata geometris atau nilai rata-rata aritmetik dari ketiga ukuran tersebut, menurut Wadell, relatif tidak memiliki arti apa-apa dalam definisi besar butir partikel yang tidak beraturan.3 Sebagai contoh, dalam banyak kasus kita dapat menemukan partikel tidak beraturan dengan nilai diameter rata-rata padat yang sama dengan diameter sebuah partikel berbentuk bola, padahal volume kedua partikel berbeda sama sekali. Istilah diameter hanya memiliki arti definitif dalam kaitannya dengan sebuah bola; pada kasus itu, diameter dan besar butir memiliki arti yang sama dan perhitungan luas permukaan dan volume partikel tersebut dapat dengan mudah dilakukan dari nilai diameternya. Namun, untuk partikel yang tidak berbentuk bola, istilah diameter tidak akan mampu menjalankan fungsi tersebut dan, oleh karena itu, tidak dapat digunakan dalam setiap penelitian mendasar mengenai sifat-sifat fisik partikel. Pola penalaran seperti itu telah mendorong Wadell untuk mendefinisikan ukuran partikel yang bentuknya tidak beraturan dengan memakai nilai diameter nominal sebenarnya (true nominal diameter), yakni diameter partikel berbentuk bola yang volumenya sama dengan volume partikel yang bentuknya tidak beraturan itu. Diameter nominal sebenarnya menjadi sebuah konsep yang sangat penting dalam penelitian sedimen, bukan saja karena dapat diadaptasikan pada penelaahan teoritis, namun juga karena dapat digunakan langsung dalam penelitian laboratorium terhadap sedimen. Pembahasan yang lebih mendetil tentang penerapan konsep diameter nominal sebenarnya dalam penelitian bentuk partikel akan disajikan pada Bab 11. Dalam analisis mekanik, banyak istilah dikembangkan untuk menyatakan ukuran partikel yang tidak beraturan dalam kaitannya dengan settling velocity partikel tersebut. Schne4 memperkenalkan istilah hydraulischer Werth (nilai hidrolik) suatu partikel untuk mendefinisikan diameter suatu bola kuarsa yang memiliki settling velocity sama dengan partikel itu dalam medium air. Nilai hidrolik tidak berkaitan dengan ukuran aktual dari partikel, namun digunakan untuk menyatakan ukuran numeriknya. Odn mengembang-kan konsep nilai hidrolik dengan memperkenalkan istilah radius ekivalen (equivalent radius) suatu partikel yang diartikan sebagai jari-jari suatu bola dari material yang sama dengan partikel itu dan memiliki settling velocity yang sama dengan partikel tersebut. Baru-baru ini, Wadell mempertajam definisi tersebut dengan memperkenalkan istilah radius sedimentasi (sedimentation radius) sebuah partikel yang diartikannya sebagai radius sebuah bola yang memiliki berat jenis sama dengan partikel tersebut serta memiliki terminal uniform settling velocity seperti partikel sedimen dalam medium pengendap yang sama. Robinson, sebelum terbitnya karya tulis Wadell, memahami bahwa pemakaian istilah jari-jari dalam kaitannya dengan partikel yang bentuknya tidak beraturan tidak memiliki arti apa-apa untuk partikel yang dipelajari melalui metoda sedimentasi, kemudian dia mengabaikan sama sekali setiap ungkapan mengenai ukuran dalam berbagai analisis mekanik yang dilakukannya. Sebagai gantinya, dia mengungkapkan hasilhasil analisisnya secara langsung sebagai nilai-nilai logaritma dari settling velocity. Radius sedimentasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Wadell akan diterima sebagai sebuah istilah baku dalam buku ini dan dalam setiap konteks mengenai ukuran partikel yang tidak beraturan sebagaimana yang ditentukan dengan metoda sedimentasi, maka ukuran itu hendaknya diartikan sebagai radius sedimentasi. Di bawah ini akan dikembangkan dua hukum settling velocity yang umumnya dapat diterapkan pada penelitian sedimen. Kedua hukum itu adalah Hukum Stokes asli atau Hukum Stokes yang telah dimodifikasi oleh Wadell untuk
2 3 4

H. Wadell (1932) Volume, shape, and roundness of rock particles. Jour. Geology, vol. 40, h. 443-451. Walau demikian, lihat pembahasan mengenai arti berbagai definisi besar butir pada bagian 2.7.3.1. E. Schne (1868) Neber einen neuen Apparat fur die Schlmmanalyse. Zets. f. anal. Chemie, vol. 7, h. 29-47.

analisis partikel yang bentuknya tidak beraturan. Apabila Hukum Stokes digunakan secara langsung dalam bentuk aslinya, maka nilai-nilai ukuran yang terhitung dapat disebut sebagai radius (atau diameter) sedimentasi Stokes (Stokes sedimentation radius, or diameter). Namun, apabila kita menggunakan rumus praktis yang dikembangkan oleh Wadell, maka nilai-nilai ukuran yang terhitung disebut radius (atau diameter) sedimentasi praktis (practical sedimentation radius, or diameter). 5.4 SETTLING VELOCITY PARTIKEL KECIL Salah satu prinsip paling mendasar yang melandasi analisis mekanik adalah bahwa partikelpartikel kecil akan mengendap dengan kecepatan yang tetap dalam air atau fluida lain. Adalah suatu hal yang benar secara universal bahwa partikel-partikel kecil akan mencapai kecepatan yang tetap itu dalam suatu medium segera setelah resistansi fluida tepat sama dengan gaya ke bawah (gaya gravitasi) yang konstan dan bekerja terhadap partikel itu. Secara umum, settling velocity partikel tergantung pada jari-jari, bentuk, densitas, tekstur permukaan partikel tersebut serta pada densitas dan viskositas fluida dimana partikel itu mengendap. Ada sejumlah persamaan matematis yang dikembangkan untuk memperlihatkan hubungan antara faktorfaktor tersebut. Sebagian diantaranya didasarkan pada bukti-bukti empiris, sedangkan sebagian lain didasarkan pada analisis teoritis. Beberapa diantara hukum itu akan dibahas cukup mendetil di bawah ini, tergantung pada daya terapannya pada analisis mekanik. 5.4.1 Hukum Stokes Rumus klasik untuk settling velocity, yang banyak dikenal oleh para ilmuwan, adalah hukum Stokes. Hukum itu hanya dapat diterapkan pada partikel-partikel berbentuk bola. Karena persamaan itu sangat penting artinya dan memiliki penerapan yang luas, maka persamaan itu akan dibahas dengan cukup mendetil dalam bagian ini. 5.4.1.1 Teori Hukum Stokes Stokes pertama-tama menelaah resistansi yang diberikan oleh fluida terhadap sebuah bola yang ada didalamnya, dan akhirnya sampai pada persamaan R = 6r dimana R adalah resistansi, dalam satuan gr. cm/det2. r adalah radius bola dalam satuan cm. adalah viskositas fluida. v adalah kecepatan bola dalam satuan cm/det. Ketika sebuah bola kecil mengendap melalui suatu fluida, maka bola itu akan dikenai oleh gaya gravitasi yang besarnya Fd = 4 3 r d1g
3

(5-1)

(5-2)

dan bekerja ke bawah serta oleh gaya apung (bouyant force) fluida yang besarnya Fu = 4 3 r d2g
3

(5-3)

sebagaimana yang diindikasikan oleh Hukum Archimedes, dan bekerja ke atas. Kedua gaya itu menghasilkan gaya resultan

Fd - Fu =

4 3

r (d - d2 ) g 1

(5-4)

yang bekerja ke bawah. Pada saat resistansi R persis sama dengan gaya resultan itu, maka kecepatan pengendapan partikel akan konstan dan akan terus konstan seperti itu. Ketika keadaan yang tetap itu terdapai, akan diperoleh 6r= 4 3 r (d - d2 ) g 1
3

(5-5)

dimana r adalah radius bola dalam satuan cm. adalah viskositas fluida. v adalah kecepatan bola dalam satuan cm/det. d1 adalah densitas bola. d2 adalah densitas fluida. g adalah percepatan gravitasi (980 cm/det2). Dengan menempatkan suku v di sisi kiri, maka akan diperoleh persamaan v= 2(d d2 )gr 1 9
2

(5-6)

Persamaan (5-6) itu dikenal sebagai Hukum Stokes. Secara umum, jika kondisi-kondisi baku diasumsikan, maksudnya jika temperatur tetap, jenis dan karakter fluidanya diketahui, serta apabila berat jenis bola itu diketahui, maka persamaan (5-3) dapat dinyatakan dalam bentuk: v = Cr
2

(5-7)

dimana C adalah sebuah konstanta, dimana C= 2(d d2 )g 1 9 (5-8)

Tabel-tabel untuk dan akan dirujuk temperatur 20oC, adalah C = 3,57 x

berbagai nilai konstanta itu, di bawah kondisi yang beragam, telah dihitung nanti. Walau demikian, perlu dikemukakan disini bahwa untuk air dengan dan partikel kuarsa yang memiliki berat jenis 2,65, maka nilai konstanta itu 104.

5.4.1.2 Asumsi-Asumsi dalam Hukum Stokes Ada beberapa asumsi yang melandasi Hukum Stokes. Kita sangat perlu untuk menelaah asumsi-asumsi itu dalam kaitannya dengan analisis mekanik. Berikut akan dikemukakan beberapa asumsi yang dimaksud: 1. Partikel harus berbentuk bola, mulus, dan tegar serta hendaknya tidak terjadi pergeseran diantara partikel tersebut dengan medium dimana partikel itu mengendap. 2. Medium pengendapan dapat dianggap homogen apabila dibandingkan dengan ukuran partikel. 3. Partikel hendaknya tenggelam sebagaimana yang akan terjadi dalam sebuah medium yang tidak terbatas. 4. Harus tercapai settling velocity yang konstan. 5. Settling velocity hendaknya tidak terlalu besar.

Setiap asumsi tersebut di atas perlu mendapatkan penjelasan yang memadai dalam kaitannya dengan analisis mekanik untuk menentukan apakan asumsi itu dapat diterapkan dalam praktek atau tidak. Asumsi 1 cukup memuaskan karena partikel-partikel yang dianalisis biasanya memang terbasahkan oleh cairan yang biasa digunakan dalam analisis mekanik. Demikian pula, karena partikel-partikel itu merupakan zat padat, maka asumsi ketegaran (rigidity) juga terpenuhi. Walau demikian, partikel-partikel sedimen yang biasa dianalisis jarang yang benar-benar mulus. Arnold memperlihatkan bahwa permukaan partikel yang berlekuk-lekuk tidak terlalu mempengaruhi settling velocity partikel besar yang berbentuk bola. Karena itu, faktor tersebut agaknya tidak terlalu penting. Kondisi bahwa partikel yang dianalisis merupakan sebuah bola mungkin merupakan sebuah kualitifkasi yang paling sukar untuk terpenuhi dan kualifikasi itu telah menimbulkan bebeapa kesulitan. Sedimen yang sama dapat memiliki partikel yang bentuknya bervariasi, mulai dari partikel yang hampir berbentuk bola hingga partikel yang bentuknya tidak beraturan, seperti papan, atau seperti batangan. Walau demikian, berbagai percobaan yang pernah dilakukan untuk mengetahui kesesuaian settling velocity bubuk, tanah, dan sedimen sebagaimana yang teramati melalui percobaan dengan nilai-nilai settling velocity yang ditentukan nilainya secara teoritis dengan menggunakan Hukum Stokes. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai-nilai settling velocity itu memperlihatkan banyak kemiripan dalam kisaran yang cukup berarti sewaktu digunakan berbagai metoda yang biasa digunakan dalam analisis mekanik. Andreason & Lundberg, misalnya saja, menemukan kesesuaian yang sangat baik antara kelas besar butir yang dipisahkan oleh sebuah elutriator (elutriator Schone) dengan Hukum Stokes untuk partikel yang diameternya hingga 0,088 mm, meskipun mereka menyatakan bahwa partikel-partikel yang lebih besar dari itu memperlihatkan deviasi. Gambaran mengenai kesesuaian dapat dilihat dari sebuah perbandingan antara nilai-nilai yang teramati dari beberapa percobaan dengan nilai-nilai teoritis yang diberikan oleh Hukum Stokes. Gambar 5-1 adalah sebuah kurva yang dibuat berdasarkan hasil berbagai percobaan yang dilakukan oleh Schone, Hilgard, Owens, Atterberg, Boswell, dan Richards. Hukum Stokes diperlihatkan sebagai sebuah garis tegas dan merupakan nilai untuk settling velocity partikel kuarsa dalam air di bawah temperatur 15o. Kondisi-kondisi itu dipilih sebagai nilai rata-rata karena tidak adanya data definitif mengenai kondisi-kondisi eksak dimana berbagai percobaan dilaksanakan. Apabila diperhatikan, akan terlihat adanya suatu kesuaian yang berarti antara nilai-nilai kecepatan yang teramati dengan nilai-nilai kecepatan yang terhitung hingga diameter sekitar 0,05 mm. Nilai-nilai kecepatan yang diperoleh Richards mulai memperlihatkan deviasi dari diameter sekitar 0,04 mm; nnilai-nilai kecepatan yang diperoleh Schone mulai memperlihatkan deviasi dari diameter sekitar 0,06 mm; sedangkan nilai-nilai kecepatan yang diperoleh Hilgard mulai memperlihatkan deviasi dari diameter sekitar 0,07 mm. Deviasi itu dapat terus berlanjut, tergantung pada kondisi percobaan serta pada perbedaan bentuk. Walau demikian, agaknya cukup aman bagi kita untuk menganggap bahwa ada kesesuaian antara nilai-nilai percobaan dan nilai-nilai teoritis untuk partikel-partikel yang berukuran hingga sekitar 0,05 mm, meskipun kesuaian itu mungkin juga tercapai untuk partikel-partikel dengan diameter hingga sekitar 0,07 mm. Nanti akan diperlihatkan bahwa limit-limit atas itu sangat sesuai dengan limit atas teoritis untuk partikel berberntuk bola sebagaimana yang diprediksikan oleh Hukum Stokes. Karena adanya kesulitan dalam mendefinisikan ukuran partikel yang bentuknya tidak beraturan dan umumnya ditemukan dalam sedimen atau tanah, maka ukuran biasanya didefinisikan dalam kaitannya dengan settling velocity sesuai dengan Hukum Stokes, dalam kaitannya dengan konsep-konsep radius hidrolik, radius ekivalen, atau radius sedimentasi sebagaimana yhang telah dijelaskan sebelumnya. Asumsi 2 hanya menyatakan bahwa jarak antar molekul-molekul fluida harus lebih kecil dibanding ukuran partikel. Kondisi ini terpenuhi seluruhnya hingga batas minimal partikel sedimen, paling tidak hingga limit atas sistem koloid, bahkan mungkin juga mencakup sistem tersebut. Untuk tujuan praktis, asumsi ini dapat diabaikan. Asumsi 3 memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap analisis mekanik karena semua analisis mekanik dilaksanakan dalam peralatan yang memilliki ukuran terbatas. Karena asumsi itu menyatakan bahwa medium pengendap hendaknya tidak terbatas, kita perlu

memperhitungkan galat yang ditimbulkan oleh tabung sedimentasi (sedimentation cylinder) terhadap partikel dengan diameter tertentu. Beberapa persamaan telah dikembangkan untuk menyatakan pengaruh kedekatan dinding tabung terhadap settling velocity partikel. Lorentz mengajukan sebuah persamaan untuk menyatakan resistansi yang diperoleh suatu partikel pada bidang dinding. Selain itu, dengan menggunakan istilahnya sendiri, bukan menggunakan R dari Hukum Stokes, kita akan menemukan bahwa nisbah kecepatan sebenarnya terhadap kecepatan sebagaimana yang diprediksikan oleh Hukum Stokes adalah sbb: vt vs (5-9) dimana L adalah jarak antar bola partikel dengan dinding. Gambar 5-2 memperlihatkan nilai nisbah ini, yang dinyatakan sebagai sebuah persentase, untuk bola-bola partikel dengan radius 0,001 cm dan 0,0025 cm pada berbagai jarak dari dinding. Nilai nisbah semuanya lebih kecil dari 1, hal mana mengindikasikan bahwa efek faktar adalah mengurangi kecepatan. Kurva-kurva itu bersifat hiperbolik dan efek-efek kedekatan menurun dengan sangat cepat. Kedua kurva juga memperlihatkan bahwa efek-efek bervariasi sejalan dengan ukuran partikel, dimana efek itu makin besar pada partikel yang makin besar. Hal yang dapat kita simpulkan dari data itu adalah bahwa peralatan dengan radius yang cukup besar (paling tidak memiliki radius sekitar 2 cm) hendaknya digunakan dalam analisis mekanik, untuk menyebabkan efek kedekatan dengan dinding menjadi dapat diabaikan. Ladenburg mencoba untuk memecahkan masalah itu dari kacamata suatu bola partikel yang memiliki radius r dan mengendap dalam suatu siliinder yang panjangnya L dan memiliki radius R. Berbagai percobaan yang dilakukan oleh Arnold pada kasus ini memperlihatkan bahwa kecepatan menurut Hukum Stokes tidak banyak terpengaruh hingga radius partikel sama dengan 1/10 radius silinder. Setelah itu, akan terlihat bahwa tabung dengan jari-jari yang sangat kecil mungkin dapat digunakan dalam analisis mekanik, namun faktor lain dapat mempengaruhi sistem partikel yang ada. Pada kasus seperti itu, partikel dipengaruhi oleh partikel lain yang berdekatan dengannya sedemikian rupa sehingga akan terbentuk situasi yang kompleks dan tidak mudah untuk ditangani secara matematis. Dalam suspensi cair, efekefek tersebut agaknya tidak terlalu serius. Penulis mengetahui bahwa tidak ada data kuantitatif mengenai hal itu, namun agaknya sebaiknya kita hanya menggunakan suspensi yang mengandung tidak lebih dari sekitar 25 g zat padat dalam 1 liter suspensi. Selain itu, agar bersifat konservatif, sebaiknya kita menggunakan tabung yang diameternya cukup besar, katakanlah sekiitar 5 cm atau lebih. Asumsi 4 menyatakan bahwa kecepatan yang konstan harus dicapai. Jelas sudah bahwa pada waktu t = 0, kecepatan partikel juga berharga 0, sedemikian rupa sehingga pada mulanya mengalami percepatan hingga resistansi fluida akhirnya mampu menyetimbangkan gaya gerak partikel yang mengarah ke bawah. Dengan demikian, akan ada suatu rentang waktu tertentu sebelum akhirnya tercapai kecepatan yang konstan. Kita perlu mempertimbangkan ordo besaran interval waktu tersebut. Weyssenhoff mengembangkan suatu persamaan yang memungkinkan dilakukannya penghitungan interval waktu tersebut. Persamaan itu sendiri agak kompleks dan tidak perlu dibahas secara mendetil disini; penghitungan-penghitungan untuk suatu bola partikel dengan diameter 0,05 mm (yang mendekati limit atas dari penerapan hukum tersebut) mengindikasikan bahwa diperlukan waktu sekitar 0,003 detik untuk mencapai kecepatan yang konstan. Dengan demikian, asumsi 4 tidak perlu terlalu diperhitungkan dalam analisis mekanik praktis. Asumsi 5 menyatakan bahwa pergerakan partikel hendaknya lambat. Kondisi itu menyebabkan munculnya limit-llimit terhadap kisaran ukuran yagn dapat dipelajari dengan Hukum Stokes dan kita sangat perlu untuk mempertimbangkan masalah tersebut secara mendetil. Asumsi itu didasarkan pada fakta bahwa viskositas medium merupakan satu-satunya faktor yang memunculkan resistansi terhadap bola partikel sewaktu mengendap. Apabila bola = 1 9r 16L

partikel itu demikian besar sedemikian rupa sehingga viskositas medium tidak lagi terlalu mempengaruhi pengendapannya, partikel tersebut akan menyeret sebagian fluida dan bahwa nilai jari-jari partikel tersebut tidak memperlihatkan hubungan yang sederhana dengan kecepatan penenggelaman sebagaimana pada kasus partikel berukuran kecil. Walau demikian, limit besar butir dimana terjadi perubahan hubungan tersebut tergantung pada beberapa faktor. Jika cairan dimana partikel itu tenggelam sangat kental, maka limit besar butir itu akan relatif besar dibanding dengan limit pada fluida yang relatif encer. Demikian pula, apabila perbedaan antara densitas bola dengan densitas fluida relatif kecil, maka limit tersebut akan memiliki nilai yang lebih besar dibanding dengan kasus dimana terdapat perbedaan densitas yang cukup jauh antara partikel dengan fluida. Allen (1900) membahas limit atas dari Hukum Stokes dan menyatakan bahwa hukum itu hanya sahih selama suku-suku inersia memiliki nilai yang jauh lebih rendah dibanding nilai viskositas fluida. Hal itu mensyaratkan bahwa hasil kali kecepatan dengan jari-jari partikel dan densitas fluida harus lebih kecil dibanding nilai viskositas sebagaimana yang dinyatakan oleh persamaan sbb: Dalam mencari limit atas tersebut, Allen (1900) mendefinisikannya sebagai jari-jari kritis yang nilai r yang menyebabkan kedua suku pada ketidaksamaan tersebut di atas menjadi sama. Dengan menempatkan persamaan tersebut menjadi bentuk v = n/d2r, dan mengganti v = Cr2 dari Hukum Stokes, maka kita akan mendapatkan dari mana jelas sudah bahwa Arnold (1911) memperlihatkan bahwa suku-suku inersia mulai memanifestasikan dirinya ketika nilai radius yang besarnya 0,6 kali nilai jari-jari radius. Dengan menganggap sebuah bola kuarsa (berat jenis 2, 65) tenggelam dalam air yang bertemperatur 20oC (nilai C dalam Hukum Stokes pada kasus itu adalah 3,57 x 104), maka dapat diperlihatkan bahwa nilai radius kritis yang belum terkoreksi memiliki nilai sekitar 0,006 cm atau nilai diameter 0,12 mm. Enam per sepuluh nilai itu adalah sekitar 0,08 mm. Angka itu merupakan limit atas untuk menerapkan Hukum Stokes dalam analisis mekanik biasa. Hal itu berkorespondensi dengan suatu partikel yang ukurannya sedikit lebih besar dari 1/16 mm serta melibatkan kecepatan penenggelaman sekitar 5 mm/det. Akan terlihat bahwa angka itu memiliki orde yang sama dengan data percobaan yang diperlihatkan pada gambar 20. Masalah limit bawah dari Hukum Stokes juga telah menarik perhatian beberapa ahli. Penelitian yang dilakukan oleh Perrin (1920) dalam kaitannya dengan itu perlu dikaji. Dia mempersiapkan pada dasarnya sejumlah sistem monodispersi dari partikel-partikel yang sangat halus dengan menggunakan centrifuging gamboge suspensions. Jari-jari dari partikel-partikel itu ditentukan dengan tiga metoda. Salah satu diantaranya adalah dengan menggunakan metoda kecepatan penenggelaman. Angka-angka yang ditentukan berdasarkan Hukum Stokes sangat sesuai dengan angka-angka yang diperoleh dari dua metoda lain. Selama partikel memiliki nilai kisaran jari-jari dari sekitar 0,15 mikron hingga 0,5 mikron, Perrin menyimpulkan bahwa Hukum Stokes dapat diterapkan, meskipun pada partikel-partikel seperti itu terjadi gerak Brown dan bahwa Hukum Stokes sahih untuk digunakan pada batas-batas koloid. Von Hahn (1928), setelah

You might also like

  • Acad Coment
    Acad Coment
    Document9 pages
    Acad Coment
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Metode Sampling
    Metode Sampling
    Document15 pages
    Metode Sampling
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Emery 01
    Emery 01
    Document4 pages
    Emery 01
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Identifikasi Unsur Nikel DGN Teknik Laser Induced Plasma (LIP)
    Identifikasi Unsur Nikel DGN Teknik Laser Induced Plasma (LIP)
    Document4 pages
    Identifikasi Unsur Nikel DGN Teknik Laser Induced Plasma (LIP)
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Pertambangan Nikel
    Pertambangan Nikel
    Document131 pages
    Pertambangan Nikel
    Rudy Edwin
    No ratings yet
  • Macam Macam Metode Sampling
    Macam Macam Metode Sampling
    Document40 pages
    Macam Macam Metode Sampling
    EvitaWati
    No ratings yet
  • Miall
    Miall
    Document2 pages
    Miall
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • McPhie 3
    McPhie 3
    Document7 pages
    McPhie 3
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • McPhie 4
    McPhie 4
    Document2 pages
    McPhie 4
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • McPhie 4
    McPhie 4
    Document2 pages
    McPhie 4
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Davis@
    Davis@
    Document5 pages
    Davis@
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Mcphie
    Mcphie
    Document7 pages
    Mcphie
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Klumbien 4
    Klumbien 4
    Document12 pages
    Klumbien 4
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Krumbien
    Krumbien
    Document6 pages
    Krumbien
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Klumbien 6
    Klumbien 6
    Document2 pages
    Klumbien 6
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Klumbien 7
    Klumbien 7
    Document1 page
    Klumbien 7
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Harms 7
    Harms 7
    Document10 pages
    Harms 7
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • McPhie 02
    McPhie 02
    Document17 pages
    McPhie 02
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Collinson 6
    Collinson 6
    Document2 pages
    Collinson 6
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Klumbien 3
    Klumbien 3
    Document22 pages
    Klumbien 3
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Klumbien 2
    Klumbien 2
    Document21 pages
    Klumbien 2
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Davis Delta
    Davis Delta
    Document9 pages
    Davis Delta
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Harms 2
    Harms 2
    Document2 pages
    Harms 2
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Nemec
    Nemec
    Document4 pages
    Nemec
    ra91
    No ratings yet
  • Batt Delta
    Batt Delta
    Document11 pages
    Batt Delta
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Harms
    Harms
    Document2 pages
    Harms
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Collinson 10
    Collinson 10
    Document2 pages
    Collinson 10
    asyahbanu
    No ratings yet
  • Collinson 4
    Collinson 4
    Document5 pages
    Collinson 4
    Ardo Dwipa
    No ratings yet
  • Collinson 2
    Collinson 2
    Document10 pages
    Collinson 2
    Ardo Dwipa
    No ratings yet