You are on page 1of 32

KATA PENGANTAR Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Luka batin warga NU dan Ansor karena serangkaian ulah Jawa Pos belum pulih benar. Kini, terhitung yang ketiga kalinya Jawa Pos kembali melakukan 'penyiksaan' kepada warga NU dan Ansor melalui pemuatan grafis yang jelas salah dari sudut pandang apapun, dalam terbitan edisi Sabtu, 6 Mei 2000. Sejumlah warga NU-Ansor Surabaya kemudian melakukan klarifikasi dengan mendatangi kantor Jawa Pos di Surabaya sebagai wujud tanggung jawab moral untuk meluruskan tuduhan yang dinuansakan dalam 'grafis konyol' tersebut, dan Banser mendampingi sebagai tenaga pengaman untuk melindungi aksi ini. Namun lagi-lagi warga NU-Ansor mendapatkan ketidak-adilan yang ke sekian kalinya, karena upaya manusiawi warga NU-Ansor ini diputar balikkan sedemikian rupa sehingga diciptakan opini oleh Jawa Pos dan kroninya bahwa Banser menyerbu dan menduduki kantor Jawa Pos yang mengakibatkan Jawa Pos tidak dapat terbit untuk edisi esok harinya. Dan, aneh memang, dalam waktu sekejap opini berhasil tercipta seiring dengan datangnya berbagai kutukan, kecaman dan bahkan usul pembubaran Banser dari berbagai pihak. Ini tidak adil dan sangat kejam di mata warga NU-Ansor di manapun berada. Oleh sebab itu, PW GP Ansor Jawa Timur perlu memaparkan persoalan ini secara faktual dan proporsional melalui buku putih ini, agar warga NU-Ansor khususnya, dan masyarakat umum tidak menjadi kerdil dan bodoh akibat sajian kabar bohong . Demikian, kita bersama-sama berharap semoga buku ini dapat menuntun kita untuk memahami nilai kebenaran dan kejujuran. Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

PIMPINAN WILAYAH GERAKAN PEMUDA ANSOR JAWA TIMUR

Ketua, DRS. MH. ROFIQ


1

Sekretaris, DRS. CHUSNUL HUDA SHOLEH

Rais Syuriyah PBNU KH A Mustofa Bisri : Salah Gunakan Arti Kebebasan Pers

PEMUATAN berita Jawa Pos yang kemudian membangkitkan kemarahan warga NU, sama sekali bukan cerminan bahwa Banser bertindak emosional. Tetapi memang lantaran surat kabar itu yang telah keterlaluan dan melampaui batas dalam menjurus fitnah. Kita tidak emosional menanggapinya. Namun apa yang dilakukan oleh JP sudah sangat kelewat batas dan menjurus fitnah. Bagaimana tidak panas, wong berita itu justru dikutip dari media yang ternyata sudah melakukan klarifikasi dan minta maaf kepada pak Hasyim Muzadi akibat kekeliruan pemberitaan Apa yang dilakukan oleh JP sudah berkali-kali. Berita yang cenderung provokatif dan fitnah itu adalah sebuah bentuk kebathilan yang harus diperangi. Bahkan kasus ini dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menjegal pemerintahan Gus Dur. Ternyata JP telah menyalahgunakan arti kebebasan pers dengan mengabaikan norma-norma hukum maupun etika dengan menohok NU melakukan praktek KKN tanpa sumber yang jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saat pemerintahan orba, saya dengan sukarela memberikan beberapa informasi berkait dengan berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh kroni-kroni Soeharto mulai dari tingkat daerah sampai pusat, namun tak satupun media berani menulisnya, termasuk JP. Tapi sekarang justru menghalalkan isu bohong menjadi laporan utamanya. Ini namanya kan keterlaluan. Jangan terus merasa sudah besar, terus jadi kemaruk (serakah). Saya bisa saja menggunakan pengaruh dan kekuatan untuk melawannya.
2

Karena saya memiliki kekuatan dan pengaruh yang lebih besar dari pers. Dan saya akan melawan setiap usaha yang merecoki pemerintahan Gus Dur. (Disampaikan usai acara istighosah kubro GP Ansor-Fatayat NU di Alon-alon Baureno Bojonegoro, Selasa 8/5)

Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi : Distorsi Pemberitaan

Masalah Banser Surabaya dengan pihak Harian Pagi Jawa Pos (JP), menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Banyak pihak kurang setuju atas sikap Banser yang dinilai melanggar hukum dan menginjak-injak demokrasi. Kata mereka, Banser telah menyerbu dan menduduki Kantor Redaksi JP sehingga harian pagi di Jawa timur itu tak bisa terbit. Pembicaraan itulah yang kini berkembang sehingga seolah-olah Banser khususnya dan NU umumnya berlaku tidak demokratis dan arogan. Tentu, jika yang berkembang adalah pendudukan dan penyerbuan yang mengakibatkan JP tidak terbit, siapapun yang mendengarnya tidak menyukainya. Cara itu kurang beradab dan sewenang-wenang. Semua akan mengutuknya. Saya sebagai warga negara dan Ketua Umum PBNU juga akan mengutuknya. Kita semua menyukai cara beradab dalam menyelesaikan segala perselisihan dan permasalahan. Dalam kasus Banser dengan JP harus didudukkan persoalannya secara proporsional, apa adanya. Sekarang ini berbagai kekuatan politik saling beradu kekuatan. Pihak yang tidak senang pada Gus Dur dan NU ingin memanfaatkaan perselisihan Banser dengan JP tersebut. Senjata yang paling ampuh sudah psti masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi dan kebebasan pers. Ketika Banser berselisih dengan JP maka senjata yang dipakai adalah masalah tidak terbitnya JP yang seolah-olah disebabkan perilaku Banser yang tidak beradab dan sewenang-wenang pada pers, HAM dan demokrasi. Boleh saja orang menilai demikian. Namun tolong dicatat bahwa cara-cara yang dilakukan oleh JP khususnya dan media massa pada umumnya
3

kadang-kadang juga melanggar HAM, demokrasi dan kebebasan. Kita mengenal istilah trial by the press atau menghukum dengan pers. Boleh jadi, Banser yang merupakan bagian masyarakat Indonesia sudah muak dengan cara-cara pers menuliskan beritanya. Artinya, ini bagian dari perlawanan masyarakat pada pers. Artinya juga, pers jangan selalu merasa benar sendiri, harus juga introspeksi. Apalagi penyebab tidak terbitnya JP bukan karena ulah Banser. Namun karena jajaran Redaksi JP yang menghendaki demikian. Lantas mengapa tidak terbitnya JP seolah-olah karena kesalahan Banser? Mengapa ada distorsi pemberitaan seperti itu? Ini yang patut dipertanyakan. Apa pihak pembenci NU dan Gus Dur sedang melakukan upaya sistematis melalui media massa untuk menyudutkan NU dan Gus Dur, lalu mereka mengambil keuntungan? Harus dicatat pula kesalahan JP bukan hanya dalam pemberitaan, namun juga keterlambatan menghadirkan Direktur/CEO JP, Dahlan Iskan. Lagi pula warga NU telah mencatat dibenaknya bahwa JP telah berkali-kali menurunkan berita yang keliru khususnya mengenai NU dan tokoh NU. Akumulasi kekesalan itu kemudian tidak juga diikuti oleh perilaku simpatik JP. Ada yang patut diklarifikasi juga bahwa Banser tidak menyerbu atau menduduki Kantor Redaksi JP. Apalagi Banser dituduh merusak ini dan itu. Semua itu distorsi pemberitaan dan saya menyesalkan juga karena media massa mengikuti maunya sendiri. Siapa yang sebenarnya arogan dan tidak demokratis, mari kita introspeksi. Soal masih adanya komponen bangsa berlaku tidak demokratis, misalnya itu dituduhkan kepada Banser, mari kita jujur bahwa fenomena tidak demokratis bukan hanya ada di Banser. Partai politik, organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pers dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri sering melakukan hal yang tidak demokratis. Jika kita komitmen pada demokrasi, mari dimulai dari pribadi-pribadi. Jangan menuduh tidak demokratis pada pihak lain hanya karena ingin mencuri kesempatan saja. * Dinukil dari FIKRAH Harian Umum DUTA Masyarakat Baru, Rabu 10 Mei 2000.

BAB I Kalender Tahunan Menyerang NU

TINDAKAN spontanitas puluhan warga NU dan GP Ansor Surabaya mendatangi kantor Jawa Pos di Graha Pena Jl Achmad Yani Surabaya, Sabtu 6 Mei 2000, bukanlah tindakan yang muncul begitu saja. Tapi, dipicu oleh serangkaian kesalahan pemberitaan Jawa Pos yang menjengkelkan warga ormas keagamaan terbesar ini. Dalam tiga tahun terakhir ini, setidaknya sudah tiga kali Jawa Pos 'menyatroni' NU melalui pemberitaan-pemberitaannya. Anehnya, peristiwanya selalu terjadi pada kisaran bulan April-Mei. Pertama, 16 April 1998, Jawa Pos menurunkan berita tendensius berjudul; "PB NU Dukung Gerakan Reformasi". Berita ini keesokan harinya disusul berita Lapsus berjudul; "Mempertanyakan Perubahan Sikap Politik NU". Kedua, 15 April 1999, Jawa Pos menurunkan berita dengan judul; "Gus Dur Dicekal Sendiri oleh PBNU. Dianggap Mendua, Tak Boleh Ngomong Soal PKB". Berita ini juga dimuat Harian Suara Indonesia dan Memorandum (keduanya anak perusahaan Jawa Pos Grup). Untuk Suara Indonesia, berita ini dihiasi karikatur yang sangat tendensius. Ketiga, 6 Mei 2000, Jawa Pos menurunkan grafis berjudul "Indikasi KKN yang Menyudutkan Gus Dur." Inilah yang paling menghebohkan karena ketika diklarifikasi mengenai berita itu, Jawa Pos mengadakan aksi yang mengundang simpati banyak pihak. Yaitu, tidak terbit sehari !

TAHUN PERTAMA, 16-17 APRIL 1998

SAAT gerakan reformasi marak di tanah air, Jawa Pos edisi 16 April 1998, menurunkan berita di halaman satu berjudul; "PBNU Dukung Gerakan Reformasi." Berita ini disusul keesokan harinya di halaman tiga,
5

berjudul; "Mempertanyakan Perubahan Sikap Politik NU.". Warga NU menilai, isi dua berita tersebut sarat dengan adu domba, dan memberikan kesan kepada publik bahwa NU merupakan ormas keagamaan terbesar yang tidak mendukung gerakan reformasi. Tidak kurang, Ketua PBNU KH Wachid Zaini, saat itu mencoba mengontak Jawa Pos guna meminta kejelasan berita itu. Namun, yang dilakukan Kiai Wachid tidak mendapat tanggapan sebagaiamana mestinya. Jawa Pos baru memberi tanggapan, setelah Satuan Kordanasi Wilayah Barisan Ansor Serba Guna (Satkorwil Banser) Jawa Timur, melayangkan surat teguran (somasi) ke Redaksi Jawa Pos. Tanggapan itu berupa pertemuan klarifikasi antara pimpinan Jawa Pos dengan pimpinan NU, para ulama Jawa Timur dan GP Ansor. Pertemuan berlangsung di Rumah Makan Nur Pacific Surabaya, 25 April 1998, atau seminggu lebih setelah terbitnya berita yang meresahkan warga NU itu. Namun, sebelum surat teguran Banser memperoleh tanggapan, Jawa Pos menghembuskan cerita adu domba, bahwa Ketua Umum PBNU (waktu itu) KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, marah kepada Banser Jawa Timur yang main somasi. Cerita adu domba itu disampaikan oleh Zahidin, yang waktu itu menjabat Koordinator Liputan Jawa Pos. Zahidin mengaku telah menelepon Gus Dur untuk membicarakan persoalan ini. "Gus Dur marah dengan cara Banser. Kata Gus Dur, cara-cara Banser seperti KISDI. Gus Dur minta di-faks-kan somasi Banser itu," kata Zahidin, yang mengaku diminta Gus Dur mengirim faks kepada Ketua Umum PBNU itu, dan ia telah melakukannya. Setelah PWNU Jawa Timur mengontak Gus Dur, diketahui secara pasti bahwa cerita Zahidin itu ternyata bohong belaka. Gus Dur mengatakan, "Tidak pernah ditelepon Zahidin untuk membicarakan persoalan ini." Gus Dur bahkan menegaskan, "Urusan NU Jawa Timur, diserahkan pada kiai-kiai Jawa Timur." Pada pertemuan klarifikasi 25 April 1998 itu, Jawa Pos diwakili Redpelnya, H Sholihin Hidayat, didampingi tiga orang redaktur; Dhimam Abror, Arief Affandi dan Ali Murtadlo. Pihak NU diwakili Ketua PBNU KH Wachid Zaini, Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur KH Imron Hamzah dan beberapa
6

ulama dari Jember dan Pasuruan, diantaranya KH Zakky Ubaid. Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, Drs Choirul Anam, Dansatkorwil Banser HM Farhan SAA, Ketua LPSNU Pagar Nusa H Suharbillah dan sejumlah aktivis GP Ansor, ikut dalam pertemuan ini. Perselisihan Jawa Pos-NU ini berakhir damai, karena dalam pertemuan 25 April 1998 itu pihak Jawa Pos terus terang mengaku bersalah, minta maaf kepada organisasi NU dan seluruh warga nahdliyyin. Jawa Pos berjanji tidak akan mengulang kesalahan serupa, dan akan selalu mengonfirmasikan berita tentang NU, terutama mengenai berita-berita yang sensitif. Juga diakui, cerita yang disampaikan Koordinator Liputan Jawa Pos, Zahidin, tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

TAHUN KEDUA, 15 APRIL 1999. JANJI Jawa Pos untuk selalu mengonfirmasikan berita tentang NU, terutama berita-berita yang sensitif, ternyata hanya janji manis belaka. Terbukti, berita Jawa Pos edisi Kamis 15 April 1999, berjudul, "Gus Dur Dicekal Sendiri Oleh PBNU - Dianggap Mendua, Tak Boleh Ngomong Soal PKB," diturunkan tanpa konfirmasi sama sekali. Berita ini juga dimuat Harian Suara Indonesia dan Memorandum (dua koran anak perushaan Jawa Pos Grup). Di Suara Indonesia, bahkan dihiasi karikatur yang -menurut warga NU-sangat tidak sopan. Yakni, sebuah karikatur yang menggambarkan mulut Gus Dur ditutup dengan ruisliting dan ditarik rame-rame tiga orang yang berdiri di atas tulisan PBNU. Berita tersebut kembali meresahkan warga NU. Akibatnya, Sabtu 17 April 1999, puluhan aktivis GP Ansor Kodya Surabaya, mendatangi kantor Jawa Pos untuk mengklarifikasi berita itu. Mereka ditemui Bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, beberapa Redaktur Jawa Pos dan Suara Indonesia. Dalam pertemuan klarifikasi Jawa Pos-Ansor, lagi-lagi Jawa Pos mengaku bersalah, meminta maaf kepada Gus Dur, PBNU dan warga NU, serta berjanji tidak akan mengulang kesalahan serupa. Dalam pertemuan ini terungkap, Jawa Pos ternyata mengutip berita tersebut dari POS KOTA Jakarta, dan POS KOTA sendiri telah meralat berita itu karena salah, seblum Jawa Pos mengutipnya. Itulah sebabnya, saat itu Dahlan Iskan di hadapan perwakilan GP Ansor Kodya Surabaya mengatakan; "Apapun permintaan warga NU, saya akan turuti. Seandainya gedung ini (Graha Pena) dibakar, sayapun pasrah."
7

Dahlan juga mengatakan, "Jawa Pos tidak akan menurunkan berita sebelum diklarifikasi pada pihak yang bersangkutan." Dijelaskan juga, wartawan Jawa Pos di Jakarta yang mengutip berita dari POS KOTA itu, akan dipecat. Permohonan maaf juga disampaikan oleh Pemimpin Redaksi Jawa Pos, H Sholihin Hidayat. Dalam surat permohonan maaf yang ditujukan kepada Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid, Sholihin menyatakan bahwa pemberitaan Jawa Pos berjudul "Gus Dur Dicekal Sendiri Oleh PBNU", salah. Sholihin menjelaskan, kekhilafan itu lantaran Jawa Pos tidak melakukan cek langsung ke sumber berita. Ia percaya pada berita dari JPNN (Jawa Pos News Network). Dewan Redaksi Suara Indonesia, yang diwakili oleh Lutfi Subagyo, Rachman Budianto, Sholihuddin dan Ibnu Rusydi Sahara, kepada perwakilan GP Ansor Kodya Surabaya juga mengakui kesalahan tersebut. Karenanya, ia juga minta maaf dan meralat berita yang salah itu.

TAHUN KETIGA, 6 MEI 2000

JAWA POS kembali mengulang 'kesukaannya', yaitu menurunkan berita tentang NU tanpa konfirmasi dan ceck and recheck. Tepatnya saat Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), institusi dan tokoh-tokoh NU dipojokkan banyak pihak, Jawa Pos menurunkan berita grafis yang menuding Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, menerima suap Rp 35 miliar dari Bulog. Grafis tersebut berada di Lapsus halaman tiga Jawa Pos yang terbit hari itu, di bawah judul; "Indikasi KKN yang Menyudutkan Gus Dur." Dalam grafis itu ditulis keterangan; KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Dana Bulog dicairkan pertama Rp 10 miliar, kedua Rp 25 miliar. Dana itu diserahkan ke KH Hasyim Muzadi. Keterangan ini dilengkapi foto Ketua Umum PBNU itu. Foto Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Rozy Munir berikut tuduhan yang dialamatkan pada keduanya, juga terpampang dalam grafis tersebut. Mengenai pemuatan grafis yang meresahkan warga NU itu, setelah dilakukan klarifikasi oleh GP Ansor Kodya Surabaya, Ketua Dewan Redaksi Jawa Pos
8

Dhimam Abror Djuraid mengatakan terus terang, "Kesalahan Jawa Pos kali ini memang fatal. Sebab, Jawa Pos mengutip data yang salah dari TEMPO. Celakanya, TEMPO sendiri sudah meminta maaf kepada KH Hasyim Muzadi." TEMPO dimaksud adalah edisi 09/1-7 Mei 2000. Klarifikasi yang dilakukan oleh perwakilan GP Ansor Kodya Surabaya di kantor Jawa Pos Surabaya, Sabtu 6 Mei 2000, kemudian menjadi masalah besar karena Jawa Pos mengambil langkah aneh. Yaitu, tidak terbit keesokan harinya. Aksi Jawa Pos tidak terbit ini disusul pemutar balikan fakta, sehingga opini yang muncul di masyarakat luas; Jawa Pos tidak terbit karena kantor redaksinya diserbu dan diduduki Banser. Juga dihembuskan berita bohong, bahwa dalam penyerbuan dan pendudukan itu, Banser mencabuti kabel dan mematikan komputer redaksi, menganiaya wartawan dan wartawati, termasuk memerintahkan seorang wartawati Jawa Pos berjilbab agar mencopot jilbabnya. Akibatnya, Jawa Pos kebanjiran simpati. Sebaliknya, Banser, NU dan Gus Dur, dikutuk dan dihujat banyak pihak, yang rata-rata tidak tahu persoalan yang sebenarnya. Para pengamat terutama kalangan pers kemudian menggambarkan, bahwa Gus Dur dan pimpinan NU yang lain adalah tokoh yang tidak bisa dikritik, jika dikritik Banser akan marah dan bertindak anarkhis, seperti yang terjadi di Jawa Pos.

Bab II Siapa Sebenarnya yang Anarkhis?

Adalah tindakan amat sangat terpaksa puluhan warga NU dan GP Ansor Surabaya, mendatangi kantor Jawa Pos di gedung Graha Pena Jl Achmad Yani Surabaya, Sabtu 6 Mei 2000. Mereka terpaksa datang, karena tidak tahan memendam kekecewaan mendalam pada Jawa Pos yang, pemberitaannya sering menyudutkan tokoh-tokoh NU dan melecehkan institusi ormas keagamaan terbesar ini.
9

Dalam situasi seperti ini, langkah formal seperti menggunakan hak jawab yang lazim ditempuh sumber berita yang dirugikan, tidak mampu ditempuh warga NU dan GP Ansor Surabaya. Langkah ini terasa kurang efektif lantaran GP Ansor Surabaya, saat itu berhadapan dengan massa yang cenderung kehilangan kesabaran dan kejengkelannya menumpuk. Karenanya, mereka merasa perlu datang langsung untuk mengklarifikasi berita Jawa Pos yang terbit hari itu, sebagai upaya permulaan untuk menempuh jalur hukum. Hari itu, Sabtu 6 Mei 2000, Lapsus halaman tiga Jawa Pos dilengkapi grafis berjudul; /"Indikasi KKN yang Menyudutkan Gus Dur." Dalam grafis itu ditulis keterangan, KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU), Dana Bulog dicairkan pertama Rp 10 miliar, kedua Rp 25 miliar. Dana itu diserahkan ke KH Hasyim Muzadi/. Keterangan ini dilengkapi foto Ketua Umum PBNU itu. Foto Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Rozy Munir berikut tuduhan yang dialamatkan pada keduanya, juga terpampang dalam grafis tersebut. Berita grafis inilah yang menggegerkan warga NU di semua tingkatan. Betapa tidak, tokoh yang sangat dihormati dan dipatuhi warga NU, diberitakan telah menerima suap Rp 35 miliar. Mengenai berita yang meresahkan ini, warga NU dan GP Ansor, hari itu silih berganti minta penjelasan PWNU dan PW GP Ansor Jawa Timur, PCNU dan PC GP Ansor Kodya Surabaya, baik dengan cara datang langsung maupun melalui telepon. Setelah PC GP Ansor Kodya Surabaya menanyakan berita itu kepada KH Hasyim Muzadi, baru semuanya jadi jelas. Bahwa, KH Hasyim Muzadi tidak pernah dihubungi wartawan Jawa Pos dalam masalah ini. KH Hasyim Muzadi tidak pernah menerima uang dari Bulog, apalagi sebesar Rp 35 miliar. Untuk memperkuat penjelasannya, KH Hasyim Muzadi yang waktu itu berada di Medan, Sumatera Utara, mengirimkan copy bantahan yang dikirim ke Redaksi Jawa Pos di Surabaya. Surat bantahan itu ditulis tangan, disertai surat permohonan maaf dari Majalah TEMPO kepada KH Hasyim Muzadi. Itulah sebabnya, warga NU dan GP Ansor yang waktu itu berada di Kantor PCNU Kodya Surabaya, kembali tersulut kejengkelannya pada Jawa Pos. Sebab, surat kabar ini kembali mengulang 'kesukaannya', menurunkan berita tentang NU tanpa konfirmasi sama sekali. Yang paling menjengkelkan mereka, berita kali ini mengandung fitnah yang keji, menuduh KH Hasyim Muzadi menerima suap Rp 35 miliar dari Bulog. Karena itu, warga NU-GP Ansor Surabaya memutuskan untuk mendatangi kantor Jawa Pos guna menanyakan maksud dibalik penulisan berita berbau fitnah itu.
10

Mereka ingin bertemu langsung dengan Direktur/CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan. Mengapa harus Dahlan? Karena, orang inilah yang pernah berjanji pada GP Ansor Surabaya, bahwa; "Jawa Pos tidak akan menurunkan berita sebelum diklarifikasi pada yang bersangkutan." Tapi kenyataannya, kali ini menurunkan berita berbau fitnah, tanpa klarifikasi sama sekali. Dan, Dahlan-lah orang yang, di depan perwakilan GP Ansor Surabaya, mengatakan, "Apapun permintaan warga NU, saya akan turuti. Seandainya gedung ini (Graha Pena) dibakar, sayapun pasrah." Kalimat ini diucapkan setelah Dahlan Iskan mengakui kesalahan berita berjudul; "Gus Dur Dicekal Sendiri oleh PBNU-Dianggap Mendua tak Boleh Ngomong Soal PKB." (Lihat Bab IV). Puluhan warga NU-GP Ansor yang saat itu mendatangi kantor Jawa Pos, benar-benar ingin bertemu Dahlan Iskan. Mereka sangat ingin mendengar, janji apalagi yang akan disampaikan bos Jawa Pos itu. Namun, setelah empat jam lebih menunggu --sebagian besar dari mereka menunggu di halaman gedung Graha Pena,-- mereka justru dipingpong. Pihak Jawa Pos, satu sama lain memberikan penjelasan berbeda-beda mengenai keberadaan Dahlan Iskan. Ada yang menjelaskan sedang berada di Solo, ada pula yang mengatakan di Sidoarjo. Ada yang menjelaskan sudah lama tidak aktif di Jawa Pos, tapi ada yang dengan enteng mengatakan, "Tidak tahu." Karena itu, puluhan warga NU-Ansor yang merasa dipermainkan dan tidak dihargai, yang sudah berjam-jam menunggu, semakin tersulut kejengkelannya. Sehingga, diantara mereka ada yang berteriak-teriak dan membentak-membentak di ruang Redaksi Jawa Pos (Lihat kronologis peristiwa). Pertanyaannya kemudian, siapa sebenarnya yang anarkhis, yang tidak mau menghargai pihak lain dan maunya menang sendiri?

Bab III Banser Cegah Pembakaran Graha Pena

Kedatangan puluhan warga NU-GP Ansor Surabaya ke Jawa Pos, Sabtu 6 Mei 2000, sengaja menyertakan Barisan Ansor Serba Guna (Banser) berseragam.
11

Jumlahnya sekitar 20 personel. Diikut sertakannya Banser, tak lain untuk menjaga agar aksi warga NU-Ansor tersebut tetap berjalan tertib, terkendali dan tidak ditunggangi pihak lain. Yang terpenting, supaya diantara mereka yang marah, tidak ada yang melakukan pembakaran gedung Graha Pena, dengan dalih telah mendapat 'lampu hijau' dari Dahlan Iskan. Karena, orang ini pernah mengatakan, "Apapun permintaan warga NU, saya akan turuti. Seandainya gedung ini (Graha Pena) dibakar, sayapun pasrah." Supaya tidak terjadi pembakaran inilah, maka Banser diterjunkan dalam aksi ini. Selain itu, Banser diterjunkan karena mereka punya tanggung jawab menciptakan stabilitas keamanan. Ini sesuai fungsi yang diatur dalam Peraturan Organisasi (PO) Banser. Yaitu, fungsi kaderisasi, dinamisator dan stabilisator. Jadi, fungsi terakhir inilah yang diemban Banser saat mendampingi puluhan warga NU-Ansor yang mendatangi kantor Jawa Pos. Dengan demikian, jelaslah sudah, bahwa keterlibatan Banser saat itu mengemban amanat yang diatur dalam peraturan organisasi. Tegasnya, keberadaan Banser berbeda dengan satgas partai-partai. Fungsi Banser tidak terbatas pada persoalan internal Ansor-NU, tapi juga bisa difungsikan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jika sekarang banyak komentar yang menyamakan Banser dengan satgas partai, itu semata-mata karena ketidaktahuan mereka tentang Banser. Ironis memang, karena Banser yang melakukan tugas sebagaimana mestinya, kemudian dituding telah melakukan pendudukan, penyerbuan, penekanan, mencopoti kabel dan mematikan komputer kerja redaksi, menganiaya wartawan dan wartawati, dan memerintahkan wartawati berjilbab untuk mencopot jilbabnya. Padahal, ini adalah sederet tuduhan yang dibuat-buat dan mengada-ada, sengaja dimunculkan untuk mendiskreditkan Banser. Berkat sederet tuduhan dan cerita yang dimanipulasi itu, Jawa Pos mengeruk simpati berbagai pihak, terutama kalangan pers. Sedangkan Banser, dihujat dan dikutuk, diusulkan untuk diusut, bahkan dibubarkan karena dianggap menghambat demokrasi dan mengancam kebebasan pers. Peristiwa Jawa Pos-Ansor, setelah dimanipulasi sedemikian rupa --diakui atau tidak-- menjadi amunisi baru pihak-pihak yang ingin mengacak-acak NU dan menumbangkan Presiden Gus Dur. Sehingga muncul kecurigaan, aksi Jawa Pos tidak terbit, jangan-jangan memang dimaksudkan untuk menambah amunisi kelompok yang sudah sejak lama menggoyang Gus Dur dan
12

mengacak-acak NU.

Bab IV Kronologi Kedatangan Puluhan Warga NU-GP Ansor ke Jawa Pos Sabtu, 6 Mei 2000 * Pukul 15.00 WIB. * Puluhan aktivis GP Ansor Kodya Surabaya dan warga NU datang ke Jawa Pos di gedung Graha Pena, Jl Achmad Yani 88 Surabaya. Mereka minta dipertemukan dengan Direktur/CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan, untuk mengklarifikasi isi grafis Jawa Pos halaman 3 yang terbit hari itu. Mereka hanya duduk-duduk di halaman gedung, sembari menunggu kehadiran Ketua PC GP Ansor Kodya Surabaya, Ir H Masduqi Thoha dan sejumlah fungsionaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU Jawa Timur. * Pukul 15.30 WIB. * Massa yang telah menunggu di halaman Graha Pena selama setengah jam, tidak juga ditemui pihak Jawa Pos. Satupun tidak ada pihak Jawa Pos yang turun dari lantai IV, tempat Redaksi Jawa Pos berada. Kepada Satpam di lantai bawah, mereka mengatakan ingin bertemu Direktur/CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan. * Pukul 15.40 WIB. * Puluhan warga NU-Ansor yang berkerumun di halaman tersebut mulai ada yang tampak kehilangan kesabaran. Beberapa di antara mereka, termasuk Ketua GP Ansor Kodya Surabaya, Ir Masduqi Thoha, berinisiatif naik ke lantai IV lewat lift. Sedangkan anggota Banser berseragam diminta tetap mengendalikan massa di halaman Graha Pena. Sesampainya di depan ruang Redaksi Jawa Pos di lantai IV, beberapa orang tersebut ditemui Satpam yang bertugas di tempat itu. Saat itu, Masduqi Thoha kembali mengatakan, ingin bertemu Dahlan Iskan. Oleh Satpam dijawab, "Pak Dahlan tidak ada di sini. Tadi memang rapat di sini, tapi sekarang sudah pergi."
13

* Pukul 16.00 WIB. * Beberapa orang yang gagal bertemu Dahlan Iskan itu terpaksa menunggu di ruang tunggu, depan ruang redaksi Jawa Pos. Sementara, Masduqi Thoha dan beberapa pimpinan Ansor yang lain, termasuk dari LPBH, meninggalkan tempat ini. Selanjutnya, mereka ke Kantor PWNU Jawa Timur di Jl Raya Darmo 96 Surabaya. Sedangkan, beberapa warga NU dan Ansor, tetap berada di ruang tunggu tersebut. Beberapa saat kemudian, Redaktur Pelaksana Jawa Pos, Arief Afandi, muncul di depan sejumlah warga NU-Ansor yang berada di ruang tunggu ini. Dia bertanya, "Cak Duqi mana?," dijawab, "Ke PWNU." Lantas, diantara mereka ada yang bertanya, "Pak Dahlan mana?." "Pak Dahlan Iskan tidak ada di tempat ini," jawab Arief seraya ngeloyor pergi. Merasa dipermainkan mengenai keberadaan Dahlan Iskan, beberapa orang itu mulai terlihat jengkel. Diantaranya ada yang tidur-tiduran di lantai ruang tunggu tersebut. * Pukul 16.20 WIB. * Diantara warga NU-Ansor yang berada di ruang tunggu terlihat semakin jengkel. Ada yang menutup pintu masuk ruang Redaksi Jawa Pos dengan cara memalangkan sebuah penjepit koran yang terdapat di ruang tunggu tersebut. Pemalangan pintu dilakukan, karena banyak awak Jawa Pos yang lalu-lalang melewati pintu tersebut, dengan cara melangkahi warga NU-Ansor yang tidur-tiduran di ruang tunggu ini. Peristiwa ini disaksikan empat orang wartawan Majalah GARDA, detik.com dan dua wartawan DUTA Masyarakat Baru. * Pukul 17.00 WIB. * Redpel Jawa Pos Arief Afandi muncul lagi. Dia bertanya, "Cak Duqi sudah datang apa belum?," dijawab, "Belum." Arief hendak pergi lagi, tapi kemudian diajak bicara oleh salah seorang yang berada di tempat itu. Kepada Arief diterangkan maksud kedatangan mereka, ingin bertemu Dahlan Iskan guna mengklarifikasi berita. * Arief malah menjelaskan, berita Jawa Pos hari itu, termasuk halaman tiga, tidak ada yang salah. Arief akhirnya mengakui, grafis yang menjadi pelengkap halaman tiga yang saat itu dipersoalakan, dikutip dari TEMPO. Kontan saja, salah seorang dari massa itu nyeletuk, "Gitu kok bilang profesional, wong beritanya nyontek. Salah lagi." Tiba-tiba Arief
14

ngeloyor pergi. Warga NU-Ansor di tempat ini kemudian menunaikan sholat Ashar secara bergantian. * Pukul 17.45 WIB. * Warga NU-Ansor yang semakin jengkel mulai memindahkan kursi-kursi di ruang tunggu ini ke depan pintu yang sebelumnya sudah dipalang penjepit koran. Kali ini, mereka duduk lesehan menunggu datangnya Dahlan Iskan. Ada yang sambil makan malam, ada pula yang menunaikan sholat Maghrib. * Pukul 18.15 WIB. * Massa kembali berdatangan di halaman Graha Pena, ada yang menumpang kendaraan umum, ada pula naik sepeda motor. Diantaranya mengenakan rompi bertuliskan Gerpas (Gerakan Reformasi Pemuda Ansor Surabaya). * Pukul 18.45 WIB. * Sekitar dua puluh personel Banser berseragam di halaman Graha Pena, dibrifing oleh komandannya sekitar 10 menit. Puluhan warga NU-Ansor di halaman Graha Pena, oleh Banser diminta duduk dengan tertib. Ada empat wartawan yang menyaksikan peristiwa ini; TEMPO Interaktif, detik.com dan dua wartawan DUTA Masyarakat Baru. * Pukul 19.00 WIB. * Dahlan Iskan yang ditunggu-tunggu tidak juga menampakkan batang hidungnya. Puluhan warga NU-Ansor di halaman Graha Pena mulai terlihat jengkel. Meski demikian, tidak terjadi insiden apapun karena Banser mampu mengendalikannya. * Pukul 19.15 WIB. * Kejengkelan mereka tampaknya semakin memuncak. Mereka berkerumun. Seorang mengenakan kaos dan bertopi, tiba-tiba berteriak, "Masuk, masuk,..." Karena teriakan itu, puluhan orang di halaman berbondong-bondong masuk, kemudian antre naik lift. Tujuannya ke lantai IV. * Pukul 19.20 WIB. * Rombongan pertama sampai di ruang tunggu lantai IV. Kepada Satpam, mereka kembali menanyakan Dahlan Iskan. Dijawab, "Pak Dahlan sedang
15

berada di luar kota." * Arief Afandi muncul lagi di ruang tunggu. "Pak Dahlan ke Solo," kata Arief. Tapi, penjelasan Arief ini dibantah warga NU, H Romli. "Masak ke Solo, wong tadi jam 3 sore, saya melihat dia di Grahadi (kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya)," bantahnya. Mendengar bantahan itu, Arief terdiam. Meski demikian, dia bertahan dengan penjelasannya bahwa Dahlan tidak berhasil ditemukannya. * Pukul 19.35 WIB. * Warga NU-Ansor yang berjubel di ruang tunggu lantai IV tampak mulai hilang kesabaran. Mereka meminta masuk. Arief Afandi kemudian meminta Satpam yang bertugas di ruangan ini agar membuka pintu ruang redaksi. Satpam kemudian membukanya, dan sekitar 20-an warga NU-Ansor masuk ruang redaksi, disusul beberapa personel Banser berseragam. Arief Afandi juga ikut masuk. Diantara mereka, dengan suara berteriak ada yang meminta agar kegiatan redaksi dihentikan, sebelum mereka ditemui perwakilan resmi Jawa Pos. "Tolong, sebelum perwakilan resmi Jawa Pos menemui kami, kegiatan redaksi supaya dihentikan, demi menghargai NU dan ulama. Kami bermaksud baik, tidak ingin merusak," kata Zaini berulang-ulang, melalui mega phone yang ditentengnya. Kemudian, Arief Affandi mengangkat kedua tangannya, menghadap para wartawan yang duduk di depan komputer, sebagai isyarat agar wartawan menghentikan kegiatan. Arief kemudian terlihat sibuk menelepon di meja redaksi. Peristiwa ini disaksikan wartawan detik.com, SCTV dan dua wartawan DUTA Masyarakat Baru. * Pukul 20.00 WIB. * Sebagian dari puluhan warga NU-Ansor di ruang redaksi terlihat terpancing emosinya. Hal ini dipicu ulah Redaktur Daerah Jawa Pos, Yulfarida Arini. Wanita berjilbab ini tetap beraktifitas di meja kerjanya, tidak menghentikan kegiatan seperti yang lain. Saat ditegur, ia ngotot. Dengan suara membentak ia mengatakan, "Saya hanya nerima telepon." Selanjutnya, Yulfarida dibiarkan menerima telpon. * Pukul 20.10 WIB. * Lagi-lagi, wartawati Yulfarida Arini bikin ulah. Kendati seluruh teman-temannya telah menghentikan aktifitasnya, dia tetap melanjutkan pekerjaannya. Setelah menerima telepon (menelepon?), ia malah mengetik.
16

Kemudian, menerima telepon (menelepon?) lagi sambil mengetik. Warga NU-Ansor yang memperhatikan ulah wartawati ini kian marah. Salah seorang diantara mereka ada yang nekat mendekati Yulfarida, memperingatkan agar Yulfarida berhenti bekerja demi menghargai aspirasi warga dan ulama NU. Tapi, Yulfarida menolak. Ia malah berteriak lantang, "Saya hanya mau berhenti kalau yang minta atasan saya." Teriakan ini mengundang perhatian banyak orang. Mereka mengerubuti Yulfarida, dan memintanya menghentikan aktifitas. Ia malah lari mendekati kamera SCTV. Saat disorot, ia berteriak lantang, "Saya tidak mau diperintah. Kalian bukan pimpinan saya. Saya hanya mau diperintahkan berhenti bekerja oleh pimpinan saya." Selanjutnya, Yulfarida ngotot kembali bekerja dan menerima telepon (menelepon ?). Karuan saja, ulah wanita itu semakin mengundang emosi warga NU-Ansor. Hingga akhirnya, salah seorang diantara mereka ada yang membanting telepon yang gagangnya dipakai bicara Yulfarida. Suasana semakin panas. Diantara mereka berteriak bersahut-sahutan, "Anda kelihatannya pakai jilbab tapi tidak menghargai kami, tidak menghargai NU. Kita sama-sama Islam. Percuma Anda pakai jilbab, copot saja jilbabnya." Ada juga suara memperingatkan, "Awas jangan terpancing. Dia sengaja memprovokasi." Beruntung, Banser berhasil meredakan suasana yang semakin memanas ini. Sesaat kemudian, lampu ruang Redaksi Jawa Pos tiba-tiba padam. Ini membuat warga NU-Ansor di ruangan ini, kaget. Tapi, begitu tahu yang mematikan lampu awak Jawa Pos sendiri, diantara mereka ada yang mengatakan, "Yo wis, patenono ae lek ngono (Ya sudah. Matikan saja kalau begitu)." Dalam peristiwa ini, tak satupun warga NU-Ansor apalagi Banser mencabuti jaringan kabel atau mematikan komputer. Apalagi memaksa atau mematikan sendiri komputer di server JPNN (Jawa Pos News Network) seperti yang dituduhkan. Buktinya jelas, Suara Indonesia dan koran lain di Graha Pena, tetap lancar terbit. Padahal, server yang digunakan berada di Ruang Redaksi Jawa Pos. * Pukul 20.25 WIB. * Perwakilan warga NU-Ansor Surabaya berjumlah 19 orang diterima Redaktur Pelaksana Jawa Pos, Arief Afandi, di ruang rapat redaksi. Pertemuan di ruang rapat redaksi Jawa Pos ini berlangsung terbuka. * Kepada Arief Afandi dijelaskan, pihak Ansor harus bertemu Direktur/CEO, Dahlan Iskan. Sebab, menurut catatan Ansor, pada 17 April
17

1999, Dahlan berjanji kepada Ansor Surabaya, bahwa; "Jawa Pos tidak akan menurunkan berita sebelum diklarifikasi pada pihak yang bersangkutan." Tapi kenyataannya, kali ini Jawa Pos menurunkan berita Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, menerima suap Rp 35 miliar dari Bulog tanpa klarifikasi. Karena itu, pihak Ansor tetap menuntut agar dipertemukan dengan Dahlan Iskan. Saat itu, Ansor memperoleh informasi dari wartawan Jawa Pos sendiri, bahwa Dahlan Iskan berada di Sidoarjo. "Kalau memang benar di Sidoarjo, saya pikir bisa dihadirkan ke sini (Graha Pena) malam ini. Oke, kita tunggu 15 menit lah. Sidoarjo ke sini kan, tidak lebih 10 menit kalau lewat jalan tol," tegas Supriyadi, salah seorang dari perwakilan warga NU-Ansor Surabaya. * Arief Afandi yang diminta mencari Dahlan Iskan, kemudian meninggalkan ruang pertemuan. 15 menit kemudian, yakni pukul 21.05 WIB, Arief masuk lagi. Ia menjelaskan, keberadaan Dahlan Iskan tidak bisa ditemukan. Arief kemudian menjamin, akan mempertemukan Ansor dengan Dahlan Iskan, besok (Minggu 7 Mei 2000) pukul 13.00. Mendapat jaminan ini, Ansor meminta Arief meninggalkan ruangan untuk sementara, karena Ansor hendak melakukan pembicaraan internal. Beberapa menit kemudian, Arief dipersilakan masuk kembali. Saat itu, Arief kembali menegaskan, bahwa perwakilan Ansor akan dipertemukan dengan Dahlan Iskan hari Minggu, 7 Mei 2000, pukul 13.00 WIB. Kepada Arief Afandi, Ansor kemudian menyodorkan tuntutan sementara. Yakni, Jawa Pos supaya menurunkan iklan permohonan maaf kepada KH Hasyim Muzadi, PBNU dan warga NU. Iklan permohonan maaf tersebut supaya dimuat sebagai head line halaman satu Jawa Pos edisi Minggu, 7 Mei 2000. * Arief Afandi menyatakan setuju. Hanya saja, Arief tidak setuju iklan tersebut dimuat sebagai headline. Ia setuju iklan itu dimuat setengah halaman bagian bawah, tapi juga di halaman satu. Ansor akhirnya menyetujui permintaan Arief ini, bahwa iklan permohonan maaf dimuat setengah halaman di halaman satu bagian bawah. * Arief kemudian keluar dari tempat perundingan. Dia tampak lega dengan kesepakatan yang berhasil dirumuskan bersama. Di luar ruang perundingan (di ruang redaksi), Arief diwawancarai wartawan detik.com dan DUTA Masyarakat Baru. Kepada kedua wartawan itu, Arief mengatakan, Jawa Pos akan tetap terbit pada edisi Minggu 7 Mei 2000. Ketika disinggung soal keterlambatan naik cetak, Arief mengatakan, mungkin akan telat sekitar dua sampai tiga jam dari biasanya.
18

Masih diwawancarai wartawan, Arief kemudian menanyakan kesiapan Redaksi Jawa Pos. Oleh salah seorang redaktur dijawab, semuanya akan berjalan seperti biasa. "Semuanya normal saja karena sebagian sudah hampir selesai," kata Arief kepada wartawan setelah mendengar laporan salah seorang Redaktur Jawa Pos. Arief kembali memasuki ruang perundingan. Kali ini, perundingan agak tersendat-sendat karena Arief menolak materi iklan permohonan maaf yang disodorkan pihak GP Ansor Kodya Surabaya. Arief mengatakan, yang salah dalam pemberitaan Jawa Pos halaman tiga hari itu, hanya berita grafisnya saja. Sementara, pihak Ansor berpendapat, yang harus dimintakan maaf adalah seluruh isi berita halaman tiga. Karena perbedaan ini, dua belah pihak berdebat seru. Arief tetap ngotot menolak menandatangani materi permohonan maaf yang disodorkan Ansor. Yang juga diperdebatkan adalah masa pemuatan iklan permohonan maaf itu. Ansor menuntut untuk dimuat satu bulan, dan Arief ngotot menolaknya. Perdebatan masalah yang terakhir ini berakhir, setelah kedua belah pihak sepakat soal lamanya masa pemuatan permohonan maaf dibicarakan dalam perundingan lanjutan. Tapi, untuk terbitan besok sudah memuat iklan permohonan maaf itu. * Karena Arief tetap menolak materi permohonan maaf yang disusun Ansor, Redpel Jawa Pos ini diminta membuat materi permohonan maaf menurut versinya sendiri. Namun, baru menulis beberapa kalimat, hand phone milik Arief berbunyi. Ia kemudian bergegas meninggalkan ruangan. * Karena Arief tidak juga kembali ke ruang perundingan, perwakilan Ansor yang berada dalam ruangan ini mengadakan pembicaraan internal. Ketika pembicaraan internal masih berlangsung, tiba-tiba terdengar suara riuh disertai tepuk tangan dari ruang Redaksi Jawa Pos. Tepukan itu, ternyata berasal dari para wartawan, yang mendengar pengumuman Arief Affandi, bahwa Jawa Pos, besok pagi tidak terbit, dan wartawan saat itu boleh pulang. * Pukul 22.15 WIB. * Arief Afandi diminta masuk ruang perundingan oleh pihak GP Ansor. Ia masuk bersama dua orang Redaktur Jawa Pos. Di depan perwakilan Ansor tersebut, Arief menyatakan, bahwa; besok, Minggu 7 Mei 2000, Jawa Pos tidak terbit. Saat itu juga, pihak Ansor menyatakan keberatan terhadap tidak terbitnya Jawa Pos. Ansor menegaskan, kalau Jawa Pos memutuskan tidak terbit, keputusan itu bukan karena permintaan atau tekanan pihak GP Ansor, tapi karena kehendak Jawa Pos sendiri. Arief membenarkan pernyataan Ansor tersebut. Bahkan, Arief menjelaskan, tidak terbitnya
19

Jawa Pos edisi Minggu 7 Mei 2000 karena permasalahan teknis, bukan karena tekanan Ansor. "Sekarang sudah menunjukkan pukul 22.30, sehingga secara teknis sudah tidak memungkinkan lagi Jawa Pos besok terbit." * Memperoleh penjelasan seperti ini, warga NU dan GP Ansor meninggalkan ruang perundingan untuk pulang. Warga yang berada di halaman Graha Pena, juga pulang. Mereka pulang dengan tertib tanpa melakukan perusakan apapun. Mereka akan kembali ke Graha Pena esok harinya pukul 13.00, seperti yang diminta Arief Affandi. Catatan: Jawa Pos tidak terbit diputuskan setelah Arief Afandi memperoleh telepon saat ia menulis materi iklan permohonan maaf. Keputusan Jawa Pos tidak terbit, pukul 22.00 WIB disampaikan Arief kepada detik.com untuk disiarkan secara luas, sebelum disampaikan kepada Ansor yang menunggunya di ruang perundingan. Keputusan Jawa Pos tidak terbit baru disampaikan kepada Ansor di ruang perundingan pukul 22.15 WIB.

Bab V. Ansor Kembali ke Graha Pena Minggu, 7 Mei 2000 * Pukul 13.00 WIB. Warga NU-GP Ansor Kodya Surabaya tiba di halaman kantor Jawa Pos, gedung Graha Pena Jl Achmad Yani 88 Surabaya. Mereka datang karena malam sebelumnya mendapat janji dan jaminan dari Redpel Jawa Pos, Arief Affandi, bahwa pada jam tersebut akan dipertemukan langsung dengan Direktur/CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan. * Kali ini, jumlah yang datang lebih banyak dari hari sebelumnya. Banser yang datang juga lebih banyak. Diantara personel Banser ada yang membawa pentungan dari penjalin (rotan). Mereka datang ke Graha Pena karena ditugaskan untuk mengamankan dan mengendalikan warga NU-Ansor yang di situ. Karena, diantara warga NU-Ansor tersebut banyak yang marah lantaran beredar luas kabar di masyarakat, bahwa tidak terbitnya Jawa
20

Pos karena diserbu Banser-Ansor. Kabar ini jelas berbeda dengan kenyataan, bahwa tidak terbitnya Jawa Pos atas keputusan Jawa Pos sendiri. Itulah sebabnya, jumlah Banser yang dikerahkan hari itu lebih banyak, guna mengantisipasi tindakan tak diinginkan yang mungkin dilakukan warga NU-Ansor yang marah itu. Ironisnya, Banser dalam jumlah banyak di Graha Pena pada hari Minggu, 7 Mei 2000, inilah, yang ditayangkan sejumlah saluran televisi (terutama RCTI), dijadikan pelengkap berita seputar konflik Ansor-Jawa Pos. * Pukul 14.00 WIB. * Sambil menunggu ditemui Dahlan Iskan, beberapa tokoh GP Ansor Kodya Surabaya melakukan orasi di halaman Graha Pena. Isinya, menuntut dipertemukan dengan Dahlan Iskan, dan memprotes pemuatan berita grafis yang menuding Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menerima suap Rp 35 miliar dari Bulog. * Orasi masih berlangsung, seorang Satpam Graha Pena menemui warga NU-Ansor. Ia mengatakan, perwakilan NU-Ansor dipersilakan naik untuk bertemu Ketua Dewan Redaksi Jawa Pos, Dhimam Abror Djuraid, karena Dahlan Iskan tidak ada. Warga NU-Ansor menolak, karena malam sebelumnya, Redpel Jawa Pos, Arief Affandi, berjanji dan menjamin mereka akan dipertemukan langsung dengan Dahlan Iskan, pukul 13.00 WIB hari itu. * Pukul 15.00 WIB. * Ketua Dewan Redaksi Jawa Pos, Dhimam Abror Djuraid, didampingi jajaran Redaktur Pelaksana dan Redaksi Jawa Pos, turun menemui warga NU-Ansor di halaman Graha Pena. Melalui mega phone, Abror menjelaskan, bahwa Dahlan Iskan tidak bisa menemui karena sejak beberapa tahun lalu, sudah tidak ikut-ikut dalam hal redaksi Jawa Pos. Jika yang diprotes urusan redaksi, maka dirinya yang bertanggung jawab. * Penjelasan ini mengundang emosi warga NU-Ansor yang merasa dibohongi. Karena malam sebelumnya, Redpel Arief Afandi berjanji akan mempertemukan mereka dengan Dahlan Iskan. Akibatnya, beberapa orang yang merasa tidak puas dan dibohongi, mengerubuti Abror. Tiba-tiba ada satu gelas air mineral dilemparkan seseorang, mengenai kaca Graha Pena, tapi tidak pecah. Banser segera bertindak, sebagian menghalau kerumunan, sebagian yang lain mengamankan Abror dan para redaktur yang menyertainya, mengawalnya menuju lift, selanjutnya Abror naik ke lantai empat dalam keadaan aman. * Kemudian, Ansor menugaskan seorang anggotanya, Slamet Santoso, naik ke
21

lantai empat tempat Redaksi Jawa Pos, menemui Abror. Slamet kembali menanyakan keberadaan Dahlan Iskan. "Pak Dahlan sudah tidak lagi ikut campur soal redaksional Jawa Pos. Jadi, kalau yang diprotes soal redaksi, maka saya yang berhak menjadi perwakilan," kata Abror kepada perwakilan Ansor tersebut. * "Bagaimana kalau Nany Wijaya?," Slamet mengajukan alternatif. "Juga tidak bisa, ia bagian iklan. Nany tidak ikut bertanggung jawab soal redaksi," jawab Abror. * Pukul 15. 30 WIB. * Untuk menghindarkan sesuatu yang tidak diinginkan, warga NU-GP Ansor Surabaya mengalah. Perwakilan mereka akhirnya menerima dan setuju bertemu pihak Jawa Pos, walau Dahlan Iskan yang dijanjikan hadir, tidak ada. * Pukul 15.40 WIB. * Perundingan antara NU-GP Ansor Kodya Surabaya dengan pihak Jawa Pos, di ruang rapat redaksi lantai empat, dimulai. Perwakilan NU-Ansor dipimpin Ketua PC GP Ansor Kodya Surabaya, Ir H Masduqi Thoha, didampingi dua orang dari PW GP Ansor Jawa Timur, Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU Jawa Timur dan sejumlah pengurus GP Ansor Kodya Surabaya. Sedangkan, Jawa Pos diwakili Ketua Dewan Redaksi, Dhimam Abror Djuraid, Direktur Pemasaran, HM Siradj, Redaktur Pelaksana, Arief Afandi, Ali Murtadlo dan beberapa redaktur Jawa Pos yang lain. * Perundingan yang semula berlangsung terbuka, atas permintaan Masduqi, kemudian dilanjutkan secara tertutup. Perundingan disaksikan sejumlah wartawan berbagai media dari balik pintu kaca tembus pandang. Perundingan diskors dua kali, untuk sholat Ashar dan Maghrib. Selama perundingan berlangsung, Redaksi Jawa Pos berjalan seperti biasa, sedangkan warga NU-Ansor menunggu di halaman Graha Pena, sebagian menunggu di ruang tamu lantai empat gedung tersebut. Pukul 18.00 WIB Perundingan usai, berhasil menyepakati tiga hal. Yaitu; - Jawa Pos sanggup membebas tugaskan wartawan berinisial zen, gie dan lex. - Jawa Pos meminta maaf kepada PBNU, KH Hasyim Muzadi dan seluruh warga NU. Permohonan maaf itu dimuat di halaman satu, ukuran 3 kolom x 150 mm selama tujuh hari berturut-turut. Materinya; awa Pos Mohon Maaf Kepada: PBNU di Jakarta
22

KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) Seluruh warga NU di Indonesia

- Atas kesalahan pemberitaan Jawa Pos edisi Sabtu Paing 6 Mei 2000, tentang; "Indikasi KKN yang Menyudutkan Gus Dur." Dan menyatakan berita itu tidak benar. - Jawa Pos sanggup membangun tempat peribadatan (masjid) yang akan ditentukan dan dibicarakan oleh kedua belah pihak, lokasinya akan ditentukan oleh Ansor dan disetujui Jawa Pos. Awal pembangunan masjid ditentukan tiga bulan sejak ditandatanganinya kesepakatan ini, yakni 7 Mei 2000. Mengapa Masjid? Meski pembangunan masjid oleh Jawa Pos merupakan salah satu butir tuntutan yang diajukan Ansor, namun Ketua Dewan Redaksi Jawa Pos, Dhimam Abror Djuraid, di berbagai media menyatakan, Jawa Pos akan membangun masjid karena kesadaran sendiri. "Diminta membangun masjid, ya bangun masjid. Masak membangun masjid karena ditekan Banser, ya enggak dong," kata Abror kepada Radio BBC London. Ansor menuntut Jawa Pos membangun masjid, dimaksudkan sebagai monumen kesadaran Jawa Pos meminta maaf kepada masyarakat, terutama kepada pimpinan dan warga NU, atas serangkaian kesalahan yang telah diperbuatnya. Masjid itu jadi dibangun atau tidak, Ansor menyerahkan kepada masyarakat untuk mengawasinya.

Bab VI. Di Balik Tidak Terbitnya Jawa Pos VI.1. Menghantam NU Aksi Jawa Pos tidak terbit pada hari Minggu, 7 Mei 2000, menggegerkan dunia pers. Karena, aksi itu berhasil dipoles sedemikian rupa, sehingga tidak terlihat sebagai aksi. Yang terlihat adalah musibah besar; Jawa Pos tidak bisa terbit. Rupanya sengaja diciptakan opini, bahwa Jawa Pos tidak bisa terbit karena kantor redaksinya diserbu dan diduduki Banser. Dalam waktu singkat, opini inilah yang beredar luas di masyarakat.
23

Opini tersebut dibumbui serangkaian cerita menyeramkan. Yaitu, saat penyerbuan dan pendudukan berlangsung, sejumlah Banser mencopoti kabel, mematikan komputer redaksi, menganiaya wartawan dan wartawati, serta memerintahkan wartawati berjilbab untuk mencopot jilbabnya. Menyeramkan sekali. Sehingga, surat kabar yang berkantor pusat di Surabaya itu kebanjiran simpati. Sebaliknya, Banser kebanjiran kutukan dan hujatan. Simpati dan pembelaan kepada Jawa Pos yang membabi buta, baik melalui internet, radio, televisi dan surat kabar, terus mengalir dari banyak pihak yang rata-rata tidak tahu persoalan dan akar masalah, menyusul derasnya provokasi melalui internet dan surat kabar Jawa Pos Grup. Suara Indonesia, surat kabar Jawa Pos Grup, misalnya, Minggu 7 Mei 2000, menurunkan 'iklan' sensasional. Isinya; Kami Berdoa Untuk Jawa Pos yang Hari ini Terpaksa Tidak Terbit/. Tertanda, Redaksi Suara Indonesia. Di halaman 8 dan 9, dua halaman penuh diblok hitam, dengan tulisan provokatif seperti termuat di halaman satu. Hari itu, Suara Indonesia dicetak dalam jumlah sangat besar, diantaranya dikirim kepada pelanggan Jawa Pos yang hari itu tidak terbit. Belum lagi provokasi melalui internet. Bahkan, X-File, tabloid porno milik Jawa Pos, yang biasanya hanya memberitakan persoalan sex dan selingkuh, dilibatkan dalam gerakan mengail simpati Jawa Pos dan mengutuk Banser. Editorial X-File edisi 17.Tahun I.11-17 Mei 2000, diberi judul; Pampasan. Isinya, apalagi kalau bukan menutupi kesalahan Jawa Pos dan mengutuk Banser. Dalam editorial tersebut diantaranya ditulis, Di rezim Orde Baru dulu Dandim sering melakukan teror telepon. Tetapi ia tak pernah mencabut kabel komputer agar wartawan gagal menerbitkan koran,... Dalam editorial yang ditulis oleh Damarhuda, Pemimpin Redaksi tabloid porno ini, juga dilengkapi karikatur; Plang pengumuman di atas hamparan tanah kosong berumput. Isi pengumuman; Di SINI AKAN DIBANGUN MASJID HASIL PAMPASAN KORAN. Dalam tulisannya, Damarhuda memang menyamakan pembangunan masjid yang akan dilakukan Jawa Pos, dengan pampasan perang. Yulfarida Arini, Redaktur Daerah Jawa Pos, yang sempat bersitegang dengan warga NU-Ansor di ruang Redaksi Jawa Pos, Sabtu malam 6 Mei 2000,
24

juga 'membual' melalui Posmo.com. Tulisan provokatif wanita berjilbab itu diturunkan bersambung, dalam Posmo.com edisi Kamis, 11 Mei 2000 pukul 14:38 BBWI dan pukul 15:18 BBWI. Karena serangkaian provokasi itu, simpati kepada Jawa Pos mengalir deras, sederas kutukan kepada Banser. Sehingga, serangkaian kesalahan Jawa Pos memfitnah NU benar-benar tertutupi. Kutukan keras kepada Banser, diantaranya berasal dari: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Lembaga Konsumen Media (LKM) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan Forum Advokasi Perempuan Surabaya (FAPS). Ada juga dari Forbes Wartawan Makassar, PWI Pusat, Komnas HAM, KNPI dan sejumlah lembaga lain, juga perorangan. Bahkan, untuk mengutuk Banser, puluhan wartawan di Jakarta merasa perlu menggelar demonstrasi di DPR RI. Para pengutuk itu diantaranya menuntut agar Banser dibubarkan, karena Banser menghalangi kebebasan pers dan menjadi pembreidel gaya baru. PWI Pusat bahkan menuntut agar Polri mengusut tuntas kasus ini dan menyeret pelakunya (Banser) ke meja hijau. Akibatnya, masyarakat luas digiring untuk berkesimpulan, bahwa Presiden Gus Dur dan tokoh-tokoh NU tidak bisa dikritik oleh media massa. Kalau dikritik, Banser akan melakukan penyerbuan dan pendudukan, seperti yang terjadi pada Jawa Pos. Ada juga orang yang mencoba menyederhanakan persoalan NU-Jawa Pos, yaitu KH Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali) Sidoarjo, yang dikenal sebagai 'kiainya' Jawa Pos. "Kalau NU ada persoalan dengan Jawa Pos, mengapa mengerahkan Banser sebanyak itu? Ngomong saja sama saya. Dahlan saya panggil, Nany Wijaya saya panggil, Arief Afandi juga. Makan yang enak, saya ajak bicara mereka. Selesai," kata Gus Ali, saat menjadi nara sumber diskusi bertajuk; "Prospek Kebebasan Pers di Indonesia, Hambatan dan Dukungan," diselenggarakan oleh FKPPI, di Hotel Elmi Surabaya, Sabtu 13 Mei 2000. Jika mengetahui dengan pasti persoalan NU-Jawa Pos, lembaga atau siapapun tidak akan gegabah mengutuk Banser dan membabi buta membela Jawa Pos, yang memang sedang 'pasang aksi' tidak terbit. Tidak menutup kemungkinan, tidak terbitnya Jawa Pos merupakan bagian dari strategi menghantam NU dan tokoh-tokohnya.

VI.2. Kesengajaan Jawa Pos


25

Ada yang menarik dari derasnya kutukan kepada Banser dan simpati kepada Jawa Pos. Yaitu, Lembaga Konsumen Media (LKM) mencabut kutukannya. Ini dilakukan, setelah Direktur LKM, Sirikit Syah, sedikit mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Semula, LKM membuat pernyataan keprihatinan bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan Forum Advokasi Perempuan Surabaya (FAPS), tertanggal 7 Mei 2000. Namun, Direktur LKM, Sirikit Syah, 10 Mei 2000, mencabut keikut sertaan lembaganya dalam pernyataan bersama itu. Pencabutan tersebut diumumkan Sirikit lewat Radio Suara Surabaya (SS), Rabu 10 Mei 2000. Saat digelar diskusi bertajuk; /"Anarkhisme dan Kebebasan Pers", / di Balai Wartawan PWI Jawa Timur, Jl Taman Apsari Surabaya, Kamis, 11 Mei 2000, Sirikit mencoba mengungkapkan pandangannya mengenai persoalan NU-Jawa Pos. Dalam diskusi yang dihadiri pihak Jawa Pos dan Ansor-Banser, Direktur LKM tersebut menyesalkan Jawa Pos yang tidak menjelaskan kronologi peristiwa yang, dikatakan menjadi penyebab tidak terbitnya Jawa Pos edisi Minggu 7 Mei 2000 itu kepada pembacanya. "Jawa Pos seharusnya memberikan penjelasan kepada pembacanya. Karena tidak adanya penjelasan atas tidak terbitnya Jawa Pos edisi Minggu 7 Mei 2000, melanggar hak-hak pembaca. Sebagai komsumen, pembaca harus diberi informasi yang sebenar-benarnya atas permasalahan yang menimpanya. Kalau tidak, pembaca pasti bertanya-tanya, mengapa koran yang biasa dibaca kok tidak terbit", tandas Sirikit. Dengan tidak adanya penjelasan itu, Direktur LKM ini menilai kemungkinan adanya unsur kesengajaan dari Jawa Pos. "Dengan mengambangkan permasalahan, Jawa Pos ingin menggiring pembaca untuk menyimpulkan permasalahan yang tidak diketahuinya. Dan itu sangat tidak dibenarkan dalam kaidah jurnalistik," tegasnya. Alasan Jawa Pos tidak menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya karena khawatir tidak obyektif, juga disesalkan Sirikit. "Kekhawatiran itu tidak beralasan, karena obyektifitas dapat dilakukan dengan menyuguhkan fakta dari pengakuan kedua nara sumber, Jawa Pos dan Ansor," kata Direktur LKM itu. Menurut Sirikit, dari kesaksian kedua belah pihak, obyektifitas dimungkinkan dapat diperoleh. "Dengan membeberkan data dan fakta dari kedua belah pihak, maka pembaca akan dapat menilai sendiri,
26

asal disajikan secara berimbang. Dan, tidak ada hal-hal yang sengaja disembunyikan, yang sebenarnya justru malah tidak mendidik," tandasnya. Keputusan Jawa Pos tidak terbit yang disampaikan Redaktur Pelaksana Jawa Pos, Arief Affandi, bertentangan dengan kebijakan Ketua Dewan Redaksi Jawa Pos, Dhimam Abror Djuraid. Kepada detik.com Abror menegaskan, sebagai ketua dewan redaksi, ia memerintahkan Jawa Pos Minggu supaya tetap terbit. Penegasan itu disampaikan kepada detik.com yang menghubunginya melalui telepon, saat Abror dalam perjalanan dari Solo menuju Surabaya, Sabtu malam 6 Mei 2000. Karena itu, keputusan Jawa Pos tidak terbit yang disampaikan Arief Affandi, diduga kuat atas perintah orang yang jabatannya di atas Ketua Dewan Redaksi. Ketua Umum PP GP Ansor, Drs H Saifullah Yusuf menegaskan, sangat memaklumi warga NU-Ansor Kodya Surabaya mendatangi kantor Jawa Pos karena akumulasi kekecewaan mereka. "Karena Jawa Pos memang sudah beberapa kali menyakiti hati para ulama dan warga NU, dengan memuat berita yang salah dan cenderung fitnah," tegas Saifullah. Ketua DPW PKB Jawa Timur, Drs H Choirul Anam mengaku bingung melihat 'ulah' Jawa Pos tidak terbit. Kenapa penerbitan sehebat Jawa Pos tidak terbit sehari kemudian dituding Ansor dan Banser jadi biang keroknya? Padahal, kata Anam, Jawa Pos memiliki teknologi tinggi dalam dunia percetakan. "Peralatan yang mereka miliki sudah sangat canggih. Bahkan memiliki alat cetak jarak jauh," ujarnya. "Jadi, di balik itu ada apa? Apalagi, media grup Jawa Pos menyuguhi para pelanggannya dengan iklan-iklan bela sungkawa yang diblok hitam. Jadi sudah jelas, Jawa Pos memainkan kartu itu," Anam memperkirakan. Sementara, Wakil Sekjen DPP PKB, Yahya C Staquf juga mencatat beberapa kesalahan Jawa Pos kepada NU. Diantaranya, Jawa Pos memberitakan, Rais Syuriyah PBNU KH A Mustofa Bisri (Gus Mus), mengusulkan kepada presiden supaya dirinya diangkat menggantikan posisi Ratih Hardjono. "Itu tidak benar, KH A Mustofa Bisri tidak pernah ngomong demikian," tegas Yahya. Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, yang tahu persis persoalan Jawa Pos-NU, secara terbuka menyatakan, NU tidak akan meminta maaf kepada Jawa Pos. "Saya tegaskan, bahwa PBNU tidak akan minta maaf. Apa yang dilakukan warga NU-Ansor Surabaya merupakan reaksi karena pihak Jawa Pos lambat menghadirkan Dahlan Iskan, dan sudah berkali-kali Jawa Pos
27

menurunkan berita yang menyakitkan NU dan tokoh-tokoh NU," tegas Kiai Hasyim. "Saya menduga Jawa Pos dengan kekuatannya menciptakan kesan seolah-olah Banser salah. Padahal, itu semua ulah Jawa Pos sendiri, bukan salah Banser," Kiai Hasyim Muzadi menambahkan. Terhadap kasus ini, Presiden KH Abdurrahman Wahid secara tegas mengatakan, Jawa Pos melanggar kode etik jurnalistik. "Sudah jelas, Jawa Pos telah melanggar semua kode etik jurnalistik. Kenapa? Karena di TEMPO ada permintaan maaf, justru hal itu dimuat lagi oleh Jawa Pos, seolah-olah saya betul-betul bersalah, seolah-olah adik saya Hasyim Wachid (Gus Im) dituduh KKN. Itu kita tidak terima, karena yang punya Jawa Pos itu, begitu dari dulu. Sudah untung tidak ribut. Terus terang, saya nelepon teman-teman saya supaya kasih tahu itu, Banser tidak usah terlalu jauh. Jadi, kita justru menahan supaya tidak terlalu jauh. Artinya, kalau tidak puas, ya maaf saja, bisa kita tuntut itu, kapan saja," tegas Gus Dur. Gus Dur mengatakan, pers di masa depan harus jujur, karena ada media yang selama ini hanya mengritik presiden. Gus Dur juga menegaskan, ada pers yang ikut dalam komplotan yang ingin menjatuhkannya. Penegasan Gus Dur tersebut bukannya omong kosong. Simak saja pengakuan Redaktur Pelaksana Jawa Pos, Arief Affandi, di depan HA Mubarok SH, anggota LPBH PWNU Jawa Timur dan lima pengurus yang lain. Di depan enam pengurus NU Jawa Timur itu, Arief mengakui adanya wartawan Jawa Pos yang terlibat dalam konspirasi kelompok yang ingin menjatuhkan Presiden Gus Dur. Pengakuan Arief disampaikan di depan HA Mubarok SH, anggota LPBH PWNU Jawa Timur dan lima orang pengurus yang lain, di sekretariat PWNU Jawa Timur Jl Raya Darmo 96 Surabaya, Sabtu 6 Mei 2000, saat warga NU-Ansor Kodya Surabaya mendatangi kantor Jawa Pos. Ketika Jawa Pos edisi Minggu 7 Mei 2000 tidak terbit, kemudian orang ramai mengutuk Banser dan memojokkan Presiden Gus Dur, Arief Afandi terlihat kegirangan. "Kalau nantinya Gus Dur jatuh, sayalah orang yang paling berjasa," kata Arief Afandi di ruang Redaksi Jawa Pos, dengan bangga.

VI.3. Jawa Pos Tidak Taati Kesepakatan


28

Konflik Jawa Pos-NU selesai, setelah dua belah pihak menandatangani surat kesepakatan bersama tertanggal Minggu 7 Mei 2000. Kesepakatan itu berisi tiga pasal, masing-masing: * Jawa Pos sanggup membebas tugaskan wartawan berinisial zen, gie dan lex. * Jawa Pos meminta maaf kepada PBNU, KH Hasyim Muzadi dan seluruh warga NU. Permohonan maaf itu dimuat di halaman satu, ukuran 3 kolom x 150 mm selama tujuh hari berturut-turut. Materinya; Jawa Pos Mohon Maaf Kepada:

PBNU di Jakarta KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) Seluruh warga NU di Indonesia - Atas kesalahan pemberitaan Jawa Pos edisi Sabtu Paing 6 Mei 2000, tentang; "Indikasi KKN yang Menyudutkan Gus Dur." Dan menyatakan berita itu tidak benar. * Jawa Pos sanggup membangun tempat peribadatan (masjid) yang akan ditentukan dan dibicarakan oleh kedua belah pihak, lokasinya akan ditentukan oleh Ansor dan disetujui Jawa Pos. Awal pembangunan masjid ditentukan tiga bulan sejak ditandatanganinya kesepakatan ini, yakni 7 Mei 2000. Namun, Jawa Pos tidak mentaati kesepakatan pasal dua, menyangkut materi permohonan maaf yang dinyatakan Jawa Pos di halaman satu. Pada hari pertama, materi permohonan maaf yang diturunkan Jawa Pos berbunyi: MAAF. Untuk KH Hasyim Muzadi, PBNU, dan Warga Nahdliyin. Jawa Pos edisi 6 Mei 2000 membuat kekeliruan dalam laporan khusus berjudul "PKB Gerah PBNU Bentuk Tim Klarifikasi." Dalam laporan itu, disebutkan seolah-olah KH Hasyim Muzadi menerima uang Rp 35 miliar dari Yayasan Karyawan Bulog. Padahal, hal itu tidak benar. Karena itu, kami mohon maaf sebesar-besarnya kepada KH Hasyim Muzadi, PBNU, dan warga Nahdliyyin. Redaksi Kalimat versi Jawa Pos itu baru diubah sesuai kesepakatan, setelah PW GP
29

Ansor Jawa Timur, mengirim surat kepada Jawa Pos, berisi permintaan agar Jawa Pos mentaati kesepakatan. Surat PW GP Ansor Jawa Timur bernomor: 15/SR/PW-XII/V/2000, tertanggal 8 Mei 2000. Namun, Jawa Pos yang memuat iklan permohonan maaf yang isinya sudah disesuaikan dengan kesepakatan, ternyata hanya beredar di Surabaya saja. Sementara, Jawa Pos yang beredar di luar Surabaya, tidak mencantumkan permohonan maaf. Permohonan maaf baru dimuat di Jawa Pos yang beredar di semua daerah, setelah PC GP Ansor Kodya Surabaya mengirim surat tertanggal 11 Mei 2000. Namun, pencantuman permohonan maaf tersebut sudah diakhiri 14 Mei 2000. Padahal, sesuai surat GP Ansor Jawa Timur, pencantuman permohonan maaf di Jawa Pos baru dimulai edisi Selasa 9 Mei 2000, diakhiri 15 Mei 2000. Karena, permohonan maaf versi Jawa Pos yang diterbitkan edisi Senin, 8 Mei 2000, dinyatakan tidak ada.

IKHTITAM TERBUKANYA kran demokrasi akibat bergulirnya proses reformasi ternyata telah melahirkan wacana baru di tengah masyarakat. Namun sayangnya, tidak semua komponen yang ada bisa memanfaatkannya secara signifikan dalam batas koridor keterbukaan itu sendiri. Deskripsi Rois Syuriyah PBNU KHA Mustofa Bisri (Gus Mus) untuk menggambarkan kondisi Indonesia itu, bukanlah sekedar retorika belaka. Kebebasan berpendapat dan berbicara justru telah mengakibatkan cacatnya demokrasi itu sendiri, ditengah upaya stabilisasi pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari kondisi carut marut setelah 32 tahun tertindas era rezim orde baru. Tragisnya, hal itu dilakukan dengan bentuk yang provokatif yang mengarah pada agitasi serta kebablasan. "Ketika kran demokrasi terbuka seiring dengan reformasi justru disalahgunakan dan keblabasan. Orang sekarang ini memang bebas berpendapat dan berbicara sebagai bentuk wacana baru dalam kehidupan demokrasi kita. Tapi yang sangat disayangkan kebebasan itu disalahgunakan dengan tidak terbatas. Sehingga pendapat yang muncul itu cenderung mengolok-olok dan menghujat," katanya. Cara-cara berpendapat yang keblabasan itu, memang sengaja diciptakan
30

untuk memperkeruh situasi dan membakar emosi massa dengan mencari celah-celah dari sisi negatif kebijakan yang telah dilakukan oleh Presiden Gus Dur. Parahnya, tengara Gus Mus tersebut juga mengjangkiti pers kita. Sejumlah pers yang pemilik atau pengelolanya memiliki kepentingan tertentu, boleh jadi akan menurunkan berita-berita yang menguntungkan bagi keberhasilan kepentingannya itu. Sehingga, saat ini sudah tidak jelas lagi batasan antara pers yang bebas dengan pers kepentingan, pers yang independen dengan pers yang partisan. Semua terlihat sudah kabur atau sengaja dikaburkan. Pers yang mengaku-aku memperjuangkan kepentingan rakyat justru acap kali melansir berita yang tidak mendidik. Belajar dari kasus Banser-Jawa Pos ini, agaknya kita harus mulai berbenah diri. Semua pihak harus melakukan introspeksi atas peristiwa tersebut. Betapa rakyat yang selama ini sering dirugikan oleh institusi pers, terpaksa harus melakukan aksi protes dengan mendatanginya beramai-ramai. Meski langkah ini juga selayaknya dikaji kembali, namun harus dicermati betul latar belakang sehingga memunculkan aksi protes tersebut. Tampaknya, pernyataan Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi dalam wawancara di sebuah stasiun televisi swasta menarik disimak. "Saya kira yang juga patut dicermati itu, organisasi yang kerjanya hanya demonstrasi, yang setiap hari menduduki sana menduduki sini, tetapi tidak dikesankan sebagai pendudukan. Tetapi justru dikesankan sebagai pioner demokrasi," tegasnya. Karena itu, institusi pers yang keberadaannya dianggap sebagai pilar demokrasi keempat juga harus mawas diri. Jangan lantas menjadikan era kebebasan pers sebagai tameng, untuk menyebarkan fitnah melalui berita-berita bohong. Pikirkan juga nasib pembaca yang disadari atau tidak, akan terjerumus ke dalam 'neraka' akibat berita-berita bohong yang dibacanya. Tirulah langkah PBNU yang sedang memikirkan dengan serius bagaimana cara membantu mendorong bangsa Indonesia, supaya dapat memilah-milah dengan baik antara demokrasi dan kebebasan dengan anarkhi dan fitnah. Simak juga nasehat dari Gus Mus yang lahir dari pengalamannya selama bertahun-tahun berhubungan dengan pers berikut ini; "Rasa tanggung jawab dan etika pers masih sangat perlu dibenahi. Pers -misalnya, jika sudah
31

menunjukkan keberaniannya menuliskan kritik bahkan kecaman ke segala penjuru ternyata belum terlihat keberaniannya dalam bersikap sama terhadap dirinya sendiri. Maka jika pers tidak melakukan pembenahan, saya khawatir, pers memang hanya seperti penyair jahiliyah. Hanya melakukan 'onani' untuk sekedar memuaskan diri sesaat, tanpa memikirkan misi dan fungsinya yang sebenarnya mulia dan menentukan. Dalam keadaan ini, pers bukan saja tidak mendidik dan mencerdaskan masyarakat, malahan sangat mungkin membodohkan dan merusak masyarakat." Tapi, jika peringatan yang disampaikan Gus Mus tersebut tidak diindahkan institusi pers, maka tunggu saja kehancurannya. Media massa yang hanya menjual diri dibalik kebesaran dan kemuliaan pers, pasti akan terpuruk. Sebab, masyarakat tidak lagi bodoh. Masyarakat tidak lagi mudah dicabik-cabik dengan penyebaran kabar-kabar bohong berkedok 'media massa'. Karenanya, jangan semata-mata menyalahkan masyarakat jika media massa yang tidak hanya sekali dua menyakiti perasaan mereka mendatanginya. Jangan lantas masyarakat pada yang mencoba mengingatkan dan membantunya menjauhi 'api neraka', menjadi sasaran anarkhisme dan fitnah yang berdalih kebebasan pers. Kepada pembaca dan warga NU khususnya, demi kemajuan dan kejernihan pikiran, pilih dan konsumsilah berita-berita yang disajikan media massa yang benar-benar menjunjung tinggi kebesaran nama pers. Pilih dan konsumsilah berita-berita yang benar (shidiq), dapat dipercaya (amanah), seimbang (tawazun) dan sesuai nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah.

32

You might also like