You are on page 1of 44

BAB I LAPORAN KASUS

1. Identitas Nama Register JenisKelamin Usia Alamat Agama Pekerjaan : Sdr. A R : 30 75 54 : : 17 tahun : Dresi Wetan 02 / 04, Kaliori, Rembang : Islam : Pelajar / Mahasiswa

2. Anamnesis Keluhan utama : pengelihatan mata kiri masih kabur

Riwayat penyakit

Pasien masih mengeluh mata kirinya kabur tapi sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya, pusing maupun cekot-cekot sudah tidak dirasakan. Pasien kontrol post evakuasi clot dan iridektomi perifer et causa glaucoma sekunder et causa contusio bulbi dengan clot pada COA serta haemophthalmos. Dua minggu sebelumnya, pasien datang dengan mata sebelah kiri terasa nyeri setelah terkena pentalan tutup botol sprite, sekitar 5 HSMRS. Setelah kejadian, mata kiri pasien langsung tidak bisa melihat (gelap), pusing, cekot-cekot, merah, serta mengeluarkan air mata & darah, tekanan intraocular saat itu N + 2 atau > 60 mmHg.

Riwayat penyakit dahulu : Tidak didapatkan riwayat penyakit sistemik Riwayat penggunaan kacamata sebelumnya (-) :

Riwayat keluarga -

Tidak ada keluarga yang mempunyai penyakit yang serupa

Riwayat pengobatan: Bed rest semifowler Ciprofloxacin 2 x 750 mg Metylprednisolon 3 x 8 mg Tobro ed 8 x 1 OS Lubricen ed 4 x 1 OS Timolol ed 2 x 1 OS Asam tranexamat 3 x 500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg

3. Pemeriksaan Fisik Status Oftalmologi Tanggal Pemeriksaan : 11 April 2012 Pk 14:00 WIB

OD

OS

Okuli Dextra Posisi Bola Mata Ortoforia Gerak Bola Mata

Okuli Sinistra

Enoftalmus (-), Eksoftalmus (-), Strabismus (-) 20/25 Tidak dilakukan Nyeri tekan (-) Edema superior (-) Edeme inferior (-) Hiperemis (-) Blefarospasme (-) Lagoftalmus (-) Ektropion (-) Entropion (-) Injeksi konjungtiva (-) Hiperemis (-) Injeksi siliar (-) Corpus alienum (-) Infiltrat (-) Kemosis (-) Secret serous (-) Hiperemis (-) jernih Sklera Kornea Conjungtiva Visus Koreksi Palpebra

Enoftalmus (-), Eksoftalmus (-), Strabismus (-) 20/100 Tidak dilakukan Nyeri tekan (+) Edema superior (+) Edeme inferior (+) Hiperemis (+) Blefarospasme (+) Lagoftalmus (-) Ektropion (-) Entropion (-) Injeksi konjungtiva (+) Hiperemis (+) Injeksi siliar (-) Corpus alienum (-) Infiltrat (-) Kemosis (-) Secret serous (-) Hiperemis (+) Agak keruh (+)Edema (+), erosi (-)

Jernih, kedalaman cukup, Hipopion (-), hifema (-),

COA

Jernih, kedalaman cukup, Hipopion (-), hifema (-),

blood clot (-) Kripta (-), warna hitam, edema (-), sinekia (-), atrofi () Round, 3 mm, RP (+) Pupil Iris

blood clot (-) Kripta (-), warna hitam, edema (-), sinekia (-), atrofi (-) Midriasis, Not round, RP (-)

Jernih Jernih Papil edema (-), Vaskularisasi (-), Perdarahan (-), Eksudat (-) Positif Cemerlang 14 mmHg Normal

Lensa Vitreus Retina

Jernih Jernih Papil edema (+), Vaskularisasi (+) Perdarahan (-), Eksudat (-)

Refleks Fundus

Positif Agak suram

TIO Sistem Lakrimasi

13 mmHg Normal

4. Diagnosis

OS post evakuasi clot dan iridektomi perifer hari ke-14 et causa glaucoma sekunder et causa contusio bulbi dengan clot pada COA serta haemophthalmos.

5. Terapi Bed rest semifowler Ciprofloxacin 2 x 750 mg Metylprednisolon 3 x 8 mg Tobro ed 8 x 1 OS Lubricen ed 4 x 1 OS Timolol ed 2 x 1 OS Asam tranexamat 3 x 500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg

6. Monitoring Visus TIO USG Komplikasi trauma okuli

7. KIE Pengertian trauma okuli Penanganan pada trauma okuli Komplikasi yang bisa terjadi pada trauma okuli

8. Prognosis Ad visam dubia ad bonam Ad functionam dubia ad bonan Ad sanationam bonam

BAB II

PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda, karena kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah. Dewasa muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas.1 Prevalensi kebutaaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui dengan pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran pada tahun 1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam penyebab kebutaan lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional yang berkisar 1,5%. Trauma okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata yang menyebabkan kebutaan.2 Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia (bahan asam dan basa). Sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi merupakan true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus ditangani dalam hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus ditangani dalam hitungan jam atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosa dan pertolongan cepat dan tepat. Trauma okuli merupakan kedaruratan mutlak di bidang ocular emergency. Sebagai contoh apabila didapatkan trauma tumpul akan menimbulkan menifestasi perdarahan bawah kulit atau hematoma, luka robek pada palpebra, konjungtiva, yang juga bisa diikuti erosi kornea. Selain itu juga harus difikirkan mengenai efek lanjut atau komplikasi akibat trauma tersebut. Hal ini dikarenakan trauma dapat mengenai

jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur koroid, serta avulsi papil saraf optik. Jika komplikasi tersebut keluar maka terapi yang diberikan juga meliputi penanganan terhadap komplikasi yang timbul.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Mata Bola mata berbentuk hampir bulat dengan diameter anteroposterior sekiar 24 mm. Terdapat 6 otot penggerak bola mat dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak didaerah temporal atas didalam rongga orbita.2 Bola mata dibagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda mata mempunyai reseptor khusus untuk mengenali perubahan sinar dan warna. Secara keseluruhan struktur mata terdiri dari bola mata, termasuk otot-otot penggerak bola mata, rongga tempat mata berada, kelopak dan bulu mata.2

Gambar 1 : Anatomi Bola Mata12

Bola mata di bungkus oleh tiga lapis jaringan, yaitu: 2 1. Sklera merupakan jaringan ikat kenyal memberikan bentuk pada mata,dan bagian luar yang melindungi bola mata. Bagian depan disebut kornea yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata. 2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskuler. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa di sebut juga perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan sillier dan koroid. 3. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang mempunyai susunan 10 lapis. Retina dapat terlepas dari koroid yang disebut Ablasio retina.

Kornea Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, menempati pertengahan dari rongga bola mata anterior yang terletak diantara sclera. Kornea ini merupakan lapisan avaskuler dan menjadi salah satu media refraksi ( bersama dengan humor aquos membentuk lensa positif sebesar 43 dioptri ). Kornea memiliki permukaan posterior lebih cembung daripada anterior sehingga rata-rata mempunyai ketebalan sekitar 11,5 mm ( untuk orang dewasa). lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan terdiri atas lapis :2 1. Epitel Tebalnya 50m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, yaitu sel basal, sel poligonal, sel gepeng. Sel basal sering terlihat mitosis sel.

Sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui dermosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.

Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman Terletak dibawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi

3. Stroma Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen. Pada permukaan terlihat seperti anyaman yang teratur. Keratosit merupakan sel stroma kornae yang merupakan fibroblast 4. Membrane Descemet Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea yang dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup.

5. Endotel Berasal dari mesotelium, melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

Sumber-sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquaeus dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus

kranialis V (trigeminus). Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya yang seragam, avaskularitasnya dan deturgensinya.

Gambar 2. Lapisan Kornea 12

Uvea Uvea terdiri dari iris, korpus siliar dan koroid. Bagian ini adalah lapisan vascular . tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera : 2 a. Iris Merupakan lanjutan dari badan siliar kedepan dan merupakan diafagma yang membagi bola mata menjadi dua segmen anterior dan segmen posterior. Berbentuk sirkular yang ditengahtengahnya berlubang yang disebut pupil.

Secara histologi iris terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat lekukanlekukan yang berjalan radier yang disebut kripta. Di dalam stroma terdapat sel pigmen yang bercabang, banyak pembulluh darah dan serat saraf . dipermukaan anterior ditutup oleh endotel terkecuali kripta, dimana pembuluh darah dalam stroma dapat berhubungan langsung dengan cairan COA, yang memungkinkan cepatnya terjadi pengaliran makanan ke COA dan sebaliknya. Di bagian posterior dilapisi oleh dua epitel yang merupakan lanjutan dari epitel pigmen retina. Permukaan depan iris warnanya sangat bervariasi tergantung pada sel pigmen yang bercabang yang terdapat didalam stroma. Jaringan otot iris tersusun longgar dengan otot polos yang melingkar pupil (m. Sfingter pupil) terletak di dalam stroma dekat pupil dan di atur oleh saraf parasimpatis (N. III) dan yang berjalan radial dari akar iris ke pupil (m. dilatator pupil) terletak di bagian posterior stroma dan diatur oleh saraf simpatis. Iris menipis didekat perlekatannya di badan siliar dan menebal didekat pupil. Pembuluh darah disekitar pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasosiliar cabang dari saraf cranial III yang bersifat simpatis untuk midriasis dan parasimpatis untuk miosis. Pupil bekerja sebagai apertura di dalam kamera. Dalam keadaan radang, didapatkan iris menebal dan pupil mengecil. Dalam keadaan normal pupil sentral bulat, isokor (sama kanan dan kiri), reaksi cahaya langsung dan tidak langsung positif. Reaksi pupil ada tiga, yaitu reaksi cahaya langsung dan tidak langsung, reaksi terhadap titik dekat, dan terhadap obat-obatan. 2 b. Badan Siliar Berbentuk segitiga terdiri dari dua bagian, yaitu : 2 Pars korona, pada bagian anterior bergerigi panjangnya kira-kira 2mm

Pars plana, yang posterior tidak bergerigi, panjangnya 4mm

Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid terdiri atas otot siliar dan prosesus siliar. Otot siliar berfungsi untuk akomodasi. Jika otot ini berkontraksi menarik prosesus siliar dan koroid kedapan dan ke dalam, mengendorkan zonula zinnii sehingga lensa menjadi lebih cembung. Radang pada badan siliar akan mengakibatkan melebarnya pembuluh darah di daerah limbus yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan gambaran khas peradangan intraokular. Prosesus siliar menghasilkan cairan mata yaitu, aqueos humor yang mengisi bilik mata depan. Yang berfungsi memberi makanan untuk kornea dan lensa. Pada peradangan akibat hiperemi yang aktif, maka pembentukan cairan mata bertambah sehingga dapat menyebabkan tekanan intraokuler meninggi dan timbullah glukoma sekunder. Bila peradangan hebat dan merusak sebagian badan siliar maka produksi aqueos humor berkurang, tekanan berkurang dan berakhir sebagai atrofi bulbi okuli. 6 c. Koroid Koroid merupakan suatu membran yang berwarna coklat tua, yang terletak diantara sklera dengan retina terbentang dari ora serata sampai ke papil saraf optik. Koroid terdiri dari beberapa lapisan, yaitu;2 Lapisan epitel pigmen Membran Bruch (lamina vitrea) Koriokapiler Pembuluh darah sedang dan pembuluh darah besar Suprakoroid

Lapisan suprakoroid terdiri dari lapisan protropoblas yang mengandung nukleus. Membran bruch merupakan membran yang tidak berstruktur. Pembuluh darah besar kebanyakan terdiri dari pembuluh balik yhang kemudian bergabung menjadi empat vena vortikosa, yang keluar dari tiap kuadran posterior bola mata yang menembus sclera. Pembuluh darah arteri berasal dari arteri siliais brevis yang mengandung serat elastis dan khromatofor. Koroid melekat erat pada pinggir N.II dan berakhir di oraserata. 6

Lensa Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan hampir transparan sempurna. Tebalnya kira-kira 4mm dan diameternya 9 mm. Lensa digantung oleh zonula zinnii, yang menghubungkannya dengan korpus silier. Di bagian anterior lensa terdapat humor aqueous, disebelah posteriornya vitreus. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semi permeabel (sedikit lebih permeabel dari pada dinding kapiler) yang akan memperoleh air dan elektrolit masuk. 6 Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula zinnii, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat sehingga sinar dapat di fokuskan disaerah macula lutea. Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu : 6 Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung. Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan Terletak ditempatnya.

Keadaan patologik lensa ini dapat berupa : Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia

Keruh atau apa yang disebut katarak Tidak berada ditempat atau subluksasi dan dislokasi.

Gambar 3. Lensa Mata dalam Posisi Horizontal12

Retina Retina adalah selapis lembar tipis jaringan saraf yang semi transparan. Retina merupakan reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan koroid dan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan ; 6 Membrana limitans interna Lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus. Lapisan sel ganglion

Lapisan plexiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar

Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal Lapisan pleskiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor

Lapisan inti luar sel fotoreseptor Membran limitans eksterna Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut Epitelium pigmen retina Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan iskemia dan

merah pada hiperemia. Pembuluh darah di dalam retina merupakan percabangan arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid.

Saraf optik Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa dua jenis serabut saraf yaitu : saraf penglihatan dan serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik menggambarkan gangguan yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak langsung terhadap saraf optik ataupun perubahan toksik dan anoksik yang mempengaruhi penyaluran aliran listrik.

Sklera Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus dan pelindung 4/5 permukaan mata. Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea. 6

Sklera anterior ditutupi oleh tiga lapis jaringan ikat vaskular, sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia masih tahan terhadap kontusio trauma tumpul. Kekakuan sklera dapat meninggi pada pasien diabetes melitus, atau merendah pada eksoftalmos goiter, miotika dan meminum air banyak.

Konjungtiva Merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis. Dapat dibagi menjadi tiga zona : palpebra, forniks dan bulbar. Bagian bulbar mulai dari mukokutaneus junction dari kelopak mata dan melindunginya dari permukaan dalam. Bagian ini melekat erat pada tarsus. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbikulare di fornik dan melipat berkali-kali, sehingga memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Kecuali di limbus, konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera dibawahnya.2

Rongga orbita Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sphenoid, frontal, dan dasar orbita yang yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum dan zigomatikus. Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga hidung. Dinding lateral orbita membentuk sudut 45dengan dinding medialnya. Dinding orbita terdiri atas tulang-tulang : 6 Superior Lateral : os. Frontal : os. Frontal, os. Zigomatik, ala magna os. Sfenoid

Inferior Nasal

: os. Zigomatik, os. Maksila, os.palatina : os. Maksila, os. Lakrimal, os.etmoid

Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik, arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid. Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakimal (V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan arteri vena ophtalmik. Fisura orbita inferior terlatak didasar tengah temporal orbita dilalui oleh saraf infra-orbita dan zigomatik dan arteri infra orbita. Fosa lakrimal terletak disebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.

Gambar 4. Bola Mata dan Rongga Orbital12

2.1 Definisi Trauma Okuli Tumpul Trauma tumpul merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.3,4 Trauma tumpul biasanya terjadi karena kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas.1 Trauma tumpul dapat bersifat Coupe maupun Counter Coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan pada arah horisontal di sisi yang berseberangan sehingga jika tekanan benda mengenai bola mata akan diteruskan sampai dengan makula.3,4

Gambar 1. Gambar anatomi bola mata

Trauma okuli tumpul dapat berupa non-peroforasi, perforasi, laserasi, maupun ruptur. Menurut Birmingham Eye Trauma Terminology definisi trauma pada mata dapat didasarkan pada tabel berikut5:

Tabel 1. Definisi trauma Okuli menurut BETT 5

2.2 Klasifikasi Trauma Okuli Menurut BETT klasifikasi trauma okuli dapat digambarkan menurut bagan berikut:

Bagan 1. Klasifikasi Trauma Okuli Menurut BETT 5

Menurut klasifikasi BETT trauma okuli dibedakan menjadi closed globe dan open globe. Closed globe adalah trauma yang hanya menembus sebagian kornea, sedangkan open globe adalah trauma yang menembus seluruh kornea hingga masuk lebih dalam lagi. Selanjutnya closed globe injury dibedakan menjadi contusio dan lamellar laceration. Sedangkan open globe

injury dibedakan menjadi rupture dan laceration yang dibedakan lagi menjadi penetrating, IOFB, dan perforating.5 Sumber lain menyatakan klasifikasi trauma okuli sebagai berikut:

Bagan 2. Skema diagram alur mengenai trauma okuli

Menurut skema diatas, secara garis besar trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli non perforans dan perforans, yang keduanya memiliki potensi menimbulkan ruptur pada perlukaan kornea, iris dan pupil. Trauma tumpul mampu menimbulkan trauma okuli non perforans yang dapat menimbulkan komplikasi sepanjang bagian mata yang terkena (bisa meliputi mulai dari bagian kornea hingga retina). Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga bisa diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu: Trauma tumpul (contusio okuli) (non perforans) Trauma tajam (perforans)

Trauma Radiasi - Trauma radiasi sinar inframerah - Trauma radiasi sinar ultraviolet - Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi Trauma Kimia - Trauma asam - Trauma basa

Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu menimbulkan efek atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata.

2.3 Manifestasi Trauma Okuli Kerusakkan akibat trauma tumpul dapat mengenai: 1 .Orbita Trauma tumpul orbita yang kuat dapat menyebabkan bola mata terdorong dan menimbulkan fraktur orbita.Fraktur orbita sering merupakan perluasan fraktur dari maksila diklasifikasikan menurut Le Fort, dan fraktur tripod pada zygoma yang akan mengenai dasar orbita. Apabila pintu masuk orbita menerima suatu pukulan, maka gaya- gaya penekan dapat menyebabkan fraktur dinding inferior dan medial yang tipis , disertai dengan prolaps bola mata beserta jaringan lunak ke dalam sinus maksilaris (fraktur blow-out). Mungkin terdapat cedera intraocular terkait, yaitu hifema , penyempitan sudut, dan ablasi retina. Enoftalmos dapat segera terjadi setelah trauma atau terjadi belakangan setelah edema menghilang dan terbentuk sikatrik dan atrofi jaringan lemak. Pada soft-tissue dapat menyebabkan perdarahan disertai enoftalmus dan paralisis otot-otot ekstraokular yang secara klinis tampak sebagai strabismus . Diplopia dapat disebabkan

kerusakan neuromuscular langsung atau edema isi orbita. Dapat pula terjadi penjepitan otot rektus inferior orbita dan jaringan di sekitarnya.Apabila terjadi penjepitan,maka gerakan pasif mata oleh forseps menjadi terbatas.

2. Palpebra Meskipun bergantung kekuatan trauma , trauma tumpul yang mengenai mata dapat

berdampak pada palpebra, berupa edema palpebra, perdarahan subkutis, dan erosi palpebra. Gejala klinis yang dapat terjadi pada trauma mata antara lain 6,7 : 1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya Pada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian humor akueus dapat keluar dari mata. 2. Memar pada sekitar mata Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra. Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur basis kranii. 3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadak Penurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus optikus. 4. Penglihatan ganda Penglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien. 5. Mata bewarna merah Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan subkonjungtiva. 6. Nyeri dan rasa menyengat pada mata Pada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri pada mata. 7. Sakit kepala Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat menyebabkan sakit kepala.

8. Mata terasa gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata Pada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun segmen anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan pada mata. 9. Fotopobia Fotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea, benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang masuk ke dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata. Berikut ini dijelaskan lebih lanjut tentang beberapa manifestasi klinis yang dapat muncul akibat trauma benda tumpul pada okuli diantaranya antara lain: 1. Hematoma palpebra Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma palpebra merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul okuli. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata hitam (racoon eye) yang sedang dipakai, terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Penanganan pertama dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan. Selanjutnya untuk memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada palpebra. 2,6,7 2. Edema konjungtiva Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik (edema) pada setiap kelainan termasuk akibat trauma tumpul. Bila palpebra terbuka dan

konjungtiva secara langsung terekspose dengan dunia luar tanpa dapat mengedip maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva. Edema konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva. 2,6,7

3.

Hematoma subkonjungtiva Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini bisa akibat dari batuk rejan, trauma tumpul atau pada keadaan pembuluh darah yang mudah pecah. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli. 2,6,7

4.

Edema kornea Edema kornea dapat meberikan keluhan berupa penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea dapat terlihat keruh. Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea. 2,6,7

5.

Erosi kornea Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. Dalam waktu singkat epitel sekitar dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Erosi di kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan sewatu mata dan kelopak mata digerakkan. Pola tanda goresan vertikal di kornea mengisyaratkan adanya benda asing tertanam di permukaan konjungtiva tarsalis di kelopak mata atas. Pemakaian berlebihan lensa kontak menimbulkan edema kornea.Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media yang berwarna hijau . 2,3,6,7 Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati karena dapat menambah kerusakan epitel, yang lebih tepatnya jangan pernah memberi larutan anestetik topikal kepada pasien untuk dipakai berulang setelah cedera kornea, karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi kerusakan lebih lanjut, dan dapat keruh.

Pada kornea akan terlihat adanya defek epitel kornea yang bila diberi fuorosein akan

menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea permanen. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam. 1,3, Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal. Epitel akan sukar menutup dikarenakan terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea sebagai sebagai tempat duduknya sel basal epitel kornea. Umumnya membrane basal yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu. Permukaan kornea perlu diberi pelumas untuk membentuk membran basal kornea. Pemberian siklopegik bertujuan untuk mengurangi rasa sakit ataupun untuk mengurangi gejala radang uvea yang mungkn timbul. Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat pertumbuhan epitel baru dan mencegah infeksi skunder. Dapat digunakan lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren pada kornea dengan maksud untuk mempertahankan epitel berada ditempatnya. 1,6,7 6. Iridoplegia Kelumpuhan otot sfingter pupil yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul pada uvea sehingga menyebabkan pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi dan merasakan silau karena gangguan pengaturan masuknya cahaya ke pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak bereaksi terhadap sinar. 3,6,7 7. Iridodialisis Iridodialisis adalah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga bentuk pupil tidak bulat dan pada pangkal iris terdapat lubang. Saat mata kita berkontak dengan benda asing, maka mata akan bereaksi dengan menutup kelopak mata dan mata memutar ke atas. Ini alasannya mengapa titik cedera yang paling sering terjadi adalah pada temporal bawah pada mata. Pada daerah inilah iris sering terlihat seperti peripheral iris tears (iridodialisis). Saat mata tertekan maka iris perifer akan robek pada akarnya dan meninggalkan crescentic gap yang berwarna hitam tetapi reflek fundus masih dapat diobservasi.
10

Hal ini mudah terjadi karena bagian iris yang berdekatan dengan badan

silier gampang robek. Lubang pupil pada pangkal iris tersebut merupakan lubang permanen karena iris tidak mempunyai kemampuan regenerasi. 1 Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Perubahan bentuk pupil maupun perubahan ukuran pupil akibat

trauma tumpul tidak banyak mengganggu tajam penglihatan penderita. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas. 1,3,4 8. Hifema Hifema adalah darah di dalam bilik mata depan (camera okuli anterior/COA) yang dapat terjadi akibat trauma tumpul sehingga merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Trauma tumpul sering merobek pembuluh-pembuluh darah iris atau badan siliar dan merusak sudut kamera okuli anterior. Darah di dalam cairan dapat membentuk suatu lapisan yang dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi apabila jaringan trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau apabila pembentukan bekuan darah menyebabkan sumbatan pupil. 1,3,4 Hifema dibagi dalam 4 grade berdasarkan tampilan klinisnya 11 : 1. grade I: menutupi < 1/3 COA (Camera Okuli Anterior) 2. grade II: menutupi 1/3-1/2 COA 3. grade III: menutupi 1/2-3/4 COA 4. grade IV: menutupi 3/4-seluruh COA Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun dan bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul dibagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Tanda-tanda klinis lain berupa tekanan intraokuli (TIO) normal/meningkat/menurun, bentuk pupil

normal/midriasis/lonjong, pelebaran pembuluh darah perikornea, kadang diikuti erosi kornea. 6,7,11 9. Iridosiklitis Yaitu radang pada uvea anterior yang terjadi akibat reaksi jaringan uvea pada post trauma. Pada mata akan terlihat mata merah, akbat danya darah yang berada di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil mata yang mengecil yang mengakibatkan visus menurun. Sebaiknya pada mata diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.

10.

Subluksasi Lensa Subluksasi Lensa adalah lensa yang berpindah tempat akibat putusnya sebagian zonula zinii ataupun dapat terjadi spontan karena trauma atau zonula zinii yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada, maka lensa akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa yang cembung akan membuat iris terdorong ke depan sehingga bisa mengakibatkan terjadinya glaukoma sekunder.

11.

Luksasi Lensa Anterior Yaitu bila seluruh zonula zinii di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa masuk ke dalam bilik mata depan. Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak. Muncul gejala-gejala glaukoma kongestif akut yang disebabkan karena lensa terletak di bilik mata depan yang mengakibatkan terjadinya gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar.

12.

Luksasi Lensa Posterior Yaitu bila seluruh zonula zinii di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya karena lensa mengganggu kampus. Mata menunjukan gejala afakia, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.

13.

Edema Retina dan Koroid Terjadinya sembab pada daerah retina yang bisa diakibatkan oleh trauma tumpul. Edema retina akan memberikan warna retina lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Pada edema retina akibat trauma tumpul mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot. Penglihatan pasien akan menurun. Penanganan yaitu dengan menyuruh pasien istirahat. Penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunya daerah makula oleh sel pigmen epitel.

14.

Ablasi Retina

Yaitu terlepasnya retina dari koroid yang bisa disebabkan karena trauma. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina. Pada pasien akan terdapat keluhan ketajaman penglihatan menurun, terlihat adanya selaput yang seperti tabir pada pandangannya. Pada pemeriksaan fundus kopi akan terlihat retina berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terangkat dan berkelok-kelok. 15. Ruptur Koroid Ruptur biasanya terletak pada polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik, biasanya terjadi perdarahan subretina akibat dari ruptur koroid. Bila ruptur koroid terletak atau mengenai daerah makula lutea maka akan terjadi penurunan ketajaman penglihatan. 16. Avulsi papil saraf optik Saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul. Penderita akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan. Penderita perlu dirujuk untuk menilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya (Ilyas, 2003; Jack J, 2005). 17. Katarak traumatik Trauma tumpul bertanggung jawab dalam mekanisme coup dan contrecop. Mekanisme coup adalah mekanisme dengan dampak langsung. Ini akan mengakibatkan cincin Vossius ( pigmen iris tercetak ) dan kadang-kadang ditemukan pada kapsul lensa anterior setelah trauma tumpul. Mekanisme contrecoup menunjuk kepada cedera yang jauh dari tempat trauma yang disebabkan oleh gelombang energy yang berjalan sepanjang garis sampai kebelakang. Ketika permukaan anterior mata terkena trauma tumpul, ada pemendekan cepat pada anterior-posterior yang diikuti pemanjangan garis ekuatorial. Peregangan ekuatorial dapat meregangkan kapsul lensa, zonula atau keduanya. Kombinasi coup, contrecoup dan pemanjangan ekuatorial bertanggung jawab dalam terjadinya katarak traumatik yang disebabkan trauma tumpul bola mata. Trauma tembus yang secara langsung menekan kapsul lensa menyebabkan opasitas kortikal pada tempat trauma. Jika trauma cukup besar, keseluruhan lensa akan mengalami opasifikasi secara cepat, namun jika kecil, katarak kortikal yang akan terjadi. a. Luka memar/tumpul

Jika terjadi trauma akibat benda keras yang cukup kuat mengenai mata dapat menyebabkan lensa menjadi opak. Trauma yang disebabkan oleh benturan dengan bola keras adalah salah satu contohnya. Kadang munculnya katarak dapat tertunda samapi kurun waktu beberapa tahun. Bila ditemukan katarak unilateral, maka harus dicurigai kemungkinan adanya riwayat trauma sebelumnya, namun hubungan sebab dan akibatnya kadang-kadang cukup sulit dibuktikan dikarenakan tidak adanya tanda-tanda lain yang dapat ditemukan mengenai adanya trauma sebelumnya tersebut. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior maupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak ( imprinting ) yang disebut cincin Vossius.

Gambar Cincin Vossius

Gambar Katarak Stellata b. Luka tusuk/perforasi

Luka perforasi pada mata mempunyai tendensi yang cukup tinggi untuk terbentuknya katarak. Jika objek yang dapat menyebabkan perforasi ( contohnya gelas

yang pecah ) tembus melalui kornea tanpa mengenai lensa biasanya tidak memberikan dampak pada lensa, dan bila trauma tidak menimbulkan suatu luka memar yang signifikan maka katarak tidak akan terbentuk. Hal ini tentunya juga bergantung kepada penatalaksanaan luka kornea yang hati-hati dan pencegahan terhadap infeksi, akan tetapi trauma-trauma seperti diatas dapat juga melibatkan kapsul lensa, yang mengakibatkan keluarnya lensa mata ke bilik anterior. Urutan dari dampak setelah trauma juga bergantung pada usia pasien. Saat kapsul lensa pada anak ruptur, maka akan diikuti oleh reaksi inflamasi di bilik anterior dan masa lensa biasnya secara berangsur-angsur akan diserap jika tidak ditangani dalan waktu kurang lebih 1 bulan. Namun demikian, pasien tidak dapat melihat dengan jelas karena sebagian besar dari kemampuan refraktif mata tersebut hilang. Keadaan ini merupakan konsekuensi yang serius dan kadang membutuhkan penggunaan lensa buatan intraokuler. Bila ruptur lensa terjadi pada dewasa, juga diikuti dengan reaksi inflamasi seperti halnya pada anak, namun tendensi untuk fibrosis jauh lebih tinggi dan jaringan fibrosis opak yang terbentuk tersebut dapat bertahan dan menghalangi pupil. Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat priloferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya mada lensa didalam bilik mata. Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan difagosit makrofag dengan cepatnya yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakolitik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan terbentuknya cincin Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elschnig.

Gambar cincin Soemering

Gambar mutiara Elschnig Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder.1 Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa. 3,4 Gambaran klinis yang dapat ditemui antara lain adalah:

1.

Penurunan ketajaman visus Katarak secara klinis relevan jika menyebabkan penurunan signifikan pada ketajaman visual, baik itu dekat maupun jauh. Biasanya akan ditemui penurunan tajam penglihatan dekat signifikan dibanding penglihatan jauh, mungkin disebabkan oleh miosis akomodatif. Jenis katarak yang berbeda memiliki tajam penglihatan yang berbeda pula. Pada katarak subkapsuler posterior dapat sangat mengurangi ketajaman penglihatan dekat menurun daripada penglihatan jauh. Sebaliknya katarak nuklear dikaitkan dengan tajam penglihatan dekat yang tetap baik dan tajam penglihatan jauh yang buruk. Penderita dengan katarak kortikal cenderung memperoleh tajam penglihatan yang baik.4

2.

Silau Seringkali penderita mengeluhkan silau ketika dihadapkan dengan sinar langsung. Biasanya keluhan ini ditemukan pada katarak subkapsuler posterior dan juga katarak kortikal. Jarang pada katarak nuklearis.6

3.

Sensitivitas kontras Sensitivitas kontras dapat memberikan petunjuk mengenai kehilangan signifikan dari fungsi penglihatan lebih baik dibanding menggunakan pemeriksaan Snellen. Pada pasien katarak akan sulit membedakan ketajaman gambar, kecerahan, dan jarak ruang sehingga menunjukkan adanya gangguan penglihatan. 2

4.

Pergeseran miopia Pasien katarak yang sebelumnya menggunakan kacamata jarak dekat akan mengatakan bahwa ia sudah tidak mengalami gangguan refraksi lagi dan tidak membutuhkan kacamatanya. Sebaliknya pada pasien yang tidak menggunakan kacamata, ia akan mengeluhkan bahwa penglihatan jauhnya kabur sehingga ia akan meminta dibuatkan kacamata. Fenomena ini disebut pergeseran miopia atau penglihatan sekunder, namun keadaan ini bersifat sementara dan terkait dengan stadium katarak yang sedang dialaminya.4

5.

Diplopia monokuler Pada pasien akan dikeluhkan adanya perbedaan gambar objek yang ia lihat, ini dikarenakan perubahan pada nukleus lensa yang memiliki indeks refraksi berbeda

akibat perubahan pada stadium katarak. Selain itu, dengan menggunakan retinoskopi atau oftalmoskopi langsung, akan ditemui perbedaan area refleks merah yang jelas terlihat dan tidak terlalu jelas.1

Clear image

Nuclear Sclerotic Cataract Diffusely blurred vision, filters out the color blue.

Cortical Cataract Part of vision is blurry, not severe.

Posterior subcapsular cataract Posterior Subcapsular cataract Central blurred vision with glare. Severe glare visual loss. Person would probably have to close this eye to drive.

Gejala objektif dari pemeriksaan oftalmologi: a. Visus dan pupil adanya RAPD menunjukkan adanya neurpoati optic post trauma b. c. d. e. Gerakan bola mata fraktur orbital atau kelumpuhan saraf akibat trauma Tekanan bola mata glaucoma sekunder dan perdarahan retrobulbar Bilik mata depan hifema, iritis, sudut sempit, iridodonesis, sudut tertutup Lensa subluksasi, dislokasi, robek kapsul ( anterior dan posterior ), katarak (bentuk dan jenis ), edema, fakodenesis f. g. Vitreous ada tidaknya perdarahan, lepasnya vitreous posterior Fundus lepasnya retina, rupture koroid, komosio retina, perdarahan preretinal, perdarahan intraretinal, perdarahan subretinal, Tampak kekeruhan lensa dalam bermacam bentuk dan tingkat. Kekeruhan ini juga ditemukan pada berbagai lokalisasi di lensa seperti korteks dan nukleus.

Gambar 2a. Manifestasi Trauma Okuli

Gambar 2b. Manifestasi trauma Okuli

2.4 Diagnosis Trauma Okuli Untuk menegakkan diagnosis trauma okuli sama dengan penegakan diagnosis pada umumnya, yaitu dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau timbul mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah, atau ledakan. 1 Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya. 1,2 Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3 hingga kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata. Untuk itu perlu pemeriksaan neurologis dan sistemik mencakup tanda-tanda vital, status mental, fungsi, jantung dan paru serta ekstremitas. Selanjutnya pemeriksaan mata dapat dimulai dengan 1,2:

1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik dan defek pupil aferen. 2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk mencari defek pada tepi tulang orbita. 3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi 4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak 5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan 6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata yang lain) 7. Oftalmoskop: menilai lensa, korpus vitreus, diskus optikus dan retina.

Pemeriksaan oftalmologis dimulai dengan pengukuran ketajaman penglihatan (visus). Apabila didapatkan gangguan penglihatan parah, maka periksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit periorbita, dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan bedside, adanya enoftalmos dapat ditentukan dengan melihat profil kornea dari atas alis. Apabila tidak tersedia slit lamp, maka senter, kaca pembesar, atau oftalmoskop langsung pada +10 (nomor gelap) dapat digunakan untuk memeriksa adanya cedera di permukaan tarsal kelopak dan segmen anterior. 1 Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing, luka, dan abrasi. Dilakukan inspeksi konjungtiva bulbi untuk mencari adanya perdarahan, benda asing, atau laserasi. Kedalaman dan kejernihan COA dicatat. Ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil aferen (RAPD) di mata yang cedera. Apabila bola mata tidak rusak, maka kelopak, konjungtiva palpebra, dan forniks, dapat diperiksa secara lebih teliti, termasuk inspeksi setelah eversi kelopak mata atas. Oftalmoskop langsung dan tidak langsung digunakan untuk mengamati lensa, korpus vitreous, discus optikus, dan retina. Dokumentasi foto bermanfaat untuk tujuantujuan medikolegal pada semua kasus trauma eksternal. Pada semua kasus trauma mata, mata yang tampak tidak cedera juga harus diperiksa dengan teliti. 1 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG mata, CT scan, hingga MRI. Pemeriksaan darah lengkap, status kardiologi, radiologi dapat ditambahkan jika akan dilakukan tindakan tertentu yang membutuhkan pemeriksaan penunjang tersebut.

2.5 Penatalaksanaan Trauma Okuli Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan jangan diberi obat sikloplegik atau antiobiotik topikal karena kemungkinan toksisitas pada jaringan intraocular yang terpajan. Berikan antibiotik parenteral spektrum luas dan pakaikan pelindung Fox (atau sepertiga bagian bawah corong kertas) pada mata. Analgetik, antiemetik, dan antitoksin tetanus harus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum jangan menggunakan obat-obat penghambat depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transient tekanan di dalam bola mata sehingga mengingkatkan kecenderungan herniasi isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan anestesi umum yang bekerja singkat. 1,2 Pada cedera yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap. Perlu diperhatikan bahwa pemberian anestetik topical, zat warna, dan obat lain yang diberikan ke mata yang cedera harus steril. Tetrakain dan fluoresens tersedia dalam satuan-satuan dosis individual yang steril. 1 Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati karena dapat menambah kerusakan epitel, yang lebih tepatnya jangan pernah memberi larutan anesteik topikal kepada pasien untuk dipakai berulang setelah cedera kornea, karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi kerusakan lebih lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea permanen. 1,3,4 Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah terjadinya infeksi dapat diberikan antibiotika spektrum luas seperti neosporin, kloramfenikol dan sufasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka dapat diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida. 3,4 Untuk mengurangi rangsangan cahaya dan membuat rasa nyaman serta lebih tertutup pada pasien, maka bisa diberikan bebat tekan pada pasien selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam. 1

1. Hifema Penanganan awal pada pasien hifema yaitu dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala (semi fowler), diberi koagulansia (antifibrinolitik oral/injeksi) dan mata ditutup. Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang.
3,4,10

Pasien yang jelas memperlihatkan hifema yang mengisi lebih dari 5% kamera

anterior diharuskan bertirah baring dan harus diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari. Penyulit ini memiliki resiko tinggi menimbulkan glaukoma dan perwarnaan kornea. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam

aminokaproat oral untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah menurunkan resiko perdarahan ulang. Dosisnya adalah 100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/h selama 5 hari. Apabila timbul glaukoma, maka penatalaksanaan mencakup pemberian timolol 0,25% atau 0,5% dua kali sehari, asetazolamide 250 mg per oral empat kali sehari dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, sorbitol).
1

Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar

berakibat suatu reses sudut di bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata. 3 Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraokular tetap tinggi (>35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan syaraf optikus dan perwarnaan kornea. Apabila pasien mengidap hemoglobinopati, maka besar kemungkinan cepat terjadi atrofi optikus glaukomatosa dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal. Instrumen-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan lavase kamera anterior. Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis di sebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Tidak dilakukan usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera anterior atau dari jaringan iris. Kemudian dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan kamera anterior adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskoelasti, dan dan sebuah insisi yang lebih besar 180 derajat berlawanan agar hifema dapat didorong keluar. Glaukoma dapat timbul belakangan setelah beberapa bulan atau tahun akibat penyempitan sudut. Dengan sedikit perkecualian, bercak darah di kornea akan hilang secara perlahan dalam periode sampai setahun. 1

Parasentesis atau pengeluaran darah dari bilik mata depan dilakukan pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma skunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema berkurang.Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang. Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukimia dan retinoblastoma. 3,4 Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologik. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit. 3,4 2. Iridoplegia Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk terjadinya kelelahan sfingter dan diberi roboransia. Untuk mencegah silau sebaiknya pasien memakai kacamata gelap, atau mata yang sakit diperban. 3,4 3. Luksasi Lensa posterior Pada luksasi lensa posterior, mata akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa + 12.0 Dioptri untuk melihat jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus superior dapat menimbulkan komplikasi akibat degenarasi lensa, yaitu berupa glaukoma fakolitik dan uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah menimbulkan komplikasi sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

BAB IV PEMBAHASAN

Dua minggu sebelumnya, pasien datang dengan mata sebelah kiri terasa nyeri setelah terkena pentalan tutup botol sprite, sekitar 5 HSMRS. Setelah kejadian, mata kiri pasien langsung tidak bisa melihat (gelap), pusing, cekot-cekot, merah, serta mengeluarkan air mata & darah, tekanan intraocular saat itu N + 2 atau > 60 mmHg.Pasien laki-laki berusia 17 tahun datang ke UGD RSSA dengan keluhan mata sebelah kiri terasa nyeri setelah terkena pentalan kayu saat bekerja, sekitar 5 jam sblm MRS. Setelah kejadian, mata kiri pasien langsung tidak bisa melihat (gelap), cekot-cekot, dan mengeluarkan air mata & darah. Oleh keluarga pasien diberikan obat tetes mata yang dijual bebas di pasaran (Aito, Rohto) namun tidak membaik, lalu dibawa ke RS di Batu diberi perawatan dengan ditutup verband, selanjutnya dirujuk ke RSSA. Gejala-gejala yang dialami pasien merupakan gejala trauma okuli dikarenakan pentalan tutup botol sprite dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang sehingga terjadi kerusakan pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya. Trauma pada mata dapat mengenai jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan mata. Setelah

terkena trauma okuli maka penderita akan mengeluh matanya nyeri, merah, kemeng, perih, keluar air mata maupun darah, bahkan sebagian akan mengeluhkan pandangan kabur hingga tidak bisa melihat sama sekali. Hal ini juga menyesuaikan pada tingkat mana kerusakan terjadi, dan ada tidaknya penyulit atau komplikasi pasca trauma okuli diakibatkan trauma mekanis. Dari status oftalmologis pasien didapatkan dan spasme pada kelopak mata kiri; pada conjucyiva didapatkan konjungtival injection (+)pemeriksaan kornea didapatkan edema kornea dan post erosi kornea; pupil tidak bulat, midriasis, reflek pupil (-),pemeriksaan lensa sulit dievaluasi.

Terapi berupa Bed rest semifowler, Ciprofloxacin 2 x 750 mg, Metylprednisolon 3 x 8 mg, Tobro ed 8 x 1 OS, Xitrol ed /jam OS, Lubricen ed 4 x 1 OS, Timolol ed 2 x 1 OS, Asam tranexamat 3 x 500 mg, Asam mefenamat 3 x 500 mg, Voltaren ed 4 x 1 OS, dengan rencana monitoring visus TIO Schiotz, dan USG, serta komplikasi perdarahan ulang yang mungkin bisa

terjadi 3-5 hari setelah trauma okuli. Posisi bed rest semifowler dilakukan dengan meninggikan kepala 30 dilakukanderajat bertujuan untuk mencegah rebleeding.

Teori Penatalaksanaan - Analgesik - Antiemetik - Antibiotik - Sikloplegik - Steroid - Bed rest semifowler - Terapi sesuai komplikasi

Kasus - Bed rest semifowler - Ciprofloxacin 2 x 750 mg - Metylprednisolon 3 x 8 mg - Tobro ed 8 x 1 OS - Xitrol ed /jam OS - Lubricen ed 4 x 1 OS - Timolol ed 2 x 1 OS - Asam tranexamat 3 x 500 mg - Asam mefenamat 3 x 500 mg - Voltaren ed 4 x 1 OS

Pada kasus ini, terapi ciprofloxacin, tobro, xitrol, dan lubricen bertujuan menangani komplikasi infeksi akibat masuknya benda asing ke mata juga sekaligus membantu pembentukan epitel baru pada kornea yang telah mengalami erosi. Untuk penatalaksanaan terhadap kejadian hifema diberikan asam tranexamat serta methylprednisolon. Asam tranexamat merupakan antifibrinolitik yang menghambat pengubahan plasminogen menjadi plasmin. Perlunya antifibrinolitik pada kasus ini adalah untuk mencegah berlanjutnya perdarahan pada hifema. Methylprednisolon digunakan sebagai alternatif dari steroid tetes mata, karena pada kasus ini pasien juga memiliki kelainan berupa erosi kornea (defek epitel positif) yang merupakan kontraindikasi bagi pemberian steroid tetes mata. Asam mefenamat dan voltaren (Na diclofenac) diberikan sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri akibat trauma okuli. Timolol diberikan agar tidak terjadi peningkatan TIO yang akan menimbulkan glaukoma sekunder.

DAFTAR PUSTAKA 1. Asbury T, Sanitato JJ. 2000. General Ophthalmology. Alih bahasa: Oftalmologi Umum ed. 14. Jakarta. Widya Medika 2. Ilyas, Sidharta. 2009. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga: Trauma Mata. Hal 259-276. Penerbit: FKUI, Jakarta 3. Ilyas, Sidarta. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, edisi 2. Balai Penerbit FK UI, Jakarta. 4. Yanoff M, Duker JS. 2004. Ophtalmology. 2nd ed, p. 416-419. St Louis, MO: Mosby 5. Yanoff, M, Duker, JS and Augsburger, JJ, et al. Ophthalmology. 2nd ed. St. Louis, Mo: Elsevier; 2004:1391-1396 6. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata: Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair, Surabaya. 7. Rahman A, 2009. Trauma Tumpul Okuli. http://belibis-a17.com/2009/10/11/traumatumpul-okuli/. Diunduh tanggal 12 April 2012 8. Bruce, Chris, dan Anthony. 2006. Lecture Notes : Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta : Penerbit Erlangga.

You might also like