You are on page 1of 23

MAKALAH SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS ( SLE )

Kelompok 4 Cendri Diana Putri Prihartati Muji Hartiningsih NamanKhalid Novi Agustina Putri Kurniasari Rina Wulandari Septiyayanti Steven Tirta Putra Vania Zamri William Faisal Zuki Saputra Hazirah Bt Abd Khalim Mohd Zulhelmi Bin Ramli Noraiman Bin Roslim Nur Faraha Binti Daud Ruzanaz S Bt Ruzman Azlee Ukim Bin Antiko 030.05.056 030.05.173 030.06.171 030.07.176 030.07.189 030.07.207 030.07.220 030.07.238 030.07.250 030.07.261 030.07.272 030.07.283 030.07.293 030.07.303 030.07.313 030.07.323 030.07.334 030.07.344

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERITAS TRISAKTI JAKARTA, FEBRUARI 2009

BAB I PENDAHULUAN

Sesi 1 Mulan, wanita usia 25 tahun, belum menikah, datang berobat kepada seorang General Practioner dua tahun yang lalu, dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan, dan kedua pergelangan kaki. Pemeriksaan saat itu menunjukan semua tanda vital dalam batas normal. Nampak bercak kemerahan dikedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung. Dalam anamnesis, bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam. Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium: Ht = 35%; Leukosit = 9800/mm3; hitung jenis leukosit normal. LED 40 mm/jam; ANA positif 1:256.

Sesi 2 Tiga bulan kemudian Mulan merasakan lesu dan lelah sepanjang hari. Ia berfikir mengalami flu syndrom. Dalam satu minggu terakhir ini ia mengalami bengkak kedua kaki sampai pergelangannya. Pada pemeriksaan didapati pitting oedema kaki. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan shifting dullnes pada perkusi. Pemeriksaan Laboratorium memperlihatkan ANA positif masih dengan titer 1:256; LED 120 mm/jam; albumin serum 0,8 g/dl. Serum komplemen C3= 42 mg/dl (normal= 80-180) dan C4= 5 mg/dl (normal= 15-45). Urinalisis: proteinuria 4+, hematuria, pyuria, danditemukan silinder bergranula. Urin 24 jam mengandung 4 gr protein.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS ( SLE )

A. DEFINISI Systemic lupus erythematosus (SLE), merupakan prototipe suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang menyebabkan kerusakan sel maupun organ, penyakit ini berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita usia produktif, dengan rasio wanita dan laki-laki 9:1. Etiologinya tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respon imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor Klas II, yaitu HLA-DR2 dan HLADR3. B. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Etiologi dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian, diduga bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan (infeksi, zat kimia, makanan, sinar matahari), dan juga faktor hormonal ( sex hormone, stress hormone, leptine) yang dapat menghasilkan respon imun yang abnormal. Seperti telah disebutkan diatas, patogenesis SLE bersifat multifaktoral, namun faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Penelitianpenelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan halotipe MHC tertentu, terutama HLADR2, pada sel yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC); HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi gen ikatan komplemen; Gen yang mengkode pembentukan Mannose Binding Lectin (MBL); Gen yang berkaitan dengan mekanisme apoptosis, juga gen-gen lain yang ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. Penelitian telah menunjukan bahwa sistem neuroendrokin juga ikut berperan melalui pengaruh saling timbal balik antara sistem neuroendokrin dan sistem imun.

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T, yang mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya munculah set T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi antibodi maupun yang berupa sel memori. Pada keadaan normal, sel B tidak akan terpajan dengan DNA, karena pada mekanisme pembersihan unsur-unsur asing, proses apoptosis DNA akan dibungkus rapi dalam vesikel dan difagositosis tanpa menimbulkan reaksi radang. Tetapi pada SLE, terjadi defek pada mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang sudah tidak diperlukan lagi , yaitu oleh: proses apoptosis, complement, dan MBL. Proses mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang tidak sempurna tersebut dapat menyebabkan antigen diri (ds-DNA) terpapar oleh sel B yang T-independent. Sehingga sel B dapat mengenali dan bereaksi dengan ds-DNA, dan terbentuklah IgG anti DNA. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (Anti Nuclear Antibodi). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Dan karena adanya ganguan kompleks imun, maka kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ (yang tersering adalah basement membran gromerulus, sendi dan kulit), dengan mengendapnya kompleks imun tersebut akibatnya terjadi fiksasi komplemen pada organ dan peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya gejala pada organ yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,kulit, pleura, pleksus koroideus, dan sebagainya. C. MANIFESTASI KLINIS Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Gejala awal yang mungkin dialami saat lupus: sakit pada sendi/tulang, Demam berkepanjangan/panas tinggi bukan karena infeksi, sering merasa cepat lelah, kelemahan berkepanjangan, ruam pada kulit, anemia, gangguan ginjal, sakit di dada bila menghirup nafas dalam, bercak merah pada wajah yang berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly rash), sensitif terhadap sinar matahari, ujung jari berwarna kebiruan/pucat dan sakit kepala. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna (Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi. Gejala sistemik, utamanya malaise dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan.

Manifestasi Muskuloskeletal Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan; keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya. Manifestasi Penyakit Kulit Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau lainnya. Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanent rusak. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar hidung the buterfly rash), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (lupus profundus). Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan. Manifestasi Renal Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsy ginjal.

Manifestasi Sistem Saraf Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang. Psikosis dapat menjadi manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan; terapi immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi. Oklusi Vaskuler Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack endocarditis. Pada SLE, infark myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada wanita. Manifestasi Pulmoner Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar.

Manifestasi Penyakit Jantung Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ. Manifestasi Hematologik Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Leukopenia juga sering dan hampir selalu mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi. Manifestasi Gastrointestinal Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Manifestasi Okuler Sindrom Sicca (Sindrom Sjgren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu.

D. DIAGNOSIS Diagnosis SLE, dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakan. Kriteria tersebut adalah: No 1 2 3 4 5 6 Gejala Malar Rash (Butterfly rash) Discoid rash Fotosensitivitas Ulkus oral Arthritis Serositis Batasan Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial. Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik. Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa. Ulkus oral dan nasofaring, umumnya tidak nyeri. Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak, dan efusi Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura. Atau Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang 7 didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti adanya efusi perikardial Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau >+3, atau Cetakan selular- berupa eritrosit, hemoglobin, granular,tubular atau 8 Gangguan neurologic 9 Gangguan hematologik Leucopenia hemolytic (<4000/mm3 pada 2x pemeriksaan) atau Limfopenia (<1500/mm3 pada 2x pemeriksaan) atau Trombositopenia (<100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan. Anti-dsDNA: antibodi terhadap naive DNA dengan titer yang gabungan Kejang/Psikosis -tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau

10 Gangguan

Imunologis

abnormal, atau Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm,atau Temuan positif terhadap antibodi anti-phospholipid Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan pemeriksaan perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

11 Antibodi (ANA)

Antinuklear positifimunoflorosensi atau pemeriksaan setingkat pada setiapa kurun waktu

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negatif dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi. Pemeriksaan Staandar untuk Diagnosis Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung. Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA, beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi (termasuk yang berikatan dengan reseptor C4 pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.

F. PENATALAKSANAAN Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting dalam penatalaksanaan pasien LES, terutama pada pasien yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan membentuk kelompok pasien yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi. Sehinga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan penanganannya. Pada umumnya, pasien LES mengalami fotosensitifitas, sehingga pasien harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari, dan dinasehatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID merupakan analgesik/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan. Jika kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan. Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.52 mg/kg per hari prednisolon atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.51 mg/kg prednisone per hari). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi melalui intravena (Methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal.

Agen

immunosupresif/sitotoksik

yang

diberikan

dengan

glukokortikoid

direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama berespon.

BAB III PEMBAHASAN

SESI I Identitas pasien:


Nama: Mulan

Jenis Kelamin: Wanita Usia: 25 tahun Status : Belum menikah Keluhan utama: Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan, dan kedua pergelangan kaki. Pemeriksaan Fisik:
Tanda vital : Normal

Inspeksi Wajah: Nampak bercak kemerahan dikedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung, dan Dalam anamnesis, bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam.
Inspeksi dan Palpasi Ekstremitas:

Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan Laboratorium: Ht = 35%
Leukosit = 9800/mm3 Hitung jenis leukosit normal

LED 40 mm/jam ANA positif 1:256.

Masalah yang ditemukan dari data-data diatas adalah: 1. Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan kedua pergelangan kaki. 2. Bercak kemerahan di kedua pipi, lebih jelas di sekitar hidung.
3. Fotosensitifitas (bercak merah muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari)

4. Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan. 5. Hasil laboratorium - Ht menurun (Normal, 37-48%) - LED meningkat (Normal, 0-20mm/jam) - ANA positif (Normal, negatif) Penyebab dan mekanisme timbulnya masalah: Penyebab dari masalah masalah diatas adalah karena mekanisme autoimun yang belum diketahui penyebabnya. Diperkirakan akibat dari ganguan respon imun dimana partikel tubuh dianggap sebagai benda asing sehingga timbul reaksi peradangan yang dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan (infeksi, zat kimia, makanan, sinar matahari), dan juga faktor hormonal ( sex hormone, stress hormone, leptine) yang dapat menghasilkan respon imun yang abnormal. Pada faktor lingkungan, sinar ultraviolet (UV) yang dapat merusak DNA dan akhirnya merubah apoptosis. Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya munculah set T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi antibodi maupun yang berupa sel memori. Pada keadaan normal, sel B tidak akan terpajan dengan DNA, karena pada mekanisme pembersihan unsurunsur asing, proses apoptosis DNA akan dibungkus rapi dalam vesikel dan difagositosis tanpa menimbulkan reaksi radang. Tetapi pada SLE, terjadi defek pada mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang sudah tidak diperlukan lagi , yaitu oleh: proses

apoptosis, complement, dan MBL. Proses mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang tidak sempurna tersebut dapat menyebabkan antigen diri (ds-DNA) terpapar oleh sel B yang T-independent. Sehingga sel B dapat mengenali dan bereaksi dengan ds-DNA, dan terbentuklah IgG anti DNA. Dengan antigennya yang spesifik, autoantibodi membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Dan karena adanya ganguan kompleks imun, maka kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menimbulkan reaksi radang. Pada kasus ini, kompleks imun yang terbentuk mengendap pada sendi, karena banyaknya pergerakan pada sendi, yang kemudian mengaktifasi komplemen dan leukosit, melepaskan mediatior sel radang dan akan menyebabkan inflamasi sehingga terjadi nyeri dan juga pembengkakan pada sendi. Selain mengendap pada sendi, komlpleks imun pun di deposit di kulit, mengaktifkan komplemen dan akan menghasilkan reaksi radang berupa bercak-bercak kemerahan di sekitar hidung. Reaksi Fotosensitifitas pada pasien ini diduga karena sinar UV yang berasal dari sinar matahari yang mensensitisasi sel-sel yang berada di bawah permukaan kulit sehingga terjadi perubahan pada inti sel-sel tersebut menjadi antigenik bagi tubuh. Sistem imun menganggap inti sel yang sudah berubah sebagai antigen musuh yang harus dilawan dan menginisiasi terjadinya apoptosis pada sel-sel tersebut. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan Hematokrit Leukosit LED ANA Hasil 35% (N: 37%-48%) 9800/mm,hitung jenis normal (N: 5000-10000/mm) 40mm/jam (N: <20mm/jam) Positif 1:256 ( Negatif : < 1:40, Positif Lemah : 1:80 pada wanita dan lansia.) Interpretasi Ht anemia ringan Normal LED, leukosit Normal adanya inflamasi yang bukan disebabkan oleh mikroorganisme, proses kronisitas Adanya antibody yang melawan komponen tubuh sendiri. Titer 1:256 Terdapat pada connective tissue disease autoimmune disease

DIAGNOSIS Diagnosis pada kasus ini adalah SLE, dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium, dan berdasarkan 4 kriteria dari 11 kriteria yang diajukan oleh American College of Rheumatology (ACR). Dimana pada kasus ini, diketahui terdapat 4 dari 11 kriteria SLE, diantaranya adalah:
1. Bercak kemerahan dikedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung Ruam malar 2. Bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai

2 jam Fotosensitifitas
3. Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan, dan kedua pergelangan kaki;

Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan Arthritis 4. ANA positif 1:256

Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien SLE dengan gejala-gejala yang ditemukan diatas, masih sebatas nyeri sendi, pembengkakan sendi, dan fotosensitifitas, yang tidak membahayakan nyawa, dalam hal ini penatalaksanaan yang kami ajukan diarahkan untuk menekan gejala, diantaranya: 1. Edukasi

Hindari paparan sinar matahari berlebihan Menggunakan krim pelindung sinar matahari (sunscreen), baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari

Istirahat yang cukup dan hindari kelelahan Anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi teratur.

2.

Konsevatif

NSAID merupakan analgesik/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia

Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan

SESI II Data tambahan: Masalah lain yang ditemui oleh Mulan setelah tiga bulan kemudian: Ananmnesis: Lelah dan lesu sepanjang hari Pemeriksaan Fisik: 1. Bengkak kedua kaki sampai pergelangan, Pitting oedema kaki 2. Shifting dullnes pada perkusi abdomen Pemeriksaan Laboratorium:
1) ANA Positif dengan titer 1:256 2) LED 120 mg/dl 3) Albumin serum 0,8 gr/dl 4) Serum komplemen C3 = 42 mg/dl (N= 80-180) 5) Serum komplemen C4 = 5 mg/dl (N= 15-45)

6) Urinalisis: - Proteinuria 4+; Hematuria; Pyuria; - (+) silinder bergranula 7) Urin 24 jam (+) 4 gr protein.

Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium Mekanisme yang mendasari hasil pemeriksaan laboratorium dan gejala yang ditemui: Seperti telah kita ketahui SLE adalah suatu penyakit autoimunitas, suatu keadaan dimana sel T menjadi intoleran terhadap unsur tubuh sendiri (self antigen) sehingga antibodi dapat mengenali dan bereaksi terhadap self antigen tersebut. Sel T yang dimaksud adalah sel T yang autoreaktif, hal tersebut terjadi karena kegagalan seleksi negatif di timus pada tingkat perkembangan limfosit T, dimana seleksi tersebut bertujuan untuk membuat sel-sel T yang bereaksi dengan antigen diri mengalami apoptosis, sehingga tidak lolos ke perifer. Pada keadaan normal, sel B tidak akan terpajan dengan DNA, karena pada proses apoptosis DNA akan dibungkus rapi dalam vesikel dan difagositosis tanpa menimbulkan reaksi radang. Tetapi pada SLE, terjadi defek pada mekanisme pembersihan unsur-unsur tubuh yang sudah tidak diperlukan lagi , yaitu oleh: proses apoptosis, complement, dan MBL. Proses apoptosis

yang tidak sempurna karena defek complemen dan MBL tersebut dapat menyebabkan antigen diri (ds-DNA) terpapar oleh sel B yang T-independent. Sehingga sel B dapat mengenali dan bereaksi dengan ds-DNA, dan terbentuklah IgG anti DNA. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (Anti Nuclear Antibodi). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Karena adanya ganguan pada kompleks imun pada kasus ini, kompleks imun yang terbentuk mengendap di basement membran glomerulus di ginjal, kompleks imun ini kemudian akan mengaktifasi jalur klasik komplemen dan leukosit. Aktifasi komplemen akan merangsang terjadinya inflamasi pada membran glomerulus dan aktifasi leukosit yang mengeluarkan enzim Reactive Oksidase Intermediate (ROIs) dan enzim Inducible Nitric Oksidase (INOs) yang kedua enzim tersebut juga dapat merusak membran glomerulus. Pada inflamasi dan kerusakan membran glomerulus ini terjadi kegagalan filtrasi, sehingga zat-zat yang seharusnya terfiltrasi seperti protein, sel darah merah, dan leukosit, tidak dapat di filtrasi, dan akhirnya keluar melalui urin. Hal ini yang menyebabkan pada pasien ini ditemukan Proteinuri, Hematuri, dan Pyuri pada hasil laboratoriumnya. Kompleks imun yang mengendap di basement membran glomerulus, kompleks imun ini kemudian akan mengaktifasi jalur klasik komplemen. Pengaktifan komplemen ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah protein komplemen (C3,C4). Sehingga pada hasil laboratorium didapatkan penurunan kadar C3 dan C4 serum. Pada pasien ini juga didapatkan peningkatan laju endap darah (LED), hal ini disebabkan karena: terjadinya inflamasi yang menyebabkan terjadinya pembentukan protein salah satunya fibrinogen, dan kemudian fibrinogen tersebut akan menempel pada eritrosit, kemudian memicu terbentuknya roleaux menjadi lebih cepat, sehingga laju endap darah akan meningkat. Terjadinya kebocoran protein yang keluar melalui urin, maka hal tersebut juga akan menyebabkan jumlah albumin serum berkurang. Pada keadaan jumlah albumin serum yang dibawah normal ini, menyebabkan penurunan tekanan osmotik dan menyebabkan terjadinya perpindahan cairan dari vaskular ke jaringan, sehingga terjadi oedem.

Wanita lebih sering menderita autoimmune disease Autoimmune disease biasanya dikaitkan dengan faktor hormon. Faktor hormone ini bekerja pada sistem imun melalui 3 cara, yaitu:

Merangsang system saraf pusat untuk melepaskan bahan kimia imunoregulasi Mengatur produksi sitokin Merangsang kelenjar endokrin untuk melepaskan hormon lainya seperti prolaktin pada wanita

Pada wanita terdapat hormon estrogen yang dapat meningkatkan autoimmunitas dan secara tidak langsung meningkatkan inflamasi. Sedangkan kecenderungan Androgen (hormone lakilaki) secara umum menekan autoimunitas. Hormon estrogen juga dapat meningkatkan produksi autoantibody, menghambat fungsi sel pembunuh dan menginduksi atrofi kelenjar timus. Oleh karena itu auto immune disease ini lebih sering terjadi pada wanita.

Diagnosis Banding SLE Diagnosis Banding RA Perbedaan dengan SLE X-Ray: Erosif Ada deformitas/deviasi ulnar Menyerang sendi-sendi Kerusakan sendi lebih hebat Ada Nodul subkutan Ratio antara pria dan wanita hampir sama Usia rata-rata 60 tahun Lebih banyak pada kaukasia di AS

Drug induce LE

Tidak ada kelainan nephritis dan susunan saraf pusat Hipokomplementemia dan antibody terhadap DNA (-) Discoid LE Reversibvle-sembuh setelah obat dihentikan Bukan sistemik Dapat menimbulkan kanker kulit Tidak menyebabkan gagal ginjal

Anti-nuclear Antibody dan kemaknaanya Terdapat berbagai macam autoantibodi dan spesifisitasnya terhadap SLE. Antibody Antinuclear antibodies Anti-dsDNA Prevalensi, Antigen yang % Dikenali 98 70 Clinical Utility

Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE DNA (doublestranded) Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.

Anti-Sm

25

Kompleks protein Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi pada 6 jenis U1 klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNA RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia. Kompleks protein Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar pada U1 RNA berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE. Kompleks Protein Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan pada hY RNA, sindrom Sicca, subcutaneous lupus terutama 60 kDa subakut, dan lupus neonatus disertai dan 52 kDa blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis. 47-kDa protein pada hY RNA Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin) Phospholipids,2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.

Anti-RNP

40

Anti-Ro (SS-A)

30

Anti-La (SS-B)

10

Anti-histone

70

Antiphospholipid 50

Tiga tes tersedia ELISA untuk cardiolipin dan 2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antierythrocyte Antiplatelet

60 30

Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs langsung; terbentuk pada hemolysis. Permukaan dan Terkait dengan trombositopenia namun perubahan antigen sensitivitas dan spesifitas kurang baik; sitoplasmik pada secara klinis tidak terlalu berarti untuk platelet. SLE

Antibody Antineuronal (termasuk antiglutamate receptor)

Prevalensi, Antigen yang % Dikenali 60 Neuronal dan permukaan antigen limfosit Protein pada ribosome

Clinical Utility Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.

Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay.

Antiribosomal P 20

Anti-Nuclear Antibodi (ANA), atau disebut juga Anti-Nuclear Factor (ANF), ditujukan terhadap berbagai unsur inti sel seperti DNA, RNA, dan nuclear proteins. ANA, yang ditujukan terhadap ds-DNA, centromeric proteins dan the Extractable Nuclear Antigens (ENAs), memiliki kemaknaan klinis utama. ENAs termasuk terhadap antibodi untuk Sm, La, Ro, RNP, dan lain-lain. Metode pemerikasaan, dahulu terutama Indirect Imunoflorosensi. Saat ini sering dengan ELISA, RIA, dan immunoblotting. Dalam keadaan yang normal ANA adalah negatif. ANA dianggap negatif apabila titer <1:40. Sedangkan ANA yang positif menunjukan titer abnormal, positif kuat berkaitan dengan connective tissue disease (SLE) dan autoimmune liver disease, dan positif lemah (titer 1:80), tidak spesifik, cukup sering dijumpai pada wanita dan orang tua, serta peradangan.

Penatalaksanaan Pada kasus ini, telah ditemukan hasil laboraturium yang mendukung adanya gangguan pada ginjal pasien. Dalam hal ini penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah dengan memberikan glukokortikoid yang merupakan imunosupresan dan anti inflamasi kombinasi (prednison 0.52 mg/kg per hari atau 1000 mg methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.51 mg/kg prednisone per hari).

BAB IV PENUTUP

KESIMPULAN Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif otoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita pada usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi. Diagnosis pada penyakit SLE mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College of Rheumatology revisi tahun 1997. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Diagnosis dini tidaklah mudah mengingat dinamisnya perjalan penyakit SLE ini sehingga seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya Artritis reumatoid, gelomerulonefritis dan sebagainya. Oleh karenanya ketepatan diagnosis dan pengenalan dini akan penyakit SLE menjadi penting.

SARAN Dalam pembuatan makalah hasil diskusi ini, masih banyak terdapat banyak kesalahan, maka kritik dan saran pembaca khususnya para dosen akan sangat bermanfaaat bagi kami untuk dapat membuat makalah hasil diskusi yang lebih baik untuk lain waktu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas KA. Lichtman AH. Basic Imunology Functoin and Disoders of Immune Syestem.

2nd ed. 2007. Philadelphia: Sauders Elsevier. 2. Helbert M. Flesh and Bones of Immunology. 2006. Spain: Mosby
3. Paul WE. Fundamental Immunology. 5th ed. 2003. Philadelphia: Lippincot Wiliams &

Wilkins.
4. Sudoyo W. Setiyohadi B. Alwi I. Buku Ajar Ilmu penyakit dalam Jilid II. 4th ed. 2006.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. pg: 1214-21.
5. Husnul. SLE. Available at: http://cetrione.blogspot.com/2008/07/systemic-lupus-

erithematosus.html. Accessed on Feb, 5 2009.

You might also like