You are on page 1of 17

LAPORAN REFRESHING

KEJANG

DISUSUN OLEH :

Hardiyanthi Ismi Arnitha 2008730070


PEMBIMBING:

dr.Wiwin Sundawiyani, Sp.S

FAKULTAS KESEHATAN DAN KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA BAGIAN ILMU SARAF RS ISLAM JAKARTA 2012

KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb. Puji syukur saya panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Tidak lupa salawat serta salam kepada junjungan besar Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Refreshing Kejang. Laporan refreshing ini disusun untuk memperdalam materi mengenai Kejang berdasarkan tinjauan pustaka dan dari Mardjono, Mahar, Prof. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta: 2006, Budiman, Gregory. Basic Neuroanatomical Pathways. Second Edition. FKUI. Jakarta: 2009. Selain itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.Wiwin Sundawiyani, Sp.S , selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan laporan Refreshing ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari sempurna. Semoga dengan adanya kritik dan saran yang diberikan pembaca, saya bisa mengoreksi laporan kasus di lain kesempatan. Wassalamualaikum Wr. Wb. pembimbing dan

Jakarta , 16 september 2012

Penulis

BAB I Pendahuluan

Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya. Epilepsi adalah gangguan yang ditandai dengan kejang yang kronik, kejang yang terutama berasal dari serebri menunjukkan disfungsi otak yang mendasarinya. Epilepsy sendiri bukan suatu penyakit

Definisi Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan serangan berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis pemisah yang tegas : manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan epilepsi? Tetanus, histeri, dan kejang demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang seluruh tubuh. Cedera kepala yang berat, radang otak, radang selaput otak, gangguan elektrolit dalam darah, kadar gula darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke, hipoksia, semuanya dapat menimbulkan kejang. Kecuali tetanus, histeri, hal-hal yang tadi, kelak di kemudian hari dapat menimbulkan epilepsi. Insiden Sedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua anak-anak sampai usia 5 tahun, kebanyakan terjadi karena demam. Klasifikasi Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu sistem

klasifikasi internasional kejang epileptik yang membagi kejang menjadi dua kelompok besar yaitu Kejang Parsial (fokal atau lokal) dan Kejang Generalisata. Kejang parsial kemudian dibagi lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial Kompleks, dan Parsial yang menjadi Generalisata sekunder. Adapun yang termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau Atipikal), mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, dan kejang atonik. 1. Kejang Parsial (Partial-onset Seizure) Kejang Parsial bermula dari area fokus tertentu korteks serebri, 2. Kejang Generalisata (Generalized-onset Seizure) Kejang Generalisata berawal dari kedua hemisfer serebri. Bisa bermula dari talamus dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara serentak pada kedua hemisfer. Kejang generalisata memberikan manifetasi bilateral pada tubuh dan ada gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata diklasifikasikan menjadi atonik, tonik, klonik, tonik klonik atau absence seizure. Beberapa penyakit yang memberikan gambaran kejang generalisata antara lain : Benign Neonatal Convulsion, Benign Myoclonic Epilepsy, Childhood Absence Epilepsy, Juvenille Absence Epilepsy, Juvenille Myoclonic Epilepsy. Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otot-otot, termasuk otot pernafasan. Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih lama. Jika keduanya muncul secara bersamaan maka disebut kejang tonik klonik (kejang Grand Mal). Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan sebagai kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Seizure). Cara pengelompokan ini masih diterima secara luas. Jenis-Jenis Kejang A. Kejang Parsial Kejang Parsial Sederhana 1. Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini: Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh : umumnya gerakan kejang yang sama. Tanda atau gejala otonomikmuntah berkeringan, muka merah, dilatasi pupil. Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia. Gejala psikikdejavu, rasa takut, sisi panoramic.

Kejang parsial komplesk 1. Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks. 2. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromaticmengecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya. 3. Dapat tanpa otomatismetatapan terpaku.

B. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif) Kejang Absens 1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas. 2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik. 3. Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh. 4. Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

Kejang Mioklonik Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak

Kejang MioklonikLanjutan 1. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaankedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki. 2. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok. 3. Kehilangan kesadaran hanya sesaat

Kejang Tonik-Klonik 1. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit. 2. Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus. 3. Tidak adan respirasi dan sianosis 4. Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah. 5. letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical

Kejang Atonik 1. Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ketanah. 2. Singkat, dan terjadi tampa peringatan.

Status Epileptikus 1. Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang. 2. Anak tidak sadar kembali diantara kejang. 3. Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia 4. memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera

Fisiologi dan Patofisiologi Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini adalah wajar. Manifestasi biologiknya ialah merupakan gerak otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Bilamana neuron somatosensorik yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan protopatik atau

propioseptif. Demikian pula akan timbul perasaan panca indera apabila neuron daerah korteks pancaindera melepaskan muatan listriknya. Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini sangat peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap berada dalam keadaan terdepolarisasi. Neuronneuron di sekitar fokus epileptogenik bersifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuron-neuron epileptogenik melebihi pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur korteks sekitarnya dan kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak. Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya dan terjadi kejang.

Penyakit-penyakit yang Menyebabkan Kejang Penyakit-penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan dibahas tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit sistemik, tumor, trauma, infeksi, dan serebrovaskuler. a. Sistemik Metabolik : Hiponatremia, Hipernatremia, Hiponatremia Hiponatremia terjadi bila : a). Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi, b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH = Syndrom of Inappropriate ADH-secretion). Hiponatremia dengan gejala berat (mis : penurunan kesadaran dan kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ektrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi digolongkan sebagai hiponatremia akut (hiponatremia simptomatik). Sebaliknya bila gejalanya hanya ringan saja (mis : lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam kategori kronik (hiponatremia asimptomatik). Langkah pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari sebab terjadinya hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang tepat sasaran dengan koreksi Na berdasarkan kategori hiponatremia-nya. Hipernatremia Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada orang dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena air keluar maka volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal dan subarakhnoid. Setelah etiologi ditetapkan, maka langkah penatalaksanaan berikutnya ialah mencoba menurunkan kadar Na dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus, sasaran

pengobatan adalah mengurangi volume urin. Bila penyebabnya adalah asupan Na berlebihan maka pemberian Na dihentikan. b. Intoksikasi Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkan autoanamnesis dan alloanamnesis yang cukup sermat serta bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun. Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan penunjang berupa analisa toksikologi harus dilakukan sedini mungkin dengan sampel berupa 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses. Pemeriksaan lain seperti radiologis, laboratorium klinik, dan EKG juga perlu dilakukan. Adapun standar penatalaksanaan dari intoksikasi yaitu stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi, dan pemberian antidotum. Sementara gejala yang sering menjadi penyerta atau penyulit adalah gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa ; gangguan irama jantung ; methemoglobinemia ; hiperemesis ; distonia ; rabdomiolisis ; dan sindrom antikolinergik.

c. Tumor Kira-kira 10% dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada susunan saraf dan selaputnya, 8% di antaranya berlokasi di ruang intrakranial dan 2% sisanya di ruang kanalis spinalis. Dengan kata lain 3-7 dari 100.000 orang penduduk mempunyai neoplasma saraf primer. Urutan frekuensi neoplasma intrakranial yaitu : Glioma (41%), Meningioma (17%), Adenoma hipofisis (13%), Neurilemoma / neurofibroma (12%), Neoplasma metastatik dan neoplasma pembuluh darah serebral. Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak berpengaruh secara mutlak bagi tumor intrakranial oleh karena tumor benigna secara histologik dapat menduduki tempat yang vital, sehingga menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Simptomatologi tumor intrakranial dapat dibagi dalam : 1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi Selain menempati ruang, tumor intrakranial juga menimbulkan perdarahan setempat. Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor menyebabkan jaringan

otak bereaksi dengan menimbulkan edema yang juga bisa diakibatkan penekanan pada vena sehingga terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga terjadi penimbunan juga meningkatkan tekanan intrakranial. TIK yang meningkat menimbulkan gangguan kesadaran dan menifestasi disfungsi batang otak yang dinamakan: (a) sindrom unkus / kompresi diensefalon ke lateral ; (b) sindrom kompresi sentral restrokaudal terhadap batang otak ; dan (c) herniasi serebelum di foramen magnum. Sebelum tahap stupor atau koma tercapai, TIK yang meninggi sudah menimbulkan gejala-gejala umum.

2. Gejala-gejala umum akibat tekanan intrakranial yang meninggi A. Sakit kepala = Akibat peningkatan CBF setelah terjadi penumpukan PCO2 serebral terutama setelah tidur. Lonjakan TIK juga akibat batuk, mengejan atau berbangkis. B. Muntah = Akibat peningkatan TIK selama tidur malam karena PCO2 serebral meningkat. Sifat muntah proyektil atau muncrat dan tidak didahului mual. C. Kejang = Kejang fokal dapat merupakan manifestasi pertama tumor intrakranial pada 15% penderita. Meningioma pada konveksitas otak sering menimbulkan kejang fokal sebagai gejala dini. Kejang umum dapat timbul sebagai manifestasi tekanan intrakranial yang melonjak secara cepat, terutama sebagai menifestasi glioblastoma multiforme. Kejang tonik yang sesuai dengan serangan rigiditas deserebrasi biasanya timbul pada tumor di fossa kranii posterior dan secara tidak tepat dinamakan oleh para ahli neurologi dahulu sebagai cerebellar fits. D. Gangguan mental = Tumor serebri dapat mengakibatkan demensia, apatia, gangguan watak dan intelegensi, bahkan psikosis, tidak peduli lokalisasinya. E. Perasaan abnormal di kepala = Rasa seperti enteng di kepala, pusing atau tujuh keliling. Mungkin sehubungan dengan TIK yang meninggi. Sehingga karena samarnya maka kebanyakan dari keluhan semacam ini tidak dihiraukan oleh pemeriksa dan dianggap keluhan fungsional.

3. Tanda-tanda lokalisatorik yang menyesatkan Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifastasi yang tidak sesuai dengan fungsi tempat yang didudukinya berupa :

a) Kelumpuhan saraf otak b) Refleks patologik yang positif pada kedua sisi c) Gangguan mental d) Gangguan endokrin e) Ensefalomalasia

4. Tanda-tanda lokalisatorik yang benar Defisit serebral dibangkitkan oleh tumor di daerah fungsional yang khas berupa monoparesis, hemiparesis, hemianopia, afasia, anosmia dan seterusnya. I. Simptom fokal dari tumor di lobus frontalis : sakit kepala, gangguan mental, kejang tonik fokal, katatonia, anosmia II. Simptom fokal dari tumor di daerah pre-sentral : kejang fokal pada sisi kontralateral, hemiparesis kontralateral, paraparese, gangguan miksi III. Simptom fokal dari tumor di lobus temporalis : hemianopsia kuadran atas kontralateral dengan tinitus, halusinasi auditorik, dan afasia sensorik beserta apraksia IV. Simptom fokal dari tumor di lobus parietalis : serangan Jackson sensorik, astereognosia dan ataksia sensorik, thalamic over-reaction, hemianopsia kuadran bawah homonim yang kontralateral, agnosia, afasia sensorik, serta apraksia V. VI. Simptom fokal dari tumor di lobus oksipitalis Simptom fokal dari tumor di korpus kalosum

5.Tanda-tanda fisik diagnostik pada tumor intrakranial (a).Papil edema ; (b).Pada anak ukuran kepala membesar dan sutura teregang, perkusi = bunyi kendi rengat, auskultasi = ada bising ; (c).Hipertensi intrakranial bradikardi & TD sistemik yang meningkat progresif = dapat dianggap sebagai kompensasi penanggulangan iskemik (d).Irama dan frekuensi pernafasan berubah

d. Trauma Kejang dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena akan menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta memperberat edem otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

e. Infeksi Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk empiema epidural, subdural, atau abses otak. Klasifikasi lain membahas menurut jenis kuman yang mencakup sekaligus diagnosa kausal 1) Infeksi viral 2) Infeksi bakterial 3) Infeksi spiroketal 4) Infeksi fungal 5) Infeksi protozoal 6) Infeksi metazoal

f. Serebrovaskuler Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. CVA (Cerebralvascular accident) dan serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun strok non-hemoragik. Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskuler serebral dapat dibagi dalam : 1) Transient ischemic attack, 2) Stroke in evolution, 3) Completed stroke, yang bisa dibagi menjadi tipe hemoragik dan tipe non hemoragik

g.

Epilepsi Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yang berarti serangan. Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi gejala yang dapat timbul karena penyakit. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu seragan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya gejalagejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel. 2, 8 Klasifikasi serangan pada epilepsi dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu parsial dan umum. Kejang parsial kemudian dibagi menjadi parsial sederhana, parsial, kompleks, dan parsial dengan umum sekunder. I. Serangan parsial (fokal, lokal) kesadaran tak berubah A. Serangan parsial sederhana (kesadaran tetap baik) 1. Dengan gejala motorik 2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus 3. Dengan gejala autonom 4. Dengan gejala psikis B.Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun) 1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berkembang ke penurunan kesadaran 2.Dengan penurunan kesadaran sejak awitan II. Serangan umum (konvulsif atau non-konvulsif) A. 1. Absence 2. Absence tak khas B. Mioklonik C. Klonik D. Tonik E. Tonik-klonik F. Atonik

III. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan misalnya : gerakan ritmis pada mata, gerakan mengunyah dan berenang. Diagnosis Pada umumnya, seseorang yang mengalami hanya satu kali serangan kejang tidak akan diberi terapi epilepsi dahulu. Namun jika dalam waktu satu tahun terjadi lebh dari satu serangan maka perlu dipertimbangkan untuk mulai dengan obat-obat antiepilepsi. Diagnosis epilepsi biasanya dapat dibuat dengan cukup pasti dari anamnesis lengkap, terutama mengenai gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum dan neurologik serta elektroensefaligrafi (EEG). Terapi Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya. 1. Sodium channel blockers : Fenitoin, Fosfenitoin, Oxcarbazepine, Zonisamide, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate, Topiramate 2. Calsium inhibitors : Fenitoin, Fosfenitoin, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate 3. GABA enhancers : Clobazam, Clonazepam, Fenobarbital, Tiagabine, Vigabatrin, Gabapentin, Topiramate 4. Glutamate blocker : Lamotrigine, Fenobarbital, Topiramate 5. Carbonic anhydrase inhibitor : Topiramate 6. Hormon 7. dan obat-obat lain yang belum diketahui pasti mekanisme kerjanya : Primidine, Valproate, Levetiracetam.

Prognosis Prognosis epilepsi bergantung kepada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan

dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena (ngelamun) atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.

Uji Laboratorium dan Diagnostik 1. Elektroensefalogram (EEG) dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan focus dan kejang. 1.1. Diagnosis epilepsy tidak hanya tergantung pada temuan EEG yang abnormal 1.2. Tidur lebih disukai selama EEG, meskipun sedasi dengan pemantauan mungkin dindakasikan 2. Pemindaian CTmenggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. 3. MRI ( Magnetic Resonance imaging) menghasilkan bayangan dengan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah otak (regio fossa posterior dan regio sella) yang tidak terlihat jelas apabila menggunakan pemindaian CT. 4. PET (Pemindaian positron emission temography)untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolic, atau aliran darah dalam otak (mencakup suntikan radioisotop secara IV). 5. Potensial yang membangkitkandigunakan untuk menentukan integritas jalur sensoris dalam otak (respons yang tidak ada atau tertunda atau mengindikasikan keadaan yang patologik). 6. Uji laboratorium berdasarkan riwayat anak dan hasil pemeriksaan. 6.1. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinalterutama dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. 6.2. Hitung daerah lengkapuntuk menyingkirkan infeksi sebagai penyebab; dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat mengevaluasi haematokit dan jumlah trombosit. 6.3. Panel elektrolitserum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali diperiksa pada saat pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia kurang dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit dan metabolic lebih lazim ditemuai (uji

glukosa darah dapat bermamfaat pada bayi atau anak kecil dengan kejang yang berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia). 6.4. Skrining toksisk dari serum dan urindigunakan untuk menyingkirkan kemungkinan keracunan. 6.5. Pemantauan kadar obat antiepileptikdigunakan pada fase awal penatalaksanaan dan jika kepatuhan pasien diragukan.

Terapi Kejang Penanganan kejang secara modern bermula dari tahun 1850 dengan pemberian Bromida, dengan dasar teori bahwa epilepsi disebabkan oleh suatu dorongan sex yang berlebih. Pada tahun 1910, kemudian digunakan Fenobarbital yang awalnya dipakai untuk menginduksi tidur, kemudian diketahui mempunyai efek antikonvulsan dan menjadi obat pilihan selama bertahun-tahun. Sejumlah obat lain yang juga digunakan sebagai pengganti Fenobarbital termasuk Pirimidone, dan Fenitoin yang kemudian menjadi first line drug epilepsi utama untuk penanganan kejang parsial dan generalisata sekunder. Pada tahun 1968, Karbamazepin awalnya digunakan untuk neuralgia trigeminal, kemudian pada tahun 1974 digunakan untuk kejang parsial. Etosuksimid telah digunakan sejak 1958 sebagai obat utama untuk penanganan absence seizures tanpa kejang tonik klonik generalisata. Valproate mulai digunakan 1960 dan saat ini sudah tersedia di seluruh dunia dan menjadi drug of choice pada epilepsy primer generalisata dan kejang parsial. 1. Fenobarbital Merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif rendah, murah, efektif, dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah dosis untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan fokal kortikal. 2. Primidon Efektif untuk semua jenis epilepsy kecuali absence. Efek antikonvulsi ditimbulkan oleh primidon dan metabolit aktifnya. 3. Hidantoin Yang termasuk dalamm golongan ini adalah fenitoin, mefenitoin, dan etotoin. Fenitoin : Fenitoin adalah obat primer untuk semua bangkitan parsial dan bangkitan tonik-klonik, kecuali bangkitan absence (absence seizure). Fenitoin tidak sedative

pada dosis biasa. Berbeda dengan fenobarbital, obat ini juga efektif pada beberapa kasus epilepsy lobus temporalis. 4. Karbamazepine Termasuk dalam golongan iminostilbenes. Manfaat terapeutik ialah untuk Epilepsi lobus temporalis, sendiri atau kombinasi dengan bangkitan generalisata tonik-klonik (GTCS). 5. Etosuksimid Obat ini dipakai untuk bangkitan absence. Efek antikonvulsi pada binatang sama halnya dengan trimetadion. Proteksi terhadap pentilentetrazol, akan menaikkan nilai ambang serangan. Manfaat terapeutik ialah terhadap bengkitan absence.

6. Asam valproat (Valproic acid) Asam valproat dipakai untuk berbagai jenis serangan atau bangkitan. Efek sedasinya minimal, efek terhadap SSP lain juga minimal. Terhadap Pentilen tetrazol, potensi asam valproat lebih besar daripada etosuksimid, tapi lebih kecil pada fenobarbital. Asam valproat lebih bermanfaat untuk bangkitan absence daripada terhadap bangkitan umum tonik-klonik.

Prognosis Kejang adalah suatu masalah neurologik yang relative sering dijupai. Sekitar 10% populasi akan mengalami paling sedikit satu kali kejang seumur hidup mereka, dengan insiden paling tinggi terjadi pada masa anak-anak dini dan lanjut usia (setelah usia 60 tahun), dan 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosa mengidap epilepsi (berdasarkan kriteria dua kali kejang tanpa pemicu)

DAFTAR PUSTAKA

Mardjono, Mahar, Prof. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta: 2006 Budiman, Gregory. Basic Neuroanatomical Pathways. Second Edition. FKUI. Jakarta: 2009. Dewanto, George, dkk. Panduan Praktis Diangnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. EGC. Jakarta: 2009.

You might also like