You are on page 1of 5

Otonomi Pemerintahan Desa

Oleh Robinson Sembiring Pendahuluan Masalah yang akan dijawab melalui makalah ini adalah: Pertama, bagaimanakah hubungan antara implementasi otonomi daerah dengan efektivitas pemerintahan desa ? Kedua, jika dalam kenyataannya efektivitas pemerintahan desa masih dianggap belum memadai, maka faktor-faktor apakah yang menyebabkan kelemahan-kelemahan yang ada, serta hal-hal apakah yang bersifat mendesak untuk segera dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan tersebut ? Implementasi Otonomi Daerah dan Efektivitas Pemerintahan Desa Memasuki era implementasi otonomi daerah terasa bahwa wacana tentang pemerintahan desa tidak begitu berkembang. Kebanyakan para ahli dan praktisi pemerintahan lebih asyik bicara tentang pembagian wewenang atau keuntungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Salah satu issue yang sering terlontar menyangkut pembagian keuntungan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan negara dan swasta yang kegiatannya berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk perkebunan besar. Issue lainnya adalah menyangkut pemekaran daerah yang hanya secara lamat-lamat menyinggung permasalahan pedesaan. Disisi lain, tak ada yang memungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di desa. Hampir semuanya tidak akan keberatan menganggukkan kepala jika dinyatakan bahwa masalah negeri ini pada dasarnya adalah masalah warga negara yang tinggal di pedesaan. Melihat kesenjangan antara intensitas arah permasalahan pemerintahan dan dengan realitas masalah-masalah warga negara yang tinggal di desa, terasa ada ironi dalam wacana pemerintahan yang kini berkembang di Indonesia. Sebuah catatan yang tidak begitu mendapat perhatian dalam wacana pemerintahan Indonesia, yakni bahwa beberapa tahun terakhir teror bom telah kian dekat dengan keseharian masyarakat dan pelaku-pelaku yang tertangkap ternyata kebanyakan berasal dari desa serta memilih basis pengorganisasiannya maupun persembunyiannya di wilayah pedesaan. Disamping itu, perlu pula dicermati bahwa berbagai kerusuhan, dan bahkan kejahatan penggunaan obat narkotik juga kian dekat dengan kehidupan orang-orang yang tinggal di desa. Harus pula diakui bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang menguasai hajat orang banyak serta bahan mentah lainnya untuk industri proses produksinya awalnya berlangsung di desa. Betapa besar sebenarnya kontribusi wilayah pedesaan terhadap kehidupan keseluruhan masyarakat Indonesia, namun betapa terasa kurang pas apa yang dilakukan dengan tantangan keadaan yang dihadapi. Secara normatif, desa mesti lebih banyak mendapat perhatian ketika berbicara tentang pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat, namun realitasnya tidaklah seperti itu. Perhatian yang demikian kurang terhadap upaya-upaya membenahi pemerintahan desa harus dipandang sebagai memiliki kaitan dengan realitas pemerintahan desa yang dirasakan masih sangat terbatas kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan publik pada masyarakat. Menurut pengamatan di lapangan, hingga saat ini pemerintahan desa pada dasarnya hanya ambil bagian dalam urusan-urusan rutin sebatas mencatat dan

memberikan kartu penduduk, mengutip PBB, memberikan surat kematian, memberikan surat pengantar/pengesahan perkawinan yang diperlukan untuk surat catatan sipil ke Pemerintahan Kabupaten, memberikan surat mandah/pindah, memberikan surat-surat keterangan lain yang dibutuhkan penduduk dalam urusan tertentu serta mengusahakan resolusi konflik antar warga hingga tingkat tertentu. Kegiatan-kegiatan yang relatif terbatas tersebut pun dalam banyak hal masih sering dianggap tidak memuaskan oleh masyarakat karena senantiasa harus ditimpali dengan kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu atau kewajiban-kewajiban tertentu yang tidak memiliki kaitan langsung dengan hak-kewajiban sebagai warga negara. Menyangkut fungsi pemerintahan untuk memperlancar roda perekonomian dan peningkatan kenyamanan sosial bagi warga masyarakat dengan perasaan miris harus dinyatakan bahwa hampir-hampir pemerintahan desa belum mampu membuat rencana yang sistematis dan berkelanjutan. Program-program pembangunan dadakan atau pelaksanaan kegiatan insidentil yang masuk ke desa lebih sering dimotori atau difasilitasi oleh pemerintahan atasan atau lembaga-lembaga sosial yang berasal dari luar desa. Hal ini bahkan sering menyebabkan program dan kegiatan yang masuk ke desa mengganggu irama keseharian hidup masyarakat, tanpa meninggalkan bekas yang berguna dan tahan lama. Pengalaman turun ke desa menunjukkan bahwa sering masyarakat rada enggan melayani orang luar yang melakukan kegiatan ke desa dikarenakan mereka merasa terganggu untuk harus menyediakan waktu ikut ambil bagian dalam kegiatan yang diselenggarakan, yang berarti mengurangi kesempatan mereka untuk cari makan atau melanjutkan rencana kerja yang telah mereka susun sebelumnya. Upaya untuk melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan semacam ini adalah dengan memberikan rangsangan berupa uang pengganti pendapatan yang hilang atau rangsangan lainnya. Apa yang diperoleh melalui kenyataan ini adalah bahwa sebenarnya amat sulit meningkatkan partisipasi masyarakat ke dalam kegiatan-kegiatan bersama jika tidak diimbangi dengan pemberian rangsangan yang dimaksud. Tak mengherankan jika pemerintah desa yang nota bene memiliki kemampuan/sumberdaya/dana yang terbatas pada saat ini sangat sulit menggerakkan warga desa untuk bersama-sama melakukan kegiatan gotong royong untuk membenahi fasilitas umum di pedesaan. Apalagi jika mereka harus diundang untuk menghadiri pertemuan atau rapat desa yang tujuannya untuk membuat rencana yang dianggap tidak quick yield. Kenyataan-kenyataan seperti ini dalam banyak kasus telah menjadi catatan tersendiri bagi pejabat-pejabat pemerintah desa, sehingga mereka semakin enggan mengundang masyarakat berembug bersama untuk memikirkan kegiatan-kegiatan atau program yang akan dilakukan di desa. Ringkasnya, jika harus diukur efektivitas pemerintahan desa dari indikatorindikator: keluasan bidang pelayanan, kualitas atau ketepatan waktu pelayanan, kemampuan untuk memproduk kegiatan-kegiatan bersama, kemampuan untuk mengakomodasikan sumber daya masyarakat untuk kebutuhan bersama, kemampuan untuk memproduk peraturan desa, kemampuan untuk mengintrodusir usaha bersama, kemampuan untuk mengaktifkan kelembagaan lokal yang ada, dan lain sebagainya, maka akan diperoleh kesimpulan betapa efektivitas pemerintahan desa masih demikian rendahnya.

Faktor-faktor bagi Kemajuan Desa Berdasarkan pengalaman melakukan PRA (Participation Rural Appraisal) di beberapa desa di pinggir Danau Toba dan di salah satu desa di Dataran Tinggi Karo, kebanyakan masyarakat secara arif dapat merumuskan dengan jelas faktor-faktor yang menghambat mereka untuk mengembangkan atau meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Demikian pula halnya menyangkut faktor-faktor yang ikut menghambat upaya pemerintahan desa untuk meningkatkan efektivitas kerja (performance)nya. Secara umum masyarakat desa mengakui bahwa bahwa sumber daya manusia yang memiliki tingkat pendidikan relatif rendah sering menghambat mereka untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran kreatif dan terobosan untuk mengatasi kebuntuankebuntuan yang terjadi. Disamping itu, mereka umumnya mengemukakan betapa mereka menemui kesulitan untuk menterjemahkan ilmu dan pengetahuan yang dibawa oleh orang luar desa yang senantiasa memerlukan sarana pendukung dan dana. Sebagai contoh, jika diintrodusir sebuah mata bisnis yang dapat dilakukan di pedesaan dengan sumber bahan mentah yang mudah didapatkan disana, maka mereka akan kesulitan untuk memulai bisnis tersebut karena harus meninggalkan pekerjaan yang selama ini telah menghidupi mereka, sementara untuk marketing produk bisnis yang baru ini mereka juga tidak mampu karena kekurangan pemahaman dalam hal seluk beluk pasar. Jika bisnis yang ditawarkan bersifat lebih kompleks proses produksinya maka bertambahlah kelemahan yang mereka miliki berupa ketidakmampuan dalam mengusahakan dan meguasai teknologi yang dibutuhkan. Vicious circle yang dikenal empat dekade yang lalu dalam diskursus ekonomi pembangunan seakan-akan tergambar sebagai situasi yang sulit dilampaui oleh masyarakat desa. Secara khusus menyangkut pemerintahan desa, maka faktor-faktor penghambat yang sering mengemuka adalah menyangkut: kepemimpinan di desa, kelembagaan desa dan sumber-sumber keuangan bagi pemerintahan desa. Secara teoritik maka peran kepemimpinan pemerintahan desa amat bersifat sentral dalam menggerakkan dan meningkatkan efektivitas pemerintahan desa. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli senantiasa mencatat bahwa progress yang dialami oleh sesuatu desa hampir tidak pernah tanpa melibatkan peran kepemimpinan (Kepala Desa). Proyek-proyek pemerintah atasan yang disebar ke desa walau dirumuskan melalui topdown planning justru sering menjadi amat bermanfaat ketika ditangani oleh Kepala Desa yang kreatif, mau bekerja keras dan dekat dengan masyarakat. Namun proyek-proyek semacam itu justru menjadi sekedar sampah di tangan Kepala Desa yang sama sekali tidak memiliki visi untuk menghubungkan proyek yang dimaksud dengan kepentingan warga desa. Apalagi jika Kepala Desa justru ambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek yang dimaksud. Proyek menjadi sekedar tontonan bagi masyarakat, dan Kepala Desa kian dijauhi oleh masyarakat karena dipandang tidak peduli terhadap kepentingannya. Kondisi yang semacam itu dapat terjadi bukan dikarenakan niat Kepala Desa untuk tidak memikirkan kepentingan warga, melainkan didorong oleh kebutuhan aktual dan mendesak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sederhananya, seorang Kepala Desa sering tidak mampu tampil lugas dan berprestasi dikarenakan tidak memiliki waktu yang cukup untuk sepenuhnya berfikir tentang/dan membuat rencana untuk kemajuan desa. Soal ini tampak sepele, namun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui observasi, seorang pengamat dari luar desa akan sampai pada kesimpulan betapa seorang Kepala

Desa harus dipenuhi kebutuhan hidupnya barulah mampu bekerja dengan sepenuh hati. Contoh bandingan mengenai hal ini, dapat dianggap sebagai sebuah terobosan ketika Pemerintahan Kota Medan berusaha menyisihkan anggarannya untuk memberikan honor kepada setiap Kepala Kelurahan. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan sumber penghidupan bagi seorang Kepala Desa seharusnya ikut menjadi bagian dari disain pembenahan pemerintahan desa di masa depan. Penyediaan honor/penghasilan bagi seorang Kepala Desa tidak serta-merta mengubah kehidupannya harus menjadi serba berkecukupan, namun terdapat efek psikologis berupa penghargaan atas jabatan yang disandangnya., sehingga jabatan tersebut memiliki wibawa dan kehormatan. Menyangkut kelembagaan di desa, sulit dipungkiri kenyataan bahwa hingga hari ini kelembagaan yang ada jarang bekerja secara intens dan berkelanjutan. Kebanyakan lembaga-lembaga yang menjadi anak maupun mitra pemerintahan desa bekerja bersifat dadakan sesuai dengan kebutuhan insidentil. Bahkan banyak kelembagaan yang tampak wujudnya terbatas pada saat diresmikan pendiriannya. Usai upacara peresmian, yang tertinggal hanya papan nama yang kebetulan telah ditancapkan di depan kantor Kepala Desa. Umumnya, kelembagaan-kelembagaan yang dimaksud tidak memiliki kegiatan yang berkelanjutan karena para anggota tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurusinya atau tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk membiayai kegiatannya. Minimnya sumber-sumber keuangan telah menjadi kendala bagi Kepala Desa dan kelembagaan desa untuk menjalankan aktivitasnya untuk memajukan pemerintahan dan masyarakat desa. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menggalang sumber-sumber keuangan pada umumnya mengambil bentuk berupa pengutipan yang pada masa sekarang justru menjadi sesuatu yang paling dibenci oleh masyarakat. Kelemahankelemahan ini telah menjadikan sebagian besar orang yang dilibatkan dalam urusan pemerintahan desa menjadi segan ikut pada waktu-waktu berikutnya. Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah demokratisasi pemerintahan desa. Gagasan desentralisasi pemerintahan yang diterjemahkan melalui UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 ternyata belum memberikan arti mendalam dalam proses demokratisasi desa. Ada sarjana yang mempersoalkan ambiguitas yang diperlihatkan pemerintah yang menyatakan desa sebagai pemerintahan otonom namun juga menyatakan desa sebagai bagian dari pemerintahan Kabupaten. Mereka menuntut agar pemerintah memperlakukan desa sebagai daerah otonom yang kewenangannya berasal dari sejarah asal-usul desa itu sendiri. Kendala lain yang dihadapi dalam demokratisasi desa adalah kultur politik lokal yang dalam beberapa tampilan menunjukkan bahwa kultur lokal tidak sejalan dengan kultur politik demokratis. Penutup Uraian sederhana yang diajukan di atas, pada dasar berupaya untuk mengungkapkan betapa implementasi otonomi daerah pada hakekatnya belum memberikan pengaruh signifikan untuk merubah kinerja dan efektivitas pemerintahan desa. Hambatan-hambatan yang berupa tidak munculnya Kepala Desa yang mampu menyediakan waktu sepenuhnya untuk mengurusi kegiatan pemerintah dan kesulitan untuk menggerakkan kelembagaan karena rendahnya sumber-sumber keuangan yang

dapat digali desa telah menjadi faktor penghambat yang bersifat mendasar dalam membenahi pemerintahan desa. Lebih dari itu, tersedianya sumber daya manusia yang kreatif dan mampu keluar dari kelemahan-kelemahan yang ada tetap menjadi sesuatu yang diperlukan guna memajukan pemerintahan dan pembangunan masyarakat desa. Penjara gaya berfikir ala menjadi abdi masyarakat wajib bekerja menurut prinsip tanpa pamrih sudah saatnya ditinggalkan oleh para pemikir dan perencana administrasi negara di Indonesia, jika masih ada tersisa cita-cita untuk membangun pemerintahan desa. Masalah desa adalah masalah negara Indonesia, karena itu sejak implementasi otonomi daerah digulirkan segera pula harus diiringi dengan upaya memberikan perhatian dan komitmen yang tinggi oleh setiap warga dan pejabat yang mengakui bahwa desa adalah sumber kehidupan bangsa. Jika tidak, maka kita akan kembali seperti sebagaimana kita tadi memulai workshop ini: Desa tetap tinggal menjadi sebuah kenangan pahit bagi mereka yang pernah merasakan betapa tinggal disana memang terasa pahit ! KEPUSTAKAAN: 1. Mubyarto, Dkk, Otonomi Masyarakat Desa (Jakarta: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat, 2000) 2. Mubyarto, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi, (Yogyakarta: BPFE, 2001) 3. Edy Ikhsan MA, Dkk (Eds), Implementasi Otonomi Daerah di Sumatera Utara, (Medan: Pusaka Indonesia 4. Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004) 5. Robert Chambers, Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang (Jakarta: LP3ES, 1987)

You might also like