You are on page 1of 30

Mencari Alternatif Pembangunan dengan Merangkai Suara Warga

ukses Pemilu langsung khususnya Pemilu presiden dan wakil presiden pada 2004 membawa harapan akan perubahan. Harapan besar ini tidak lepas dari asumsi bahwa Pemilu langsung merupakan wujud sebenarnya, bahkan satu-satunya, dari demokrasi itu. Sebuah hal yang wajar mengingat masyarakat masih berpikir bahwa pemimpin adalah segalanya; gantilah pemimpin maka semuanya akan beres. Namun, pengalaman selama 2005 menunjukkan bahwa asumsi itu hanyalah mitos. Pergantian kepemimpinan tidak selalu diikuti dengan perbaikan keadaan. Dari sisi ekonomi, terlihat pemimpin yang terpilih secara demokratis pun tidak

mampu mengatasi kondisi yang makin buruk. Masyarakat melihat pemimpinnya gagal mencegah kenaikan BBM pada Oktober 2005 yang membawa akibat peningkatan biaya hidup. Keputusan dan kebijakan yang diambil pemerintahan baru terbukti tidak membawa perubahan yang berarti, setidaknya demikianlah yang dialami di tingkat akar rumput. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di tingkat daerah. Pemilihan kepala daerah langsung atau Pilkada langsung tidak lantas diikuti oleh munculnya pemerintahan yang peka dan responsif terhadap aspirasi rakyatkecuali di beberapa tempat, seperti Kabupaten Jembrana, dan ini masih sangat jarang. Di luar beberapa peristiwa kekerasan fisik yang terjadi di

CONTINUING THE VOICE, BUILDING ALTENATIVE FOR DEVELOPMENT

33

sana-sini, tudingan adanya kecurangan yang sampai harus dibawa ke pengadilan, Pilkada langsung memang berlangsung relatif mulus. Namun, pemimpin pemerintahan baru di daerah sebagian besar masih belum menerapkan sistem pemerintahan yang baru. Sering yang terjadi adalah perubahan pimpinan tanpa perubahan sistem. Ada kelompok yang putus asa melihat hal seperti itu. Demokrasi yang diagung-agungkannya ternyata tidak membawa apa-apa, kecuali peningkatan biaya untuk penyelenggaraan demokrasi itu. Kelompok yang lain melihat situasi secara lebih optimistis. Mereka yakin demokrasi akan membawa perbaikan nasib bagi seluruh rakyat. Persoalannya adalah sistem demokrasi yang saat ini dilaksanakan belum menyentuh esensi dari demokrasi itu sendiri. Mereka memandang bahwa penghargaan terhadap rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri kurang dihargai dalam model demokrasi formal saat ini. Mereka berpendapat bahwa penguatan partisipasi publik adalah bagian penting dari demokratisasi. Sedangkan penciptaan tatapemerintahan yang baik adalah wahana agar upaya demokratisasi menemukan makna. PATTIRO masuk dalam kelompok yang masih optimistis dengan demokrasi. PATTIRO memiliki visi untuk mewujudkan keadilan sosial melalui peningkatan partisipasi dan daya tawar masyarakat warga dalam

setiap proses pembuatan keputusan publik serta terwujudnya tata pemerintahan yang baik khususnya pada tingkat lokal. Karena itulah PATTIRO, dalam berkontribusi pada demokratisasi, tetap berkonsentrasi pada penguatan partisipasi publik dan perbaikan tata pemerintahan daerah seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Terdapat dua pendekatan yang dilakukan oleh PATTIRO untuk mencapai visinya. Pendekatan pertama ialah mendidik dan memberdayakan warga masyarakat supaya mereka memiliki daya kritis dan dorongan partisipatif. Pendekatan kedua ialah dengan masuk ke pemerintahaneksekutif dan legislatifsambil menawarkan alternatif-alternatif kebijakan yang didukung oleh sistem yang lebih responsif terhadap aspirasi warga. Kedua pendekatan itu akan tetap dipertahankan karena dirasa efektif. Mulai 2004, PATTIRO bergerak dari strategi advokasi di luar sistem ke strategi advokasi mengubah

34

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

sistem hal mana PATTIRO berusaha menguatkan pengaruhnya bagi perubahan sistem pengambilan keputusan publik di daerah. Pada periode 2005-2006, strategi itu tetap dipertahankan bahkan diintensifkan. Hal ini dilakukan dengan cara: semakin intensif masuk ke dalam lingkungan pengambil kebijakan; berusaha memahami persoalan dari para pengambil kebijakan; membantu mencari alternatif solusi serta membantu upaya peningkatan kapasitas para pengambil kebijakan.Tentu saja hal ini tanpa meninggalkan kerja-kerja di tingkat akar rumput dan kalangan warga karena meninggalkan warga di akar rumput sama dengan menghilangkan basis legitimasi advokasi. Dalam aktivitasnya PATTIRO juga sesekali harus berperan sebagai pemain. Memfasilitasi warga agar mampu menyuarakan kepentingan mereka sendiri seringkali tidaklah cukup. Seringkali dalam advokasi ditemukan hambatan yang penyelesaiannya mengharuskan pendekatan yang lebih kreatif dengan memanfaatkan konstelasi sistem yang ada. Selain keterlibatan dalam proses politikbaik dalam bentuk negosiasi, kerjasama, maupun penentangan PATTIRO juga memanfaatkan saranasarana legal yudisial untuk memajukan isu, mendidik publik, dan sekaligus mendorong upaya perwujudan agenda yang lebih besar. Dalam berbagai kegiatannya PATTIRO berusaha menjalin

kerjasama dengan berbagai unsur yang ada di masyarakat. Seperti organisasi rakyat, organisasi massa, organisasi mahasiswa, partai politik, pers, tokoh masyarakat, akademisi, maupun lembaga pemerintahan (eksekutif dan legislatif). PATTIRO berusaha membangun sinergi yang mungkin di antara unsur-unsur itu untuk tercapainya perbaikan keadaan. Dalam kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa lembaga donor yang sangat membantu kami dalam mendanai berbagai aktifitas dalam pekerjaan kami. Kami ucapkan terimakasih kepada Ford Foundation, The Asia Foundation, European Commission, World Bank, AusAID, Partnership for Governance Reform, ACCESS, National Democratic Institute dan Hivos untuk kerjasama yang diberikan selama ini.

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

35

Kata Pengantar Ketua Yayasan PATTIRO

Syahrir Wahab

Assalamualaikum Wr.Wb.

ertama-tama, kami mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nyalah kami bisa terus berpartisipasi aktif dalam proses demokratisasi di Indonesia. PATTIRO sebagai organisasi hingga kini tetap terlibat dan makin dalam peranannya dalam proses itu. Saat ini, walaupun menghadapi banyak tantangan, kami banyak mendapat dukungan untuk mewujudkan visi kami. Yaitu visi menciptakan masyarakat warga yang memiliki daya tawar dalam proses pembuatan keputusan publik dan mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik di tingkat lokal. Karena itu, kami juga merasa penting untuk menyampaikan terima kasih kepada kawan-kawan organisasi masyarakat warga, pers, mahasiswa, akademisi dan tokoh lokal di daerah. Terutama di daerah tempat PATTIRO bekerja yakni di Serang, Tangerang, Banten, Pekalongan, Semarang, Kendal, Solo, Malang, Jeneponto, Bantaeng, Gresik, dan Lombok Barat. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada kawan-kawan NGO di Jakarta, lembaga donor, akademisi serta international agencies yang telah memberikan kontribusi terhadap kerja PATTIRO selama ini. Kami juga tidak lupa untuk secara khusus menyampaikan terima kasih kepada mereka yang menduduki jabatan publik, baik di eksekutif maupun legislatif, yang telah membuktikan komitmen mereka terhadap proses demokratisasisalah satunya dengan membantu kerja-kerja yang PATTIRO lakukan. Secara khusus kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada individuindividu di dalam sistem pemerintahan dan legislatif yang memiliki komitmen lebih untuk mengangkat derajat rakyat. Dukungan semua pihak memungkinkan PATTIRO mempertajam dan memperdalam pekerjaannya dengan dampak positif yang semakin luas.

36

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

Seperti tahun lalu, kali ini pun kami menerbitkan Laporan Tahunan 2006 yang mengungkapkan pekerjaan-pekerjaan PATTIRO sepanjang 2006. Laporan tahunan ini merupakan bentuk akuntabilitas kerja-kerja PATTIRO terhadap publik. Kami berharap kiranya laporan ini dapat menjadi bahan belajar bagi organisasi non pemerintah lainnya dan memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk menjalin kerjasama dalam mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Akhir kata, kami menyampaikan terima kasih untuk semuanya. Semoga apa yang kami lakukan ini dapat memberikan kontribusi untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Jakarta, Januari 2007 Salam,

Syahrir Wahab

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

37

Memperjuangkan Mekanisme Komplain bagi Masyarakat


Mendorong Pelayanan Publik yang Adil dan Berkualitas

engan diterapkannya otonomi daerah sejak 2001, muncul harapan yang besar bagi terwujudnya tata pemerintahan yang lebih peka rakyat. Alasannya sederhana yakni otonomi berarti wewenang dan pengambilan keputusan lebih banyak terjadi di tingkat lokal dan itu berarti suara dan keluhan masyarakat lokal akan lebih bisa didengar. Analoginya, kantor cabang tentunya lebih tahu permasalahan di wilayah cabangnya ketimbang kantor pusat. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, hal mana pemerintah bertindak sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen, otonomi daerah mengandung makna semakin dekatnya tempat pelayanan dengan masyarakat yang membutuhkannya. Karena dekat, maka logikanya para penyedia layanan ini pun akan lebih tanggap terhadap kebutuhan konsumennya. Sayang disayang, hal ideal itu masih jadi impian. Otonomi daerah terbukti belum diikuti dengan makin dekatnya pelayanan publik terhadap

masyarakat. Jarak boleh saja dekat, tetapi akses terhadap pelayanan masih jauh. Pemerintah daerah kebanyakan masih mengganggap otonomi sebagai kesempatan untuk menggenjot PAD (pendapatan asli daerah). Paradigmanya masih seputar wewenang dan kekuasaan. Cara pandangnya masih berkisar soal hak pemerintah terhadap warganya. Akibatnya, pelayanan yang berarti pemerintah sebagai abdi masyarakat nyaris terabaikan sama sekali. Kelompok miskin, terutama anak-anak perempuan, paling menderita akibat dari situasi itu. Mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk beralih ke pelayanan lain yang lebih baik, yang biasanya disediakan oleh sektor privat. Selain itu aspek keterbatasan mobilitas dan informasi juga menyebabkan ketergantungan mereka pada pelayanan publik yang ada, meski dengan kualitas yang sangat minim.

38

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

Karena situasi itu, maka perbaikan kualitas pelayanan publik bagi kelompok miskin adalah agenda yang harus diperjuangkan. Salah satu komponen yang perlu diperbaiki adalah peningkatan kesempatan bagi pengguna, khususnya kelompok miskin, untuk menyuarakan keluhannya. PATTIRO menilai bahwa penyediaan mekanisme komplain terhadap pelayanan publik yang terjangkau bagi kelompok konsumen

miskin adalah satu entry point penting agar kelompok miskin mendapat pelayanan yang layak. Untuk itu, PATTIRO melakukan advokasi di enam kota: Tangerang, Malang, Semarang, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Bantaeng (keduanya di Sulawesi Selatan), dan Kabupaten Lombok Barat. Sektor pelayanan publik yang menjadi sasaran adalah: pendidikan, kesehatan dan sarana-prasarana.

Model Mekanisme Komplain


Melaporkan proses pengelolaan komplain konsumen

Wilayah Institusi Penyelenggara Pelayanan Publik

Melakukan mediasi dan memberi rekomendasi Melakukan mediasi dan memberi laporan publik

Wilayah Pengembangan Institusi Eksternal

Komplain atas pelayanan publik

Melakukan transparansi dan respon atas komplain

Wilayah Konsumen

Mengajukan banding atas sengketa konsumen penyelenggara tentang komplain

Relasi institusi penyelenggara pelayanan publik dengan konsumen : Institusi penyelenggara pelayanan publik akan menerima komplain dari konsumen pelayanan publik. Supaya komplain dari konsumen itu dapat mudah diselesaikaan, maka institusi penyelenggara pelayanan publik perlu melakukan transparansi kepada konsumen atas prosedur penanganan komplain dan proses pengelolaan komplain yang dilakukannya.

dari konsumen mengenai sengketa konsumen penyelenggara pelayanan publik terkait komplain. Institusi penyelenggara pelayanan publik wajib menghadiri undangan itu. Selanjutnya institusi eksternal akan melakukan upaya mediasi untuk penyelesaian sengketa itu. Hasil dari proses mediasi ini akan menjadi rekomendasi yang disampaikan pada pihak penyelenggara pelayanan publik dan konsumen yang mengajukan pengaduan. Relasi institusi eksternal dengan konsumen: Konsumen yang tidak puas atas respons terhadap komplain yang diterimanya dapat mengajukan pengaduan (semacam banding) pada institusi eksternal. Institusi eksternal ini kemudian akan mengundang institusi penyelenggara pelayanan publik untuk melakukan mediasi dengan konsumen, seperti yang disebutkan di atas.

Relasi institusi penyelenggara pelayanan publik dengan institusi eksternal : Institusi penyelenggara pelayanan publik wajib menyampaikan laporan mengenai proses penanganan komplain dari konsumen yang telah dilakukannya. Sementara itu institusi eksternal akan mengundang penyelenggara pelayanan publik ketika menerima pengaduan

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

39

Strategi
Strategi yang diambil PATTIRO untuk tersedianya mekanisme komplain atas pelayanan publik itu adalah menggabungkan antara pendekatan politik, administratif dan pemberdayaan masyarakat. Secara lebih detail strategi itu adalah: Pendekatan politik dilakukan dengan mencari dukungan dari walikota/bupati serta jajaran eksekutif daerah di bawahnya dan dari legislatif daerah. Dalam hal ini PATTIRO memperkenalkan mekanisme komplain sebagai suatu isu yang dapat mengangkat dukungan publik terhadap pejabat eksekutif dan legislatif daerah. Pendekatan administratif dilakukan dengan technical assistance untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas dari birokrasi mengenai isu-isu pelayanan publik, khususnya mekanisme komplain. Pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memfasilitasi terbentuknya community centre di tingkat lokal (dalam hal ini tingkat kelurahan). Selanjutnya community centre ini yang akan menjadi fasilitator bagi kelompok marginal di masyarakat untuk melakukan komplain kepada penyelenggara pelayanan publik.

1. Penelitian kepada kelompok konsumen miskin mengenai persepsi dan preferensi atas mekanisme komplain pelayanan publik, dan penggalian masalah yang berhubungan dengan akses kelompok perempuan miskin terhadap mekanisme komplain itu. 2. Penelitian kepada instansi penyedia pelayanan publik mengenai profil mekanisme komplain yang tersedia. Penelitian ini berusaha melihat akses dari kelompok konsumen miskin, khususnya kelompok perempuan miskin, terhadap mekanisme komplain yang tersedia. 3. Penyusunan model mekanisme komplain atas pelayanan publik yang berperspektif kesetaraan gender

Kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang telah dijalankan untuk melaksanakan strategi itu adalah:

40

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

dan cocok bagi kelompok konsumen miskin. Model itu disusun berdasar hasil-hasil yang diperoleh pada penelitian di atas. 4. Konsultasi publik dalam bentuk konferensi untuk menggali masukan dari berbagai stakeholder mengenai model yang dibangun, khususnya dari kelompok konsumen miskin dan kelompok perempuan, di setiap daerah program. 5. Advokasi untuk mengusulkan model mekanisme komplain di daerah program. Advokasi itu dilakukan dengan diskusi publik, kampanye publik dan audiensi pada pihak pembuat kebijakan. 6. Seminar tingkat nasional untuk menyebarluaskan model mekanisme komplain dari setiap daerah program.

yang jelas, menetapkan penanggung-jawab komplain, menetapkan batas waktu penyelesaian komplain dan sebagainya. 2. Munculnya inisiatif dan praktik mekanisme komplain di lingkungan eksternal UPT. Dalam hal ini terbentuk lembaga di luar UPT yang berperan menjadi mediator penyelesai sengketa antara masyarakat penyampai komplain dengan UPT yang dikomplain. Salah satu hasil yang dicapai PATTIRO adalah turut mendorong munculnya Pusat Penanganan Pengaduan atas Pelayanan Publik (P5) di Kota Semarang. 3. Terbentuk dan terfasilitasinya community centre untuk mekanisme komplain di beberapa daerah program. Community centre itu menjadi lembaga untuk memfasilitasi komplain masyarakat terhadap UPT, menyebarluaskan informasi mengenai pelayanan publik di masyarakat, serta melakukan pendidikan kritis kepada masyarakat. 4. Dijadikannya usulan mekanisme komplain dari PATTIRO sebagai substansi inti dari Rancangan Peraturan Daerah Kota Malang mengenai Pelayanan Publik. Pada

Hasil yang Dicapai


1. Munculnya inisiatif dan praktik mekanisme komplain di beberapa Unit Pelayanan Teknis (UPT). Beberapa UPT di daerah program mulai mencoba menerapkan mekanisme komplain dalam melayani komplain masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah menyediakan prosedur komplain

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

41

saat laporan ini disusun, Raperda itu secara resmi diajukan oleh DPRD Kota Malang untuk menjadi Peraturan Daerah.

Hambatan
1. Masalah wacana. Mekanisme komplain, sebagai sebuah wacana baru, mendapat reaksi pro-kontra dari berbagai kalangan stakeholder. Sebagian dari mereka bersikap pro maupun kontra dengan tanpa menyadari makna dari mekanisme komplain itu. Dari kalangan birokrasi muncul sikap kontra. Salah satunya karena istilah komplain dianggap mengadu domba antara pemerintah dan masyarakat. 2. Konflik kepentingan. Sebagian kalangan birokrasi berpendapat bahwa mekanisme komplain akan memojokkan UPT terkait (pendidikan, kesehatan, saranaprasarana). Mereka sangat tidak antusias dengan munculnya upaya untuk menciptakan akuntabilitas terhadap pelayanannya, meskipun hal itu sudah semestinya. 3. Anggaran. Sebagian anggota DPRD, misalnya 25 orang di Malang, mendukung upaya penerapan mekanisme komplain ini. Sayangnya, pihak birokrasi bersikap resisten dengan mengajukan alasan bahwa hal itu hanya menambah beban anggaran saja.

1. Mekanisme komplain sangat mungkin diterapkan ketika ada dukungan kuat dari pihak eksekutif, khususnya pimpinan tertinggi suatu wilayah (baca: walikota atau bupati). Meskipun demikian perlu juga dicatat di sini, dukungan dari walikota/bupati sering tidak cukup karena pejabat di bawahnya, yang biasanya terkena getahnya jika ada masalah, sering bersikap resisten terhadap isu ini. 2. Dukungan legislatif (DPRD) sangatlah krusial. DPRD melalui hak inisiatifnya, dapat mengusulkan peraturan daerah khusus tentang pelayanan publik dengan memasukkan mekanisme komplain sebagai suatu bagian yang penting. Keberadaan peraturan daerah ini bisa menjadi pendorong penyelenggaraan pelayanan publik yang adil dan berkualitas. 3. Kapasitas masyarakat untuk mengajukan komplain merupakan satu faktor pendorong terjadinya pelayaanan publik yang adil dan berkualitas. Masyarakat yang pasif dan bersikap masa bodoh terhadap kualitas pelayanan publik yang diterimanya akan menjadikan UPT berkinerja buruk. Komplain yang gencar dan melalui cara-cara yang tepat akan mendorong UPT untuk menanggapi sekaligus memperbaiki kinerjanya.

Pelajaran yang Dipetik

42

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

Perempuan Juga Berhak Atas Anggaran


Advokasi Anggaran Sensitif Gender 2005

nggaran publik adalah instrumen penting dalam perwujudan keadilan dan kesejahteraan rakyat karena anggaran publik mencerminkan bagaimana pemerintah menetapkan prioritas kebijakan dan melakukan pengalokasian sumber daya. Anggaran juga merupakan alat politik bagi pemerintah, karena menyangkut who gets what and how. Maka wajar saja banyak kelompok kepentingan, baik di dalam maupun di luar birokrasi, yang berusaha memperoleh jatah sebesar-besarnya dari anggaran publik itu. Sayangnya anggaran publik selalu terbatas jumlahnya sehingga sering terjadi kompetisiyang kadangkadang disertai tipu menipu,

provokasi dan bahkan gontokgontokanantar kelompok kepentingan untuk memperoleh jatah anggaran yang lebih. Dalam situasi seperti itu, kelompok perempuan dan kaum miskin sering disingkirkan dan hanya disediakan anggaran sisa untuk mereka. Maklum faktor akses terhadap pengambilan keputusan publik, yang seringkali dalam bentuk adanya relasi dengan para pembuat kebijakan, masih merupakan faktor dominan agar kelompok kepentingan mendapat jatah anggaran publik. Padahal kenyataannya kebutuhan mereka terhadap anggaran justru lebih besar daripada kelompok lainnya.

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

43

Sebenarnya, di tingkat Pemerintah Pusat, usaha untuk mencegah hal itu sudah diupayakan, setidaknya di atas kertas melalui Undang-undang yang ada. Desentralisasi, salah satu agenda reformasi yang penting, tidak dilihat sebagai pemindahan kuasa ke daerah. Daerah tetap mesti mengikuti aturan dari pusat, terutama di bidang anggaran, agar niat awal desentralisasi yaitu mendekatkan rakyat dengan pelayanan pemerintah bisa dicapai secara optimal. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai instrumen desentralisasi wewenang dan UU No. 33 tahun 2004tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah sebagai instrumen desentralisasi fiskalsebenarnya telah membuka ruang yang cukup besar untuk perbaikan penyususnan anggaran publik di daerah. Selain itu Peraturan Pemerintah, antara lain PP

No. 58 tahun 2005 (pengganti PP No. 105 tahun 2002) juga jelas-jelas menyebut bahwa anggaran yang diterapkan ialah anggaran berbasis kinerja (performance budgeting) dijabarkan lagi dengan lebih mendalam lewat Kepmendagri No. 29 tahun 2002. Disayangkan masih terdapat banyak lubang dalam pelaksanaan kerangka hukum itu di daerah. Selain itu, dari sisi konseptual masih ada lubang yang perlu ditambal. Saat ini baru terdapat tiga aspek dalam penilaian kualitas anggaran daerah, yaitu efficiency, effectivity, dan economy (Mardiasmo, 2001). Sebenarnya selain ketiga aspek itu, mesti ditambah satu aspek lagi, yaitu Equity. Artinya, program dan proyek harus bersifat adil terhadap seluruh kelompok yang ada di masyarakat.

44

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

Termasuk adil terhadap laki-laki dan perempuan sehingga memiliki dampak yang setara terhadap kedua pihak itu. Atas dasar itulah, maka PATTIRO bergerak dalam advokasi gender budget (anggaran peka gender). Kerja ini sebenarnya sudah dimulai sejak 2003 dan pada 2005 merupakan kelanjutannya. Pada kerja advokasi di waktu-waktu sebelumnya, cukup banyak yang sudah dicapai. Salah satunya ialah pengungkapan korupsi dalam penggunaan anggaran daerah. Pengungkapan korupsi hanya sebagai isu antara karena tujuan yang lebih besar ialah tercapainya anggaran yang adil dan pro publik. Anggaran ideal itu sulit dicapai ketika praktik penyalahgunaan anggaran masih luas ditemukan, baik oleh eksekutif maupun legislatif. Karena itu pengungkapan korupsi menjadi rute pilihan yang tidak bisa dihindari karena tanpa itu tujuan besar tidak akan tercapai. Terlepas dari itu, anggaran daerah tetap masih menguntungkan kelompok penguasa dan cenderung menampik kepentingan kelompok marjinal (orang miskin, perempuan, anak terlantar, penyandang cacat, dan lansia). Titik kritis terutama ditemukan dalam perencanaan dan penganggaran. Proses penentuan anggaran akhirnya bukanlah tempat yang aspirasi dan kebutuhan sebagian besar masyarakat diakomodasi, melainkan malah menjadi sarana bagibagi plafon dana di APBD di antara

dinas-dinas dan DPRD. Untuk mengatasi kebuntuan ini, sambil terus mengawal proses hukum kasus korupsi, terobosan strategi harus dilakukan agar wajah APBD bisa berubah menjadi lebih pro publik. Kondisi inilah yang melatarbelakangi diluncurkannya advokasi lanjutan bertajuk Pengusulan Program Responsif Gender di APBD 2005 di tiga kota, yaitu Semarang, Surakarta, dan Tangerang. Proses advokasinya sendiri melibatkan beberapa kegiatan antara lain need assessment basis, analisis APBD dan pengorganisasian politik. Kegiatan pertama ialah need assessment yang diwujudkan melalui wawancara dan FGD (focus group discussion). Tujuannya ialah untuk menggali permasalahan sampai bisa ditemukan alternatif-alternatif solusinya. Kemudian, alternatif solusi itu diterjemahkan menjadi program yang akan diusulkan untuk diakomodasi dalam APBD. Proses ini juga berfungsi untuk melakukan pengorganisasian kelompok perempuan. Di tiap-tiap kota, di selenggarakan lima kali FGD di lima kelurahan yang berbeda. Lokasi yang dipilih adalah kelurahan miskin, sedangkan peserta FGD adalah perempuan miskin dan tokoh perempuan setempat. Salah satu contoh menarik ialah yang terjadi di kelurahan Panggung Kidul di Kota Semarang. Lewat FGD ditemukan beberapa masalah, diantaranya masalah kesehatan (banjir

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

45

dan rob air laut banjir akibat laut pasang) dan masalah pendidikan (biaya pendidikan mahal). Pada akhirnya, forum menyepakati program yang akan diajukan adalah program bantuan BBM untuk pompa penyedot rob. Pilihan jatuh ke masalah rob (banjir karena laut pasang). Karena laut pasang terjadi terus-menerus dengan akibat berupa rob yang sangat merepotkan. Rob juga menambah beban perempuan. Misalnya, setelah air rob surut, pekerjaan perempuan bertambah yaitu harus membersihkan rumahnya yang kotor. Selain itu si ibu juga harus merawat anaknya yang terkena penyakit kulit. Program bantuan BBM untuk pompa penyedot air rob akan sangat membantu masyarakat Panggung Kidul dan secara spesifik akan mengurangi beban perempuan di Panggung Kidul. Ini adalah salah satu contoh program responsif gender yang disusun melalui proses partisipatif. Kegiatan kedua yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan pertama ialah analisis APBD, baik secara umum maupun secara khusus. Analisis memiliki tiga tujuan: mengetahui pola umum alokasi APBD, menemukan sumber-sumber pemborosan anggaran, dan mengetahui persentase yang diterima oleh kelompok marjinal. Hasil analisis ini akan dijadikan argumen ketika memperjuangkan usulan program dari basis. Dengan data dan fakta hasil analisis itu pemerintah daerah dan DPRD tidak bisa lagi gampang menyatakan bahwa tidak ada anggaran

untuk kepentingan masyarakat. Selain itu hasil analisis memunculkan peluang dilakukannya realokasi anggaran, memotong anggaran yang tidak perlu dan memindahkannya ke anggaran yang bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Kegiatan ketiga berupa pengorganisasian politik dilakukan dengan dua fokus utama. Pertama, mengegolkan usulan perempuan basis. Kedua, mendorong terjadinya realokasi anggaran. Posisi PATTIRO yang melaporkan beberapa dugaan praktik korupsi telah meningkatkan posisi tawar ketika memperjuangkan kedua hal itu. Ditambah lagi dengan dukungan jaringan dan media massa menjadikan pengorganisasian politik

46

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

berjalan selaras dan efektif. Hasil kongkret dari pengorganisasian politik ialah ada beberapa usulan program dari basis yang masuk di APBD 2005, antara lain: perbaikan jalan di Podhorejo, penambahan anggaran program bantuan BBM untuk mengatasi banjir dan rob (Semarang), pengadaan sarana air bersih di Podhorejo (Semarang), dan bantuan modal pembentukan koperasi di Kelurahan Karang Timur (Tangerang). Untuk APBD Semarang, diperoleh Rp 29 miliar dana yang berasal dari pemotongan pos-pos yang tidak rasional seperti mark up anggaran, anggaran dobel, anggaran yang tidak rasional, macam-macam honor tambahan bagi pegawai (upah pungut, uang lelah, uang lembur, uang perangsang) dst. Beberapa diantaranya telah direalokasikan termasuk Rp 7 miliar yang disepakati untuk bantuan organisasi perempuan. Semua organisasi perempuan berhak mengajukan permohonan bantuan, tidak lagi ada monopoli PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) seperti yang terjadi selama ini. Dari keseluruhan proses advokasi anggaran peka gender ini, terdapat beberapa hal lain yang layak menjadi catatan, diantaranya: 1. Meningkatnya awareness masyarakat terhadap proses-proses dalam APBD. Pemberitaan media yang terus menerus atas kasus korupsi yang dilakukan oleh DPRD

dan Pemerintah Kota menjadikan masyarakat menjadi ingin mengetahui lebih jauh prosesproses yang terjadi dalam APBD. Salah satu buktinya adalah banyaknya respons dari pendengar dalam acara talk show di radio dengan tema di atas. 2. Usulan program dari basis berhasil disetujui. Misalnya usulan untuk pengadaan BBM untuk pompa di Panggung Kidul Semarang, dengan nilai Rp 200 juta, usulan program pendirian koperasi di kelurahan Karang Timur Tangerang, senilai Rp 50 juta, proyek perbaikan jalan di kelurahan Podhorejo Semarang senilai Rp 50 juta, dan proyek pengadaan sarana dan prasarana air bersih di Semarang senilai Rp 100 juta. 3. Realokasi berhasil dilakukan pada beberapa mata anggaran. Misalnya, pengadaan mobil camat direalokasi menjadi pengadaan becak sampah sebesar Rp 1,6 miliar. Becak sampah bermotor (fukuda) diperlukan untuk meningkatkan kinerja dinas kebersihan dalam menangani masalah sampah di kota Semarang 4. Proses pembahasan APBD di DPRD relatif terbuka dan bisa dipantau oleh masyarakat dan media. Di Semarang, hal ini terjadi karena adanya kesepakatan antara FMPA (Forum Masyarakat Peduli Anggaran, yaitu Forum NGO dan Ormas yang diinisiasi oleh PATTIRO) dan DPRD yang salah

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

47

aspirasinya, maka akan ada hasil yang bakal diperoleh. Bagaimanapun juga bersuara tidak lah sia-sia. Pengalaman mereka bertemu dengan ketua dan anggota DPRD dalam forum Konsultasi Publik membuka mata para perempuan miskin itu bahwa sebenarnya para wakil rakyat bisa dijangkau dan terbukti bersedia menemui mereka. satu isinya adalah proses pembahasan RAPBD bersifat terbuka. Kesepakatan itu dihadiri oleh kalangan media yang kemudian ditindaklanjuti dengan banyaknya pemberitaan seputar proses pembahasan RAPBD. 5. Eksekutif dan legislatif mau menindaklanjuti beberapa temuan PATTIRO. Misalnya, jika di draf awal biaya yang dicantumkan melebihi standardisasi indeks biaya, maka setelah di revisi biaya yang sama sudah sesuai dengan indeks. 6. Hasil temuan PATTIRO dijadikan referensi oleh fraksi dalam DPRD ketika melakukan pembahasan APBD dengan eksekutif. Di Semarang bahkan bisa dikatakan semua fraksi mengambil bahan dari kajian PATTIRO, sehingga terkesan terjadinya keseragaman pendapat diantara fraksi yang semestinya berbeda. Terdapat banyak lesson learned yang didapat selama proses advokasi. Perempuan basis menemukan bahwa ketika mereka berani menyuarakan Pelajaran lainnya ialah betapa pentingnya berjuang bersama-sama sebagai kelompok. Sebagai kelompok, apalagi jika berjaringan luas, suaranya akan lebih keras dan lebih didengarkan oleh para pengambil kebijakan publik. Pentingnya pengawasan menyeluruh terhadap proses anggaran merupakan pelajaran penting berikutnya. Mulai dari perencanaan, pengalokasian, hingga pelaksanaan APBD harus mendapat pengawalan dari semua pihak. Kendati perencanaan sudah benar, dan pengalokasian sudah sesuai standar, tidak jarang korupsi tetap saja bisa terjadi di tingkat pelaksanaan. Untuk itulah berkawan dengan media (baik cetak maupun elektronik) adalah suatu keharusan, karena menjadi alat efektif sebagai sarana untuk meningkatkan awareness (pemahaman) masyarakat akan isu APBD maupun sebagai sarana untuk menagih komitmen pejabat. Janji-janji dan komitmen-komitmen para pejabat yang dimuat oleh media akan menjadi alat yang ampuh untuk ditagih, dengan bukti kliping atau rekaman media itu.

48

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

Well Informed Public, Well Treated Public


Penerapan Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di Tingkat Daerah

nformasi itu penting, sangat penting. Tidak salah pernyataan bahwa knowledge is power. Karena kepemilikan informasi memungkinkan seseorang atau kelompok mempunyai kuasa atas diri dan pihak lain. Penguasaan informasi semakin bermakna ketika informasi itu adalah informasi publik. Informasiselama ini dikuasai hanya oleh pemerintah dan orang-orang yang dekat dengannyabisa berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Akan ada kesempatan berbuat kesalahan yang besar bagi pemerintah jika informasi publik hanya dikuasai oleh pemerintah saja. Akan ada kecurigaan dari publik yang meluas kepada

pemerintah jika publik dibiarkan tidak tahu menahu mengenai informasi publik. Dalam konteks demikian, keterbukaan dan akses terhadap informasi publik merupakan hal yang krusial. Publik harus tahu (the public have the right to know). Informasi publik harus dibuka dan dibeberkan karena informasi itu berdampak langsung terhadap keseharian masyarakat. Dengan kata lain informasi publik hakikatnya milik publik itu sendiri dan bukan milik pemerintah. Pada keadaan ideal, pemerintah bersikap terbuka kepada masyarakat dengan melakukan transparansi informasi mengenai kebijakan publik
MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

49

dan menyediakan media sosialisasi informasi yang efektif. Tetapi keadaan seperti itu belum terjadi di Indonesia. Di negeri ini informasi publik seolah menjadi hak milik istimewa pemerintah. Masyarakat masih sulit mendapatkan informasi publik yang menjadi haknya. Oleh karen itu diperlukan sikap pro-aktif masyarakat untuk mendapatkan haknya atas informasi kebijakan publik. Masyarakat perlu mendesak penyelenggara pemerintahan untuk mengusahakan adanya transparansi informasi baik melalui pendekatan kebijakan, struktur maupun kultur. Masalah akses masyarakat tersendat terhadap informasi publik ini nyata sekali dirasakan di daerah. Sejalan dengan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki otonomi dalam pengelolaan sebagian besar sumber daya dan kewenangan pemerintahan yang ada. Itu berarti, sebagian besar kebijakan pemerintah daerah akan benar-benar langsung dirasakan masyarakatnya. Namun disayangkan informasi mengenai kebijakan publik daerah masih sulit untuk diakses. Bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Di tingkat nasional, saat ini UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) diperjuangkan oleh kalangan NGO. Jika UU KMIP dapat disahkan maka warga akan mendapatkan jaminan hukum secara penuh atas hak publik untuk mengetahui apa saja kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, bagaimana kebijakan itu disusun, serta

siapa yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat serta mekanisme pengaduan yang jelas bagi warga atas kebijakan. Meskipun pada tingkat nasional UU KMIP belum disahkan, sejumlah daerah telah mengesahkan dan mempersiapkan pengesahan peraturan daerah yang isinya mengadopsi RUU KMIP. Yaitu Perda mengenai Transparansi dan Partisipasi serta Perda Kebebasan dalam Memperoleh Informasi Publik. Perda itu diberlakukan di daerah-daerah: Takalar, Solok, Bandung, Kebumen, Magelang, Gowa, Takalar, Bulukumba, Boalemo, Bolang Mongondow, Gorontalo, Kabupaten Lebak, Kendari dan Provinsi Kalimantan Barat. Kendati arus untuk membuka lebar akses terhadap informasi publik semakin kencang dan beberapa daerah sudah mengadopsinya, PATTIRO melihat masih banyak masalah yang mengganjal. Beberapa daerah memang telah menerapkan peraturan daerah menyangkut informasi publik, namun keberadaan Perda Transparansi ternyata belum serta-merta menyebabkan peningkatan keaktifan warga dalam mengakses informasi publik. Keberadaan Perda Transparansi juga tidak menjamin terjadinya penyelenggaraan pemerintahan yang lebih transparan. PATTIRO melihat beberapa hal yang menjadi penyebab keadaan ini di daerah itu. Pertama, permasalahan di tingkat

50

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

penyelenggara pemerintahan. Kedua, permasalahan di tingkat warga. Hal yang sering menjadi masalah di tingkat penyelenggara pemerintahan adalah: (i) lemahnya komitmen politik dari otoritas politik daerah; (ii) minimnya kapasitas dari pejabat / aparat pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan transparansi publik; (iii) buruknya mekanisme (koordinasi) internal di penyelenggara pemerintahan yang menyebabkan tidak efektifnya kebijakan; serta (iv) ketiadaan sistem informasi (basis data) yang memadai untuk mendukung ketersediaan informasi. Masalah yang menjadi cross-cutting issue adalah masalah paradigma pemerintah dalam memandang hak warga, termasuk

dalam memandang kebebasan memperoleh informasi publik. Di tingkat warga masalah yang sering ditemui adalah: (i) lemahnya kesadaran warga atas hak-haknya untuk memperoleh informasi publik; (ii) kurangnya pemahaman warga mengenai kaitan kebebasan informasi dengan permasalahan yang dihadapinya sehari-hari; dan (iii) ketiadaan kelompok warga yang memelopori gerakan kebebasan memperoleh infomasi publik. Bentuk nyata dari ketiadaan kebebasan informasi itu misalnya: banyak peraturan daerah yang tidak disebarkan meskipun peraturan itu sangat mempengaruhi kehidupan

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

51

Kedua daerah itu dipilih karena masingmasing memiliki kepala daerah yang berkomitmen kuat membangun daerah mereka dengan mengedepankan prinsip-prinsip good governance. Bagaimanapun juga, komitmen pemerintahan ini merupakan modal awal yang penting. Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa permasalahan menyangkut informasi publik bisa muncul dari pemerintah sendiri dan juga dari warga. Karena itulah program dan advokasi bagi terciptanya kebebasan akses informasi publik mesti dilakukan terhadap kedua pihak itu bersama-sama. Untuk itulah, PATTIRO melakukan lima kegiatan utama dalam program ini, yaitu: 1. Melakukan upaya peningkatan kesadaran terhadap warga dan pemerintah daerah mengenai pentingnya kebebasan memperoleh informasi publik. 2. Membumikan isu kebebasan memperoleh informasi publik ke dalam persoalan sehari-hari yang dialami warga. 3. Melakukan advokasi kebijakan daerah untuk mendorong munculnya peraturan daerah mengenai Kebebasan Memperoleh Informasi Publik atau mengefektifkan kebijakan mengenai kebebasan informasi yang telah ada. 4. Melakukan advokasi terhadap anggaran daerah agar muncul/

warga; tertutupnya informasi anggaran daerah bagi warga selama ini sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi oleh pejabat; ketiadaan informasi yang memadai mengenai prosedur pada pelayanan publik seperti informasi mengenai pengurusan KTP, SIM, STNK dan lain-lain. Berdasarkan kondisi di atas, PATTIRO melakukan penelitian dan advokasi di bidang informasi publik dengan tajuk Program Penerapan Kebebasan Memperoleh Informasi Publik di Tingkat Daerah. Program diadakan di Kota Pekalongan dan Kabupaten Lebak.

52

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

meningkat alokasi anggaran untuk penyediaan informasi publik. 5. Melakukan kemitraan dalam bentuk technical assistance dengan pemerintah daerah agar pemerintah daerah dapat membangun sistem dan mekanisme kerja untuk pengimplementasian kebebasan informasi. Program yang sudah berjalan sejak 26 april 2006, dengan bekerja sama dengan HIVOS ini setidaknya menemukan satu hal yang cukup signifikan, yakni ternyata pihak yang terlihat paling aware, masih di tingkat elite. Elite politik maupun elite masyarakat. Mereka itu adalah DPRD, pemerintah, dan wartawan. Hal lain yang menarik adalah ternyata pula ketertarikan pada kebijakan mengenai kebebasan informasi itu pun belum jauh dari berbagai kepentingan. Di Kabupaten Lebak, misalnya, dorongan untuk membuat Perda kebebasan informasi ini lebih karena ada pihak yang mendanai yakni Bank Dunia. Namun demikian, terlepas dari adanya kepentingan itu, niat untuk membuat sebuah aturan yang memberi kesempatan masyarakat mengakses informasi haruslah tetap dianggap baik. Setidaknya dengan keterbukaan, berbagai kebijakan publik termasuk anggaran di pemerintahan tidak lagi tertutup bagi masyarakat. Masyarakat mampu mengakses semua itu. Dan itu adalah modal awal dan modal penting bagi partisipasi. Jadi, tidak akan ada partisipasi tanpa kebebasan informasi.

PATTIRO sendiri, khususnya di Pekalongan, terlibat dalam proses penyadaran akan pentingnya kebebasan informasi itu, dengan tujuan akhir mendorong terbentuknya perda kebebasan informasi. Bentuknya lokakarya warga, pelatihan-pelatihan, penerbitan poster dan brosur juga survei. Lesson learned dari kegiatan ini, adalah kebebasan informasi bukan hal penting bagi masyarakat. Karena itu, pendidikan tentang betapa penting informasi bagi kehidupan sehari-hari misalnya bagaimana informasi itu mempengaruhi hal-hal praktis sehari hari seperti pembuatan KTP, dll adalah kerja-kerja yang harus terus dilakukan. Kendati kebebasan informasi baru di kalangan elite, bukan berarti informasi itu hal yang elitis. Bagaimana pun juga informasi merupakan kebutuhan setiap warga, khususnya dikaitkan dengan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal. Publik yang buta informasi tidak bisa diharapkan berpartisipasi secara efektif. Dengan atau tanpa dukungan publik yang luas, elite yang berkepentingan (wartawan, CSO, tokoh masyarakat) harus memperjuangkan kebebasan informasi ini karena ini merupakan hal yang esensial dalam demokrasi. Informasi merupakan hak publik. Dalam sistem demokrasi publik berhak tahu apa saja yang dilakukan oleh pemerintahnya.

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

53

Hak-hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya (Ekosob)


Penguatan Hak-Hak Pendidikan dan Kesehatan Melalui Implementasi Hak-Hak Ecosob Dalam Kebijakan Publik

Ketika orang berbicara hak asasi manusia (HAM), maka yang segera terpikir ialah hak-hak di bidang politik. Padahal, di tingkat internasional telah disepakati bahwa hak asasi manusia tidak terbatas di bidang politik, melainkan juga meliputi hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOB). Kurangnya perhatian terhadap hak EKOSOB hampir otomatis menyebabkan buruknya situasi EKOSOB itu sendiri terutama di kalangan marjinal. Khusus di Indonesia, situasi buruk ini terpampang jelas di depan mata dan didukung oleh angka-angka statistik yang tidak terbantahkan. Kondisi kurang menguntungkan di bidang EKOSOB sebenarnya bertolak belakang dengan sikap pemerintah Indonesia sendiri, setidaknya di tingkat kebijakan. Sejak Oktober 2005 Pemerintah Indonesia dan DPR RI telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights/ ICESCR). Ratifikasi itu dimantapkan dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan ICESCR. Dengan disahkannya UU itu, negara Indonesia termasuk dalam daftar Negara Pihak bersama 143 negara lainnya. Itu berarti, negara wajib untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak EKOSOB warga negaranya. Dengan ratifikasi, Indonesia terikat kewajiban untuk menyesuaikan seluruh aturan yang ada agar senafas dan seirama dengan Kovenan Internasional tentang EKOSOB itu. Waktu penyesuaian yang diberikan ialah satu tahun. Kemudian, dua tahun setelah ratifikasi, negara pihak mesti membuat laporan kepada Komisi PBB

54

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

untuk EKOSOB tentang kemajuan yang sudah dicapai. Secara implisit maupun eksplisit, keputusan Indonesia untuk meratifikasi ICESCR mengandung arti bahwa negara ini siap menerapkan imperatif atau tuntutan yang terkandung dalam kovenan itu. Hal yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana komitmen itu diwujudkan di lapangan, khususnya pada tingkatan pemerintah daerah. Untuk itulah, PATTIRO dengan dukungan Uni Eropa berusaha meneliti sekaligus mengadvokasi pemda-pemda di Provinsi Banten, Kota Semarang, dan Kabupaten Gresik dalam kaitan dengan hak-hak EKOSOB ini. Pendidikan dan kesehatan menjadi kepedulian utama dalam advokasi ini karena menyangkut kepentingan orang

banyak. Kedua hal ini bisa disebut hak paling dasar (tanpa itu tidak akan ada kehidupan yang lebih baik). Sedangkan tiga wilayah di atas dipilih karena alasan berikut: Semarang dianggap mewakili kota metropolis; Gresik kota kecil kabupaten; dan Provinsi Banten terpilih karena merupakan salah satu provinsi baru dan dianggap masih tertinggal. Dalam pelaksanaannya sendiri PATTIRO menerapkan empat kerja besar, yaitu: 1. Riset yang meliputi studi pustaka tentang EKOSOB, penelitian lapangan dengan metode kualitatif (wawancara mendalam, FGD). Tujuan riset ialah untuk mengetahui bagaimana persisnya EKOSOB itu dan bagaimana kondisi penerapan hak EKOSOB di daerah yang diteliti.

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

55

2. Penulisan dan pendistribusian manual EKOSOB. Manual ini dibagikan diantara organisasi masyarakat, penjabat eksekutif dan legislatif, serta para anggota dan aktivis partai politik. Mengingat banyak dari mereka belum memahami benar masalah hak EKOSOB ini, maka pendistribusian manual EKOSOB sangatlah penting. 3. Selain pembagian bahan bacaan, pelatihan dan workshop juga diadakan dengan tujuan

meningkatkan pemahaman stakeholder terhadap isu EKOSOB. Ini adalah bagian dari upaya peningkatan kapasitas. Seminar lokal dan seminar nasional juga diadakan untuk keperluan ini. 4. PATTIRO juga melihat pentingnya pembuatan peraturan daerah sebagai landasan hukum bagi pemenuhan hak EKOSOB di wilayah bersangkutan. Untuk itu, program ini juga melibatkan kegiatan pendampingan terhadap pihak pemda dalam pembuatan

56

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006

rancangan peraturan itu. Selama program berlangsung terdapat beberapa penemuan yang cukup menarik. Salah satunya ialah pandangan di lingkungan masyarakat bahwa pendidikan dan kesehatan bukanlah suatu hak dasar. Mereka belum mencapai suatu pemahaman bahwa keduanya harus disediakan oleh negara. Asumsi mereka, pemenuhan kedua hal itu adalah sepenuhnya tanggung jawab masyarakat sendiri (baca: keluarga masing-masing). Pandangan yang luas beredar, misalnya, menyatakan bahwa biaya pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua dan bukan hak masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara/pemerintah. Ini adalah salah satu bukti betapa penting program ini, agar masyarakat sadar bahwa sebetulnya pemenuhan hak atas pendidikan dan juga kesehatan adalah kewajiban pemerintah selaras dengan EKOSOB. Temuan lainnya adalah, ternyata ada kesulitan untuk mengimplementasikan hak-hak EKOSOB dalam peraturan daerah. Kendala itu adalah tidak adanya acuan operasional dan pengalokasian anggaran yang masih belum memihak pada masyarakat. Selain itu pola pikir proyek di kalangan pengambil keputusan (baca: DPRD) dianggap bisa menjadi kendala yang mengganggu. Meskipun demikian, langkah maju sudah mulai terlihat. Di Banten,

misalnya, langkah yang diambil sudah sampai pada legal drafting untuk pembuatan perda. Sedangkan di Gresik, PATTIRO turut terlibat hingga masuk menjadi anggota tim perumus untuk penyusunan draf Perda Pendidikan yang memasukan pasal-pasal EKOSOB. Dari semua yang dilakukan PATTIRO terkait dengan program ini, ada beberapa lesson learned yang bisa didapatkan. Pertama, masyarakat sebagai beneficiaries utama ternyata masih banyak yang belum sadar akan hak-haknya. Karena itulah, pendidikan mengenai EKOSOB masih menjadi pekerjaan besar yang perlu diteruskan. Kedua, kendati mereka memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengimplementasikan EKOSOB dalam kebijakan, pejabat pemerintah dan anggota DPRD tidak bisa diharapkan akan sukarela mendukung penerapan EKOSOB ini dalam peraturan daerah. Untuk itu kerja-kerja politik seperti negosiasi, advokasi bahkan oposisi harus konsiten dijalankan oleh mereka yang peduli dan berkepentingan. Ketiga, dengan meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hakhak EKOSOB (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR), pemerintah pusat dan daerah berkewajiban untuk mengimplementasikannya. Untuk itulah kelompok civil society perlu terus mendorong dan menekan pemerintah agar melaksanakan dengan sungguh-sungguh kovenan yang sudah diratifikasi itu.

MENCARI ALTERNATIF PEMBANGUNAN DENGAN MERANGKAI SUARA WARGA

57

LAPORAN KEUANGAN
Laporan Posisi Keuangan Tanggal 31 Desember 2005 dan 2004 31
Catatan Tahun 2005 Rp. Tahun 2004 (Tidak diaudit) Rp.

AKTIVA - Kas dan setara kas - Piutang lain-lain - Uang muka - Aktiva tetap (bersih) JUMLAH AKTIVA

3 4 5 6

1.484.088.663,00 21.218.200,00 202.436.406,00 30.849.594,00 1.738.592.863,00

310.400.495,00 21.080.200,00 0,00 39.953.662,00 371.434.357,00

AKTIVA BERSIH - Tidak terikat - Terikat temporer Jumlah Aktiva Bersih JUMLAH AKTIVA BERSIH

7 189.889.211,00 1.548.703.652,00 1.738.592.863,00 1.738.592.863,00 69.833.385,00 301.600.972,00 371.434.357,00 371.434.357,00

Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan

Laporan Aktivitas Dan Saldo Dana Yang Pada Tanggal 31 Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal 31 Desember 2005
Catatan Tahun 2005 Tidak Terikat Terikat Temporer Rp. Rp. PENDAPATAN, PENGHASILAN, DAN SUMBANGAN LAIN - Sumbangan - Kontribusi - Lain-lain Jumlah Pendapatan, penghasilan, dan Sumbangan lain 7 0,00 175.817.644,00 0,00 175.817.644,00 2.435.441.946,00 0,00 6.647.293,00 2.442.089.239,00 2.435.441.946,00 175.817.644,00 6.647.293,00 2.617.906.883,00 Jumlah Rp.

BEBAN DAN KERUGIAN - Program - Penyusutan - Administrasi umum Jumlah beban dan kerugian

7 0,00 17.899.068,00 37.862.750,00 55.761.818,00 1.194.986.559,00 0,00 0,00 1.194.986.559,00 1.194.986.559,00 17.899.068,00 37.862.750,00 1.250.748.377,00

PERUBAHAN AKTIVA BERSIH AKTIVA BERSIH AWAL TAHUN (TIDAK DIAUDIT)

120.055.826,00 69.833.385,00

1.247.102.680,00 301.600.972,00

1.367.158.506,00 371.434.357,00

AKTIVA BERSIH AKHIR TAHUN

189.889.211,00

1.548.703.652,00

1.738.592.863,00

Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan

58

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005/2006

Laporan Arus Kas Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal 31 Desember 2005 Yang Pada Tanggal 31
Tahun 2005 Rp. ALIRAN KAS DARI AKTIVITAS OPERASI - Kas dari pendapatan jasa - Kas dari penyumbang - Penerimaan lain-lain - Kas yang dibayarkan kepada karyawan, biaya program, dan lain-lain

175.817.644,00 2.435.441.946,00 6.647.293,00 (1.435.423.715,00)

Kas bersih yang diterima (digunakan) untuk aktivitas operasi

1.182.483.168,00

ALIRAN KAS DARI AKTIVITAS INVESTASI - Pembelian aktiva tetap Kas bersih yang diterima (digunakan) untuk aktivitas investasi

(8.795.000,00) (8.795.000,00)

KENAIKAN (PENURUNAN) BERSIH DALAM KAS DAN SETARA KAS KAS DAN SETARA KAS PADA AWAL TAHUN (TIDAK DIAUDIT) KAS DAN SETARA KAS PADA AKHIR TAHUN

1.173.688.168,00 310.400.495,00 1.484.088.663,00

Lihat catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan secara keseluruhan

Kas Dan Setara Kas


Perkiraan ini pada tanggal 31 Desember 2005 dan 2004 terdiri dari:
Tahun 2005 Rp. Tahun 2004 (Tidak diaudit) Rp. 527.500,00

KAS Bank - Bank BNI No. Rek. 0010738762 - Bank BNI No. Rek. 0010738773 - Bank BNI No. Rek. 0010738784 - Bank BNI No. Rek. 0014267685 - Bank BCA No. Rek. 2721349014

599.762,00

851.452.332,00 504.697.355,00 3.588.788,00 39.158.366,00 84.592.060,00 1.483.488.901,00

2.235.186,00 139.146.949,00 158.958.092,00 0,00 9.532.768,00 309.872.995,00 310.400.495,00

JUMLAH

1.484.088.663,00

Piutang Lain-lain
Perkiraan ini pada tanggal 31 Desember 2005 dan 2004 terdiri dari:
Jenis Aktiva Tetap Harga Perolehan s/d tanggal 31 Des. 2005 Rp. INVENTARIS KANTOR 97.748.300,00 97.748.300,00 Akm. penyusutan s/d tanggal 31 Des. 2005 Rp. 66.898.706,00 66.898.706,00 Nilai buku tanggal 31 Des. 2005 Rp. 30.849.594,00 30.849.594,00 Nilai buku tanggal 31 Des. 2004 (Tidak diaudit) Rp. 39.953.662,00 39.953.662,00

JUMLAH

CONTINUING THE VOICE, BUILDING ALTENATIVE FOR DEVELOPMENT

59

LAPORAN KEUANGAN
Aktiva Bersih
Tahun 2005 Tidak Terikat Rp. Pendapatan, penghasilan, dan sumbangan lain - Sumbangan lain-lain (kontribusi) Jumlah Beban - Penyusutan - Biaya sewa kantor Jumlah Perubahan Aktiva Bersih Aktiva Bersih Awal Tahun (Tidak diaudit) Aktiva Bersih Akhir Tahun

175.817.644,00 175.817.644,00

17.899.068,00 37.862.750,00 55.761.818,00 120.055.826,00 69.833.385,00 189.889.211,00

Aktiva Bersih (Lanjutan)


Tahun 2005 Tidak Terikat Rp. Pendapatan, penghasilan, dan sumbangan lain - TAF - FORD FOUNDATION - TIFA - ACCESS - UNI EROPA - Bunga bank Jumlah Beban - Program Strengthening Education and Health Rights through Implementation of ECOSOC Rights in Local Public Policy Program Pengembangan Mekanisme Komplain terhadap Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi Masyarakat Program Studi Penguatan Kapasitas Legislasi yang Partisipatif Program Peningkatan Kapasitas Organisasi untuk Penguatan Kapasitas Warga Program Mencari Model Mekanisme Komplain di Daerah Program Supporting Advocacy Programs for Gender Responsive Local Budget Program The Manual for Gender Budget Advocacy Program Asistensi Teknis Advokasi Gender Budget (Kasus: Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan) Jumlah Perubahan Aktiva Bersih Aktiva Bersih Awal Tahun (Tidak diaudit) Aktiva Bersih Akhir Tahun

333.225.000,00 468.406.300,00 157.477.000,00 580.077.500,00 896.256.146,00 6.647.293,00 2.442.089.239,00

4.794.820,00

19.967.250,00 131.391.434,00

469.771.360,00 148.467.900,00

278.096.940,00 107.180.770,00

35.316.085,00 1.194.986.559,00 1.247.102.680,00 301.600.972,00 1.548.703.652,00

60

LAPORAN TAHUNAN PATTIRO 2005-2006 PATTIRO 2005/2006

You might also like