You are on page 1of 14

KASUS MALPRAKTEK PADA KAMAR OPERASI

Pembimbing: dr. Wawan M., SpBS Penyusun:

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Rumah Sakit Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa Jakarta 2012

PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure (SOP), kode etik profesi, serta undangundang yang berlaku baik disengaja maupun akibat kelalaian Kelalaian ini bukanlah suatu pelanggaran hukum, jika kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang lain dan orang tersebut dapat menerimanya. Akan tetapi,jika kelalaian tersebut mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka hal ini bisa dikatakan malpraktek. Definisi malpraktek medis adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956) Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan risiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).

PEMBAHASAN

1.Kronologis Kasus Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy). Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di ruang perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya. Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasng pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab.

2. Analisis Masalah
1. Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum

Sanksi hukum Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek

dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia. Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhatihati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja. Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana. Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus juta rupiah. Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat

memerintahkan supaya putusannya diumumkan. Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan. Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata), Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Kepastian hukum Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

2. Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)

Jika dilihat dari sudut pandang masing-masing ruang lingkup yang berbeda istilah etika dapat diartikan dalam banyak pengertian. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas, sedangkan moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat. Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakannya, dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia. Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat, pengacara, notaris, atau akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik, dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik. Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat

dikategorikan malpraktik, maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif, dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum profesinya.
3. Ditinjau dari Sudut Pandang Agama

Adapun agamaagama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan kematian atau bisa menyebabkan hilangnya nyawa pasien. Di antaranya dapat dilihat bagaimana secara garis besar agama Islam dan Khatolik memandang malpraktek. Menurut pandangan Islam Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul dam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri saya. Dari sini dapat kita katakan bahwa sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang ada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran. Menurut pandangan Katolik Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang malpraktek adalah mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi pertanyaan utama disini adalah sejak

kapan satu individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai individu atau pribadi yang sudah memiliki hak untuk hidup? Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia harus dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a human person). Satu hal yang perlu diketengahkan adalah apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul) atau tidak? Agama katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki jiwa. Pada waktu dilahirkan janin telah menjadi seorang manusia yang telah berhak akan kewajiban moral terhadapnya. Dari uraian singkat diatas kita dapat katakan bahwa, sejak si janin sudah terbentuk, kita sebenarnya sudah tidak punya hak untuk memusnahkannya dan harus membiarkan atau memeliharanya sampai ia tumbuh besar. Terkait dengan kasus yang kami ambil dimana karena suatu kalalaian mengakibatkan satu nyawa menghilang, dapat kita katakan sebagai suatu perampasan hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah tidak punya hak untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu maka setiap kelalaiaan yang mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus bisa ditindaklanjuti baik secara agama ataupun hukum.

Pasal-pasal lain yang terkait dengan kasus tersebut:

1. Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


- Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.

Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.

- Pasal 2 Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. - Pasal 3 Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan; memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

- Pasal 4 Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. - Pasal 5 Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit mempunyai fungsi:

penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis; penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

- Pasal 12

Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga nonkesehatan. Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit. Rumah Sakit harus memiliki data ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan dalam penyelenggaraan Rumah Sakit. Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. - Pasal 13

Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.

Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

- Pasal 32 Setiap pasien mempunyai hak: memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; - Pasal 37

Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 46 Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

2. UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999


- Pasal 4 Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya - Pasal 7 Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan - Pasal 62 Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku

Pada pasal 7 yaitu pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,

pada kasus ini pelaku usaha yaitu tenaga kesehatan, tetapi tenaga kesehatan tidak memberikan informasi yang jelas kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien setelah operasi dan tindakan apa saja yang telah dilakukan pada waktu operasi. Selain itu, sesuai dengan pasal 62, yaitu terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

3. Solusi Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum serta segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini kesalahan pemberian atau pemasangan gas setelah operasi pembedahan tulang di atas maka pencegahan terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan lebih ke arah pembuatan keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari dan juga perlu terus ada pelatihan dan pengenalan akan segala macam alat ataupun obat yang harus dipakai dalam pelaksanaan profesi kedokteran ataupun semua tenaga pelayanan kesehatan agar kesalahan dalam diagnosis atau kesalahan dalam pemberian obat dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan. Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas

dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang kotor dibersihkan dan mereka yang busuk dibuang dari masyarakat profesi. Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu memaksa para profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan suasana dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum dank ode etik yang berlaku.

4. Kesimpulan Malpraktek dalam bidang orthopedy adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam tindakan pembedahan khususnya pembedahan pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien yang pada awalnya hanya mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas setelah operasi. Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien. Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya. Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang maka perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah

sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.

5. Saran Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis serta siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang bergerak di bidang kesehatan, hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam tindakan pelanggaran ataupun kelalaian dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.

You might also like