You are on page 1of 13

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi
Ternak sapi secara zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum
Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae,
genus Bos, dan spesies Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi bergumba), dan
Bos sondaicus (Blakely dan Bade, 1998). Spesies Bos taurus memiliki keunggulan
pada tingkat pertumbuhan dan produksi yang tinggi, sedangkan spesies Bos indicus
lebih unggul dalam hal adaptasinya (resisten pada kondisi lingkungan yang kurang
baik) (Gorbani et al., 2009), namun Bos indicus memiliki kelemahan yaitu
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai dewasa kelamin dengan
periode kebuntingan yang lebih panjang (Parakkasi, 1999). Pengelompokan sapi juga
dapat didasarkan pada tujuan produksinya, yaitu tipe sapi perah, tipe sapi pedaging,
dan tipe campuran.
Sapi Perah
Bangsa sapi perah yang terdapat di dunia pada dasarnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kelompok sapi perah sub-tropis dan kelompok sapi perah tropis.
Menurut Ensminger dan Tyler (2006), bangsa-bangsa sapi perah subtropis, yaitu
Friesian Holstein, Yersey, Guernsey, Ayrshire, dan Brown Swiss. Bangsa-bangsa sapi
perah tropis, yaitu Red Sindi, Sahiwal, dan PFH (Peranakan Fries Holland). Sapi
Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia, baik
negara subtropis maupun tropis.
Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius
yang tidak berpunuk dan ditemukan di provinsi North Holland dan West Friesland,
Belanda (Schmidt dan Vleck, 1974). Sapi FH memiliki ciri-ciri berwarna belang
hitam putih, pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk persegi, warna bulu
pada bagian bawah kaki dan ekor berwarna putih, memiliki sifat jinak, tenang,
mudah dikendalikan, tidak tahan panas dan dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan (French, 1996). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki
tingkat produksi susu tertinggi dengan kadar lemak terendah dibandingkan sapi perah
lainnya (Blakely dan Bade, 1998). Produksi susu sapi FH di daerah tropis dapat
4

mencapai 4500-5500 liter per laktasi. Berat badan sapi FH jantan dapat mencapai
1000 kg dan sapi FH betina 650 kg (Chandra et al., 2009).
Peternakan sapi perah dapat dijadikan sumber penghasil susu yang efisien dan
secara komersial umum ditemukan di negara-negara seperti Australia, Inggris dan
Amerika. Menurut Buckle et al. (2007), seekor sapi perah yang baik akan
menghasilkan sekitar 5000 liter susu per tahun (kira-kira sepuluh kali berat badannya
sendiri). Di Indonesia, rataan produksi susu sapi perah mencapai 3000
kg/ekor/laktasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Sifat produksi susu pada sapi
perah adalah sifat kuantitatif yang dapat dikendalikan oleh banyak gen dan
diwariskan serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Noor, 2000).
Pertumbuhan, reproduksi, dan produktivitas sapi perah dapat dipengaruhi
oleh pakan dan manajemen pemeliharaan. Suhu lingkungan yang optimum untuk
pemeliharaan sapi perah berkisar antara 5-21
o
C, dengan kisaran kelembaban 50-75%
(Ensminger dan Tyler, 2006). Pada tingkat pakan tinggi, sapi Holstein dapat
mencapai pubertas pada umur 262 hari, sedangkan pada tingkat pakan rendah,
pubertas terjadi pada umur 504 hari atau lebih (Tomaszewska et al., 1991). Sifat
reproduksi pada peternakan sapi perah rakyat di Indonesia, seperti pada sapi FH
menunjukkan umur pertama beranak adalah 3,5 tahun (3-4 tahun), masa kering 45-60
hari, masa kosong 60 hari, calving interval 15-16 bulan, dan service per conception
(S/C) = 2 (Dudi et al., 2006).
Sapi Pedaging
Sapi pedaging memiliki keunggulan dalam menghasilkan karkas berkualitas
dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa bangsa sapi pedaging dari spesies
Bos taurus yaitu sapi Limousin dan Simental. Sapi Limousin memiliki perdagingan
yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi (Phillips, 2001), dengan bobot
badan sapi betina normalnya adalah 600 kg dan bobot sapi jantan mencapai 1000 kg.
Bangsa sapi Simmental memiliki karakter berat sapih dan pertambahan berat badan
pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sapi yang termasuk dalam
spesies Bos indicus, seperti sapi Brahman, memiliki ciri khas yaitu berpunuk di
bagian punggungnya, berambut pendek dan halus, serta sebagian besar berwarna
putih. Spesies Bos indicus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan
panas dan tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 2001).
5

Pemeliharaan sapi potong untuk mempercepat kenaikan bobot badan dapat
dilakukan dengan metode penggemukkan yang terdiri atas sistem penggemukkan
ekstensif (pasture fattening) dan sistem penggemukkan intensif (dry lot fattening).
Sapi yang digemukkan secara intensif memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi
daripada sapi dipelihara pada sistem ekstensif, sehingga waktu yang diperlukan
untuk mencapai bobot tertentu menjadi lebih singkat. Sistem pemeliharaan yang
bervariasi menyebabkan tingginya keragaman pada respon pertumbuhan sapi
(Parakkasi, 1999).
Hormon Pertumbuhan
Menurut Lawrence dan Fowler (2002), pertumbuhan merupakan suatu proses
deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah sel pada
tingkat dan titik yang berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan
dikarakterisasikan oleh peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) dan
peningkatan ukuran sel (hypertrophy). Pertumbuhan ternak dapat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan dan faktor genetik, ataupun interaksi keduanya. Salah satu faktor
genetik yang berperan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH (growth
hormone) atau lebih dikenal dengan gen hormon pertumbuhan.
Hormon pertumbuhan (growth hormone) merupakan hormon peptida yang
secara alami dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic
yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan (Reis et al., 2001). Hormon
pertumbuhan adalah salah satu faktor yang paling penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan sel hewan (Pierzchala et al., 2004). Hormon pertumbuhan pada
ruminansia diketahui bertanggung jawab untuk galactopoiesis dan persistensi laktasi
(Svennersten-Sjaunja dan Olsson, 2005), sehingga sapi perah yang dipilih untuk
produksi susu tinggi diharapkan dapat melepaskan sejumlah besar GH endogen dari
rata-ratanya.
Gen Hormon Pertumbuhan
Gen merupakan bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang
ditranskripsi ke dalam mRNA yang akan ditranslasi menjadi protein (Brown, 1999;
Muladno, 2002). Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein
disebut daerah penyandi atau coding sequence (CDS) dan terdapat pula bagian
6

segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang
mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena
adanya ekson (pengkode protein) dan intron (space internal antara pengkode protein).
Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi
berjalan baik (Brown, 1999).
Bovine Growth Hormone (bGH) merupakan sebuah peptida tunggal dengan
berat molekul 22 KDa dan disusun oleh 191 asam amino (Wallis, 1973) dengan
panjang sekuen nukleotida 2856 pb (Gordon et al., 1983). Gen hormon pertumbuhan
sapi Bos taurus (bovine growth hormone gene) terdiri dari lima ekson dan dipisahkan
oleh empat intron (Gordon et al., 1983) dan terletak pada kromosom 19 (Hediger et
al., 1990). Rekonstruksi struktur gen GH dapat digambarkan berdasarkan sekuens
gen GH di GenBank (nomor akses : M57764) (Gambar 1).

Kodon awal ATG Kodon akhir TAG

5 3
Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5
Flanking Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Flanking
Region 5 Region 3

Keterangan :
Lokus = BOVGH
Panjang = 2856 pb
Gen = 649-723, 971-1131, 1359-1475, 1703-1864, 2138-2439
Sekuen depan = 648 = 648 pb
Ekson 1 = 649-723 = 75 pb Intron 1 = 724-970 = 247 pb
Ekson 2 = 971-1131 = 161 pb Intron 2 = 1132-1358 = 227 pb
Ekson 3 = 1359-1475 = 117 pb Intron 3 = 1476-1702 = 227 pb
Ekson 4 = 1703-1864 = 162 pb Intron 4 = 1865-2137 = 273 pb
Ekson 5 = 2138-2439 = 302 pb Sekuen ujung = 2440-2856 = 417 pb
Gambar 1. Rekonstruksi Struktur Gen GH
Sumber : Gordon et al. (1983)
Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas,
dan respon imun (Ge et al., 2003). Gen GH menjadi hal penting dalam mengatur
sifat-sifat pada ternak yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga Beauchemin et al.
(2006) menyatakan bahwa gen GH dapat dijadikan kandidat gen dalam program
Coding Sequence (CDS)
7

Marker Asissted Selection pada sapi. Gen GH juga berperan sebagai pengatur utama
pada pertumbuhan pasca kelahiran, perkembangan jaringan, otot, tulang, dan
jaringan adiposa, pertumbuhan kelenjar mamary, laktasi, reproduksi, serta
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dalam tubuh (Akers, 2006). Gen GH
membutuhkan receptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan. Menurut
Zhou dan Jiang (2005), pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari gen GH dimediasi
oleh gen GHR.
Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP)
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul
DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan bantuan
enzim polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin
thermocycler (Muladno, 2002). RFLP adalah profil DNA berupa fragmen-fragmen
DNA hasil pemotongan enzim endonuklease untuk berbagai individu. Enzim
endonuklease atau enzim restruksi (RE) yang mengenali situs pemotongan empat dan
enam basa umum dipakai untuk analisis keragaman genetik menggunakan
pendekatan analisis RFLP (Green, 1998). Penciri molekuler DNA restriction
fragment length polymorphism (RFLP) memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi
dan secara luas telah digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi genetik dan
juga untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode sifat-sifat penting (Montaldo &
Herrera, 1998). Analisis RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman
gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu
(Sumantri et al., 2004) dan kualitas karkas (Beauchemin et al., 2006)
Menurut Vasconcellos et al. (2003), teknik PCR-RFLP telah digunakan
secara luas untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik
pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) maupun pada daerah yang tidak
penyandi atau daerah non-coding pada genom. Tingkat polimorfisme dan mutasi
yang tinggi di daerah non-coding diduga dapat mempengaruhi ekspresi gen secara
tidak langsung (Funk, 2001).
8

Keragaman Genetik
Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan
melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus,
serta menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu
spesies (Hartl dan Clark, 1997). Keragaman genetik antara subpopulasi dapat
diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel dan genotipe di
antara subpopulasi (Li et al., 2000). Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki
frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 (Nei, 1987). Hukum Hardy-
Weinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan
selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic
drift; selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi
genotipe (Noor, 2008). Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam populasi
secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi,
yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu
heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 2000).
Pendugaan nilai heterosigositas diperoleh untuk mendapatkan keragaman
genetik dalam populasi yang dapat digunakan untuk membantu program seleksi pada
ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya
(Marson et al., 2005). Menurut Javanmard et al. (2005), nilai heterozigositas di
bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi dan
jika nilai Ho lebih rendah dari He maka dapat mengindikasikan adanya proses seleksi
yang intensif (Machado et al., 2003; Tambasco et al., 2003). Avise (1994)
menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya
hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring dengan menurunnya derajat
heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi populasi, sebagian besar alel
resesif yang bersifat lethal semakin meningkat frekuensinya.
Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan
Variasi DNA pada lokus gen hormon pertumbuhan banyak dipelajari akhir-
akhir ini, dengan kemajuan teknik molekuler, sehingga variasi gen hormon
pertumbuhan dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Polimorfisme gen GH
ekson IV dan intron 3 dengan situs restriksi menggunakan enzim AluI dan MspI telah
9

dilaporkan sebelumnya pada sapi Nadji (Rastegari et al., 2010); serta sapi South
Anatolian dan East Anatolian Red (Yardibi et al., 2009).
Identifikasi mutasi pada hormon pertumbuhan dapat diseleksi pada tingkat
DNA (Khatami et al., 2005). Cowan et al. (1989) mendeteksi keragaman lokus gen
menggunakan enzim restriksi MspI dan berdasarkan data PCR-RFLP telah diketahui
bahwa gen GH memiliki keragaman yang tinggi akibat adanya mutasi. Mutasi dapat
terjadi pada level DNA akibat adanya perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T =
Timin, G = Guanin, S = Sitosin) dalam bentuk (tipe) substitusi (transisi atau
transversi), delesi, insersi dan inversi (Nei, 1987). Situs pemotongan enzim restriksi
MspI berubah akibat adanya mutasi transisi dari basa C menjadi basa T (Yao et al.,
1996). Mutasi transisi dapat terjadi akibat adanya substitusi antara basa Adenin
dengan Guanin (Purin) atau antara basa Sitosin dengan Timin (Pirimidin) (Paolella,
1997).
Keragaman gen GH|MspI terletak pada intron 3 dari gen hormon
pertumbuhan pada posisi sekuen 1547 (Zhang et al., 1993) dan panjang fragmen gen
GH|MspI berdasarkan hasil yang diperoleh Zhou et al. (2005), yaitu 329 pb.
Keragaman gen GH|MspI telah dilaporkan pada berbagai ternak seperti sapi Holstein
Beijing yang menunjukkan adanya tiga genotipe, yaitu GH|MspI (+/+) (224 pb, 105
pb), GH|MspI (+/-) (329 pb, 224 pb, 105 pb), dan GH|MspI (-/-) (329 pb).
Keragaman gen GH pada sifat produksi susu menunjukkan bahwa sapi bergenotipe
GH|MspI (+/+) memiliki tingkat produksi susu dan protein susu yang lebih tinggi
serta persentase lemak lebih sedikit dibandingkan sapi bergenotipe GH|MspI (+/-),
dengan frekuensi alel rata-rata sebesar 0,875 untuk alel GH|MspI (+) (Zhou et al.,
2005). Menurut Thomas et al. (2006), fragmen GH|MspI pada sapi Brangus
bergenotipe GH|MspI (+/-) (heterozigot) memiliki pengaruh positif terhadap
pertambahan bobot badan harian dan karkas; selain itu, genotip GH|MspI (+/+) dan
GH|MspI (+/-) fragmen GH|MspI berpengaruh positif pada sifat bobot badan dan
kualitas daging (Unanian et al., 2000).


MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak,
Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus sampai dengan Nopember 2010.
Materi
Sampel
Sampel yang digunakan sebanyak 126 ekor sapi meliputi 89 ekor sapi
Friesian Holstein dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta 37
ekor sapi pedaging (Simental, Limousin, Angus, dan Brahman) dari BET Cipelang
sebagai pembanding (Tabel 1). Sampel-sampel tersebut berupa sampel darah yang
merupakan koleksi Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan
Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan
No. Bangsa Sapi Jenis
Kelamin
Tipe Sapi Lokasi Jumlah
(Ekor)
1 FH Sapi Perah BIB Lembang 17
2 FH Sapi Perah BBIB Singosari 32
3 FH Sapi Perah BET Cipelang 40
Subtotal 89
4 Simental Sapi Pedaging BET Cipelang 13
5 Limousin Sapi Pedaging BET Cipelang 14
6 Angus Sapi Pedaging BET Cipelang 5
7 Brahman Sapi Pedaging BET Cipelang 5
Subtotal 37
Total Keseluruhan Sampel 126
Keterangan : = jantan dan = betina
Penanganan dan Pengambilan Sampel
Bahan-bahan yang digunakan adalah ethanol absolute. Alat-alat yang
digunakan, yaitu jarum vennoject dan tabung vaccutainer tanpa heparin.
11

Ekstraksi DNA
Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah sampel darah
200l, EDTA (Ethylinediamine tetraacetic), destilation water, 40 l SDS 10%
(Sodium Dodecyl Sulfat), 10 l enzim Proteinase K 5 mg/ml, 400 l phenol, 400 l
CIAA, 800 l etanol absolute, etanol 70%, 40 l NaCl 5M, 1 x STE (5 M NaCl. 2 M
Tris HCL, 0,2 M EDTA), Elution Buffer, dan 100 l TE 80% (Tris EDTA).
Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip,
vortexmixer, autoclave, mikrosentrifuge, rotary mixer, inkubator, refrigerator, dan
freezer.
Primer
Primer yang digunakan dalam penelitian fragmen gen GH|MspI berdasarkan
sumber Mitra et al. (1995), adalah forward : 5 CCC ACG GGC AAG AAT GAG
GC, dan reverse 5 TGA GGA ACT GCA GGG GCC CA.
Amplifikasi Gen GH|MspI
Bahan yang digunakan dalam analisa PCR-RFLP (Polymerase Chain
Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) adalah sampel DNA,
destilated water, 10x buffer PCR, MgCl
2
, pasangan primer fragmen gen GH|MspI,
enzim Taq DNA polymerase, dNTP (deoxy Nukleotida Triposfat), dan enzim
restriksi MspI serta buffernya. Alat yang digunakan adalah satu set pipet mikro,
sentrifuge, mesin thermocycler, rak dan tabung eppendorf, tip pipet, dan vortex.
Elektoforesis dan Genotyping (Penentuan Genotipe)
Bahan yang digunakan adalah produk PCR, agarose, loading dye, marker
100 pb, TBE 1x (1 M Tris; 0,9 M Asam Borat; 0,01 M EDTA pH 8,0), dan ethidium
bromide. Alat yang digunakan adalah tip pipet, mikropipet 10 P Gilson, gelas kimia,
gelas ukur, stirrer, cetakan, power supply electrophoresis, alat foto UV trans
iluminator, dan sarung tangan.
12

Prosedur
Pengambilan Sampel
Sampel darah diambil melalui vena jugularis menggunakan jarum vennoject
dan tabung vaccutainer tanpa heparin. Sampel darah tersebut ditambahkan etanol
absolute dengan perbandingan 1 : 2 dan disimpan pada suhu ruang.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan metode
Sambrook et al. (1989), yang meliputi tahapan :
Preparasi Sampel. Sampel darah 200 l dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml,
kemudian ditambahkan air destilasi 1000 l. Sampel disentrifugasi pada kecepatan
8000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang.
Degradasi Protein. Sampel yang telah bersih dari alkohol ditambahkan 1xSTE
sebanyak 350 l, 40 l SDS 10% dan 10 l proteinase K 5 mg/ml, kemudian
dikocok perlahan dalam inkubasi pada suhu 55 C selama dua jam.
Degradasi Bahan Organik. Larutan yang telah diinkubasi ditambahkan 400 l
phenol, 400 l chloroform isoamyl alcohol (24:1) dan 40 l NaCl, kemudian dikocok
perlahan pada suhu ruang selama 1 jam.
Presipitasi DNA. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit
hingga supernatan yang mengandung DNA terpisah dari larutan fenol. Supernatan
sebanyak 400 l dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 40 l NaCl 5 M dan 800
l etanol absolute, dihomogenkan, kemudian larutan di-freezing over night. Tahapan
selanjutnya, disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, kemudian
bagian supernatan dipisahkan dan ditambahkan 800 l EtOH 70%, dan tahap ini
diulang kembali, kemudian didiamkan dalam keadaan terbuka. Tahap selanjutnya
ditambahkan 100 l TE 80% dan disimpan dalam freezer sampai akan digunakan.
Amplifikasi Gen GH|MspI
Amplifikasi gen GH menggunakan metode PCR. Pereaksi amplifikasi DNA
yang digunakan terdiri dari sampel DNA 1l, destilated water 9,7 l, primer 0,1 l,
Taq polymerase 0,05 l dan buffer 1,25 l, dNTP 0,1 l, dan MgCl
2
0,25 l.
Amplifikasi invitro berlangsung sebanyak 35 siklus menggunakan mesin
13

thermocycler dengan kondisi suhu pradenaturasi 94 C selama 5 menit, denaturasi
94 C selama 45 detik, annealing 62 C selama 45 detik dan extensi 72 C selama 1
menit, dan extensi akhir 72 C selama 5 menit. Produk PCR dielektroforesis
menggunakan agarose 1,5% untuk mengetahui panjang amplifikasi gen GH.
Elektroforesis, Genotyping (Penentuan Genotipe), dan Penentuan Alel
Penentuan genotipe menggunakan pendekatan RFLP dengan menggunakan
produk PCR 5 l yang ditambahkan 1 l destilation water, buffer 0,7 l, dan enzim
MspI 0,3 l, kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 16 jam. Produk
pemotongan DNA tersebut divisualisasikan pada gel agarose 2% dengan buffer 0,5 x
TBE (Tris Borat EDTA) yang diwarnai dengan ethidium bromide, dan dijalankan
menggunakan power supply electrophoresis pada tegangan 100 Volt. Hasil
elektroforesis diamati dengan bantuan sinar UV trans iluminator.
Pita-pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui
panjang fragmennya dan jumlah pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk
menentukan genotipe pita DNA. Penentuan alel GH|MspI (+) dan GH|MspI (-)
ditunjukan dengan jumlah dan ukuran besarnya fragmen yang terpotong berdasarkan
sekuen gen GH (Gordon et al., 1983). Alel GH|MspI (+) memiliki titik potong MspI
(C|CGG) dan menunjukan adanya dua fragmen yang masing-masing panjangnya 103
pb dan 223 pb, sedangkan alel GH|MspI (-) tidak memiliki titik potong dan hanya
menunjukan satu fragmen yang panjangnya 327 pb.
Analisis Data
Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel
Keragaman genotipe masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita yang
ditemukan. Frekuensi genotipe dan frekuensi alel dapat dihitung dengan rumus Nei
dan Kumar (2000). Frekuensi genotipe (x

) dapat diketahui dengan menghitung


perbandingan jumlah genotipe tertentu pada sampel setiap lokasi pengamatan,
dengan rumus sebagai berikut :
x
||
=
n
||
N

14

Frekuensi alel (x

) merupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan


alel pada suatu lokus dalam populasi, dengan rumus sebagai berikut :
x
|
=
2n
||
+ n
|j
2N

Keterangan :
x

= frekuensi genotipe ke-ii


x

= frekuensi alel ke-i


n
ii
= jumlah individu bergenotipe ii
n
ij
= jumlah individu bergenotipe ij
N = jumlah individu sampel
Keseimbangan Hardy-Weinberg
Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan Chi-
Kuadrat (Hartl dan Clark, 1997) :
X
2
=
(D -E)
2
F

Keterangan :
X
2
= uji Chi-kuadrat
O = jumlah pengamatan genotipe ke-i
E = jumlah harapan genotipe ke-i
Heterozigositas
Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas
pengamatan yang diperoleh dari masing-masing lokasi, dengan menggunakan rumus
Weir (1996) sebagai berikut :
Hu =
n
t|
N
t = |

Keterangan :
Ho = heterozigositas pengamatan
n
ij
= jumlah individu heterozigot
N = jumlah individu yang diamati
Heterozigositas harapan (He) berdasarkan frekuensi alel dihitung
menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :
15

He = 1 - x
|
2
q
|=1

Keterangan :
He = nilai heterozigositas harapan
x

= frekuensi alel
q = jumlah alel

You might also like