You are on page 1of 13

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK Tesis, Januari 2012 Rika Sri Wahyuni

PENGARUH ISOFLAVON KEDELAI TERHADAP KADAR HORMON TESTOSTERON BERAT TESTIS DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS dan SPERMATOGENESIS TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) ABSTRAK Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang ditemukan kasus infertil baik pria maupun wanita sekitar 80% dari 400 juta pasangan. Saat ini, angka infertil meningkat mencapai 15%-20% dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia. Kelainan pada pria memberi kontribusi 30% dan 20% disebabkan kelainan kedua belah pihak pasangan. Masyarakat, khususnya kaum pria, tidak menyadari bahwa makanan yang dimakan sehari-hari juga dapat menjadi faktor penyebab infertilitas. Salah satu makanan tersebut adalah kedelai, kedelai mengandung isoflavon yang memiliki sifat estrogen like dan antiandrogenik sehingga dapat menyebabkan infertilitas pada pria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh isoflavon terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus ). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan post test only control group design, terhadap tikus putih jantan dengan berat 150250g. Sampel terdiri dari 25 ekor tikus yang dibagi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Kelompok perlakuan diberikan isoflavon dengan dosis masing-masing 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg dan 5,04mg diberikan peroral selama 48 hari. Kemudian tikus dikorbankan, diambil darah dan testisnya. Dilanjutkan dengan melakukan pengukuran kadar hormone testosterone, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis. Kemudian hasilnya dianalisa dengan menggunakan One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Multiple Comparrison jenis Bonferroni. Hasil penelitian didapat bahwa dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap kadar hormon testosteron dibandingkan kelompok kontrol. Pada berat testis penurunan yang signifikan terlihat pada dosis 3,78mg, pada diameter tubulus seminiferus penurunan signifikan baru terlihat pada dosis 5,04mg dibandingkan kelompok kontrol. Terjadi penurunan sel spermatogonium secara signifikan pada dosis 2,52mg, penurunan sel spermatosit yang signifikan terdapat pada dosis 5,04mg, sedangkan pada sel spermatid dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan. Dari hasil ini disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus novergicus). Kata Kunci: Isoflavon Kedelai, Kadar Hormon Testosteron, Berat Testis, Diameter Tubulus Seminiferus, Spermatogenesis

STUDY PROGRAM OF BIOMEDICINE Thesis, January 2012 Rika Sri Wahyuni THE EFFECT OF MONOSODIUM GLUTAMATE GIVEN ON ESTRADIOL AND PROGESTERONE HORMONE LEVEL ON FEMALE WHITE RATTS (Rattus norvegicus) ABSTRACT The countries like America, and Japan, it was found that the cases of infertile men and women were about 80% from 400 million couples. Today, many experts ensure that the rate number of infertility increases 15% -20% of approximately 50 million couples in Indonesia. The abnormalities also happen to men contributed 30% and 20% due to the abnormalities of both couples. Society, especially men, do not realize that the foods daily consumed are also one of the infertility factors. One of these foods are soybeans, soybean contains isoflavone with estrogen-like and antiandogenik, which can cause mens infertility. This study aims at finding out the effect of soybean isoflavone on testosterone hormone level with testis weight of diameter of seminiferous tubules and spermatogenesis in male white rats (Rattus norvegicus). This research approach is post test only control group design, treated to the male white rats weighing 150-250g. The sample consisted of 25 rats, which were divided into 5 groups: control group (K), treatment group of P1, P2, P3 and P4. The treatment groups were orally given a dose of isoflavones for each, 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg and 5,04mg for 48 days. After 48 days of treatment the rats were sacrificed, their blood and testes were taken. Then, the results were analyzed by using One Way ANOVA and continued by multiple comparison test typed Benferroni. The finding of the study showed a dose of 1.26 mg has shown a significant decline in testosterone levels than the control group. In a significant reduction of testicular weight seen at doses of 3.78 mg, the diameter of seminiferous tubules decreased significantly look at a dosage of 5.04 mg than the control group. A decline in spermatogonial cells was significantly at doses of 2.52 mg, a significant decrease in spermatocyte cells contained in the 5.04 mg dose, whereas at doses of 1.26 mg spermatids cells have shown a significant decline. From the results, it is concluded that there is significant effect of soybean isoflavones on levels of the hormone testosterone with testis weight of diameter of seminiferous tubule and spermatogenic. It is suggested to carry out a further research on the effect of isoflavones on sperm quality of Leydig cells, Sertoli cells, estrogen hormone levels and cholesterol in male rats. Key Words: Soybean Isoflavone, Hormone Levels of Testosterone, Testis Weight, Diameter of Seminiferous Tubules, Spermatogenesis

PENDAHULUAN Infertilitas merupakan masalah yang dialami pria dan wanita diseluruh dunia. Infertilitas adalah pasangan yang menjalani hubungan seksual secara teratur tanpa perlindungan selama 12 bulan dan tidak terjadi kehamilan. Kasus infertilitas sejak beberapa tahun terakhir meningkat (Llewellyn, 2001). Menurut Siswono (2003) dalam Afriani (2010) menyebutkan di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang ditemukan kasus infertil baik pria maupun wanita sekitar 80% dari 400 juta pasangan, dan Kurniawan (2009) menyebutkan berdasarkan survey keseharan rumah tangga

(1996) diperkirakan 3,5 juta pasangan (7 juta orang) mengalami infertil. Saat ini, para ahli memastikan angka infertil meningkat mencapai 15%-20% dari sekitar 50 juta pasangan di Indonesia. Dahulu perhatian terfokus hanya pada pihak wanita saja sebagai penyebab ketidak suburan pasangan. Saat ini diketahui kelainan pada pria memberi kontribusi 30% dan 20% disebabkan kelainan kedua belah pihak pasangan. Oleh sebab itu faktor pria atau suami memegang kontribusi 50% pada pasangan infertil atau dengan kata lain baik suami maupun isteri mempunyai kontribusi yang sama (Trilsky, 2008).

Analisis yang dilaporkan oleh beberapa klinik yang meliputi jumlah pasien yang banyak dalam dua dekade yang lalu adalah faktor laki-laki (produksi sperma cacat, kesulitan inseminasi) 30%-40%, faktor ovulasi 5%-25%, faktor tuba atau uterus 15%-25%, faktor servik/imunologik 5%-10%, tidak dapat dijelaskan setelah investigasi 10%-25% (Llewellyn, 2001). Hasil penelitian terkini menjelaskan bahwa adanya kemungkinan efek yang merugikan dari toksin lingkungan, seperti dari tumbuhan terhadap fungsi reproduksi (Brandell, 2000). Masyarakat, khususnya kaum pria, tidak menyadari bahwa makanan yang dimakan seharihari juga dapat menjadi faktor penyebab infertilitas. Di Indonesia, kedelai merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung. Hasil penelitian yang dilakukan Muchtadi menyimpulkan bahwa produk olahan kedelai yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk golongan menengah dan bawah adalah tahu dan tempe. Selain itu, kedelai juga mengandung isoflavon, yang merupakan salah satu senyawa fitokimia (Muchtadi, 2010) Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2-4 mg/g kedelai. Senyawa isoflavon tersebut pada umumnya berupa senyawa kompleks atau konjugasi dengan senyawa ikatan glukosa.Selama proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses hidrolisa, sehingga dapat diperoleh senyawa senyawa isoflavon bebas yang disebut aglikon (Prawiroharsono, 1998) Isoflavon memiliki kemiripan struktur kimia dengan estrogen pada mamalia. Cincin fenolat pada isoflavon merupakan struktur penting pada kebanyakan komponen isoflavon yang berfungsi untuk berikatan dengan reseptor estrogen. Isoflavon mampu berikatan dengan Reseptor Estrogen (RE), dengan sifatnya yang agonis ataupun antagonis. Isoflavon sebagai senyawa estrogen like, mengawali kerjanya dengan cara meniru cara kerja estrogen (Winarsi, 2005). Isoflavon dapat berikatan dengan receptor estrogen di hipofisis anterior untuk menstimulus pengeluran Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) sesuai dengan poros hipotalamus-hipofisis-tetis. Hipotalamus mensintesis Gonadotropin-Releasing Hormon (GnRH), dan mensekresinya ke dalam portal hipotalamus-hipofisis. Setelah mencapai hipofisis anterior GnRH merangsang pelepasan LH maupun FSH. LH diambil oleh sel-sel leydig yang berikatan pada reseptor spesifik membran dan menyebabkan sekresi androgen. Sebaliknya,

peningkatan kadar androgen akan menghambat sekresi LH dari hipofisis anteriror melalui suatu efek langsung pada hipofisis dan suatu efek penghambat pada tingkatan hipotalamus. Baik hipotalamus maupun hipofisis memiliki reseptor androgen dan estrogen. Namun demikian, efek inhibisi utama androgen terhadap hipotalamus tampaknya terutama diperantarai oleh estradiol yang dapat dihasilkan lokal dari aromatisasi testosteron. Sedangkan FSH terikat reseptor spesifik pada sel-sel sertoli ditubulus seminiferus dan merangsang pembentukan Androgen Binding Protein (ABP). FSH penting untuk mengawali spermatogenesis, namun pematangan spermatozoa tidak hanya memerlukan efek FSH saja, tetapi juga efek testosteron. Kerja utama FSH pada spermatogenesis mungkin terjadi melalui stimulasi pembentukan ABP, yang memungkinkan kadar testosteron intratubular yang tetap tinggi (Greenspan, 1998) Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah adanya penurunan kadar testosteron yang menyebabkan penurunan kualitas spermatozoa yang diperoleh dari hasil penelitian yang dikutip dari penelitian Weber dalam Karahalil (2006) menyimpulkan bahwa kadar testosteron dan androestenidion, serta berat prostat pada tikus jantan dewasa Sprague-Dawley yang diberi diet kaya fitoestrogen dalam jangka pendek menurun secara signifikan. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa pemberian tepung kedelai sebagai sumber fitoestrogen kepada kelinci (dosis 246 dan 490 mg/kg bb) berpengaruh menurunkan aspek reproduksi khususnya kualitas spermatozoa, spermatogenesis dan luas jaringan interstisial (Kuntana, 2009) Mitchel (2001) menyebutkan bahwa konsumsi isoflavon pada pria umur 18-46 tahun dengan dosis 40-70 mg/hari dilaporkan tidak akan mempengaruhi kualitas spermatozoa, sedangkan Astuti (1999) menyatakan pada pemberian genistein (salah satu bentuk isolate isoflavon murni) melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat badan/hari dilaporkan menyebabkan perubahan pada berat testis, serta berkurangnya volume lumen pada tubuli seminiferus dan terganggunya spermatogenesis (Astuti, 2009) Akhir-akhir ini, senyawa fitoestrogen banyak menarik perhatian masyarakat, khususnya dalam dunia medis, karena banyaknya laporan dari beberapa peneliti bahwa konsumsi makanan berbasis tanaman kaya fitoestrogen sangat bermanfaat untuk kesehatan (Winarsi, 2005). Namun karena ia juga bersifat estrogen like peneliti bermaksud untuk melihat pengaruh isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus

seminiferus dan spermatogenesis pada tikus jantan karena kedelai dan produknya mengandung isoflavon dan banyak dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat.

2. 3.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian experimental, dengan rancangan penelitian posttest only control group design yaitu rancangan yang digunakan untuk mengukur pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen dengan cara membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok kontrol (Daniel, 1999) Populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih betina (Rattus novergicus) yang terdapat pada Unit Pemeliharaan hewan percobaan (UPHP), dengan pertimbangan tikus adalah mamalia coba atau sering disebut dengan hewan laboratorium. Hewan laboratorium tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian sebelum diperlakukan pada manusia. Tahap Persiapan Pada awal penelitian, tikus dikondisikan secara seksama untuk mendapatkan berat badan dan kriteria inklusi yang sesuai. Sebelum dilakukan intervensi, tikus pada tiap kelompok diadaptasikan terlebih dahulu selama 1minggu. Setelah itu, tikus dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol negatif, dan 4 kelompok perlakuan, yang dikandangkan secara terpisah. Tiap kelompok diberi perlakuan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan sebelumnya dan isoflavon yang telah dilarutkan diberikan dengan dosis 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg dan 5,04mg per 200gr berat badan tikus secara oral selama 48 hari, kemudian pembedahan dan pengambilan sampel darah dan testis tikus untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut Tahap Pelaksanaan 1. Memberikan perlakuan dengan cara memberikan larutan isoflavon pada masing masing kelompok perlakuan secara berulang dengan dosis 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg dan 5,04 mg selama 48 hari (selama satu tahap spermatogenesis tikus). 2. Setelah hari ke-48 disiapkan untuk dilakukan pembedahan :

4.

5.

kehilangan kesadarannya lalu dikeluarkan dan dapat mulai dibedah. Darah diambil dari vena cava inferior, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur Gelas ukur yang berisikan darah diletakkan di rak tes tube dan diamkan selama kurang lebih 10 menit Setelah dilakukan sentrifus 3000 RPM selama 15 menit untuk memisahkan serum darah Serum darah kemudian dipisahkan ke gelas ukur yang baru dan selanjutnya dilakukan pengukuran kadar hormone dengan metode ELISA

Berat Testis : 1. Pengambilan organ testis dilakukan dengan membuka kulit tubuh di daerah testis dengan posisi telentang. 2. Organ testis diambil dengan cara memotong bagian epididimis 3. Testis dibersihkan dari jaringan ikat dan lemak serta pembungkusnya 4. Kemudian testis ditimbang dengan timbangan elektronik kemudian dimasukan kedalam cairan fiksatif dan dilabelisasi Diameter Tubulus Spermatogenesis Seminiferus dan

Pembuatan preparat histologi dilakukan dengan metode parafin dan matoksilin - Eosin. Diameter Tubulus Seminiferus Pengukuran diameter tubulus seminiferus dilakukan dengan menggunakan alat micrometer yaitu dengan mengukur jarak terdekat antara 2 titik berseberangan pada garis tengahnya.yang terpendek dan mengukur jarak terjauh antara titik yang berseberangan, kemudian dibagi dua. Kedua titik tersebut berada pada batas antara membrana basalis dan sel spermatogenik..Tiap masing masing preparat diukur miminal 10 tubulus Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan mikro meter (m) (Sarno,2000). Spermatogenesis Pemeriksaan dilakukan pada tubulus seminiferus dengan pengamatan mikroskop elektrik pada pembesaran 400x dan diamati dalam 5 lapangan pandang (mulai dari kiri atas bergeser ke kanan atas, bergeser ke tengah, bergeser ke kiri bawah dan bergeser ke kanan bawah pada setiap preparat dari testis kiri dan kanan kemudian dirata-ratakan. 1. Jumlah sel spermatogonium : jumlah sel dengan bentuk bulat, dekat membran basal, inti berbentuk lonjong dengan kromatin

Kadar Hormon Testosteron : 1. Sebelum pembedahan hewan, dilakukan pembiusan dengan cara meletakkan obat pada dasar stoples, kemudian hewan dimasukkan dan wadah ditutup. Apabila hewan sudah

2.

3.

haslus dan selaput inti tipis yang diamati dan dhitung dibawah mikroskop Jumlah sel spermatosit : jumlah sel berbentuk bulat, besar, inti gelap dengan kromosom terlihat jelas yang diamati dan dihitung dibawah mikroskop Jumlah sel spermatid : jumlah sel berbentuk bulat, lebih kecil dari spermatosit, inti bulat, pucat dan terang yang diamati dan dihitung dibawah mikroskop

pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron Tabel 5.2. Hasil Uji ANOVA Kadar Hormon Testosteron (ng/ml) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Rata-rata (ng/ml) 6,51 4,14 3,20 2,95 2,73 SD 0,49 0,42 0,31 0,12 0,36 p 0,001

HASIL Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, Laboratorium Biomedik dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang pada bulan Agustus-November 2011. Penelitian ini terdiri atas 5 kelompok dengan pemberian dosis isoflavon yang bervariasi pada masingmasing kelompok tikus putih jantan. Minimal berat badan tikus yang digunakan adalah 191gram dan maksimal 200gram. Rata-rata berat badan tikus yang digunaan pada masing-masing kelompok, baik kelompok kontrol, kelompok P1, P2, P3 dan P4 adalah 195gram dan rata-rata pemberian isoflavon pada masing-masing kelompok (P1, P2, P3 dan P4) adalah 1,97cc dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Pada P1 pemberian 1,97cc setara dengan 1,26mg isoflavon, P2 pemberian 1,97cc setara dengan 2,56mg, P3 pemberian 1,97cc setara dengan 3,78mg dan P4 pemberian 1,97cc setara dengan 5,04 mg. Hasil penelitian pengaruh isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus novergicus) dapat dilihat pada tabel-tabel berikut: 5.1. Kadar Hormon Testosteron Tabel 5.1. Uji Normalitas KolmogorovSmirnov Kadar Hormon Testosteron (ng/ml) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Kadar Hormon Testosteron (ngr/ml) Mean 3,91 SD 1,46 p 0,13 Dari tabel 5.1 terlihat bahwa data kadar hormon testosteron terdistribusi normal (p>0.05) dengan rata-rata 3,91ng/ml dan standar deviasi 1,46ng/ml. Kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh

Kelompok Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4

Tabel 5.2 menunjukkan adanya penurunan rata-rata kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi isoflavon (kontrol) pada tikus putih jantan (Rattus novergicus). Ratarata kadar hormon testosteron pada kelompok kontrol adalah 6,51ng/ml, P1 4,14ng/ml, P2 3,20ng/ml, P3 2,95ng/ml dan P4 2,73ng/ml. Dari hasil uji ANOVA diperoleh p value sebesar 0.001 (p<0.05) yang berarti ada pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron. Untuk melihat signifikasi antar kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Bonferroni
7.00

Mean of Kadar Hormon testosteron

6.00

a a \ a a

5.00

a
4.00

3.00

b b

2.00 Kontrol P1 P2 P3 P4

Kelompok Perlakuan

Keteranngan : a = p<0.05 b = p0.05

Grafik 5.1.

Hasil Uji Multiple Comparisons Bonferroni Kadar Hormon Testosteron (ng/ml) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan grafik 5.1 diketahui bahwa antara kontrol dengan kelompok P1, kontrol dengan kelompok P2, kontrol dengan kelompok P3,

Dari kelompok kelompok kelompok

kelompok kontrol dengan kelompok P4 dan antara kelompok P1 dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4 menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05), sedangkan antara kelompok P2 dengan kelompok P3, kelompok P2 dengan kelompok P4 dan antara kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0.05) 5.2. Berat testis Tabel 5.3. Uji Normalitas KolmogorovSmirnov Berat Testis (g) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Berat Testis (g) Mean SD p 1,14 0,10 0,99

1.30

1.25

a a

Mean of Berat testis

1.20

b
1.15

b b b a

1.10

1.05

1.00 Kontrol P1 P2 P3 P4

Kelompok Perlakuan

Keteranngan : a = p<0.05 b = p0.05

Grafik 5.2.

Hasil Uji Multiple Comparisons Bonferroni Berat Testis (g) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang telah diberi Isoflavon

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa data berat testis terdistribusi normal (p>0.05) dengan rata-rata 1,14g dan standar deviasi 0,10g. Kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap berat testis Tabel 5.4. Hasil Uji ANOVA Berat Testis (g) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Rata-rata (g) 1,26 1,19 1,13 1,09 1,03 SD 0,08 0,09 0,05 0,03 0,08 p 0,001

Kelompok perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4

Dari grafik 5.2 dapat dilihat tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok P1, kelompok kontrol dengan P2, tetapi terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok P3, kelompok kontrol dengan kelompok P4. Antara kelompok P1 dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan kelompok P3 tidak terdapat perbedaan yang bermakna tetap antara kelompok P1 dengan kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna. Antara kelompok P2 dengan kelompok P3, kelompok P2 dengan kelompok P4, dan antara kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0.05). 5.3. Diamter Tubulus Seminiferus Tabel 5.5. Uji Normalitas KolmogorovSmirnov Diameter Tubulus Seminiferus (m) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Diameter Tubulus Seminiferus (m) Mean 130 SD 10,10 p 0,70 Tabel 5.5 menunjukkan bahwa data diameter tubulus seminiferus terdistribusi normal (p>0.05) dengan rata-rata 130m dan standar deviasi 10,10 m. Kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap diameter tubulus seminiferus

Dari tabel 5.4 dapat dilihat adanya penurunan rata-rata berat testis pada kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi isoflavon (kontrol). Rata-rata berat testis pada kelompok kontrol 1,26g, P1 1,19g, P2 1,13g, P3 1,09g dan P4 1,03g. Dari hasil uji ANOVA diperoleh p value sebesar 0.001 (p<0.05) yang menunjukkan ada pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap berat testis. Untuk melihat signifikasi antar kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Bonferroni

Tabel 5.6.

Hasil Uji ANOVA Diameter Tubulus Seminiferus (m) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) setelah pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Rata-rata (m) 140 134 128 126 122 SD 14,13 8,96 5,53 5,83 5,83 p 0,037

kelompok P2 dengan P4 dan antara kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0.05) 5.4. Spermatogenesis Tabel 5.7. Uji Normalitas KolmogorovSmirnov Sel Spermatogenik (sel) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan Spermatogenesis Spermatogo Spermato nium sit (sel) (sel) 14 39 4 8 0,59 0,35

Kelompok Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4

Dari tabel 5.6 terlihat adanya penurunan rata-rata diameter tubulus seminiferus pada kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rata-rata diameter tubulus seminiferus kelompok kontrol 140m, P1 134m, P2 128m, P3 126m dan P4 122m. Dari hasil uji ANOVA diperoleh p value sebesar 0,037 (p<0.05) yang menunjukkan ada pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap diameter tubulus seminiferus. Untuk melihat signifikasi antar kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Bonferroni
140.00

Spermatid (sel) 84 16 0,75

Mean SD P

Mean of Diameter Tubulus Seminiferus

b
135.00

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa data spermatogenesis terdistribusi normal, baik pada sel spermatogonium, spermatosit maupun spermatidnya (p>0.05) dengan rata-rata sel spermatogonium 14 sel, sel spermatosit 39 sel dan spermatid 84 sel dan standar deviasi sel seprmatogonium 4 sel, sel spermatosit 8 sel dan sel spermatid 16. Kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap spermatogenesis Tabel 5.8. Hasil Uji ANOVA Jumlah Sel Spermatogenik Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
Sel Spermatogenik Spermatosit Rata-rata p SD 46 10 0,048 42 2 38 8 37 4 32 9 Spermatid Rata-rata p SD 109 8 0,001 91 5 80 5 77 4 68 7

b b

130.00

b
125.00

b b a b

120.00 Kontrol P1 P2 P3 P4

Kelompok Perlakuan

Kelp Perl. K P1 P2 P3 P4

Keteranngan : a = p<0.05 b = p0.05

Grafik 5.3.

Hasil Uji Multiple Comparisons Bonferroni Diameter Tubulus Seminiferus (m) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) setelah Diberi Perlakuan

Spermatogonium Rata-rata p SD 20 4 0,001 17 3 14 2 11 2 10 1

Dari grafik diatas dapat dilihat hanya kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan P4 yang terdapat perbedaan bermakna (p<0.05), sedangan antara kelompok kontrol dengan kelompok P1, kelompok kontrol dengan P2, kelompok kontrol dengan P3, antara kelompok P1 dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4, antara kelompok P2 dengan kelompok P3,

Dari tabel 5.8 dapat dilihat adanya penurunan rata-rata jumlah sel spermatogenik, baik jumlah sel spermatogonium, jumlah sel spermatosit maupun jumlah sel spermatid pada kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari hasil uji ANOVA diperoleh p value secara berurutan untuk sel spermatogonium, spermatosit dan spermatid sebesar 0,001, 0,048 dan 0,001 (p<0.05) yang menunjukkan ada pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap spermatogenesis. Untuk melihat signifikasi antar kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Bonferroni

20

b
18

a a a

16

b
14

a
12

b b a

10 Kontrol P1 P2 P3

b
P4

Kelompok Perlakuan

Keteranngan : a = p<0.05 b = p0.05

Pada grafik 5.5 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok P4 (p<0.05), tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok P1, kelompok kontrol dengan kelompok P2, kelompok kontrol dengan P3, antara kelompok P1 dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4, antara kelompok P2 dengan kelompok P3, kelompok P2 dengan kelompok P4, begitu juga antara kelompok P3 dengan kelompok P4 (p>0.05)
110

Grafik 5.4.

Mean of Spermatogonium

Hasil Uji Multiple Comparisons Bonferroni sel spermatogonium (sel) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) setelah Diberi Perlakuan
Mean of Spermatid

a a
100

a a

90

Grafik 5.4 menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol dengan kelompok P1 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Tetapi antara kelompok kontrol dengan kelompok P2, kelompok kontrol dengan kelompok P3, kelompok kontrol dengan P4 menunjukkan perbedaan yang bermakna. Antara kelompok P1 dengan kelompok P2 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna tetapi antara kelompok P1 dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna. Sedangkan antara kelompok P2 dengan kelompok P3, kelompok P2 dengan kelompok P4 dan antara kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
50

a a

80

b a
70

60 Kontrol P1 P2 P3 P4

Kelompok Perlakuan

Keteranngan : a = p<0.05 b = p0.05

Grafik 5.6.

Hasil Uji Multiple Comparisons Bonferroni Spermatid (sel) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yang telah diberi Isoflavon

45

b b b a

40

b b b b b b

35

30 Kontrol P1 P2 P3 P4

Kelompok Perlakuan

Keteranngan : a = p<0.05 b = p0.05

Grafik 5.5.

Hasil Uji Multiple Comparisons Bonferroni sel spermatosit (sel) Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) setelah Diberi Perlakuan

Grafik 5.6 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok P1, kelompok kontrol dengan kelompok P2, kelompok kontrol dengan kelompok P3 dan kelompok kontrol dengan kelompok P4. Antara kelompok P1 dengan kelompok P2 tidak terdapat perbedaan yang bermakna, tetapi antara kelompok P1 dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna. Antara kelompok P2 dengan kelompok P3 tidak terdpat perbedan yang bermakna tetapi antara kelompok P2 dengan kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna. Antara kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang bermakna

Mean of Spermatosit

DISKUSI 6.1. Kadar Hormon Testosteron Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kadar hormon testosteron mengalami penurunan sesuai dengan makin tinggi dosis isoflavon yang diberikan pada tikus. Setelah dilakukan analisis data dengan uji statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan kadar hormon testosterone yang bermakna (p<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison Bonferroni, didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan perlakuan P1-P4, P1 dengan P3-P4 (P<0.05), antara P1 dengan P2, P2 dengan P3-P4 dan P3 dengan P4 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (P>0.05). Terjadinya penurunan kadar hormon testosteron disebabkan oleh isoflavon yang bersifat estrogen like dan juga bersifat antiandrogenik. Isoflavon mengawali kerjanya dengan cara meniru kerja estrogen, sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang terdapat pada hipofisis anterior. Pada pria, testis juga memproduksi estrogen dalam jumlah yang sedikit tetapi bermakna, tetapi sebagian besar hormon estrogen dihasilkan dari reaksi aromatisasi perifer hormon testosteron dan androstenedion. Hormon ini diduga berperan serta dalam pengaturan FSH sebagai inhibin (Murray, 2003) Secara fisiologis dalam system portal HHT, hipotalamus mensekresikan GnRH untuk menstimulus hipofisis anterior mensekresikan FSH dan LH, namun karena isoflavon yang berikatan dengan reseptor estrogen menyebabkan sekresi FSH menurun begitu juga dengan sekresi LH. Jika sekresi LH terhambat, maka pertumbuhan dan pematangan sel leydig serta kemungkinan jumlah sel leydig berkurang sehingga sekresi hormon testosteron akan berkurang. Hal ini disebabkan karena sel leydig merupakan tempat terjadinya proses steroidogenesis yang menghasilkan tetsosteron, jika jumlah/fungsinya berkurang maka produksinyapun akan berkurang (Hanum, 2010). Selain itu, isoflavon juga menghambat kerja enzim 17--hidroksisterodoksidorektase, yang dibutuhkan untuk sintesis testosteron. Testosteron berasal dari prekursor kolesterol, kolesterol mengandung 27 atom karbon, setelah hidroksilasi dari kolesterol pada atom C dan
20

pemecahan ini di samping adanya enzim 20 hidroksilasi dan 22 hidroksilasi juga adanya peran LH dalam meningkatkan aktivitas enzim (Jacob, 1994). Selanjutnya konversi pregnenolon menjadi testosteron membutuhkan beberapa enzim, yaitu 3-hidroksisteroid dehidrogenase, 17-hidroksilase dan 17-hidroksisteroidoksidorektase (Murray, 2003). Berarti dengan demikian jika LH menurun maka pemecahan rantai samping menjadi bentuk pregnenolon dan asam isocaproat akan terganggu sehingga pregnenolon tidak terbentuk dan selanjutnya testosteronpun tidak terbentuk. Begitu juga dengan gangguan pada enzim 17-hidroksisterodoksidorektase, meskipun pregnenolon terbentuk namun tidak dapat dikonversi menjadi testosteron. 6.2. Berat testis Dari hasil penelitian didapatkan berat testis tikus mengalami penurunan sesuai dengan makin tinggi dosis isoflavon yang diberikan pada tikus. Setelah dilakukan analisis data dengan uji statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan rata-rata berat testis yang bermakna (p<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison Bonferroni, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan perlakuan P1-P2, P1 dengan P2-P3, P2 dengan P3-P4, dan P3 dengan P4 (p>0.05), tetapi menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan P3-P4, P1 dengan P4 (p<0.05) Penurunan rata-rata berat testis diduga disebabkan oleh pemberian isoflavon pada dosis tinggi mengakibatkan terhambatnya perkembangan sel leydig atau berkurangnya jumlah sel leydig yang disebabkan oleh sekresi LH yang terhambat akibat efek anti androgenik dari isoflavon. Dugaan lain penurunan berat testis juga disebabkan oleh menurunnya FSH dan kadar hormon testosteron yang memiliki fungsi penting dalam proses spermatogenesis Spermatogenesis pada dasarnya merupakan proses yang dikendalikan oleh system saraf melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis (HHT), dan dapat berjalan normal jika hubungan atau poros antara hipotalamus-hipofisis-testis yang membentuk system neuro endokrin tersebut berjalan normal. Hormon atau anti hormon yang dapat mengganggu poros HHT pada dasarnya akan mengganggu spermatogenesis (Tadjudin, 1986). Apabila testosteron di dalam sel leydig berkurang maka akan mengakibatkan pembelahan

atom C

22

terjadi pemecahan rantai samping

menjadi bentuk pregnenolon dan asam isocaproat,

10

meiosis terganggu, sehingga pembentukan spermatid dan seterusmya juga akan terganggu. Dugaan ini didukung oleh hasil parameter spermatogenesis pada penelitian ini Penyusutan berat testis telah dilaporkan berhubungan dengan penyusutan dimensi tubuli seminiferi sebagai tempat utama berlangsungnya proses spermatogenesis untuk menghasilkan spermatozoa (Fritz, 2003). Tubulus seminiferus merupakan bagian utama massa testis, yaitu sekitar 80% (Sherwood, 2001). 6.3. Diameter Tubulus Seminiferus Dari hasil penelitian didapatkan diameter tubulus tikus mengalami penurunan sesuai dengan makin tinggi dosis isoflavon yang diberikan pada tikus. Setelah dilakukan analisis data dengan uji statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan diameter tubulus seminiferus yang bermakna (p<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison Bonferroni, didapatkan perbedaan yang signifikan hanya antara kelompok kontrol dengan P4 (p<0.05), tetapi menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara kelompokkelompok lainnya (p>0.05) Tubulus seminiferus merupakan bagian utama dari masa testis (80%) yang merupakan tempat berlangsungnya spermatogenesis. Sel-sel endokrin yang mengeluarkan testosteron (sel leydig) terletak dijaringan ikat antra tubulustubulus seminiferus. Sel leydig mengandung enzim-enzim dengan konsentrasi tinggi yang diperlukan untuk sintesis testosteron. Setelah disekresikan testosteron yang baru disekres diikat oleh ABP yang disekresikan oleh sel sertoli masuk ke lumen tubulus seminiferus untuk proses spermatogenesis (Sherwood, 2001) Penurunan diamter tubulus seminiferus pada penelitian ini diduga karena terhambatnya sekresi LH dihipofisis anterior untuk menstimulus pertumbuhan dan jumlah sel leydig sehingga sekresi testosteron berkurang, dan adanya hambat 17--hidroksisteroidoksidoreduktase pada sel leydig unuk produksi testosteron oleh isoflavon sehingga terjadi penurunan kadar hormon testosteron. Kurangnya hormon testosteron dan FSH inilah diduga menyebabkan atropi atropi tubulus seminiferus. 6.4. Spermatogenesis Aktivitas spermatogenesis tikus putih jantan yang diberi perlakuan isoflavon dengan dosis yang berbeda menunjukkan penurunan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini

dapat diketahu dengan menghitung jumlah anggota sel spermatogenik rata-rata dalam tubulus seminiferus testis, yang merupakan indikator terganggunya spermatogenesis. Setelah dilakukan analisis data dengan uji statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan jumlah sel-sel spermatogenik yang bermakna (p<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison Bonferroni, pada sel spermatogonium didapatkan perbedaan yang signifikan antara kelompok control dengan P2-P4, P1 dengan P3-P4 (P<0.05) tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok control dengan P1, P1 dengan P2, P2 dengan P3-P4 dan P3 dengan P4 (P>0.05), pada sel spermatosit perbedaan yang signifikan terdapat antara control dengan P4 (p<0.05) dan antara kelompok-kelompok lain tidak terdapat perbedaan yang bermakna, sedangkan pada pada sel spermatid perbedaan yang signifikan terlihat antara kelompok kontrol dengan P1-P4, P1 dengan P3-P4, P2 dengan P4 (p<0.05), dan tidak terdapat perbedaan signifikan antara P1 dengan P2, P2 dengan P3 dan P3 dengan P4 (P>0.05) Spermatogenesis adalah suatu proses perkembangan spermatogonia dari epithelium tubuli seminiferi yang mengadakan proliferasi dan selanjutnya berubah menjadi spermatozoa. Pada mamalia, spermatogenesis berlangsung dalam tubulus seminiferus testis dan berlangsung terus secara berkesinambungan sepanjang masa reproduksi (de Kretser dan Kerr, 1997). Testosterone dan FSH memiliki peranan penting dalam proses spermatogenesis. FSH menstimulus sel sertoli untuk mensisntesis ABP yang berfungsi mengikat testosterone yang disekresikan oleh sel leydig untuk dibawa ke lumen tubulus seminiferus yang digunakan dalam proses spermatogenesis. Penurunan pada kadar FSH dan testosterone menyebabkan terganggunya proses spermatogenesis bahkan menyebabkan dapat menyebabkan atropi pada sel-sel spermatogenik. Pernyataan ini didukung oleh Hafez (2000) yang menyatakan bahwa hormon yang terutama berperan dalam sistem reproduksi jantan adalah hormon testosteron. Secara umum hormon ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan spermatogonium, perkembangan spermatosit primer dan sekunder serta diferensiasi spermatid menjadi spermatozoa atau dengan kata lain hormon testosteron berperan utama dalam spermatogenesis. Selain menghambat hipofisis anterior untuk mensekresikan LH, isoflavon juga

11

diketahui dapat menghambat 17-hidroksisteroidoksidoreduktase, enzim yang dibutuhkan dalam sintesis androstenodion menjadi testosteron, sehingga pada defisiensi enzim tersebut mengakibatkan penurunan kadar testosteron (Karahalil, 2006). KESIMPULAN dan SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai pemberian isoflavon terhadap kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus dan spermatogenesis dapat disimpulkan : 1. Terdapat penurunan yang bermakna kadar hormon testosteron tikus putih jantan (Rattus novergicus) pada pemberian isoflavon dosis 1,26mg 2. Terdapat penurunan yang bermakna berat testis tikus putih jantan (Rattus novergicus) pada pemberian isoflavon dosis 3,78mg 3. Terdapat penurunan yang bermakna diameter tubulus seminiferus tikus putih jantan (Rattus novergicus) pada pemberian isoflavon dosis 5,04mg 4. Terdapat penurunan yang bermakna sel spermatogonium tikus putih jantan (Rattus novergicus) pada pemberian isoflavon dosis 2.52mg, penurunan yang bermakna sel spermatosit pada pemberian isoflavon dosis 5,04mg dan penurunan yang bermakna sel spermatid pada pemberian isoflavon dosis 1,26mg Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan diatas maka disarankan untuk peneliti selanjutnya agar melakukan pemeriksaan selanjutnya mengenai sel leydig, sel sertoli, kadar hormon estrogen, FSH, LH, kolesterol serta kualitas spermatozoa

Relationship to adult testis size and Fertility : Evidence for Stimulatory Effects of Low Estrogen levels. The Endocrine Society, 141(10):3898-3905 Bardin, CW, Cheng CY, musto, NA. Gunsalus, GL. 1988, The Sertoli Cell. In E Knobil and, JD. Neill (eds). The psysiology of Reproduction. Vo; 1. Raven Press New York Brandell, Schllegel, 2000. Evaluatin of male infertility, In : Keel BA, May JV, De Jonge CJ, editors, Handbook of Assisted Reproduction Laboratory, Boca Raton, Florida, CRC Press, LCC:77-94 Brzozowski AM et al, 1997. Molecular basis of Agonism and Antagonism in the Estrogen Receptor. Nature (Lond), 389 :753-758 Budisantoso, Hieronymus. 1994. Susu dan Yogurt Kedelai. Yogyakarta : Penerbit Kanisius Carnerro and Kelly, 1998. Sistem Reproduksi Pria, dalam (Tambayong J, Alih Bahasa). Histology Dasar, Edisi VIII, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran Jakarta, EGC Cunningham AR, Klopman G, Rosenkranz HS, 1997 A. Dichotomy in the Lipophilicity of Natural Estrogen, Xenoestrogens and Phytoestrogens. Environ Health Perspect De Kretser, D.M, 1997. Evaluation of Male Gonadal Function. In : P.J. Rowe and E.M. Vikhlyaeva (eds) De Kretser and Kerr, JB, 1997. The Cytology of The Testis. In : E. Knobil and JD Neill (eds). The Psysiology of reproduction. Vol. I. Raven Press. New York Fritz WA, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA, 2002. Dietary Genistein Down-Regulates Androogen and Estrogen Receptor Expression in The Rat Prostate, Moll Cell Endocrinol, 186:89-99 Ganong, WF. 1998. Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Andrianto J. Oswari (ed) Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC Greenspan, Baxter, 1998. Endokrinologi Dasar dan Klinik,Ed IV, alih bahasa : Caroline Wujaya, maulany, Sonny Samsudin, Jakarta, EGC

DAFTAR PUSTAKA Adlercreutz H, Markkanen H, Watanabe S, 1993. Plasma Concentration of Phytoestrogen in Japanese Men. Lancet Astuti, 2009. Kualitas Spermatozoa Tikus Jantan yang Diberi Tepung Kedelai Kaya Isoflavon, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, 41(4):180-186 Attanassova N, Mckinnel, et al, 2000. Comparative Effects of Neonatal Exposure of Male Rats to Potent and Weak (environmental) Estrogens on Spermatogenesis at Puberty and The

12

Gultekin E, Yildiz F, 2006. Introduction to Phytoestrogen, In : Yildiz F, Editor, Phytoestrogen in Functional food, Boca Raton, Florida, CRC Press Taylor & Francis Group LLC Hadley, M.E, 1992. Endocrynology, PrenticeHall, Inc, Simon dan Schuster Company Englewood Hanum M, 2010. Biologi Reproduksi, Nuha medika, Yogyakarta Hall, P.F, 1988. Steroid synthesis : Organization and Regulation. In : E. Knobil dan J.D. Neill (eds). The Physiology of Reproduction. Vol.1. Raven Press, New York Hafez E, 1996. Human Semen and Fertility Regulation in Men. The CV. Mosbyuni Hess, RA. 1999. Spermatogenesis, Overview in Encyclopedia of Reproduction 4 Hodgson, Y, D.M. Robertson, D.M. de Kretser, 1983. The Regulation of Testicular Function, In : Greep, R.O, Reproductive Physiology IV, International Review of Physiology Vol.27, Univercity Park Press, Baltimore Junqueira, LC dan J. Carneiro, 1995. Basic Histology (Histologi Dasar). Terjemahan Adji Dharma. Edisi Ketiga. Penerbit EGC, Jakarta Kang KS, Che JH, and Lee YS, 2002. Lack of Adverse Effects in the F1 Offspring maternally Exposed to Genistein at human Intake Dose Level, Food Chem Toxical, 40:43-51 Karahalil B, 2006. Benefits and risk of Phytoestrogens, in : Yildiz F, Editor, Phytoestrogen in functional foods, Boca Raton, Florida, CRC Press Taylor & Francis Group LLC, 33-210 Khaidir,2006. Studi Literatur Penilaian Tingkat Fertilitas dan Penatalaksanaannya pada Pria, Jurnal Kesehatan Masyarakat Kim H, Peterson TG, Barnes S, 1998. Mechanism of action of the Soy Isoflavone Genestein : Emerging Role of its Effect Through Transforming Growth factor beta

Signaling, Am J Clin Nutr, Am J Clin Nutr, 68:1418S-1425S Kuczynski, H.J, 1982. Fertility Controle in the Male, A Development Perspective. In: F.X.A Kuntana, 2009. Jurnal Bionatura : Pengaruh Pemberian Phytoestrogen terhadap Kualitas Spermatozoa, Spermatogenesis dan Luas Jaringan Interstisial pada kelinci (Oryctolagus Cuniculus), 11(1):47-58 Kurniawan, 2009. Infertilitas Pasutri, http://www.ujungdunia.co.cc/2009/06/infertilitas-pasangansuami-istri-kesehatan.html, [19 Mei 2011] Leclerq G, Heuson JC, 1979. Physiological and Pfarmacological Effect of Estrogen in Breast Cancer. Biochem Biophys Acta Llewellyn D, 2001. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi Ed VI, Jakarta, Hipokrates Mitchell JH, Elizabeth C, Kinnibeurgh D, Provan A, Collins AR, Irvin Ds, 2001. Effect of Phytoestrogen Food Supplement on Reproducting Health in Normal Males, Clin SCI, 100(6):8-613 Muchtadi D, 2010. Kedelai Komponen Bioaktif untuk Kesehatan. Penerbit Alpabeta Bandung Murray K, 2003. Biokimia Harper, Alih Bahasa Andry Hartono, Ed, 25, Jakarta, EGC Nasution, A W, 1993. Biologi Kedokteran (Reproduksi) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas padang Nasution A W, 1999. Andrologi, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang Norris, D.O, 1990. Vertebrate Endocrynology, Lea and Febiger, Philadelphia Prawiroharsono, 1998. Benarkah Tempe Sebagai Anti Kanker, Jurnal Kedokteran dan Farmasi Medika, No. 12 Tahun ke-14, Desember 1998 Ross, M.H and E.J. Reith, 1985. Histology, A Text and Atlas, Prentice Hall. Inc, New York

13

Rudolf S, 1986. The Anatomy of Laboratory Rat, Baltimore : The Williams and Wilking Company Rugh, 1997. The Mouse is reproduction and development Mineopolis : Burgess

Wilson, J.D, 1996. Androgens, In : Goodman and Gilmans The Pharmacological Basis of Therapeutics, Nineth Edition, International Edition. Winarsi, 2005. Isoflavon, Berbagai Sumber, Sifat dan Manfaatnya pada Penyakit Degeneratif, Yogyakarta, UGM University Press Yanwirasti, 2008. Langkah-langkah Pokok Penelitian Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas andalas Padang Zaneveld, L.J.D and Chatterton, R.T, 1982, Biochemistery of Mammalian Reproduction, A Wiley-Interscience Publication, John Wiley and Sons, New York.

Saryono, 2008. Biokimia Reproduksi, Untuk Kebidanan, Keperawatan, Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat (Kespro). Mitra cendekia Press, Yogyakarta Schmidl MK, Labuza TP, 2000. Essentials of Function Foods, Aspen Publishher, Inc, GAitherburg, Maryland Setchell KDR, Borriello SP, Hulme P, et al, 1984. Non steroid Oestrogen of Dietary Origin : Possible Roles in Hormon Dependent Disease, AM J Clin Nutr Setchell KDR, Adlercreutz H, 1988. Mammalian Lignans and Phytoestrogens. Recent Studies on Their Formation, Metabolism and Biological Role in health and Disease, In: Role of The Gut Flora in Toxicity and Cancer (Rowland IR, ed), Ac Press, London, UK

Setchell KDR, 1998. Phytoestrogens : Biochemistry, Physiology, and Implication for Human Health of Soy Isoflavon, Am J Clin Nutr Sherwood, 1995, Human Physiology from Cell to Systems, Second Edition, West Publishing Company, San Fransisco Sherwood, 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Ed. 2, Jakarta, EGC Siswono, 2003. Infertilitas pada Pria. Dalam Afriani, 2010. Gambaran Kecemasan Pasangan Infertile yang Berkunjung ke RS Adenan Adenin, Fk Keperawatan USU Tadjudin, MK. 1986, Cara Keluarga Berencana Hormonal pada Pria. Prosiding kongres Nasional1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. Van, Tienhoven. 1993. Reproductive Physiology of vertebrata. Second Edition, Cornell University Press. London

You might also like