You are on page 1of 35

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling

seringmempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisisfasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell,meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan

penatalaksanaannya, Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia. Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells palsy. Usiamempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi pada orangdengan usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.

Insiden Bells palsy juga dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini. Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat

menyembuh,namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkangejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetikadan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan

permasalahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-ototwajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicaradan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebutmenjadi tidak percaya diri.

Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara lebih dalam mengenai definisi, struktur anatomi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala

klinis, penegakan diagnosis, diagnose banding, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis Bells palsy.

BAB II PEMBAHASAN Definisi

Bells palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan.

Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi2 dan Cawthorne adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu : 1. Segmen supranuklear 2. Segmen batang otak 3. Segmen meatal 4. Segmen labirin 5. Segmen timpani 6. Segmen mastoid 7. Segmen ekstra temporal

Struktur anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior danstapedius di telinga tengah b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatoriussuperior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis. c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa rabadari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yangmengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan sensasi kulit daridinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke kordatimpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleustraktus solitarius. Serabutserabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melaluinervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, danserabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateralnukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI danVII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialismasuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu

membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Padasudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Perjalanan saraf fasialis yang memperlihatkan distribusi motorik, sensorik dan parasimpatis

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapediusyang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melaluiforamen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi limacabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. Digastrikus venter posterior.

Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasialakut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insidenterendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi

kanan.Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetesmempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non -diabetes .Bells palsy mengenailaki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yangsama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

Etiologi
Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.

I) Kongenital 1.anomali kongenital (sindroma Moebius) 2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

II Didapat 1.trauma 2.penyakit tulang tengkorak (osteomielitis) 3.proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.) 4.proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus) 5.infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.) 6.sindroma paralisis n. fasialis familial

Penyebab pasti Bells palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun. Bells palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada Lyme disease dan otitis media, atau trauma, tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII) dapat memicu terjadinya bells palsy.

Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik vaskuler dan teori infeksi virus1. 1. Teori iskemik vaskuler Teori ini dikemukakan oleh Mc Groven pada tahun 1955 yang menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan

spasme pada arteriol dan stasis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis. Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi wajah1,7. 2. Teori infeksi virus Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab infeksi yang dapat ditemukan pada kasus paralisis saraf fasialis adalah otitis media, meningitis bakteri, penyakit lime, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun 1972 McCromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup. Pada beberapa kasus yang ringan hanya terdapat kerusakan selubung myelin saraf1,8. 3. Teori kombinasi Teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan bahwa kemungkinan Bells palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau reaktivasi virus Herpes Simpleks dan merupakan reaksi imunologis sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi dan penekanan saraf perifer ipsilateral. Bells palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset bells palsy muncul. Suhu dingin di salah satu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus fasialis (N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini adalah hipotesis suhu rendah. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu teori terjadinya bells palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya bells palsy.

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.

PATOFISIOLOGI

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa

mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejalagejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang

terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.

Gejala Klinis Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan. a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus. Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi. Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan sekresi air liur masih baik.

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis fasialis). Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah dan gangguan salivasi. c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum. Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu hiperakusis. d. Lesi setinggi ganglion genikulatum. Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan gangguan kelenjar air mata (lakrimasi). e. Lesi di porus akustikus internus.

Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis.

Penegakan Diagnosis Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN. 1) Anamnesis. Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah. Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien. Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat. Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa, empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang terlibat. Mata kering.

Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada hidung akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris. 2) Pemeriksaan fisik. Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan. Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang

menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral. Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang diserang. Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah. Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya normal.

Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi. 3) Pemeriksaan laboratorium. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal. 4) Pemeriksaan radiologi. Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose Bells palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena pasienpasien dengan Bells palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus dilakukan. 5) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test) Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel. 6) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik padan. fasialis kiri dan kanan. 7) Elektromiografi Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah. 8) Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina). 9) Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya. 10) Uji Schirmer Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. Genikulatum

Diagnosa Banding

Semua paralisis n. fasialis perifer yang bukan BP Kelumpuhan n. fasialis sentral yang mudah dikenal; bila dahi dikerutkan tidak

terlihat asimetri, karenaotot-otot dahi mempunyai inervasi bilateral Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah, Guillen Barre syndrome.

Penatalaksanaan a. Agen antiviral. Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus. Nama obat Acyclovir (Zovirax) menunjukkan aktivitas hambatan langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi secara selektif. Dosis dewasa Dosis pediatrik 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari. < 2 tahun : tidak dianjurkan. > 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari. Kontraindikasi Interaksi obat Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas. Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas acyclovir terhadap SSP. Kehamilan C keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah dilaporkan. Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid.

Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien. Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) efek

farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan kompresi nervus facialis di canalis facialis. Dosis dewasa Dosis pediatrik Kontraindikasi 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari. Pemberian sama dengan dosis dewasa. Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal. Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;

fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat diuretik. Kehamilan B biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat resiko. Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,

osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata. Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy. Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata. Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata yang kurang atau tidak ada. Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun. Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung dengan kornea.

d. Konsultasi. Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut: Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk. Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan. Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.

Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.

Peran Fisioterapi Terhadap Bells Palsy Salah satu penanganan atau pengobatan pada Bell Palsy ini adalah Fisioterapi. Diantara modalitas yang efektif dan sering digunakan antara lain; terapi Infra Merah, terapi Ultrasound, terapi Stimulasi Elektrik, micro wave diathermy, massage, dan excersise. Pemilihan modalitas yang sesuai tergantung pada pengalaman atau pilihan fisioterapis yang berpengalaman. Fisioterapi dapat memilih dari sejumlah modalitas yang tersedia. penanganan fisioterapi di bagi pada 2 tahap. Yang pertama pada Periode Paralisis, yaitu sesaat setelah terjadi serangan berupa kelumpuhan saraf fasialis :

Infra Merah Infra merah dapat diterapkan untuk menghangatkan otot dan meningkatkan fungsi, tetapi Anda harus memastikan bahwa mata dilindungi dengan penutup mata. Waktu penerapan selama 10 sampai 20 menit pada jarak biasanya antara 50 dan 75 cm.

Terapi Ultrasound Terapi ultrasound diaplikasikan pada batang saraf (nerve trunk) di depan tragus telinga dan di daerah antara prosesus mastoideus dan mandibula. Tidak ada rasa takut/khawatir dalam menerapkan terapi ultrasound saat diaplikasikan pada pasien Bell Palsy. Terapi ultrasound selalu diterapkan pada sisi lesi di depan tragus telinga & di daerah antara prosesus mastoideus dan mandibula dimana kelembutan maksimum saraf wajah ditentukan dengan cara palpasi. Hal ini diterapkan dengan gerakan melingkar yang lambat dengan dosis awal 1 watt per sentimeter persegi untuk 10 menit. Dosis dapat ditingkatkan pada sesi berikutnya jika tidak ada peningkatan yang luar biasa dicatat. Perlu diketahui bahwa gelombang ultrasound tidak dapat melintasi atau menembus tulang. Itu berarti bahwa ultrasound

memiliki penetrasi nol pada tulang. Secara nyata bahwa gelombang ultrasound terpantul jauh dari tulang. Jadi tidak ada rasa takut dan khawatir jika terapi ultrasound diterapkan pada wajah. Penerapan terapi ultrasound pada bell palsy Ini hanya untuk jenis lesi saraf tepi (Lower Motor Neuron).

Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation) Stimulasi listrik adalah teknik yang menggunakan arus listrik untuk mengaktifkan saraf penggerak otot dan ekstremitas yang diakibatkan oleh kelumpuhan akibat cedera tulang belakang (SCI), cedera kepala, stroke dan gangguan neurologis lainnya. Satu-satunya bentuk arus listrik yang digunakan pada wajah adalah arus searah yang diputus-putus (Interrupted Direct Current) atau disebut juga Arus Galvanic, apakah itu ada reaksi degenerasi atau tidak ada reaksi. Hal ini diminta hanya untuk menjaga sebagian besar otot-otot wajah dan mencegah atrofi sambil menunggu untuk reinnervasi dalam kasus axotomesis atau reconduction setelah neurapraxia jika saraf tidak rusak sepenuhnya. Tidak ada ruang bagi penggunaan arus faradik pada wajah karena bisa menyebabkan kontraktur sekunder pada wajah. Selain itu, sebagian besar pasien merasa tidak mampu menahan nyeri pada wajah karena stimulasi sensorik yang tidak nyaman. Hal ini dikarenakan bahwa arus faradic memiliki frekuensi 50 siklus per detik, sehingga menghasilkan kontraksi tetanik pada otot-otot yang terangsang. Meskipun untuk saat ini adalah kontraksi otot arus faradic melonjak untuk menghasilkan kontraksi alternatif dan relaksasi namun berhubung tipe tatanik pada kontraksi yang menghasilkan 50 pulse hanya dalam satu detik, tidak diperlukan pada wajah. Otot-otot wajah yang sangat tipis dan halus dan tidak bisa mentolerir jenis arus ini yang dapat merusak dan menghasilkan kontraktur sekunder. Jika kontraktur sekunder terjadi, semua bentuk stimulasi listrik harus ditinggalkan sementara untuk menghindari kerusakan lebih lanjut pada otot. Wajah harus segera direnggangkan dan dipijat lembut.

Microwave Diathermy Micro Wave Diathermy (MWD) adalah suatu jenis terapi dengan menggunakan stressor fisik berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak balik dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25 cm. Bertujuan untuk Micro Wave Diathermy (MWD) adalah suatu jenis terapi dengan menggunakan stressor fisik berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak balik dengan frekuensi 2450

MHz dan panjang gelombang 12,25 cm. Micro Wave Diathermy (MWD) adalah suatu jenis terapi dengan menggunakan stressor fisik berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak balik dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25 cm. Bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah, relaksasi otot-otot wajah dan mengurangi spasme otot stilomastoideus.

Massage Pijat adalah manipulasi lapisan superficial otot dan jaringan ikat untuk meningkatkan fungsi dan relaksasi otot dan kebugaran. Pada kondisi Bells palsy massage diberikan dengan tujuan memobilisasi serabut-serabut otot di area yang mengalami paralysis sehingga terjadi pergerakan pasif dari otot wajah dan memberikan stimulasi gerak. selain itu juga berguna untuk mencegah terjadinya kontraktur otot.

Exercise Latihan yang diberikan umumnya merupakan latihan aktif berupa Mirror Exercise. Pasien diminta untuk berdiri di depan cermin sambil berusaha untuk menggerakkan otot wajah yang mengalami kelumpuhan. Fisioterapis akan mengajarkan bentuk-bentuk latihan dan menentukan frekuensi atau dosis latihan yang dibutuhkan pasien. Dengan penanganan yang cepat, tepat, akurat dan hebat maka bells palsy dapat disembuhkan

Tahap Kedua yaitu Selama Pemulihan: Teknik PNF digunakan untuk edukasi kembali pada otot-otot yamg mengalami parese atau paralisis: Peregangan cepat (quick stretch) dapat diterapkan untuk dapat membesarkan alis mata dan gerakan sudut bibir. Para fisioterapis dapat memberikan gerakan pasif dan kemudian meminta pasien untuk menahan, dan kemudian mencoba untuk menggerakannya. goresan dengan es, menyikat, menekan atau membelai cepat dapat diterapkan sepanjang otototot.misalnya otot zygomaticus Latihan mandiri di rumah: 1. 2. ekspresi terkejut kemudian cemberut, menutup mata erat-erat kemudian dibuka lebar-lebar,

3. 4. 5. 6.

tersenyum, menyeringai, dan berkata 'o' mengatakan; e, i, o, u menyedot dan meniup sedotan meniup peluit, bersiul, dan bisa juga meniup lilin.

Komplikasi Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh pasien.

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna. Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut. Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal. b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna. Dysgeusia (gangguan rasa). Ageusia (hilang rasa). Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus normal). c. Reinervasi aberan dari nervus facialis. Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan regenerasi dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.

Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebut synkinesis.

Prognosis Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah: a. Usia di atas 60 tahun. b. Paralisis komplit. c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh. d. Nyeri pada bagian belakang telinga. e. Berkurangnya air mata. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial. Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

BAB III KESIMPULAN

Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan. Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan kombinasi obatobatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bells Palsy. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1, 2010.
2. Holland, J. Bells Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204. 3. Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victors Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184. 4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163. 5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003. 6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.

7. http://m.blog.mediakeperawatan.com/bells-palsy.html 8. Thamrin H. Bells Palsy dilihat sebagai Sindrom Kompresi Saraf dan Peranan Electro Diagnose.Makalah Kongres III PNPNCH Medan 1984.

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd Penyakit SARAF BELLS PALSY fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc Bagian ilmu penyakit SARAF vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq RUMAH SAKIT HAJI wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui Medan opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg 2012 hjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbn mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
DISUSUN OLEH : NAMA NIM : vivid dwi rahmadi : 06310192 pembimbing Dr. SUMARNITA TARIGAN SP.S

You might also like