You are on page 1of 27

ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG DAN MEKANISME ARITMIA

PENDAHULUAN Elektrofisologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai mekanisme terbentuknya fenomena elektris dan konsekuensinya dalam kehidupan suatu organisme (Dorland, 2007). Elektrofisiologi jantung mempelajari tentang mekanisme, fungsi dan keberadaan aktivitas elektris di jantung termasuk inisiasi impuls dan konduksi dari level seluler. Gangguan jantung dengan dasar gangguan proses elektrik adalah aritmia. Aritmia umumnya didiagnosis klinis berdasarkan gambaran

electrocardiogram (ECG), yang mencerminkan arus listrik akibat proses eksitasi otot jantung keseluruhan. Gambar 1 menggambarkan kaitan antara proses elektrofisologis seluler dengan ECG.

Gambar 1. Hasil EKG dan potensial aksi di di sel miosit ventrikel (Wildmaier et al, 2001) Aritmia sering terjadi pada manusia dengan penyakit jantung yang mendasari atau pada jantung yang secara struktur normal. Walaupun manifestasi klinik aritmia sangat bervarisasi namun dapat terjadi fenomena elektrofisiologis yang serupa dalam level seluler (Gaztanaga et al, 2012). Terdapat 3 mekanisme utama terjadinya aritmia yaitu automatisitas, trigerred activity dan reentry, semuanya merupakan bentuk perubahan karakter elektrofisiologis jantung. Untuk memahami ketiga hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar elektrofisiologi jantung misalnya mengenai potensial membran, potensial aksi, periode refraktori dan sistem konduksi. Pemahaman mengenai mekanisme aritmia penting dalam pengembangan penegakan diagnosis dan manajemen. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dasar elektrofisiologi jantung dan mekanisme utama terjadinya aritmia.

POTENSIAL MEMBRAN Setiap membran sel mempunyai potensial membran yang terjadi karena perbedaan konsentrasi ion di sitoplasma dengan interstitial dan berubah bila ada aliran ion melintasi membran (Mohrman and Haller, 2006). Potensial membran istirahat didefinisikan sebagai perbedaan potensial listrik (voltase) pada membran sel eksitabel selama kondisi istirahat. Potensial membran istirahat sel tubuh berada dalam rentang +5 sampai -100 mV. Pada sebagian besar sel, potensial membran istirahat berada dalam kondisi terpolarisasi dengan nilai negatif, yang berarti bagian intrasel lebih negatif dari bagian ekstrasel. Sel pacemaker jantung mempunyai potensial membran istirahat -60 mV sedangkan sel otot jantung -90 mV (Tortora dan Dericsson, 2010).

PERANAN KANAL ION Secara umum ion bersifat tidak larut lipid sehingga tidak mampu menembus membran lipid bilayer dengan bebas. Ion keluar atau masuk sel melalui struktur protein transmembran yang dapat berupa 1) kanal ion, 2) ion exchanger, 3) pompa ion. Dari ketiganya (gambar 2), yang bertanggungjawab terhadap potensial membran istirahat dan perubahan cepat pada saat timbulnya potensial aksi adalah kanal ion.

Gambar 2. Protein transmembran untuk aliran ion (Jalife et al, 2009) Otot jantung mempunyai 3 tipe kanal ion yaitu kanal ion gerbang voltase, kanal ion gerbang ligand dan kanal ion gerbang mekanik. Pada kondisi normal kanal ion gerbang voltase yang memengang peran utama dalam penjalaran potensial aksi. Kanal jenis ini mempunyai domain protein bermuatan sebagai sensor voltase (gambar 3) yang sensitive terhadap perubahan potensial membran (Jalife et al, 2009)

Gambar 3. Sensor voltase dan keadaan kanal (Jalife et al, 2009) Kanal ion mempunyai sifat 1) dibentuk oleh molekul protein yang melintasi membran, 2) spesifik terhadap ion tertentu, 3) berada pada keadaan yang bervariasi yaitu terbuka, tertutup dan inaktif (Mohrman and Haller, 2006). Tabel 1 dan 2 berikut adalah beberapa kanal ion utama di jantung. Tabel 1. Kanal Na dan Ca
Arus If (funny) INa ICa Kanal Na (arus pada pacemaker) Voltase dan ligand Kanal Na (cepat) Voltase Kanal Ca-L (lambat) Voltase dan ligand Peran fungsional Diaktifkan oleh hiperpolarisasi Berperan pada depolarisasi diastolik yang tidak stabil Dipacu oleh stimulasi simpatis Berperan dalam fase 0 potensial aksi Inaktifasi kanal berperan dalam fase 1 potensial aksi Ditekan oleh stimulasi vagal (parasmpatis) Berperan dalam fase 2 potensial aksi (plateu) Inaktifasi kanal berperan dalam fase 3 Dipacu oleh stimulasi simpatis dan agen beta adrenergik

Tabel 2. Kanal K
Arus ITo IKI Kanal Kanal K (transient outward) Kanal K (inward rectifier) Kanal K (delayed rectifier) Kanal K (sensitif ATP) Kanal K (diaktifkan Ach) Ligand Peran fungsional Kontribusi fase 1 potensial aksi Menjaga permeabilitas K yang tinggi selama fase 4 Decay berperan dalam depolarisasi diastolik Penekanan pada fase 0-2 berperan dalam plateu Menyebabkan fase 3 potensial aksi Dipacu bila ada peningkatan Ca intrasel Terdiri dari komponen rapid (IKr) dan slow (IKs) Meningkatkan permebilitas K jika ATP rendah Bertanggungjawab terhadap efek stimulasi vagal Penurunan depolarisasi diastolic dan frekuensi denyut jantung Membuat hiperpolarisasi potensial membran Memendekan fase 2 potensial aksi
(Modifikasi dari Mohrman and Haller, 2006; Barret et al 2009)

IK

IKATP IKAch

PERUBAHAN POTENSIAL MEMBRAN Perubahan keadaan kanal ion akan menyebabkan perubahan pada permeabilitas membran. Peningkatan permeabilitas membran terhadap suatu ion disebabkan oleh peningkatan jumlah kanal ion yang terbuka. Bila kanal ion terbuka maka terjadilah aliran ion melintasi membran sehingga konsentrasi ion intrasel dan ekstrasel berubah. Perubahan permeabilitas membran plasma terhadap ion tertentu dapat mengubah potensial membran dari keadaan istirahat. Perubahan tersebut dapat berupa depolarisasi, overshoot, repolarisasi dan hiperpolarisasi (gambar 4)

Gambar 4. Perubahan Potensial Membran (Wildmaier et al, 2001) Tiga ion utama yang berperan dalam menentukan potensial membran jantung adalah ion natrium (Na), Kalium (K) dan Kalsium (Ca). Konsentrasi ion Na dan Ca lebih tinggi di ekstrasel sedangkan ion K lebih tinggi di intrasel (Mohrman and Haller, 2006). Pembukaan kanal ion menyebabkan suatu inward current atau outward current (gambar 5). Peningkatan permebilitas membran terhadap ion Na dan Ca menyebabkan aliran ion bermuatan positif ke dalam sel (inward current) sehingga polaritas membran berkurang (arus defleksi negatif, voltase depolarisasi). Sebaliknya peningkatan permeabilitas membran terhadap ion K menyebabkan aliran ion positif keluar sel (outward current) sehingga polaritas membran bertambah (arus defleksi positif, voltase repolarisasi). Penutupan atau inaktivasi kanal ion menghentikan efek ini. Proses yang melibatkan aliran ketiga ion utama ini mendasari terbentuknya potensial aksi di jantung.

Gambar 5. Inward dan outward current (Jalife et al, 2009) Setelah terjadi proses potensial aksi maka komposisi ionik ekstra dan intrasel jantung menjadi berubah. Kadar ion Na dan Ca intrasel menjadi bertambah sedangkan kadar K menjadi berkurang. Untuk mencegah overload Ca intrasel dan mengembalikan komposisi ionik seperti semula maka terdapat 3 mekanisme pompa ion (gambar 6). Tiga pompa ion itu adalah 1) pompa aktif Ca keluar sel yang membutuhkan ATP, 2) mekanisme pompa NCX atau Na-Ca Exchanger dengan perbandingan Na masuk dan Ca keluar 3:1, 3) transport aktif pompa ion Na/K ATPase mengeluarkan Na dan memasukan K dengan perbandingan 3:2,

Gambar 6. Mekanisme mencegah overload Ca Potensial aksi jantung di beberapa bagian jantung mempunyai karakter yang berbeda karena perbedaan properti elektrofisiologisnya. Secara umum mekanisme timbulnya potensial aksi dibedakan menjadi dua yaitu potensial aksi yang terjadi di pacemaker dan di otot kontraktil jantung. Potensial aksi yang timbul di pacemaker merupakan slow response action potential sedangkan di otot jantung merupakan fast response action potential (Tabel 3) Tabel 3. Perbandingan Slow dan Fast Response Action Potential
Slow Response Action Potential potensial aksi pacemaker Inisiasi depolarisasi lebih lambat amplitude potensial aksi yang lebih rendah fase plateu yang pendek dan tidak stabil repolarisasi yang lambat menuju potensial membran istirahat yang tidak stabil Fast Response Action Potential potensial aksi sel otot jantung depolarisasi cepat, overshoot tinggi (fase 0) repolarisasi cepat setelah overshoot (fase 1) adanya plateu yang lama (fase 2) repolarisasi (fase 3) ke potensial membran istirahat yang stabil dan sangat negatif (fase 4).
(Modifikasi dari Mohrman and Haller, 2006)

MEKANISME POTENSIAL AKSI SEL PACEMAKER Pacemaker jantung terdiri dari nodus sinoatrial (SA) dan nodus atrioventricular (AV) yang dapat membentuk potensial aksi secara spontan (gambar 7). Pada kondisi normal nodus SA adalah pacemaker utama jantung, memiliki potensial membran istirahat -60 mV yang tidak stabil yang senantiasa terdepolarisasi dengan threshold potensial aksi -40mV. Kondisi ketidaksatabilan potensial membran istirahat di pacemaker diistilahkan sebagai depolarisasi fase 4, diastolik depolarisasi atau potensial pacemaker (Mohrman and Haller, 2006).

Gambar 7. Mekanisme Potensial Aksi di Pacemaker


Depolarisasi Spontan Pacemaker Inisiasi depolarisasi diastolik spontan terjadi terutama oleh kanal ion Na pacemaker (I f). Kanal ion ini diaktifkan oleh kondisi hiperpolarisasi, setelah potensial aksi berakhir (fase 4). Masuknya ion Na secara lambat meningkatkan potensial membran sampai -40mV (treshold terjadinya potensial aksi). Kanal lain yang terlibat adalah kanal ion Ca. Aliran masuk ion Ca karena pembukaan kanal Ca tipe T (ICa-T) berperan dalam kompletnya prepotensial Terdapat bukti bahwa pelepasan lokal ion Ca dari reticulum sarkoplasma (Ca sparks) juga terjadi selama prepotensial. Potensial aksi pacemaker Ketika depolarisasi spontan mencapai threshold maka potensial aksi timbul (overshoot). Potensial aksi pacemaker terjadi terutama karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel (Ca dependent). Kanal ion Ca bersifat lambat membuka dan lambat menutup sehingga depolarisasi dan repolarisasi membran pacemaker lebih lambat dibanding pada otot jantung. Repolarisasi dan hiperpolarisasi Repolarisasi terjadi karena pembukaan kanal ion K (IK) dan penutupan kanal ion Ca. Ion K akan keluar sel dan Ca berhenti masuk sel. Akibatnya potensial membran semakin negatif sampai potensial pacemaker paling negative yang disebut maximal diastolic depolarization (MDP). Setelah potensial membran mencapai MDP maka kondisi hiperpolarisasi ini memicu proses depolarisasi spontan sehingga potensial aksi terjadi kembali.
(Barret et al, 2009

MEKANISME POTENSIAL AKSI OTOT JANTUNG Berbeda dengan pecemaker, otot jantung mempunyai potensial membran istirahat yang lebih negatif dan stabil yaitu sekitar -90mV. Bila ada aliran muatan positif (Na dan Ca) melalui gap junction maka muatan di dalam sel semakin positif sampai potensial membran mencapai treshold potensial aksi yaitu sekitar -65mV. Secara lengkap mekanisme potensial aksi di otot jantung terbagi menjadi fase 0 sampai 4 (gambar 8).

Gambar 8. Mekanisme potensial aksi di sel otot Jantung (non pacemaker)


Fase 0 atau fase depolarisasi cepat Secara tiba-tiba permeabilitas membran terhadap ion Na meningkat. Pembukaan kanal Na (INa) menyebabkan ion Na masuk sel dan terjadilah potensial aksi (overshoot). Pembukaan kanal Na ini cepat dan hanya sebentar yang selanjutnya menjadi inaktif (kondisi tertutup tidak bisa dibuka). Kanal Na hanya dapat diaktifasi kembali bila potensial membran di bawah -50 mV. Fase 1 atau fase repolarisasi cepat inisial Penutupan kanal Na menyebabkan terhentinya aliran masuk ion Na. Penutupan ini bersamaan dengan pembukaan kanal K sesaat (ITO) sehingga ion K keluar sel. Kedua proses ini bertanggungjawab terhadap repolarisasi cepat namun sementara. Fase 2 atau fase plateu Fase plateu terjadi karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (long period, ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel. Proses masuknya ion Ca akan berimbang dengan keluarnya ion K (IK terdiri dari rapid IKr dan slow IKs)yang menyebabkan potensial membran relative konstan dalam kondisi positif. Masuknya ion Ca akan memicu pelepasan ion Ca dari reticulum sarkoplasmicum ke sitoplasma yang menginiasi terjadinya kontraksi sel otot jantung. Fase 3 atau fase repolarisasi cepat akhir Aktifnya kanal ion K berbagai tipe (IK, IKs, dan IKI) dan inaktifnya kanal ion Ca menyebabkan berhentinya fase plateu dan terjadi repolarisasi. Fase 4 kondisi potensial membran istirahat Aliran keluar K (IKI) bertanggungjawab terhadap repolarisasi final ke kondisi potensial membran istirahat.
(Barret et al, 2009)

Periode Refraktori Karakteristik sel eksitabel adalah ketika sel teraktivasi maka terdapat periode dimana potensial aksi yang berikutnya tidak dapat dibentuk. Interval waktu saat sel tidak dapat dire-eksitasi disebut periode refraktori. Periode refraktori dibagi menjadi dua (gambar 9) yaitu periode refraktori absolut dan periode refraktori relatif. Hal ini disebabkan karena selama depolarisasi kanal Na menjadi inaktif. Agar kanal Na menjadi konduktif lagi maka dibutuhkan suatu periode recoveri dari inaktif menjadi

aktif, yang diinisiasi oleh repolarisasi Pada periode refraktori absolute sel tidak dapat dieksitasi berapapun amplitudo gelombang impuls yang datang sedangkan pada periode refraktori relatif sel masih dapat tereksitasi namun memerlukan arus yang lebih tinggi dari normal (Jalife et al, 2009).

Gambar 9. Periode refraktori absolute dan relative (Gaztanaga et al, 2012) Periode refraktori sel jantung relative lebih panjang dibandingkan sel eksitabel lain misalnya neuron dan sel skelet. Sel jantung tidak dapat diaktivasi kembali bila belum relaksasi dari kontraksi sebelumnya (gambar 10) dan hal ini mencegah terjadinya kontraksi tetanik sel otot jantung (Jalife et al, 2009)

Gambar 10. Periode refraktori terjadi lama, sampai otot relaksasi dahulu (Wildmaier et al, 2001) PENJALARAN IMPULS PACEMAKER-OTOT JANTUNG Impuls dari pacemaker kemudian diteruskan dengan cepat melalui sistem konduksi ke seluruh otot jantung sehingga menimbulkan kontraksi otot jantung. Sistem konduksi jantung terdiri dari 1) nodus SA sebagai sumber impuls jantung pada kondisi normal, 2) jalur internodus yang menghantarkan impuls dari nodus SA ke nodus AV, 3) nodus AV tempat perlambatan impuls sebelum ke otot ventrikel 4) berkas AV (AV bundles, bundle of His) yang menghantarkan impuls dari atrium ke

ventrikel dan 5) berkas Purkinje dan cabangnya (left and right bundle branch of Purkinje) yang menghantarkan impuls ke seluruh otot ventrikel.

Gambar 11. Sistem konduksi jantung (Barret et al, 2009)

Potensial pacemaker atau prepotensial senantiasa mengalami depolarisasi spontan menuju threshold potensial aksi sehingga terjadi impuls yang berkelanjutan dan ritmis. Potensial pacemaker hanya terdapat pada nodus SA dan AV namun pacemaker laten pada bagian lain sistem konduksi dapat mengambil alih apabila simpul SA dan AV tertekan atau hantaran dari keduanya terhambat. Walaupun otot atrium dan ventrikel tidak mempunyai prepotensial namun dapat mengeluarkan impuls spontan bila terjadi kerusakan jaringan atau keadaan abnormal (Barret et al, 2009).

Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kecepatan konduksi

PRINSIP MEKANISME ARITMIA Mekanisme utama terjadinya aritmia adalah automatisitas, triggered activity dan reentry. Mekanisme aritmia ini selanjutnya dikelompokan menjadi dua yaitu gangguan pembentukan impuls dan gangguan konduksi impuls (tabel 4). Automatisitas dan trigerred activity termasuk dalam kelompok gangguan pembentukan impuls sedangkan reentry adalah bentuk gangguan konduksi impuls. Aritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh terjadinya salah satu gangguan atau kombinasi keduanya. Tabel 4. Pembagian mekanisme aritmia jantung

(Gaztanaga et al, 2012)

GANGGUAN PEMBENTUKAN IMPULS AUTOMATISITAS Pada kondisi normal nodus SA paling cepat membentuk potensial aksi spontan (fastest rate of firing) sehingga mencegah pembentukan impuls spontan pacemaker lain yang lebih lambat (gambar 12). Setiap kali nodus SA terjadi potensial aksi maka impuls akan dijalarkan ke nodus AV, Bundle His dan Purkinje. Sebelum pacemaker laten tersebut mencapai potensial threshold intrinsik, sudah mendapat impuls kembali dari nodus SA sehingga mereka tidak sempat mencetuskan impuls sendiri.

Gambar 12. Frekuensi intrinsik pacemaker (Despopoulos, 2003) Kecepatan pembentukan potensial aksi spontan ditentukan oleh interaksi 3 faktor yaitu a) kemiringan depolarisasi fase 4 (prepotential, potensial pacemaker), b) potensial threshold untuk inisiasi potensial aksi, dan c) maximum diastolic potential (MDP). Perubahan dari ketiga hal tersebut dapat mengubah kecepatan inisiasi impuls (gambar 13).

Gambar 13. Faktor yang mempengaruhi potensial pacemaker (Despopoulos, 2003) Tanda khas dari automatisitas normal adalah adanya overdrive suppression. Pade pacemaker laten yang diambil alih (overdriving), frekuensi terbentuknya impuls terjadi lebih cepat dari frekuensi intrinsiknya dan terjadi penurunan kemiringan fase 4 sebagian besar karena peningkatan aktivitas pompa Na/K (terjadi hiperpolarisasi). Pada pacemaker laten, arus depolarisasi dari pacemaker primer memicu masuknya Na ke dalam sel (gambar 14). Peningkatan kadar natrium intrasel ini memicu pompa Na/K ATPase untuk mengeluarkan natrium dan bertukar dengan kalium. Semakin sering terjadi arus depolarisasi maka semakin aktif kerja pompa. Karena perbandingan ion Na masuk dan K keluar adalah 3:2 maka potensial membrane semakin negatif (hiperpolarisasi). Hal ini mengimbangi proses depolarisasi

otomatis oleh kanal funny (If) sehingga sel pacemaker laten tidak pernah terdepolarisasi otomatis mencapai potensial tresholdnya dan mencegah terjadinya potensial aksi spontan sesuai irama intrinsiknya.

Gambar 14. Mekanisme ionik overdrive supression Ketika stimulasi overdrive dihentikan (gambar 15), frekuensi pembentukan impuls kembali sesuai dengan frekuensi intrinsik secara bertahap (disebut periode warm-up). Karena overdrive, terjadi overload Na intrasel sehingga ketika overdrive berhenti, pompa Na/K memerlukan waktu untuk kembali ke pola aktivitas dasarnya. Hal ini yang menjelaskan adanya jeda beberapa saat sebelum pacemaker laten tersebut kembali ke frekuensi intrinsik. Tingkat supresi dan waktu recover proporsional dengan frekuensi dan durasi stimulasi yang diberikan.

Gambar 15. Overdrive suppression dengan periode warm up (Castanaganza et al, 2012) Mekanisme ini berperan penting dalam menjaga irama sinus, yang secara berkelanjutan menghambat pacemaker laten dibawahnya. Pada pasien dengan pacemaker eksternal, irama intrinsik juga disupresi melalui mekanisme ini. Tidak adanya overdrive suppression

mengindikasikan bahwa aritmia yang terjadi ditimbulkan oleh mekanisme selain peningkatan automatisitas normal. Aktivitas pacemaker dikontrol oleh sistem saraf otonom (gambar 16) dan dapat dipengaruhi oleh berbagai factor sistemik termasuk gangguan metabolik, substansi endogen atau obat-obatan.

Gambar. 16. Frekuensi Instrinsik rate nodus SA dan interaksi dengan tonus otonom

Keadaan yang mempengaruhi firing rate nodus SA

AUTOMATISASI NORMAL YANG BERUBAH Aktivitas parasimpatik mengurangi kecepatan pembentukan impuls pacemaker dengan melepaskan acetylcholine (Ach) sehingga terjadi hiperpolarisasi sel melalui peningkatan konduktansi kanal K (IKAch).

Selain itu juga mengurangi aktivitas kanal Ca (ICa-L) dan aktivitas kanal Na funny (If) sehingga

makin memperlambat pembentukan impuls (gambar 17).

Gambar 17. Efek simpatis dan parasimpatis pada potensial pacemaker (Wildmaier et al, 2001) Sebaliknya aktivitas simpatik meningkatkan kecepatan pembentukan impuls sinus. Katekolamin meningkatkan permeabilitas kanal Ca tipe L (I ca-L) sehingga aliran ion Ca meningkat. Selain itu, terjadi peningkatan arus Na melalui kanal Na funny (If) sehingga kemiringan fase 4 repolarisasi meningkat. Gangguan metabolik seperti hipoksia dan hipokalemia dapat menyebabkan peningkatan automatisasi normal karena terjadi hambatan pompa Na/K sehingga arus repolarisasi dasar berkurang dan meningkatkan kemiringan depolarisasi diastolik fase 4. Sementara itu, kondisi degeneratif yang mempengaruhi sistem konduksi jantung berupa supresi pacemaker sinus menyababkan bradikardi atau bahkan sinus arrest. Pacemaker laten dapat manifes jika terjadi supresi pada automatisitas sinus.

AUTOMATISASI ABNORMAL Pada kondisi normal sel otot atrial dan ventricular bersifat non pacemaker sehingga tidak melakukan aktivitas spontan. Kondisi yang menggeser maximal potential threshold (MDP) sel non pacemaker menuju potensial threshold memungkinkan pada sel tersebut terjadi automatisitas. Pergeseran MDP dipengaruhi oleh peranan berbagai perubahan aliran ion, yang akhirnya menyebabkan depolarisasi terkait penurunan konduktansi kalium. Automatisitas abnormal dapat terjadi pada kasus peningkatan kadar kalium ekstrasel, penurunan pH intrasel dan katekolamin yang berlebihan. Pada sel nonpacemaker yang terkondisikan terdepolarisasi konstan pada -10 sampai -60 maka dapat timbul potensial aksi spontan atau automatisitas abnormal (depolarization induced automaticity). Frekuensi intrinsik dari automatisitas abnormal tergantung pada kondisi potensial membran, semakin besar kondisi stimulus depolarisasi semakin cepat frekuensi automatisitas. Seperti terlihat perbandingan frekuensi automatisitas stimulus (a) dengan (b) pada gambar 18 berikut.

Gambar 18. Frekuensi automatisitas meningkat dengan peningkatan depolarisasi (Jalife et al, 2009) Berbeda dengan peningkatan automatisitas normal, pada automatisitas abnormal berciri kurang sensitive terhadap overdrive suppression walaupun pada kondisi tertentu dapat teramati.

TRIGERRED ACTIVITY Trigerred activity (TA) terjadi setelah inisiasi impuls karena afterdepolarisasi (oskilasi potensial membran selama atau segera setelah potensial aksi). Afterdepolarisasi hanya terjadi jika ada potensial aksi yang mendahului (sebagai trigger) dan bila sudah mencapai potensial threshold akan

membentuk potensial aksi yang baru. Hal ini dapat sebagai sumber terpicunya respon baru, menjadi potensial aksi tersendiri. Berdasarkan kaitan temporal, afterdepolarisasi dideskripsikan menjadi dua tipe (gambar 19) yaitu early after depolarizations (EADs) dan delayed after depolarizations (DADs). EADs terjadi selama fase 2 dan 3 dari potensial aksi sedangkan DADs terjadi setelah lengkapnya fase repolarisasi.

Gambar 19. Early after depolarization (EAD) dan Delayed after depolarization (DAD)

TRIGERRED ACTIVITY DIINDUKSI DADs DADs adalah oskilasi voltase membran yang terjadi setelah lengkapnya repolarisasi dari potensial aksi yaitu selama fase 4. Oskilasi disebabkan oleh berbagai kondisi yang meningkatkan konsentrasi Ca intraseluler diastolik sehingga terjadi overload Ca (Ca mediated oscillation). Jika mencapai threshold stimulasi tertentu maka dapat memicu pembentukan potensial aksi baru atau timbul trigerred activity (gambar 20)

Gambar 20. Trigerred activity diinduksi DAD Munculnya DADs pertama kali diamati pada serabut Purkinje yang dipapar kadar toksik digitalis (gambar 21). Inhibisi pompa ion Na/K ATPase menyebabkan akumulasi Na intrasel yang memicu masuknya Ca melalui mekanisme Na-Ca exchanger (NCX). Akibatnya terjadi overload Ca intrasel sehingga terjadi arus masuk sementara ke dalam sel melalui kanal nonspesifik tergantung Ca (Cadependent nonspecific channel) dan terjadilah DADs. Saat ini diketahui bahwa overload Ca intrasel

dapat terjadi selain mekanisme inhibisi pompa ion Na/K ATPase. Stimulus lain yang menyebabkan overload Ca intrasel adalah katekolamin, iskemia, hypertofi, hipokalemia dan hiperkalemia.

Gambar 21. Mekanisme Ionik DADs (Jalife, 2009) Katekolamin menyebabkan overload Ca intraseluler via peningkatan aliran masuk Ca melalui kanal Ca tipe L (ICa-L) dan peningkatan aliran Na-Ca exchanger. DADs yang diinduksi iskemia diduga dimediasi oleh akumulasi lipofosfogliserida pada jaringan iskemik dengan diikuti peningkatan Na dan Ca intrasel. Overload Ca intrasel juga dapat disebabkan oleh fungsi reticulum sarkoplasmikum yang abnormal (misal mutasi reseptor ryanodin), memfasilitasi aritmia klinis seperti catecholaminergic polymorphic VT. Adenosin telah dipakai sebagai uji diagnosis DADs. Adenosin mengurangi aliran masuk ion Ca secara indirek dengan menghambat adenilat siklase dan cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Adenosin dapat menghilangkan DADs yang diinduksi katekolamin namun tidak mengubah DADs yang diiduksi inhibisi pompa Na/K. Adanya interupsi VT dengan pemberian adenosine menunjukan bahwa mekanisme aritmia adalah karena DADs yang diinduksi katekolamin. Karakteristik utama DADs adalah dapat kemunculanya semakin dipicu oleh peningkatan frekuensi stimulasi. Frekuensi dan durasi stimulasi selanjutnya terkait dengan amplitudo dan jumlah triggered activity. Misalnya pada skema munculnya DADs pada serabut Purkinje yang dipapar digitalis kadar toksik (gambar 22). Stimulasi potensial aksi dengan frekuensi yang relative lambat akan diikuti oleh fase 4 yang normal (a). Jika stimulasi semakin cepat maka terdapat dua gelombang oskilasi selama fase 4 (b). Apabila stimulasi lebih dipercepat maka DADs mencapai threshold sehingga munculah

trigerred activity (c). Makin cepat stimulasi diberikan maka terjadilah trigerred activity yang berulang (d).

Gambar 22. Frekuensi stimulasi, DADs dan TA (Jalife, 2009) Faktor kritis pembentukan DADs adalah durasi potensial aksi. Semakin lama potensial aksi berkaitan dengan semakin banyaknya overload Ca yang semakin memfasilitasi DADs. Obat-obatan yang memperlama potensial aksi (seperti agen antiaritmia kelas IA) dapat kadangkala meningkatkan amplitudo DAD.

TRIGERRED ACTIVITY DIINDUKSI EADs EADs adalah oskilasi potensial (gambar 23) yang terjadi selama plateu potensial aksi (EADs fase 2) atau selama repolarisasi akhir (EADs fase 3). Kedua tipe dapat muncul pada kondisi eksperimental yang sama namun secara morfologi berbeda terkait perbedaan mekanisme ionik yang mendasari. EADs fase 2 tampaknya berhubungan dengan aliran masuk Ca lewat kanal CA tipe L (I Ca-L), sementara EADs fase 3 adalah hasil dari aliran listrik yang terjadi saat repolarisasi atau karena rendahnya aliran masuk kalium (IKI).

Gambar 23. EAD fase 2 dan 3 (Gaztanaga et al, 2012) Suatu triggered activity dapat muncul diinduksi oleh adanya EADs (gambar 24). Aritmia yang dipicu EADs bersifat tergantung frekuensi, dan secara umum amplitude EADs bertambah pada frekuensi denyut jantung yang lambat.

Gambar 24. Trigerred activity diinduksi EAD Plateu dari potensial aksi adalah periode ketika kondisi resistensi membran tinggi dan aliran arus sedikit. Akibatnya, perubahan kecil pada arus yang menyebabkan repolarisasi atau depolarisasi dapat berpengaruh terhadap durasi dan profil potensial aksi. Berbagai jenis zat dan kondisi yang menurunkan arus keluar atau meningkatkan arus masuk (sehingga menggeser current outward yang normal) dapat menyebabkan kondisi yang diperlukan untuk terjadinya EADs. Tabel 5. Obat yang dapat menginduksi EAD

(Gaztanaga et al, 2012).

Kondisi utama yang mendasari pembentukan EADs adalah pemanjangan potensial aksi yang tampak pada electrocardiogram (ECG) sebagai pemanjangan interval QT. Bebrapa obat antiaritmia, terutama kelas IA dan III dapat menjadi proaritmia karena efek terapinya adalah pemanjangan potensial aksi. Banyak obat lainya dapat sebagai predisposisi pembentukan EADs terutama ketika dihubungkan dengan kondisi hipokalemia dan atau bradikardia sebagai faktor tambahan yang menyebabkan pemanjangan potensial aksi. Katekolamin mungkin dapat meningkatkan EADs dengan meningkatkan arus Ca, walaupun resultan peningkatan denyut jantung bersamaan dengan peningkatan arus K secara efektif mengurangi durasi potensial aksi sehingga meniadakan EADs.

GANGGUAN KONDUKSI IMPULS Perlambatan atau blok konduksi terjadi ketika impuls yang menjalar gagal untuk dihantarkan. Berbagai faktor aktif dan pasif pada membran menentukan kecepatan dan suksesnya konduksi. Misalnya adalah faktor efikasi impuls yang menstimulasi dan eksitabilitas jaringan dimana impuls dihantarkan. Gap junction (gambar 25) berperan penting dalam cepat dan suksesnya konduksi impuls.

Gambar 25. Gap Junction (Mohrman and Haller, 2006) Umumnya blok konduksi impuls terjadi pada frekuensi impuls yang tinggi sebagai akibat dari recoveri yang tidak lengkap dari kondisi refraktori. Ketika suatu impuls berikutnya sampai pada jaringan yang masih dalam periode refraktori maka impuls tidak dapat dihantarkan atau dihantarkan dengan aberasi. Hal ini merupakan mekanisme khas yang menjelaskan beberapa fenomena seperti blok konduksi berkas cabang dari denyut premature, fenomena Ashman selama atrial fibrillation (AF) dan acceleration dependent aberration. Bradikardia atau deceleration dependent block diduga disebabkan berkurangnya eksitabilitas pada interval diastolik yang panjang dengan berkurangnya amplitude potensial aksi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konduksi, termasuk frekuensi, tonus otonom, obat (misal Ca channel blocker, digitalis, adenosine/adenosine trifosfat) atau proses degeneratif (dengan mengubah fisiologi jaringan dan kapasitas untuk konduksi impuls).

REENTRY Ketika impuls normal dari nodus sinoatrial telah menjalar ke seluruh ventrikel maka ventrikel akan masuk ke periode refraktori. Selanjutnya impuls akan berhenti dan tidak akan menjalar lebih jauh lagi. Apabila terdapat serabut otot tertentu yang tidak teraktivasi saat inisial impuls menjalar (misal damaged area), maka bagian tersebut dapat lebih dullu mengalami recoveri eksitabilitasnya sebelum impuls menghilang. Akibatnya bagian tersebut dapat berperan sebagai penghubung untuk terjadinya reeksitasi di area lain yang sebelumnya terdepolarisasi saat penjalaran impuls inisial tetapi telah recoveri. Reentry terjadi ketika impuls yang menjalar gagal menghilang dan kemudian me-

reeksitasi jantung yang telah selesai periode refraktorinya (Guyton & Hall, 2006). Karena terjadi penjalaran berulang impuls yang kembali lagi ke tempat asal untuk mereaktivasi, maka fenomena ini disebut reentry, reentrant excitation, circus movement, reciprocal/echo beats, atau reciprocating tachycardia (RT).

Gambar 26. Anatomic reentry dan Functional reentry (Veenhuyzen et al, 2004) Reentry dibagi menjadi dua kelompok yaitu anatomical/classic reentry dan functional reentry (gambar 26). Pada anatomical reentry terdapat struktur anatomi yang terlibat sedangkan pada functional reentry terdapat hambatan fungsional tanpa kelainan struktur. Reentry adalah mekanisme aritmia yang paling sering dijumpai di klinis (Gaztanaga et al, 2012).

ANATOMICAL REENTRY Nama lain dari anatomical reentry adalah classic reentry dan digambarkan dengan ring model (gambar 26). Mekanisme classic reentry didasarkan pada hambatan anatomis berupa area tidak dapat tereksitasi dikelilingi jalur sirkuler sehingga gelombang awal dapat masuk kembali (reenter), membentuk sirkuit reentrant yang stabil (Gaztanaga et al, 2012).

Gambar 26. Anatomical reentry Hambatan secara structural anatomi di bagian sentral akan membentuk dua jalur. Pada penjalaran impuls, bila terjadi blok searah pada satu jalur (unidirectional block) dan konduksi yang lambat melalui jalur lainya maka akan memungkinkan terjadinya reentry.

(Gaztanaga et al, 2012) Inisiasi dan keberlangsungan reentry tergantung pada kecepatan konduksi dan periode refraktori di setiap jalur yang menentukan panjangnya gelombang depolarisasi (wavelength = kecepatan konduksi x periode refraktori). Agar reentry terjadi panjang gelombang depolarisasi (wavelength) harus lebih pendek dari panjang jalur (pathway) agar pada tempat semula telah recoveri atau selesai dari periode refraktori w. Hal ini akan memungkinkan terbentuknya excitable gap (gambar 27).

Gambar 27. Excitable gap (Gaztanaga et al, 2012) Excitable gap adalah konsep kunci yang penting untuk memahami mekanisme reentry. Excitable gap adalah excitable myocardium yang berada diantara head gelombang reentrant dan tail dari gelombang yang mendahuluinya. Karena area tersebut telah recoveri dari periode refraktori maka gelombang reentrant dapat kembali menjalar di sirkuit (Gaztanaga et al, 2012).

Gambar 28. Skema terjadinya reentry Gambar 28 diatas merupakam skema terjadinya sirkuit reentry (A) Sirkuit memiliki dua jalur, salah satunya jalur konduksi lambat (kanan). (B) Terdapat blok konduksi anterograde di jalur cepat dan konduksi tetap terjadi di jalur lambat. Selanjutnya, karena jalur cepat telah recoveri maka gelombang aktivasi dapat masuk kembali (reenter) ke jalur cepat (secara retrograde). (C) Selama reentry yang berkelanjutan akan membentuk sebuah sirkuit dengan gap (excitable gap) berada diantara head gelombang reentrant dan tail dari gelombang yang mendahuluinya Inisiasi reentry yang diawali terbentuknya excitable gap ditentukan oleh 3 faktor yaitu 1) Jalur yang akan dilalui impuls terlalu panjang (too long pathway), 2) kecepatan konduksi melambat, 3) periode refraktori memendek. Ketiga hal tersebut terjadi pada kondisi patologis yang berbeda. Jalur yang memanjang khas terjadi pada dilatasi jantung sedangkan penurunan kecepatan konduksi terjadi pada blok pada sistem Purkinje, iskemi otot, hiperkalemia dan lainya. Pemendekan periode refraktori terjadi karena obat seperti epinefrin atau stimulasi elektrik yang berulang (Guyton & Hall, 2006). FUNCTIONAL REENTRY Pada reentry fungsional, sirkuit yang terbentuk tidak ditentukan oleh hambatan anatomis namun oleh heterogenitas dinamik properti elektrofisiologik jaringan yang terlibat. Lokasi dan ukuran dari sirkuit reentrant fungsional dapat bervariasi namun biasanya kecil dan tidak stabil. Reentry fungsional terjadi karena mekanisme yang berbeda-beda, terdiri dari leading cycle reentry, anisotropic reentry, figure of eight reentry, reflection, spiral wave activity (Gaztanaga et al, 2012).

MEMBEDAKAN MEKANISME ARITMIA Pendekatan diagnosis deferensial mekanisme aritmia dapat dilihat pada tabel 6 berikut: Tabel 6. Cara membedakan mekanisme aritmia

Dugaan mekanisme aritmia diketahui dengan mempertimbangkan gambaran EKG. EKG mungkin tidak menunjukan dengan jelas namun dapat memberikan petunjuk penting ke arah mekanisme aritmia yang mendasari. Irama sinus pada EKG dapat menggambarkan proses penyakit yang diketahui terkait dengan tipe tertentu dari aritmia (Gaztanaga et al, 2012). Tabel 7. Mekanisme aritmia dan contoh klinis terkait
MEKANISME Automatisitas Automatisitas yang berubah Automatisitas abnormal TA diinduksi DADs CONTOH KLINIS sinus tachycardia terkait exercise, demam dan tirotoksikosis; atrial dan ventricular accelerated rhythms, inappropriate sinus tachycardia, AV junctional rhythms. premature beats, atrial tachycardia, accelerated idioventricular rhythms, ventricular tachycardia (VT), pada fase akut iskemia dan reperfusi. atrial tachycardia, digitalis toxicity induced tachycardia, accelerated ventricular rhythym pada acute myocardial infarction, beberapa bentuk repetitive monomorphic VT, reperfusion induced arrhythmias, right ventricular outflow tract VT, exercise induced VT (catecolaminergic polymorphic VT) torsades de pointes (twisting of the tips), karakteristik polymorphic VT pada pasien dengan long QT syndrome. AV reentrant chicardia associated with bypass tract, AV nodal reentrant tachycardia, atrial flutter, bundle branch reentry VT, post infarction atrial and ventricular fibrillation, polymorphic VT

Trigerred activity

TA diinduksi EADs Reentry Anatomical reentry Fungsional Reentry

(Modifikasi dari Gaztanaga et al, 2012) KESIMPULAN Aritmia terjadi karena berbagai perubahan dan gangguan terkait properti elektrofisiologi seluler jantung. Mekanisme aritmia dikelompokan menjadi gangguan pembentukan impuls (automatisitas, TA) atau gangguan penjalaran impuls (reentry). Pengembangan untuk penegakan diagnosis dan manajemen aritmia perlu memperhatikan mekanisme elektrofisiologis yang mendasarinya.

DAFTAR PUSTAKA Barrett K E, Barman S M, Boitano S, Brooks H. Ganong's Review of Medical Physiology, 23th ed. McGraw-Hill. 2009. Despopoulos, A, Silbernagl S. Color Atlas Of Physiology. Thieme. 2003. Dorland, W. A. Newman. Dorland's illustrated medical dictionary. Philadelphia, PA: Saunders. 2007. Gaztaaga L, Marchlinski FE, Betensky BP. Mechanisms of cardiac arrhythmias. Rev Esp Cardiol. 2012 Feb;65(2):174-85. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Philadelphia, PA: Elsevier, 2006. Jalife J, Delmar M, Davidenko, Anumonwo J, Berenfeld O, Anumonwo KJ. Basic cardiac electrophysiology for the clinician. 2nd ed. New Jersey: Wiley-Blackwell; 2009. Mohrman D, Heller L. Cardiovascular Physiology 6th ed McGraw Hill 2006. Widmaier EP, Raff H, Strang KT. Vander, Sherman and Luciano's Human Physiology: the Mechanisms of Body Function, 8th ed. Boston, MA: McGraw-Hill Higher Education, 2001. Veenhuyzen G D, Simpson C S, Abdollah H. Atrial fibrillation. CMAJ September 28, 2004 vol. 171

You might also like