You are on page 1of 81

DIABETES MELITUS

0 Posted on : 23-02-2010 | By : MUHAMMAD ABDUL AZIZ | In : ASKEP M.A.AZIZ,AMK, ASKEP PENYAKIT DALAM, EBOOK, KUMPULAN ASKEP GRATIS, PLUGIN, SCRIPT, WELCOME LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DIABETES MELITUS

A.

Konsep Dasar
1. Definisi

Diabetes Melitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000). Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. ( Askandar, 2001 ). Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. ( Askandar, 2001). 1. Anatomi Fisiologi Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata rata 60 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung. Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus. Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu : (1). Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.

(2). Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah. Pulau pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 2 juta. Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu : (1). Sel sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai anti insulin like activity . (2). Sel sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 80 % , membuat insulin. (3). Sel sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 15 %, membuat somatostatin. Masing masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi. Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel. Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun. Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel sel otot, fibroblas dan sel lemak. 1. Etiologi 1. Diabetes Melitus

DM mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi DM yaitu : 1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin. 2. Faktor faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan. 3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus. 4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang responsir terhadap insulin. 5. Gangren Kaki Diabetik Faktor faktor yang berpengaruh atas terjadinya gangren kaki diabetik dibagi menjadi endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen : a. Genetik, metabolik b. Angiopati diabetik c. Neuropati diabetik Faktor eksogen : a. Trauma b. Infeksi c. Obat 4. Patofisiologis a. Diabetes Melitus Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut: 1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 1200 mg/dl. 2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah. 3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

Pasien pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren. b. Gangren Kaki Diabetik Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi. 1. Teori Sorbitol Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi. 2. Teori Glikosilasi Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada protein membran basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun mikro vaskular. Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh faktor faktor disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan timbulnya KD adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Neuropati merupakan faktor penting untuk terjadinya KD. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan

terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen (zat asam ) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh ( Levin,1993). Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai KD akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh terhdap penyembuhan atau pengobatan dari KD. 5. Klasifikasi Wagner ( 1983 ) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan , yaitu : Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan

disertai kelainan bentuk kaki seperti claw,callus . Derajat I Derajat II Derajat III : Ulkus superfisial terbatas pada kulit. : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang. : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.

Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis. Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.

Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua golongan : 1. Kaki Diabetik akibat Iskemia ( KDI ) Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati ( arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis. Gambaran klinis KDI : - Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat. - Pada perabaan terasa dingin. - Pulsasi pembuluh darah kurang kuat. - Didapatkan ulkus sampai gangren. 1. Kaki Diabetik akibat Neuropati ( KDN ) Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.

6. Dampak masalah Adanya penyakit gangren kaki diabetik akan mempengaruhi kehidupan individu dan keluarga. Adapun dampak masalah yang bisa terjadi meliputi : 1. Pada Individu Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya penyakit ini, Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan tersebut. 1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien. 1. Pola nutrisi dan metabolisme Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita. 1. Pola eliminasi Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan. 1. Pola tidur dan istirahat Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami perubahan. 1. Pola aktivitas dan latihan Adanya luka gangren dan kelemahan otot otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan. 1. Pola hubungan dan peran

Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu dan menarik diri dari pergaulan. 1. Pola sensori dan kognitif Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. 1. Pola persepsi dan konsep diri Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ). 1. Pola seksual dan reproduksi Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. 10. Pola mekanisme stres dan koping Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. 11. Pola tata nilai dan kepercayaan Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita. 1. Dampak pada keluarga Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan muncul bermacam macam reaksi psikologis dari kelurga, karena masalah kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya yang banyak akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan perubahan peran pada keluarga karena salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan perannya. 1. Asuhan keperawatan Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangren kaki diabetik hendaknya dilakukan secara komperhensif dengan menggunakan proses keperawatan.

Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon manusia terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan dapat berhubungan dengan klien keluarga juga orang terdekat atau masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat dalam mengurangi / mengatasi masalah-masalah kesehatan. Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu : 1. Pengumpulan data Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. 1. Anamnese 1. Identitas penderita Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis. 1. Keluhan Utama Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka. 1. Riwayat kesehatan sekarang Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya. 1. Riwayat kesehatan dahulu Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita. 1. Riwayat kesehatan keluarga

Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung. 1. Riwayat psikososial Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita. 1. Pemeriksaan fisik 1. Status kesehatan umum Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda tanda vital. 1. Kepala dan leher Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh. 1. Sistem integumen Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku. 1. Sistem pernafasan Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi. 1. Sistem kardiovaskuler Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis. 1. Sistem gastrointestinal Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas. 1. Sistem urinary Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih. 1. Sistem muskuloskeletal berkurang, takikardi/bradikardi,

Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas. 1. Sistem neurologis Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi. 1. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah : 1. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl. 1. Urine Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ). 1. Kultur pus Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman. 1. Analisa Data Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. Kebutuhan dasar atau fisiologis Kebutuhan rasa aman Kebutuhan cinta dan kasih sayang Kebutuhan harga diri Kebutuhan aktualisasi diri

Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan kemungkinan. 1. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap proses kehidupan/ masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan kemungkinan dan membutuhkan tindakan keperawatan untuk memecahkan masalah tersebut. Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah sebagai berikut : 1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah. 2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas. 3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan. 4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka. 5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang. 6. Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis ) berhubungan dengan tingginya kadar gula darah. 7. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya. 8. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi. 9. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh. 10. Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki. 1. Perencanaan Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan penderita. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan prioritas, diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi dan aktivitas keperawatan. 1. Diagnosa no. 1 Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah. Tujuan : mempertahankan sirkulasi perifer tetap normal. Kriteria Hasil : Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler - Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis - Kulit sekitar luka teraba hangat. - Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.

- Sensorik dan motorik membaik Rencana tindakan : 1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah. 1. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah : Tinggikan kaki sedikit lebih rendah dari jantung ( posisi elevasi pada waktu istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan sebagainya. Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi oedema. 1. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa : Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi. Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek dari stres. 1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ). Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren. 1. Diagnosa no. 2 Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas. Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka. Kriteria hasil : 1.Berkurangnya oedema sekitar luka.

2. pus dan jaringan berkurang 3. Adanya jaringan granulasi. 4. Bau busuk luka berkurang.

Rencana tindakan : 1. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan. Rasional : Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya. 1. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara abseptik menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati. Rasional : merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi. 1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan kultur pus pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik. Rasional : insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan penyakit. 1. Diagnosa no. 3 Ganguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan. Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang Kriteria hasil : 1.Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang . 2. Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi atau mengurangi nyeri . 3. Pergerakan penderita bertambah luas. 4. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 37,5 0C, N: 60 80 x /menit, T : 100 130 mmHg, RR : 18 20 x /menit ). Rencana tindakan : 1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien. Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien. 1. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.

Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak bekerjasama dalam melakukan tindakan. 1. Ciptakan lingkungan yang tenang. Rasional : Rangasanga yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri. 1. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi. Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien. 1. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien. Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin. 1. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka. Rasional : massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman. 1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik. Rasional : Obat obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien. 1. Diagnosa no. 4 Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki. Tujuan : Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal. Kriteria Hasil : 1. Pergerakan paien bertambah luas 2. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan ( duduk, berdiri, berjalan ). 3. Rasa nyeri berkurang. 4. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Rencana tindakan : 1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien. Rasional : Untuk mengetahui derajat kekuatan otot-otot kaki pasien.

1. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga kadar gula darah dalam keadaan normal. Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan keperawatan. 1. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui kemampuan. Rasional : Untuk melatih otot otot kaki sehingg berfungsi dengan baik. 1. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya. Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi. 1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga fisioterapi. Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar. 1. Diagnosa no. 5 Gangguan pemenuhan nutrisi ( kurang dari ) kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang. Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.

2. Pasien mematuhi dietnya. 3. Kadar gula darah dalam batas normal. 4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia. Rencana Tindakan : 1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan. Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat. 1. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan. Rasional : Kepatuhan terhadap hipoglikemia/hiperglikemia. diet dapat mencegah komplikasi terjadinya

1. Timbang berat badan setiap seminggu sekali. Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien ( berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet ). 1. Identifikasi perubahan pola makan. Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan. 1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik. Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi. 1. Diagnosa no. 6 Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis) berhubungan dengan tinggi kadar gula darah. Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi (sepsis). Kriteria Hasil : 1. Tanda-tanda infeksi tidak ada. 2. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( S : 36 37,50C ) 3. Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal. Rencana tindakan : 1. Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka. Rasional : Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi dapat membantu menentukan tindakan selanjutnya. 1. Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri selama perawatan. Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara untuk mencegah infeksi kuman. 1. Lakukan perawatan luka secara aseptik. Rasional : untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran infeksi. 1. Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang ditetapkan.

Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat, mempercepat penyembuhan sehingga memperkecil kemungkinan terjadi penyebaran infeksi. 1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotika dan insulin. Rasional : Antibiotika dapat menbunuh kuman, pemberian insulin akan menurunkan kadar gula dalam darah sehingga proses penyembuhan. 1. Diagnosa no. 7 Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya. Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang. Kriteria Hasil : 1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan. 2. Emosi stabil., pasien tenang. 3. Istirahat cukup. Rencana tindakan : 1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien. Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat. 1. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya. Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien. 1. Gunakan komunikasi terapeutik. Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan. 1. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan. Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien. 1. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.

Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien. 1. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian. Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu. 1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman. Rasional : lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien. 1. Diagnosa no. 8 Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi. Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya. Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya. 2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh. Rencana Tindakan : 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan gangren. Rasional : Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga. 1. Kaji latar belakang pendidikan pasien. Rasional : Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien. 1. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti. Rasional : Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. 1. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya. Rasional : Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.

1. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan ( jika ada / memungkinkan). Rasional : gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan. 1. Diagnosa no. 9 Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh. Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya secar positif. Kriteria Hasil : - Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa rasa malu dan rendah diri. - Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki. Rencana tindakan : 1. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal. Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya. 1. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien. Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien. 1. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien. Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai. 1. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi. 1. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan. Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang normal. 1. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien. Rasional : Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien. 1. Diagnosa no.10

Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki. Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi. Kriteria hasil : 1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 40 menit. 2. Pasien tenang dan wajah segar. 3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup. Rencana tindakan : 1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang. Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat. 1. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah. Rasional : mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien. 1. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek obatobatan dan suasana ramai. Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan dirasakan pasien. 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik relaksasi . Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri. 1. Kaji tanda-tanda kurangnya pemenuhan kebutuhan tidur pasien. Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat. 1. Pelaksanaan Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.

5. Evaluasi Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan. Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai: 1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan. 2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tuj Read Full Article

LOW BACK PAIN


0 Posted on : 23-02-2010 | By : MUHAMMAD ABDUL AZIZ | In : ASKEP M.A.AZIZ,AMK, ASKEP PENYAKIT DALAM, EBOOK, KUMPULAN ASKEP GRATIS, PLUGIN, SCRIPT, SOFTWARE, WELCOME BAB I PENDAHULUAN LOW BACK PAIN

A.

Latar Belakang

Nyeri punggung bawah sudah dikenal beribu-ribu tahun yang lalu didiskripsikan sebagai lumbago dan sciatica didalam Al-kitab, sering akibat nyeri punggung ini seseorang terganggu melakukan aktivitas sehari-hari. Asuransi kesehatan nasional Swedia dari data analisis statistik melaporkan 53% pada populasi dengan aktivitas biasa sehari-hari mengalami nyeri punggung bawah dan 64% pada populasi yang melakukan aktivitas sebagai pekerja berat. Diperkirakan 60% sampai 80% populasi dewasa pernah mengalami LBP, kira-kira 2% sampai 5% terkena setiap tahunnya. Orang yang waktu bekerja melakukan gerakan membungkuk yang

berulang-ulang atau berjongkok dan duduk lama mempunyai frekuensi LBP lebih tinggi, masalah psikososial juga penting sebagai faktor pencetus terjadinya nyeri punggung bawah. Sedangkan khususnya untuk Rumah Sakit Umum Islam Banjarmasin ditemukan jumlah penderita low back pain pada bulan Januari sampai dengan Desember 2003 sebanyak 17 orang (Data Rekam Medik Rumah Sakit Islam Banjarmasin). Dalam hal perawatan secara umum pada penyakit LBP dengan penyakit syaraf lainnya mempunyai kesamaan dalam pemberian asuhan keperawatan menitik beratkan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Adapun kekhususan dari perawataan klien dengan LBP adalah karena masalah yang muncul biasanya bersifat komplek dan mempengaruhi sistem tubuh sehingga asuhan keperawatan yang diberikan mencegah terjadinya defisit neurologis, memberikan dan mengembalikan fungsi dengan cara meningkatkan aktivitas secara bertahap dengan melakukan range of mation (ROM) aktif maupun pasif. Ada beberapa kendala yang ditemukan sehingga standar keperawatan yang telah ditetapkan rumah sakit tidak dapat dicapai secara maksimal, dari pihak klien misalnya alasan faktor ekonomi dimana klien dengan LBP membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkan sehingga membutuhkan dana yang cukup besar jika harus dirawat di rumah sakit, sedangkan dari pihak rumah sakit misalnya masih minimnya tenaga kesehatan dibandingkan jumlah dengan jumlah klien yang memerlukan perawatan sehingga tidak setiap klien dapat dilayani secara maksimal menurut standar keperawatan yang ada di rumah sakit. Berdasarkan fenomena diatas penulis tertarik mengangkat masalah kesehatan khususnya LBP dan mencoba memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh baik dari segi biopsikososial dan spiritual kepada klien dengan LBP di ruang Ibnu Sina Rumah Sakit Islam Banjarmasin.

B.

Tujuan Umum

Memberikan gambaran penerapan asuhan keperawatan klien dengan low back pain di ruang Ibnu Sina Rumah Sakit Islam Banjarmasin. 1. C. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari makalah ini adalah melakukan langkah-langkah proses keperawatan secara bertahap yaitu : 1. mengkaji status kesehatan klien dengan low back pain yang meliputi aspek biopsikososial spritual pada Tn. H.T di ruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin. 2. Mengkaji dan merumuskan masalah-masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan low back pain di ruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin. 3. Menentukan rencana tindakan pada klien dengan low back pain pada Tn. H.T di ruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin. 4. Melakukan tindakan/implementasi keperawatan terhadap klien low back pain akibat gangguan biopsikososial spritual pada klien Tn. H.T diruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin.

5. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan yang telah diberikan terhadap klien dengan low back pain pada klien Tn. H.T diruang Ibnu Sina RSU Islam Banjarmasin. 1. D. Metode Asuhan Metode penulisan yang digunakan dalam mengasuh klien yang dilaporkan ini berupa studi kasus yang melaporkan hasil asuhan keperawatan yang langsung dilaksanakan pada klien dengan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, menetapkan perencanaan, memberikan implementasi dan mengevaluasi seluruh hasil asuhan keperawatan.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS LOW BACK PAIN DAN ASUHAN KEPERAWATANNYA

A.

Tinjauan Teoritis Low Back Pain

1. Pengertian Nyeri punggung bawah adalah perasaan nyeri di daerah lumbasakral dan sakroiliakal, nyeri pinggang bawah ini sering disertai penjalaran ketungkai sampai kaki. (Harsono, 2000:265). Herniasi diskus (carram) intervertebralis (HNP) merupakan penyebab utama nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh), mungkin sebagai dampak trauma atau perubahan degeneratif yang berhubungan dengan proses penuaan. (Doenges, Marylinn, 1999:320). Nyeri punggung bawah adalah nyeri yang dirasakan didaerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri local maupun radikuler atau keduanya, nyeri ini terasa diantara sudut rusuk terbawah (torakal XII) dan lipat bokong bawah yaitu didaerah lumbal dan lumbasakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri kearah tungkai dan kaki. Low back pain nyeri punggung bawah adalah salah satu nyeri yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, juga merupakan persoalan mayarakat karena sering mengakibatkan penderita tidak dapat bekerja dalam kesehariannya. Low back pain dapat berupa rasa kemeng atau sedikit pegal sampai nyeri sekali, sakit ini dapat timbul secara mendadak ataupun secara perlahan-lahan dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Rasa sakit dapat dirasakan pada tubuh bagian belakang, dari tulang iga terakhir sampai bagian bawah bokong dan juga dapat menjalar ketungkai. Sering kali penderita cemas kalau LBPnya berasal dari penyakit ginjal atau kencing batu anggapan itu tidaklah selalu benar.

Jika diperhatikan secara seksama keluhan LBP sangat bervariasi, kualitas nyeri, intensitas serta penyebarannya sangat bervariasi, berbagai sikap badan seperti berdiri, duduk atau berbaring sangat berpengaruh terhadap timbulnya rasa nyeri. 1. Etiologi Pembagian etiologi berdasarkan sistem anatomi : 1. LBP Viserogenik (organ abdomen) Kelainan berasal dari ginjal, viscera pelvis, omentum minor, tumor retroperitoneal, fibroid retrouteri 1. LBP Verkulogenik (pembuluh darah) Aneurisme diabdomen, penyakit vaskuler perifes, insufiensi dari arteri glutea superior 1. LBP Neuvogenik Tumor-tumor letaknya ekstradural maupun intradural ekstra medullar sering menyebabkan LBP oleh karena juga menekan radik. 1. LBP Spondilogenik Berasal dari : 1) 2) Tulang koluma spinalis (trauma, radang, tumor, metabolic dan spondilolistesis) Sendi-sendir sakroiliakan

3) Jaringan lunak (degenerasi diskus, aptur diskus, penjepitan akar saraf akibat stenosis spinalis. 1. LBP Psikogenik Dapat disebabkan oleh keadaan depresi, kecemasan maupun neurosis Pembagian lain adalah berdasarkan etiologi : 1. LBP Traumatik 1) 2) LBP pada unsur miofasial LBP akibat trauma pada komponen keras susunan neuromuskuloskeletal 1. LBP akibat proses degeneratif yang mencakup

1) 2) 3) 4)

Spondilosis HNP Stenosis spinalis Oesteoartritis 1. LBP akibat penyakit inflamasi yaitu

1) 2) 3)

Artritis rematoid Spondilitis angkilopoetika Spondylitis 1. LBP akibat gangguan metabolisme, misalnya osteoporosis tulang 2. LBP akibat neoplasma

1) 2) 1. 2. 3. 4.

Tumor myelum Retikulosis LBP akibat kelainan congenital LBP sebagai refered pain LBP akibat gangguan sirkulatorik LBP oleh karena psikoneurotik

1. Patofisiologi Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastic yang tersusun atas banyak unit rigid (vertebrae) dan unit fleksible (discus intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh komplek sendi faset, berbagai ligament dan otot paravertebralis. Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara disisi lain tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan torak sangat penting pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur, dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung. Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur. Degenerasi diskus merupakan penyebab nyeri punggung yang biasa diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, menderita stress mekanis paling

berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus (herniasi nucleus pulposus) atau kerusakan sendi faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari kanalis spinalis yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut. Sekitar 12% orang dengan nyeri punggung bawah menderita hernia nucleus pulposus ( Brunner & Suddarth, 2002 : 2321 ). 1. Manifestasi Klinis Secara praktis manifestasi klinis diambil dari pembagian berdasarkan sistem anatomi : 1. LBP Viscerogenik Tipe ini sering nyerinya tidak bertambah berat dengan adanya aktivitas maupun istirahat. Umumnya disertai gejala spesifik dari organ viseralnya. Lebih sering disebabkan oleh faktor ginekologik, kadang-kadang didapatkan spasme otot paravertebralis dan perubahan sudut ferguson pada pemeriksaan radiologik, nyeri ini disebut juga nyeri pinggang akibat referred pain. 1. LBP vaskulogenik Tahap dini nyerinya hanya sakit pinggang saja yang dirasakan, nyeri bersifat nyeri punggung dalam, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha, dan kedua tungkai, nyeri sering menjalar kebokong, belakang paha, dan kedua tungkai. Nyeri tidak timbul karena adanya stress spesifik pada kolumna vertebralis (membungkuk, batuk dan lain-lain). Diagnosa ditegakkan apabila ditemukan benjolan yang berpulpasi. 1. LBP Neurogenik Nyeri sangat hebat, bersifat menetap, sedikit berkurang pada saat bediri tenang, terutama dirasakan pada saat malam hari. Nyeri dapat dibangkitkan dengan aktivitas, dan rasa nyeri berkurang saat penderita berbaring, sering didapat kompresi akar saraf, ditemukan juga spasme otot paravertebralis. 1. LBP Spondilogenik Yang sering ditemukan adalah : 1) HNP : Nyeri disertai iskialgia, dirasakan sebagai nyeri pinggang, menjalar kebokong, paha belakang tumit sampai telapan kaki. 2) Miofasial : Nyeri akibat trauma pada otot fasia atau ligamen, keluhan berupa nyeri daerah pinggang, kurang dapat dilokasikan dengan tepat, timbul mendadak waktu melakukan gerakan yang melampau batas kemampuan ototnya. 3) Keganasan : Tumor ganas pada daerah vertebrae dapat bersifat primer atau sekunder. Pada foto rontgen terlihat adanya destruksi, pemeriksaan laboratorium terlihat adanya peningkatan alkalifostase.

4) Osteoporotik : Terjadi pada lansia terutama wanita, nyeri bersifat pegal atau nyeri radikuler karena adanya fraktur kompresi sebagai komplikasi osterporosis tulang belakang. 1. LBP Psikogenik Keluhan nyeri hebat tidak seimbang dengan kelainan organik yang ditemukan, penderita memilih suatu mekanisme pembelaan terhadap ancaman rasa amannya dengan menghindarkan diri bila tidak melakukan hal tertentu. Keadaan ini akan menyebabkan otot-otot dalam keadaan tegang sehingga meningkatkan spasme otot dan timbul rasa nyeri. 1. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan fisik : 1. Observasi : amati cara berjalan penderita pada waktu masuk ruang periksa, juga cara duduk yang disukainya. Bila pincang, diseret, kaku (merupakan indikasi untuk pemeriksaan neurologis). Amati juga apakah perilaku penderita konsisten dengan keluhan nyerinya (kemungkinan kelebihan psikiatrik). 2. Inspeksi : untuk kolumna vertebralis (thoroko-lumbal dan lumbopsakral) berikut deformitasnya, serta gerakan tulang belakang, seperti fleksi kedepan, ekstensi kebelakang, fleksi kelateral kanan dan kiri. 3. Nyeri yang timbul hampir pada semua pergerakan daerah lumbal sehingga penderita berjalan sangat hati-hati (kemungkinan infeksi, inflamasi, tumor dan fraktur) 4. Palpasi : apakah terdapat nyeri tekan pada tulang belakang atau pada otot-otot disamping tulang belakang? Apakah tekanan dari diantara dua prosessus spinosus menimbulkan rasa nyeri (spurling sign) 5. Perkusi : perhatikan apakah timbul nyeri jika processus spinosus diketok Pemeriksaan neurology pada tungkai 1. Sensibilitas (dermatome), motorik (kekuatan), tonus otot, reflek, tropik. 2. Test provokasi (sensorik) 1) 2) 3) 4) 5) Laseque Kering Bragard dan sicard Patrick (lesi coxae) Kontra Patrik (Lesi Sakroiliakal) 1. Adakah gangguan miksi dan defekasi 2. Adakah tanda-tanda lesi upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN)

Pemeriksaan Diagnostik 1. Fungsi lumbal : Mengetahui warna cairan serebrospinal (jernih air, kekuningan/xantokram, keruh), adanya kesan sumbatan/hambatan aliran cairan serebrospinal secara total atau parsial, jumlah sel, kadar protein, NaCl dan glukosa. 2. Foto rontgen : Mengidentifikasi adanya fraktur korpus vertebra, arkus atau prosesus spinosus, juga adanya dislokasi vertebra, spionfilolistesis, bamboo spine destruksi vertebra, HNP 3. (ENMG) 4. Electroneuromiografi : Melihat adanya fibrilasi, serta dapat pula dihitung kecepatan hantar saraf dan letensi distal. 1. Sken tomografi : Dapat melihat gambar vetebra dan jaringan disekitarnya termasuk diskus intervertebralis (Harsono, 2000:281) 1. Penatalaksanaan medis 1. Tirah baring : Tempat tidur dengan alat yang keras dan rata untuk mengendorkan otot yang spasme, sehingga terjadi relaksasi otot maksimal. Dibawah lutut diganjal batal untuk mengurangi hiperlordosis lumbal, lama tirah baring tidak lebih dari 1 minggu. 1. Medika mentosa : Menggunakan obat tunggal atau kombinasi dengan dosis semiminimal mungkin, dapat diberikan analgetik non-steroid, muscle relaxant, tranguilizer, anti depresan atau kadang-kadang obat blokade neuratik. 1. Fisioterapi : Dalam bentuk terapi panas, stimulasi listrik perifer, traksi pinggul, terapi latihan dan ortesa (kovset) 1. Psikoterapi : Diberikan pada penderita yang pada pemeriksaan didapat peranan psikopatologi dalam timbulnya persepsi nyeri, pemberian psikoterapi dapat digabungkan dengan relaksasi, hyprosis maupun biofeedback training. 1. Akupuntur :

Kemungkinan bekerja dengan cara pembentukan zat neurohumoral sebagai neurotras mitter dan bekerja sebagai activator serat intibitor desenden yang kemudian menutup gerbang nyeri. 1. Terapi operatic : Dikerjakan apabila tindakan konservatif tidak memberikan hasil yang nyata, atau kasus fraktur yang langsung mengakibatkan defisit neurologik, ataupun adanya gangguan spinger 1. Latihan : Latihan perlu dilakukan dengan hati-hati dan terarah agar tidak memperburuk keadaan, dapat dimulai pada hari ke 2 dan ke 3 kecuali jika penyebabnya adalah herniasi diskus. 1. B. Tinjauan Teoritis Asuhan Keperawatan Low Back Pain 1. Pengkajian 1. Aktivitas dan istirahat 1) Gejala : riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat, duduk, mengemudi dalam waktu lama, membutuhkan papan/matras waktu tidur, penurunan rentang gerak dari ekstrimiter pada salah satu bagian tubuh, tidak mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan. 2) Tanda : Atropi otot pada bagian tubuh yang terkena, gangguan dalam berjalan.

1. Eliminasi Gejala urine : Konstribusi, mengalami kesulitan dalam defekasi, adanya inkontenensia/retensi

1. Integritas Ego 1) Gejala keluarga. 2) Tanda : Ketakutan akan timbulnya paralysis, ansietas masalah pekerjaan, finansial

: Tampak cemas, defresi, menghindar dari keluarga/orang terdekat

1. Neurosensori 1) Gejala : Kesemutan, kekakuan, kelemahan dari tangan/kaki

2) Tanda : Penurunan refleks tendon dalam, kelemahan otot, hipotania, nyeri tekan/spasme pavavertebralis, penurunan persesi nyeri (sensori) 1. Nyeri/kenyamanan

1) Gejala : Nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin memburuk dengan adanya batuk, bersin, membengkokan badan, mengangkat defekasi, mengangkat kaki, atau fleksi pada leher, nyeri yang tidak ada hentinya atau adanya episode nyeri yang lebih berat secara interminten; nyeri menjalar ke kaki, bokong (lumbal) atau bahu/lengan; kaku pada leher (servikal). Terdengar adanya suara krek saat nyeri baru timbul/saat trauma atau merasa punggung patah, keterbatasan untuk mobilisasi/membungkuk kedepan 2) Tanda : Sikap: dengan cara bersandar dari bagian tubuh yang terkena, perubahan cara berjalan: berjalan dengan terpincang-pincang, pinggang terangkat pada bagian tubuh yang terkena, nyeri pada palpasi. 1. Keamanan Gejala : Adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi

1. Penyuluhan dan pembelajaran 1) 2) Gejala Pertimbangan : Gaya hidup ; monoton atau hiperaktif : DRG menunjukan rata-rata perawatan:10,8 hari

3) Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan batuan transportasi, perawatan diri dan penyelesaian tugas-tugas. 1. Diagnosa keperawatan 1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan : 1) 2) 3) Trauma jaringan dan reflek spasme otot Inflamasi Kompresi saraf 1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan 1) 2) 3) 4) Nyeri dan ketidaknyamanan Spasme otot Terapi testriktif Kerusanan neuromuskular 1. Ansietas/koping individu tak efektif berhubungan dengan 1) Krisis situasi

2) 3) 4)

Atasi/ubah status kesehatan, status sosioekonomik, peran fungsi Gangguan berulang dengan nyeri terus menerus Ketidakadekuatan metode koping 1. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, pragnosis, dan tindakan berhubungan dengan :

1) 2) 3)

Kesalahan informasi/kurang pengetahuan Kesalahan interpretasi informasi kurang mengungat Tidak mengenal sumber-sumber informasi

Prioritas keperawatan 1. 2. 3. 4. Menurunkan stress pada spinal, spasme otot, dan nyeri Meningkatkan berfungsi dengan optimal Memberi dukungan pada pasien/keluarga/orang terdekat dalam proses rehabilitasi Memberikan informasi yang berhubungan dengan penyakit/prignosis dan kebutuhan pengobatannya.

1. Intervensi Keperawatan Diagnosis I 1. Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya serangan, faktor pencetus yang memperberat, minta pasien untuk menetapkan pada skala 010 2. Pertahankan tirah baring selama fase akut, peletakan pasien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30 derajat atau pada posisi lateral 3. Gunakan logirdi (papan) selama melakukan perubahan posisi 4. Bantu pemasangan Brace/korset 5. Batas aktivitas selama sesuai kebutuhan 6. Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau/diraih oleh pasien. Diagnosis II 1. Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi spesifik 2. Catat respon-respon emosi/perilaku pada imobilisasi berikan aktivitas yang disesuaikan dengan klien 3. Ikuti aktivitas/prosedur dengan periode istirahat, anjurkan pasien untuk tetap berperan serta dalam aktivitas sehari-hari 4. Berikan/bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak pasif dan aktif

5. Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif 6. Demonstrasikan penggunaan alat penolong seperti alat bantu jalan, tongkat Diagnosis III 1. Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani masalahnya di masa yang lalu dan bagaimana pasien melakukan koping dengan masalah sekarang. 2. Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur 3. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan masalahnya 4. Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhan 5. Catat perilaku dari orang terdekat/keluarga yang meningkat peran sakit pasien. Diagnosis IV 1. Jelaskan kembali proses penyakit dan prognisis serta pembatasan kegiatan 2. Berikan infomasi tentang berbagai hal dan instruksikan pasien untuk melakukan perubahan mekanika tubuh tanpa bantuan dan juga melakukan latihan 3. Diskusikan mengenai pengobatan dan juga efek sampingnya, seperti halnya beberapa obat yang menyebabkan kantuk yang sangat berat (analgetik, relaksasi otot) 4. Diskusikan mengenai kebutuhan diet 5. Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama 6. Lihat kembali pemakaian kakolar leher yang lunak 1. Evaluasi Diagnosa I 1. Menghilangkan nyeri hilang/terkontrol 2. Mengungkapkan metode yang memberikan penghilangan 3. Mendemontrasikan penggunaaan intervensi (misalnya keterampilan relaksasi) untuk menghilangkan nyeri. Diagnosa II 1. Mengungkapkan pemahaman tentang situasi/faktor resiko dan aturan pengobatan individual 2. Mendemontrasikan teknik/perilaku yang mungkin 3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit dan/atau kompensasi Diagnosa III 1. Tampak rileks dan melaporkan anisetas berkurang pada tingkat dapat diatasi 2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping dan konsekuensinya 3. Mengkaji situasi terbaru dengan akurat

4. Mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalah 5. Mengembangkan rencana untuk perubahan gaya hidup yang perlu Diagnosis IV 1. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan tindakan 2. Melakukan kembali perubahan gaya hidup 3. Berpartisipasi dalam aturan tindakan BAB III

HASIL ASUHAN
A. Gambaran Kasus

Tuan H.T umur 60 tahun, jenis kelamin laki-laki, pendidikan terakhir SMP, pekerjaan swasta, alamat Jl. Pangeran Gang Rahman, status perkawinan sudah kawin, agama Islam, suku Banjar, masuk rumah sakit Islam Banjarmasin pada tanggal 4 Juni 2004 dengan diagnosa medis low back pain (nyeri punggung bawah). Selama di rumah sakit yang menjadi penanggung jawab klien adalah Tuan R. umur 34 tahun, alamat kompleks Purna Sakti Banjarmasin. Keluhan utama waktu masuk rumah sakit tanggal 4 Juni 2004 : Nyeri pinggang belakang bagian kiri dari setengah bulan yang lalu dan nyeri pada belikat kanan (skapula). Waktu pengkajian (tanggal 9 Juni 2004) Klien masih mengeluh nyeri pinggang belakang bagian kiri manjalar kekanan. Riwayat penyakit sekarang 1 bulan yang lalu klien terjatuh dari kendaraan tapi klien tidak sampai dibawa ke rumah sakit hanya dibawa ketukang pijat dan minum obat yang dibeli di toko untuk mengurangi rasa nyeri. Setengah bulan kemudian klien mengeluh nyeri pinggang belakang bagian kiri. Pada tanggal 03-06-2004 klien dibawa keluarganya kepraktek dr. Djohan S, kemudian karena sakit klien semakin parah pada tanggal 05-06-2004 klien dibawa keluarganya ke Rumah Sakit Islam Banjarmasin dan dirawat dikamar 35B di ruang Ibnu Sina. Riwayat penyakit dahulu 5 tahun yang lalu klien pernah mengalami hipertensi, DM dan kolesterol tinggi, namun tidak sampai masuk rumah sakit hanya berobat jalan. Riwayat penyakit keluarga menurut keluarga klien tidak ada keluarga klien yang mengalami penyakit seperti klien atau menderita penyakit DM, hipertensi dan penyakit TBC. Dari pemeriksaan fisik pada tanggal 09 Juni 2004 diperoleh hasil keadaan umum klien adalah kesadaran compos mentis. GCS 4-5-6, hasil pengukuran tanda-tanda vital : TD : 140/80 mmHg, T :37,2oC, N : 100 x/menit, R : 24 m/menit, BB : 70 kg. Keadaan klien tampak lemah dan lesu.

Hasil pemeriksaan pada kulit, didapatkan keberhasilan kulit bersih (tidak ada kotoran yang menempel), warna kulit sawo matang, tekstur kulit halus, tidak ada odema. Kepala leher, struktur kepala tampak simetris, tidak ada nyeri atau trauma kepala, tidak ada lesi, warna rambut hitam beruban, distribusi rambut merata, pada leher tidak terdapat pembesaran kelenjar tyroid atau vena lugularis. Penglihatan dan mata, mata klien tampak simetris, tidak ada kotoran atau secret, klien dapat melihat dengan baik bola mata dapat digerakkan kesegala arah. Klien tidak menggunakan alat bantu penglihatan, sklera mata tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, mata klien tampak lesu, warna kehitam-hitaman disekitar mata. Penciuman dan hidung, struktur hidung simetris, tampak bersih tidak ada secret, atau kotoran, tidak ada pendarahan atau epistaksis, tidak ada peradangan atau nyeri hidung, fungsi penciuman baik dapat membedakan bau alkohol dan minyak kayu putih, tidak terdapat massa (polip). Pendengaran dan telinga, struktur telinga simetris, tampak bersih tidak ada secret atau cairan, tidak ada perdarahan atau peradangan, fungsi pendengaran baik, tidak menggunakan alat bantu pendengaran. Mulut dan gigi, warna mokusa bibir merah muda, mulut dan lidah besih, tidak ada perdarahan dan lesi, gigi ada yang tunggal, fungsi menguyah baik, tidak menggunakan gigi palsu. Dada, pernafasan dan sirkulasi, pergerakan rongga dada simetris, bentuk rongga dada simetris antara kiri dan kanan, frekuensi nafas 24 x/menit, irama teratur dan dalam, kadang-kadang batuk, tidak ada sesak nafas, tidak ada nyeri, pernapasan melalui hidung, tidak menggunakan otot bantu pernapasan, tidak terdengar bunyi nafas tambahan, perkusi sonor pada dada. Abdomen, bentuk abdomen simetris antara kiri dan kanan, distensi abdomen tidak ada, terdengar bising usus 6 x/menit, klien mengalami nyeri punggung belakang dari kiri menjalar kebagian kanan, skala nyeri 4 (berat sekali) 0 1 2 3 4 5 Frekuensi nyeri terus menerus dan tambah parah bila melakukan gerakan, kuantitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, ada nyeri tekan pada pinggang bagian kiri. Genitalia dan reproduksi, tidak ada peradangan pada genetalia bagian luar dan dalam, tidak ada kesulitan saat ereksi dan ejakuasi, tidak terdapat nyeri saat BAK, kebersihan genetalian bersih tidak terdapat lesi, kutu, kemerahan dan ekskoriasi. Ekstremitas atas dan bawah, struktur ekstrimitas dan kiri dan kanan simetris, struktur ekstrimitas bawah kiri dan kanan simetris, pada ekstrimitas kanan bawah terpasang infus RL 20 tts/menit drif toradol 1 ampul, nyeri pinggang tambah parah bila ekstrimitas bawah digerakkan, skala kekuatan otot.

4 3

4 3

Keterangan : 4 = Dapat digerakan melawan gravitasi dengan sedikit tahanan dari pemeriksa 3 = Dapat digerakkan melawan gravitasi tapi tidak dapat menahan tahanan dari pemeriksa Aktivitas dan istirahat, dirumah klien sehari-harinya hanya istirahat dan tidak bekerja lagi, tidur siang 1-2 jam/hari dan tidur malam 6-8 jam/hari. Di rumah sakit, klien hanya berbaring ditempat tidur, skala aktivitas 2 (mobilitas fisik dibantu sepenuhnya oleh orang lain). Klien mengeluh tidak bisa tidur karena nyeri pinggang tidur makan hanya 2 jam, klien sering terbangun saat tidur. Personal hygiene di rumah klien mandi 2 x 3 x sehari, gosok gigi 2 x sehari, keramas 1 2 x seminggu, potong kuku bila panjang, ganti pakaian bila kotor. Di rumah sakit, klien diseka 1 x sehari oleh keluarganya, gosok gigi kadang-kadang, kuku pendek, ganti pakaian bila kotor. Nutrisi,di rumah klien makan 3 x sehari , diet nasi biasa dan lain-lain sesuai selera klien, nafsu makan baik, minum 6 8 gelas air putih sehari. Di rumah sakit, klien makan 3 x sehari kadangkadang habis satu porsi kadang tidak, nafsu makan ada tapi hilang bila nyeri tambah parah, minum air putih 3-4 gelas sehari, diet BB TKTP. Eliminasi di rumah klien mengatakan BAB lancar 1-2 x sehari, konsistensi lembek, warna kekuningan, bau busuk. BAB lancar 3-4 x sehari, warna jernih kekuningan bau pesing. Di rumah sakit, BAB 1 x sehari, konsistensi lembek, bau busuk, BAK 2 3 x sehari, warna jernih kekuningan, bau pesing. Seksualitas klien sudah menikah mempunyai 1 orang istri dan 4 orang anak, hubungan klien dengan istri dan anak baik Psikososial, hubungan klien dengan perawat baik. Klien mau berkomunikasi dengan perawat, hubungan klien dengan keluarga baik, ini terlihat dari isteri dan anak-anak klien selalu menemani dan membantu aktivitas klien, klien tampak tabah menghadapi penyakitnya Spritual, klien beragama Islam, dirumah klien selalu rutin sholat 5 waktu, sedangkan di rumah sakit klien juga sholat meski hanya ditempat tidur dan klien selalu berdoa untuk kesembuhannya. Data Penunjang

Terapi / pengobatan (4 Juni 2004) Injeksi Acran Myonal Lytadex Trolip 300 Dulcolaxtol Pronalges 100 Esilgan 2 mg 2 x 1 amp 3 x 1 tab 3 x 1 tab 2x1 3 x CI 1-0-1 0-0-1

Therapi tambahan (9 Juni 2004) Inj stesolid/diazepam amp malam MST 10 mg Fundamine 1-0-1 3x1

Hasil pemeriksaan radiologi tanggal 5 Juni 2004 Shoulder joint AP Ext ( 24 x 30) Hasil : suspect fibro sarcoma Laboratorium klinik tanggal 4 Juni 2004 1. Kimia darah Gula darah puasa Gula darah 2 jam pp 1. Test faal hati SGPT 1. Test faal ginjal Creatinin : 0,8 mm/dl Normal : 0,6-1,1 mg/dl : 18,2 U/L Normal : up to 12 mg/dl : 114,5 mg/dl : 149 mg/dl Normal : 75-115 mg/dl Normal : 125 mg/dl

Uric acid 1. Lemak darah

: 4,9 mg/dl

Normal : 3,4 7,0 mg/dl

Choksterol Triglyserid

: 178,6 mg/dl : 256m5 mg/dl

Normal : up to 200 mg/dl Normal : 60 15 mg/dl

Data Fokus 1) 1. 2. 3. 4. 5. 2) Data inspeksi : Klien tampak meringis kesakitan dengan skala 4 (berat sekali) 0 1 2 3 4 5 Klien kadang-kadang batuk Tampak garis kehitaman disekitar mata Klien tampak gelisah Frekuensi nafas 24x/menit Palpasi : 1. Terdapat nyeri tekan pada pinggang kiri 2. Denyut nadi 100 x/menit 3) 4) Perkusi : Auskultasi : -

1. B. Analisa dan Diagnosa Keperawatan No 1 1 Data 2 DO : Masalah Etiologi 3 4 Gangguan rasa Refleksi spasme nyaman (nyeri akut) otot sekunder akibat - Diagnosa medis dari status low tekanan susunan saraf tepi daerah back pain pinggang - Klien tampak meringis kesakitan Klien tampak gelisah Tanda-tanda vital :

TD : 140/80 mmHg

: 37,2oC

N : 100 x/menit R : 24 x/menit DS : Klien mengeluh nyeri pada pinggan kiri menjalar kebagian kanan dengan skala nyeri 4 (berat sekali) 0 1 2 3 4 5

Kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk

1 2

- Frekuensi nyeri terus menerus dan tambah parah bila melakukan gerakan 2 3 4 DO : Gangguan pola Nyeri istirahat dan tidur pinggang kiri - Klien tampak lemah dan lesu - Tampak warna kehitam-hitaman di sekitar mata. Tanda-tanda vital :

pada

TD : 140/80 mmHg T : 37,2oC

N : 100 x/menit R : 24 x/menit DS : - Klien mengeluh tidak bisa tidur karena nyeri pinggang bagian kiri menjalar ke kanan dengan skala nyeri 4 (berat sekali) 0 1 2 3 4 5

Kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk

- Frekuensi nyeri terus menerus dan tambah parah bila melakukan gerakan - Klien mengatakan tidur malam paling lama 2 jam klien sering terbangun saat tidur 2 3 4 DO : Kerusakan mobilitas Nyeri fisik terhadap otot Klien tampak hanya berbaring ditempat tidur - Klien tampak meringis kesakitan bila melakukan gerakan klien hanya bisa beraktivitas ditempat tidur dengan di Bantu keluarga dengan skala aktivitas 2 (dibantu sepenuhnya oleh orang lain) DS : - Klien mengatakan merasa sangat nyeri bila melakukan gerakan dengan skala nyeri 4(berat sekali) -

1 3

sekunder spasme

Kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk - Frekuensi nyeri terus menerus dan tambah parah bila melakukan gerakan Prioritas masalah : 1. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan refleks spasme otot sekunder akibat tekanan susunan syaraftapi daerah pinggang. 2. Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan nyeri pada pinggang kiri 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap spasme otot

Read Full Article

TONSILITIS
1 Posted on : 23-02-2010 | By : MUHAMMAD ABDUL AZIZ | In : ASKEP M.A.AZIZ,AMK, ASKEP PENYAKIT DALAM, EBOOK, KUMPULAN ASKEP GRATIS, PLUGIN, SCRIPT, SOFTWARE, WELCOME TINJAUAN TEORITIS TONSILITIS 1. A. Tinjauan Teoritis Tonsilitis 1. Pengertian Tonsilitis adalah suatu infeksi yang merupakan komplikasi tersering dari infeksi saluran pernafasan bagian atas, terutama faringitis (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 1997 : 486). Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil atau amandel (dr. Sri Herawati JPB, SpTHT, 2000 : 32). Tonsilitis adalah infeksi akut pada tonsil (Black, 1993 : 1079). Tonsilitis terbagi 2 menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486), yaitu : 1. Tonsilitis Akut Merupakan infeksi tonsil akut yang menimbulkan demam, lemah, nyeri tenggorokan, nyeri dan gangguan menelan, dengan gejala dan tanda setempat radang akut. 1. Tonsilitis Kronis Merupakan infeksi yang paling sering ditemui diantara infeksi daerah faring. Ini sering dijumpai pada anak dan dewasa. Bila serangan akut tonsilitis sering kambuh meskipun penderita telah mendapat pengobatan yang adekuat harus diingat kemungkinan Tonsilitis Kronis. 1. Etiologi Kuman penyebab Tonsilitis akut dan kronis adalah kuman golongan Streptococcus Beta Hemolitikus, Streptococcus Virridans dan Streptococcos Pyogenesses yang merupakan penyebab pada 50% dari kasus (Henderson, 1997 : 108). Sisanya disebabkan oleh infeksi virus yaitu Adenovirus Echo, Virus Influenza serta Hervez. Cara infeksinya adalah percikan ludah (droplet infection) Penyakit ini ada kecendrungan residif

secara berulang tetapi kadang-kadang berubah menjadi kuman golongan gram negatif (Henderson, 1997 : 108). Faktor predisposisi timbulnya radang kronik adalah rangsangan yang menahun (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, hygiene mulut yang buruk (Soepardi, 1997 : 176177). 1. Patofisiologi Pada Tonsilitis Akut, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear (Arif Mansjoer, 1999 : 119). Pada Tonsilitis Kronis, karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akat diisi oleh detritus. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. (Arif Mansjoer 1999 : 120). Skema Proses Terjadinya Tonsilitis Akut Kuman menginfiltrasi lapisan epitel Epitel terkikis Jaringan limfoid superfisial bereaksi Pembendungan polimorfonuklear Skema Proses Terjadinya Tonsilitis Kronis Proses radang berulang Epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis Proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut Jaringan mengerut, ruang antara kelompok melebar (kriptus) radang dengan infiltrasi leukosit

yang akan di isi oleh detritus Proses ini meluas hingga menembus kapsul Timbul perlekatan dengan tonsilaris Cara penilaian pembesaran tonsil menurut Rukmini (1999 : 45), adalah : 1. 2. 3. 4. 5. ovula Tonsil Arkus anterior T1 T2 T3 T4 T 0 = Tonsil telah diangkat. T 1 = Bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan ovula. T 2 = Bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan ovula. T 3 = Bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan ovula. T 4 = Bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih. jaringan sekitar fosa

1. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala pada Tonsilitis Akut menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Suhu tubuh naik sampai 400C. Rasa gatal atau kering di tenggorokan. Lesu dan nyeri sendi. Anorexia. Otalgia. Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis. Tonsil membengkak dan hiperemis. Terdapat detritus atau tonsilitis folikularis, kadang detritus berdekatan menjadi satu atau tonsilitis lakunaris atau berupa membran semu. 10. Kelenjar submandibula dan nyeri tekan terutama pada anak-anak.

Tanda dan gejala pada Tonsilitis Kronis menurut Arif Mansjoer (1999 : 120) adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Klien mengeluh ada penghalang di tenggorokan. Tenggorokan teras kering. Pernafasan berbau. Pada pemeriksaan, tonsil membesar dengan permukaan tidak rata. Kriptus membesar dan terisi detritus.

1. Pemeriksaan Penunjang Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah : 1. Kultur tenggorokan. 2. Uji resistensi kuman. 3. Sediaan apus tonsil. 1. Penatalaksanaan Medis Menurut John Jacob Ballenger (1994 : 346), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis adalah : Jika ditemukan Streptokokkus grup A, segera diobati dengan Penisillin atau Eritromisin selama 10 hari. Jika ditemukan bakteri pathogen atau bakteri selain Streptokokkus grup A, terapi yang tepat harus segera diberikan. Seringkali hanya diberi terapi umum ditambah terapi simtomatis jika tidak ditemukan bakteri, dan etiologinya dianggap karena virus. Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Akut adalah Antibiotik golongan Penisillin atau Sulfanamida selama 5 hari, Antipiretik, dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan. Bila alergi pada Penisillin dapat diberikan Eritromisin atau Klindamisin. Menurut Arif Mansjoer (1999 : 120), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Kronis adalah : 1. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau isap. 2. Terapi radikal dengan tonsiliktomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil. Indikasi Tonsilektomi menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486) adalah : Tonsil hipertrofik sering ditemukan pada anak-anak, keadaan ini tidak merupakan kelainan. Tonsilektomi baru dilakukan bila ada penyulit korpulmonalel akibat obstruksi kronik jalan nafas yang jarang terjadi, abses faringeal atau peritonsiler, atau pembesaran tonsil mengakibatkan disfagia dengan penurunan berat badan. Kecurigaan keganasan tonsil pada orang dewasa muda dan dewasa, merupakan indikasi untuk pemeriksaan hystopatologik. Indikasi khusus anak adalah Tonsilitis rekurens yang kambuh lebih dari 3 kali, tonsil hypertropik yang menyebabkan obstruksi misalnya ganguan menelan, hyperplasia setelah infeksi mononukleosis, dan riwayat demam reumatik dengan gangguan jantung yang berhubungan dengan Tonsilitis Kronik yang sukar diatasi dengan antibiotik. Penanganan tonsilitis lebih lanjut dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi. Teknik yang digunakan pada operasi tonsilektomi yaitu: 1. Pada anak Sluder Guillotine 2. Pada dewasa Diseksi Jerat

1. B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Tonsilitis Menurut Doenges (2000 : 612-614), teoritis urutan keperawatan pada penyakit telinga dan tenggorokan, meliputi : 1. Pengkajian Meliputi keluhan utama seperti nyeri menelan, demam tinggi, seperti ada halangan di tenggorokan, pernafasan bau, dan lain-lain. Riwayat penyakit sekarang adalah sudah berapa lama klien merasakan keluhan atau gejala yang timbul sampai klien masuk ke rumah sakit. Riwayat penyakit dahulu adalah adanya riwayat penyakit Tonsilitis, kebiasaan merokok, riwayat Hypertensi, dan lain-lain. Riwayat penyakit keluarga adalah adanya riwayat penyakit keturunan. Pemeriksaan fisik adalah fokus pada telinga, hidung dan tenggorokan. Makanan atau cairan adalah kesulitan menelan dan kerusakan membran mukosa. Nyeri dan kenyamanan adalah nyeri menelan, penyebaran nyeri sampai ke telinga, meringis, gelisah. Integritas ego adalah perasaan takut akan mati, kemampuan kerja dan keuangan. Adanya ansietas, depresi dan menyangkal. Penyuluhan dan pembelajaran adalah baru menjalani operasi atau prosedur invasif dan pengunaan antibiotik. 1. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang sering muncul adalah : 1. Nyeri akut berhubungan dengan implamasi pada tonsil. 2. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan ketidakadekuatan masukan cairan sekunder akibat nyeri. 3. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidahcukupan pengetahuan tentang kondisi pengobatan, kebutuhan nutrisi cairan, tanda-tanda dan gejala komplikasi. 4. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan masukan sekunder akibat nyeri saat menelan. 1. Perencanaan / Intervensi

1. Intervensi Diagnosa a. 1). Kaji tingkat nyeri. 2). Ajarkan tekhnik relaksasi progresif dan distraksi. 3). Atur posisi klien. 4). Kolaborasi dalam pemberian analgetika. 1. Intervensi Diagnosa b. 1). Kaji status hidrasi. 2). Pantau tanda-tanda vital. 3). Pertahankan cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin. 4). Timbang berat badan tiap hari. 1. Intervensi Diagnosa c. 1). Jelaskan tentang proses penyakit. 2). Jelaskan tentang pencegahan. 3). Jelaskan tentang pengobatan. 1. Intervensi Diagnosa d. 1). Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering. 2). Hidangkan makanan selagi hangat. 3). Amati masukan makanan dan timbang berat badan setiap hari. 1. Rasional 1. Rasional Intervensi Diagnosa a 1). Untuk mengevaluasi nyeri, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi. 2). Relaksasi mengurangi ketegangan otot dan distraksi mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri. 3). Posis yang sesuai dapat mengurangi rasa nyeri.

4). Terapi analgetika dapat mengurangi nyeri. 1. Rasional Intervensi Diagnosa b 1). Untuk mengevaluasi dehidrasi, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi. 2). Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien. 3). Kebutuhan cairan dan elektrolet adekuat. 4). Memberikan informasi sehubungan dengan kebutuhan nutrisi. 1. Rasional Intervensi Diagnosa c 1). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang proses penyakitnya. 2). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pencegahan. 3). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pengobatan. 1. Rasional Intervensi Diagnosa d 1). Sedikit-sedikit tapi sering akan toleran terhadap lambung. 2). Meningkatkan nafsu makan klien. 3). Memberikan informasi sehubungan dengan kebutuhan nutrisi. 1. Evaluasi Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan pada klien dengan pre dan post operasi tonsilektomi adalah nyeri berkurang atau hilang, kekurangan volume cairan atau hidrasi tidak terjadi, klien mengerti tentang penyakit, prosedur pengobatan, tanda dan gejala. TINJAUAN TEORITIS TONSILITIS 1. A. Tinjauan Teoritis Tonsilitis 1. Pengertian Tonsilitis adalah suatu infeksi yang merupakan komplikasi tersering dari infeksi saluran pernafasan bagian atas, terutama faringitis (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 1997 : 486). Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil atau amandel (dr. Sri Herawati JPB, SpTHT, 2000 : 32).

Tonsilitis adalah infeksi akut pada tonsil (Black, 1993 : 1079). Tonsilitis terbagi 2 menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486), yaitu : 1. Tonsilitis Akut Merupakan infeksi tonsil akut yang menimbulkan demam, lemah, nyeri tenggorokan, nyeri dan gangguan menelan, dengan gejala dan tanda setempat radang akut. 1. Tonsilitis Kronis Merupakan infeksi yang paling sering ditemui diantara infeksi daerah faring. Ini sering dijumpai pada anak dan dewasa. Bila serangan akut tonsilitis sering kambuh meskipun penderita telah mendapat pengobatan yang adekuat harus diingat kemungkinan Tonsilitis Kronis. 1. Etiologi Kuman penyebab Tonsilitis akut dan kronis adalah kuman golongan Streptococcus Beta Hemolitikus, Streptococcus Virridans dan Streptococcos Pyogenesses yang merupakan penyebab pada 50% dari kasus (Henderson, 1997 : 108). Sisanya disebabkan oleh infeksi virus yaitu Adenovirus Echo, Virus Influenza serta Hervez. Cara infeksinya adalah percikan ludah (droplet infection) Penyakit ini ada kecendrungan residif secara berulang tetapi kadang-kadang berubah menjadi kuman golongan gram negatif (Henderson, 1997 : 108). Faktor predisposisi timbulnya radang kronik adalah rangsangan yang menahun (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat, hygiene mulut yang buruk (Soepardi, 1997 : 176177). 1. Patofisiologi Pada Tonsilitis Akut, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear (Arif Mansjoer, 1999 : 119). Pada Tonsilitis Kronis, karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akat diisi oleh detritus. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. (Arif Mansjoer 1999 : 120). Skema Proses Terjadinya Tonsilitis Akut

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel Epitel terkikis Jaringan limfoid superfisial bereaksi Pembendungan polimorfonuklear Skema Proses Terjadinya Tonsilitis Kronis Proses radang berulang Epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis Proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut Jaringan mengerut, ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh detritus Proses ini meluas hingga menembus kapsul Timbul perlekatan dengan tonsilaris Cara penilaian pembesaran tonsil menurut Rukmini (1999 : 45), adalah : 1. 2. 3. 4. 5. ovula Tonsil Arkus anterior T1 T2 T3 T4 T 0 = Tonsil telah diangkat. T 1 = Bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan ovula. T 2 = Bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan ovula. T 3 = Bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan ovula. T 4 = Bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih. jaringan sekitar fosa radang dengan infiltrasi leukosit

1. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala pada Tonsilitis Akut menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Suhu tubuh naik sampai 400C. Rasa gatal atau kering di tenggorokan. Lesu dan nyeri sendi. Anorexia. Otalgia. Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis. Tonsil membengkak dan hiperemis. Terdapat detritus atau tonsilitis folikularis, kadang detritus berdekatan menjadi satu atau tonsilitis lakunaris atau berupa membran semu. 10. Kelenjar submandibula dan nyeri tekan terutama pada anak-anak.

Tanda dan gejala pada Tonsilitis Kronis menurut Arif Mansjoer (1999 : 120) adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Klien mengeluh ada penghalang di tenggorokan. Tenggorokan teras kering. Pernafasan berbau. Pada pemeriksaan, tonsil membesar dengan permukaan tidak rata. Kriptus membesar dan terisi detritus.

1. Pemeriksaan Penunjang Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118) pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah : 1. Kultur tenggorokan. 2. Uji resistensi kuman. 3. Sediaan apus tonsil. 1. Penatalaksanaan Medis Menurut John Jacob Ballenger (1994 : 346), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis adalah : Jika ditemukan Streptokokkus grup A, segera diobati dengan Penisillin atau Eritromisin selama 10 hari. Jika ditemukan bakteri pathogen atau bakteri selain Streptokokkus grup A, terapi yang tepat harus segera diberikan. Seringkali hanya diberi terapi umum ditambah terapi simtomatis jika tidak ditemukan bakteri, dan etiologinya dianggap karena virus. Menurut Arif Mansjoer (1999 : 118), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Akut adalah Antibiotik golongan Penisillin atau Sulfanamida selama 5 hari, Antipiretik, dan obat kumur atau obat isap dengan desinfektan. Bila alergi pada Penisillin dapat diberikan Eritromisin atau Klindamisin.

Menurut Arif Mansjoer (1999 : 120), penatalaksanaan medis pada Tonsilitis Kronis adalah : 1. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau isap. 2. Terapi radikal dengan tonsiliktomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak berhasil. Indikasi Tonsilektomi menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997 : 486) adalah : Tonsil hipertrofik sering ditemukan pada anak-anak, keadaan ini tidak merupakan kelainan. Tonsilektomi baru dilakukan bila ada penyulit korpulmonalel akibat obstruksi kronik jalan nafas yang jarang terjadi, abses faringeal atau peritonsiler, atau pembesaran tonsil mengakibatkan disfagia dengan penurunan berat badan. Kecurigaan keganasan tonsil pada orang dewasa muda dan dewasa, merupakan indikasi untuk pemeriksaan hystopatologik. Indikasi khusus anak adalah Tonsilitis rekurens yang kambuh lebih dari 3 kali, tonsil hypertropik yang menyebabkan obstruksi misalnya ganguan menelan, hyperplasia setelah infeksi mononukleosis, dan riwayat demam reumatik dengan gangguan jantung yang berhubungan dengan Tonsilitis Kronik yang sukar diatasi dengan antibiotik. Penanganan tonsilitis lebih lanjut dilakukan pengangkatan tonsil atau tonsilektomi. Teknik yang digunakan pada operasi tonsilektomi yaitu: 1. Pada anak Sluder Guillotine 2. Pada dewasa Diseksi Jerat 1. B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Tonsilitis Menurut Doenges (2000 : 612-614), teoritis urutan keperawatan pada penyakit telinga dan tenggorokan, meliputi : 1. Pengkajian Meliputi keluhan utama seperti nyeri menelan, demam tinggi, seperti ada halangan di tenggorokan, pernafasan bau, dan lain-lain. Riwayat penyakit sekarang adalah sudah berapa lama klien merasakan keluhan atau gejala yang timbul sampai klien masuk ke rumah sakit. Riwayat penyakit dahulu adalah adanya riwayat penyakit Tonsilitis, kebiasaan merokok, riwayat Hypertensi, dan lain-lain. Riwayat penyakit keluarga adalah adanya riwayat penyakit keturunan. Pemeriksaan fisik adalah fokus pada telinga, hidung dan tenggorokan. Makanan atau cairan adalah kesulitan menelan dan kerusakan membran mukosa.

Nyeri dan kenyamanan adalah nyeri menelan, penyebaran nyeri sampai ke telinga, meringis, gelisah. Integritas ego adalah perasaan takut akan mati, kemampuan kerja dan keuangan. Adanya ansietas, depresi dan menyangkal. Penyuluhan dan pembelajaran adalah baru menjalani operasi atau prosedur invasif dan pengunaan antibiotik. 1. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang sering muncul adalah : 1. Nyeri akut berhubungan dengan implamasi pada tonsil. 2. Resiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan ketidakadekuatan masukan cairan sekunder akibat nyeri. 3. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidahcukupan pengetahuan tentang kondisi pengobatan, kebutuhan nutrisi cairan, tanda-tanda dan gejala komplikasi. 4. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan penurunan masukan sekunder akibat nyeri saat menelan. 1. Perencanaan / Intervensi 1. Intervensi Diagnosa a. 1). Kaji tingkat nyeri. 2). Ajarkan tekhnik relaksasi progresif dan distraksi. 3). Atur posisi klien. 4). Kolaborasi dalam pemberian analgetika. 1. Intervensi Diagnosa b. 1). Kaji status hidrasi. 2). Pantau tanda-tanda vital. 3). Pertahankan cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin. 4). Timbang berat badan tiap hari. 1. Intervensi Diagnosa c.

1). Jelaskan tentang proses penyakit. 2). Jelaskan tentang pencegahan. 3). Jelaskan tentang pengobatan. 1. Intervensi Diagnosa d. 1). Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering. 2). Hidangkan makanan selagi hangat. 3). Amati masukan makanan dan timbang berat badan setiap hari. 1. Rasional 1. Rasional Intervensi Diagnosa a 1). Untuk mengevaluasi nyeri, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi. 2). Relaksasi mengurangi ketegangan otot dan distraksi mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri. 3). Posis yang sesuai dapat mengurangi rasa nyeri. 4). Terapi analgetika dapat mengurangi nyeri. 1. Rasional Intervensi Diagnosa b 1). Untuk mengevaluasi dehidrasi, menentukan intervensi dan menentukan efektivitas terapi. 2). Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien. 3). Kebutuhan cairan dan elektrolet adekuat. 4). Memberikan informasi sehubungan dengan kebutuhan nutrisi. 1. Rasional Intervensi Diagnosa c 1). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang proses penyakitnya. 2). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pencegahan. 3). Informasi yang diberikan secara tepat memudahkan klien mengerti tentang pengobatan. 1. Rasional Intervensi Diagnosa d

1). Sedikit-sedikit tapi sering akan toleran terhadap lambung. 2). Meningkatkan nafsu makan klien. 3). Memberikan informasi sehubungan dengan kebutuhan nutrisi. 1. Evaluasi Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan pada klien dengan pre dan post operasi tonsilektomi adalah nyeri berkurang atau hilang, kekurangan volume cairan atau hidrasi tidak terjadi, klien mengerti tentang penyakit, prosedur pengobatan, tanda dan gejala. Read Full Article

HIPOGLIKEMIA
0 Posted on : 23-02-2010 | By : MUHAMMAD ABDUL AZIZ | In : ASKEP PENYAKIT DALAM, EBOOK, PLUGIN, SCRIPT, SOFTWARE, WELCOME LAPORAN PENDAHULUAN HIPOGLIKEMIA 1. A. Pengertian Hipoglikemi adalah suatu keadaan, dimana kadar gula darah plasma puasa kurang dari 50 mg/%. Populasi yang memiliki resiko tinggi mengalami hipoglikemi adalah: Diabetes melitus Parenteral nutrition Sepsis Enteral feeding Corticosteroid therapi Bayi dengan ibu dengan diabetik Bayi dengan kecil masa kehamilan Bayi dengan ibu yang ketergantungan narkotika

Luka bakar Kanker pankreas Penyakit Addisons Hiperfungsi kelenjar adrenal Penyakit hati

Type hipoglikemi digolongkan menjadi beberapa jenis yakni: Transisi dini neonatus ( early transitional neonatal ) : ukuran bayi yang besar ataupun normal yang mengalami kerusakan sistem produksi pankreas sehingga terjadi hiperinsulin. Hipoglikemi klasik sementara (Classic transient neonatal) : tarjadi jika bayi mengalami malnutrisi sehingga mengalami kekurangan cadangan lemak dan glikogen. Sekunder (Scondary) : sebagai suatu respon stress dari neonatus sehingga terjadi peningkatan metabolisme yang memerlukan banyak cadangan glikogen. Berulang ( Recurrent) : disebabkan oleh adanya kerusakan enzimatis, atau metabolisme insulin terganggu. 1. B. Patofiologi

Diabetes melitus pada orang tua/ keluarga

Intra uterin malnutrisi

HIPOGLIKEMIA

1. C. Manifestasi Klinis
y

Lap Gem

ar
y

etar Gan gguan berpikir dan konsentrasi y Keri ngat dingin, berdebar y Pusi ng, gelisah, akhirnya koma
y

1. D. Fokus Pengkajian Data dasar yang perlu dikaji adalah : 1. Keluhan utama : sering tidak jelas tetapi bisanya simptomatis, dan lebih sering hipoglikemi merupakan diagnose sekunder yang menyertai keluhan lain sebelumnya seperti asfiksia, kejang, sepsis. 2. Riwayat : ANC Perinatal Post natal Imunisasi Diabetes melitus pada orang tua/ keluarga Pemakaian parenteral nutrition

Sepsis Enteral feeding Pemakaian Corticosteroid therapi Ibu yang memakai atau ketergantungan narkotika Kanker 1. Data fokus

Data Subyektif: Sering masuk dengan keluhan yang tidak jelas Keluarga mengeluh bayinya keluar banyaj keringat dingin Rasa lapar (bayi sering nangis) Nyeri kepala Sering menguap Irritabel

Data obyektif: Parestisia pada bibir dan jari, gelisah, gugup, tremor, kejang, kaku,

Hightpitched cry, lemas, apatis, bingung, cyanosis, apnea, nafas cepat irreguler, keringat dingin, mata berputar-putar, menolak makan dan koma serta plasma glukosa < 50 gr/%. 1. E. Diagnose dan Rencana Keperawatan Diagnosa I 1. Resiko komplikasi berhubungan dengan kadar glukosa plasma yang rendah seperti, gangguan mental, gangguan perkembangan otak, gangguan fungsi saraf otonom, koma hipoglikemi Rencana tindakan Cek serum glukosa sebelum dan setelah makan Monitor : kadar glukosa, pucat, keringat dingin, kulit yang lembab

Monitor vital sign Monitor kesadaran Monitor tanda gugup, irritabilitas Lakukan pemberian susu manis peroral 20 cc X 12 Analisis kondisi lingkungan yang berpotensi menimbulkan hipoglikemi. Cek BB setiap hari Cek tanda-tanda infeksi Hindari terjadinya hipotermi Lakukan kolaborasi pemberian Dex 15 % IV Lakukan kolaborasi pemberian O2 1 lt 2 lt /menit

Diagnosa II 1. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh Rencana tindakan: Lakukan prosedur perawatan tangan sebelum dan setelah tindakan Pastikan setiap benda yang dipakai kontak dengan bayi dalam keadaan bersih atau steril Cegah kontak dengan petugas atau pihak lain yang menderita infeksi saluran nafas. Perhatikan kondisi feces bayi Anjurkan keluarga agar mengikuti prosedur septik aseptik. Berikan antibiotik sebagai profolaksis sesuai dengan order. Lakukan pemeriksaan DL, UL, FL secara teratur.

Diagnosa III 1. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan pengeluaran keringat Renacana tindakan

Cek intake dan output Berikan cairan sesuai dengan kebutuhan bayi /kg BB/24 jam Cek turgor kulit bayi Kaji intoleransi minum bayi Jika mengisap sudah baik anjurkan pemberian ASI

Diagnosa IV 1. Keterbatasan gerak dan aktivitas berhubungan dengan hipoglikemi pada otot Rencana tindakan Bantu pemenihan kebutuhan sehari-hari Lakukan fisiotherapi Ganti pakaian bayi secara teratur dan atau jika kotor dan basah.

DAFTAR PUSTAKA Carpenito (1997), L.J Nursing Diagnosis, Lippincott , New York Marino (1991), ICU Book, Lea & Febiger, London Nelson (1993), Ilmu Kesehatan Anak, EGC, Jakarta Suparman (1988), Ilmu Penyakit Dalam , Universitas Indonesia, Jakarta. Wong and Whaley (1996) Peiatric Nursing ; Clinical Manual, Morsby, Phi Read Full Article

DISPEPSIA
0 Posted on : 23-02-2010 | By : MUHAMMAD ABDUL AZIZ | In : ASKEP PENYAKIT DALAM, EBOOK, PLUGIN, SOFTWARE, Uncategorized, WELCOME LAPORAN PENDAHULUAN

DISPEPSIA A. PENGERTIAN Dispepsia adalah merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri rasa tidak enak atau sakit diperut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas didada (heart burn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu : 1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.

2) Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. 1. B. ETIOLOGI Penyebab dispepsia, yaitu : 1) 2) 3) 4) Dalam Lumen Saluran Cerna. Tukak peptic Gastritis Keganasan Gastroparesis Obat-obatan AINS Teofilin Digitalis Antibiotik Hepato Biller Hepatitis Kolesistitis Kolelitiatis

5) 6) 7)

Keganasan Disfungsi spincter odii Pancreas Pankreatitis Keganasan Keadaan Sistematik DM Penyakit tiroid Gagal ginjal Kehamilan PJI Gangguan Fungsional Dispepsia fungsional Sindrom kolon iritatif 1. C. PATOFISIOLOGI

Dengan kriteria tidak adanya kelainan organik pada SCBA, maka teori patogenesisnya sangat bervariasi. Berbagai usaha telah dicoba untuk menerangkan korelasi yang ada antara keluhan dengan sedikitnya temuan kelainan yang ada secara konvensional. 1. D. MANIFESTASI KLINIS Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi 3 tipe : 1) a) b) c) Dispepsia dan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala : Nyeri epigastrium terlokalisasi. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid. Nyeri saat lapar.

d) 2) a) b) c) d) e) f) 3)

Nyeri episodik. Dispepsia dengan GFI seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia), dengan gejala : Mudah kenyang Perut cepat terasa penuh saat makan Mual Muntah Upper abdominal bloating Rasa tak nyaman bertambah saat makan. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas) 1. E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) a) b) c) 2) a) b) c) d)

Pemeriksaa Radiologi OMD dengan kontras ganda Serologi Helicobacter pylori Urea breath test Pemeriksaan Endoskopi CLO (rapid urea test) Patologi anatomi (PA) Kultur mikroorganisme (MO) jaringan PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian. 1. F. PENATALAKSANAAN

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu : 1. Antasid 20-150 ml/hari Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Campuran yang biasanya terdapat dalam antasid antara lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg

(OH)2 dan Mg trisilikat. Pemakaian obat ini sebaiknya jangan diberikan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg trisilikat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. 1. Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 2843%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. 1. Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin dan famotidin. 1. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI) Sesuai dengan namanya, golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol dan pantoprazol. 1. Sitoprotektif Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sebagai site protective), yang senyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). 1. Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, dom peridon dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance). PROSES KEPERAWATAN DISPEPSIA 1. A. PENGKAJIAN 1. Kaji tanda dan gejala dispepsia Apakah klien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual atau muntah.

Kapan gejala tersebut terjadi, apakah terjadi sebelum/ sesudah makan, setelah mencerna makanan pedas/ pengiritasi/ setelah mencerna obat tertentu/ alkohol. Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stres, alergi, makan/ minum terlalu banyak. 1. Kaji terhadap riwayat penyakit lambung sebelumnya/ pembedahan lambung. 2. Kaji nutrisi klien. 3. Kaji tanda yang diketahui pada saat pemeriksaan fisik meliputi nyeri tekan abdomen dehidrasi (perubahan turgor kulit, membran mukosa). 4. Kaji terhadap tindakan klien untuk mengatasi gejala dan efek-efeknya. 1. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Berdasarkan semua data pengkajian, diagnosa keperawatan yang mungkin muncul meliputi : 1. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan tidak cukup dan kehilangan cairan berlebihan karena muntah. 2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan nutrisi yang tidak adekuat. 3. Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi. 4. Ansietas berhubungan dengan pengobatan. 5. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit. 1. C. PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI Tujuan utama mencakup mempertahankan keseimbangan cairan, menghindari makanan pengiritasi dan menjamin masukan nutrisi adekuat, menghilangkan nyeri, mengurangi ansietas, meningkatkan kesadaran tentang penatalaksanaan diet. 1. D. INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Meningkatkan keseimbangan cairan. a) Pantau masukan dan haluran cairan setiap hari untuk mendeteksi tanda-tanda awal dehidrasi. b) Kaji nilai elektrolit (natrium, kalium, klorida) setiap 24 jam untuk mendeteksi indikator awal ketidakseimbangan. 1. Meningkatkan nutrisi a) Kaji adanya mual, muntah, sakit ulu hati dan kelelahan.

b) Hindari makanan/ minuman yang mengandung kafein karena kafein adalah stimulan sistem saraf pusat yang meningkatkan aktivitas lambung. c) Hindari penggunaan alkohol dan nikotin.

1. Menghilangkan nyeri a) b) Kaji tingkat nyeri dan kenyamanan klien. Menghindari makanan dan minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung. 1. Mengurangi ansietas e) Gunakan pendekatan untuk mengkaji pasien dan menjawab semua pertanyaan selengkap mungkin. e) Menjelaskan semua prosedur dan pengobatan sesuai dengan tingkat pemahaman klien. 1. E. EVALUASI Hasil yang diharapkan : 1. Mempertahankan keseimbangan cairan. 2. Mentoleransi terapi intravena 1. Minum 6-8 gelas air setiap hari 2. Mempunyai haluaran urin kira-kira 1 liter setiap hari 3. Menunjukkan turgor kulit 4. Menghindari makan makanan pengiritasi/ minuman yang mengandung kafein/ alkohol. 1. Melaporkan nyeri berkurang 2. Menunjukkan berkurangnya ansietas 3. Mematuhi program pengobatan 4. Memilih makanan dan minuman bukan pengiritasi 5. Menggunakan obat-obatan sesuai resep DAFTAR PUSTAKA 1) Mansjoer, Arief et all.2001.Kapita Selekta Kedokteran.Jilid 1 Edisi III.Jakarta : Media Aesculapius. 2) Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid 2 Edisi 3.Jakarta : FKUI. 3) Smeltzer, Suzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.Edisi 8.Vol 2.Jakarta : EGC. Read Full Article

DHF
0

Posted on : 23-02-2010 | By : MUHAMMAD ABDUL AZIZ | In : ASKEP PENYAKIT DALAM, EBOOK, SCRIPT, SOFTWARE, WELCOME LAPORAN PENDAHULUAN Dengue Haemoragic Fever (DHF)

I.
A. Definisi

Konsep dasar DHF

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. (Ngastiyah, 1995 ; 341). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan tipe I IV dengan infestasi klinis dengan 5 7 hari disertai gejala perdarahan dan jika timbul tengatan angka kematiannya cukup tinggi (UPF IKA, 1994 ; 201) Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam yang berlangsung akut menyerang baik orang dewasa maupun anak anak tetapi lebih banyak menimbulkan korban pada anak anak berusia di bawah 15 tahun disertai dengan perdarahan dan dapat menimbulkan syok yang disebabkan virus dengue dan penularan melalui gigitan nyamuk Aedes. (Soedarto, 1990 ; 36). Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16).

B.
1.

Etiologi
Virus dengue

Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan 4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster Kidney) maupun sel sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus. (Soedarto, 1990; 36).

2.

Vektor

Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 420). Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes

Albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana bejana yang terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari. (Soedarto, 1990 ; 37).

3.

Host

Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue huntuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).

C.

PATOFISIOLOGI
Perbanyak diri di hepar Hepatomegali Mual-Muntah Perubahan nutrisi kurang dari

Infeksi Virus Dengue

Terbentuk komplek antigen-antibodi Mengaktivasi sistem komplemen PGE2 Hipotalamus kebutuhan tubuh Melepaskan histamin Peningkatan suhu Kebocoran plasma Hipovolemia Renjatan hipovolemi dan hipotensi pembuluh darah
y

Dilepaskan C3a dan C5a (peptida)

Permeabilitas membran meningkat tubuh

Kerusakan endotel

Kekurangan volume cairan

Agregasi Trombosit

Ke ekstravaskuler Mengaktivasi faktor pembekuan Efusi pleura dan asites terjadi DIC
y y

Trombositopenia

Merangsang

dan

Dalam jangka waktu lama menurun dan

Gangguan pertukaran gas Perdarahan Intoleransi activity Gangguan perfusi jaringan

Hipoksia jaringan Asidosis Metabolik Kematian Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan virtemia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun Antibodi virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga terjadi termo regulasi instabil yaitu hipertermia yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air sehingga terjadi hipovolemi. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit, trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut terjadi shock dan jika shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak teratasi terjadi hipoxia jaringan. Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor pembekuan. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan permiabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan kuagulopati (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).

D.
4.

Manifestasi KLINIS infeksi virus dengue


Demam

Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2 7 hari kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri punggung , nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyetainya. (Soedarto, 1990 ; 39).

5.

Perdarahan

Perdaran biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan umumnya terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tocniguet yang positif mudah terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia dan purpura. ( Soedarto, 1990 ; 39). Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan haematemesis. (Nelson, 1993 ; 296). Perdarahan gastrointestinat biasanya di dahului dengan nyeri perut yang hebat. (Ngastiyah, 1995 ; 349).

6.

Hepatomegali

Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali dan hati teraba kenyal harus di perhatikan kemungkinan akan tejadi renjatan pada penderita . (Soederita, 1995 ; 39).

7.

Renjatan (Syok)

Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai dengan tanda tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk. (soedarto ; 39). KLASIFIKASI DHF Menurut derajat ringannya penyakit, Dengue Haemoragic Fever (DHF) dibagi menjadi 4 tingkat (UPF IKA, 1994 ; 201) yaitu : a. Derajat I

Panas 2 7 hari , gejala umumtidak khas, uji taniquet hasilnya positif b. Derajat II

Sama dengan derajat I di tambah dengan gejala gejala pendarahan spontan seperti petekia, ekimosa, epimosa, epistaksis, haematemesis, melena, perdarahan gusi telinga dan sebagainya. c. Derajat III

Penderita syok ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (> 120 / menit) tekanan nadi sempit (< 20 mmHg) tekanan darah menurun (120 / 80 mmHg) sampai tekanan sistolik dibawah 80 mmHg. d. Derajat IV

Nadi tidak teraba,tekanan darah tidak terukur (denyut jantung > 140 mmHg) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru. WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu : a. Derajat I

Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.

b.

Derajat II

Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi. c. Derajat III

Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( 120 mmHg ), tekanan darah menurun, (120/80 120/100 120/110 90/70 80/70 80/0 0/0 ) d. Derajat IV

Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teatur (denyut jantung 140x/mnt) anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru. Derajat (WHO 1997): a. Derajat I : Demam dengan test rumple leed positif. : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit atau

b. Derajat II perdarahan lain.

c. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun/ hipotensi disertai dengan kulit dingin lembab dan pasien menjadi gelisah. d. Derajat IV tidak dapat diukur. : Syock berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah

TANDA DAN GEJALA Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat penyakitnya, tanda dan gejala lain adalah : Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat dengan reaksi perabaan. Asites Cairan dalam rongga pleura ( kanan ) Ensephalopati : kejang, gelisah, sopor koma. Gejala klinik lain yaitu nyeri epigasstrium, muntah muntah, diare maupun obstipasi dan kejang kejang. (Soedarto, 1995 ; 39).

E.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA

Untuk mendiagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF) dapat dilakukan pemeriksaan dan didapatkan gejala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga dapat ditegakan dengan pemeriksaan laboratorium yakni : Trombositopenia (< 100.000 / mm3) , Hb dan PCV meningkat (> 20%) leukopenia (mungkin normal atau leukositosis), isolasi virus, serologis (UPF IKA, 1994). Pemeriksaan serologik yaitu titer CF (complement fixation) dan anti bodi HI (Haemaglutination ingibition) (Who, 1998 ; 69), yang hasilnya adalah Pada infeksi pertama dalam fase akut titer antibodi HI adalah kurang dari 1/20 dan akan meningkat sampai < 1/1280 pada stadium rekovalensensi pada infeksi kedua atau selanjutnya, titer antibodi HI dalam fase akut > 1/20 dan akan meningkat dalam stadium rekovalensi sampai lebih dari pada 1/2560. Apabila titer HI pada fase akut > 1/1280 maka kadang titernya dalam stadium rekonvalensi tidak

naik lagi. (UPF IKA, 1994 ; 202) Pada renjatan yang berat maka diperiksa : Hb, PCV berulangkali (setiap jam atau 4-6 jam apabila sudah menunjukan tanda perbaikan) faal haemostasis x-foto dada, elektro kardio gram, kreatinin serum. Dasar diagnosis Dengue Haemoragic Fever (DHF)WHO tahun 1997: Klinis: Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari. Menifestasi perdarahan petikie, melena, hematemesis (test rumple leed). Pembesaran hepar. Syock yang ditandai dengan nadi lemah, cepat, tekanan darah menurun, akral dingin dan sianosis, dan gelisah. Laboratorium: Trombositopenia (< 100.000/ uL) dan terjadi hemokonsentrasi lebih dari 20%.

F.
1.

DIAGNOSA BANDING
Belum / tanpa renjatan :
1. Campak 2. Infeksi bakteri / virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok pnyakit exanthem, hepatitis, chikungunya) 3. Demam tipoid 4. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain 5. Leukimia 6. Anemia aplastik

2. 3. 4.

Dengan renjatan Dengan perdarahan Dengan kejang

Ensefalitis meningitis

G.

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

Pemberantasan Dengue Haemoragic Fever (DHF) seperti juga penyakit menular laibn didasarkan atas meutusan rantai penularan, terdiri dari virus, aedes dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif terdapat virus itu maka pemberantasan ditujukan pada manusia terutama pada vektornya. (Soemarmo, 1998 ; 56) Prinsip tepat dalam pencegahan DHF (Sumarmo, 1998 ; 57) 1) manfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan pada saat hsedikit terdapatnya DHF / DSS 2) memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita veremia. 3) Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah pengambaran yaitu sekolah dan RS, termasuk pula daerah penyangga sekitarnya. 4) Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi Menurut Rezeki S, 1998 : 22, Pemberantasan penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) ini yang paling penting adalah upaya membasmi jentik nyamuk penularan ditempat perindukannya dengan melakukan 3M yaitu 1) Menguras tempat tampet penampungan air secara teratur sekurang kurangnya sxeminggu sekali atau menaburkan bubuk abate ke dalamnya 2)

Menutup rapat rapat tempat penampung air dan 3) Menguburkan / menyingkirkan barang kaleng bekas yang dapat menampung air hujan seperti dilanjutkan di baliknya.

H.

PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan pasien Dengue Haemoragic Fever (DHF) bersifat simtomatis dan suportif (Ngastiyah, 12995 ; 344) Dengue Haemoragic Fever (DHF) ringan tidak perlu dirawat, Dengue Haemoragic Fever (DHF) sedang kadang kadang tidak memerlukan perawatan, apabila orang tua dapat diikutsertakan dalam pengawasan penderita di rumah dengan kewaspadaan terjadinya syok yaitu perburukan gejala klinik pada hari 3-7 sakit ( Purnawan dkk, 1995 ; 571) Indikasi rawat tinggal pada dugaan infeksi virus dengue (UPF IKA, 1994 ; 203) yaitu: Panas 1-2 hari disertai dehidrasi (karena panas, muntah, masukan kurang) atau kejangkejang. Panas 3-5 hari disertai nyeri perut, pembesaran hati uji torniquet positif/negatif, kesakitan, Hb dan Ht/PCV meningkat, Panas disertai perdarahan, Panas disertai renjatan. Sedangkan penatalaksanaan Dengue Haemoragic Fever (DHF) menurut UPF IKA, 1994 ; 203 206 adalah. Belum atau tanpa renjatan: Grade I dan II Hiperpireksia (suhu 400C atau lebih) diatasi dengan antipiretika dan surface cooling. Antipiretik yang dapat diberikan ialah golongan asetaminofen,asetosal tidak boleh diberikan Umur 6 12 bulan : 60 mg / kaji, 4 kali sehari Umur 1 5 tahun : 50 100 mg, 4 sehari Umur 5 10 tahun : 100 200 mg, 4 kali sehari Umur 10 tahun keatas : 250 mg, 4 kali sehari Terapi cairan 1) infus cairan ringer laktat dengan dosis 75 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB < 10 kg atau 50 ml / kg BB / hari untuk anak dengan BB < 10 10 kg bersama sama di berikan minuman oralit, air bauh susu secukupnya 2) Untuk kasus yang menunjukan gejala dehidrasi disarankan minum sebanyak banyaknya dan sesering mungkin. 3) Apabila anak tidak suka minum sama sekali sebaiknya jumlah cairan infus yang harus diberikan sesuai dengan kebutuhan cairan penderita dalam kurun waktu 24 jam yang diestimasikan sebagai berikut :
y y y y y

100 ml/Kg BB/24 jam, untuk anak dengan BB < 25 Kg 75 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 26-30 kg 60 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 31-40 kg 50 ml/KgBB/24 jam, untuk anak dengan BB 41-50 kg Obat-obatan lain : antibiotika apabila ada infeksi lain, antipiretik untuk anti panas, darah 15 cc/kgBB/hari perdarahan hebat.

Dengan Renjatan ; Grade III 1. Berikan infus Ringer Laktat 20 mL/KgBB/1 jam Apabila menunjukkan perbaikan (tensi terukur lebih dari 80 mmHg dan nadi teraba dengan frekuensi kurang dari 120/mnt dan akral hangat) lanjutkan dengan Ringer Laktat 10 mL/KgBB/1jam. Jika nadi dan tensi stabil lanjutkan infus tersebut dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan kebutuhan cairan dalam kurun waktu 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi dengan sisa waktu ( 24 jam dikurangi waktu yang dipakai untuk mengatasi renjatan ). Perhitungan kebutuhan cairan dalam 24 jm diperhitungkan sebagai berikut :
y

100 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB < 25 Kg

y y y

75 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dng berat badan 26-30 Kg. 60 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 31-40 Kg. 50 mL/Kg BB/24 jam untuk anak dengan BB 41-50 Kg.

1. Apabila satu jam setelah pemakaian cairan RL 20 mL/Kg BB/1 jam keadaan tensi masih terukur kurang dari 80 mmHg dan andi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau yang lainnya) sebanyak 10 mL/ Kg BB/ 1 jam dan dapat diulang maksimal 30 mL/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. Jika keadaan umum membai dilanjutkan cairan RL sebanyk kebutuhan cairan selama 24 jam dikurangi cairan yang sudah masuk dibagi sisa waktu setelah dapat mengatasi renjatan. 1. Apabila satu jam setelah pemberian cairan Ringer Laktat 10 mL/Kg BB/ 1 jam keadaan tensi menurun lagi, tetapi masih terukur kurang 80 mmHg dan nadi cepat lemah, akral dingin maka penderita tersebut harus memperoleh plasma atau plasma ekspander (dextran L atau lainnya) sebanyak 10 Ml/Kg BB/ 1 jam. Dan dapat diulang maksimal 30 mg/Kg BB dalam kurun waktu 24 jam. ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Identitas
Umur: DHF merupakan penyakit daerah tropik yang sering menyebabkan kematian pada anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 ). Jenis kelamin: secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan pada penderita DHF. Tetapi kematian lebih sering ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Tempat tinggal: penyakit ini semula hanya ditemukan di beberapa kota besar saja, kemudian menyebar kehampir seluruh kota besar di Indonesia, bahkan sampai di pedesaan dengan jumlah penduduk yang padat dan dalam waktu relatif singkat.

Keluhan utama
Penderita mengeluh badannya panas (peningkatan suhu tubuh) sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun.

Riwayat penyakit sekarang


Sering terdapat riwayat sakit kapala, nyeri otot dan pegal pada seluruh badan, panas. Sakit pada saat menelan, lemah, nyeri ulu hati, mual, muntah dan penurunan nafsu makan.

Riwayat penyakit terdahulu

Tidak ada hubungan antara penyakit yang pernah diderita dahulu dengan penyakit DHF yang dialami sekarang, tetapi kalau dahulu pernah menderita DHF, penyakit itu bisa terulang dengan strain yang berbeda.

Riwayat penyakit keluarga


Penyakit ini tidak ada hubungan dengan faktor genetik dari ayah atau ibu. Riwayat adanya penyakit DHF didalam keluarga yang lain (yang tinggal didalam satu rumah atau beda rumah dengan jarak rumah yang berdekatan) sangat menentukan karena penyakit ini dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk aides aigepty.

Riwayat kesehatan lingkungan


DHF ditularkan oleh 2 jenis nyamuk, yaitu 2 nyamuk aedes: Aedes aigepty: Merupakan nyamuk yang hidup di daerah tropis terutama hidup dan berkembang biak di dalam rumah, yaitu pada tempat penampungan air bersih, seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan. Dengan jarak terbang nyamuk + 100 meter. Aedes albapictus.

Riwayat tumbuh kembang


Tahap pertumbuhan
Pada anak umur lima tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti patokan umur 1-6 tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia 4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7 kg. Untuk anak usia pra sekolah rata rata pertambahan berat badan 2,3 kg/tahun.Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi ada rata-rata TB pada usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata pertambahan TB pada usia ini yaitu 6 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung bertambah tinggi.

Tahap perkembangan.
y

Perkembangan psikososial ( Eric Ercson ) : Inisiatif vs rasa bersalah.Anak punya insiatif mencari pengalaman baru dan jika anak dimarahi atau diomeli maka anak merasa bersalah dan menjadi anak peragu untuk melakukan sesuatu percobaan yang menantang ketrampilan motorik dan bahasanya. Perkembangan psikosexsual ( Sigmund Freud ) : Berada pada fase oedipal/ falik ( 3-5 tahun ).Biasanya senang bermain dengan anak berjenis kelamin berbeda.Oedipus komplek ( laki-laki lebih dekat dengan ibunya ) dan Elektra komplek ( perempuan lebih dekat ke ayahnya ). Perkembangan kognitif ( Piaget ) : Berada pada tahap preoperasional yaitu fase preconseptual ( 2- 4 tahun ) dan fase pemikiran intuitive ( 4- 7 tahun ). Pada tahap ini

y y

kanan-kiri belum sempurna, konsep sebab akibat dan konsep waktu belum benar dan magical thinking. Perkembangan moral berada pada prekonvensional yaitu mulai melakukan kebiasaan prososial : sharing, menolong, melindungi, memberi sesuatu, mencari teman dan mulai bisa menjelaskan peraturan- peraturan yang dianut oleh keluarga. Perkembangan spiritual yaitu mulai mencontoh kegiatan keagamaan dari ortu atau guru dan belajar yang benar salah untuk menghindari hukuman. Perkembangan body image yaitu mengenal kata cantik, jelek,pendek-tinggi,baik-nakal, bermain sesuai peran jenis kelamin, membandingkan ukuran tubuhnya dengan kelompoknya. Perkembangan sosial yaitu berada pada fase Individuation Separation . Dimana sudah bisa mengatasi kecemasannya terutama pada orang yang tak di kenal dan sudah bisa mentoleransi perpisahan dari orang tua walaupun dengan sedikit atau tidak protes. Perkembangan bahasa yaitu vokabularynya meningkat lebih dari 2100 kata pada akhir umur 5 tahun. Mulai bisa merangkai 3- 4 kata menjadi kalimat. Sudah bisa menamai objek yang familiar seperti binatang, bagian tubuh, dan nama-nama temannya. Dapat menerima atau memberikan perintah sederhana. Tingkah laku personal sosial yaitu dapat memverbalisasikan permintaannya, lebih banyak bergaul, mulai menerima bahwa orang lain mempunyai pemikiran juga, dan mulai menyadari bahwa dia mempunyai lingkungan luar. Bermain jenis assosiative play yaitu bermain dengan orang lain yang mempunyai permainan yang mirip.Berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan kemampuan motorik halus yaitu melompat, berlari, memanjat,dan bersepeda dengan roda tiga.

Riwayat imunisasi
Anak usia pre sekolah sudah harus mendapat imunisasi lengkap antara lain : BCG, POLIO I,II, III; DPT I, II, III; dan campak.

Riwayat nutrisi
Kebutuhan kalori 4-6 tahun yaitu 90 kalori/kg/hari.Pembatasan kalori untuk umur 1-6 tahun 9001300 kalori/hari. Untuk pertambahan berat badan ideal menggunakan rumus 8 + 2n. Status Gizi Klasifikasinya sebagai berikut :
y y y y

Gizi buruk kurang dari 60% Gizi kurang 60 % <80 % Gizi baik 80 % 110 % Obesitas lebih dari 120 %

Dampak Hospitalisasi
Sumber stressor : 1. Perpisahan

1. Protes : pergi, menendang, menangis 2. Putus asa : tidak aktif, menarik diri, depresi, regresi 3. Menerima : tertarik dengan lingkungan, interaksi 2. Kehilangan kontrol : ketergantungan fisik, perubahan rutinitas, ketergantungan, ini akan menyebabkan anak malu, bersalah dan takut. 3. Perlukaan tubuh : konkrit tentang penyebab sakit. 4. Lingkungan baru, memulai sosialisasi lingkungan.

Pemeriksaan Fisik / Pengkajian Persistem


1. Sistem Pernapasan / Respirasi Sesak, perdarahan melalui hidung (epistaksis), pernapasan dangkal, tachypnea, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, effusi pleura (crackless). 1. Sistem Cardiovaskuler Pada grade I : uji tourniquet positif, trombositipenia, perdarahan spontan dan hemokonsentrasi.Pada grade II disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain. Pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah (tachycardia),tekanan nadi sempit, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, kulit dingin dan lembab.Pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur. 1. Sistem Persyarafan / neurologi Pada grade I dan II kesadaran compos mentis. Pada grade III dan IV gelisah, rewel, cengeng apatis sopor coma. Grade 1 sampai dengan IV dapat terjadi kejang, nyeri kepala dan nyeri di berbagai bagian tubuh, penglihatan fotopobia dan nyeri di belakang bola mata. 1. Sistem perkemihan Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam terutama pada grade III, akan mengungkapkan nyeri saat kencing, kencing berwarna merah. 1. Sistem Pencernaan / Gastrointestinal Perdarahan pada gusi, Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran pada hati (hepatomegali) disertai dengan nyeri tekan tanpa disertai dengan ikterus, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat muntah darah (hematemesis), berak darah (melena). 1. Sistem integumen Terjadi peningkatan suhu tubuh (Demam), kulit kering dan ruam makulopapular 1. 1. Riwayat Tumbuh Kembang

1. Tahap pertumbuhan Pada anak umur empat tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti patokan umur 1-6 tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia 4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7 kg. Untu anak usia pra sekolah rata rata pertambahan berat badan 2,3 kg/tahun.Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi ada rata-rata TB pada usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata pertambahan TB pada usia ini yaitu 6 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung bertambah tinggi. b. Tahap perkembangan.
y

y y

Perkembangan psikososial ( Eric Ercson ) : Inisiatif vs rasa bersalah.Anak punya insiatif mencari pengalaman baru dan jika anak dimarahi atau diomeli maka anak merasa bersalah dan menjadi anak peragu untuk melakukan sesuatu percobaan yang menantang ketrampilan motorik dan bahasanya. Perkembangan psikosexsual ( Sigmund Freud ) : Berada pada fase oedipal/ falik ( 3-5 tahun ).Biasanya senang bermain dengan anak berjenis kelamin berbeda.Oedipus komplek ( laki-laki lebih dekat dengan ibunya ) dan Elektra komplek ( perempuan lebih dekat ke ayahnya ). Perkembangan kognitif ( Piaget ) : Berada pada tahap preoperasional yaitu fase preconseptual ( 2- 4 tahun ) dan fase pemikiran intuitive ( 4- 7 tahun ). Pada tahap ini kanan-kiri belum sempurna, konsep sebab akibat dan konsep waktu belum benar dan magical thinking. Perkembangan moral berada pada prekonvensional yaitu mulai melakukan kebiasaan prososial : sharing, menolong, melindungi, memberi sesuatu, mencari teman dan mulai bisa menjelaskan peraturan- peraturan yang dianut oleh keluarga. Perkembangan spiritual yaitu mulai mencontoh kegiatan keagamaan dari ortu atau guru dan belajar yang benar salah untuk menghindari hukuman. Perkembangan body image yaitu mengenal kata cantik, jelek,pendek-tinggi,baik-nakal, bermain sesuai peran jenis kelamin, membandingkan ukuran tubuhnya dengan kelompoknya. Perkembangan sosial yaitu berada pada fase Individuation Separation . Dimana sudah bisa mengatasi kecemasannya terutama pada orang yang tak di kenal dan sudah bisa mentoleransi perpisahan dari orang tua walaupun dengan sedikit atau tidak protes. Perkembangan bahasa yaitu vokabularynya meningkat lebih dari 2100 kata pada akhir umur 5 tahun. Mulai bisa merangkai 3- 4 kata menjadi kalimat. Sudah bisa menamai objek yang familiar seperti binatang, bagian tubuh, dan nama-nama temannya. Dapat menerima atau memberikan perintah sederhana. Tingkah laku personal sosial yaitu dapat memverbalisasikan permintaannya, lebih banyak bergaul, mulai menerima bahwa orang lain mempunyai pemikiran juga, dan mulai menyadari bahwa dia mempunyai lingkungan luar. Bermain jenis assosiative play yaitu bermain dengan orang lain yang mempunyai permainan yang mirip.Berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan kemampuan motorik halus yaitu melompat, berlari, memanjat,dan bersepeda dengan roda tiga.

1. II. PEMERIKSAAN FISIK / PENGKAJIAN PERSISTEM

DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi virus dengue (viremia). 2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler 3. Resiko syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler 4. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekwat akibat mual dan nafsu makan yang menurun. 5. Resiko terjadinya cidera (perdarahan) berhubungan dengan penurunan factor-fakto pembekuan darah ( trombositopeni ) 6. Kecemasan berhubungan dengan kondisi klien yang memburuk dan perdaahan 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangya informasi. Diagnosa Keperawatan, Tujuan, Kriteria Hasil, Intervensi & Rasional 1. Peningkatan suhu tubuh (Hipertermi) berhubungan dengan proses infeksi virus dengue (viremia). Tujuan : Suhu tubuh normal kembali setelah mendapatkan tindakan perawatan. Kriteria hasil : Suhu tubuh antara 36 37, membran mukosa basah, nadi dalam batas normal (80-100 x/mnt), Nyeri otot hilang. Intervensi : 1. Berikan kompres (air biasa / kran). Rasional : Kompres dingin akan terjadi pemindahan panas secara konduksi 1. Berikan / anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai toleransi ) Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi. 1. Anjurkan keluarga agar mengenakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat pada klien. Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh. 1. Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap 3 jam sekali atau lebih sering. Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien. 1. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat antipiretik sesuai program.

Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnyauntuk menurunkan suhu tubuh pasien. 1. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler. Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan / Tidak terjadi syok hipovolemik. Kriteria : Input dan output seimbang, Vital sign dalam batas normal (TD 100/70 mmHg, N: 80-120x/mnt), Tidak ada tanda presyok, Akral hangat, Capilarry refill < 3 detik, Pulsasi kuat. Intervensi : 1. Observas vital sign tiap 3 jam/lebih sering Rasional : Vital sign membantu mengidentifikasi fluktuasi cairan intravaskuler 1. Observasi capillary Refill Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer 1. Observasi intake dan output. Catat jumlah, warna, konsentrasi, BJ urine. Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi. 1. Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari (sesuai toleransi) Rasional : Untuk memenuhi kabutuhan cairan tubuh peroral 1. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena, plasma atau darah. Rasional : Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah terjadinya hipovolemic syok. 1. Resiko Syok hypovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler. Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal Intervensi : 1. Monitor keadaan umum pasien Raional ; Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama saat terdi perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok / syok 1. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih Rasional : Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi presyok / syok

1. Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika terjadi perdarahan Rasional : Dengan melibatkan psien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan. 1. Kolaborasi : Pemberian cairan intravena Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara hebat. 1. Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombo Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut. 1. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun. Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi Kriteria : Tidak ada tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan, Nafsu makan meningkat, porsi makanan yang disajikan mampu dihabiskan klien, mual dan muntah berkurang. Intervensi : 1. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi 1. Observasi dan catat masukan makanan pasien Rasional : Mengawasi masukan kalori/kualitas kekurangan konsumsi makanan 1. Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan ) Rasional : Mengawasi penurunan BB / mengawasi efektifitas intervensi. 1. Berikan / Anjurkan pada klien untuk makanan sedikit namun sering dan atau makan diantara waktu makan Rasional : Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan masukan juga mencegah distensi gaster. 1. Berikan dan Bantu oral hygiene. Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan masukan peroral 1. Hindari makanan yang merangsang (pedas / asam) dan mengandung gas.

Rasional : : Mencegah terjadinya distensi pada lambung yang dapat menstimulasi muntah. 1. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang penting nutrisi/ makanan bagi proses penyembuhan. 2. Sajikan makanan dalam keadaan hangat. 3. Anjurkan pada klien untuk menarik nafas dalam jika mual. 4. Kolaborasi dalam pemberian diet lunak dan rendah serat. 5. Observasi porsi makan klien, berat badan dan keluhan klien. 1. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan penurunan factor-faktor pembekuan darah ( trombositopeni ). Tujuan : Tidak terjadi perdarahan selama dalam masa perawatan. Kriteria : TD 100/60 mmHg, N: 80-100x/menit reguler, pulsasi kuat, tidak ada perdarahan spontan (gusi, hidung, hematemesis dan melena), trombosit dalam batas normal (150.000/uL). Intervensi : 1. Anjurkan pada klien untuk banyak istirahat tirah baring ( bedrest ) Rasional : Aktifitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perdarahan. 1. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang bahaya yang dapat timbul akibat dari adanya perdarahan, dan anjurkan untuk segera melaporkan jika ada tanda perdarahan seperti di gusi, hidung(epistaksis), berak darah (melena), atau muntah darah (hematemesis). Rasional : Keterlibatan pasien dan keluarga dapat membantu untuk penaganan dini bila terjadi perdarahan. 1. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil darah dan Observasi tanda-tanda perdarahan serta tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu dan pernafasan). Rasional : Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut. 1. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium secara berkala (darah lengkap). 2. Monitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis. Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti epistaksis, ptike. 1. Monitor trombosit setiap hari Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan yang dialami pasien. 1. Kolaborasi dalam pemberian transfusi (trombosit concentrate).

DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata. Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta. Ngastiyah (1997). Perawatan Anak Sakit. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta. Soeparman. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Penerbit FKUI. Jakarta. Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta. Suharso Darto (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K. Universitas Airlangga. Surabaya. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya
y

All Rights Reserved. THE BLOG M.A.AZIZ, Powered by : Wordpress.com | Designed by : CustomBlogDesigner.com

AMK

You might also like