You are on page 1of 21

Manhaj Tanzili

&
Hermeneutika Kontemporer
Sebuah Kajian Awal Hermeneutika Alternatif

Hilmy Bakar Almascaty

1
Jika diperhatikan beberapa aliran pemikiran kaum Muslimin kontemporer, baik yang
berhubungan dengan cara memahami, menghayati ataupun berinteraksi dengan al-Qur'an,
maka akan didapati beberapa perbedaan mendasar dengan yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah saw dan para sahabatnya pada awal kebangkitan Islam di Makkah maupun
Madinah. Perbedaan demi perbedaan yang terus berkembang ini selanjutnya menimbulkan
masalah-masalah besar lainnya yang berdampak kepada kemunduran kaum muslimin
kontemporer pada seluruh aspek kehidupannya jika dibandingkan dengan pencapaian yang
telah dilakukan generasi perintis. Demikian pula terjadinya perpecahan demi perpecahan di
kalangan kaum muslimin yang kadangkala menimbulkan pertumpahan darah dan
peperangan, tidak lain dipicu oleh perbedaan mereka dalam berinteraksi dengan al-Qur'an.
Perbedaan cara berinteraksi secara otomatis akan menghasilkan produk pemikiran yang
berbeda pula. Ahirnya kaum Muslimin mendapati dirinya sendiri di lembah kelemahan,
keterpurukan, keterbelakangan, kebodohan, ketertindasan dan kegelapan justru di saat-saat
umat manusia lainnya menikmati puncak pencapaian peradaban mereka seperti yang dialami
Barat saat ini.
Keadaan ini telah menimbulkan inferioritas dan dilemma kepada kaum Muslimin yang
memiliki masa lalu gemilang. Generasi konfius yang demikian takjubnya dengan pencapaian-
pencapaian masyarakat modern Barat seperti yang ditunjukkan oleh Abduh dari Mesir, Namik
Kamal dari Turki ataupun Amer Ali dari India sehingga mereka menganjurkan modernisasi
Islam, yang secara tidak sadar telah menyeret generasi muda Islam kepada proses pembaratan
secara terstruktur dan berkelanjutan akibat ketidakjelasan metodelogi yang diterapkan.
Padahal tidak diragukan sedikitpun bahwa Barat sebelumnya banyak belajar dari peradaban
yang telah dikembangkan kaum Muslimin, terutama ketika terjadinya Perang Salib yang telah
membangkitkan kemajuan Eropa, yang mereka juluki sebagai renaissance. Dengan tergesa-gesa
para cerdik pandai Muslim mendorong untuk mengadopsi berbagai kemajuan peradaban
yang dikembangkan, termasuk mengadopsi sistem, metode, paradigma, epistemologi sampai
idiologi dan sejenisnya yang dikembangkan masyarakat Barat berdasarkan Sekulerisme,
faham yang menolak segala bentuk peran agama dan Tuhan dalam kehidupan manusia. Itulah
sebabnya tidak mengherankan telah berkembang pemikiran-pemikiran yang berbau Barat di
kalangan generasi Islam yang mengadopsi segala bentuk kemajuan Barat yang dianggapnya
sebagai sebuah peradaban puncak manusia (the ultimate human civilization). Selanjutnya
melahirkan pemikiran yang sangat liberal dalam memahami ajaran Islam, diantaranya dalam
mentakwilkan teks-teks al-Qur'an yang mereka namakan dengan hermeneutika. Teks-teks al-
Qur'an dibaca dan diinterpretasikan sesuai dengan perkembangan zaman, dengan
2
menerapkan pengetahuan dan kaedah-kaedah ilmiyah yang diterapkan Barat terhadap teks
Injil.
Bagi para pendukung aliran ini, seperti Fazlurrahman misalnya, berkesimpulan bahwa
metodelogi baru perlu diterapkan dalam memahami teks al-Qur'an, karena metodelogi
tradisional yang diterapkan kaum Muslimin selama ini bertentangan dengan semangat al-
Qur'an. Rahman menulis:
"Metodelogi yang menjauhkan diri dari al-Qur'an, menimbunnya di bawah
tumpukan gramatika dan retorika. Menggantikan naskah-naskah asli mengenai
teologi, filsafat, yurisprudensi dan sebagainya, sebagai pengajaran tinggi dengan
komentar-komentar (syarh) dan super-komentar-superkomentar (syarh min syarh).
Di mana pengkajian komentar-komentar akan menghasilkan keasyikan dengan detil-
detil yang rumit dengan mengesampingkan masalah-masalah pokok dalam obyek
yang dikaji. Perselisihan pendapat (jadl) menjadi kegemaran utama dan hampir-
hampir menggantikan upaya intelektual yang asli untuk membangkitkan dan
menangkap masalah-masalah yang riil dalam obyek yang dikaji. (Fazlur Rahman,
Islam and Modernity,hlm.36-37)

Aliran pemikiran ini berkembang pesat yang didukung oleh para cendekiawan muda,
di Indonesia sendiri mendapat tempat di lingkungan perguruan tinggi Islam yang didukung
resmi para birokratnya. Sebagai contoh adalah Rektor IAIN Jogyakarta yang juga sebagai
Ketua PP. Muhammadiyah, Prof. Amin Abdullah yang telah menulis:
"Metode penafsiran al-Qur'an selama ini senantiasa hanya memperhatikan
hubungan penafsir dan teks al-Qur'an tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan
audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi sebab para mufasir klasik
lebih menganggap tafsir al-Qur'an sebagai hasil kerja-kerja kesalehan yang dengan
demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya. Atau barangkali juga karena
trauma mereka padapenafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan
pertarungan politik yang mha dahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari
alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik al-Qur'an tidk lagi memberi makna dan
fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam". Kemudian dia menyimpulkan:
"Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama
ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat
Islam secara moral, politik, dan budaya." (Lihat: Ilham B. Saenong, Hermeneutika
Pembebasan, Kata Pengantar)

Karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan dunia modern, maka teks-teks al-
Qur'an seperti teks tentang hukum rajam, potong tangan, pembagian waris dan hukum
syari'at sejenisnya perlu ditinjau kembali, didekonstruksikan, dibongkar pemahamannya yang
selama ini sudah mapan, melalui sebuah kajian atau melalaui pentakwilan kembali teks-teks
keagamaan sesuai dengan pandangan dan pengetahuan modern. Dengan mengemukakan
argumentasi tujuan syari'at (maqoshid al-syari'ah), ataupun dengan pandangan fiqh prioritas
(fiqh al-awlawiyah), penerapan syariat Islam kepada masyarakat Islam dapat ditunda maupun

3
ditiadakan, dan diganti dengan hukum-hukum positif Barat yang dianggap sesuai dengan hak
asasi manusia. Pada saat yang sama generasi ini menyerukan prularisme agama, liberalisasi,
demokratisasi dan sejenisnya. Kelompok ini berkembang di dunia Islam dengan beraneka
nama, baik Islam Liberal, Islam Progresif, Islam Kiri dan lainnya.
Sejauh ini, kecuali keberhasilan mereka menjadi birokrat, mengadakan serangkaian
seminar, peluasan wacana, penerbitan buku, penyebaran informasi atau program sosialisasi
dengan dukungan mitra Baratnya, belum kelihatan tanda-tanda keberhasilan yang nyata dari
aliran pemikiran ini. Terutama dalam membangkitkan kembali Islam dan umatnya, yang
ditandai dengan lahirnya pribadi-pribadi unggul, yang menguasai peradaban modern, namun
pada saat yang sama berpegang teguh dengan semangat ajaran Islam. Yang sudah pasti adalah
lahirnya generasi-generasi yang tertarik deras dalam pusaran arus sekulerisasi Barat yang
menanggalkan sedikit demi sedikit keislaman mereka, yang pada akhirnya orang tidak dapat
membedakan mereka dengan orang Barat, karena visi, orientasi, paradigma sampai kelakuan
mereka tidak berbeda dengan orang-orang Barat. Boleh jadi mereka hanya menjadi semacam
karikatur Barat, seperti masyarakat Turki yang telah menganut dengan setia sekulerisme sejak
zaman Kamal Atta Turk, namun untuk masuk dalam komunitas masyarakat Eropapun mereka
ditolak, karena dianggap bukan bagian dari Eropa, tentu karena mereka masyarakat muslim.
Sehubungan dengan metodelogi hermeneutika yang mereka terapkan, seorang
cendekiawan Malaysia yang juga murid Fazlur Rahman mengkritik pemahaman yang
dikembangkan guru dan para pengikutnya. Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud menyatakan:
"Konsekwensi dari pendekatan hermeneutika ke atas sistem epistemologi Islam
termasuk segi perundangannya sangatlah besar dan saya pikir agak berbahaya.
Yang paling utama saya kira ialah penolokannya terhadap penafsiran yang final
dalam sesuatu masalah, bukan hanya masalah agama dan akhlak, malah juga
masalah-masalah keilmuan lainnya. Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan
nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan; dapat memisahkan hubungan aksiologi antar
generasi, antar agama dan kelompok manusia. Hermeneutika teks-teks agama Barat
bermula dengan masalah besar: 1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks
tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti
materil teks-teks yang paling awal, 2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran
yang boleh diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan Ijma, 3) tidak
adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Ketiga
masalah ini tidak terjadi dalam sejarah Islam, khususnya dengan al-Qur'an. Jika
kita mengadopsi satu kaidah ilmiah tanpa mempertimbangkan latar-belakang
sejarahnya, maka kita akan mengalami kerugian besar. Sebab kita akan
meninggalkan metode kita sendiri yang telah begitu sukses membantu kita
memahami sumber-sumber agama kita dan juga telah membantu kita menciptakan
peradaban internasional yang unggul dan lama." (Majalah Islamia, edisi 1, thn
2004)

4
Di sisi lain didapati sekelompok kaum Muslimin yang berpegang teguh dengan tradisi
dan peninggalan peradaban mereka. Dalam membaca teks-teks agama mereka tetap pada
penafsiran yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu (salaf), pertengahan (khalaf) ataupun
terkemudian (mutaakhkhirin). Mereka menganggap peninggalan (turats) para pendahulu
mereka adalah warisan yang harus dipertahankan, baik makna maupun relevansinya, karena
para penafsir teks, baik al-Qur'an dan al-Sunnah, dalam bidang teologi, fiqh, tasauf dan
lainnya adalah orang yang paling faham dan mengerti tentang ajaran Islam, karena dekat
masanya dengan masa Rasulullah maupun sahabat, sehingga pemahaman mereka adalah
yang paling mendekati kebenaran. Para pengkritiknya mempertanyakan kemampuan mereka
dalam berinteraksi dengan peradaban modern, pertanyaan yang selalu disodorkan kepada
mereka, apakah warisan penafsiran terdahulu mampu memberikan solusi pada permasalahan
masyarakat kontemporer yang memiliki ruang dan waktu yang berbeda? Bahkan mereka
diejek hendak mengembalikan kehidupan abad pertengahann yang eksklusif, jumud,
terbelakang di tengah-tengah masyarakat metropolis. Aliran ini biasanya menyebut dirinya
dengan salafi, ahlul hadis, Islami dan lainnya, sementara yang tidak sefaham mengecapnya
sebagai Islam Fundamentalis.
Terlepas dari perdebatan panjang aliran besar pemikiran kaum muslimin kontemporer
dalam memahami dan berintegrasi dengan al-Qur'an, mereka memiliki kesepakatan
pendapat bahwa untuk menggapai kembali kembangkitan Islam dan umatnya, kaum
Muslimin harus kembali kepada teks-teks suci agama mereka, terutama al-Qur'an sebagai
sebuah mukjizat abadi yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. Perbedaan
yang paling mendasar diantara mereka adalah dalam menginterpretasikan teks-teks al-Qur'an
tersebut, atau lebih mudahnya, ada yang melalui pendekataan tekstual dan kontekstual dengan
cabang-cabang alirannya masing-masing. Kedua aliran besar inipun telah muncul dan
berkembang sejak generasi setelah sahabat (tabi'in), yang mereka juluki sebagai ahl tafsir dan
ahl ta'wil, manhaj tafsiri dan manhaj ta'wili. Terutama setelah Islam berkembang merentas benua
yang dipelajari oleh orang-orang bukan berbahasa Arab (ajam) yang telah memiliki budaya,
tradisi, pengetahuan ataupun peradaban lokal yang kadangkala mempengaruhi corak
interpretasi mereka, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai kitab tafsir yang memuat berbagai
filsafat klasik dan lainnya.
Dengan demikian, pemahaman yang benar terhadap teks-teks al-Qur'an disepakati
sebagai kunci utama dalam membangun kembali pemahaman yang benar terhadap Islam,
dan pemahaman yang benar inilah diharapkan dapat mengantarkan kaum muslimin
menuju kebangkitan kembali menjadi sebuah masyarakat yang menguasai sendi-sendi

5
peradaban modern yang berakar pada ajaran Islam. Sebuah masyarakat utama yang
memahami dan mengamalkan dengan benar nilai-nilai Islam sebagaimana pemahaman dan
pengamalan generasi awal Islam, namun memiliki kemampuan untuk merespon problematika
masyarakat modern dengan segala dinamikanya, sehinga wujudlah sebuah masyarakat yang
mungkin tidak sama persis dengan masyarakat Madinah terdahulu dalam sistem sosial
kemasyarakatannya namun juga mungkin tidak sama dengan masyarakat Barat yang berhasil
membangun peradaban modernnya setelah mencampakkan ajaran agama mereka. Karena
masyarakat Madinah yang dibangun Rasulullah dan para sahabat adalah masyarakat idial,
terbaik dan teragung pada zamannya yang merupakan produk pembinaan dan bimbingan al-
Qur'an sesuai dengan perkembangan peradaban tertinggi manusia pada zaman itu.
Al-Qur'an adalah kitab Allah yang diturunkan untuk seluruh umat manusia, bersifat
universal tidak terikat oleh ruang dan waktu, sebagimana terikatnya manusia, maka tentulah
interpretasi manusia pada zaman itu terhadap al-Qur'an, terutama pada masa setelah sahabat
yang mengandalkan interpretasi, dengan manusia masa kini dengan perkembangan
peradaban yang dimilikinya akan berbeda pula. Yang perlu mendapat perhatian serius apakah
memang al-Qur'an telah menetapkan bahwa model masyarakat Madinah adalah satu-satunya
model yang harus ditegakkan para pengikut Islam dimanapun mereka berada, sehingga
masyarkat masa kini harus sama persis dengan masyarakat zaman itu sebagaimana difahami
Salafi, atau memang manusia diberi wewenang untuk menentukan corak yang mereka miliki
sesuai dengan interpretasi mereka terhadap teks-teks suci agama sebagaimana difahami
pendukung liberalisme agama.
Pertanyaan yang timbul kemudian apakah paradigma pemikiran yang digunakan oleh
kedua aliran tersebut sesuai dengan semangat al-Qur'an dan apakah akan mengantarkan
mereka mencapai maksud diturunkannya al-Qur'an di muka bumi? Dengan kata lainnya,
apakah metode tafsiri, takwili, hermeneutika dan apapun namanya, sudah sesuai dengan
semangat yang dikehendaki oleh al-Qur'an dan apakah dengan pemahaman seperti ini akan
mengantarkan mereka menuju masyarakat Qur'ani kontemporer yang sesuai atau yang
menurunkannya ke bumi, Allah SWT?.
Sebagai sebuah metode pemikiran, aliran besar di atas, baik tafsiri ataupun ta'wili
dengan segala bentuk cabangnya, termasuk metode hermeneutika kontemporer, memiliki
kemusykilan-kemusykilan yang perlu mendapat perhatian khusus dan didiskusikan lebih
lanjut. Mengingat demikian panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk merekonstruksi
kembali pemahaman ataupun segala produk pemikiran yang sudah berkembang pada kaum
muslimin sejak awal kehadiran Islam, dan banyaknya energi yang dibutuhkan untuk
6
merekonstruksikan kembali segala bentuk tradisi yang sudah berkembang dengan segala
cabang dan rantingnya, maka tidak diragukan keadaan ini akan membutuhkan jalan panjang
menuju sebuah kebangkitan kembali Islam. Sama halnya dengan memaksakan kehadiran
sebuah konsep ataupun tradisi klasik yang penuh dengan berbagai produk manusia pada
masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya. Perdebatan-perdebatan yang terjadi
antara dua arus besar ini masih di sekitar dataran intelektual, di dataran wacana yang belum
diterapkan dalam sebuah masyarakat. Dan tidak diragukan bahwa inilah kelemahan terbesar
kedua aliran ini, sejauh yang berhubungan dengan al-Qur'an, cara memahami al-Qur'an
hanya sebatas pada tingkat pengetahuan, wawasan intelektual ataupun khazanah
peradaban.
Jika diteliti lebih jauh akar pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslimin
ini, sejak beberapa dekade setelah Rasulullah dan sahabat, adalah buah dari pertemuan
pemikiran, atau lebih tepatnya dominasi pemikiran atas kaum muslimin, terutama ketika
terjadinya hubungan intens kaum muslimin dengan pemikiran filsafat Yunani yang
menjadikan akal sebagai sentral kehidupan manusia, yang juga masih dipegang oleh para
cendekiawan kontemporer. Ketika kaum muslimin menjadikan akal sebagai sentral
kehidupan, termasuk untuk menentukan kebenaran sebuah ajaran, maka secara otomatis
paradigma mereka berubah dan tidak sejalan lagi dengan paradigma yang digunakan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Karena generasi awal Islam, tidak menjadikan al-aql (akal,
brain) sebagai pusat manusia sebagaimana pemikiran klasik Yunani yang diwariskan kepada
peradaban Barat modern, namun mereka menjadikan al-qolb (hati) sebagai pusat manusia
sebagaimana yang dinyatakan sebuah hadis: Pada tubuh manusia terdapat segumpal darah, jika ia
baik maka baiklah keadaan manusia, jika ia rusak, maka rusaklah keadaan manusia. Ia adalah al-qolb
(hati).
Anggapan bahwa akal sebagai pusat pengendali manusia ini pula telah mempengaruhi
kaum muslimin kontemporer, termasuk dalam memahami al-Qur’an. Mereka sudah merasa
cukup apabila khazanah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an telah memenuhi akal
mereka dan mengembangkannya dalam berbagai bentuk wawasan intelektualisme. Mereka
merasa cukup dengan pembahasan-pembahasan yang rasional terhadap teks-teks al-Qur’an,
hanya menjadikannya sebatas wacana pengetahuan dan khazanah peradaban semata.
Pemahaman bahwa al-Qur’an cukup mengisi akal saja, sebagaimana pengetahuan-
pengetahuan lainnya, telah menimbulkan dampak buruk pada perkembangan kaum
muslimin. Bahkan tidak diragukan bahwa pemahaman ini menjadi sumber utama
kemunduran spiritualitas kaum muslimin sejak beberapa waktu setelah meninggalnya para

7
sahabat utama. Pemahahan ini telah mereduksi kedudukan al-Qur’an sebagai wahyu Allah
yang universal menjadi sebuah pengetahuan yang terbatas dan temporer, telah menurunkan
derajat al-Qur’an ke taraf pengetahuan yang relatif. Padahal al-Qur’an adalah wahyu Allah
terakhir yang diturunkan kepada manusia, yang mengandung ajaran abadi untuk seluruh
umat manusia hingga akhir zaman. Jika al-Qur’an sama seperti pengetahuan lainnya yang
bersifat relatif, maka tidak mungkin mampu menjawab tantangan peradaban manusia hingga
akhir zaman. Itulah sebabnya, karena al-Qur’an adalah wahyu Allah dengan segala
kemukjizatan yang menyertainya, maka ia dengan caranya tersendiri mampu berkomunikasi
dengan seluruh lapisan manusia sesuai dengan tingkat peradabannya.
Kesempurnaan al-Qur’an tidak akan mampu diungkap kekuatan akal manusia yang
sangat terbatas. Karena akal manusia, bagaimanapun jeniusnya pasti terpengaruh oleh kondisi
pengetahuan dan peradaban yang berkembang. Itulah sebabnya, al-Qur’an tidak menempati
akal yang sangat terbatas daya tangkapnya, namun al-Qur’an menempati al-qolbu yang
memiliki dimensi spiritualitas yang tak terbatas, sebagaimana disebutkan al-Qur’an sendiri:
Katakanlah: “Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Qur’an)
ke dalam hatimu atas izin Allah…” (QS 2:97) Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amien (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. (QS
26 : 192-194)

Mamahami Inti Permasalahan, Menjawab Kemusykilan


Pertanyaan klasik yang selalu dilontarkan baik oleh muslim atau non muslim adalah
kenapa al-Qur'an yang menjadi pegangan utama kaum Muslimin saat ini tidak mampu
melahirkan manusia-manusia agung seperti yang telah dilahirkannya pada abad ke 7 masehi
lalu yang telah berhasil membangun kekuatan baru yang membangun emperium yang
menaklukkan beberapa super power besar seperti Romawi, Parsia, Mesir dan lainnya. Bahkan
lebih jauh generasi yang berinteraksi dengan al-Qur'an ini telah melahirkan peradaban besar
yang berpengaruh, padahal sebelumnya mereka adalah masyarakat yang ummi, yang
terbelakang dari segi peradaban dan tidak memiliki kekuasaan serta terpecah belah. Dan tidak
diragukan setelah Muhammad Rasulullah membawa al-Qur'an, maka terjadilah kebangkitan
yang diberkahi.
Sejarah telah membuktikan kepada dunia bahwa al-Qur'an yang dibawa Rasulullah
saw telah berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat modern pada zamannya yang
terdiri dari pribadi-pribadi agung, manusia-manusia yang benar-benar dapat

8
mengekspresikan diri secara sempurna dalam membentuk sebuah peradaban. Bahkan Rasul
saw menyebut masyarakatnya ibarat bintang gemerlapan yang dapat menunjuki jalan,
siapapun di antara mereka dapat diikuti menuju kebenaran, sesuai dengan kapasitas dan
potensi yang mereka miliki masing-masing. Al-Qur'an yang turun kepada Muhammad
Rasulullah telah merombak pribadi-pribadi jahili menjadi manusia sempurna dengan
pendekatannya yang khas. Bagaimana seorang Umar bin Khattab, yang terkenal kejahatannya
dan permusuhannya kepada Islam, namun ketika berinteraksi dengan al-Qur'an seluruh
keburukannya lenyap seketika dan berubah menjadi manusia suci dan agung yang
dikemudian hari mengantarkan umatnya menjadi penguasa 2/3 dunia namun dengan
kehidupan yang sangat sederhana. Demikian pula Muhammad saw dengan panduan al-
Qur'an telah mewujudkan sebuah masyarakat adil makmur aman sentosa dalam arti yang
sebenarnya, sebagai masyarakat percontohan sepanjang masa. Dan tidak diragukan bahwa
perubahan besar pada bangsa Arab seluruhnya adalah berkat kedatangan al-Qur'an sebagai
rahmat bagi seluruh alam.
Apakah karena tidak adanya Muhammad Rasulullah yang telah menjadikan
kemunduran umat ini, atau memang ada faktor lainnya. Bukankah Beliau saw telah
meninggalkan warisan berupa al-Qur'an dan al-Sunnah, yang jika diterapkan akan
menyelamatkan pengikutnya dari kehancuran dan keterbelakangan. Namun kenyataannya
sangat kontras saat ini, dimana al-Qur'an tetap ada, al-Sunnah tetap hidup namun kaum
Muslimin ditimpa keterbelakangan yang sangat akut dalam semua lapangan kehidupan.
Karena al-Qur'an adalah kemukjizatan abadi Rasul, maka tentu akan berlaku sepanjang masa,
dan artinya bahwa jika dahulu al-Qur'an mampu melahirkan manusia-manusia agung, maka
tanpa Rasul saw-pun seharusnya al-Qur'an dapat melahirkan manusia agung dalam konteks
dunia kontemporer. Namun kenyataannya berbeda, walaupun al-Qur'an tetap ada pada saat
ini, namun tidak pula lahir manusia agung seperti generasi Islam awal terdahulu, kenapa hal
ini bisa terjadi?
Apakah ini terjadi karena al-Qur'an yang ada saat ini berbeda secara substansial
dengan al-Qur'an yang telah membentuk masyarakat madinah yang telah menjadi mercusuar
peradaban terdahulu. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa al-Qur'an yang ada pada saat
ini adalah sama dengan al-Qur'an terdahulu, apalagi Allah SWT telah menjamin keaslian al-
Qur'an akan tetap terjaga sampai kiamat. Demikian pula halnya bukti-bukti ilmiah telah
menguatkan bahwa al-Qur'an yang ada pada saat ini secara historis dapat
dipertanggungjawabkan proses pengumpulannya sehingga tetap asli seperti pertama kali
diturunkan kepada Muhammad Rasulullah saw dan para sahabatnya.
9
Sejak pertama kali berinteraksi secara intensif dengan al-Qur'an, kurang lebih 25 tahun
lalu, menurut pengamatan pribadi yang terbatas, ada perkara yang kurang mengena pada
kaum Muslimin dewasa ini, terutama pada pola interaksi mereka dengan kitab suci al-Qur'an.
Pola interaksi mereka sepertinya tidak mencerminkan sikap sebagaimana yang telah
ditunjukkan oleh generasi yang pertama menerima al-Qur'an, yaitu Rasulullah dan para
sahabatnya. Di zaman Rasul dahulu, apabila seseorang mendengar ayat-ayat al-Qur'an akan
menimbulkan dampak yang luar biasa pada seseorang. Katakanlah Muhammad saw sendiri,
ketika beliau menerima ayat al-Qur'an pertama kali di gua Hiro', beliau mengalami peristiwa
menakjubkan yang telah mentransformasikan kehidupannya menjadi seorang yang luar biasa.
Hal yang sama terjadi pada seorang "preman besar" bernama Umar bin Khattab, saking
bencinya kepada Islam, dia bermaksud membunuh Muhammad saw. Ketika akan
melaksanakan maksudnya, Umar membaca ayat-ayat al-Qur'an, seketika itu juga dia
mengalami perombakan dala kehidupannya, menjadi pengikut al-Qur'an yang telah
mengharumkan dan mengembangkan ajaran serta kekuasaan Islam pada zamannya. Namun
pada zaman sekarang, walaupun ayat-ayat al-Qur'an selalu diperdengarkan melalui mimbar,
pengeras suara, kaset, radio, tv dan lainnya, namun kenyataannya tidak memberi kesan
apapun kepada pendengarnya, tidak menimbulkan perubahan pada yang menyimaknya.
Bahkan lebih sedih, kita mendengar ada orang yang sangat fasih dengan al-Qur'an, penghafal
al-Qur'an bahkan menjadi Profesor al-Qur'an, namun dituduh terlibat perkara-perkara yang
tidak Islami atau sebagai seorang koruptor yang dipenjara. Kenyataan-kenyataan ini
menimbulkan kemusykilan.
Kemusykilan ini selalu timbul dalam benak saya dan menimbulkan pertanyaan demi
pertanyaan besar lainnya. Ujungnya akan bermuara pada pertanyaan-pertanyaan yang selalu
menjadi wacana umum, apakah al-Qur'an yang diturunkan 15 abad silam memiliki perbedaan
dengan al-Qur'an yang ada pada saat ini, sehingga kekuatan perubahan yang ditimbulkannya
terhadap manusia berbeda pula? Apakah al-Qur'an mampu memberikan solusi dan
membimbing kehidupan manusia modern yang telah mencapai puncak peradaban manusia
sebagaimana keberhasilannya 15 abad silam yang telah merombak masyarakat terbelakang
Arab menjadi pemimpin dunia dan mercusuar peradaban termaju pada zamannya? Apakah
al-Qur'an mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan intern kaum Muslimin yang
terpecah belah dan mengantarkannya menjadi kekuatan penentu yang akan menciptakan
keadilan dan kedamaian sejati sebagaimana tujuan diturunkannya al-Qur'an? Demikian pula
ketika saya menekuni profesi yang berkaitan dengan pengembangan SDM, pertanyaan yang
timbul, mampukah al-Qur'an membentuk manusia-manusia unggul yang sukses, kompetitif
10
dan mengarahkan peradaban modern menuju keagungan sejati, sebagaimana dicita-citakan
umat manusia?
Bagi saya sendiri sebagai seorang yang terlahir sebagai Muslim, meyakini dengan
seyakin-yakinnya bahwa al-Qur'an adalah sebuah kitab mukjizat yang diturunkan Allah
sebagai petunjuk dan pembimbing umat manusia. Kitab agung ini memang telah memikat
pribadi saya sejak pertama berinteraksi dengannya, ketika orang tua menyerahkan saya
kepada ustadz untuk mempelajari al-Qur'an sebagai tradisi muslim yang tetap dipegang teguh
keluarga. Sehingga sejak saat itu saya sangat menaruh perhatian yang besar pada al-Qur'an,
bahkan merasa sangat asyik berinteraksi dengannya, apalagi di kala remaja banyak sekali
pertandingan yang diadakan yang berkaitan dengan al-Qur'an, seperti pertandingan membaca
al-Qur'an, pertandingan puitisasi terjemahan al-Qur'an, cerdas cermat al-Qur'an dan
sejenisnya. Demikian pula ketika beranjak dewasa, di Jogyakarta, pada tahun 80an saya
bergabung dengan pemuda-pemuda yang sangat intent dan bersemangat mengkaji al-Qur'an
dari berbagai aspeknya walau dengan segala keterbatasan pengetahuan. Selanjutnya beberapa
ustadz dan ulama dengan metode pengajaran al-Qur'annya saya datangi untuk mengasah
pemahaman, berkelana ke Solo, Surabaya, Malang, Kuala Pilah Malaysia, Mataram NTB dan
beberapa tempat lainnya, terahir di Kuala Lumpur Malaysia dari tahun 90an sampai 96an.
Terutama memanfaatkan pengetahuan beberapa Profesor al-Qur'an yang ringan membantu
pencarian saya dan kelengkapan perpustakaan milik Universiti Islam Antarabangsa
Malaysia. Pada tahun 1995 saya mempublikasikan hasil kajian saya dengan judul "Generasi
Qur'ani Penyelamat Ummah" yang diterbitkan Berita Publishing Malaysia.
Pengalaman pribadi yang beragam bentuknya, terutama ketika sebagai staf peneliti
dan pengajar pada sebuah Institut Perguruan Islam di Kuala Lumpur Malaysia, selalu
mendorong saya untuk berinteraksi dengan al-Qur'an. Demikian pula ketika bekerja pada
perusahaan yang dikelola oleh aktivis Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) yang
menerapkan sistem perekonomian Islam, menjadikan saya lebih serius mengkaji al-Qur'an dan
aspek-aspek ekonomi dan manajemen. Sepertinya aktivitas saya tidak dapat terpisahkan
dengan al-Qur'an yang selalu memberikan inspirasi dalam kehidupan, termasuk beberapa
tahun terahir akibat kesibukan dalam menata kehidupan dan karir yang mulai semrawut. Di
saat kehidupan mulai kehilangan makna, orientasi dan diliputi kebingungan akibat diterpa
gelombang demi gelombang kehidupan yang semakin mengganas, maka tidak ada tempat
berlari kecuali kepada Sang Pencipta yang telah menurunkan al-Qur'an sebagai petunjuknya.
Itulah sebabnya, tidak mengherankan apabila teman-teman seprofesi seringkali kaget atau

11
terkadang menyindir sinis ketika melihat saya tengah membaca ataupun menelaah al-Qur'an
di kantor yang terletak di jalan Thamrin, di tengah-tengah jantung kota metropolis Jakarta.
Setelah puas berkelana dalam gemerlap dunia modern di metropolis Jakarta, sejak
pertengah tahun 2000 saya kembali intensif berinteraksi dengan al-Qur'an secara serius,
terutama kembali membaca beberapa literatur-literatur klasik maupun modern tentang al-
Qur'an, baik tafsir, ulum al-Qur'an ataupun perkembangan kajian hermeneutika al-Qur'an
yang lagi digandrungi cendekiawan muda Indonesia. Bersamaan dengan itu, saya mengikuti
beberapa aktivitas, diantaranya bersama dengan ulama dalam forum Mudzakarah Nasional
Ulama yang menyelenggarakan serangkaian diskusi, yang mempermudah saya untuk
berinteraksi dengan mereka dan mendiskusikan al-Qur'an. Namun sejauh itu saya belum
menemukan jawaban atas apa yang telah menjadi pertanyaan mendasar yang terngiang-
ngiang selama ini.
Sepanjang 25 tahun lebih bekerja sebagai seorang penceramah agama, pemberi
training generasi Islam ataupun sebagai seorang motivator dalam pengembangan sumber
daya manusia, hati saya senantiasa merindukan sebuah peristiwa yang telah dialami Umar bin
Khattab. Bagaimana seorang yang anti Islam dengan penuh kebencian membara mau
membunuh Rasul mulia, namun ketika berinteraksi dengan ayat-ayat al-Qur'an, terjadi
perubahan besar dalam kehidupannya. Seorang "preman" Umar yang kerjanya mabuk-
mabukan, membunuh anak perempuannya, doyan berkelahi dan tentu memiliki kehidupan
yang berantakan dan ketidak teraturan, setelah berinteraksi dengan kitab agung al-Qur'an,
berubah menjadi manusia agung dan pemimpin Islam yang memiliki kekuasaan besar dan
membangun peradaban tercanggih pada zamannya. Adakah sebuah kitab yang mampu
melahirkan realitas kehidupan seperti itu? Saya sendiri adalah seorang yang sangat gemar
dengan buku-buku tentang pengembangan SDM, ratusan judul dari pengarang internasional
saya baca, baik yang dari Barat maupun Timur, bahasa Indonesia, Malaysia, Inggris sampai
Arab. Namun tentu kita tidak akan pernah menemukan sebuah buku sedahsyat al-Qur'an
dalam merombak kehidupan manusia, sebagaimana perombakan terhadap Umar.
Kemudian timbul pertanyaan dibenak kita, apakah peristiwa dahsyat ini tidak
mungkin terjadi kembali pada manusia-manusia modern yang mendambakan sebuah
kemenangan dan kesuksesan sejati? Bukankah ayat-ayat al-Qur'an yang menyingkap
kesadaran Umar tetap dapat kita baca dan dapat didengar kapanpun? Apakah kita perlu
menjadi seperti Umar dahulu, seorang yang anti Muhammad dan Islam baru mengalami
peristiwa seperti Umar? Apakah yang membedakan Umar dengan kita, sebagai seorang
manusia yang mendambakan kebenaranan atau kesuksesan, sehingga dia yang masih musyrik
12
mendapat keistimewaan ketika berinteraksi dengan al-Qur'an kehidupannya berubah?
Apakah yang terjadi kepada Umar hanya sebuah kebetulan atau sebuah rencana "skenario"
Allah Sang Pencipta agar membuktikan sebuah kehendak mutlak Sang Penguasa alam Yang
memberikan petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, sehingga kejadian ini adalah
sangat istimewa dan khusus berlaku kepada Umar yang telah dipilih? Sementara, bukankah
manusia sendiri diberi kebebasan mutlak untuk menentukan pilihannya, termasuk kerinduan
untuk mendapatkan keistimewaan seperti yang diperoleh Umar, berinteraksi dengan al-
Qur'an dan mendapatkan kemenangan dan kesuksesan?
Semakin direnungi peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan al-Qur'an, baik
kandungan ayatnya maupun interaksi manusia dengannya, maka semakin banyak pula
pertanyaan-pertanyaan yang perlu mendapat jawaban segera. Sebagai sebuah kitab yang
penuh dengan kemukjizatan, yang kandungannya sangat luas dan dalam, yang memiliki
semangat membara, sebagai sumber inspirasi yang tak kunjung habis, sebagai sumber
kebijakan yang tak terhingga, adalah wajar bila seseorang yang berinteraksi dengan menjadi
takjub dan kagum. Belum lagi kekuatan-kekuatan spiritual yang dikandungnya akan
memberikan perasaan yang tak terbayangkan. Itulah sebabnya, al-Qur'an sendiri menyebut
dirinya sebagai sebuah petunjuk jalan yang paling lurus, Sesungguhnya al-Qur'an ini, akan
memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus...... (al-Isro' : 9)
Tidak ada sedikitpun keraguan terhadap kemukjizatan yang terkandung di dalam al-
Qur'an, terutama dalam kemampuannya merombak manusia, yang telah mengubah
kehidupan masyarakat terbelakang padang pasir menjadi pemuka-pemuka agung peradaban
yang mengagumkan. Ini adalah kemukjizatan yang kekal abadi, sebagaimana kekal abadinya
al-Qur'an yang diturunkan dari Allah Yang Maha Abadi untuk seluruh umat manusia
sepanjang zaman. Jika sekarang al-Qur'an misalnya tidak mampu menggerakkan perubahan
secara signifikan kepada manusia modern, maka yang perlu dipertanyatakan kenapa bisa
terjadi seperti itu? Sama halnya dengan ketika seorang juru masak yang memiliki warisan
resep makanan dari nenek moyangnya, namun resep tersebut gagal membuat citra rasa
makanan sebagaimana yang dibuat pendahulunya. Tentu ada sesuatu yang salah, apakah cara
memasaknya, tempat masaknya, bumbunya, atau mungkin cara membaca dan
menginterpretasikan resep yang salah sehingga tidak tercapai tujuannya, atau memang tidak
sesuai dengan petunjuk sang pembuat resep.
Demikian pula halnya dengan al-Qur'an yang diturunkan Allah kepada umat manusia.
Rasulullah saw telah berhasil membangun sebuah masyarakat termaju pada zamannya
berdasarkan petunjuk al-Qur'an. Maka tidak diragukan bahwa masyarakat itu pasti akan lahir
13
kembali selama petunjuk al-Qur'an diikuti sesuai dengan kehendak Sang Penciptanya yang
telah menurunkan al-Qur'an untuk sepanjang zaman. Maka jika masyarakat Qur'ani yang
diidamkan belum juga tercipta sebagai petunjuk al-Qur'an, maka perlu diadakan penelitian,
apakah kaum Muslimin salah menerapkan petunjuk al-Qur'an atau kebingungan dalam
menginterpretasikan pesan-pesan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an akibat
pengaruh lingkungan, kebiasaan, tradisi, peradaban atau kondisi psikologis seseorang
ataupun masyarakat. Yang pasti, apabila al-Qur'an dahulu mampu melahirkan manusia
unggul, maka sekarangpun pasti al-Qur'an mampu melahirkannya dengan syarat dan pra-
syarat yang telah ditetapkannya.
Al-Qur'an dengan segala kemukjizatannya pasti akan memiliki daya tarik yang luar
biasa pada manusia. Setelah peristiwa WTC 11 September 2001 yang meruntuhkan sendi-sendi
perekonomian Amerika, justru kaum cendekia muda Amerika yang berpusat di kampus-
kampus tertarik mempelajari al-Qur'an. Al-Qur'an menjadi buku yang paling laku di Dunia
saat ini. Dan kenyataannya memang dalam sejarah peradaban manusia hanya al-Qur'anlah
buku yang terus menerus diminati dari generasi ke generasi. Demikian pula al-Qur'an telah
melahirkan berbagai bentuk cabang pengetahuan yang luar biasa luasnya, dari sejak awal
diturunkan sampai saat ini manusia terus menenus mengembangkan berbagai jenis
pengetahuan. Dan ternyata al-Qur'an tidak pernah kehabisan kekuatannya sebagai sumber
pengetahuan dan inspirasi bagi manusia. Pengetahuan apapun dapat dirujuk kepada al-
Qur'an dan selanjutnya akan melahirkan sebuah pengetahuan yang sangat menarik dan
sempurna, sebagaimana yang tengah dilakukan para cendekiawan Muslim dalam proyek
"Islamisasi Pengetahuan" yang mendapat sambutan meluas dikalangan kaum cerdik pandai
Muslim.
Maka di tengah nestapa manusia modern yang penuh dengan kegalauan dan ketidak
pastian hidup, yang dikejar-kejar kehidupan hedonisme, konsumerisme, materialisme dan
perlombaan demi perlombaan menggapai ketenaran, jabatan dan harta, yang senantiasa
dihiasi berbagai suka dan duka silih berganti, yang berujung pada berbagai krisis, terutama
krisis spiritual, tidak ada pilihan lain kecuali hanya kembali ke Pangkuan dan Keharibaan
Allah SWT dengan kembali mengikuti jalan-Nya, kembali berinteraksi dengan al-Qur'an, kitab
yang telah melahirkan keagungan dan manusia-manusia unggul dalam arti yang sebenarnya.
Karena hanya kitab yang memiliki keagungan dan kesempurnaan seperti al-Qur'anlah yang
dapat melahirkan keagungan dan kesempurnaan yang dibutuhkan manusia untuk menata
kehidupannya sehingga berarti dan bermanfaat serta diberkahi. Dan tidak diragukan
sedikitpun bahwa manusia modern sangat membutuhkan kitab suci seperti al-Qur'an yang
14
akan menyelesaikan permasalahan hidup mereka, namun apakah al-Qur'an bersedia
berinteraksi dengan kita, sehingga menjadi bagian kehidupan kita, atau lebih jauh kita menjadi
al-Qur'an yang hidup, sebagaimana al-Qur'an pernah hidup pada pribadi agung seperti
Muhammad saw, Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, Ali ra dan ribuan bintang-bintang
kehidupan yang mengitari Muhammad saw?
Lebih jauh, al-Qur'an dengan khazanah spritualitas yang menyertainya akan
memberikan masyarakat modern yang tengah dilanda penyakit kronis, seperti yang dikatakan
Danah Zohar, sebagai penyakit spiritual, sebuah wawasan spiritual yang tak terhingga dalam
dan luasnya, sedalam dan seluas kemampuan manusia untuk mengeksplorasinya. Sebuah
pencapaian yang tidak pernah terbayangkan dan terkatakan oleh perbendaharaan
pengetahuan masyarakat modern. Karena pada hakikatnya al-Qur'an adalah sebuah pintu
menuju cakrawala spiritualitas yang tak terbatas luasnya, seluas pengetahuan Sang Maha
Pencipta. Itulah sebabnya ketika Rasul saw diberi kesempatan untuk bertandang ke Sidratul
Muntaha, tempat tersuci yang hanya diketahui Allah SWT, beliau tidak mampu untuk
menggambarkannya, karena memang kemampuan manusia memiliki keterbatasan untuk itu.
Permasalahannya, kenapa kaum Muslimin yang memiliki al-Qur'an, yang
memeliharanya, membacanya, menafsirkannya dan mengembangkan menjadi berbagai cabang
pengetahuan justru mengalami kemunduran dan keterbelakangan dalam kehidupannya?
Padahal al-Qur'an yang telah memberikan kekuatan dan kemajuan generasi terdahulu tetap
pada mereka. Maka tidak diragukan pasti ada hal yang menjadi penghalang antara mereka
dengan al-Qur'an, sehingga mereka terpisah satu sama lain.

Membangun Paradigma Pemahaman Kontemporer: Manhaj Qur’an Tanzili


Tidak diragukan bahwa paradigma pemahaman yang berkembang di kalangan kaum
Muslimin kontemporer, baik yang mengikuti aliran tradisionalis, fundamentalis, modernis,
liberalis dan lainnya, terutama dalam pola berinteraksi dengan al-Qur'an, hanya masih
sebatas interaksi pada dataran pemahaman atau pengetahuan tentang al-Qur'an. Maknanya
mereka hanya menjadikan al-Qur'an dengan segala perbendaharaannya sebagai sebuah
pengetahuan yang dikaji dengan detil detilnya yang rumit, dijabarkan kandungan-
kandunganya dari berbagai sisi pengetahuan yang amat luas, dikembangkan berbagai
pengetahuan yang mengasikkan dan mengangumkan, baik dari segi sasta, bahasa, fonetik,
sampai adab, teologi, fiqh, tasawwuf maupun kalam dan filsafat sebagaimana yang kita
saksikan dalam berbagai buku-buku klasik yang jumlahnya ribuan. Maka al-Qur'an hanya
menjadi konsumsi akal ('aql) dalam bentuk berbagai pengetahuan dan informasi tentang al-
15
Qur'an dan pengetahuan yang berhubungan dengannya, tapi belum mencapai tujuan utama
diturunkannya al-Qur'an, yaitu agar bersemayam di hati (qolb), menyatu dengannya sehingga
mengontrol seluruh aktivitas kehidupan, sebagaimana dinyatakan al-Qur'an: Dan orang-orang
kafir berkata, "Mengapa al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?" Demikianlah, agar
Kami memperteguh fu’ad (hati)mu dengannya dan Kami menurunkannya secara berangsur-angsur
(bertahap demi bertahap) (al-Furqon : 32)
Corak pemahaman yang hanya memfokuskan al-Qur'an sebagai perbendaharaan
pengetahuan seperti ini dapat diilustrasikan seperti seorang yang akan membangun sebuah
rumah yang sudah disiapkan master plannya oleh yang memiliki rumah. Namun rupanya
para pembangun rumah, bukannya mulai membangun sebagaimana yang diperintahkan, tapi
mereka sibuk mendiskusikan, menjabarkan bahkan memberi komentar dan super komentar
terhadap master plan yang telah diberikan kepadanya, membahasnya detil demi detil yang
memang menimbulkan keasyikan luar biasa, sehingga melahirkan cabang-cabang
pengetahuan yang mendetil, baik tentang bahan-bahan bangunan, arsitektur, teknik sipil dan
lain-lainnya. Yang berminat dengan pasir misalnya, dia asyik meneliti tentang pasir,
sejarahnya, kandungannya, unsur kiamia, jenis-jenisnya dan lainnya yang menghasilkan
sebuah pengetahuan tentang pasir. Demikian pula dengan yang berminat pada batu, besi, kaca
dan lainnya. Ahirnya memang para pembangun ini telah menghasilkan sebuah Super Master
Plan, yang mengagumkan, dengan kelengkepan detil-detilnya yang menghasilkan
perbendaharaan pengetahuan. Selanjutnya karena keterbatasan waktu, generasi pertama
digatikan oleh generasi selanjutnya yang meniru tradisi pendahulunya, melanjutkan pekerjaan
mereka mengembangkan super master plan rumah, dengan memberikannya kelengkapan-
kelengkapan pengetahuan baru sehingga benar-benar menghasilkan pengetahuan demi
pengetahuan. Dan demikianlah selanjutnya dari generasi demi generasi. Jika sang pemilik
rumah, yang memberikan pekerjaan kepada para pembangun ini datang untuk melihat
rumahnya, kira-kira apa yang akan dikatakannya? Apakah dia bangga dengan berbagai
produk pengetahuan yang dikembangkan sang pembangun dan generasi pengganti
setelahnya? Sementara rumah dengan master plannya yang pembangunannya telah
diperintahkan tidak pernah ada, karena memang rumah tersebut tidak pernah mulai
dibangun!!! Karena sang pembangun sibuk mengerjakan yang tidak diperintahkan. Tentu sang
pemilik rumah akan sangat murka melihat orang yang digajinya ternyata tidak menjalankan
kerjaannya dengan benar. Keadaan ini tentu akan lain maknanya, jika sang pembangun telah
menyelesakan tugas utamanya membangun rumah sesuai dengan yang diperintahkan,
kemudian memberikan bonus kepada tuan rumah berupa super master plan.
16
Kira-kira demikianlah yang terjadi pada kaum Muslimin dewasa ini, akibat keasyikan
generasi terdahulu, terutama generasi pertengahan yang memandang al-Qur'an sebatas
sebuah perbendaharaan pengetahuan yang difahami, ditafsirkan, dikembangkan sedemikian
dahsyatnya sehingga melahirkan pengetahuan yang menjulang tinggi. Namun hal ini berbeda
dengan yang dilakukan generasi awal pimpinan Muhammad Rasulullah. Generasi agung ini
menjadikan al-Qur'an sebagai sebuah perintah harian dari Pencipta Yang Maha Agung, yang
segera dilaksanakan di dalam kehidupan nyata. Mereka tidak akan segera meminta tugas-
tugas lainnya, sebelum tugas yang diberikan terlaksana dan terlambang dalam kehidupan
nyata mereka. Jika mereka menghadapi suatu masalah dalam kehidupannya, mereka akan
menengadahkan muka ke langit, mengharapkan putusan dan arahan dari Tuhan seru sekalian
alam Yang Mahasuci yang akan segera mereka dengarkan dan laksanakan, sam’an wa ta’athan.
Mereka tidak akan bertindak, atau mendahului perintah dari langit, sehinggalah Allah
menurunkan wahyu kepada utusan-Nya. Al-Qur’an mereka anggap sebagai sebuah tugas
wajib dari Penglima Maha Tinggi yang diperintahkan kepada para prajurit yang taat setia.
Itulah sebabnya seluruh aspek kehidupan mereka dikendalikan oleh wahyu yang diturunkan
kepada Muhammad saw.
Ketika ayat-ayat al-Qur’an datang kepada mereka, mereka segera membacanya,
menghafalnya, memahami maknanya atas bimbingan Rasul-Nya, dan yang paling terpenting
mereka langsung menuzulkan al-Qur'an ke relung terdalam hati mereka, sehingga mereka
menyatu dengan al-Qur'an dan dinyatakan sebagai al-Qur'an hidup. Setelah al-Qur'an hidup
dan tercermin dalam keseharian mereka, yang mengontrol kehidupan mereka, barulah mereka
mengembangkan berbagai pengetahuan yang didorong oleh semangat al-Qur'an yang telah
hidup dalam diri mereka. Mereka tanzil (menuzulkan) al-Qur'an terlebih dahulu, baru tafsir
(menafsirkan) atau ta'wil (mentakwilkannya). Sementara generasi kemudian sibuk dengan
tafsir dan takwil, sementara tidak pernah melakukan tanzil terhadap al-Qur'an sebagaimana
generasi sebelumnya. Sehingga al-Qur'an memang memenuhi rongga-rongga akal mereka
dengan segala pengetahuannya, namun tidak sampai mencerap dalam qolbu akibat
metodelogi yang diterapkan berbeda dengan metode sahabat terdahulu. Metode inilah yang
diwariskan kepada generasi demi generasi terkemudian.
Apalagi ketika generasi terkemudian telah berinteraksi dengan berbagai metode
pemikiran filsafat yang sudah berkembang pesat saat itu, dan menerapkannya dalam
pengembangan pengetahuan al-Qur'an sebagaimana pada kitab-kitab tafsir klasik yang
jumlahnya ribuan. Memang dilain pihak sangat mengagumkan perkembangan pengetahuan
yang diinspirasikan al-Qur'an. Berbagai cabang pengetahuan tentang al-Qur'an (ulum al-
17
Qur'an) saja telah tumbuh dengan detilnya, seperti Ilm Mawaatin al-Nuzul, Ilm Tawarikh al-
Nuzul, Ilm Asbab al-Nuzul, Ilm Qira'ah, Ilm Tajwid, Ilm Gharib al-Qur'an, Ilm I'rab al-Qur'an, Ilm
Wujuh wa al-Naza'ir, Ilm Ma'rifah al-Muhkam wa al-Mutasyabih, Ilm Nasikh wa Mansukh, Ilm
Badaa'i al-Qur'an, Ilm I'jaz al-Qur'an, Ilm Tanaasub Ayat al-Qur'an, Ilm Aqsam al-Qur'an, Ilm
Amsal al-Qur'an, Ilm Jidal al-Qur'an, Ilm Adab Tilawah al-Qur'an dan lain-lainnya yang mana hal
ini kadangkala disebut juga dengan ushul al-Tafsir, yang semunya harus dikuasai untuk
menjadi seorang penafsir al-Qur'an. Bahkan menurut Abu Bakr bin al-Araby (w.544 H), bahwa
cabang pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur'an (ulum al-Qur'an) terdiri atas 77.450
ilmu, sesuai dengan banyaknya kata-kata dalam al-Qur'an dikalikan empat. Sebab setiap kata
dalam al-Qur'an memiliki makna zahir, batin, terbatas dan tak terbatas. Sedangkan al-Suyuthi
(w. 911 H) dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur'an menyebutkan 80 macam ilmu al-Qur'an, bahkan
jumlah tersebut masih dapat dibagi hingga mencapai 300 macam !!!.
Itu baru tentang pengetahuan yang berhubungan dengan al-Qur'an saja, belum lagi
yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, baik yang berkaitan dengan tafsir,
ilmu tafsir, hadis, ilmu hadis, fiqh, ushul fiqh, kalam, adab, tasauf dan seterusnya.
Demikianlah kemukjizatan al-Qur'an telah mampu menggerakkan perkembangan
pengetahuan para pengikutnya sedemikian luasnya dengan berbagai jenis, bentuk, cabang
pengetahuan, yang pada akhirnya, jika seorang non Arab ingin mengetahui agamanya secara
pasti, akan kehabisan umur baru untuk mempelajari bagian terkecilnya saja. Itulah sebabnya
ketika pasukan bar-bar dari Mongolia menguasai pusat peradaban Islam di Bagdad, dan
mereka membuang khazanah pengetahuan kaum Muslimin ke sungai Tigris yang berubah
menjadi hitam akibat tinta dari buku-buku yang dicampakkan dan kuda-kuda dapat berjalan
di atasnya, saking banyaknya.
Sebagai contoh pengalaman saya belajar bahasa Arab pada beberapa ulama dengan
cara tradisional yang mulai dari mempelajari dan menghapal matan jurmiyah dan syarh-
syarahnya, memakan waktu yang cukup lama, setelah beberapa tahun saya kelihatan hampir
putus asa, ahirnya sang ustadz berujar, "saya telah menghabiskan 20 tahun untuk menguasai
Bahasa Arab dengan cabang-cabangnya, itupun juga saya belum merasa menguaainya dengan
benar". Masya Allah....
Maka tidak mengherankan apabila sebagian cendekiawan Muslim yang menyalahkan
metode tradisional para generasi terakhir dalam berinteraksi dengan al-Qur'an sebagaimana
yang selalu dilaungkan oleh para modernis. Namun tentu kesalahan itu bukan terletak hanya
pada metode tafsir atau takwil an-sich, sebagaimana yang selalu didakwakan sebagai
penyebab kemunduran umat Islam sebagaimana dinyatakan terdahulu. Kesalahan terbesar

18
generasi terkemudian adalah hanya berinteraksi dengan al-Qur'an sebatas tafsir dan takwil,
namun tidak masuk pada dataran tanzil sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi
Islam. Bagaimanapun upaya umat Islam untuk memperbaiki metode tafsir, takwil atau
sejenisnya dalam memahami al-Qur'an, tanpa diikuti oleh proses tanzil, proses penghidupan
al-Qur'an dalam qolbu umat Islam sebagaimana yang dilakukan generasi awal Islam, maka
semua usaha untuk menuju kebangkitan kembali akan tetap menjadi cita-cita panjang saja.
Berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk mendekonstruksikan dan
merekonstruksikan kembali khazanah pengetahuan yang demikian banyaknya. Apakah untuk
mencapai kebangkitan kembali Islam, semua pengetahuan tersebut harus dikuasai, dipilah-
pilah, dijabarkan, dinilai urgensinya, dikemukakan relevansinya dan seterusnya, baru
kemudian mengembangkan dasar-dasar pengetahuan Islami yang akan diintegrasikan dengan
pengetahuan Barat sekuler sebagaimana dikemukakan para penggerak Islamisasi
Pengetahuan? Berapakan biaya dan pengorbanan yang dibutuhkan untuk itu semua? Apakah
tidak ada jalan yang lebih mudah dan sederhana? Dan yang paling penting apakah itu semua
dilakukan oleh Muhammad Rasulullah dan para sahabatnya ketika menggerakkan
kebangkitan Islam pertama? Apakah memang demikian yang dikehendaki al-Qur'an?
Menurut pemahaman yang saya yakini, sebagaimana yang kita ketahui dalam sejarah
Islam, bahwa Rasulullah saw adalah seorang yang ummi, seorang yang tidak pandai membaca
dan menulis, beliau tidak pernah membaca, mendengar, menulis tentang kitab apapun,
sehingga beliau murni dari segala bentuk presepsi, paradigma, stigma dan pengaruh
pengetahuan atau filsafat apapun, sebagaimana yang dinyatakan al-Qur'an surat al-Ankabut
ayat 29 : "Dan engkau (Muhammad saw) tidak pernah membaca apapun kitab sebelum (al-Qur'an) dan
engkau tidak pernah menulis suatu kitab dengan tanganmu, karena jika demikian pasti akan bertambah
ragu orang-orang yang mengingkarimu". Jadi ketika beliau menerima al-Qur'an, Rasul saw tidak
mengetahui pengetahuan lainnya, sehingga hanya al-Qur'an saja yang mempengeruhi semua
pemikiran ataupun tindakan beliau.
Allah Yang Mahatahu telah mempersiapkan agar sang pembawa al-Qur'an adalah
seorang yang murni dan bersih pemikirannya dari berbagai pengetahuan ataupun filsafat
hingga untuk membaca dan menulispun beliau tidak mampu. Ini artinya, bahwa untuk
menjadi seorang yang Qur'anis sebagaimana Rasulullah, tidak dibutuhkan berbagai perangkat
pengetahuan pendukung, cukuplah dengan al-Qur'an saja. Kenyataan ini diperkuat oleh
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya'la, bahwa Rasulullah marah ketika melihat Umar
sedang membaca Taurat dan beliau bersabda : "Demi Allah, sekiranya Musa AS ada saat ini, maka
pasti dia akan mengikuti ajaranku". Demikian pula dengan kehidupan sahabat yang
19
mencukupkan diri dengan al-Qur'an sebagai sumber pengambilan, rujukan, sumber
pengajaran dan inspirasi mereka. Ketika mereka menerima penggalan ayat-ayat al-Qur'an,
mereka menghafalnya, mengingatnya, memahaminya dan yang paling penting mereka
"menuzulkannya" dalam kehidupan seharian. Mereka tidak pernah meminta tambahan ayat
lainnya, sebelum ayat yang diterimanya "nuzul" dalam diri mereka.
Inilah hakikat dan inti perbedaan generasi awal Islam dengan generasi sesudahnya.
Rasulullah dan generasi awal Islam menerima al-Qur'an untuk "dinuzulkan" dalam diri
mereka, sehingga al-Qur'an terlambang dan hidup dalam roh, semangat, kehidupan dan
perjuangan mereka. Al-Qur’an yang hidup, al-Qur’an yang memiliki al-Ruh, menjadi pusat
kontrol seluruh kehidupan mereka. Al-Ruh al-Insani yang terdapat pada manusia menyatu
dengan al-Ruh al-Qur’ani yang sama-sama berasal dari Pemilik al-Ruh Yang Maha Agung,
sehingga manusia menjadi makhluk sempurna, al-Insan al-Kamilah. Jika manusia diibaratkan
dengan komputer yang memiliki kesempurnaan hardware, maka al-Qur’an adalah satu-satu
software yang paling tepat dan sempurna untuk menjalankan program komputer tersebut.
Proses tanzil al-Qur’an kepada manusia sama maknanya dengan proses install
program/software kepada komputer. Tanpa proses ini, maka kesempurnaan manusia tidak
ada artinya. Mungkin manusia dapat saja menginstall software selain al-Qur’an pada dirinya,
namun tidak dia tidak akan mencapai kesempurnaan maksimal sebagai makhluk terbaik.
Sebagaimana komputer pentium tercanggih yang hanya diinstall program pentium 4
misalnya, komputer mungkin berjalan, namun tentu tidak maksimal sesuai kapasitasnya.
Inilah perbedaan paradigma pemahaman antara generasi awal Islam yang dipimpin
Muhammad Rasulullah dengan kaum muslimin kontemporer. Jika generasi awal telah
menginstall al-Qur’an ke relung qolbu terdalam (fuad) mereka, kemudian mereka
mengembangkan dengan berbagai cabang pengetahuan berdasarkan kemampuan pemikiran
tertinggi (aqal) mereka. Dengan kata lainnya, mereka mengimani dengan hati seluruh
kandungan al-Qur’an baru kemudian mereka memikirkannya dengan kemampuan aqalnya,
dan ketika aqalnya tidak mampu, mereka berpegang kepada keimanan yang mempercayai
seluruh kandungan al-Qur’an. Namun berbeda halnya dengan generasi sesudahnya, yang
menjadi panutan muslim kontemporer, mempelajari al-Qur'an dengan aqalnya terlebih
dahulu, hanya sebatas untuk menambah perbendaharaan pengetahuan dan penguasaan serta
pengembangan segala cabang-cabangnya sebagaimana digambarkan terdahulu. Apabila aqal
mereka tidak dapat menerima al-Qur’an, maka aqalnya akan mencari pemahaman yang lain
yang akan ditafsirkan atau ditakwilkan sesuai dengan pemahaman yang dapat diterima aqal.
Mereka hanya mengimani apa yang difahami dan diterima aqal mereka, sehingga akhirnya
20
aqal menjadi penghalang al-Qur’an untuk masuk ke dalam qalbu mereka. Inilah generasi
muslim yang disebut Rasulullah dalam sebuah hadisnya: Akan datang sekumpulan pemuda yang
mengaku Islam, namun keislaman mereka tidak lebih hanya sebatas di tenggorokan mereka saja. Al-
Qur’an tidak menyerap ke relung terdalam hati mereka, karena al-Qur’an hanya mengisi aqal
mereka sebagai sebuah pengetahuan saja.
Itulah sebabnya generasi awal hanya mencukupkan diri dengan ayat-ayat al-Qur'an
yang mereka dapatkan tanpa meminta tambahan ayat lainnya. Untuk menyempurnakan
pewahyuan al-Qur’an kepada manusia, Allah Yang Maha Mengetahui memberikan tenggang
waktu 23 tahun, padahal jika Dia menghendaki, sedetikpun cukup. Hal ini tidak lain karena
untuk menuzulkan al-Qur’an ke dalam relung terdalam hati manusia dan menjadikannya
sebagai kontrol dalam kehidupannya memerlukan waktu yang cukup panjang. Inilah
paradigma yang telah dilakukan Muhammad Rasulullah, sesuai dengan perintah Allah yang
telah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pemimpin manusia. Paradigma inilah yang
mesti dilakukan oleh siapapun yang menghendaki lahirnya manusia unggul sebagaimana
Rasulullah dan sahabatnya yang menjadi masyarakat utama di zamannya.

21

You might also like