You are on page 1of 11

AEROSOL, INHALASI DAN OBAT SEMPROT

AEROSOL FARMASETIK: Bentuk sediaan yang dikemas di bawah tekanan, mengandung zat aktif terapetik yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan.( FI IV) Bentuk sediaan yang diberi tekanan megandung satu atau lebih bahan aktif yang bila diaktifkan memancarkan butiran butiran cairan dan atau bahan bahan-bahan padat dalam media gas.(Ansel. 466). Penggunaan :

1. 2. 3. 4.

Topikal pada kulit Lokal hidung ( Aerosol Nasal) Lokal Mulut (Aerosol lingual) Lokal Paru-paru (Aerosol inhalasi)

Topikal pada kulit : Meliputi preparat yang digunakan sbg antiseptic, antimikotik antipruriginosis, antialergik luka baker dan anastesi lokal. Aerosol inhalasi memiliki kerja lokal pada selaput mukosa saluran pernafasan Ukuran partikel berkisar antara 10 50 um. Ukuran partikel Aaerosol inhalasi lebih kecil dari 10 um. Keuntungan bentuk sediaan Aerosol :

1. Sebagian zat aktif/obat dapat dengan mudah diambil dari wadah tanpa sisanya tercemar atau terpapar. 2. Penggunaan dapat langsung ditujukan ke tempat yang memerlukan secara lokal dalam bentuk yang
disesuaikan dengan keperluan.

3. Wadah Aerosol yang kedap udara, sehingga terlindungi dari pengaruh kelembaban udara, cahaya dan 4. 5. 6.
sterilitas tetap terjaga. Pengobatan topikal dapat diberikan secara merata melapisi kulit, tanpa menyentuh daerah yang diobati. Penguapan cepat zat pendorong juga memberikan efek pendinginan dan penyegaran. Pengguaannya merupakan proses yang bersih.

Prinsip Aerosol terdiri dari 2 komponen : 1. Cairan pekat produk Zat aktif yang dicampur dengan bahan pembantu yang dibutuhkan( antioksidan, emulgator, suspending agent, pelarut) untuk ketsabilan dan efektifitas produk. 2. Pendorong (Propelan)

Gas cair atau campuran gas cair yang diberi tekanan. Bisa juga berfungsi sebagai pelarut atau pembawa cairan pekat produk. Contoh pendorong :

1. Gas yang tidak dicairakn: CO2, Nitrogen dan NO 2. Gas cair : Hidrokarbon terfuorinasi (Diklorodifluorometan Freon 12)
Sistem Aerosol

1. Sistem dua fase : sistem aerosol yang terdiri dari fase cair yang mengandung propelan cair dan cairan pekat 2. 3.
produk, serta fase gas Sistem tiga fase : sistem yang terdiri dari lapisan air-cairan propelan yang tidak bercampur, lapisan pekat produk yang sangat berair, serta gas. Sistem gas bertekanan. (psia, pound per inci persegi)

Komponen dasar Aerosol 1. Wadah 2. Propelan (Pendorong) 3. Konsentrat Zat Aktif) 4. Katup 5. Penyemprot.

Aspek Biofarmasetik Produk Obat


BAB I PENDAHULUAN Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu. Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan variable-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka bioavaibilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA FAKTOR-FAKTOR DALAM BIOAVAILABILITAS OBAT Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi (1) disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; (2) pelarutan obat; (3) absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat, pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut. Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat sedangkan laju lintas atau

tembus obat lewat membran merupakan tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.

Pelepasandengan cara penghancuran

Obatdalam tubuh

Absorpsi Obatdalam larutan Pelarutan Partikelobat padat

Obatdalam produk obat

Gambar 1. Proses laju bioavailabilitas obat

Faktor-Faktor Fisiologik yang Berkaitan dengan Absorpsi Obat PERJALANAN OBAT LEWAT MEMBRAN SEL. Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat-obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membran sel daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.

WAKTU TRANSIT OBAT DALAM SALURAN CERNA. Usus halus, dan terutama mukosa duodenum, mempunyai luas permukaan yang besar untuk absorpsi obat. Untuk memastikan absorpsi cepat suatu obat setelah pemberian oral, maka obat harus mencapai duodenum secara cepat. Suatu penundaan pengosongan obat dari lambung ke dalam duodenum akan memperlambat absorpsi obat dan dengan demikian menunda awal dari efek terapetik. Sejumlah faktor telah menunjukkan pengaruh terhadap waktu pengosongan lambung. Beberapa faktor yang cenderung menghambat pengosongan lambung meliputi konsumsi makanan dengan lemak tinggi, minuman dingin, dan obat-obat antikolinergik. Sebagai tambahan, obat-obat yang tidak stabil pada pH asam, seperti penisilin dapat terurai jika pengosongan lambung tertunda. ALIRAN (PERFUSI) DARAH DARI SALURAN CERNA. Aliran darah ke saluran cerna merupakan hal yang penting untuk membawa obat ke sirkulasi sistemik dan kemudian ke tempat kerja. Daerah usus diperfusi oleh pembuluh-pembuluh darah mesenterika. Obat dilepaskan ke dalam hati melalui vena porta hepatik dan kemudian ke sirkulasi umum atau sirkulasi sistemik. Berbagai penurunan aliran darah mesenterika, seperti pada kegagalan jantung kongestif, akan menurunkan laju pemindahan obat dari saluran usus dan oleh karena itu menurunkan laju bioavaibilitas obat. Faktor-Faktor Farmasetik yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan (1) jenis produk obat (misal: larutan, suspensi, supositoria); (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri. Seperti dikatakan sebelumnya, bioavailabilitas obat aktif dalam suatu bentuk sediaan pada bergantung pada beberapa faktor, yang meliputi (1) disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif; (2) pelarutan obat; dan (3) absorpsi atau permeasi obat melintasi membran sel. DISINTEGRASI. Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat. Proses disintegrasi tidak menggambarkan pelarutan sempurna tablet atau obat. Disintegrasi yang sempurna ditakrifkan oleh USP XX sebagai keadaan di mana berbagai residu tabet, kecuali fragmen-fragmen penyalut yang tidak larut, tinggal dalam saringan alat penguji sebagai massa yang lunak dan jelas

tidak mempunyai inti yang teraba. Uji disintegrasi dipakai sebagai suatu komponen dari keseluruhan pengendalian kualitas fabrikasi tablet. PELARUTAN. Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik obat. Hal-hal yang mempengaruhi pelarutan obat adalah sifat fisikokimia obat, faktor formulasi dan uji pelarutan in vitro. METODE UJI PELARUTAN (USP XXI/NF XVI) a. Metode Rotating Basket (Alat 1) Metode rotating basket terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37C. b. Metode Paddle (Alat 2) Metode paddle atau alat ke 2 terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode rotating basket dipertahankan pada suhu 37C. c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi (Alat 3) Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP basket and rack dirakit untuk uji pelarutan.

KORELASI KELARUTAN IN VITRO-IN VIVO Berbagai metode pelarutan memberi kemudahan cara pengujian dari suatu produk obat. Bila suatu metode pelarutan yang tepat dipilih, maka laju pelarutan produk obat dapat dikorelasikan dengan laju absorpsi obat dalam tubuh. Ada beberapa cara untuk memeriksa korelasi in vitro-in vivo. a. Laju pelarutan vs. Laju Absorpsi

Jika pelarutan obat merupakan laju penentu, maka suatu laju pelarutan yang lebih cepat dapat mengakibatkan laju keberadaan obat dalam plasma yang lebih cepat, sehingga memungkinkan untuk menetapkan korelasi antara laju pelarutan dan laju absorpsi obat. b. Prosen Obat Terlarut vs. Prosen Obat Terabsorpsi Jika suatu obat diabsorpsi secara sempurna setelah pelarutan, maka dengan membandingkan prosen obat terabsorpsi terhadap prosen obat terlarut dapat diperoleh suatu korelasi linear. c. Konsentrasi Plasma Maksimum vs. Prosen Obat Terlarut In Vitro Bila formulasi obat yang berbeda diuji untuk pelarutan, suatu obat yang diformulasi secara tidak baik, tidak akan terlarut dan dilepas secara sempurna, sehingga menghasilkan konsentrasi obat dalam plasma yang lebih rendah. Prosen obat yang dilepas pada berbagai jarak waktu untuk produk obat yang lebih berada dalam sistemik akan menjadi lebih besar. d. Konsentrasi Obat dalam Serum vs. Prosen Obat Terlarut Pada studi absorpsi aspirin, kadar aspirin dalam serum dikorelasikan dengan prosen obat terlarut yang menggunakan suatu metode pelarutan in vitro. Media pelarutan merupakan simulasi cairan lambung. Karena aspirin diabsorpsi cepat dari lambung, maka pelarutan obat merupakan tahap penentu dan berbagai formulasi dengan laju pelarutan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan konsentrasi aspirin dalam serum dari menit ke menit. e. Kegagalan Korelasi Pelarutan In Vitro ke Absorpsi In Vivo Meskipun ada sejumlah contoh publikasi obat dengan data pelarutan yang mempunyai korelasi baik dengan absorpsi obat dalam tubuh, ada juga beberapa contoh yang menunjukkan adanya korelasi yang jelek dari pelarutan terhadap absorpsi obat. Juga ada contoh suatu obat gagal dalam uji pelarutan, tetapi ternyata diabsorpsi dengan baik. Masalah tidak adanya korelasi antara bioavaibiltas dan pelarutan mungkin disebabkan oleh kekompleksan absorpsi obat dan kelemahan rancangan pelarutan. PERTIMBANGAN DALAM RANCANGAN BENTUK SEDIAAN

Pertimbangan terpenting dalam merancang suatu sediaan adalah keamanan dan keefektifan. Bahan-bahan aktif dan in aktif harus aman bila digunakan seperti yang diharapkan. Obat harus dilepas secara efektif ke tempat sasaran sehingga efek terapetik yang diharapkan dapat dicapai. Bentuk sediaan harus tidak menambah efek samping atau efek yang tidak dikehendaki terhadap obat. Dalam menyiapkan produk obat, farmasis mencoba mempertimbangkan kebutuhan dokter, penderita dan biaya produksi. Pertimbangan ini kemudian disesuaikan dengan batasan sifat fisika, kimia dan biologik obat. Pertimbangan Penderita Bentuk sediaan harus sesuai untuk penderita. Bila suatu obat yang terasa pahit dipakai sebagai tablet atau kapsul hendaknya disalut. Ukuran tablet atau kapsul hendaknya cukup kecil sehingga mudah ditelan. Frekuensi pemberian dosis dijaga minimum. Pertimbangan Dosis Bentuk sediaan harus dirancang dengan pertimbangan dosis. Beberapa obat mempunyai perbedaan dosis individual yang besar, dan harus tersedia beberapa macam kekuatan dosis sehingga suatu dosis yang sesuai dapat dipakai dari bentuk sediaan yang tersedia. Pada obat tertentu, pemberian dosis obat didasarkan atas luas permukaan tubuh atau berat badan dan dengan pemantauan konsentrasi obat dalam tubuh, dosis dapat disesuaikan kembali. Pertimbangan Frekuensi Pemberian Dosis Frekuensi dosis suatu obat dikaitkan dengan waktu-paruh eliminasi obat dan juga konsentrasi terapetik obat. Untuk suatu obat dengan waktu-paruh pendek, pertimbangan sering diberikan untuk memperpanjang lama kerja obat. Resiko kelebihan dosis yang tidak terpakai dan potensi untuk penurunan bioavailabilitas obat harus dipertimbangkan jika suatu dosis yang lebih besar diformulasi untuk mencapai suatu lama kerja yang lebih panjang. Pertimbangan Terapetik Pengetahuan indikasi terapetik obat merupakan hal yang penting untuk formulator. Suatu obat yang digunakan untuk suatu kondisi segera dan kondisi akut hendaknya diformulasi sehingga obat tersebut mencapai sasaran dengan cepat. Suatu obat yang digunakan untuk jangka terapi yang lebih panjang dapat mencapai sasaran lebih lambat. Sebagai contoh, suatu obat yang menghilangkan sakit hendaknya diabsorpsi secara cepat sehingga diperoleh hilangnya rasa sakit yang cepat, sedangkan suatu obat yang dirancang untuk mencegah keadaan asmatik dapat

diabsorpsi secara lambat sehingga efek perlindungan dari obat berakhir setelah suatu jangka waktu yang panjang. Efek Samping Pada Saluran Cerna Beberapa obat yang diberikan secara oral mengiritasi lambung. Obat-obat ini dapat menyebabkan mual dan rasa sakit pada lambung bila diberikan pada lambung yang kosong. Untuk menurunkan iritasi lambung, dalam beberapa hal makanan atau antacid dapat diberikan bersama-sama dengan obat. Cara lain, untuk menurunkan iritasi lambung obat dapat disalut enterik. Untuk memperbaiki bioavailabilitas obat dan menurunkan efek samping pada saluran cerna, obat-obat tertentu telah diformulasi dalam kapsul gelatin lunak. Jika obat diformulasi dalam kapsul gelatin lunak sebagai suatu larutan, maka obat dapat terdispersi dan melarut lebih cepat dengan meninggalkan sedikit residu obat dalam dinding usus dan menyebabkan iritasi. Ada beberapa pilihan untuk formulator guna memperbaiki toleransi obat dan memperkecil iritasi lambung. Sifat bahan tambahan dan keadaan fisik obat merupakan hal yang penting dan harus ditetapkan secara hati-hati sebelum suatu produk obat diformulasi. Beberapa bahan tambahan dapat memperbaiki kelarutan obat dan mempermudah absorpsi. Sedangkan yang lain secara fisika dapat mengabsorpsi obat untuk menurunkan iritasi. PERTIMBANGAN RUTE PEMBERIAN Produk-Produk Parenteral Pada umumnya, pemakaian intravena memberi mula kerja yang paling cepat. Obat-obat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk ke dalam darah dan dalam beberapa menit beredar ke seluruh bagian tubuh. Suatu obat dapat diinjeksikan secara intramuscular melibatkan penundaan absorpsi, karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran darah. Tablet Bukal Suatu tablet yang mengalami difusi dan penetrasi secara cepat dapat diberikan dan diabsorpsi dalam rongga mulut. Suatu tablet yang dirancang untuk absorpsi obat dalam rongga mulut disebut tablet bukal. Sebagai contoh tablet sublingual nitrogliserin terlarut di bawah lidah dan diabsorpsi melalui mukosa mulut. Tablet-tablet bukal pada umumnya mengandung suatu bahan tambahan yang cepat melarut seperti laktosa, sehingga obat dilepaskan secara cepat. Aerosol

Obat-obat yang diberikan ke dalam sistem pernafasan, seperti anti asmatik, dapat diformulasi dalam suatu aerosol atau larutan inhalasi. Suatu sediaan aerosol dengan propellan yang sesuai dapat memberikan obat secara cepat sampai ke daerah bronchial. Sediaan Transdermal Pemberian transdermal memberi pelepasan obat ke sistem tubuh melalui kulit. Contoh dari suatu obat yang dilepas secara transdermal adalah Transderma-V. Untuk mabuk perjalanan Transderma-V melepaskan skopolamin melalui kulit telinga. Rute pemberian ini dapat melepaskan obat selama beberapa jam tanpa efek samping saluran cerna yang tidak menyenangkan. Obat yang diberikan secara transdermal tidak dipengaruhi oleh first pass effects. Sediaan Oral Keuntungan yang utama dari sediaan oral adalah kemudahan-pemakaian dan menghilangkan ketidakenakan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian utama dari sediaan oral adalah persoalan yang potensial dari penurunan bioavailabilitas dan bioavailabilitas yang berubah-ubah yang disebabkan oleh absorpsi tidak sempurna atau interaksi obat. Rasa mual atau ketidakenakan lambung dapat terjadi pada beberapa obat yang menyebabkan iritasi saluran cerna lokal. Bioavailabilitas yang jelek atau penurunan absorpsi mungkin disebabkan oleh antasid atau interaksi makanan. Sediaan Rektal Sediaan rektal dapat diberikan dalam bentuk padat atau cair. Pemberian rektal lebih disukai untuk obat-obat yang menyebabkan rasa mual atau dalam keadaan yang tidak memungkinkan memberi obat secara oral. Absorpsi obat melalui rektal dapat menghindari first pass-effects yang disebabkan oleh enzim dan hati. Pada umumnya, obat yang diabsorpsi melalui daerah rektal bagian atas melewati vena porta hepatik dan dapat diinaktivasi oleh hati.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu. Semua produk obat di pantau dan di formulasikan sedemikian rupa agar dapat menghasilkan efek terapi yang

optimal dan meminimalkan efek samping dari obat tersebut. Obat dirancang sesuai dengan kebutuhan dan sifat-sifat kimia maupun fisika dari zat aktif, agar dalam pembuatan atau penggunaannya tidak menimbulkan kerugian baik bagi produsen maupun konsumen.

Literatur: Shargel L., dan Yu Andrew B.C., 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press.

You might also like