You are on page 1of 17

6. Tata Air Keberhasilan budidaya pertanian di lahan rawa membutuhkan pengelolaan tata air yang sangat hati-hati.

Pengelolaan tata air di rawa pasang surut menghadapi dua keinginan yang saling bertentangan, yaitu keinginan untuk membuang air (drainasi) guna menurunkan muka air agar terjadi proses pematangan dan pencucian tanah, serta keinginan untuk tetap menjaga ketinggian muka air guna menjaga kelembaban tanah, dan memberikan air suplesi (irigasi). Dengan adanya fluktuasi muka air di sungai dan saluran karena gerakan pasang-surut, serta fluktuasi curah hujan, maka proses pengelolaan tata air di daerah rawa menjadi sangat rumit. Pengelolaan tata air ini dapat dibedakan antara pengelolaan tata air mikro ( pengelolaan tata air makro ( canal water management ). Pengelolaan tata air mikro dapat juga biasa disebut on-farm water management , mempunyai on farm water managemen t) dan

beberapa tujuan utama yaitu menjaga ketersediaan air untuk tanaman, membuang air yang berlebih di petah sawah, menghalangi tumbuhnya gulma di lahan, memperbaiki kualitas air, mencuci keasaman dan toxiditas tanah, meningkatkan proses pematangan tanah, dan mengubah tanah organic menjadi tanah yang lebih subur. Pengelolaan tata air makro yang dapat disebut sebagai canal water management , lebih bersifat

mendukung kegiatan pengelolaan tata air mikro. Tujuan utama pengelolaan tata air makro adalah pembuangan air yang berlebih dan banjir, mencegah terjadinya genangan yang merusak, mencegah terjadinya intrusi air asin ke lahan pertanian, mengusahakan proses pemberian air irigasi, mencegah terjadinya penurunan muka air tanah yang membahayakan, mengencerkan dan membuang air asam keluar dari tanah dan saluran, menyediakan air untuk keperluan rumah tangga, menjamin kedalaman yang cukup guna keberlangsungan transportasi air. Pola pengelolaan tata air di daerah rawa juga dipengaruhi oleh kondisi hidraulik di sekelilingnya ( hydraulic boundary condition ), yaitu gerakan air di sungai yang meliputi fluktuasi pasang-surut, fluktuasi muka air karena pengaruh musim (musim hujan dan kemarau), intrusi air laut, serta dipengaruhi oleh aliran yang berasal dari lahan disekitarnya.

Gerakan air pasang-surut Elevasi muka pasang-surut dibandingkan dengan elevasi lahan (keadaan hidrotopografi) akan sangat menentukan pola tata airnya. Perbandingan antara elevasi air pasang dengan elevasi l lahan akan menentukan beberapa hal berikut ini Irigasi air pasang dapat dilakukan apabila air pasang dapat menggenangi lahan selama 4 5 hari dalam satu siklus pasang surut, hal ini dapat terjadi apabila muka air pasang lebih t tinggi daripada elevasi lahan. Elevasi muka air pasang tertinggi juga menentukan elevasi tanggul yang diperlukan guna m mengamankan pemukiman terhadap bahaya banjir. Apabila genangan ke lahan tidak mungkin terjadi, karena elevasi lahan lebih tinggi daripada elevasi muka air pasang, gerakan pasang-surut diperlukan guna memasok air segar dari sungai ke saluran untuk keperluan rumah tangga maupun untuk menjaga k kelembaban tanah dengan memberikan suplai kedalam air tanah (groundwater recharge). Kemampuan untuk membuang air dan waktu pembuangan (drainage time) ditentukan o oleh elevasi surut terendah dibandingkan dengan elevasi lahan. Elevasi dasar saluran dibandingkan dengan elevasi air surut terendah akan menentukan k kemampuan saluran dalam menunjang transportasi air. Besarnya perbedaan elevasi muka air pasang tertinggi dan elevasi surut terendah (tidal range) akan menentukan kemampuan drainasi dan kemampuan pelindihan dan penggelontoran air dari saluran ke sungai dan sebailknya. Perubahan Elevasi Muka Air Sungai karena musim. Gerakan muka air di pantai sangat dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Di daerah dekat muara sungai, perubahan elevasi muka air sangat ditentukan oleh pasang-susut air laut. Pada daerah dibagian hulu muara, daerah transisi antara daerah pasang surut dan daerah non pasang surut, perubahan elevasi muka air, selain dipengaruhi oleh pasang surut air laut, juga dipengaruhi oleh debit yang datang dari dulu sungai. Di bagian hulu sungai yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut, perubahan elevasi air sangat ditentukan oleh debit hulu sungai. Intrusi Air Asin Intrusi air asin sering terjadi jauh ke hulu sungai (lebih kurang 20 30 km dari muara sungai) pada waktu musim kemarau, dimana debit dari bagian hulu semakin kecil. Air dengan salinitas

lebih besar dari 5 mS/cm sebaiknya tidak digunakan untuk irigasi, demikian pula untuk keperluan konsumsi rumah tangga, sebaiknya tidak lebih dari 1 mS/cm. Pada daerah dekat pantai, air payau sering digunakan untuk menetralkan air asam yang dihasilkan oleh adanya oksidasi tanah sulfat masam. Hidrotopografi Keadaan Hidrotopografi merupakan suatu istilah yang digunakan untuk membandingkan elevasi lahan dengan elevasi muka air sungai. Seperti yang dijelaskan di depan, di rawa pasang-surut, dikenal empat kategori hidrotopografi, yaitu Rawa Tipe Luapan A, B, C dan D. Dipandang dari aspek irigasi, maka Rawa Tipe Luapan A dan B adalah rawa yang potensial untuk dikembangkan guna keperluan budidaya padi yang membutuhkan penggenangan, namun daerah ini mempunyai keterbatasan dalam proses drainasi, karena waktu pembuangan terbatas pada waktu terjadi air surut saja. Demikian pula apabila lahan tersebut dikembangkan untuk budidaya tambak, secara teknis akan mempunyai kemudahan dalam irigasi (pemberian air asin dan tawar), namun dengan berkembangnya budidaya tambak intensif yang menggunakan tambahan makanan buatan, maka proses drainasi limbah tambah lebih dipentingkan, sehingga beberapa pengembang tambak udang intensif lebih memilih lahan yang mempunyai hidrotopografi tinggi (tipe C dan D). Dipandang dari aspek drainasi, maka rawa tipe Luapan C dan D akan lebih mudah membuang air genangan, sehingga mempermudah proses pematangan tanah. Namun, apabila terjadi pengatusan yang berlebih, akan mengakibatkan terjadinya pemiskinan hara, yang pada akhirnya lahan tersebut akan menjadi lahan tidak produktif. 6.1. Pembuangan Air Berlebih (Drainasi). Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pada kondisi awal, rawa terjadi karena tidak adanya atau minimnya sistem drainasi alami. Oleh karena itu upaya pembuangan genangan air merupakan upaya pertama yang biasa dilakukan. Penurunan muka air dapat dilakukan dengan pembuatan saluran-saluran drainasi dengan kapasitas dan jarak tertentu yang disesuaikan dengan kriteria drainasi yang disepakati, yang disesuaikan dengan penggunaan lahan. Kriteria drainasi untuk tempat tinggal berbeda dengan kriteria drainasi lahan usaha, kriteria drainasi lahan usaha untuk sawah berbeda dengan lahan usaha perkebunan.

Dari beberapa desain yang telah dibuat, kapasitas saluran drainasi dihitung memakai konsep drainage module . Suatu areal dianggap sebagai suatu reservoir yang harus menerima curah hujan rencana (curah hujan harian kala ulang tertentu) dan air tersebut di buang dengan debit konstan selama curah hujan rencana tersebut berlangsung. CH E P G ( ) * Area (m3/det/ha) T Dengan
Q
=

Q E P G T

: debit saluran drainasi (liter/det/ha) : evaporasi (mm)0 : perkolasi (mm) : kedalaman genangan yang diperbolehkan (mm) : waktu pembuangan (detik)

CH : curah hujan harian dengan kala ulang tertentu (mm)

Area : satu satuan luas daerah layanan (1 ha = 10000 m2) Kedalaman genangan yang diperbolehkan tergantung pada penggunaan daerah layanan. Misalnya sawah dimungkinkan untuk tergenang setinggi 5 cm selama 3 hari tanpa mengalami penurunan produksi, perkebunan tertentu tidak membolehkan adanya genangan sama sekali. Waktu pembuangan sangat dipengaruhi oleh perbedaan elevasi lahan dan elevasi muka air di outlet (keadaan hidrotopografi). Di daerah pasang-surut, muka air sungai dipengaruhi oleh gerakan pasang-surut air laut. Air laut mengalami pasang dan surut karena adanya gaya tarik bulan. Dalam satu hari, muka air akan mengalami pasang dan surut sekali atau dua kali, yang besaran amplitudonya tergantung pada posisi bulan. Pada saat bulan mati dan bulan penuh, akan didapat amplitudo terbesar, pada saat itu disebut terjadi pasang dan surut terbesar), diantaranya terjadi spring tide, (perbedaan muka air neap tide , pada saat itu terjadi amplitudo terkecil

(perbedaan muka air pasang dan surut terkecil). Karena adanya air pasang di muara sungai akan terjadi pembendungan ke arah hulu (backwater), semakin besar debit sungai akan semakin tinggi pengaruh pembendungan tersebut. Pada keadaan tersebut akan mungkin terjadi bahwa elevasi muka air pasang dan surut di bagian hulu akan lebih tinggi daripada elevasi muka air pasang dan surut di muara sungai. Perbedaan muka air pasang dan surut di Kalimantan dan Sumatera berkisar antara 1,5 m hingga 2,5 m, sedang di Irian Jaya ditemui beda air pasang dan surut adalah 3 m 4 m (Selat Muli/ Pulau Yos Sudarso, perairan sekitar Merauke).

Dengan membandingkan elevasi lahan dan elevasi muka air psang surut akan dapat diketahui lama waktu pembuangan yang dimungkinkan (lihat gambar 1). Elevasi (m) Gambar 1. Perbedaan elevasi lahan dan elevasi muka air di outlet Sesuai dengan pembagian daerah luapan A,B, C danWaktu pembuangan mempunyai D maka tidak semua lahan kemampuan membuang air ( drainability ) yang sama. Elevasi lahan Drainability didefinisikan sebagai kedalaman elevasi muka air tanah yang mungkin dicapai oleh sistem saluran drainasi pada saat terjadi curah hujan normal. Pada saat terjadi curah hujan maksimum, dimungkinkan terjadi kenaikan elevasi muka air tanah diatas elevasi tersebut. Kedalaman air tanah yang dibutuhkan oleh beberapa penggunaan lahan adalah sebagai berikut. Padi : 0,30 m Elevasi muka air di outlet Polowijo Tempat tinggal Perkebunan : 0,30 m 0,60 m : 0,30 m 0,60 m : > 0,60 m Waktu

Dengan membandingkan elevasi lahan dan elevasi muka air pada saat surut akan dapat dibuat peta zona drainability. Drainability (kemampuan drainasi) dapat ditentukan oleh beberapa aspek sebagai berikut ini.

Kemampuan pembuangan ditentukan oleh elevasi muka air pasang di oulet saat di sungai terjadi elevasi muka air maksimum musim hujan.

Curah hujan yang jatuh di lahan dan harus dibuang adalah curah hujan bulanan ekstrim dengan kala ulang 1 5 tahun.

Dengan hitungan hidraulika, memanfaatkan hitungan back water curve (unsteady ataupun steady flow) dengan model matematik, serta memasukkan input curah hujan dan elevasi muka air di outlet maka elevasi muka air di saluran tersier dapat dihitung. Dengan memberikan angka kekasaran Manning yang tepat akan dapat diketahui kehilangan energi di sepanjang saluran. Namun untuk memberikan kemudahan perkiraan kehilangan energi di saluran, dapat dipakai nilai pendekatan, kehilangan energi di saluran primer 0,02 m/km, di saluran sekunder 0,05 m/km, di saluran tersier 0,10 m/km dan di bangunan air 0,10 m/km. Gambar. Kemampuan Drainasi. Keadaan hidrotopografi sangat menentukan kemampuan lahan untuk membuang kelebihan air 5 baik pada saat terjadi hujan. Lahan dengan keadaan drainability baik akan mampu membuang air dengan mengatur dimensi saluran drainasinya. Lahan dengan keadaan drainability sedang, intermiten hanya akan dapat membuang air secara intermiten, yaitu saat terjadi air surut, sedang pada lahan dengan keadaan d buruk, air drainability sama sekali tidak dapat dibuang ke outlet, cara yang dapat dilakukan adalah dengan pompa.
0 0 25 ditemukan juga suatu areal yang elevasi lahannya dibawah Di beberapa tempat50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350 elevasi muka air waktu (jam) surut, sehingga akan ditemui kesulitan untuk membuang air secara gravitasi. Areal tersebut 1 2 3 4 6

buruk

dapat dimanfaatkan untuk budidaya perikanan atau budidaya pertanian dengan sistem Polder. Untuk melindungi tambahan air dari luar diperlukan tanggul keliling. Pembuangan air keluar dilakukan dengan bantuan pompa. Polder yang masih ada misalnya polder Alabio di Kalimantan Selatan. 6.2. Pemberian Air (Irigasi). Kemungkinan dapat terluapinya suatu lahan oleh air pasang sangat tergantung pada elevasi lahan dibanding elevasi air pasang. Kemampuan irigasi merupakan kebalikan dengan kemampuan drainasi suatu lahan, pada lahan dengan draibility baik, kemampuan terluapi oleh air pasang menjadi sangat kecil, sedang pada lahan dengan drainability buruk, kemungkinan terluapi oleh ai pasang semakin besar. Pada daerah dengan draibility sedang, maka kemungkinan terluapi dan drainasi menjadi sama besar. Seperti halnya dengan drainasi, kemampuan air pasang masuk ke lahan juga teredam oleh kehilangan energi di saluran, yang diperkirakan sebesar 0,05 m/km. Apabila proses reklamsai sudah berlangsung, maka proses penurunan elevasi tanah (soil subsidence) akibat shrinkage (terbuangnya kandungan air tanah), akan menentukan keadaan hidrotopografi baru suatu daerah. Suplesi (pemberian) air sangat diperlukan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan air untuk budidaya pertanian, proses pengenceran bahan toxic, pemenuhan kebutuhan air rumah tangga, sanitasi dan mendukung transportasi air. Sumber air utama yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan suplesi adalah air hujan dan air sungai. Air hujan mempunyai kualitas yang relatif baik dibanding dengan air hutan ataupun air sungai, namun air hujan miskin mineral, namun pada awal musim hujan, air hujan sering mengandung keasaman yang tinggi. Air sungai dapat dimanfaatkan apabila kualitasnya memenuhi syarat antara lain ditunjukkan dari keasamannya (pH > 5,5), Daya Hantar Listrik < 250 mhos/cm. Pengukuran pH dan DHL ini dapat menjelaskan apakah keasaman air tersebut berasal dari tanah gambut atau tanah sulfat masam. Apabila air berasal dari tanah gambut, maka pH nya rendah namun DHL nya juga rendah, tetapi apabila airnya berasal dari tanah sulfat masam, maka akan ditemui pH rendah dan DHL tinggi, hal ini disebabkan adanya besi dan alluminium yang terbebaskan dari pirit.

Walaupun air sungai tersebut kualitasnya cukup baik, namun karena saluran pembawa harus melewati lapisan tanah sulfat masam atau tanah gambut, maka sering terjadi bahwa air sungai tersebut akan terkontaminasi keasaman tanah yang dilaluinya. Peluapan air sungai ke lahan hanya terjadi di daerah luapan A dan B. Pada umumnya daerah tersebut berada tidak jauh dari pantai. Lokasi yang ideal adalah apabila dapat terluapi pada saat air pasang dan dapat membuang air pada saat air surut. Hujan juga merupakan sumber air utama di hampir semua daerah rawa terutama pada saat musim hujan. Karean air hujan jatuh dari atas maka air tersebut tidak mungkin terkontaminasi oleh keasaman tanah saluran pembawa. Dengan pengaturan yang baik maka aliran air hujan yang jatuh ke lahan dapat dimanfaatkan untuk mencuci lahan rawa yang direklamasi. 6.3. Tata Air Makro Seperti telah dijelaskan di depan bahwa saluran di jaringan irigasi rawa mempunyai beberapa f fungsi : d drainasi i irigasi p pengenceran dan pencucian bahan toxic a air rumah tangga transportasi air Pada tahap pertama Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut, dikembangkan pola tata air terbuka ( open system ), tanpa adanya bangunan pengontrol satupun. Dengan sistem ini diharapkan proses reklamasi dapat berlangsung dengan cepat. Namun dari beberapa pengamatan, pada sistem terbuka tersebut telah terjadi beberapa hal yang merugikan antara lain a adalah : drainasi yang tidak terbatas, sehingga oksidasi pirit seolah-olah tidak pernah selesai, k karena lapisan yang teroksidasi menjadi sangat tebal, selain terjadi pencucian asam sulfat juga terjadi pencucian unsur hara, sehingga terjadi p pemiskinan lahan, penurunan tanah (subsidence) yang berlebihan terutama di tanah gambut.

Oleh k arena itu pada tahap k edua, teruta ma di daerah peluapan C dan D,

mulai diken alkan

bangun an-banguna n kontrol untuk menj aga agar t idak terjad i drainasi yang berle bihan. Dikata kan drainasi yang berle bihan karen a desain ka pasitas salur an didasark an pada kej adian ekstrim (curah huj an harian maksimum dengan kala ulang tertentu), padah al pada kej adian sehari- hari, kapasi tas yang te rlalu besar tersebut te lah ikut m embuang s umber air tanah, sehingga menurun kan muka air tanah d an kelemba ban tanah. Bangunan- bangunan k ontrol (biasan ya berupa b angunan pe limpah, sliding gate ) tersebut bias anya diletak kan pada s aluran tersier, dengan ma ksud agar t idak mengg anggu fung si saluran primer dan sekunder se bagai sarana transportasi air. Sebaik nya untuk menghindari oksidasi pi rit yang ber lebihan dan tidak ikut ter cucinya uns ur hara di d alam tanah, bangunan-b angunan ko ntrol tersebu t sudah dib angun sejak a wal pembuk aan lahan. Pada a wal pengem bangan sist em irigasi pasang surut dikenal 2 sistem yang berbeda. S istem yang d ikembangka n di Sumat era meneka nkan siste m yang terpisah antara saluran sek under pember i (SPD) da n saluran sekunder dr ainasi (SD U), yang m asing2 ber muara di s aluran navigas i (saluran P rimer). Gambar. Tipikal Tata Saluran di Sumatera Selatan dengan Saluran Navigasi.

mbangkan p pada daera h asang) dik e mbangkan ah, yang ti kan sistemaliran dua ar a an draina s tas 2 siste m angkan di Kalimantan, m dibedakan Sistem yang dikemb , yaitu sist ekolam p a a ada(ta npadengan po t tanahKedua daerakolam p gambut tebal. sang h ensi dan sistem sisir. Si stem kolam pasang sedang sis tem sisir masam, dike sulfat sistem ter sebut merup fungsin ya sebagai saluran pem beri atau sal ur at pasang s dengan p otensi a aluran akan Gambar Tipikal Tata Salura n di Kalima ntan dengan Kolam Pasa ng. dakan dak membe gsi n akan oksidasi Air huj an yang jatu h di lahan a kan mengal ir sambil m elarutkan ba han toxic ha silber i, pada saat surut salur a fun sebagai tanah ke salu ran kuarter, ke saluran t ersier, seku nder dan pri mer untuk dibuang ke sungai. n pemberi. berfungsi sebagai salura saluran drainasi, pada s Muka air sungai dipengaruhi oleh gerak an pasang-s urut, dalam satu hari se lalu ada saa t pasang dan saat surut. P ada saat air pasang kare na elevasi muka air sun gai lebih tin ggi daripad a elevasi muka air di ujun g hulu salur an sekunder, maka akan terjadi alira n dari sunga i ke saluran sekunder, n amun pada sa at muka air sungai suru t, karena el evasi muka air sungai l ebih rendah dari pada e levasi muka a ir di hulu su ngai sekend er, maka ak an terjadi ali ran balik m asuk ke sungai.

Saluran primer, sekunder surut sungai Gambar 4. Sistem tata air sederhana dengan kolam pasang. Pada sistem yang baik, diharapkan pada akhir air surut, air asam sudah mencapai sungai, namun pada kenyataannya sebelum semua air asam mencapai sungai, air pasang sudah menekan air asam tersebut masuk lagi ke saluran, sehingga akan terjadi tumpukan air asam di ujung saluran sekunder. Untuk mengatasi hal ini, UGM (Prof. Jr. Soenarjo) membuat sistem saluran dengan kolam pasang yang dapat ditemui di sebagian besar sistem yang telah dibuat sejak tahun 1970 di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Kolam pasang ini dapat efektif menampung kumpulan air asam yang tertekan oleh air pasang. Kolam pasang telah menjadi tempat mengendapnya bahan toxic (Al, Fe, SO
4,

pasang Kolam pasang

Mg), yang perlu di pelihara dengan baik. Tanpa

pemeliharaan, kolam pasang tersebut akan menjadi sumber toxic yang akan menyebar kembali ke saluran dan lahan (Budi Wignyosukarto, 1986). Hasil pengukuran elevasi muka air dan pH di saluran di Unit Barambai (1983), menjelaskan pengaruh kolam pasang terhadap perbedaan fase pasang surut di depan kolam dan di sungai. Perbedaan h tersebut sangat berarti bagi pengaturan kecepatan aliran di saluran saat pasang dan saat surut. Tanpa adanya kolam pasang, maka tidak akan ada perbedaan fase seperti gambar berikut ini. Dengan adanya pengaturan kecepatan tersebut, dapat terlihat air asam (pH 3-4) dapat tertekan hingga mencapai muara saat surut, tetapi air segar (pH 5,5 -6) belum dapat mencapai kolam pasang, bahkan di kolam kiri terlihat adanya aliran air asam, akibat adanya lewat saluran air dari hutan masuk ke kolam kiri. continous supply

14.5
14.5 14 13.5 13 12.5 12 11.5 11 1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265 289 313 337 361 Time (hour) STA 1 STA 3 STA 4

14 13.5 13 12.5 12 11.5 0 20 40 60 % Area 80 100 120

am dan Perbedaan fase pasang suru t di mulut kol di sung ai

Perbedaan keasam aan di jaringa n

Gambar Unit Ba rambai Kali mantan Sela tan. Fungsi kolam pasa ng sebagai penampung air saat pasa ng yang ke mudian dile pas saat air surut, dapat d igantikan ol eh sawah pa da lahan tip e luapan A. Pada s uatu evaluasi terhadap unjuk kerja hidraulik Unit Tabung Anen, (BS Wignyosu karto, 2006), terlihat bah wa sebetuln ya volume air yang da pat masuk ke lahan leb ih besar dar ipada volume air yang m asuk ke kolam ukuran 4 00 m x 400 m. Elevasi lahan berva riasi dari +1 2.5 m hingga +14.0 m, sedangkan el evasi muka air pasang surut berflu ktuasi antar a +11.5 m h ingga +13.5 m, lihat ga mbar di baw ah. Terlihat bahwa han ya 2% laha n yang bera da di atas e levasi pasang tertinggi, 98% lainnya dapat terluap i saat pasan g tinggi (spr ing tide).

Persentasi elevasi lahan Hasil pengamatan pasang surut selama 15 hari

Gambar Unit Tabung Anen di Kalimantan Selatan.

Sebuah simulasi model matematik dilakukan (BS Wignyosukarto, 2006), untuk menilai manfaat pengerukan kembali kolam pasang di Unit Tabung Anen. Hasil simulasi tersebut memberikan gambaran sebagai berikut. Volume kumulatif air yang masuk ke saluran sekunder kanan, dari sungai Barito, pada jaringan (1) dengan saluran tersier + sawah + kolam pasang adalah 2,329,596 m3/hari, pada jaringan (2) dengan saluran tersier + sawah tanpa kolam pasang adalah 2,525,670 m3/hari, dan pada jaringan tanpa tertier, sawah dan kolam pasang adalah 658,134 m3/hari. Hasil hitungan ini memunjukkan bahwa kontribusi kolam pasang hanya 196,074 m3/hari, sedangkan kontribusi sawah (active off-channel storage) adalah 1,671,462 m3/hari.

Cummulative Volume (m3) 3000000 25 0 0 000 2000000 1500000 0 1000000 500000 0 0


With tertier

2525670 2329596

658134 5 Time (hours) 10 15 20 25

Discharge (m3/s)

With rerservoir

W/O tertier and reservoir

150 100 50 0 0 -50 -10 -15

20

40

60

80

100

Time (hours)
Q with tertier Q with resevoir Q w/o reservoir & tertier

Gambar Debit dan Volume Kumulatif lewat saluran sekunder kanan Tabung Anen. 6.4. Tata Air Mikro Tata air mikro merupakan penataan pengelolaan air di tingkat usaha tani, di dalam petak petani. Pengelolaan air di tingkat petak petani sangat menentukan lingkungan dikehendaki. budidaya Ada pertanian beberapa yang tujuan

pengelolaan air di tingkat petak petani. Pada budidaya padi, pengelolaan air d dimaksudkan untuk menahan air (penggenangan) didalam petak guna melawan gulma dan tikus, memberikan air yang cukup guna membawa nutrisi dari tanah ke tanaman. Kalau tidak mungkin terluapi oleh air pasang, maka sumber air yang diharapkan adalah air hujan. Menahan air di petak sawah merupakan pekerjaan yang tidak mudah mengingat tanah di daerah rawa mempunyai porositas yang

b besar. Drainasi dan pelindihan bahan toxic. Drainasi sangat diperlukan setelah terjadinya hujan lebat, sebelum pemberian pupuk dan saat kualitas tanah dan air mengalami penurunan. Pada budidaya

palawija, pengelolaan air lebih ditekankan pada upaya penurunan muka air tanah hingga kedalaman 0,40 m 0,60 m dari muka tanah. Saluran kuarter dengan jarak tidak lebih dari 100m, diperlukan agar proses pengaturan air menjadi lebih efektif. Pada budidaya tanaman keras, pengelolaan air menghendaki pengaturan kedalaman muka air tanah hingga 0,60 m 1,0 m dari permukaan. Pada daerah dengan potensi pirit dangkal, maka penurunan muka air tanah harus dibatasi agar tidak ter jadi oksidasi pirit yang berlebihan. Pada lahan yang memungkinkan di luapi air pasang, sistem surjan juga merupakan sistem yang memungkinkan untuk untuk dikenalkan memberikan

kemungkinan melakukan budidaya padi dan palawija secara bersamaan. Tanah sebagian digali dengan lebar 4 10 m, guna memanam

padi, dan hasil galiannya ditumpuk di bagian lain dengan lebar 2 4 m, ketebalan 0,40 - 0,80 m, untuk menanam buah2an atau palawija. Untuk memudahkan pengaturan air agar dapat dicapai kedalaman air tanah atau kedalaman genangan seperti yang diinginkan, biasanya diperlukan pintu2 air, baik di saluran kuater maupun saluran tersier. 6.5. Zona Pengelolaan Air. Lahan di daerah rawa sering dianggap sebagai lahan yang sangat landai bahkan dapat dikatakan datar dibanding dengan lahan di daerah upland. Namun pada kenyataannya, sering ditemui perbedaan elevasi tanah antara 0,50 m 2,0 m, yang dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi tanah, perbedaan tingkat kematangan tanah dan perbedaan subsidence. Mengingat sensitivitas pengelolaan air pada setiap jenis budidaya, maka diperlukan pembagian zona pengelolaan air. Dengan pembagian zona pengelolaan air ini, maka pengaturan tinggi genangan dan kedalaman air tanah menjadi lebih mudah dicapai. Daerah pengembangan dibagi dalam beberapa zona pengelolaan air berdasarkan potensi dan hambatan yang mungkin ada, yang terdiri atas kondisi hidro-topografi, data hidrologi (iklim, hujan, air tanah) dan karateristik tanahnya. Dengan mempertimbangkan keadaan iklim, hidrotopografi, karakteristik tanah dan pengelolaan Iklim airnya, akan dapat ditentukan kesesuaian lahan, seperti gambar berikut ini. Tingkat kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan budidaya pertanian yang sesuai.

Water

Land Suitability S1, S2, S3, NS Hydrotopography

Soil Characteristic

Dengan : S1 S2 S3 : Well Suitable : Moderately Suitable : Marginally Suitable

NS : Not Suitable

You might also like