You are on page 1of 19

Laporan Kasus

RINITIS ALERGI

Oleh Warda EL Maida R 06.06.0002

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN RSU PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR (UNIZAR) 2011

BAB I PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. (Soetirto, 2008) Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain. (Soetirto, 2008) Dengan demikian penyakit rinitis alergi harus mendapatkan perhatian yang cukup serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup dan juga dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Penderita dapat mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, penurunan prestasi pendidikan dan prokdutifitas kerja. (Soetirto, 2008)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian rinitis alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. (Soetirto, 2008)

2.2. Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al, 2001).

2.3. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas: Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Soetirto, 2008).

2.4. Patofisiologi rinitis alergi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein

(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Soetirto, 2008)

2.5. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur. (Soetirto, 2008)

2.6. Diagnosis rinitis alergi

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta

onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosokgosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. (Soetirto, 2008)

3. Pemeriksaan Penunjang a. In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002). b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

2.7. Penatalaksanaan rinitis alergi 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

2.8. Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah: a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi selsel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

BAB III LAPORAN KASUS

I.

Identitas Pasien : Ny. EF : 26 tahun

Nama Umur

Jenis Kelamin : Perempuan Alamat Pekerjaan : Sumba Timur : Karyawati

II.

Anamnesis Keluhan utama : Pilek kambuh-kambuhan Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poliklinik THT RSUP NTB pada tanggal 22 Agustus 2011 dengan keluhan pilek kambuh-kambuhan kurang lebih 9 Bulan yang lalu, memberat 1 bulan ini. Pasien sering bersin-bersin apabila udara dingin dan berdebu, tetapi dirasakan 1 bulan ini lebih sering dari sebelum-sebelumnya dan membuat pasien menjadi susah untuk fokus pada saat bekerja atau melakukan aktivitas. Hidung dirasakan tersumbat, dan keluar ingus cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal.. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi dalam 1 bulan ini kadang-kadang muncul demam. Pasien bolak-balik berobat ke puskesmas, tetapi tidak mereda.

Riwayat penyakit dahulu : Keluhan ini muncul kambuh-kambuhan sejak pasien bekerja di Sumba Timur kurang lebih 9 Bulan, pasien hanya berobat di puskesmas atau dokter umum bila berat. Pasien belum pernah melakukan tes alergi. Riwayat penyakit asma disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial : Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit serupa dengan pasien.

Riwayat Pengobatan : Sebelum ke poli THT RSUP NTB, Pasien bolak-balik berobat ke puskesmas, tetapi tidak mereda. Pasien belum pernah melakukan tes alergi.

III. Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan umum : baik Kesadaran Tanda vital TD Nadi RR T : compos mentis :

: 120/70 mmHg : 84x/menit : 18x/menit : tidak diukur

Status Lokalis a. Telinga AD AS

Bagian Telinga Aurikula Preaurikula

Telinga Kanan Edema (-), hiperemi (-), massa (-)

Telinga Kiri Edema (-), hiperemi (-), massa (-)

Edema (-), hiperemi (-), massa (-), Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula (-), abses (-) fistula (-), abses (-)

Retroaurikula

Edema (-), hiperemi (-), massa (-), Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula (-) fistula (-) tekan tragus (-), nyeri

Palpasi

Nyeri tekan tragus (-), nyeri Nyeri pergerakan aurikula (-),

nyeri pergerakan aurikula (-), nyeri tekan

tekan preaurikula & retroaurikula preaurikula & retroaurikula (-)

(-) MAE Serumen (-), hiperemi (-), sekret Serumen (-), hiperemi (-), sekret berwarna hijau keruh (-) Membran Timpani berwarna hijau keruh (-)

Perforasi subtotal, Cone of light Perforasi total, Cone of light jam 7 jam 5

b. Hidung dan Sinus Paranasal

Sekret Serous

Mukosa hiperemi

Hidung kanan Hidung luar

Hidung kiri

Tanda inflamasi (-), deformitas (-), Tanda inflamasi (-), deformitas (-), nyeri nyeri tekan (-) tekan (-) Kavum nasi kiri

Rinoskopi anterior Kavum nasi

Kavum nasi kanan

Benda asing (-)

Benda asing (-) Hiperemi (+), sekret (+), massa (-) Deviasi (-), perdarahan (-) Eutrofi (-), hiperemi (+)

Mukosa hidung Hiperemi (+), sekret (+), massa (-) Septum nasi Konka Deviasi (-), perdarahan (-)

media Eutrofi (-), hiperemi (+)

& inferior Meatus media Sekret (+), polip (-) & inferior Sekret (+), polip (-)

c. Tenggorokan

T1

T1

Mukosa bukal Mukosa ginggiva Uvula Tonsil palatina Faring KGB

Hiperemi (-) Hiperemi (-) Bentuk normal, di tengah, hiperemi (-) T1-T1, merah muda, hiperemi (+), detritus (-), kripte melebar (-) Hiperemi (+), granul (-), membran (-), refleks muntah (+) Pembesaran (-)

IV. Diagnosa Kerja Suspek Rinitis Alergi

V.

Diagnosa Banding Rinitis Vasomotor Rhinitis Medikamentosa

VI. Pemeriksaan Penunjang Hitung Eusinofil darah tepi IgE Spesifik Skin Prick Test Ro Waters

VII. Penatalaksanaan 1. Control lingkungan dengan mengusahakan penghindaran terhadap allergen penyebab 2. .Medikamentosa Antihistamin : Cerini (cetirizine 10mg) 1x1 Dekongestan : Pseudoefedrin 3x60 mg Kortikosteroid : dexamethasone 2x0,5 mg

KIE : - Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang menetap (kronis), sehingga untuk mencegah kekambuhan dapat menghindari kontak dengan alergen yaitu debu, dan untuk menghindarinya pasien dapat menggunakan masker saat bekerja, dan menggunakan jaket bila udara dingin. - Meningkatkan daya tahan tubuh penderita, disarankan untuk berolahraga teratur, makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup. - Kotrol kedokter bila keluhan tidak berkurang atau membaik.

VIII. Prognosis Dubia ad bonam

BAB IV PEMBAHASAN

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA tahun 2001 rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung degan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Laten Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2 4 jam dengan puncak 6 8 jam (fase hipereaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24 48 jam. Pada reaksi ini dilepaskan berbagai mediator seperti histamine (H), leukotrien (LT), prostaglandin D-2 (PGD-2), bradikinin (BK), platelet activating factor (PAF) dan lain-lain yang akan menimbulkan gejala klinis. Pada rhinitis alergi, H, BK, LT dan PAF mengaktifkan sel-sel endotel pembuluh darah mukosa hidung sehingga terjadi vasodilatasi dan pengumpulan darah, serta peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar akibat stimulai reflex saraf kolinergik. Stimulasi pada reseptor H1 di ujung saraf sensoris menyebabkan gejala bersin-bersin dan gatal pada hidung. Gejala-gejala tersebut timbul beberapa saat setelah terpapar allergen. Fase ini disebut respon fase cepat dengan histamine sebagai mediator utama sehingga preparat anti histamine efektif untuk mengatasi gejala. Gejala dapat berlanjut sampai 6 8 jam kemudian yang timbul akibat aktivitas berbagai mediator, tetapi histamine bukan pemegang peran utama. Fase ini disebut respon fase lambat dengan gejala yang menonjol terutama adalah obstruksi hidung. Pada fase ini selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis menderita rhinitis alergi. Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan keluhan pilek berulang kurang lebih 10 tahun dan memberat sudah 1 bulan ini. Pasien sering bersinbersin apabila menghirup serbuk bunga salak, hidung dirasakan tersumbat, dan keluar ingus

cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal. Mata kadang sampai nrocos. Bila pagi hari dan udara dingin pilek dirasakan semakin parah, bersin-bersin juga lebih banyak dari biasa. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi dalam 1 bulan ini kadangkadang muncul demam. Pemeriksaan didapat pembengkakan & hiperemis pada konka hidung inferior, mukosa hidung hiperemis dan terdapat secret serous (encer) berwarna jernih. Pada pasien ini ditemukan gejala allergic shiner yaitu adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini biasa muncul pada anak. Gejala lain yang sering muncul pada anak seperti Allergic salute, Allergic crease, Facies adenoid dan Geographic tongue tidak ditemukan pada pasien ini. Cobblestone appearance ditemukan pada pasien ini dimana dinding posterior pasien tampak granuler dan oedem. Gejala-gejala pasien muncul apabila terpapar dengan allergen. Untuk memastikan adanya alergi terhadap factor pencetus ini pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan tes alergi/ tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End point Titration/ SET) yang sering dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Terapi medikamentosa pada pasien ini diberikan anti histamine non sedative cetirizine, preparat dekongestan oral pseudoefedrin dan preparat kortikosteroid. Pengobatan baru untuk rhinitis alergi adalah dengan pemberian anti leukotrien (zafirlukast/ montelukast), anti IgE dan DNA rekombinan. Tindakan operatif konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan apabila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. Pengobatan imunoterapi diberikan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta pengobatan lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.

DAFTAR PUSTAKA

Durham, S.R; Bauchau, V; 2004. Prevalence and Rate of Diagnosis of Allergic Rhinitis in Europe. Europe Respiratory Journal 2004; 24: 758-764. Available. From : http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/rinitis-alergi.pdf

Irawati Nina, Kasakeyan E, Rusmono N. 2007. Rhinitis Alergi

dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher edisi keenam. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Paparella, Michael M., dkk. 1997. Rhinitis Alergi dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran : EGC. Jakarta

Soetirto, Indro, dkk. 2008. Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher edisi keenam. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.

You might also like