You are on page 1of 6

BAB II PEMBAHASAN 2.1.

Anamnesis1-5 Pada infeksi Salmonella, khususnya demam tifoid, dapat di didiagnosis dari anamnesis, berupa sejarah perjalanan, apakah pernah ke daerah endemik tifoid, lalu apakah sudah pernah diberi vaksin tifus, apakah sudah pernah mengalami pernah mengalami demam tifus, dan kapan sakitnya, dan menanyakan gejalagejala dari prodromal infeksi, seperti adanya batuk, perasaan tidak enak di perut, obstipasi atau diare, nyeri kepala, nyeri otot, pusing, muntah, mual, dan epistaksis dan gejala-gejala tifus khusus, yaitu demam yang meningkat perlahan-lahan, terutama pada waktu sore dan malam hari, dan terkadang muncul roseolar, namun jarang pada orang Indonesia. 2.2. Pemeriksaan Fisik1-5 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan peningkatan pada suhu tubuh, pada minggu pertama infeksi. Pada minggu kedua, terjadi bradikardi relatif, lidah berselaput, splenomegali, hepatomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Bisa juga ditemukan roseolae, namun jarang pada orang Indonesia. Bisa juga adanya nyeri tekan pada regio lumbal kanan. 2.3. Pemeriksaan Penunjang1-5 Untuk mendiagnosis demam tifoid secara spesifik, dapat dilakukan pemeriksaan darah, uji serologi widal, uji Tubex, uji typhidot, uji dipstick, dan kultur darah. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan terjadinya leukopenia, ataupun kadarnya normal, bisa juga terjadi leukositosis. Selain itu bisa terjadi anemia ringan, dan trombositopenia. Pada perhitungan leukosit terjadi eosinopenia maupun limfopenia. Laju endap darah meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, dan kembali normal setelah sembuh. Uji widal, merupakan uji serologi, dengan cara mendeteksi antigen pada bakteri S. Typhii dengan pemberiana aglutinin, yaitu aglutinin O(dari tubuh kuman), H(flagella), dan Vi(simpai). Biasa yang dideteksi hanya aglutinin O dan H. Titer aglutinin ini akan meningkat pada minggu pertama demam, dan mencapai puncak di minggu

keempat, dan menetap selama beberapa waktu. Pada fase akut timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan H. Titer aglutinin O ini akan masih tetap, setelah sembuh, selama 4-6 bulan, sedang H akan menetap selama 9-12 bulan. Uji ini dipengaruhi oleh pengobatan dini dengan antibiotik, gangguan antibodi dan pemberian kortikosteroid, daerah endemik atau non-endemik, riwayat vaksinasi, reaksi anamnestik, dan teknik pemeriksaan laboratorium. Positif tifoid jika titer antigen O >1:320 dan antigen H 1:640.6 Uji Tubex juga merupakan uji serologi dengan memeriksa antibodi S.typhii O9 dan Ig anti-O9. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada hari ke-4-5 pada infeksi primer, dan hari ke-2-3 pada infeksi sekunder. Uji ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dari uji Widal. Uji typhidot, merupakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG pada protein membran S.typhii. Hasil positif didapatkan pada hari ke-2-3 infeksi. Pada kasus reinfeksi kadar IgG biasa meninggi, sehingga kadar IgM muncul false negative, oleh karena itu dilakukan pengurangan kadar IgG pada uji Thypidot-M. Sensitivitas dan spesifitasnya mirip dengan uji Tubex. Uji IgM dipstick, yaitu uji serologi untuk mendeteksi IgM dengan dipstick khusus. Uji ini menunjukan poitif pada 1 minggu setelah gejala muncul. Pada kultur darah, bila biakan positif menunjukan demam tifoid, namun biakan negative belum tentu menentukan tidak adanya demam tifoid, karena adanya terapi antibiotik, sampel darah kurang, pengambilan darah saat aglutinin meningkat dan adanya riwayat vaksinasi. Selain dari kultur darah, kultur Salmonella dapat dilakukan juga pada kultur feses, dan kultur urin. 2.4. Diagnosis Pembeda1 Penyakit-penyakit gastrointestinal, dan penyakit infeksi, contohnya tuberculosis, infective endocarditis, brucellosis, lymphoma, and Q fever. 2.5. Epidemiologi2 Demam tifoid menyerang penduduk di semua Negara. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang yang higiene pribadi dan sanitasi lingkungan kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidens di Amerika Serikat tahun 1660 adalah 300-500 kasus per tahun dan terus menurun. Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/100.000 penduduk setiap tahunnya,

sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar 900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur, namun golongan terbesar tetap pada usia 20 tahun. 2.6. Etiologi6 Disebabkan oleh bakteri bergenus Salmonella, dalam famili enterobacter. Demam tifoid terutama disebabkan oleh Salmonella enterica subspecies enterica serotype Typhumurium, yang biasa disingkat Salmonella Typhumurium. Serotipe-serotipe yang dapat menyebabkan penyakit demam tifoid adalah Salmonella paratyphii A(serogroup A), Paratyphii B (serogroup B), Cholerasuis (Serogroup C1), dan Typhi ( serogroup D). 2.7. Patofisiologi3-5 Bakteri Salmonella pada awalnya masuk ke tubuh host melalui makanan atau minuman. Sebagian bakteri mati oleh asam lambung, dan bakteri yang masih hidup kemudian dapat berkembang biak. Bila respon imun humoral di usus (IgA) buruk, bakteri akan menembus sel-sel epitel, kemudian masuk ke lamina propia. Di lamina propia, bakteri tumbuh lagi, dan difagosit oleh sel makrofag. Bakteri itu dapat tumbuh di sel makrofag, kemudian akan dibawa ke plak peyeri ileum distal, dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika. Lalu melalui duktus torasikus, bakteri masuk ke pembuluh darah(bakterimia non asimptomatik) dan menyebar ke seluruh jaringan retikuloendotelial, terutama hati dan limpa. Di organ ini, bakteri keluar dari jaringan, dan berkembang biak di ruang sinusoid., dan selanjutnya masuk pembuluh darah lagi menyebabkan bakterimia kedua. Di dalam hati, bakteri masuk ke kantung empedu, dan berkembang biak disana, dan bersama cairan empedu diekskresikan keluar tubuh melaui feses, dan bisa terjadi infeksi ulang ke host yang sama melalui feses. Karena makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif, jika terjadi infeksi ulang, makrofag akan melepas mediator inflamasi, yang menyebabkan berbagai gejala infeksi sistemik. Pada plak peyeri, makrofag menjadi hiperaktif yang menimbulkan hyperplasia jaringan, dan dapat menyebabkan perforasi usus, dan nekrosis jaringan. Endotoksin dari nakteri ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi. 2.8. Komplikasi3

a) Intestinal Perdarahan usus, dan dapat juga terjadi perforasi usus b) Ekstraintestinal i) Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis ii) Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis iii) Paru: pneumonia, emphysema, pleuritis iv) Hepatobilier: hepatitis, kolesistisis v) Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis vi) Tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis vii) Neuropsikiatrik/ tifoid toksik. 2.9. Terapi1-5,7 a) Non Medika Mentosa Perawatan terutama dengan istirahat cukup, dan pengawasan diet. Istirahat dilakukan supaya tidak terjadi komplikasi, dan juga mempercepat masa penyembuhan. Pada demam tifoid, sebaiknya diberi diet bubur saring, kemudian bila sudah agak membaik bisa diberi bubur kasar, dan kemudian bila sudah membaik lagi diberi nasi. Pengaturan diet ini berguna untuk menghidari komplikasi dari salurang cerna. b) Medika Mentosa i) Kloramfenikol Merupakan obat pilihan utama yang dipakai dalam pengobatan demam tifoid, bila bakteri masih belum resisten. Bekerja dengan menghambat enzim peptidil transferase dari ribosom 50S bakteri. Memiliki efek samping, yaitu depresi sumsum tulang belakang, reaksi saluran cerna, dan sindrom gray pada neonatus. Obat ini diberi dengan dosis 4x500 mg /hari per oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas. Penurunan demam rata-rata setelah 7,2 hari atau 5 hari. Obat ini kurang efektif pada bakteri multi drug resistance. Kontraindikasi terhadapa wanita hamil, karena dapat menyebabakan partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome. ii) Tiamfenikol

Struktur dan mekanisme mirip dengan kloramfenikol. Obat ini umumnya lebih tidak aktif daripada kloramfenikol, namun memiliki efek samping yang lebih ringan dari kloramfenikol. Dosisnya adalah 4x500 mg/ hari, dan demam biasa turun pada hari ke-5 sampai ke-6. Kontaraindikasi pada wanita hamil. iii) Kotrimoksazol Terdiri dari Trimetoprim dan sulfametoksazol, yang mengambat reaksi enzimatik obligat pada 2 tahap, sehingga lebih efektif. Efek samping biasa tidak ada, bila diberikan sesuai dengan dosis, namun bisa terjadi anemia, megaloblastis, leukopenia, atau trombositopenia. Pada pengobatan demam tifoid diberikan 2x2 tablet(1 tablet:400mg sulfametoksazol dan 80mg trimetoprim) selama 2 minggu. Bakteri ini juga ada yang resisten terhadapa kotrimoksazol. Kontraindikasi pada wanita hamil. iv) Ampisilin dan amoksissilin Merupakan obat golongan penisilin bersprektrum luas, bekerja dalam menghambat pembentukan dinding sel mikroba. Efek samping, bisa muncul berbagai reaksi alergi pada orang-orang tertentu, dan juga memiliki efek toksis jika diberi dosis berlebih. Kemampuan menurunkan demam kurang disbanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurakan berkisar 50-150mg/kgBB selama 2 minggu. Obat ini dapat digunakan untuk pengobatana demam tifoid pada wanita hamil. v) Sefalosporin generasi ketiga Mekanisme kerja mirip dengan golongan beta laktam lain, yaitu menghambat sintesis dinding sel. Sefalosporin generasi ketiga umumnya bekerja kurang aktif terhadap bakteri gram positif, namun sangat efektif terhadapa Enterobactericae. Efek samping berupa efek alergi, nefrotoksik, dan diare. Golongan sefalosporin generasi ketiga yang efektif adalah seftriakson, dengan dosis efektif 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama jam perinfus sekali sehari, dan diberikan 3 hingga 5 hari. Obat ini dapat digunakan dalam pengobatan demam tifoid pada wanita hamil. Terdapat bakteri S.typhii yang resisten terhadap obat ini, namun masih belum luas, karena itu obat ini masih

efektif dalam mengobati demam tifoid. Obat ini efektif dalam menghadapi NARST. vi) Florokuinon Bekerja dengan menggangu enzim DNA girase, sehingga menggangu proses replikasi dan transkripsi bakteri. Efek samping dari obat golongan kuinolon adalah kelainan saluran cerna, susunan saraf pusat, hepatotoksik, kardiotoksik, disglikemia, fototoksik, dan lain-lain. Untuk terapi demam tifoid, dapat diberikan norfloksasin dosis 2x 400 mg/hari selama 14 hari, atau siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari, atau ofloksasin dosis 2x 400 mg/hari selama 7 hari, atau perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari, atau fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari. Demam biasa lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4, dan bisa lebih lambat pada pemberian norfloksasin. Kontraindikasi kepada wanita hamil. Golongan obat ini merupakan paling efektif dalam pengobatan demam tifoid, namun ada bakteri salmonella yang resisten terhadapa florokuinolon,yaitu Nalidixic Acid Resistant Salmonella Typhii (NARST). vii) Azitromisin Bekerja dalam menghambat sintesis protein, yaitu dengan mengikat secara reversible ribosom 50S dari bakteri. Obat ini dapat mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap. Selain itu obat ini dapat mengungi angka relaps dibanding seftriakson. Obat ini juga efektif dalam menghadapi NARST, namun harganya relative mahal.

You might also like