You are on page 1of 7

Budiaman, Ironi Sertifikasi

Jurnal Sosialita, Vol. 9 No. 1 Juni 2011: 14-20 FIS UNJ

ISSN: 1411-7134

Ironi Sertifikasi: Antara Tuntutan Kompetensi dan Realitas Kinerja Guru IP S SMPN di Kota Bekasi Budiaman Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: budi_unj@yahoo.co.id

Abstrak Artikel ini mendeskripsikan tentang kesulitan yang dialami oleh guru-guru IPS di SMPN di kota Bekasi dalam menyusun portofolio sebagai bagian dari pelaksanaan sertifikasi guru dalam jabatan. Penelitian menggunakan metode deskripsi teknik survei dengan mengambil sampel semua guru IPS yang telah mengikuti sertifikasi sampai 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa faktor kesulitan yang dialami oleh guru dalam penyusunan dokumen portofolio. Kesulitan yang dialami banyak guru dalam penyusunan portofolio adalah membuat dan menentukan 5 Rencana Program Pembelajaran dari lima semester, prestasi akademik, karya pengembangan profesional, dan partisipasi guru dalam forum ilmiah. Masih ada beberapa guru IPS yang tidak pernah atau jarang melakukan penelitian, menulis buku, membimbing teman sejawat, atau berpartisipasi dalam sebuah forum ilmiah. Kata kunci: sertifikasi guru, pendidik profesional, dokumen portofolio

Abstract T his article describes about the difficulties experienced by teachers of social studies in secondary schools in Bekasi City to compile portfolio as part of the implementation of teacher certification in office to get professional educators. The research method uses survey techniques to take samples of all social studies teachers who have attended a certification until 2008. The results showed that there are several factors difficulties experienced by teachers in preparing documents SMPN IPS portfolio . The difficulty that many experienced teachers in the preparation of the portfolio is to create and define the five planned learning program in five semesters, academic achievement, the work of professional development, and teacher participation in scientific forums. There are many social studies teachers who have never or rarely do research, write books , coaching peers, or participated in a scientific forum. Keywords: certified teachers, professional educators, document portfolio

14

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Budiaman, Ironi Sertifikasi

Pendahuluan Permasalahan sertifikasi guru sampai saat ini masih tetap menarik untuk diperbincangkan berbagai pihak. Hal ini mengingat adanya keterkaitan antara tingginya harapan ideal yang ingin dicapai, biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah, serta perubahan kompetensi guru sebagai hasil sertifikasi. Landasan filosofis dilaksanakannya sertifikasi guru adalah meningkatkan kompetensi guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Berdasarkan amanat undang-undang pula, pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar baik untuk pelaksanaan maupun tunjangan bagi guru yang tersertifikasi. Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan sertifikasi guru tidak serta merta meningkatkan kompetensi guru menjadi semakin profesional. Sertifikasi guru masih tidak ubahnya dengan penyegaran kembali dan penambahan wawasan dalam bidang kependidikan. Apakah setelah memperoleh sertifikat pendidik kemudian guru menerapkan dalam pembelajaran di kelas, perlu penelitian lebih lanjut. Artikel ini secara substantif dibagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama, berisi pendahuluan, menguraikan secara sekilas masalah filosofis sertifikasi guru. Bagian kedua, menguraikan definisi konsep dan metode penelitian. Bagian ketiga, merupakan hasil dan pembahasan yang menguraikan pengalaman empiris mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami guru dalam menyusun dokumen portofolio. Bagian keempat menguraikan simpulan temuan dan gagasan Definisi Konsep dan Metode Penelitian Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan (Depdiknas, 2008a: 2). Program sertifikasi guru yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2006, merupakan tantangan bagi guru mempersiapkan diri untuk diuji kompetensi dan kelayakan mengajarnya secara profesional. Satu hal yang hingga saat ini terus dilaksanakan pemerintah adalah mengoptimalkan kompetensi guru sebagai pendidik profesional melalui program sertifikasi dalam jabatan. Program sertifikasi guru memiliki empat tujuan utama, yang meliputi: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan kesejahteraan guru, dan (4) meningkatkan martabat guru dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. (Depdiknas, Ibid : 2) Sertifikasi guru diawali dengan penyusunan dokumen portofolio. Portofolio dapat diartikan sebagai sekumpulan informasi pribadi yang merupakan catatan dan dokumentasi atas pemcapaian prestasi seseorang dalam bidang pendidikan, khususnya sebagai agen pembelajaran. Keefektifan pelaksanaan peran sebagai agen pembelajaran tergantug pada tingkat kompetensi guru yang bersangkutan, yang mencakup kompetensi kepribadian, pedagogik, sosial, dan profesional (Depdiknas, 2008b: 1). Portofolio secara spesifik, memiliki fungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan bukti kerjanya yang meliputi unsur; produktivitas, kualitas, serta relevansinya melalui karya -karya utama dan pendukung, (2) informasi data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang sudah ditetapkan, (3) dasar untuk menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi, serta (4) dasar untuk memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk mengikuti kegiatan lanjutan (diklat) yang merupakan representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru (Depdiknas, Ibid). Untuk dapat memenuhi tuntutan sebagai tenaga profesional, guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan pribadi bagi peserta didik. Yellon dan Weinstein, sebagaimana dikutip Mulyasa (2007: 37) mengidentifikasikan sedikitnya ada 19 peran guru untuk dapat menjadi profesional yang sempurna, yaitu guru sebagai : pendidik, pengajar, pelatih, penasehat, inovator, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pendorong, motivator, model dan teladan, pribadi, peneliti, pengawet, dan kulminator. Guru profesional adalah guru yang mampu meningkatkan taraf kualitas pembelajaran. Merujuk pada pendapat Zainal (2002: 102) ada tujuh strategi yang dapat dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan taraf pembelajaran, yaitu: (1) mengembangkan kecerdasan emosi, (2) mengembangkan kreativitas dalam pembelajaran, (3) mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, (4)

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

15

Budiaman, Ironi Sertifikasi

membangkitkan nafsu belajar, (5) memecahkan masalah pembelajaran, ((6) mendayagunakan sumber belajar, dan (7) melibatkan masyarakat dalam pembelajaran Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan teknik survei. Tujuan pokok metode ini adalah menggunakan data yang diperoleh untuk memecahkan masalah, daripada untuk menguji hipotesis (Sevilla, et. all, 1993 : 76). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru SMPN di Kotamadya Bekasi, yang sudah mengikuti proses sertifikasi guru sejak tahun 2006 hinggga 2008. Pengambilan sampel dengan teknik sampling bertujuan, anggota sampel dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian (Husaini Usman, dkk, 2009: 186). Berdasarkan teknik ini diperoleh guru-guru IPS SMPN yang sudah mengikuti sertifikasi guru dan aktif dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran sebanyak 25 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket untuk mengetahui faktor-faktor kesulitan dalam penyusunan dokumen portofolio. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Data yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan kategori, kemudian dianalisis secara deskriptif, baik dengan cara deskriptif maupun kualitatif.

Hasil dan P embahasan 1. Urgensi Sertifikasi Guru dan Komponen P ortofolio Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, serta kualitas sumber daya manusia pada umumnya. Usaha pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan diorentasikan pada peningkatan kualitas guru sebagai ujung tombak keberhasilan pengembangan dunia kependidikan. Guru dipandang sebagai agen pembaharu peningkatan kualitas masyarakat yang unggul dan mampu bersaing dengan masyarakat dari negaranegara maju. Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional. Untuk itu guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana atau Diploma IV ( S1/ D- IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik dibuktikan dengan ijazah dan pemenuhan persyaratan relevansi mengacu pada jenjang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang dibina. Pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi. Sertifikasi guru yang diadakan oleh pemerintah merupakan suatu upaya peningkatan mutu guru yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Melalui peningkatan kesejahteraan, guru diharapkan lebih optimal menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional; tidak lagi terkendala dengan masalah ekonomi seperti yang selama ini dikeluhkan. Komponen portofolio yang dipersyaratkan dalam sertifikasi guru terdiri atas 10 komponen yaitu: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasai dalam bidang pendidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Kesulitan-kesulitan Guru Dalam Penyusunan Dokumen Portofolio Penyusunan dokumen portofolio bila ditelaah lebih mendalam tidak sekedar mengumpulkan dan menyusun bukti-bukti fisik portofolio. Guru perlu menguasai strategi memilih dan menyeleksi bukti-bukti mana yang relevan dan memiliki nilai yang besar. Implementasi strategi ini dihadapkan dengan kenyataan keterbatasan bukti fisik yang dimiliki guru. Unsur-unsur yang menjadi faktor kesulitan dalam memenuhi 10 komponen tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut: Kesulitan Mengikuti Jenjang Pendidikan Lebih Tinggi. Salah satu komponen penilaian dalam portofolio adalah bukti fisik bahwa guru sudah menyelesaikan pendidikan sampai pada Strata I atau Sarjana dalam bidang kependidikan, dan penilaian yang dilaksanakan adalah kualifikasi akademik. Sampai pelaksanaan sertifikasi tahun 2009, semua guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal S -1 kependidikan. 2.
16 Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Budiaman, Ironi Sertifikasi

Sebagai antisipasi untuk menghadapi sertifikasi, banyak guru yang belum berkualifikasi pendidikan S-1 mencari perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang menyelenggarakan program kependidikan sarjana. Kondisi seperti memaksa guru untuk mencari biaya tambahan untuk mengikuti perkulaiahan, sementara waktu untuk mencari biaya tambahan tersebut justru berkurang karena tersita untuk mengikuti perkuliahan. Kondisi ini menempatkan guru pada posisi yang sulit secara ekonomi. Harapan tambahan kesejahteraan setelah mengikuti sertifikasi, harus ditebus dengan modal awal yang tidak sedikit. Keikutsertaan Guru Dalam Pendidikan dan Latihan . Salah satu syarat kelengkapan dokumen portofolio dalam sertifikasi guru adalah kesertaan guru dalam pendidikan dan pelatihan. Keterlibatan guru dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan keguruan yang pada umumnya bermuatan unsur-unsur pedagogi atau pembelajaran untuk anak-anak serta remaja dan andragogi atau pembelajaran untuk orang dewasa (Uno, 2007: 56). Berdasarkan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, guru dituntut dapat mengimplementasikan kemampuan dan keterampilan yang diperoleh ke dalam proses pembelajaran di kelas. Apalah artinya kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diikuti guru apabila tidak bermanfaat untuk kepentingan pembelajaran. Intensitas keikutsertaan guru dalam kegiatan ini sangat tergantung pada kesempatan yang diberikan pimpinan sekolah. Beberapa mendapat beberapa kali kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan dalam satu semester. Guru yang mengikuti pelatihan 1 kali dalam satu semester sebanyak 84 %, 2 kali dalam satu semester sebanyak 12 %, bahkan ada guru yang mengikuti pelatihan hingga lebih dari 2 kali dalam satu semester sebanyak 4 %. Satu hal yang perlu dicermati pada frekuensi kesertaan guru yang lebih dari 2 kali dalam satu semester tentunya perlu dipertanyakan, bagaimana kualitas pembelajaran yang dilaksanakannya di sekolah. Bagaimana pun siswa sebagai subjek didik yang menjadi tanggung jawab guru pasti akan sering ditinggalkan oleh guru karena mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan. Banyak guru yang semakin antusias mengikuti berbagai pelatihan dan seminar, hanya untuk mendapatkan sertifikat, meskipun harus mengeluarkan biaya sendiri. Kondisi demikian, apabila terus berlangsung dan berkesinambungan, maka jiwa dan semangat sertifikasi guru telah kehilangan ruhnya yang hakiki. Pendidikan dan pelatihan yang diikuti guru, sudah terjebak dengan kepentingan sesaat dan kehilangan orientasi dari tujuan akhir pelatihan. Kepentingan mendapatkan sertifikat hanya demi menambah dokumen portofolio adalah kepentingan sesaat; keberadannya telah menjadikan distorsi hakikat pendidikan guru yang pada dasarnya bermuara pada kepentingan anak didik (Yulaelawati, 2004: 38 ). Guru yang tidak pernah mengikuti pelatihan disebabkan beberapa alasan antara lain: pimpinan tidak pernah menugaskan secara bergantian, segan atau malas mengikuti pelatihan yang membosankan, biaya pelatihan relatif mahal, serta menunggu jadual giliran yang harus menunggu tiap tahun ajaran. Dalam beberapa kasus, guru yang jarang mengikuti pelatihan justru lebih disukai peserta didik karena lebih konsisten mengajar dan secara psikologis dekat dengan siswa. Kesulitan Memenuhi Jumlah Jam Mengajar. Salah satu syarat sertifikasi adalah kewajiban mengajar sebanyak 24 jam selama seminggu. Secara teoretis, jumlah jam atau tempat mengajar yang banyak dapat dijadikan sebagai indikator kinerja guru. Namun karena banyaknya guru honorer di satu sekolah, maka guru tidak semua guru yang ikut sertifikasi, memiliki kuota mengajar 24 jam. Hal ini berimplikasi pada perubahan kebijakan yang diterapkan pimpinan sekolah. Beberapa sekolah mengambil kebijakan agar guru yang bersangkutan menambah jam pelajaran di sekolah lain dengan bidang studi yang sama, sehingga terpenuhi 24 jam. Pilihan kebijakan lain adalah dengan menugaskan guru yang ikut sertifikasi untuk mengajar bidang studi lain sejumlah jam yang harus dipenuhi. Guru mau tidak mau harus menguasai materi bidang studi yang selama ini bukan kompetensinya. Sementara kebijakan terakhir, pimpinan sekolah terpaksa mengurangi jam mengajar guru honorer bahkan bisa juga memberhentikan guru honorer demi memprioritaskan guru tetap yang mendapat jatah sertifikasi. Berdasarkan kondisi yang riil di lapangan, kebijakan yang paling sering dilakukan pimpinan sekolah adalah mengurangi jam mengajar tenaga honorere dan menambah jam guru tetap dengan mengajar bidang studi lain yang bukan merupakan kompetensi yang dimilikinya. Kebijakan ini tampaknya merupakan jalan tengah karena mengandung resiko paling ringan dalam hal efisiensi waktu dan tenaga. Guru merasa kepentingannya untuk mengikuti sertifikasi diakomodir oleh pimpinan
Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta 17

Budiaman, Ironi Sertifikasi

sekolah, karena tidak harus sibuk mencari sekolah lain untuk menambah jam sesuai yang dipersyaratkan. Sekilas kebijakan demikian tampaknya sudah win-win solution, akan tetapi apabila dikaji lebih jauh, terdapat kerugian substansial berkenaan dengan keterpaksaan guru menerima tugas tambahan mengajar bidang studi yang sangat mungkin tidak dikuasainya. Ironis rasanya, ketika kompetensi guru yang mengajar sesuai bidang saja pada tahun belakangan ini mulai diragukan banyak pihak, apalah lagi harus mengajar bidang studi yang bukan kewenangannya. Bahkan dalam suatu kesempatan, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mensinyalir bahwa mutu guru tidak mengalami peningkatan berarti setelah mengikuti sertifikasi. Kesulitan Menyusun dan Menyeleksi Rencana Program Pembelajaran. Menyusun Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang harus dilaksanakan oleh guru seringkali mendapatkan kendala, yaitu dari segi waktu dan tenaga. Banyak guru yang hanya ingin foto copy RPP buatan teman dan tinggal mengisi bagian tanda tangan dan nama guru saja. Perlu dicari penyebab kesulitan yang hampir selalu ditemukan oleh guru ketika mereka dihadapkan untuk segera mengumpulkan RPP. Kesulitan membuat RPP disebabkan oleh beberapa hal antara lain dalam merumuskan strategi pembelajaran sesuai materi dialami oleh 44 % guru, kesulitan dalam menentukan indikator pembelajaran oleh 36 % guru, menentukan materi dengan perhitungan jam efektif oleh 16 % guru. Sedangkan guru yang menjawab lain-lain memberikan alasan sulit mengorganisasikan waktu dengan materi, sulit mengatasi rasa malas menulis, dan waktu penyusunan RPP selalu kurang. Sebagian guru yang sudah pernah menyusun portofolio dalam sertifikasi menyatakan, mereka menemui kesulitan ketika harus memilih 5 RPP yang dipakai dalam tugas mengajar selama 5 semester. Penyebab kesulitan tersebut karena guru tidak selalu membuat RPP dalam setiap semester. RPP dibuat secara bersama melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan disepakati untuk dipakai bersama dalam pembelajaran. Orsinalitas dan kreativitas seorang guru menjadi terpasung oleh kolektivitas ide yang menjadi barometer kualitas RPP. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan di lapangan pada saat asesor menilai RPP dalam dokumen portofolio, untuk bidang studi dan jenjang yang sama, banyak diketemukan RPP yang sama. Kecenderungan guru memilih RPP yang diajukan dalam dokumen adalah menyukai materi yang menjadi pokok bahasan dalam RPP, dikemukakan oleh 40 % guru; menyukai media atau alat peraga yang digunakan dalam RPP, dikemukakan oleh 32 % guru, menyukai strategi pembelajaran yang terdapat dalam RPP, dikemukakan oleh 20 % guru, sedangkan 8 % guru memilih RPP karena sudah memenuhi kriteria ketiganya. Kesulitan Guru Meraih Prestasi Akademik . Dalam program pembelajaran, seharusnya setiap sekolah mencanangkan kegiatan-kegiatan yang mengacu pada peningkatan prestasi akademik, baik bagi guru maupun siswa. Sebagai salah satu bagian penting penilaian portofolio, bukti prestasi akademik guru memiliki nilai yang tinggi. Dari sebanyak 25 guru, hanya 8 % yang pernah meraih penghargaan untuk prestasinya dalam bidang akademik. Sangat sedikitnya guru yang berhasil meraih prestasi akademik disebabkan oleh adanya kendala yang membuat guru tidak dapat mengembangkan kreativitas pikirnya secara nyata. Sejumlah 68 % guru menyatakan bahwa guru selalu mengalami kesulitan untuk dapat meraih prestasi akademik. Faktor kesulitan terbesar yang menjadi kendala bagi guru dalam mengembangkan dan meraih prestasi akademik adalah faktor biaya yang relatif mahal, dikemukakan oleh 44 % guru, dengan alasan waktu untuk menyiapkan karya akademik yang tidak mencukupi, dikemukakan oleh 44 % guru, sementara 12 % guru mengemukakan tidak adanya pemerataan kesempatan untuk mengembangkan karya akademik. Guru yang tidak lulus penilaian portofolio, karena nilai totalnya di bawah angka 850, biasanya disebabkan kurangnya nilai skor pendidikan dan pelatihan dan nilai prestasi akademik. Bahkan nilai keduanya yang merupakan bagian dari unsur B, minimal harus mencapai angka 300, untuk mencapai kelulusan. Apabila ada guru yang nilai unsur B kurang dari 300, akan dinyatakan belum lulus meskipun skor total portofolionya di atas 850. Guru yang dimaksud harus melengkapi kekurangan unsur B dalam jangka waktu tertentu atau mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Sayangnya, tidak dapat dipastikan bahwa guru yang lulus baik melalui jalur portofolio maupun PLPG, memiliki kompetensi yang lebih baik dibanding guru -guru yang belum mengikuti sertifikasi (Sudarmanto, 2009: 79).
18 Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Budiaman, Ironi Sertifikasi

Kesulitan Mengembangkan Media Pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang ideal seharusnya tidak pernah terlepas dari pemanfaatan, bahkan pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran dapat menjadi sarana yang mampu mempermudah siswa dalam memahami materi pembelajaran. Pada kenyataan yang ada, tidak semua guru selalu sempat untuk membuat media pembelajaran dan digunakan pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Temuan di lapangan, 60 % guru pernah membuat media pembelajaran dan penelitian tindakan kelas, sedangkan 40 % menyatakan tidak pernah membuat keduanya. Gambaran tersebut menunjukkan masih minimnya motivasi guru untuk mengembangkan diri dan prestasi. Media pembelajaran mempunyai fungsi sentral dalam pembelajaran; keberadaanya dapat memudahkan guru dalam menyampaikan pesan dan sekalgus memudahkan siswa dalam memahami materi. Sementara penelitian tindakan kelas merupakan terapi konkrit permasalahan yang dialami guru dalam pembelajaran, yang sejatinya merupakan permasalahan utama yang selalu dihadapi guru. Keikutsertaan Guru Dalam Forum Ilmiah. Pengembangan wawasan berpikir dan karier guru tidak harus berada pada lingkungan pembelajaran saja, melainkan perlu adanya pencerahan yang menjadikan guru termotivasi untuk lebih maju, lebih terampil, dan berpengalaman luas. Keikutsertaan guru dalam forum ilmiah merupakan bagian dari bukti fisik portofolio. Meski tidak memiliki kriteria nilai sebesar pendidikan dan pelatihan, tetapi keikutsertaan guru dalam forum ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme. Kesertaan guru dalam forum ilmiah terbagi dalam empat ruang lingkup, yaitu tingkat kecamatan, kota, provinsi, dan nasional. Guru yang pernah mengikuti forum ilmiah tingkat kecamatan sebanyak 4 %, tingkat kotamadya 32 %, tingkat propinsi 20 %, dan tingkat nasional 16 %, sisanya tidak pernah mengikuti kegiatan forum ilmiah sebanyak 28 %. Dari perolehan data diketahui bahwa persentase guru yang pernah mengikuti forum ilmiah belum maksimal dan merata. Letak kota Bekasi yang tidak jauh dari Jakarta dan banyaknya seminar bidang pendidikan yang terselenggara, semestinya memudahkan guru untuk mendapatkan kesempatan mengikuti forum. Aktivitas Guru Dalam Organisasi. Kompetensi sosial seorang guru semestinya tercermin secara alamiah, keterlibatannya dalam kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan bagian integral yang melekat dalam dirinya. Meski demikian masih ditemukan 36 %. Guru yang tidak aktif dalam kegiatan sosial dan kependidikan. Alasan guru yang tidak aktif dalam organisasi pendidikan maupun sosial karena tidak punya cukup waktu untuk ikut organisasi, tidak ditunjuk oleh sekolah untuk ikut organisasi, tidak suka organisasi, dan lebih suka meluangkan waktu untuk keluarga. Rasanya menjadi sebuah persoalan apabila guru tidak memiliki aktivitas sama seakli dalam bdang sosial dan kependidikan. Kecakapan sosial merupakan modal utama bagi guru dalam mengembangkan interaksi pembalajaran. Kemampun ini akan semakain berkembang apabila guru cukup aktif dalam kegiatan sosial dan kependidikan. Aktivitas sosial dan kependidkan memang memiliki skor paling kecil dalam perhitungan portofolio, tetapi hal ini semestinya tidak menjadi alasan bagi guru untuk tidak menge mbangkan diri.

Penutup Secara empiris, proses penyusunan dokumen portofolio menimbulkan beban yang tidak ringan bagi guru. Proses ini mempengaruhi kinerja dan konsentrasi guru di sekolah. Salah satu dampak proses penyusunan portofolio guru adalah kegiatan pembelajaran menjadi terganggu. Fokus perhatian guru menjadi terpecah di antara dualisme, konsisten dengan pembelajaran di kelas dan atau mempersiapkan pemberkasan portofolio untuk meningkatkan profesionalitas formal. Pada sisi lain kenyataan yang ada, tidak semua data yang dimiiki guru relevan dengan jalur kependidikan dan acuan persyaratan yang sudah digariskan oleh Depdiknas. Persyaratan dokumen portofolio yang banyak memperhitungkan kuantitas bukti kegiatan akademis guru selama mengajar, menyebabkan maraknya berbagai seminar dengan topik kependidikan yang berakhir dengan perolehan sertifikat dan poin tertentu. Penyelenggaraan seminar-seminar kependidikan tersebut meliputi tingkat wilayah, provinsi, bahkan setara dengan seminar tingkat nasional. Sertifikasi mempengaruhi pemikiran sebagian besar guru, bahwa mereka harus bisa memiliki sertifikat berbagai kegiatan sebanyak-banyaknya, dengan

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

19

Budiaman, Ironi Sertifikasi

segala cara. Tanpa berfikir lebih jauh, untuk mendapatkan selembar sertifikat kegiatan, mereka rela meninggalkan tugas mengajar, dan mengeluarkan dana yang tidak murah. Syarat lain portofolio yang bisa dipenuhi dengan cara rekayasa adalah pembuatan surat tugas untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan yang sudah lampau. Tata Usaha sekolah membuat kembali surat tugas yang sebenarnya tidak melibatkan guru yang mempersiapkan proses sertifikasi, bahkan ada SK tugas milik guru lain yang diganti nama dan penunjukan tugasnya dengan guru yang sebenarnya tidak memiliki SK tugas dari pimpinan sekolah. Sebuah kenyataan yang ironi, di tengah-tengah upaya pemerintah menciptakan guru profesional, ada sebagian guru yang menjalaninya dengan sangat tidak profesional, bahkan merendahkan citra guru itu sendiri. Diakui atau tidak, pada kenyataan di lapangan, proses penyusunan portofolio menimbulkan beban bagi guru, baik teknis maupun psikologis. Adanya rencana Konsorsium Sertifikasi Guru Kementerian Pendidikan Nasional untuk mempersilakan guru sejak awal memilih apakah ikut jalur portofolio atau jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) sangat bijaksana. Selain lebih alamiah, objektif, dan selektif, juga menjadi lebih efisien dari segi pembiayaan pemerintah yang harus dianggarkan.

P ustaka Acuan Anon. 2008. Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdiknas. ______ 2008. Panduan Penyusunan Portofolio. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdiknas. Aqib, Zainal. 2002. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya: Insan Cendikia. Mulyasa, E. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosdakarya. ________ . 2007. Menjadi Guru yang Profesional. Bandung: Rosdakarya. Sevilla, et all. 1998. Pengantar Metode Penelitian . Penerjemah Alimuddin Tuwu. Jakarta: UI Press. Sudarmanto, Y.B. 2009. Dari Guru Konvensional Menuju Guru Profesional. Jakara: Gramedia.

Uno, Ha mzah B. 2007. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.


Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi Aksara. Yulaelawati, Ella. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran : Filosofi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Pakar Raya.

20

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

You might also like