You are on page 1of 8

Thomas Pandawa Efrata Tarigan, S.Th., M.Pd.

1 Samuel 16:7 Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.

Filipi 2:16-18; Mazmur 119:80

http://akudankal-bar.blogspot.com/2012/09/jangan-biarkan-kekecewaan-merusak.html http://apriyanipujihastuti.wordpress.com/2012/06/11/bahan-ajar-etika-keperawatan/ http://ppnisardjito.blogspot.com/2012/05/etika-keperawatan.html http://books.google.co.id/books?id=uyaKXqAGL0YC&pg=PA64&lpg=PA64&dq=kejujuran+seorang+pera wat&source=bl&ots=Su4_jd_WRf&sig=6fgsavFmpgmbyzSWaWWiEexNZuY&hl=id&sa=X&ei=uIwEUej0D4 n8rAe26YGoBQ&redir_esc=y#v=onepage&q=kejujuran%20seorang%20perawat&f=false

Hidup Dalam Kebenaran


Oleh: Ev. Otniol H. Seba I. PENDAHULUAN Apakah yang disebut dengan kebenaran? Ini adalah suatu pertanyaan yang sederhana tentang kebenaran, namun jawabannya tidak sesederhana itu. Perlu memikirkan hal ini dengan lebih dalam, kemudian mengaplikasikannya di dalam kehidupan setiap hari. Kebenaran bukanlah hasil dari sebuah proses berpikir yang diungkapkan melalui kata-kata, namun lebih dari itu, kebenaran berbicara tentang fakta dan realita yang menunjuk kepada eksistensi manusia itu sendiri dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Kebenaran harus dipahami di dalam konteks yang benar, hingga kebenaran itu mampu diaplikasikan di dalam kehidupan setiap hari, dengan konsep dan perilaku yang benar. Seiring berjalannya waktu, pemahaman tentang kebenaran terus mengalami perubahan. Setidaknya kebenaran telah bergeser dari kebenaran yang objektif kepada kebenaran yang relatif. O.S. Guinness, menuliskan hal ini demikian: Pertama bertindak mewakili pandangan tradisional tentang kebenaran, yaitu kebenaran objektif, bebas dari penafsiran orang dan ditemukan. Kedua berbicara mewakili relatifitas modern, yaitu kebenaran sebagaimana seseorang melihatnya [kebenaran] sesuai dengan perspektif dan penafsiran masing-masing orang. Dan ketiga, mewakili ekspresi yang terang-terangan dan radikal yang bersifat relatif atau postmodern, posisi - kebenaran tidak ditemukan; masing-masing kami menciptakan kebenaran untuk kami sendiri.(01) Pergeseran pemahaman tentang kebenaran, tentu mempengaruhi pola dan tingkah laku masingmasing orang di dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang hidup bermasyarakat bisa bertindak menentang hukum, atau melanggar hak-hak asasi orang lain dengan dalih melakukan hal yang benar. Ini tentu merugikan orang lain. Ada begitu banyak contoh yang terjadi di sekitar kehidupan kita yang mencerminkan pola dan perilaku seperti demikian. Pertanyaan yang mengemuka adalah: Di dalam kemajemukan masyarakat dan kompleksitas permasalahan yang terjadi di dalamnya, masih adakah kebenaran sejati? Bisakah seseorang hidup di dalam kebenaran yang sejati di dalam konteks kemajemukan masyarakat seperti ini? Pergumulan ini hanya bisa dijawab jika kita memikirkan ulang tentang kebenaran di dalam kerangka hubungannya dengan Allah, diri sendiri dan masyarakat.

II. TENTANG KEBENARAN Pergumulan tentang kebenaran bukanlah hal yang baru di dalam bidang filsafat dan pengetahuan. Sejak zaman dahulu orang telah memikirkan tentang arti kebenaran dan sampai hari ini sulit untuk menemukan arti yang tepat dalam menjelaskan tentang konsep ini. Mengapa? Karena konsep ini sangat kompleks dengan berbagai variabel yang terkait di dalamnya.(02) Walaupun tidak ada pengeratian yang tepat di dalam menggambarkan tentang kebenaran dari sudut pemikiran manusia, namun kita perlu menentukan batasan yang menjadi dasar pijakan untuk memikirkan tentang konsep kebenaran sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman ini. Umumnya, konsep kebenaran ini dikaitkan dengan kesalahan, ketidakbenaran, kekeliruan, kepurapuraan / kemunafikan, ketidakjujuran / kebohongan, dan kepalsuan. Kamus Oxford menterjemahkan kebenaran dengan beberapa pengertian: (1) kualitas atau keberadaan yang benar; (2) sesuatu yang benar; (3) fakta atau keyakinan yang dapat diterima sebagai sesuatu yang benar. (03) Kamus filsafat mendefinisikan kebenaran sebagai: Suatu karakteristik dari beberapa arti proporsional, yaitu sesuatu yang benar. Kebenaran (atau kesalahan) meliputi ide-ide yang secara normal terbatas kepada hal-hal yang proporsional di dalam natur, yaitu konsep yang diungkapkan dengan kata-kata yang menunjuk suatu kondisi atau tidak lebih daripada kondisi yang benar atau salah. Kebenaran dapat diramalkan secara tidak langsung melalui kalimat atau simbol-simbol yang mengekspresikan arti-arti yang benar.(04) Idealnya, kedua definisi ini seharusnya mampu menjembatani perbedaan persepsi di dalam memahami tentang kebenaran. Namun faktanya tidak demikian, manusia memiliki pandangan yang berbeda, ketika memikirkan dan mengaplikasikan tentang kebenaran. Kebenaran Objektif dan Relatif

Setidaknya ada 2 kutub yang melihat kebenaran secara berbeda: pertama, adalah melihat kebenaran Objektif; dan kedua adalah melihat kebenaran Relatif. 1. Kebenaran Objektif Apakah ada sesuatu yang benar-benar objektif? Mungkin seseorang akan menganggap pernyataan A ini benar dan yang lain memandang A, tidak benar. Namun yang pasti hanya ada satu pernyataan A yang benar (bukan menurut pandangan orang tersebut) dan yang lain pasti salah. kebenaran di dalam area ini bukanlah menurut hasil pemikiran dan pendapat seseorang, melainkan ditemukan atau dinyatakan kepadanya. Kebenaran ini bersifat mutlak dan tidak bergantung kepada pendapat atau hasil pemikiran orang. Ini yang disebut dengan kebenaran objektif. Moreland and Craig, merumuskan kebenaran objektif sebagai berikut: Mereka yang mengklaim bahwa kebenaran itu tidak berasal dari pribadi-pribadi, kelompok-kelompok lainnya, mereka menerima kebenaran absolut, dan menyebutnya kebenaran objektif. Dalam pandangan ini, seseorang yang menemukan kebenaran, ia tidak menciptakan kebenaran itu, dan klaim yang dibuat benar atau salah di dalam beberapa cara atau dengan realita kebenaran itu sendiri, yang secara total bebas dari klaim apapaun yang diterima oleh seseorang. (05) Harus diakui, walaupun kebenaran objektif di dalam area ini tidak bergantung kepada akal budi manusia, namun kebenaran objektif tidak akan pernah lepas dari peran akal budi itu. Di sini akal budi berperan bukan untuk menciptakan kebenaran, melainkan menemukan dan meneguhkan kebenaran sesuai dengan realitanya. Lebih lanjut validitas dari kebenaran objektif itu harus dapat dibuktikan oleh satu atau dua orang. Meskipun kebenaran objektif bergantung kepada inspirasi atau penyataan, namun kebenaran ini bukanlah semacam spekulasi dari keyakinan yang buta. Kebenaran ini harus melalui pembuktian. Kebenaran objektif jika tidak dapat dibuktikan, maka tentu kebenaran itu tidak dapat dikatakan objektif. Eric Blanchone menuliskan: Suatu kebenaran dapat menjadi kebenaran sesungguhnya, maksudnya sesuatu yang sungguh benar. Sebagai contoh jika saja menceritakan kepada Jane bahwa Bob mengatakan sesuatu tentang dia [Jane] dan ia [Bob] sungguh melakukannya, maka itu adalah suatu kebenaran karena perkataan itu dapat dibuktikan. Hal itu akan menjadi kebenaran objektif jikalau itu dapat dibuktikan oleh satu atau dua orang.(06) Penelitian yang lebih dalam menemukan bahwa, objektifitas suatu kebenaran dapat diketahui dan dipahami melalui bidang ilmu-ilmu yang dapat menunjukkan realitas dari kebenaran-kebenaran itu. Millard J. Erickson menuliskan: kebenaran objektif adalah jenis kebenaran yang ditemukan di dalam studi tentang sains, sejarah, matematika, dan sejumlah realita lainnya, yang mana realita itu adalah hal yang penting untuk mengetahui dan memahami beberapa objek yang mungkin sekali tepat. (07) Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran objektif berkaitan dengan realitas yang ada di sekitarnya. Kekristenan salah satu penganut Teisme,(08) mengakui kebenaran objektif di dalam arti: kebenaran tidak pernah diciptakan oleh manusia. Pemahaman tentang Allah dan manusia dalam hubungannya dengan sesama, serta alam ciptaan-Nya dengan segala kebenaran yang terkandung di dalamnya adalah diinspirasikan oleh Allah. Kebenaran itu berasal dari Allah dan tidak pernah dapat diciptakan oleh manusia. Kebenaran itu diwahyukan kepada manusia oleh kehendak Allah. Manusia sebagai ciptaan Allah yang diberikan akal budi dan hikmat oleh Allah memiliki tugas untuk menemukan, meneguhkan dan mengaplikasikan kebenaran itu sesuai dengan realitasnya. Kebenaran objektif di dalam kekristenan bukanlah suatu spekulasi dari keyakinan yang buta, melainkan melalui pembuktian yang sudah dilakukan oleh ribuan bahkan jutaan orang. Dokumen Perjanjian Baru yang memuat banyak kebenaran objektif. Para sejarahwan, Arkeolog dan para Skeptis sekalipun, telah melakukan penelitian terhadap dokumen perjanjian Baru, tokoh Yesus Kristus dan para rasul-Nya, tempat-tempat yang menjadi saksi hidup hadirnya para tokoh dengan peran mereka masingmasing, situasi pemerintahan pada waktu itu, kesaksian literatur yang lain (mis. dari filsuf-filsuf Yunani dan kitab suci agama lain - Quran) sampai kesaksian dari penulis atau sejarahwan yang hidup hampir bersamaan dengan kehidupan para tokoh tersebut, mengakui, menyetujui, dan memberikan rekomendasi bahwa semua itu adalah benar. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Perjanjian Baru memuat banyak sekali kebenaran objektif. Millard J. Erickson memberi penilaian untuk dokumen PB dengan menuliskan: sama halnya, pendekatan objektif berkenaan dengan pandangan kekristenan bahwa Perjanjian Baru adalah suatu dokumen historis, maka pendekatan yang sederhana ini dipakai sebagai suatu dasar bagi penyelidikan historis, yang kemudian menetapkan kebenaran Kristen.(09) Implikasi dari klaim tentang kebenaran objektif di dalam kehidupan bermasyarakat adalah bahwa Apa yang dinyatakan Allah kepada manusia melalui firman-Nya merupakan kebenaran objektif dan harus dilakukan. Sebagai contoh bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat harus saling menghargai dan menghormati dengan dasar kasih,

menghindari segala macam kemaksiatan dan kejahatan serta hidup di dalam kebenaran sebagaimana diajarkan Alkitab: bersikap jujur, adil, tidak kompromi dengan dosa, menolong dan membantu mereka yang kekurangan, serta melakukan berbagai kebaikan. Pertanyaan yang terus menjadi pergumulan adalah: Apakah dengan mengklaim tentang adanya kebenaran objektif, maka semua orang yang menjadi bagian di dalam kekristenan pasti hidup di dalam kebenaran ini.? Tentu jawabannya tidak. Mengapa demikian? Karena harus diakui bahwa ada begitu banyak orang Kristen yang tidak hidup di dalam kebenaran. Mereka kompromi dengan dosa dan kejahatan, melakukan kemaksiatan, penuh tipu daya, dan hal-hal lain yang merusak kedamaian. Ini kekristenan tradisi! Mereka tidak sungguh-sungguh bertumbuh dan berakar di dalam kehidupan keagamaannya. Namun ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak atau menghindari adanya kebenaran objektif. Suatu kebenaran objektif bukan dilihat dari seberapa banyak orang melakukannya atau tidak. Melainkan dilihat pada siapakah yang meyatakan kebenaran itu? Jika Allah yang maha sempurna itu menyatakan kebenaran itu kepada umat-Nya, tentulah kebenaran itu akan menjadi kebenaran yang objektif. Manusia, khususnya mereka yang menjadi bagian di dalam kekristenan hanya menemukan kebenaran itu dan mengaplikasikan kebenaran itu di dalam kehidupannya. 2. Kebenaran Relatif Kebenaran relatif sangat berakar kuat pada pemikiran zaman modern, khususnya di dalam filsafat Rasonalisme, Empirisisme dan Eksistensialisme. Filsafat Rasionalis sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza - biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662). Rene Descartes terkenal dengan filsafatnya: Cogito ergo sum(aku berpikir, maka aku ada). Dalam Discoursenya Descartes mencatat pembuktian intelektualnya. Dia berprinsip tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian. Benedictus de Spinoza melanjutkan pemikiran Descartes dengan menerbitkan suatu eksposisi atas karya Descartes. Dia memulai dengan ide-ide yang jelas dan nyata, gagasan-gagasan yang dipikirkannya terbukti benar dengan sendirinya. Kebenaran dari gagasan-gagasan itu dapat terlihat dengan merumuskannya secara tepat.(10) Rasionalisme berakar kuat di dalam tradisi filsafat Plato. Pemahaman akan suatu kebenaran harus diukur atau dinilai dengan akal telah mempengaruhi kehidupan manusia sejak itu sampai masa kini. Bagi sebagian orang kebenaran memang harus diukur dan dinilai oleh akal. Tanpa peran dari akal, kebenaran bukanlah kebenaran yang signifikan. Berbeda dengan filsafat rasionalis, filsafat empiris sangat menjunjung tinggi tinggi perasaan sebagai tolak ukur untuk menentukan sesuatu benar atau tidak. Sesuatu yang dianggap benar haruslah mendapat persetujuan dari perasaan. Tanpa persetujuan dari perasaan, maka sesuatu belum tentu dapat dianggap sebagai kebenaran. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Orang-orang Empirisis menekankan bagian yang diperankan oleh pengalaman dalam pengetahuan. Mereka mengemukakan bahwa kita tidak mempunyai pikiran sama sekali selain yang berasal dari pengalaman melalui indera kita. Pernyataanpernyataan (selain yang berasal dari logika murni) dapat diketahui benar atau salah hanya melalui mengujinya dalam pengalaman.(11) Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (16321704); George Barkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776).(12) Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan Ham. Lainnya adalah filsafat eksistensialis. Filsafat ini berusaha mengemukakan ide tentang kebenaran yang berkaitan dengan kondisi dari kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Kierkegaard (1813-1855) bahwa kebenaran adalah subjektifitas. Maksudnya bukan setiap kebenaran adalah subjektif, namun kalau seseorang tidak mempercayai sesuatu secara subjektif dan penuh hasrat, ia tidak memiliki kebenaran. Kebenaran itu selalu bersifat pribadi dan bukan hanya berupa teori. Seseorang tidak pernah

mencapai kebenaran hanya dengan mengamati, tetapi dengan mematuhi; tidak pernah dengan menjadi penonton, tetapi dengan mengambil bagian dalam hidup; kebenaran ditemukan dalam bentuk nyata, bukan dalam bentuk abstrak; dalam eksistensi dan bukan dalam rasio.(13) Munculnya berbagai paham filsafat modern yang berusaha untuk mengemukakan tentang kebenaran secara tidak langsung telah membentuk struktur berpikir dan perilaku dari masyarakat yang hidup di dalam dunia ini. Titik tolak dari semua kebenaran-kebenaran ini adalah pengetahuan dan akal budi. Ketajaman akal budi dan kemajuan pengetahuan telah melahirkan teknologi yang digunakan sebagai sarana untuk menyatakan kebenaran di dalam eksistensi manusia. Di sini Akal budi dan perasaan/pengalaman manusia yang menentukan suatu kebenaran. Di zaman modern, validitas dan objektifitas suatu kebenaran diuji melalui ilmu pengetahuan (mis. sistem, metode dan penelitian) melalui kecanggihan teknologi. Hal ini telah menjadi ciri khas di zaman modern ini. Implikasinya bahwa masyarakat, kelompok-kelompok atau individu tertentu yang hidup di dalam masyarakat memiliki kebenaran sesuai dengan apa yang dipahaminya. Ini mengakibatkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Yang salah bisa menjadi benar atau sebaliknya yang benar jadi salah. Sesuatu yang dilakukan oleh orang bisa dikatakan berguna atau tidak berguna bagi orang lain. Etika, Hukum, Politik, Ekonomi bisa dipermainkan oleh karena dianggap tidak benar bagi orang lain, namun ternyata benar bagi diri sendiri.

III. PENOLAKAN TERHADAP KEBENARAN Postmodernisme tampil sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pemikiran zaman modern, khususnya penolakan terhadap The enlightment project dan seluruh asumsinya. Singkatnya paham ini menolak adanya kebenaran yang objektif baik kebenaran menurut Teisme maupun kebenaran menurut filsafat modern. Postmodernisme berakar kuat kepada pemikiran Friedrich Nitzsche, seorang filsuf Nihilist di akhir abad ke-19. Secara singkat Nitzsche menolak filsafat modern di dalam beberapa hal: (1) penolakan terhadap konsep kebenaran dari enlightment project; kebenaran yang dimaksudkan oleh filsuf enlightment project adalah kebenaran yang objektif di mana hal itu dapat diukur dengan akal dan pengalaman. Namun bagi Nitzsche kebenaran seperti ini tidak real (=nyata). Ia setuju bahwa kebenaran itu eksis di dalam konteks penggunaan bahasa yang spesifik. Kebenaran sebagai suatu fungsi dari bahasa. (2) penolakan terhadap konsep nilai; Bagi Nitzsche, memahami kebenaran dan nilai bukan bergantung kepada kemampuan untuk menembus realitas transendent, tetapi dari kesiapan kemauan yang keras. Kemauan yang keras yang dimaksudkan oleh Nitzsche menunjuk kepada hasrat yang besar untuk menjadi sempurna melalui kreatifitas latihan pribadi. (3) penolakan terhadap pemikiran filsuf pencerahan; Bagi Nitzsche, tugas seorang filsuf bukan menyimpulkan kebenaran metafisik, tetapi bertindak sebagai dokter budaya maksudnya: mengubah sikap orang untuk hidup. (14) Filsuf dan Teolog Martin Heidegger (1884-1976) memiliki pemahaman yang sama dengan Nitzsche bahwa bahasa memainkan peranan yang penting di dalam eksistensi dunia ini di samping akal budi. Menurutnya kebenaran berkaitan dengan pewahyuan. Memiliki kebenaran tidak hanya melalui perhitungan akal budi, tetapi juga melalui meditasi (=perenungan).(15) Konsep kebenaran yang dipahami oleh Nitzsche kemudian dikembangkan oleh filsuf-filsuf Postmodern. Beberapa di antara mereka menjadi filsuf arus utama, di mana pemikirannya sangat mempengaruhi filsafat postmodern, mis. Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michael Foucault, Richard Rorty, Paul Feyerbend, Raland Barthes, dan lainnya. Para filsuf ini menolak kebenaran objektif baik secara langsung, maupun tidak langsung. Menurut Jean-Francois Lyotard, pengetahuan di dalam era postmodern telah kehilangan sebagian besar nilai kebenaran atau lebih daripada itu produksi dari pengetahuan tidak lagi menghasilkan aspirasi tentang kebenaran. Hari ini para sisiwa tidak lagi bertanya apakah sesuatu itu benar, tetapi apakah hal itu berguna bagi mereka.(16) Jacques Derrida menolak metafisik barat dengan mendemontrasikan dan mengklaim bahwa Tulisan dari kata-kata tidak tidak berkaitan dengan kata-kata yang diucapkan, kata-kata yang diucapkan tidak berkaitan dengan pikiran dan juga kebenaran atau Allah yang menunjuk kepada referensi metafisik dunia. Baginya penafsiran terhadap teks adalah cara yang tepat.(17) Michael Foucault berpendapat bahwa setiap masyarakat memiliki kuasa tentang kebenaran, itulah kebijakan umum tentang kebenaran; maksudnya tipe dari percakapan yang dapat diterima dan berfungsi sebagai suatu yang benar. Ada mekanisme yang membedakan pernyataan yang benar dan yang salah, sebagaimana hal itu disetujui bersama. Teknis dan pelaksanaannya sesuai dengan nilai di dalam melakukan kebenaran itu. (18) Bagi para filsuf ini, kebenaran bergantung kepada pribadi atau masyarakat dan bukan kepada

realitas. Penekanan pada dekonstruksi (baik dalam hal pemikiran dan bahasa) menjadi dasar bagi filsuf postmodern untuk menolak kebenaran objektif. Andrew F. Uduigwome menuliskan demikian: Filsuf postmodern berpendapat bahwa kebenaran didasarkan kepada masyarakat. Dengan kata lain, apapun yang kami terima sebagai kebenaran bergantung kepada masyarakat di mana kami turut berpatisipasi di dalamnya. Ini mengimplikasikan bahwa tidak ada kebenaran absolut atau objektif. Kebenaran secara sederhana adalah relasi / hubungan. Menurut para filsuf posmo ini, kami hanya memiliki satu-satunya dunia pengalaman di dalam mana kami dilekatkan dan turut berpatisipasi di dalamnya. Konsekuensinya, kami dapat berbicara hanya di dalam konteks itu, dan tidak mencari di luar dari realitas pengalaman itu. Filsuf postmodern menerapkan teori dekonstruksi literatur dari dunia sebagai suatu keseluruhan. (19) Berbeda dengan kedua kebenaran sebelumnya, kebenaran menurut postmodern tidak lagi bergantung kepada realitas dari suatu objek, atau pewahyuan, tetapi kepada masyarakat itu sendiri, di mana setiap orang berperan untuk menentukan kebenaran itu. Filsafat postmodern mengakui bahwa di dalam dunia ini terdapat begitu banyak kebenaran. Setiap kelompok masyarakat memiliki konsep mengenai kebenaran. Namun bagi filsafat ini tidak ada kebenaran objektif. Di sini kebenaran tidak lagi menjadi kebenaran dalam arti yang sesungguhnya, tetapi menjadi suatu simbol yang tidak ada artinya. Implikasinya bahwa seseorang dapat melakukan perbuatan semau gue (=baca sesuka hati) dan tidak ada standar untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya yang dilakukannya di dalam kategori ini adalah baik. Apapun yang dilakukannya dan bertentangan dengan moralitas serta hati nurani tetap semuanya itu dianggap baik.

IV. YESUS KRISTUS SEBAGAI JALAN KEBENARAN Di dalam Perjanjian Baru, khususnya klaim tentang kebenaran nampak di dalam perkataan Yesus Kristus dan seluruh karya-Nya di dalam dunia. Di dalam Yohanes 14:6a, Yesus Kristus berkata Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Perkataan ini ditujukan kepada murid-muridnya di dalam perjamuan malam sebelum hari raya Paskah. Apakah maksud dari perkataan ini? Bagaimana hubungannya dengan konsep kebenaran yang dipahami secara umum dan di dalam kekristenan? Injil Yohanes menuliskan tentang perkataan Yesus Kristus ini berkaitan dengan konsep keselamatan di dalam dan melalui-Nya. Di dalam bahasa Yunaninya kalimat ini: Akulah, jalan dan kebenaran dan hidup, ditulis dengan penekanan yang jelas sekali.(20) Maksudnya bahwa Yohanes ingin menekankan bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya JALAN, satu-satunya KEBENARAN dan satu-satunya HIDUP kepada para pembacanya. Mereka yang hidup di luar Kristus tidak memiliki Jalan, Kebenaran dan Hidup di dalam arti yang sesungguhnya, yang berhubungan dengan Keselamatan Kekal dan ALLAH. Hal ini diperkuat, ketika Yesus mengatakan kalimat berikutnya: bahwa tidak ada seorangpun yang datang kepada bapa jikalau tidak melalui Aku. Kata Kebenaran di dalam Injil Yohanes digunakan sebanyak 56 kali yang berkaitan dengan Yesus Kristus atau menunjuk/berhubungan dengan diri Kristus. Yohanes ingin menunjukkan lewat injil yang dituliskannya bahwa memahami dan mengenali kebenaran yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan Allah. Beasley Murray menegaskan hal ini: Segala kebenaran adalah kebenaran Allah, sebagaimana segala hidup adalah milik Allah, tetapi kebenaran Allah dan hidup dari Allah berinkarnasi di dalam Yesus.(21) Lebih daripada itu Kebenaran yang sejati tidak akan dapat dipahami oleh manusia, jikalau Allah yang nyata di dalam pribadi Yesus Kristus tidak menganugerahkan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuan dan kepandaian manusia hanyalah menunjukkan hikmat Allah yang luas dan kedahsyatan pengetahuan-Nya yang mengagumkan. Oleh sebab itu, iman Kristen memandang bahwa kebenaran yang sejati tidak akan pernah dipisahkan dari pribadi Yesus Kristus, baik melalui perbuatan-Nya maupun perkataan-Nya. Kebenaran yang sejati harus berawal dari diri-Nya dan berakhir di dalam diri-Nya. Kebenaran bukanlah ciptaan manusia dan menjadi milik manusia, melainkan karya Allah dan milik Allah sepenuhnya. Kebenaran itu dianugerahkan Allah kepada umat-Nya. Kebenaran yang sesungguhnya itu akan dapat dipahami dan dimengerti di dalam realitas kehidupan manusia, jikalau manusia percaya dan hidup di dalam Dia (bnd. Yoh.18:3738a). Proses kehidupan percaya dan hidup di dalam Kristus, digambarkan dengan kehidupan pada pokok anggur yang benar sebagaimana dicatat di dalam Injil Yohanes 15:4: ....Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.... Yesus Kristus menjelaskan bahwa jikalau ranting itu tidak tinggal pada pokok anggur yang benar, maka

sesungguhnya ranting itu tidak dapat berbuah. Tinggal di dalam Kristus berarti: Percaya bahwa Dia adalah Anak Allah (1Yoh.4:15); Menerima Dia sebagai Juruslamat dan Tuhan (Yoh.1:12); Melakukan perkataan-Nya (1Yoh.3:24); terus menerus percaya kepada Injil-Nya (1Yoh.2:24); Hidup di dalam komunitas Kristen yang memiliki kasih (Yoh. 15:12).(22)

V. KESIMPULAN Memahami dan menerapkan kebenaran sejati merupakan tanggung jawab dari seorang Kristen. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi orang Kristen yang hidup di dalam zaman yang kacau (=chaos) ini. Orang Kristen dituntut untuk hidup di dalam kebenaran, sebagaimana ia hidup dan percaya di dalam Yesus Kristus, sang sumber kebenaran. Memang harus diakui bahwa tidak mudah menerapkan kebenaran di dalam kompleksitas kehidupan umat beragama. Ada banyak hal yang menghalangi orang Kristen untuk tidak hidup di dalam kebenaran. Masalah toleransi antar umat beragama, hak, aturan, adat dan tradisi, dan sejumlah hal lain yang sangat mengikat yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat. Namun panggilan orang Kristen untuk hidup di dalam kebenaran tidak akan pernah hilang. Setiap orang yang percaya kepada Kristus harus hidup di dalam kebenaran. Kebenaran yang sejati akan membuat kehidupan orang Kristen menjadi berbeda dengan cara kehidupan duniawi. Cara pandang dan pola pikir orang Kristen tidak akan pernah menjadi sama dengan dunia. Sebagai contohnya: Jikalau orang lain menolong orang yang kecelakaan /kesusahan dengan tujuan supaya mereka memperoleh nama baik atau pahala, maka sebaliknya ketika orang Kristen menolong orang yang kecelakaan/kesusahan, hal itu dikarenakan bahwa Yesus Kristus telah memberikan teladan dengan menolong dan menyelamatkan hidup dari orang Kristen tersebut. Jikalau orang lain menolong yang kelaparan karena rasa kemanusiaan yang tinggi, maka sebaliknya orang Kristen menolong orang yang kelaparan karena Tuhan Yesus memberikan teladan sekaligus perintah untuk memberi makan mereka yang kelaparan. Kiranya tulisan ini dapat menjadi berkat bagi para pembaca sekalian - Soli Deo Gloria.

Footnotes
01/ Guinness, O.S, Time For Truth: Living Free In A World of Lies, Hype, & Spin. Michigan: Bakers Books: 2000, p. 12. 02/ .the concept of truth is uncommonly complex and variable. Encyclopedia Americana, Volume 27: Trance Vanial Sin, Dan Bury, Connecticut: Grolier: International Headquarters, 2001. p. 185. 03/ AS Hornby, Oxford advanced Learners Dictionary of Current English: Revised Updated. Oxford: Oxford University Press, 1974. p. 927. 04/ Dictionary of Philosophy, Dagobert D Runes (editors), 1942, dalam www.ditext.com. 05/ Moreland, J.P & Craig, William Lane, Philosophical Foundations For A Christian Worldview. Illinois: Intervarsity Press, 2003, p. 132. 06/ Blanchone, Eric, The Three Truth, in The Examined Life On-Line Philosophy Journal. Website. http://examinedlifejournal.com. 07/ Erickson, Millard J, Truth or Consequences: The Promise & Perils of Postmodernism. Illinois: Intervarsity Press, 2001, p. 81. 08/ Theism literally, belief in the existence of God. (Teisme secara literal adalah keyakinan tentang eksistensi Allah). 09/ Erickson, Truth or Consequences, p. 82. 10/ Ibid, h. 72. 11/ Brown, 1994. h. 80 12/ Hume berprinsip bahwa Sesuatu dianggap benar, jikalau sudah didasarkan atas definisi (misalnya: semua segitiga mempunyai tiga sisi), atau dapat ditunjukkan benar oleh panca indera (boleh satu, beberapa atau semua). Dia menganut prinsip verifikasi secara empiris. Di kutip dari Linnemann, 1991. h. 36. 13/ Dikutip dari N, Geisler dan P.D. Feinberg, Filsafat dari Perspektif Kristiani, Malang: Gandum Mas, 2002. h. 46-47. 14/ Grenz, Stanley J. A Primer On Postmodernism: chapter 5: The prelude to Postmodernism; Michigan : Wm.B. Eerdmans Publishing Company, 1996. p. 83-98. 15/ Idem, p. 106. Menurut Heidegger: To gain this truth, he argues, requires an opnness to the mystery that occurs only as we move away from our modern fixation with calculative thingking and engage in meditation thingking. 16/ Jean-Francois Lyotard (1924 1998), in The Internet Encyclopedia of Philosophy: by Ashley Woodward. http://www.iep.utm.edu.htm. Copyright 2005 17/ Dikutip dari Cky J Carrigan, Ph.D, Jacque Derrida, Decontructionism & Postmodernism, in On Truth Ministry. http://ontruth.com. Copyright 1999 by Cky J. Carrigan. All Rights Reserved 18/ Critical Rhetoric, in Foucault Conclusion. http://www.geocities.com. Copyright 1998. 19/ Uduigwome, Andrew F. Philosophical objections to The Knowability of Truth: Answering Postmodernism. In Quodlibet Journal: Volume 7 number 2, April June 2005. http://www.Qoudlibet.net. Copyright 2005. 20/ Dalam bahasa Yunani, kalimat ini dituliskan demikian: legei aotu [ho] Iesus, Ego eimi he odos kai he aletheia kai he soe. Perhatikan bahwa semua kata benda yang dipakai di dalam bagian ini, menggunakan definite article. Hal ini jarang terjadi di dalam Alkitab, kecuali di dalam bagian ini. Fritz Rienecker, Linguistic Key to The Greek New Testament. (Michigan: Zondervan Publishing House, 1980), p. 251, menegaskan bagian ini demikian: The repetition of the definite article refers to Christ as the real truth, life atc and all others, his transitory. 21/ Beasley-Murray, George R., Word Biblical Commentary, Volume 36: John, ( Dallas, Texas: Word Books, Publisher) 1998.

22/ Barton, Bruce B (at all). Life Application Bible Commentary: John. (Illinois: Tyndale House, 1993). Electronic Edition STEP Files Copyright 2002, Findex.Com, Inc. All rights reserved.

You might also like