You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Sebagai mahasiswa biologi, untuk dapat masuk dan bersaing ke dunia kerja tidak hanya pengetahuan secara teori saja yang harus dikuasai, melainkan pengalaman dan skill juga harus dikuasai, dengan adanya PKL (Praktek Kerja Lapangan) diharapkan mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh dibangku kuliah. Selain itu, dengan PKL juga diharapkan akan menambah pengalaman dan skill dalam dunia kerja. Mengingat pentingnya PKL dan perlunya menambah wawasan mahasiswa, khususnya dibidang yang spesifik maka perlu diselenggarakan PKL untuk menambah pengalaman dan skill dalam dunia kerja. Salah satu bidang yang dapat dipelajari dalam PKL adalah teknik perbanyakan jamur entomopatogen sebagai musuh alami hama tanaman padi. Padi merupakan komoditas ekspor yang menjadi salah satu sumber devisa penting bagi negara. Adanya gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT) seringkali menjadi faktor penghalang produktivitas. Gangguan biasanya dimulai sejak tanaman di lapang. Salah satu OPT yang potensial menurunkan produktivitas padi adalah serangga hama yaitu walang sangit. Pengendalian serangga hama dengan insektisida kimia banyak menimbulkan masalah, antara lain: meningkatnya resistensi hama terhadap insektisida kimia, terjadinya ledakan populasi serangga hama sekunder, meningkatnya risiko

1 1

keracunan pada manusia dan hewan ternak, terkontaminasinya air tanah, menurunnya biodiversitas, dan bahaya-bahaya lain yang berkaitan dengan lingkungan. Timbulnya masalah-masalah tersebut menjadi stimulan yang meningkatkan minat terhadap upaya pengendalian hama secara terpadu (PHT) yaitu dengan menggunakan agen hayati. Salah satu contoh agen hayati yang dapat digunakan sebagai pemberantas hama adalah cendawan atau jamur. Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial dalam

pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk rayap, kutu putih, dan beberapa jenis kumbang (Gillespie, 1988). Meninjau dari permasalahan pertanian yang ada maka kegiatan PKL ini sangat bermanfaat untuk mengtahui perbanyakan dan perananan dari Beuveria bassiana untuk tanaman padi yang dilakukan di Laboratorium Proteksi Hama Dan Penyakit Tanaman Pertanian dan Holtikultura Bantul Yogyakarta. Melalui kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini mahasiswa dapat terlibat secara langsung di lapangan dan melakukan beberapa tahapan mulai dari inokulasi jamur, perbanyakan dan pengujian efektifitas terhadap hama walang sangit, sehingga kegiatan ini selain dapat menambah wawasan, keterampilan mahasiswa, dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

B. Tujuan Praktek Kerja Lapangan 1. Mahasiswa dapat mengetahui langkah-langkah pada teknik perbanyakan Beuveria bassiana. 2. Mengetahui efektifitas Beuveria bassiana terhadap walang sangit yang manjadi hama pada tanaman padi. C. Waktu Dan Tempat Praktek Kerja Lapangan Praktek kerja lapangan dilaksanakan tanggal 02 juli sampai 31 juli 2012 di Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan Bantul Yogyakarta.

BAB II GAMBARAN UMUM LPHPT BANTUL A. Sejarah berdiri Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan (LPHPT) terletak di desa Kauman Wijirejo, Pandak kabupaten Bantul D.I Yogyakarta, yang dirikan pada tahun 1986. LPHPT adalah laboratorium dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Proteksi Tanaman Pertanian (UPTD BPTP), merupakan salah satu unit kerja dari Dinas Pertanian Provinsi DIY yang mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas Pertanian di bidang proteksi tanaman pangan dan holtikultura. B. Tugas dan fungsi LPHPT Tugas dan fungsi LPHPT sebagai berikut : a. Pelaksanaan pengamatan terhadap OPT (organisme pengganggu Tanaman) dan faktor yang men mpengaruhinya b. Pelaksanaan pengkajian dan pengembangan teknologi pengamatan dan peramalan serta pengendalian OPT c. Pemberian pelayanan kepada masyarakat melalui karakteristik tanaman d. Pengawasan atas peredaran, penyimpangan, penggunaan, dan dampak negatif pestisida e. Pengamatan terhadap OPT

f. Survey terhadap OPT g. Rice Garden/ screening varietas h. Uji biotik wereng batang coklat i.Pemantauan OPT potensial dan penyakit visiologis tanaman j. Peramalan OPT k. Penentuan daerah serangan OPT/DPI l. Klinik tanaman. m. Gerakan pengendalian OPT. C. Tenaga kerja LPHPT Tenaga kerja LPHPT terdiri dari : 1. 2. Kepala laboratorium. Sub Bagian Tata Usaha, yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas kearsipan, keuangan, kepegawaian, pengelolaan barang, kerumah tanggaan, kehumasan, kepustakaan, serta penyusun progam dan laporan kinerja. 3. Seksi Pelayanana Teknis, mempunyai tugas melaksanakan diagnosa, peramalan, dan penyebaran informasi organisme pengganggu tanaman (OPT). 4. Seksi Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Balai di bidang pengembangan teknologi pengendalian organisme pengganggu tanaman dan dampak fenomena iklim. 5. Kelompok Jabatan Fungsional.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Padi Padi merupakan kelompok tumbuhan yang tergolong dalam kelas Monotyledonae dan family Gramineae. Tanaman ini merupakan komoditas ekspor yang menjadi salah satu sumber devisa penting bagi negara, merupakan sumber karbohidrat utama yang dimanfaatkan oleh negara tertentu khususnya di Indonesia. Faktor penghalang yang sering mengganggu produktifitas tanaman padi adalah adanya organisme pangganggu tanaman (OPT). Salah satu OPT yang potensial menurunkan produktifitas padi adalah serangga hama yaitu walang sangit /Leptocoriza acuta. Gangguan atau serangan walang sangit biasanya dimulai sejak tanaman padi memasuki masa malai yang ditandai dengan adanya cairan seperti susu pada biji tanaman. Cairan padi yang terus menerus dihisap oleh walang sangit apabial tidak dilakukan pengendalian sejak dini yang akhirnya dapat mengakibatkan turunya produktifitas tanaman padi dan menurunkan kualitas gabah. B. Walang Sangit Walang sangit merupakan serangga yang memiliki ciri-ciri yaitu ; tubuh berwarna coklat, berukuran panjang sekitar 14-17 mm dan lebar 3-4 mm, serta memiliki tungkai dan antena yang panjang pada saat dewasa. Nimfa pada serangga ini memiliki struktur tubuh lebih kecil dari dewasa dan tidak bersayap, pada umumnya nimfa berwarna hijau muda dan menjadi coklat kekuning-

6 6

kuningan pada bagian abdomen dan sayap coklat saat dewasa (Siwi., et al,1981). Walang sangit merupakan hama atau musuh bagi tanaman padi karena menyerang pada saat padi memesuki masa bermalai, sehingga apabila cairan padi terus menerus dihisap akan mengakibatkan turunya produktifitas tanaman padi. Hama ini tidak hanya dapat menurunkan hasil, tetapi juga menurunkan kualitas gabah seperti; bintik-bintik coklat pada gabah akibat isapan cairan dari hama tersebut pada saat padi matang susu, tetapi jika tanaman yang diserang pada masa berisi cairan seperti susu maka biji padi akan hampa atau gabug (Pracaya, 2008). Kerusakan parah disebabkan oleh imago yang menyerang tepat pada masa berbunga, sedangkan nimfa terlihat merusak secara nyata setelah pada instar ketiga sampai fase dewasa. Serangan pada fase dewasa merupakan serangan yang mampu menurunkan hasil atau produktifitas tanaman apabila tidak segera dilakukan pengendalian (Willis, 2001). Klasifikasi walang sangit adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class Ordo : Insecta : Hemiptera

Family : Alydidae Genus Secies : Lepticoriza : Lepticoriza acuta (Thunberg, 1870)

C. Beuveria bassiana Lebih dari 700 spesies cendawan entomopatogen dilaporkan telah diisolasi dari berbagai spesies serangga hama, tetapi baru 10 spesies di antaranya yang berhasil dikembangkan untuk pengendalian hama, cendawan ini memiliki kisaran sifat biologi yang luas mulai dari sebagai parasit sejati dan parasit patogen yang dapat hidup secara saprofit tanpa inang serangga sehingga menyebabkan beberapa spesies cendawan ini sangat patogenik terhadap serangga hama. Salah satu cendawan entomopatogen yang telah diketahui berpotensial dalam mengendalikan spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana (Gillespie, 1988). Menurut klasifikasinya, Beuveria bassiana termasuk kelas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino Bassi di Beauce, Perancis (Steinhaus, 1975). Beauveria bassiana adalah salah satu jamur entomopatogenik yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen pengendali hayati, merupakan biopestisida ramah terhadap lingkungan yang dapat digunakan sebagai pengganti dari penggunaan pestisida yang berlebih yang berdampak negatif pada hasil panen dan lingkungan, musnahnya musuh alami, dan timbulnya ketahanan OPT (Setiawati.,et al, 2004). Penggunaan agen hayati ini, merupakan suatu upaya pencegahan secara dini untuk mengendalikan penyebaran hama walang sangit. Beauveria bassiana merupakan jamur patogen serangga yang memiliki beberapa keunggulan yaitu; slektif terhadap serangga sasaran sehingga tidak membahayakan serangga lain

yang bukan merupakan sasaranya, seperti; predator, serangga penyerbuk dan serangga berguna lebah madu (Departemen Pertanian, 2007). Beberapa strain isolat Beuveria bassiana yang diketahui saat ini adalah berasal dari berbagai spesies serangga hama yang merupakan inang spesifik cendawan tersebut. Beuveria bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin. Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga inang, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan serangga inang yang terinfeksi. Selain secara kontak, Beuveria bassiana juga dapat menginfeksi melalui kontaminasi pakan (Kucera dan Samsinakova, 1968). Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan spora yang dihasilkan berwarna putih. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya, serangga hama yang terinfeksi B.bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga hama sehat yang ada di sekitarnya (Soetopo & Indrayani. 2012).

BAB IV KEGIATAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN A. Judul Teknik Perbanyakan Jamur Entomopatogen Beuveria bassiana Sebagai

Pengendali Serangga Hama Walang Sangit Pada Tanaman Padi Di Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan Bantul. B. Alat dan Bahan a. Alat 1. Kotak atau box inokulasi 2. Bunsen 3. Plastik 4. Dandang 5. Kompor 6. Baskom 7. Autoclave 8. Jaring rearing 9. Ember b. Bahan 1. Bibit Beuveria bassiana 2. Jagung 3. Beras 4. Jaring rearing 5. Tanaman padi

10 10

6. Serangga (walang sangit). C. Prosedur Kerja 1. Perbanyakan bibit Beuveria bassiana -Hari pertama, beras dan jagung dicampur, dibersihkan dan dicuci dengan air sampai bersih. Perbandingan media tumbuh beras dan jagung tersebut berkisar 1 : 4. Setelah bersih kemudian dimasak menggunakan dandang dengan api sedang sampai setengah matang, selanjutnya dibiarkan sampai bahan-bahan tersebut dingin. Setelah dingin, dibungkus dengan menggunakan plastik kurang lebih sekitar 100gr, ditutup rapat dengan melipat ujungnya hingga seperempat bagian, dan di autoclave dengan suhu 120o, selama 1 jam kemudian didiamkan. -Hari kedua, disiapkan bibit Beuveria bassiana, campuran beras dan jagung yang telah diautoclave diangkat. Langkah awal perbanyakan yaitu dipersiapkan kotak inokulasi , bahan yang telah di autoclave dimasukan ke dalam kotak inokulasi, selanjutnya ditanamkan bibit Beauveria bassiana secara aseptis, kemudian disimpan pada suhu ruang dan dibiarkan sampai jamur tumbuh. Beuveria bassiana akan tumbuh siap panen dan dapat digunakan sebagai bahan biopestisida sekitar 4-5 hari. -Jika setelah 4-5 hari Beuveria bassiana tidak langsung dipakai, maka diperlukan adanya penyimpanan, yaitu menggunakan campuran dari tepung caulin dan bentonat. Beuveria bassiana yang telah dicampur dengan tepung caulin dan bentonat kemudian disimpan pada ruangan sampai 1 minggu. - Setelah 1 minggu masa penyimpanan maka biopestisida ini dapat digunakan kembali dengan diayak terlebih dahulu.

11

2. Pengujian jamur Beuveria bassiana pada serangga uji walang sangit Langkah yang digunakan untuk melakukan pengujian B.bassiana pada walang sangit yaitu dengan menyiapkan seperangkat alat berupa 2 buah ember untuk menanam tanaman padi yang sedang memasuki masa malai dan 2 buah jaring rearing. Tanaman padi yang telah ditanam di dalam ember kemudian diletakan ke dalam jaring rearing. Pengujian dilakukan menggunakan dua perlakuan yaitu; 1). Padi dan walang sangit tanpa penyemprotan B. bassiana (kontrol). 2). Padi dan walang sangit dengan penyemprotan B. bassiana. D. Hasil 1). Perbanyakan B. bassiana -Berdasarkan kegiatan praktek kerja lapangan yang telah dilakukan diketahui bahwa jamur entomopatogen B. bassiana dapat tumbuh dan digunakan sebagai biopestisida setelah 4-5 hari penanaman pada media campuran jagung dan beras. -B. bassiana yang tidak langsung dipakai disimpan dengan menggunakan campuran caulin dan bentonat selama 1 minggu dan diayak terlebih dahulu sebelum digunakan kembali. 2). Pengujian jamur Beuveria bassiana pada serangga uji walang sangit -Walang sangit yang diberi perlakuan penyemprotan menggunakan Beauveria bassiana, menunjukan adanya gerak yang lambat, dan akhirnya mati. Tubuh walang sangit mengeras dengan permukaan tubuh yang putih. -Pada perlakuan kontrol tidak menunjukan adanya perubahan pada walang sangit, tetapi tanaman padi menunjukan perubahan yaitu pada bulir kulit biji padi terdapat adanya jentik kehitaman.

12

E. Pembahasan Beauveria bassiana adalah salah satu jamur entomopatogenik yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen pengendali hayati (Suharto, 1998). Teknik perbanyakan Beuveria bassiana dapat dilakukan dengan menggunakan media tumbuh berupa campuran jagung yang sudah digiling dan beras, perbandinganya yaitu 4:1, bahan jagung lebih banyak daripada beras karena diketahui jagung merupakan media tumbuh yang lebih efektif. Pemasakan campuran beras dan jagung yang tidak terlalu matang bertujuan agar pertumbuhan jamur lebih efektif, jika media tumbuh terlalu matang maka dapat terjadi kebusukan karena jamur tidak mampu tumbuh pada media yang lembek. Setelah campuran beras dan jagung dimasak maka didinginkan terlebuh dahulu karena jamur tidak dapat tumbuh jika suhu media dalam keadaan panas. Media yang sudah didinginkan kemudian di dibungkus dengan menggunakan plastik kurang lebih sekitar 100gr, ditutup rapat dengan melipat ujungnya hingga seperempat bagian, dan di autoclave dengan suhu 120oC. Penanaman bibit jamur dilakuakan pada kotak inokualasi secara aseptis agar tidak terjadi kontaminasi pada saat penanaman. Jamur akan tumbuh setelah 4-5 hari yang selanjutnya dapat dipanen. Setelah dilakukan pemanenan, agar masa aktif jamur dapat bertahan lama, maka perlu dilakukan penyimpanan. Penyimpanan B.bassiana yang di lakukan di LPHPT diformulasi dalam bentuk bubuk. Formulasi bubuk B. bassiana diketahui paling efektif memicu kontak dengan hama sasaran (Stimac., et al, 1993). Formulasi B. bassiana berupa bubuk efektif untuk meningkatkan mortalitas hama,

13

dan mengurangi kompetisi dengan mikroba lain sehingga meningkatkan daya hidup B. bassiana (White, 1995). Beberapa bahan pencampur telah diteliti untuk kesesuaian formulasi B.

bassiana, antara lain berupa tepung, seperti; tepung tapioka, tepung beras, dan tepung maizena yang dikombinasikan dengan temperatur penyimpanan ideal sehingga efektif mempertahankan viabilitas konidia B. bassiana sekurangkurangnya 2 bulan masa penyimpanan (Soetopo dan Indrayani, 2012). Penyimpanan berupa formulasi bubuk B.bassiana yang dialakukan di LPHPT Bantul yaitu dengan menggunakan campuran tepung caulin dan bentonat yang kemudian dicampur jamur Beauveria bassiana yang telah ditumbuhkan pada media jagung dan beras selama 4-5 hari. Masa penyimpanan dimulai dengan mencampur B.bassiana dengan kedua tepung tersebut dan disimpan selama satu minggu yang kemudian diayak sebelum digunakan sebagai biopestisida. Hasil yang telah didapat pada pengujian jamur Beuveria bassiana terhadap serangga uji walang sangit yaitu; pada kotak kontrol tidak terjadi perubahan pada walang sangit. Walang sangit pada kotak kontrol tetap aktif dan pada bulir biji padi terdapat bintik kehitaman hal ini dikarenakan walang sangit aktif menghisap cairan pada bakal biji yang apabila diteruskan tanpa dilakukan pengendalian maka biji tidak berisi (gabug). Perlakuan dengan penyemprotan Beauveria bassiana menunjukan hasil yaitu adanya gerak yang lambat pada walang sangit, serangga tidak aktif, dan adanya kematian dengan perubahan struktur tubuh walang sangit yaitu berwarna putih dan kaku. Warna putih pada walang sangit disebabkan karena adanya infeksi dari spora B.bassiana. Mekanisme infeksi Beauveria bassiana dimulai dari

14

melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. Pengerasan (kaku) pada walang sangit disebabakan oleh toksin Beauveria bassiana yang disebut beauvericin. Beauvericin diketahui menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan (kaku) pada serangga yang terinfeksi (Kucera dan Samsinakova, 1968)

15

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Teknik perbanyakan jamur Beuveria bassiana yang dilakukan di LPHPT Bantul merupakan teknik sederhana yang dapat dikembangkan dengan menggunakan media tumbuh berupa campuran jagung dan beras. 2. Berdasarkan pengujian Beuveria bassiana terhadap walang sangit, diketahui bahwa B.bassiana efektif mengendalikan serangga hama walang sangit pada tanaman padi. B. Saran Sebagai Perguruan tinggi yang mempunyai Program Studi Biologi maka perlu adanya pengenalan terhadap jamur entomopatogen Beuveria bassiana agar kemudian dapat dikembangkan sebagai sarana kreativitas mahasiswa.

16

16

DAFTAR PUSTAKA Departemen Pertanian, 2007. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Padi. Jakarta : Direktorat Jendral Produksi Tanaman Pangan. Gillespie, A.T, 1988. Use of fungi to control pests of agricultural importance, England: Manchester University Press. Pracaya, 2008. Pengendalian Hama & Penyakit Tanaman Secara Organik. Yogyakarta : Kanisius. Setiawati, W., et al, 2004. Pemanfaatan Musuh Alami Dalam Pengendalian Hayati Hama Pada Tanaman Sayuran. Bandung : u.p Dewan Redaksi Penerbitan Publikasi Ilmiah. Siwi, S.S., A. Yassin and Dandi Sukarna. 1981. Slender rice bugs and its ecology and economic threshold. Syiposium on Pest Ecology. Bogor. Soetopo dan indrayani, 2012. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Malang : Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Stimac, J.I, 1993. Mortality in laboratory colonies of Solenopsis invicta (Hymenoptera: Formicidae) treated with Beauveria bassiana(Deuteromycetes). J. Econ: Entomol 86: 1083-1087. Suharto, 1998. Kajian aspek fisiologis B. Bassiana dan virulensinya terhadap Helicoverpa armigera. Yogyakarta : Fakultas Pertanian UGM. White, H.E, 1995. Alginate pellet formulation of Beauveria bassianapathogenic to the red imported fire ant. Texas tech University : M.S. Thesis. Willis, 2001. Hama dan Penyakit Utama Padi di Lahan Pasang Surut. Banjarbaru : Badan Litbang Pertanian.

17

17

LAMPIRAN A. Kegiatan : Selain mengikuti serangkaian kegiatan perbanyakan Beauveria bassiana saya mengikuti semua kegiatan yang ada di LPHPT antara lain : 1. Perbanyakan jamur Tricoderma harsianum sebagai agen pengendali penyakit layu fusarium pada tanaman holtikultura. 2. Destilasi atsiri selasih ungu sebagai bahan entomopatogen lalat buah. 3. Pembuatan kultur murni Corine bacterium dan perbanyakanya, yang digunakan untuk menekan Pekembangan Penyakit Kresek Xanthomonas campestri pada tanaman padi. 4. Uji efektivitas kulit ari mete sebagai moluskisida alami pengendali keong mas yang merupakan hama pengganggu tanaman padi. 5. Ikut serta dalam kegiatan lapangan, yaitu uji ketahanan varietas tanaman padi yang dilakukan pada area persawahan. B. Foto Kegiatan

Beras dan jagung sbg media tumbuh jamur

Bibit untuk inokulasi

18

18

Proses Perbanyakan pada kotak inokulasi

Penyimpanan setelah diperbanyak

B.bassiana setelah diperbanyak

Pemanenan B.bassiana

Walang sangit yang terinfeksi B.bassiana

19

You might also like