You are on page 1of 8

REPORTASE:: Kerukunan Antar Umat Beragama Masih Ada Hambatan Disamping mengalami berbagai kemajuan, upaya penciptaan kerukunan

antar umat beragama masih mengalami hambatan-hambatan. Bagaimana solusinya? Oleh A. Nurcholish Tantangan dalam mewujudkan kehidupan yang aman dan damai di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan yang antara lain dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, politik, budaya, keagamaan masyarakat dan pengaruh kehidupan global. Demikian dikatakan oleh Budi Setiawan, Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Buddha, Selasa (7/12) lalu. Akibat persoalan tersebut, kata Budi, sebagian masyarakat kita kehilangan pegangan dan norma hidup, berbangsa dan bernegara dalam masyarakat yang majemuk. Kemudian muncul di tengah masyarakat yang mempratekkan kekerasan dengan menonjolkan fanatisme kelompok, kesukuan, kedaerahan, politik dan keagamaan. Papar Budi dalam Semiloka Nasional Peta Sosial Keagamaan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Yayasan Paras dan Departemen Agama RI. Selain itu, menurutnya masyarakat juga mudah terjebak terhadap kepentingankepentingan sempit sesaat sehingga membuat fenomena kehidupan sosial umat diwarnai berbagai kasus kekerasan dan pertiakaian. Oleh karena itu, saat ini, kata Budi, Depag turut mengimplementasikan arah hidup berkerukunan dalam beragama dengan serangkaian kebijakan dan program-program strategis, antara lain, pertama, melakukan perubahan paradigma dan pendekatan dalam kerukunan umat dari setruktural pada lalu diganti dengan humanis kultural pada saat ini. Kedua, pendekatan yang selama ini dilakukan secara top down kini dilakukan dengan cara button up, ketiga, pemerintah juga tidak lagi memosisikan diri sebagai penguasa tapi mitra dalam melayani umat beragama. Keempat, Depag juga secara proporsional memosisikan dirinya sebagai mitra sejajar dengan tokoh-tokoh agama. Sementara itu Kardinal Julius Darmaatmaja, yang juga berbicara di forum itu mengatakan bahwa dalam soal kerukunan dan dialog antar umat beragama di Indonesia, sudah mengalami berbagai kemajuan. Kemajuan tersebut antara lain, pertama, usaha untuk menciptakan kerukunan sudah menambah kosa kata dalam bahasa Indonesia. Istilah kerukunan, toleransi, dialog, dan sebagainya tidak lagi dianggap kata asing atau kata-kata yang mengasingkan penggunanya. Tutur Uskup Agung Jakarta ini. Kedua, jika selama ini kata kerukunan dimasyarakatkan oleh pemerintah secara formal, kini masyarakat warga yang terkadang disebut sebagai masyarakat sipil sudah pula mewujudkan usaha kerukunan itu sendiri. Hal itu dilakukan sebagai sebuah lanjutan atas

anjuran pemerintah atau sebagai tanggapan atas kebutuhan nyata yang sedang mereka hadapi, terutama di daerah-daerah yang terjadi konflik kekerasan, tambah Kardinal. Ketiga, tampilnya pemuka-pemuka agama sebagai pemuka atau pemimpin umat mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan sikap dan perilaku warganya. Dalam hal ini, kita boleh berbangga karena mereka turut serta dalam memulai dan memasyarakatkan dialog antar umat beragama untuk mewujudkan kerukunan. Keempat, pantas untuk dicatat bahwa komunitas-komunitas berbagai agama menyadari peran perempuan di dalam kehidupan. Menurut Kardinal, perempuan bukan hanya pelengkap yang berkewajiban untuk menderita, tetapi juga bahwa mereka merupakan pemegang peranan penting dalam mewujudkan kerukunan. Nah, melihat kemajuan tersebut di atas, sebenarnya kita juga sekaligus dapat mencermati, bahwa secara tersirat kita dapat melihat hambatan-hambatan yang ada dalam dialog antar umat beragama untuk merealisasikan kerukunan. Menurut Darmaatmaja, hambatan-hambatan itu antara lain, pertama, hambatan bahasa. Hal ini akan terjadi bila orang mulai menyingkirkan atau menghapus istilah kerukunan, dialog, toleransi, kemajemukan dan sebagainya dari pembicaraan baik secara tatap muka maupun lewat media komunikasi sosial. Penghapusan itu dapat juga terjadi bila kata dan istilah itu hanya digunakan ketika orang mau secara a priori menolaknya, tambahnya. Kedua, bilamana masyarakat warga tidak dengan aktif mengupayakan dialog. Pemerintah memang mungkin dapat memulai, tetapi jika masyarakat hanya bergantung pada upaya pemerintah, hasilnya tidak akan pernah tercapai. Ketiga, bila pemuka agama tidak menyadari betapa besar perannya dalam menciptakan kerukunan. Disamping menjadi contoh, pemuka agama juga berperan sebagai pembimbing, imam sekaligus partner dalam mengupayakan kerukunan. Keempat, bila orang beragama tidak mengetahui bahwa di dalam agama masing-masing terdapat nilai luhur yang bersifat universal. Sehingga masing-masing orang menafsirkan teks-teks agama secara eksklusif yang kerap kali justru menghambat kerukunan. Kelima, tiadanya lembaga kewenangan yang berwenang. Tafsir yang baik pun, menurut Kardinal, dapat menjadi seperti hal indah dan berharga, tetapi tidak ada yang memanfaatkannya. Disinilah, menurutnya, diperlukan lembaga kewenangan yang benarbenar dapat menjalankan kewenangannya, diperlukan otoritas yang otoritatif. Otoritas ini agar yang berwawasan nilai luhur dapat dilaksanakan. Melihat kondisi semacam itu, Kardinal Julius Darmaatmaja memberikan berbagai alternatif yang dapat dikakukan, antara lain, pertama, dengan merayakan perbedaan. Perbedaan menurutnya, bukanlah aib. Sejarah memang menunjukkan bahwa perbedaan harus dimusnahkan. Zaman ini menuntut kita, untuk mengubah cara pandang itu. Perbedaan adalah kesempatan untuk saling melengkapi.

Kedua, kiranya kita perlu mengembangkan diri untuk memiliki kebiasaan baik. Bagaimana dialog dan kerjasama antar umat beragama menjadi kebiasaan. Bagaimana dialog dan kerjasama itu tidak hanya menjadi peristiwa, kejadian, tetapi telah menjadi habitus. Ketiga, kita perlu mengembangkan dialog antarumat beragama berbasis komunitas. Darmaatmaja menggaris bawahi bahwa komunitas bukan komunitas yang sempit, karena komunitas yang sempit hanya akan menghasilkan komunalisme yang menjadi ladang subur untuk pertiakaian yang memerosotkan mutu budaya kita. Dialog antarumat beragama berbasis komunitas dapat kita mulai dari orang-orang beragama di tempat di mana mereka menjalankan hidup sehari-hari. Bila ini yang terjadi, kegiatan ilmiah seperti seminar-seminar dapat berperan sebagai pendukungnya, jelas Kardinal. Keempat, identintas Indonesia. Dialog yang kita usahakan untuk menciptakan dan mengembangkan kerukunan ini adalah dialog di negeri kita Indonesia. Dengan aneka ragam bahasa, budaya, suku, etnis, kita hanya perlu memilahnya, memilihnya, menghargainya, menghormatinya dan memadukannya dengan nilai luhur masing-masing agama kita. Dengan demikian terbentuk sebuah nilai bersama yang menyatukan bangsa ini mulai dari hatinya dapat menjadi kekuatan bagi kita untuk membuat Indonesia menjadi tempat yang pantas bagi makhluk yang dikasihi oleh Sang Pencipta Kehidupan. Pendidikan Kerukuanan Antar Umat Beragama 10:30 AM | Author: Boedy Selasa, 5 April 2005 Agama sekarang ini bisa menjadi sesuatu yang amat berbahaya jika tidak dikritisi dengan seksama. Agama yang pada awalnya diperuntukkan bagi pendewasaan diri umatnya termasuk di dalamnya adalah pengendalian diri malah menjadi salah satu pemicu kericuhan dalam masyarakat yang seringkali berakhir dengan tindakan-tindakan yang sifatnya anarkis. Menurut pandangan penulis, ini semua tidak lain disebabkan oleh rasa bangga yang berlebihan yang ada dalam diri umat dari masing-masing agama. Para pemeluk agama tersebut merasa bahwa agamanyalah yang paling benar dan agama-agama yang lain adalah salah bahkan secara ekstrim bisa dikategorikan sebagai ajaran sesat. Sikap hidup beragama seperti ini tentunya sangatlah tidak kontekstual dengan kondisi masyarakat kita yang kian hari kian heterogen dan plural. Bahkan kalau dilihat dengan seksama, ternyata dalam tubuh masing-masing agama sendiri muncul dan berkembang berbagai aliran yang berbeda. Misalkan saja Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah dalam agama Islam; atau Calvinis, Injili, dan Karismatik yang terdapat pada agama Kristen.

Menurut penulis, untuk menghadapi situasi demikian sangatlah diperlukan adanya suatu upaya untuk membuka wawasan pada masyarakat, khususnya pada kaum muda para siswa sekolah karena merakalah yang nantinya akan menentukan nasib dan arah bangsa kita. Pemerintah sendiri sudah mencoba mensiasati hal tersebut dengan memasukkan materi kerukanan antar umat beragama dalam kurikulum pendidikan sekolah. Tapi sayangnya sesuatu yang dimasukkan dalam kurikulum resmi pada pelaksanaanya malah terjebak dalam tataran teori yang tidak ada realisasi tindakan yang nyata. Nah pada kesempatan kali ini penulis mencoba memberikan solusi mengenai bentuk materi pengajaran yang bisa diterapkan di sekolah untuk menunjang kerukunan antar umat beragama. Alangkah menariknya bila materi tentang kerukunan antar umat beragama dikemas dalam bentuk dialog. Dalam dialog ini masing-masing siswa yang memeluk agama yang berbeda belajar untuk saling berbagi pengalaman tentang kehidupan beragama yang mereka anut. Sebagai contoh siswa yang beragama Hindu bisa berbagi pengalaman mereka ketika merayakan hari raya Galungan atau ketika umat muslim menjalani ibadh sholat tahajut. Dari hasil berbagi pengalaman tersebut tentunya akan muncul sejumlah pertanyaan-pertanyaan terkait dengan ritual maupun makna dari perayaan tersebut yang nantinya akan mengarah pada dialog yang sangat menarik. Kegiatan seperti ini tentunya akan melatih para siswa sekolah sedini mungkin untuk mulai membuka diri terhadap adanya ajaran agama lain di luar dari mereka anut yang nantinya juga akan disusul dengan rasa saling menghargai ajaran-ajaran agama tersebut. Dialog semacam ini akan membuka wawasan siswa bahwa keberadaan agama sendiri adalah sebagai sarana untuk mendewasakan manusia dan meningkatkan kualitas hidup bersama; dan bukannya malah terjebak dalam aksi saling menjelek-jelekan ajaran agama di luar yang mereka anut. Biarlah kiranya perbedaan yang ada menjadikan hidup kita lebih semarak dan kaya makna. Dan biarlah kiranya damai di bumi benar-benar bisa dirasakan dalam kehidupan antar umat beragama dalam kontenks masyarakat yang majemuk ini.

Agamawan dan Kerukunan Umat Beragama


02-July-2007 Kerusuhan bernuansa SARA di beberapa daerah dalam 8 tahun terakhir pada dasarnya juga menunjukkan rendah dan lemahnya apreasiasi rakyat dan elit terhadap adab demokrasi. Adab demokrasi jelas menjunjung tinggi penegakan hukum. Tidak ada demokrasi tanpa penegakan hukum (law enforcement). Demokrasi tanpa hukum adalah democrazy yang memicu anarkisme. Konflik SARA terjadi justru karena lemahnya

penegakan hukum dan rendahnya apresiasi etika dalam penyelesaian masalah sosial berbangsa dan bernegara. Pemicu Konflik Konflik yang bernuansa SARA sebagiannya didorong oleh cara penyebaran ajaran dari setiap agama yang tidak tepat. Penyampaian doktrin-doktrin agama baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim sering memprovokasi umat untuk melakukan tindakantindakan anarkis. Padahal, dalam konteks masyarakat majemuk, lebih-lebih majemuk dalam agama dan mazhab beragama, seruan-seruan nilai-nilai keagamaan harus disampaikan sebijak mungkin. Subjek dakwah dituntut agama membaca dengan cermat keragaman objek dakwah. Dakwah harus disampaikan dengan tutur kata yang santun, tidak menyinggung perasaan atau menyindir keyakinan umat lain, apalagi mencacimakinya. Kekasaran ucapan dalam aktivitas dakwah bukan saja akan merusak keharmonisan hubungan antarumat beragama, tetapi juga tidak diperkenankan dalam Islam. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari lingkungan kamu. Karena itu maafkanlah mereka, dan mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urursan, (QS Ali Imran [3]: 159). Apalagi kekarasan dalam tindakan, tentu saja dampak negatifnya akan lebih besar daripada kekarasan ucapan. Peran tokoh agama sangat signifikan dalam mengarahkan keberagamaan umat, dan itu harus dimulai dari metode atau strategi dakwah. Tokoh agama dituntut memerankan fungsi agama untuk kemaslahatan manusia. Sejatinya mereka mengembangkan interpretasi (tafsir) yang memiliki semangat perdamaian dan kerukunan antarumat beragama. Pengembangan interpretasi semacam ini, diyakini mampu mencerahkan keberagamaan umat, sehingga ajaran ketuhanan menjadi fungsional, bahkan mampu menciptakan kedamaian, keadilan, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya dalam kehidupan bemasyarakat dan berbangsa (Tarmizi Taher, 2004). Dalam konteks penciptaan kerukunan antarumat beragama dalam bingkai pluralisme harus ada penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang secara tekstual melegitimasi permusuhan (Mohammad Arkoun, 2000). Misalnya, Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, (QS At-Taubah [9]: 29). Ayat tersebut jika dipahami secara teksual berdampak buruk terhadap masa depan kerukunan antarumat beragama. Sebenarnya makna ayat ini tidak berlaku universal, melainkan terikat dengan ruang dan waktu. Kondisi masyarakat Arab di mana ayat itu diturunkan, berada dalam suasana yang terpolarisasi dalam dua hal. Pertama, kutub kaum beriman, yakni orang-orang yang secara teologis beragama Islam dan secara ideologis anti perbudakan serta anti monopoli kekayaan. Kedua, kutub kaum tidak beriman yang secara teologis tidak beragama Islam dan secara ideologis pro perbudakan dan monopoli kekayaan (Asghar Ali, 2000). Kondisi saat itu tidak memungkinkan tercipta kerukunan, sebab garis perjuangan masing-masing berbeda, bahkan saling berhadapan. Dengan kata lain, ayat ini turun dalam kondisi peperangan.

Kontekstualisasi Oleh karena itu, dalam konteks kekinian dan kedisinian, dimana kaum beriman dan kaum tidak beriman (non-muslim) tidak berada dalam posisi yang saling berhadapan, ayat itu harus disandingkan dan didialogkan dengan ayat-ayat lain yang menganjurkan toleransi, kasih-sayang dan tolong-menolong antar sesama. Dan jika salah seorang diantara kaum Musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia, (QS at-Taubah [9]: 6). Berarti sikap umat Islam (kaum beriman) tidak selamanya harus memusuhi non muslim. Ada saat-saat dimana umat Islam justru harus menolong mereka merekaseiring dengan tumpah ruahnya perilaku destruktif manusia yang menggunakannya sebagai sumber legitimasi. Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa depan bangsa kita sedikit banyak bergantung pada sejauhmana keharmonisan hubungan antar umat beragama ini. Kegagalan dalam merealisasikan agenda ini akan mengantarkan bangsa pada trauma terpecah belahnya kita sebagai bangsa. Maka sangat wajar jika tuntuntan kepada para tokoh agama semakin besar dalam menyosialisasikan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, seyogyanya dakwah agama (Islam dan non Islam) dilakukan dengan menghilangkan nuansa kebencian. Ayat-ayat Tuhan dan risalah kenabian harus didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menasihati dan meluruskan yang kurang dan tidak lurus, bukan untuk memaki yang salah atau melegitiamsi kebencian terhadap umat agama lain.(CMM) Ada nada optimis akan kerukunan umat beragama dengan ditandanganinya aturan bersama itu. Menteri Agama berharap revisi ini dapat memberdayakan masyarakat dalam memelihara kerukunan beragama. Sebab, aturan ini akan menjadi pedoman gubernur, bupati, camat, dan kepala desa dalam pemeliharaan kerukunan beragama dan pengaturan rumah ibadah. Selasa (21/3), Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9/2006 dan No. 8/2006 sebagai revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri No. 1/1969 tentang pembangunan rumah ibadah ditandatangani.Ada nada optimis akan kerukunan umat beragama dengan ditandanganinya aturan bersama itu. Menteri Agama berharap revisi ini dapat memberdayakan masyarakat dalam memelihara kerukunan beragama. Sebab, aturan ini akan menjadi pedoman gubernur, bupati, camat, dan kepala desa dalam pemeliharaan kerukunan beragama dan pengaturan rumah ibadah. Optimisme juga muncul dari ungkapan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Ia menegaskan, Indonesia memang perlu instrumen hukum bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama yang sejati. Penandatanganan aturan soal rumah ibadah ini, ia anggap sebagai alat untuk menghindari konflik antarumat beragama. Namun, nada pesimis juga muncul. Misalnya dari sebagian kalangan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Mereka pesimis, misalnya soal syarat dukungan paling sedikit 60 orang masyarakat setempat yang harus disahkan lurah atau kepala desa, selain tanda tangan dan KTP 90 orang yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut.

Itu hanya sebagian keberatan mereka. Dan memang cukup logis juga. Karena saya menilai, memang ada beberapa titik rawan konflik dalam aturan bersama ini. Untuk lebih rinci, saya perlu kembali merefleksi butir-butir yang nantinya akan menjadi titik rawan konflik dalam pembangunan rumah ibadah dan memundurkan kerukunan umat beragama. Pertama-tama, kita perlu memahami konteks keluarnya aturan revisi ini. Setahu saya, aturan ini lahir ketika semangat intoleransi beragama bergejolak di banyak tempat, seperti meluasnya aksi penutupan rumah ibadah oleh pihak-pihak yang menganggapnya tidak legal. Karena itu, aturan ini dapat dibaca sebagai respons atas semangat intoleransi yang terjadi di banyak tempat, baik dalam soal rumah ibadah, ataupun dalam relasi sosial antar agama yang lebih umum. Dalam konteks demikian, mestinya sebuah aturan atau produk hukum hadir dengan maksud untuk menunjang terciptanya masyarakat yang lebih toleran. Asumsinya, kondisi intoleransi dalam masyarakat dapat dibenahi dengan adanya aturan bersama yang legal. Namun tampaknya, alih-alih mengusung dan menguatkan semangat toleransi, beberapa butir aturan baru ini tampaknya rawan terjebak pada upaya menguatkan intoleransi. Apa buktinya? Pertama, bayangkanlah keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang antara lain bertugas membuat rekomendasi boleh-tidaknya suatu rumah ibadah dibangun. Komposisi orang atau kelompok yang akan mengisi forum ini tidak dibatasi secara spesifik (misalnya dari Islam hanya diwakili NU dan Muhammadiyah sebagai sayap kembar moderat Islam), tapi dibuat seumum mungkin, sehingga sangat mungkin dimasuki para pemuka dan kelompok keagamaan yang tidak toleran. Prediksi saya, bila forum ini dibanjiri wakil-wakil kelompok agama apapun yang tidak toleran, ia justru akan menjadi medan tempur antaragama dan institusi penghambat pembangunan rumah ibadah. Rebirokratisasi dan repolitisasi pembangunan rumah ibadah yang amat rumit, akan bermula dari forum ini. Kita bisa optimis kalau forum ini diisi oleh agamawan-agamawan yang toleran dan mengerti pentingnya kebebasan beragama tiap-tiap orang dan menghargai Pancasila dan UUD 45. Tapi bagaimana kalau forum ini diisi oleh orang-orang yang picik, penuh iri dan dengki, dan tak ingin agama-agama saling berdialog dan bekerja sama dalam kerangka keragaman masyarakat Indonesia? Karena itu, janji Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, bahwa PBNU akan terus mengondisikan masyarakat agar tak sulit dalam memberi rekomendasi, menjadi penting dicermati. Itu artinya, secara implisit Pak Hasyim mengerti betul kalau forum ini suatu saat akan menjadi ajang kontestasi kuasa dan unjuk rasa intoleransi yang justru dapat menghambat kerukunan umat beragama.

Kedua, persyaratan dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, selain 90 orang yang akan menjadi jemaah suatu rumah ibadah, juga akan sangat problematis. Aspek persetujuan 60 orang itu akan sangat rawan manipulasi, politisasi, dan bisa menjadi lahan perseteruan. Bisakah kita membayangkan minoritas Kristen di tengah-tengah mayoritas Islam akan dengan mudah mendapat restu minimal 60 orang masyarakat setempat ketika hendak membangun sebuah gereja? Bayangkan juga hal sebaliknya: apakah mudah bagi umat Islam di wilayah mayoritas Kristen atau agama lainnya untuk mendapat persetujuan minimal 60 orang masyarakat setempat demi membangun sebuah masjid? Cobalah dikiaskan dengan contoh-contoh lainnya. Saya rasa, aturan ini tidak akan banyak membantu terciptanya kerukunan antarumat beragama. Ketika tidak ada kekuatan-kekuatan sosial keagamaan yang mengupayakan terciptanya harmoni dan toleransi antar umat beragama di suatu daerah, kaum minoritas hanya akan mengurut dada untuk punya sebuah rumah ibadah. Artinya, aturan ini sangat terkait dengan seberapa lapang dada dan toleran masyarakat setempat terhadap perkembangan agama lain. Karena itu, yang perlu direnungkan lebih dalam daripada butir-butir aturan ini adalah soal iklim kehidupan beragama kita yang makin tidak toleran dan sangat gampang dipolitisir. Peningkatan tren intoleransi itulah yang kini ditunjukkan data-data survei lembaga semacam LSI (Lembaga Survei Indonesia). Lalu apa yang bisa diperbuat oleh aturan baru ini ketika masyarakat memang tidak toleran? Itulah yang kelak menjadi tugas kita bersama!(GBU)

You might also like