Professional Documents
Culture Documents
Tim Penyusun
Mahasiswa S2 Arkeologi 2007
Universitas Gadjah Mada
D
aftar Isi
DAFTAR ISI
Sebuah Pengantar: Menapak jejak, meretas simbol Keraton Yogyakarta
Bermula dari Garjitawati: Sejarah dan Lansekap Keraton Yogyakarta
Dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan
A. Sebaran Tinggalan Bangunan Keraton
1. Gladhag-Pangurakan
2. Alun-alun utara
3. Mesjid Raya Yogyakarta
4. Kompleks Pagelaran
5. Siti Hinggil Lor
6. Kamandhungan Lor
7. Sri Manganti
8. Kedhaton
• 9. Pelataran Kedhaton
• 10. Keputren dan Kesatriyan
11. Kamagangan
12. Kamandhungan Kidul
13. Siti Hinggil Kidul
13. Alun-alun Kidul
14. Plengkung Nirbaya
B. Nilai Penting Keraton Yogyakarta dan Pengelolaannya
Jika kota Bandung mempunyai Braga sebagai jantung Paris van Java, maka kota
Yogyakarta memiliki Kraton Yogyakarta sebagai pusat dari kearifan simbolisme Yogyakarta. Hal
demikian menjadi sesuatu yang wajar, ketika kita menelusuri bagian demi bagian Kraton
Yogyakarta yang ternyata memperlihatkan konsep manunggaling kawula lan Gusti, yaitu
konsep dimana menyatunya hamba dengan Tuhannya. Seperti yang diutarakan Rendra, setiap
bagian dari Kraton penuh dengan simbol yang melukiskan perjalanan hidup dari awal
kehidupan sampai pada perjalanan hidup manusia pada akhir hidupnya.
Secara etimologis pun kata kraton penuh dengan makna simbolis. Kraton berasal dari
kata : ka + ratu + an = Kraton yang berarti tempat bersemayam ratu-ratu. Artinya yang sama
juga ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-
an) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran
tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.
Makna filosofis Kraton Jogja pun dapat kita lihat dari penampakan bangunan Kraton
jika dilihat dari udara, dimana Kraton membentang dari utara ke selatan yang memperlihatkan
desain bangunan yang menunjukkan bahwa Kraton, Tugu dan Gunung Merapi berada dalam
satu garis/poros yang dipercaya sebagai hal yang keramat. Dalam Balairung Kraton, dapat
disaksikan adegan pisowanan (Persidangan) Agung, dimana Sri Sultan duduk di Singgasana di
hadapan para pemangku jabatan istana.
Regol Donopratopo yang menghubungkan halaman Sri Manganti dengan halaman inti
Kraton, dijaga oleh 2 (dua) patung Dwarapala yang diberi nama Cingkarabala dan Balaupata,
yang melambangkan kepribadian baik dari manusia, yang selalu menggemakan suara hatinya,
agar selalu berbuat baik dan melarang perbuatan yang jahat. Sedangkan dalam halaman inti
Kraton, antara lain dapat dilihat bangunan tempat tinggal Sri Sultan sehari-hari, tempat Sri
Sultan menerima tamu kehormatan, tempat untuk berpesta, tempat para tamu beristirahat
atau merapikan pakaian, serta gedung - gedung dan bangunan yang lain. Di tempat ini juga
terdapat Kaputren, atau tempat tinggal putri - putri Sultan yang belum menikah.
Makna simbolis yang penuh nilai filosofis menjadi daya tarik tersendiri dari Kraton
Yogyakarta yang didirikan oleh oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca Perjanjian Giyanti di
tahun 1755. Uraian yang lebih lengkap disajikan pada bagian lain tulisan ini yang mengupas
tentang sejarah dibalik Kraton Yogyakarta. Sebagai sebuah pengantar, bagian ini diharapkan
dapat membawa kita untuk memasuki dan menjelajahi jejak-jejak sejarah Kraton Yogyakarta
bukan hanya sekedar nostalgia masa lalu semata tetapi mencermati kembali kearifan dari masa
lalu, sehingga kita dapat lebih bijak dalam menyongsong masa yang akan datang.
Semoga tulisan ini dapat membuka kembali cerita keindahan, kenyamanan, keteraturan
dalam perencanaan tata kota Kraton Yogyakarta di masa lalu yang sering menimbulkan decak
kagum setiap generasi, bahkan hingga sekarang kekaguman itu tetap ada dari semua
pengunjung yang datang ke Kraton Yogyakarta. Walaupun keindahan dan kenyamanan masa
lalu itu tidaklah lagi sama dengan apa yang kita nikmati sekarang, karena banyaknya
peninggalan dari Kraton yang sedikit demi sedikit pudar dan mungkin akan segera hilang sama
sekali dari kita. Di satu sisi kompleks Kraton Yogyakarta beserta bangunan dan lansekapnya
menjadi sangat penting karena menjadi penanda yang mewakili perkembangan jaman sekaligus
titik pengingat proses sejarah Yogyakarta baik sebagai sebuah kesultanan maupun sebagai kota.
Diharapkan dengan pengenalan yang lebih baik terhadap Kraton Yogyakarta ini dapat
menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga dan
melestarikan warisan budaya Kraton Yogyakarta. Melalui tulisan ini, kita mencoba menelusuri
kembali jejak sejarah Kraton Yogyakarta dengan berbagai catatan dan kisah. Dengan panduan
berupa tulisan dan foto, semoga kita dapat lebih mudah untuk menengok kembali ke belakang,
yaitu ke masa awal perkembangan Kraton Yogyakarta, sambil berupaya mengenali kembali
rangkaian bangunan-bangunan yang menjadi bagian dari Kraton. Bermula dari kompleks utama
Kraton dimulai dari Gapura Gladhad di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan.
B ermula dari Garjitawati: Sejarah dan Lansekap Kraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca Perjanjian Giyanti di
tahun 1755. Waktu masih muda, baginda bergelar pangeran Mangkubumi Sukowati. Menurut
Dr.F.Pigeund dan Dr.L.Adam di majalah Jawa tahun 1940 Sultan pun diberikan julukan: "de
bouwmeester van zijn broer Sunan P.B II" ("arsitek dari kakanda Sri Sunan Paku Buwono II").
Pada saat pendirian Kraton, Sultan memilih lokasi bekas sebuah pesanggarahan (semacam
istana peristirahatan/villa) yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk
istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi kraton merupakan sebuah mata air,
Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Bangunan pokok dan desain dasar tata
ruang dari kraton berikut landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756.
Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya.
Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran
dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939). Istana
ini menjadi istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara
Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan Yogyakarta (bersama-sama Kadipaten Paku
Alaman) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi yang bernama Daerah
Istimewa Yogyakarta. Di samping Kraton Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta setidaknya memiliki
dua istana peristirahatan yaitu Ambar Binangun di sebelah barat kota dan Ambar Rukmo di
sebelah timur kota (saat ini menjadi lokasi Ambarrukmo Plaza).
Di masa lalu kompleks utama Kraton dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di
Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama kraton Yogyakarta dari utara ke selatan
adalah: Gapura Gladag, Pangurakan nJawi/luar, dan Pangurakan Lebet/dalam; Kompleks Alun-
alun Lor (Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti
Hinggil Lor, Kompleks Kamandhungan Lor; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton;
Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul (Selatan); Kompleks Siti Hinggil Kidul
(sekarang Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut
Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan
simetris. Sebagian besar bagunan di utara kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di
sebelah selatan kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri
bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang
menghadap ke arah yang lain. Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan kraton
juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono,
Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Kraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana
Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Kraton
dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan
Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan kraton antara
lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar
Beringharjo.
Tiap-tiap kompleks terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan
dan ditanami pohon tertentu serta bangunan-bangunan utama dan pendamping. Kompleks
satu dengan yang lain dihubungkan dengan Regol (Regol=Gerbang) yang biasanya bergaya
Semar Tinandu, beratap trapesium seperti joglo tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding
yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya. Pintu yang berketinggian
sekitar 2,5-3 m terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang
biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu
penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Kraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa
tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis,
Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau
derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan
joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa
kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya
bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium dengan bahan terbuat dari sirap kayu, genting
tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh
tiang utama yang di sebut dengan Saka Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang
lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen
berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan
lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada
bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari
kaligrafi [[Allah]], [[Muhammad]], dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna
emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai
biasanya terbuat dari batu pualam/marmer (marble) warna putih atau dari ubin bermotif.
Ketinggian lantai secara umum sekitar 5-15 cm dari permukaan halaman. Pada bangunan
tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi sekitar 40-60 cm (misal pada bangsal Witono
dan Kencana). Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang
tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya
dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan
dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan
dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana
bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat
dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
Berbagai aspek yang menarik perhatian itulah yang menyebabkan banyak ahli yang
membahas Kraton Yogyakarta dari sudut pandang keahlian masing-masing. Ada yang
membahas dari sudut pandang sejarah, dari sudut pandang politik, ada yang mengupas
arsitektur, ada yang mengupas aspek sosiologis, kehidupan seni, dan masih banyak yang lain.
Kraton Yogyakarta memang yang mempunyai banyak aspek untuk dibahas dan dikupas. Maka
dari itu, dalam kesempatan ini diuraikan permasalahan mengenai potensi dan masalah yang
muncul berkaitan dengan status Kraton Yogyakarta sebagai kawasan pusaka budaya. Selain itu
akan diuraikan usulan model pengelolaan Kraton Jogja sebagai objek wisata budaya.
D ari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan
2. Alun-alun utara
Alun-alun Lor (Utara) adalah sebuah lapangan berumput (aslinya berpasir) di bagian
utara Kraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh
tembok yang cukup tinggi. Sekarang tembok ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian
selatan. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Gambaran
yang relatif masih seperti aslinya ada di Alun-Alun Kidul (selatan) dimana dinding yang
mengelilingi masih dapat disaksikan secara utuh.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili
Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang
disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung. Kedua pohon ini diberi nama Kyai
Dewadaru dan Kyai Janadaru. Versi lain Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru. Pada
zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem (Chief of Adminstrative Officer) yang boleh
melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Pejabat rendah apalagi
rakyat tidak diperbolehkan melewatinya dan harus berjalan memutar. Tempat ini pula yang
dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" (harfiah=menjemur diri) saat
Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah.
Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus
oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada
aturan main yang telah ditetapkan. Pejabat istana (abdi-Dalem Kori) akan menerima mereka
untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang
duduk di Siti Hinggil. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII
ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dalem
bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil
yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit para Bupati dari daerah Mancanegara
Kesultanan. Bagunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah
lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang
terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara
dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg
serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng (rakyat dan pejabat
menghadap raja sebagai tanda kesetiaan mereka kepada raja dan kerajaan) dan sebagainya.
Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat
seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya
Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaran.
4. Kompleks Pagelaran
Bangunan utama adalah Tratag Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag
Rambat. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap
Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan
lain-lain disamping untuk upacara adat kraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi
jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk
menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sebelah timur dan barat
Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau
menunggu giliran melapor kepada beliau. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata
(semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit kraton dan lainya). Bangsal
Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan
oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief
perjuangan [Hamengkubuwono I|Sultan HB I]] dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah
digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.
6. Kamandhungan Lor
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding
selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo,
sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi selatan
gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan
di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan
sekaligus kompleks dalam Kraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat
kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Lor/utara sering disebut Keben karena di halamannya
ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang
berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu bangsal
ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati di mana Sultan sendiri
yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua
perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara
adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk
menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua
bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.
7. Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Lor dan
dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa.
Di sisi barat terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat
untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa
pusaka kraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk
penyelenggaraan even pariwisata kraton.
Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat
kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan
tempat ini menjadi balai pengadilan. Lokasi ini pernah digunakan untuk menempatkan
beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu sebelum 27 Mei 2006 saat bangsal ini runtuh
akibat gempa bumi yang hanya menyisakan bagian lantainya saja yang dapat kita saksikan
sekarang. Sedangkan si sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB
II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri
Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi T inggi Istana. Selain itu di halaman ini
terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan
bangunan lainnya.
8. Kedhaton
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Kraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan
dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya
dapat dibagi menjadi tiga bagian (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan
merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri
(para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-
putra Sultan. Di komplkes ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum,
terutama dari bangsal Kencana ke barat. Kompleks ini terletak di sisi selatan kompleks Sri
Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di
muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo
disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada
dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna.
9. Pelataran Kedhaton
Bangsal Kencana (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung
istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk
upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang
dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem
Ageng Prabayaksa (Proboyakso) yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu
ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka
Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Prabayaksa berdiri Gedhong Jene (The Yellow House)
sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang
didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh
Sultan HB IX tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi.
Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Kraton Kilen (harfiah=Istana Barat). Di sebelah
timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam kraton, Gedhong
Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung
ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan
ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan
untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro (bulan pertama dalam kalender Jawa).
Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak (tempat menunggu para penari untuk pentas
di bangsal Kencana), Bangsal Mandalasana (tempat abdi-Dalem Musikan memainkan ansambel
musik diatonis), Gedhong Patehan (tempat mempersiapkan minuman teh), Gedhong
Danartapura (kantor bendahara), Gedhong Siliran (tempat menyimpan lampu/lentera),
Gedhong Sarangbaya (tempat menyimpan peralatan makan dan minum), Gedhong Gangsa
(tempat memainkan orkestra gamelan), dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri
bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
11. Kamagangan
Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan
kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Gerbang ini begitu penting karena di
dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun
berdirinya Kraton Yogyakarta. Dalam bahasa jawa : "Dwi naga rasa tunggal" Artinya: Dwi=2,
naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang 1682. warna naga hijau, Hijau ialah symbol
dari pengharapan. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang
menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kamagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-
Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang.
Bangsal Magangan terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol
Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Kraton.
Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen
berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi
Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan
untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan
barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan
Magangan.
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks
Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan
gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan
timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan
oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.
A. Landasan Konseptual
Tak dapat dipungkiri wisata budaya memiliki ketertarikan tersendiri untuk dikunjungi
oleh wisatawan, hal ini disebabkan karena dalam diri manusia selalu ada dorongan untuk
mengetahui keunikan kebudayaan lain, seperti yang dikemukakan oleh Lester Borley bahwa
wisata budaya adalah aktifitas yang memungkinkan manusia menjelajahi atau mendapatkan
pengalaman yang berbeda dari jalan hidup orang lain yang menggambarkan adat, tradisi
keagamaan dan nilai-nilai intelektual mereka dari sebuah warisan budaya yang tidak lazim
(Borley dalam Nuryanti 1999). Dalam proses pengembangan sebuah warisan budaya untuk
dijadikan obyek wisata, diperlukan sebuah sistem manajemen dan dukungan dari semua pihak
agar nantinya hasil yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal. Proses tersebut meliputi
perencanaan, analisis lingkungan (keruangan), analisis potensi atau nilai penting benda cagar
budaya dan rekomendasi. Dalam kerangka inilah cutural resource management dapat
diterapkan.
Agar pengembangan pariwisata bisa berjalan efektif selain mengharapkan dukungan
pemda, juga diperlukan dukungan masyarakat secara luas dan pihak swasta. Dukungan
masyarakat terutama sangat diperlukan dalam menciptakan kondisi lingkungan yang aman dan
nyaman. Sehingga wisatawan merasa terlindungi dan tidak merasa terganggu. Sedangkan
dukungan swasta sangat diperlukan dalam penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang
juga dapat memberikan kepuasan kepada para wisatawan. Perkembangan pariwisata yang
cukup menguntungkan, diperkirakan akan semakin menarik minat investor untuk berinvestasi
di sektor pariwisata ini. Di sisi lain aspek kelestarian dari objek tinggalan budaya tersebut tetap
dapat dipertahankan sebagai warisan budaya masa lalu.
Dengan penerapan konsep cultural resource management yang tepat diharapkan
berdampak positif pada pengembangan pariwisata budaya di Kraton Yogyakarta yang tetap
berwawasan pelestarian. Adapun pengembangannya dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara yang kreatif dan inovatif, termasuk dalam hal ini pengemasan dan penataan kawasan
wisata budaya yang merupakan bagian dari perencanaan pariwisata budaya Kraton Yogyakarta
yang menjadi fokus dari tulisan ini. Penataan kawasan wisata budaya diharapkan memberi
jaminan keberhasilan pengembangan pariwisata daerah berbasis budaya dengan:
Langkah awal yang dapat dilakukan berupa identifikasi dan inventarisasi benda cagar
budaya yang terdapat di Kraton Yogyakarta, kemudian diplot dalam sebuah peta sebaran,
sehingga memudahkan saat melakukan zoning kawasan wisata budaya. Selain itu tahap
penilaian nilai penting untuk setiap objek budaya perlu dilakukan untuk mendapatkan
peringkat setiap benda cagar budaya tersebut sehingga memudahkan pada pemanfaatannya
nanti. Dalam tahapan ini kalangan arkeolog baik dari akademisi maupun institusi arkeologi
dapat dilibatkan oleh pemerintah daerah. Proses tentang pemberian nilai terhadap tinggalan
budaya inilah yang disebut sebagai penilaian atas makna budaya. Ada dua unsur yang penting
dan saling terkait dalam proses ini, yaitu penentuan unsur-unsur yang menjadikan tempat itu
penting serta nilai penting atau makna budaya itu sendiri di masyarakat.
Penataan kawasan wisata budaya ini tidak terlepas dari konsep perencanaan pariwisata
secara umum. Di era otonomi saat ini, daerah diberikan kewenangan untuk melakukan
perencanaan, pengembangan dan pengelolaan pariwisata di daerah. Proses dan mekanisme
pengambilan keputusan menjadi lebih sederhana dan cepat. Di samping itu peluang untuk
melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengembangan pariwisata menjadi lebih terbuka.
Kesempatan ini harus dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemerintah daerah, karena
sebenarnya ini merupakan modal besar untuk mempercepat proses pengembangan pariwisata
di Kraton Yogyakarta. Perencanaan kawasan wisata budaya Kraton Yogyakarta dalam hal ini,
baru difokuskan pada sebagian bangunan saja yaitu, Jeron Benteng, Plengkung, Mesjid Gedhe
Kraton, Pagelaran Kraton, Kamagangan, dan Siti Hinggil
Alur proses perencanaan kawasan wisata budaya secara skematis dapat dilihat pada
Gambar 1.
U
M
IDENTIFIKASI ANALISIS KEBIJAKAN
P SUMBERDAYA BUDAYA (Apa visi/misi stakeholder? Apakah
A (Atraksi, aksesibilitas, pasar, kebijakan lintas sektoral bersifat
N dampak, promosi, akomodasi, komplementer)
kelembagaan)
B
A
L
I REKOMENDASI PENENTUAN PRIORITAS DAN
K (Konservasi, atraksi, aksesibilitas, STRATEGI PELAKSANAAN
pasar, dampak, promosi, (Produk, Pasar, Promosi
akomodasi, kelembagaan)
Berdasarkan alur di atas, perencanaan kawasan wisata budaya di Kraton Yogyakarta secara
teknis dapat dijabarkan sesuai dengan tahapan yang ada. Di tahap pertama, landasan filosofis
menjadi ruh dari penataan kawasan wisata budaya ini yang diharapkan dapat menjadi sarana
untuk peningkatan kesejahtaraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi sumberdaya
budaya yang berkorelasi positif dengan upaya pelestarian sumberdaya budaya. Adapun,
tujuannya secara kongkrit misalnya diarahkan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan
dengan cara mendiversifikasi atraksi dan optimalisasi pemanfaatan wilayah sebagai zona wisata
budaya Kraton Yogyakarta guna meningkatkan pendapatan masyarakat dengan tetap
mempertahankan kelestarian benda cagar budaya dan daya dukung lingkungan. Tujuan
tersebut bukan sesuatu yang mutlak, jadi bisa disesuaikan dengan kebutuhan.
Selain itu, pada tahapan pengembangan perlu kiranya untuk menghidupkan kembali ruh
objek daya tarik wisata, yaitu dengan menerapkan konsep manajemen pemanfaatan tinggalan
budaya menjadi objek daya tarik wisata. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mewujudkan konsep tersebut adalah sebagai berikut:
1. Atraktif, kegiatan ini bertujuan menjadikan objek budaya menjadi sesuatu yang menarik
sehingga mampu mendatangkan keuntungan melalui pendapatan yang akan digunakan untuk
operasional dan perawatan obyek warisan budaya itu sendiri.
2. Detraktif, kegiatan yang dapat dimaknai ganda yang mengandung pengertian positif dan
negatif. Dalam pengertian positif tindakan detraktif dilakukan untuk meminimalkan resiko dan
kemungkinan-kemungkinan negatif pada objek yang akan dikembangkan. Sedangkan dalam
pengertian negatif, detraktif adalah upaya mengurangi dan menghilangkan suatu daya tarik dan
bentuk fisik bangunan warisan budaya dan kondisi sekitarnya.
3. Edukatif dan informatif, kedua hal ini dapat memotivasi para wisatawan untuk berkunjung
tidak hanya diberikan paket keindahan warisan budaya, tetapi sekaligus dapat belajar dan
mengembangkan wawasannya. Hal ini senada dengan pendapat Cleree yang memasukkan
aspek edukatif pada prinsip pelestarian.
4. Menghibur (entertaining), suasana menghibur dan menyenangkan mampu memberikan
suasana/atmosfir yang gembira. Suasana tersebut menimbulkan kesan mendalam sehingga
wisatawan berkeinginan kembali untuk mengunjungi objek wisata budaya.
5. Komersil, hal ini dapat dilakukan tetapi harus diperhatikan pemanfaatannya agar tidak
berlebihan. Nilai-nilai komersil dapat mendukung sebagai daya tarik wisata, sehingga
pengalaman yang diperoleh sesuai dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan.
6. Memiliki manfaat terhadap lingkungan setempat, selain mafaat nilai komersil juga mampu
memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitarnya (Wiendu Nuryanti, 2007).
Ketika konsep tersebut menjadi landasan dari pengembangan wisata, maka dalam
tahapan selanjutnya, diperlukan analisis kebijakan untuk memperkuat rumusan tujuan yang
telah ada. Visi dan misi dari stakeholder, baik itu pemerintah, masyarakat maupun kalangan
peneliti dan para wisatawan, dijabarkan dengan jelas. Selain itu aspek regulasi, baik kebijakan
pemarintahan maupun perundang-undangan yang terkait setidaknya dikaji lebih mendalam
agar penerapannya di lapangan dapat berjalan dengan maksimal. Adapun dalam tahapan
identifikasi sumberdaya budaya, inventarisasi tinggalan budaya difokuskan pada bangunan-
bangunan Kraton Yogyakarta, atrakasi budaya penunjang, aksesibilitas, pasar, dampak,
promosi, akomodasi, dan kelembagaan.
Dari kegiatan itulah diharapkan muncul rekomendasi yang tepat untuk setiap aspek
yang berdampak pada perencanaan penataan kawasan wisata budaya yang lebih terencana.
Perencanaan yang matang dan sistematis tersebut dapat memudahkan kita untuk menentukan
prioritas dan strategi pelaksanaan yang tepat, terutama berkaitan dengan produk, pasar dan
promosi untuk wisata budaya Kraton Yogyakarta. Berkaitan dengan strategi ini, pengemasan
produk wisata budaya sangat berperan penting dalam menunjang keberhasilan promosi. Disisi
lain yang cukup menggembirakan adalah, Kraton Yogyakarta sudah cukup dikenal di dunia.
Seperti yang terlihat pada hasil penelusuran di search engine di internet yaitu :
Di Google :
Urutan 1 - 10 dari sekitar 525,000 hasil telusur untuk kraton Yogyakarta. (0.23 detik)
Urutan 1 - 10 dari sekitar 99,600 hasil telusur untuk Kraton Ngayogyakarta. (0.39 detik)
Urutan 1 - 10 dari sekitar 392,000 hasil telusur untuk Kraton yogyakarta. (0.29 detik)
(sumber www.google.com diakses 13 Janurai 2009)
Di yahoo:
1 - 10 of 368,000 for Kraton yogyakarta (About) - 0.25 s
1 - 10 of 257,000 for kraton yogyakarta (About) - 0.34 s
1 - 10 of 93,200 for Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (About) - 0.36 s
(sumber www.yahoo.com diakses 13 Janurai 2009)
1. Jeron Beteng1
Kawasan di dalam lingkungan benteng, biasa disebut Jeron Beteng, merupakan situs
pusaka budaya utama di Kota Yogyakarta. Selain Kraton sebagai situs terpenting, di kawasan ini
juga berdiri sisa bangunan Pesanggrahan Tamansari, sebuah bangunan indah dengan konsep
istana diatas air. Disini juga terdapat pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan
bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya dua setengah
abad yang lalu. Meski tidak semuanya utuh sebagaimana adanya semula, kawasan Jeron
Benteng menjadi ciri paling spesifik keberadaan Kota Yogyakarta, sebagai salah satu bekas kota
kerajaan yang paling utuh dan lestari di Indonesia. Inilah monumen terpenting usia dua
setengah abad Kota Yogyakarta, sejak didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1756
Masehi.
Jeron beteng –yang dalam bahasa Indonesia berarti “dalam benteng”—adalah sebutan
untuk kawasan seluas 139 ha yang berada di selingkar dalam tembok benteng Kraton
Yogyakarta. Secara administratif Jeron Beteng termasuk dalam wilayah kecamatan Kraton, yang
terbagi atas tiga kalurahan—Kadipaten, Panembahan dan Patehan– dengan jumlah penduduk
sekitar 30.000 jiwa. Kawasan yang menjadi cikal-tumbuhnya kota Jogja 250 tahun lalu ini
menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa. Wisatawan bisa menyaksikan sejumlah Dalem
(rumah pangeran) yang telah berusia ratusan tahun namun masih terpelihara dengan apik,
perkampungan tradisional dengan tata ruang dan arsitektur yang khas, pohon-pohon langka
dan menyimpan makna, serta aneka pernik aktivitas budaya tradisional yang bersisian akrab
dengan budaya kontemporer.
Jeron Beteng adalah titik mula kota Yogyakarta, di mana kawasan ini pada awalnya
adalah lingkungan Kutaraja (kompleks tempat tinggal raja) Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pada tanggal 7 Oktober 1756 rombongan Pangeran mangkubumi (kemudian
bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I) meninggalkan peanggrahan Ambar Ketawang
(ditinggali sejak 9 Oktober 1755) menuju Kraton Yogyakarta. Lokasi Kraton berawal dari sebuah
perkampungan kecil bernama Umbul Pacethokan yang terletak di tengah belantara Beringan.
1
Disajikan oleh Nurachman Irianto (PSA/1820)
Pada masa Pakubuwono II, raja Mataram yang saat itu berkedudukan di Kartasura, Umbul
Pacethokan dikembangkan menjadi pesanggrahan Gardjitowati yang dipergunakan sebagai
tempat singgah keluarga Mataram yang hendak berziarah dan tempat bersemayam jenazah
keluarga kerajaan sebelum dimakamkan di Imogiri atau Kotagede. Kawasan ini diapit dua aliran
sungai, Sungai Winongo di sisi barat dan Code di sebelah timur, berupa dataran subur dengan
kemiringan moderat ke arah selatan. Pada sisi utara menjulang gunung Merapi setinggi 2900 m
dan di ujung selatan terbentang Samudra Indonesia, sebuah kombinasi pertahanan alamiah
yang unik.
Wilayah ini dikembangkan berdasar kesepakatan Giyanti (1755) yang difasilitasi
Gubernur Jendral Nicholaas Hartingh dan membagi wilayah Mataram menjadi dua. Wilayah
timur menjadi Kasunanan Surakarta dan separuh bagian barat menjadi wilayah Kasultanan
Yogyakarta. Sebagai kompensasinya, kedua wilayah harus mengakui kekuasaan VOC yang
ditandai dengan penempatan dua garnisun pasukan VOC di wilayah kedua kerajaan dan
pelimpahan wewenang tertentu di tangan pejabat pemerintah kolonial atau residen.
Kompleks kerajaan tersebut dibangun secara bertahap. Tata bangun Kesultanan
Yogyakarta mengacu pada filosofi Catur Gatra Tunggal, yakni kemanunggalan empat elemen
kerajaan : Kraton, masjid, alun-alun dan pasar. Pada tahap awal dibangun kompleks tempat
tinggal Sultan ini dilengkapi 18 buah taman dan sejumlah kolam pemandian. Pada tahun 1785
dibangun benteng di sekeliling kompleks pemukiman raja dengan rentang lk 1 km di setiap
sisinya. Benteng yang disebut sebagai Baluwarti ini dibangun seiring menguatnya kedudukan
pasukan VOC dan pembangunan benteng Rustenburg (kini Vredeburg) yang dimulai 1765-1787.
Di bawah pengawasan Sultan HB II, benteng diperkuat dengan menambah ketebalan dinding
menjadi 4 meter. Pada bagian sudut benteng (dikenal sebagai Pojok Benteng) ketebalan
tembok bisa mencapai 6-8 meter yang dilengkapi meriam dan lubang pengawasan.
Sebagian besar kompleks bangunan di Kraton kemudian runtuh akibat gempa besar 10
Juni 1867. Benteng yang dibangun atas prakarsa Adipati Anom di tahun 1785 sebagai reaksi
atas pembangunan Benteng Vredeburg oleh Belanda (1765-1787). Benteng Baluwerti memiliki
5 gerbang bertutup (plengkung) sebagai akses keluar masuk kawasan, yaitu Plengkung
Tarunosuro, Nirboyo, Madyasuro atau Tambakboyo, Jogoboyo dan Jogosuro. Menurut catatan
K.R.T. Partahdiningrat, tiga plengkung terakhir diruntuhkan menjadi gapura terbuka pada
tanggal 23 Juli 1812 atau tepat satu bulan sesudah “geger Spei”. Saat itu tentara Inggris
pimpinan Jendral Gillespie menyerbu dan menguasai Kraton Yogyakarta selama beberapa
waktu dan menimbulkan kerusakan parah pada plengkung Madyasuro yang kemudian sempat
ditutup sehingga disebut plengkung Buntet.
Pada 1878 kawasan Jeron Beteng telah dipadati penduduk tak kurang dari 15.000 jiwa.
Sebagai perbandingan pada tahun yang sama penduduk kota Yogyakarta secara keseluruhan
baru 57.000 orang termasuk 600 orang Eropa dan sekitar 1000 bangsa Cina. Sebagian besar
penghuni Jeron Beteng saat itu adalah kerabat Sultan dan para pegawai istana yang terdiri atas
abdi dalem, prajurit dan punggawa. Abdi dalem yang melayani kebutuhan harian Kraton
bermukim dalam blok-blok pemukiman berdasar jajaran tugas atau profesi masing-masing,
semisal abdi dalem yang mengurusi masalah penerangan di Kraton (abdi dalem silir) tinggal di
blok pemukiman yang kemudian dikenal sebagai Siliran dan abdi yang mengurusi perlengkapan
kuda istana (gamel) tinggal di Gamelan.
a. Wajah Fisik
Secara fisik, Jeron Beteng masa kini seakan bergerak meninggalkan karakter dasarnya.
Pemukiman bernuansa tradisional hampir tak tersisa digantikan bangunan berarsitektur baru,
kecuali bangunan-bangunan milik Kraton, beberapa dalem milik keluarga istana dan sejumlah
rumah milik warga. Bangunan-bangunan hunian bertumbuhan memenuhi ruang-ruang kosong,
termasuk di sela reruntuhan Tamansari. Pemukim baru kebanyakan berasal dari luar kawasan
Jeron Beteng yang berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya. Masyarakat yang
semakin heterogen ini, selain memperkaya struktur sosial budaya kawasan ini, tidak bisa tidak
membawa penyikkapan dan konfigurasi sosial baru di Jeron Beteng. Dari penampakan fisik
kawasan tercermin karakter masyarakat Jeron Beteng masa kini yang cenderung tidak
mengabaikan konvensi budaya yang berlaku semisal tidak diperbolehkan mendirikan bangunan
melebihi atap Kraton (7 meter).
b. Kampung
Tata pemukiman menjadi salah satu karakteristik khas kawasan Jeron Beteng. Nama-nama
kampung di kawasan ini merekam sejarah tata mukim masa lalu yang berdasar pada profesi,
strata sosial dan tapak peninggalan.
Berdasar Dalem Pangeran
Wijilan : kampung sekitar Dalem Pangeran Wijil
Kadipaten : kampung sekitar Dalem Adipati (Pangeran Mangkubumi, Pangeran Purbaya,
Purwadiningratan)
Suryamentaraman : kampung sekitar Dalem Pangeran Suryamentaram
Suryaputran : kampung sekitar Dalem Pangeran Suryaputra
Ngadisuryan : kampung sekitar Dalem Pangeran Hadisurya
Berdasarkan keahlian
Musikanan : pemukiman abdi dalem musisi
Kemitbumen : pemukiman abdi dalem penyapu halaman
Bludiran : pemukiman abdi dalem tukang sulam/bludir
Pandean : pemukiman abdi dalem pandai besi
Sekullanggen : pemukiman abdi dalem penanak nasi
Mantrigawen : pemukiman abdi dalem kepala pegawai
Keparakan : pemukiman abdi dalem penjaga
Pesindenan : pemukiman abdi dalem sinden
Siliran : pemukiman abdi dalem tukang menyalakan lampu
Namburan : pemukiman abdi dalem penabuh tambur
Gamelan : pemukiman abdi dalem perawat kuda
Ngrambutan : pemukiman abdi dalempenata rambut
Kriyan : pemukiman abdi dalem tukang kayu
Gebulen : pemukiman abdi dalem yang menyiapkan api
Sraten : pemukiman abdi dalem perawat binatang
Penandoan : pemukiman abdi dalem pengurus air
Patehan : pemukiman abdi dalem pengurus minuman
Polowijan : pemukiman abdi dalem dengan kekurangan fisik
Nagan : pemukiman abdi dalem niyaga/penabuh gamelan
Suranatan : pemukiman abdi dalem kiai/ulama
E. Pengembangan Pemanfaatan
Dalam upaya pengembangan objek wisata budaya, salah satu aspek penting yang perlu
mendapat perhatian, adalah visi pelestarian tinggalan budaya. Konsep pelestarian
pengembangan dalam rangka pemanfaatan tinggalan budaya, perlu dicermati mengingat
kelestarian tinggalan budaya, menjadi bagian penting pemanfaatan jangka panjang objek
wisata tersebut. Dalam kondisi itu, konsep pelestarian berwawasan pengembangan dan
pengembangan objek wisata yang berwawasan pelestarian tinggalan budaya sangat
dibutuhkan. Pelestarian, dalam konteks ini adalah upaya pengelolaan, perlindungan,
pemeliharaan, pemanfaatan dan pengawasan pengendalian, untuk menjaga kesinambungan,
keserasian dan daya dukung sebagai bagian dari perjalanan peradaban bangsa. Pelestarian
diharapkan mampu menjadi indikator penguatan jatidiri bangsa, dalam rangka membangun
bangsa yang lebih berkualitas. Untuk mencapai itu ada tiga aspek pokok yang jadi prioritas,
yakni pelestarian tinggalan budaya, pengembangan lingkungan dan masyarakatnya sebagai
objek wisata terpadu. Korelasi dan keterpaduan ketiga aspek tersebut diharapkan nantinya
menjadikan kawasan ini sebagai tujuan wisata terpadu yang handal dan berkelanjutan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, acuan dasar dalam penanganannya, harus
mempertimbangan berbagai aturan dan kepentingan. Acuan yang dimaksud adalah, Undang-
Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan peraturan turunannya, peraturan
kepariwisataan dan peraturan daerah sebagai acuan terdepan dalam pengelolaan dan
penanganannya, Undang-Undang Lingkungan Hidup dan lain-lain. Hal itu dimaksudkan agar,
segala aspeknya dapat dipertimbangkan, termasuk pelibatan masyarakatnya.
2. Pagelaran2
a. Gambaran Umum
Bangunan ini termasuk kedalam halaman alun-alun lor (utara). Salah satu bangunan
utama yang ada adalah Bangsal Pagelaran serta dua Bangsal Pengapit atau Pasewakan di timur
dan barat serta sebuah bangsal di tenggara. Dahulu tempat ini disebut dengan Tratag Rambat.
Merupakan tiga buah bangunan dalam satu lantai yang berdenah huruf U terbalik. Bangunan
tersebut pada bagian depan membujur dari barat ke timur dan diapit oleh dua buah bangunan
lain di kanan dan kirinya yang membujur dari utara ke selatan. Ketiga bangunan berbentuk
limasan klabang nyander, yaitu bangunan dengan atap limasan yang disangga oleh beberapa
tiang berderet. Bangunan di sebelah utara atau bagian depan mempunyai atap limasan
bersusun dua, membujur dari barat ke timur dengan dua buah tonjolan ke utara dan selatan
yang memakai tutup keong di tengahnya. Bangunan berdenah segi empat dengan panjang 45
meter dan lebar 20 meter, atapnya disangga oleh beberapa tiang berderet dari barat ke timur.
Bangunan pengapit di sebelah kanan dan kiri masing-masing juga mempunyai atap
limasan tetapi tidak bertingkat. Bangunan ini disangga oleh beberapa tiang yang membujur
dari utara ke selatan yang berdiri di atas lantai segi empat berukuran panjang 27 meter dan
lebar 17 meter. Ketiga bangunan pagelaran merupakan bangunan terbuka tanpa dinding
penutup dengan keseluruhan jumlah tiang 56 buah yang terbuat dari semen cor.
Pada bangunan bagian depan terdapat dua buah gapura, yang terletak pada bagian
depan dan belakang. Pada bidang gapura bagian depan terdapat sengkalan memet, berupa
enam ekor lebah dan seekor biawak yang dibaca Panca Gana Salira Tunggal. Dalam bahasa
Jawa sengkalan ini berarti panca (5), gana (6), salira (8), tunggal (1) atau tahun 1865 Jawa,
tahun ini menunjukan pemugaran tratag pagelaran. Pada bidang gapura bagian belakang
terdapat sengkalan memet tahun masehi berupa sekuntum bunga dan empat buah trisula
berbunyi Catur Trisula Kembang Lata menunjukan angka tahun 1934 M. Pemugaran kedua ini
dilaksanakan pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII (Pratiwi, D., 2006).
2
Disajikan oleh Ari Swastikawati
b. Makna simbolik Pagelaran
Pagelaran berasal dari kata pagel, pagol yang berarti batas, sehingga pagelaran
memiliki arti tidak ada perbedaan antara orang satu dengan lainnya, baik laki-laki maupun
perempuan. Kata pagelaran juga dapat berasal dari kata gelar yang berarti dibuka maka kata
ini lebih diarahkan bahwa pagelaran menunjukan unsur-unsur keterbukaan yang segala
sesuatunya tidak perlu disembunyikan. Makna pagelaran sebagai bentuk kesamaan kedudukan
dan derajat di dalam kraton Yogyakarta antara lain ditunjukan dengan digunakannya bahasa
Bagongan, yaitu bahasa krama inggil yang sudah mengalami perubahan (Khairudin, 1995).
Ketiga bangunan pagelaran berbentuk limasan klabang nyander, yaitu bangunan
dengan atap limasan yang disangga oleh beberapa tiang berderet. Menurut Pantja Sunjata
(1995: 225-226), klabang adalah nama binatang yang berbisa (racun) sangat ampuh, sedang
nyander berarti mengejar. Bisa melambangkan orang yang tak tahu benar salah dan tidak
mematuhi tata tertib, nyander dimaksudkan sebagai dikejar orang banyak atau petugas hukum.
Sehingga makna dari bentuk bangunan ini adalah untuk mengingatkan manusia bahwa orang
yang tidak mematuhi tata tertib kerajaan pasti akan dikejar oleh orang banyak atau petugas
hukum dan yang bermasalah akan mendapat hukuman. Selain itu bentuk bangunan pagelaran
juga lowahan lambang gantung. Lowahan lambang gantung memiliki makna bahwa manusia
tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa, manusia hanya sekedar melaksanakan dan
berusaha. Pertemuan sultan dengan dengan para bangsawan dan pejabat di pagelaran
merupakan gambaran kedudukanya sebagai wakil Allah di dunia, Sultan berfungsi sebagai
penghubung dan penerima langsung dari Allah
c. Fungsi Pagelaran
Pagelaran berfungsi sebagai tempat patih beserta bawahannya menghadap sultan,
tempat mewisuda patih baru dan tempat upacara kerajaan lainnya (Pratiwi, 2006). Pagelaran
sebenarnya merupakan tempat pertemuan utama Kraton yang lebih bersifat umum, digunakan
oleh bangsawan daerah dan pejabat Kraton lainnya yang tidak dapat mengikuti upacara di Siti
Inggil pada hari Grebeg dan acara kenegaraan lainya. Pada acara Grebeg ini khususnya Grebeg
Maulud para bangsawan daerah harus hadir untuk membayar pajak dan sewa tanah,
ketidakhadiran mereka dianggap sebagai suatu penghianatan.
Sekarang selain sebagai tempat upacara seremonial Kraton tempat ini juga menjadi
pusat kegiatan seni dan budaya serta even-even pariwisata. Salah satu yang fenomenal adalah
digunakan sebagai tempat Pisowanan Agung rakyat Jogja menghadap Sultan ketika Sultan tidak
bersedia lagi dicalonkan lagi menjadi calon gubernur untuk periode selanjutnya.
d. Rencana Pengembangan
Dalam proses pengembangan sebuah warisan budaya untuk dijadikan obyek wisata,
diperlukan sebuah sistem manajemen dan dukungan dari semua pihak agar nantinya hasil yang
diharapkan dapat dicapai secara maksimal. Proses tersebut meliputi perencanaan, analisis
lingkungan (keruangan), analisis potensi atau nilai penting benda cagar budaya dan
rekomendasi.
Menurut McGimsey, munculnya gerakan manajemen terhadap benda cagar budaya
dilatarbelakangi adanya permasalahan benturan antar kepentingan, keterbatasan dana,
kekurangan tenaga ahli, belum undang-undang perlindungan benda cagar budaya dan masih
rendahnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya budaya.
(McGimsey, 1977; 27). Untuk itu dalam melakukan perencanaan terhadap sebuah sumberdaya
budaya untuk dikembangkan mejadi obyek wisata, seseorang harus mampu bertindak sebagai
seorang manajer. Secara umum seorang manajer harus memiliki dan menguasai kemampuan-
kemampuan seperti perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan, dan
pengawasan.
Sumberdaya budaya yang berupa sumberdaya arkeologi dapat dibedakan menjadi
bergerak dan tidak bergerak. Sumberdaya arkeologi tidak bergerak dibedakan menjadi dua;
Pertama, monumen mati (death monument), yaitu banguan yang sejak ditemukan hingga saat
ini tidak difungsikan sebagaimana fungsi semula, contoh bangunan candi atau bangunan
megalitik. Kedua, monumen hidup (living monument) adalah monumen yang masih
dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk kraton dan bangunan pagelaran yang masih
digunakan sampai sekarang.
Namun sebelum melakukan pengembangan terhadap sebuah sumberdaya budaya
untuk dijadikan obyek wisata, terlebih dahulu mengetahui nilai penting yang dikandung oleh
sumberdaya tersebut agar nantinya nilai penting tersbut mempunyai nila “jual” dan dapat
dipersaingkan dengan obyek lain. Menurut Pearson dan Sullivan penilaian arti penting
sumberdaya budaya meliputi nilai kesejarahan, ilmu pengetahuan, kejamakan, hubungan
dengan sosial masyarakat, nilai estetis dan nilai arsitektural (Pearson dan Sullivan, 1995; 133-
168). Pada kesempatan ini, diajukan rencana pengembangan pagelaran sebagai obyek wisata
serta kegiatan-kegiatan pendukung lainnya, dimana nantinya diharapkan pagelaran dapat
menjadi obyek yang “hidup” dengan kegiatan-kegiatan kepariwisataan di Kraton Yogyakarta
tanpa menghilangkan nilai-nilai arkeologis dan budaya yang ada pada obyek ini.
Pada dasarnya pembangunan kepariwisataan di suatu wilayah, dapat dilakukan secara
makro, meso maupun mikro (Nuryanti, 1995; 15). Untuk itu pada kawasan pagelaran, secara
mikro ditawarkan konsep pengembangan sebagai obyek wisata. Tawaran konsep ini selalu
terbuka untuk diterapkan, sebab sebuah sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan beberapa
faktor kepentingan diantaranya; Education, benda cagar budaya merupakan obyek yang
memiliki peranan penting dalam pendidikan bagi anak-anak dan remaja, khususnya untuk
menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsanya yang selanjutnya akan menimbulkan
rasa cinta terhadap bangsa dan tanah airnya; Recreation and Tourism, benda cagar budaya
dapat dijadikan sebagai obyek rekreasi dan hiburan; Money and Economic Gain, keberadaan
Benda Cagar Budaya di suatu daerah akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat
setempat. Masyarakat setempat dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan
seperti penjualan buku-buku informasi tentang benda cagar budaya tersebut, menjadi
pemandu wisata, membuat souvenir dan kegiatan lainnya (Darvill, 1995 : 40-45).
Dalam prakteknya nanti sebagai obyek wisata, terlebih dahulu diperlukan sebuah
bentuk pengamanan terhadap situs, agar dalam pemanfaatannya nanti keaslian situs dapat
dipertahankan. Menurut Pearson, untuk mempertahankan aspek keaslian sumberdaya budaya
diperlukan perlindungan sumberdaya budaya secara khusus. Perlakuan khusus terhadap
sumberdaya budaya prioritas pertama dilakukan dengan menerapkan sistem pemintakatan atau
zoning situs (Pearson, 1995; 221).
Pada prinsipnya, konsep ini merupakan konsep yang ideal diterapkan dengan tujuan
melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan
lain yang terjadi di sekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zoning merupakan
suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa
datang (Callcott, 1989:38). Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di
tekankan pada pengaturan dan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis
kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam zoning arkeologi tujuan utamanya
adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang
dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zoning arkeologi yang dimaksud
dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang
dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya,
yaitu masing-masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar
dapat dipertahankan kelestariannya.
3
Disajikan oleh Syukronedi
masyarakat pendukungnya secara konsentris berorientasi kepada keberadaan Kraton. Sarana
dan prasarana yang ada antara satu dengan lainnya secara inheren mempunyai konfigurasi
fungsi, serta mengekspresikan nilai-nilai seni, etik estetik, simbolis, filosofis, religius, dan lain-
lain. Fungsi dan nilai-nilai tersebut pada dasarnya untuk mendukung kelembagaan norma atau
pranata-pranata sosial kasultanan.
Pada dasarnya suatu lingkungan binaaan secara arsitektural dibuat untuk memenuhi
berbagai macam kebutuhan, baik untuk berusaha, aktivitas sosial, budaya, maupun religius.
Untuk memenuhi kebutuhan religius dan sosial budaya tersebut, maka pendirian mesjid dan
lembaga-lembaga keagamaannya merupakan urgensi yang diutamakan. Oleh karena itu, secara
fisik dalam tata rakit pembangunan Kraton ( untuk menjalankan pemerintahan) juga dilengkapi
dengan tempat ibadah, yaitu Mesjid Gedhe Kasultanan Ngayogyakarta yang terletak di sebelah
barat Alun-alun utara dan di wilayah negorogung (masjid pathok negoro). Secara simbolis hal
itu merupakan langkah transendensi untuk menunjukkan keberadaan sultan, yaitu disamping
sebagai pimpinan perang atau penguasa pemerintahan (senopati ing ngalogo) juga sebagai
sayidin panotogomo khalifatulah ( wakil Allah) di dunia di dalam memimpin agama
(panotogomo) di kasultanan.
Mesjid Gedhe Kraton Yogyakarta dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I,
sebagai penghulu pertama, yaitu Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat, sebagai arsiteknya yaitu K.
Wiryokusumo. Secara arsitektural Mesjid Gedhe Kraton mempunyai ciri-ciri atau tipe yang
sama dengan mesjid-mesjid kerajaan, baik Mesjid Demak, Mataram Islam (Kotagede), maupun
Kasunanan Surakarta. Ciri-ciri unik Mesjid Gedhe tersebut, yaitu bentuk tajug menggunakan
mustoko, atap tumpang di sekeliling (utara – timur – selatan) mesjid terdapat kolam, di
halaman (di luar pagar) terdapat pohon sawo kecik, sisi utara dan selatan terdapat pagongan
Gamelan Sekaten, serta di depan ada gapura berbentuk limasan semar tinandhu. Dilihat dari
struktur atau tata rakit bangunan serta nilai-nilai sosio-kulturalnya mempunyai makna
akulturatif antara unsur lama dan baru.
Mesjid Gedhe Kraton sebagai mesjid Jami’ kerajaan mempunyai fungsi utama tempat
beribadah, upacara ritual, syiar agama, dan satu penegakan tata hukum kerajaan. Pagongan
Gamelan Sekaten di halaman mesjid – halaman sisi utara Gamelan Kiai. Nogowiligo dan selatan
Kiai. Gunturmadu – berkaitan erat dengan fungsi mesjid untuk upacara ritual kerajaan dan syiar
agama, yaitu dengan mengadakan acara sekaten (syahadataini) pada saat bulan Maulud atau
peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perlu diketahui, bahwa perpaduan unsur seni
budaya untuk dakwah tersebut sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Demak pada abad ke
16 dan terus berlanjut sampai dengan Kerajaan Mataram di bagi 2 atau palihan nagari.
Berkaitan dengan penegakan hukum, dimanifestasikan pada pelaksanaan Pengadilan Surambi –
mengurusi perdata, perkawinan dan warisan yang dilaksanakan oleh seorang penghulu dan 4
orang pathok nagaro.
Visi, misi, dan tata fisiknya kemudian menjadi model bagi mesjid-mesjid pathok nagoro
yang secara konsentris tersebar di wilayah negorogung, walaupun bentuknya lebih sederhana.
Arsitektur mesjid dan lingkungannya mempunyai makna filosofis-religius, yaitu
mengekspresikan ajaran yang inheren dengan nilai-nilai kultural, keimanan, serta nilai-nilai
Islam. Dengan demikian, setiap orang yang memasuki mesjid dapat mengerti dan memahami
nilai-nilai yang ada, antara lain :
• Ajaran kebaikan atau kebecikan, yaitu makna simbolis pohon sawo kecik (fungsi
praktisnya sebagai perindang.
• Kedalaman iman dan kebersihan hati, yaitu makna simbolis kolam (fungsi praktisnya
untuk wudlu.
• Atap tumpang (meru) dan mustoko melambangkan proses atau tahapan perjalanan
hidup manusia pada akhirnya bermuara untuk bersujud kepada yang Maha Tinggi dan
hiasan buah waloh mempunyai arti (nama) Alloh.
d. Kesimpulan
1. Keberadaan Mesjid Gedhe tidak dapat dipisahkan dengan Kraton Yogyakarta, hal itu
mengingat pendiriannya merupakan satu rangkaian konsep keberadaan sultan yang
bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah.
2. Dilihat dari latar belakang pendirian, konteks zaman, dan struktur bangunannya Mesjid
Gedhe mempunyai nilai penting yang tinggi, apabila ditinjau dari segi sejarah, arkeologi,
pengembangan ilmu pengetahuan, arsitektural, dan kebudayaan. Nilai penting dan potensi-
potensi yang ada dapat diaktualisasikan dan dikembangkan untuk kepentingan agama,
sosial, ekonomi dan pariwisata.
3. Mesjiid Gedhe Kraton merupakan bangunan tinggalan living monument sejak berdiri
sampai sekarang telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Hal itu
disebabkan oleh kerusakan maupun untuk pengembangan sarana-prasarananya.
4. Mesjid Gedhe Kraton dapat dikembangkan menjadi objek wisata minat khusus religi dan
pendidikan dengan konsep pelestarian berbasis masyarakat sekitar.
4. Plengkung4
a. Prolog
Plengkung merupakan bangunan melengkung yang berfungsi sebagai gapura atau pintu
gerbang yang memisahkan kompleks Kraton dengan dunia luar. Sampai saat ini di Yogyakarta
cuma dikenal ada 4 (empat) plengkung atau gapura dengan plafon yang melengkung indah
sehingga diberi nama tersendiri. Padahal awalnya terdapat 5 (lima) buah plengkung, sayang
sejalan dengan waktu, sebuah plengkung dibuntukan yaitu plengkung Suryomentaraman pada
23 Juli 1812. Menurut buku yang ditulis oleh KRT Partahadiningrat, penutupan plengkung ke-
lima ini dibuat syair “mijil” yang menyatakan “plengkung lima, mung papat mengane“- artinya,
ada lima gapura melengkung tetapi hanya empat yang terbuka.
Sejak Sultan Hamengku Buwono II plengkung ini dijaga prajurit-prajurit kraton, bahkan
ada kanon di atas plengkung yang di fungsikan ketika ada penyerangan tentara Inggris tahun
1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai
Geger Sepoy atau Geger Spei. Pada jamanya, plengkung-plengkung ini ditutup setelah jam 20:00
dengan upacara khusus, dan dibuka kembali tepat jam 05:00 diiringi barisan korps pemusik.
Lagu pengiring penutup pintu plengkung namanya Lagu Sumedhang dan lagu pembukaannya
pintu plengkung adalah adalah Lagu Clunthang. Selepas jam 20.00 tidak ada orang masuk atau
keluar beteng. Instruksi penutupan ini datang dari Kagungan Dalem Pancaosan di Bangsal
Kamagangan, jadi memang sudah ada Undang-undangnya. Selain kedua lagu itu terdapat lagu
ke tiga yang dikumandangkan pada jam 18:00, yang bernama Kinjeng Trung yang isyarat agar
pintu Kraton harus sudah tertutup rapat. Adapun pintu-pintu kraton diberi nama seperti
Magangan, Danapertapa, Srimanganti dan Brajanala. Ketika Nippong masuk, upacara-upacara
yang indah dan anggun ini distop sampai waktu yang sampai sekarang.
Lantas bagaimana dengan orang yang rada mbalelo, kemudian ingin masuk “beteng”
jika pintu sudah tertutup?. Tak soal bagi penduduk “njeron beteng” tinggal bilang “Lapuuur
(lapor), mau keluar beteng” - sementara tamu dari luar tinggal ketuk pintunya serta
4
Disajikan oleh Yadi Mulyadi (PSA/1919)
mengatakan maksud dan tujuannya. Biasanya yang sudah paham akan ada uang “smeer”
sebesar satu benggol sebagai uang lelah membuka pintu di luar jam kerja.
Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur,
sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya
masih utuh. Kata tarunasura berasal dari dua unsur kata, yakni taruna 'muda, pemuda' dan sura
'berani, pemberani'. Nama Tarunasura berarti pemuda yang berani. Plengkung Jagasura atau
Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan
Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar. Kata
jagasura berasal dari dua unsur kata yakni jaga 'menjaga' dan sura 'berani'. Dengan
demikian,Plengkung Jagasura memiliki arti sebagai pintu gerbang (tempat keluar masuk)
kompleks kraton yang melambangkan rasa keberanian.
Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari. Saat ini,
Plengkung Jagabaya ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Kata plengkung berarti
pintu gerbang kota. Sedang kata jagabaya berasal dari dua usnsur kata jaga 'menjaga' dan baya
'bahaya'. Secara keseluruhan kata jagabaya berarti menjaga marabahaya. Di sisi sebelah timur,
dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung
Gondomanan, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama
Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun
1812. Kata tambakbaya berasal dari dua unsur kata yakni tambak 'segala sesuatu yang dijadikan
penghalang air' dan baya 'bahaya'. Nama Tambakbaya tersebut dimaksudkan sebagai
penghalang marabahaya.
Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan masih berdiri
utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat
menuju makam para raja di Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup
bagi Sultan yang sedang bertahta. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala
raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.
Kata nirbaya berasal dari dua unsur kata yakni nir 'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'. Dengan
demikian, Plengkung Nirbaya mempunyai arti jalan keluar masuk ke kraton tanpa bahaya,
maksudnya ialah jalan yang memberikan keselamatan.
Objek dan destinasi wisata membutuhkan beragam unsur penunjang dan fasilitas
amenitas agar wisatawan merasa aman dan nyaman, contohnya : hotel/fasilitas akomodasi,
warung/restoran, pusat informasi pengunjung. Unsur-unsur penunjang tersebut perlu
dirancang dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan lingkungan alam dan budaya
setempat, sehingga dalam hal ini unsur penunjang untuk objek wisata plengkung tidak dapat
dilepaskan dari konteks kawasan budaya Kraton Yogyakarta. Agar lebih informatif, dapat
dibuatkan direktori yang memuat semua informasi tentang fasilitas penunjang pariwisata di
Kraton Yogyakarta sehingga dapat menjadi panduan bagi para wisatawan.
Pendahuluan
Dalam makalah ini dibahas mengenai keunikan Kamagangan Kraton Yogyakarta yang
didalamnya terdapat Regol Kamagangan. Keunikan dan ciri khas halaman belakan tersebut
dapat dijadikan daya tarik wisata yang juga sebagai media sosialisasi tradisi dan budaya kraton.
Banyak khalayak umum atau masyarakat Yogyakarta sendiri tidak mengetahui tradisi yang
berlaku di halaman kraton.
Hal menarik dari kompleks halaman ini adalah tradisi penghargaan terhadap Kraton
Yogyakarta yang masih dapat dijumpai sampai saat ini. Akan tetapi, daya tarik ini perlu
ditingkatkan apabila hendak dijadikan paket wisata unggulan kraton. Manajeman terpadu yang
mengakaitkan antara objek yang satu dengan yang lainnya perlu diupayakan agar kompleks
Kamagangan dapat menjadi pelengkap dari daya tarik wisata di kraton.
Gambaran potensi masa depan kompleks Kamangangan ditentukan oleh upaya
perencanaan wisata di masa sekarang ini. Hal yang perlu ditingkatkan adalah bagaimana upaya
marketing dan mempresentasikan keunggulan yang dimiliki objek wisata Kamangangan karena
atraksi di lokasi ini tidak setiap hari dapat dinikmati oleh para wisatawan. Mayarakat yag harus
turun dari kendaraan adalah salah satu daya tari itu, tetapi akan lebih baik jika atraksi lainnya
dapat mendukung potensi yang telah ada. Dengan demikian keberlanjutan wisata dapat terjaga
untuk masa mendatang. Pada hakekatnya pariwisata hendaknya berimbas langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat di sekitar objek wisata. Kesejahteraan yang tidak hnaya pada tataran
ekonomi tetapi juga batin, karena masyarakat sadar bahwa dirinya adalah bagian yang tidak
terlepaskan dalam konteks budaya di kawasan itu.
Objek daya tarik wisata yang bersifat fisik dengan didukung oleh budaya masyarakat
yang melingkupinya mejadaikan objek daya tarik wisata diupayakan mendukung aspek edukatif
dan informatif. Kamagangan menghadirkan aspek tersebut, tradisi yang terus berlangsung
sampai sekarang adalah bukti bahwa masyarakat di sekitarnya merasakan dampak positif dari
hal itu. Untuk lebih mengekspos daya tarik ini maka pemasangan papan-papan informasi
hendaknya menjadi prioritas serta dukungan sosialisasi dan publikasi disekitar kompleks
kamagangan. Hal ini lah menjadi prioritas bahasan pada kesempatan ini bagaimana
5
Disajikan oleh Denny Santika (PSA/1816)
menghadirkan atau menyajikan Kamagangan yang tidak lekas pudar dan tetap bertahan
sampai masa mendatang, sehingga keberadaan objek wisata ini dapat dinikmati oleh seluruh
wisatawan yang hadir ke Kraton Yogyakarta.
a. Pembahasan
Tahap Pengembangan
1. Penataan Kawasan Pariwisata
Penataan kompleks Kamagangan memiliki peran yang penting dalam industri pariwisata
di Kraton Yogyakarta. Tanpa penataan yang baik, produk pariwisata yang ditawarkan kepada
konsumen tidak akan bertahan lama. Penataan kompleks itu lebih menekankan pada penataan
sarana umum, penataan lansekap, penataan fasade kawasan, dan penataan sirkulasi dan
informasi bagi para wisatawan. Rincian penataan sebagai berikut:
a. Penataan sarana fasilitas umum (tempat sampah, lampu, bangku, reklame, dan akses untuk
divabel).
c. Penataan para pedagang yang menjajakan dagangannya di kompleks Kamagangan.
d. Arus sirkulasi bagi para wisatawan dan pejalan kaki yang kebetulan kompleks ini terbuka
untuk umum dan kendaraan (karena kendaraan boleh diparkir di kompleks ini).
e. Penataan vegetasi dan taman-taman.
f. Penataan ruang fungsi terbuka.
g. Penataan parkir (Wiendu Nuryanti. 2007).
Hal ini direncanakan sebagai bagian yang mendukung kelanggengan wisata di kompleks
Kamagangan. Akan tetapi, keberlanjutan pariwisata harus senantiasa didukung dengan
monitoring, meningkatkan peran istitusi/lembaga dalam pengelolaan, dan kebijakan regulasi
yang mengakomodir semua kepentingan.
2. Strategi Pengembangan
Pada era glogalisasi sekarang ini para wisatawan cendrung untuk kembali menuju nuansa
yang bersifat alami dan budaya tradisional. Dukungan atraksi budaya yang bersifat intanggibel
dapat mendukung daya tarik wisata itu sendiri. Penguatan nilai atraktif di kompleks
Kamagangan sebagai alternatif penunjang daya tarik wisata bagi pengunjung yang jenuh
melihat budaya materi di kompleks kraton lainnya. Selain itu, perlu juga diupayakan terobosan
dalam memahamkan para wisatawan tentang pentingnya menghargai dan melestarikan
warisan budaya. Program sosialisasi akan lebih efektif dengan membuat papan himbauan dan
leaflet-leaflet yang dipasang dan disebarkan di lokasi wisata. Informasi tersebut bernilai
edukatif dan informatif tentang kawasan wisata yang sedang dikunjungi oleh para wisatawan.
Sosialisasi bisa dipandu oleh pemandu wisata (guide) yang professional sehingga bisa
menyuguhkan kesan mendalam terhadap para wisatawan yang berkunjung di kompleks
Kamagangan tersebut. Nilai suatu produk tergantung pada kemasannya, kemasan itualah yang
memberikan nilai imajinasi, ekspresi/identitas diri, gaya hidup dan emosi konsumen. Kemasan
tersebut dikenal dengan sebutan knowledge management (KM). KM adalah aset pariwisata
sebuah kawasan. Oleh karen itu, dalam memaksimalkan manfaatnya diperlukan proses transfer
pengetahuan dari pemandu wisata kepada para wisatawan dengan metode story telling
(pengungkapan knowledge dengan cara cerita). Metode tersebut merupakan salah satu cara
efektif untuk mentransfer knowledge yang ada dalam pikiran menjadi penjabaran explisit
secara sistematis dan terdokumentasikan (Lendy Widayana, 2004).
Penerapan KM memang bukan prioritas tetapi hal ini adalah bagian dari sistem
manajemen pariwisata. Kompleks Kamagangan penuh dengan muatan pengetahuan sehingga
memerlukan knowledge manajemen dalam memasyarakatkannya. Knowledge (pengetahuan
dan pengalaman) tersebut dikelola hingga mempunyai manfaat dan nilai ekonomis. Oleh
karena itu seorang pemandu wisata adalah knowledge worker, karena ia sangat mengandalkan
knowledge yang dimilikinya untuk menjadi nilai bagi dirinya sendiri dan obyek yang ia
terangkan dalam bentuk suatu cerita (Lendy Widayana, 2004). Keberhasilan menciptakan kesan
mendalam yang dirasakan wisatawan tergantung dari peran pemandu wisata.
Setelah penekanan tentang nilai penting objek yang dikunjungi, aspek hiburan dan
komersil diperkokoh dengan tidak mengabaikan aspek pelestarian. Keuntungan ekonomis
bergantung pada kreativitas, inovasi, dan memperluas jaringan pemasaran objek wisata.
Berikut ini adalah panduan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dalam pariwisata, yaitu:
1. Meningkatkan jumlah pengunjung secara berlebihan bukan berarti untung. Di sisi lain
justru akan menimbulkan dampak negatif yaitu mengurangi pendapatan.
2. Meningkatkan lamanya waktu kunjungan lebih menguntungkan karena jumlah uang yang
dikeluarkan wisatawan secara otomatis tertuju pada produk-produk wisata yang ditawarkan.
3. Fokus pemasaran prioritas orang-orang kalangan ke atas, walaupun kalangan menengah
kebawah perlu diperhatikan. Wisatawan kalangan menengah ke atas memiliki daya beli yang
lebih daripada wisatawan lainnya.
4. Meningkatkan penjualan kepada pengunjung, terutama poduk lokal (handy craft) baik
langsung maupun tidak langsung yang dapat membantu pendapatan masyarakat lokal.
5. Penyediaan penginapan dan sarana prasarananya.
6. Penyediaan servis lainnya terutama informasi tambahan yang memberikan peluang
mengunjungi objek-objek lainnya.
7. Menambah bentuk suguhan atraksi, seperti: pameran seni kebudayaan lokal, festival-
festival seni budaya lokal. Tujuannya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap budayanya
sekaligus menambah daya tarik wisata (Paul F. J. Eagles, Stephen F. McCool, and Christopher D.
Haynes, 2002).
Poin-poin tersebut pada dasarnya untuk memaksimalkan identitas lokal dan mensejahterakan
masyarakat yang tinggal di sekitar objek wisata adalah menjadi keutamaan dalam pariwisata.
3. Diversifikasi Pariwisata
Melakukan penggabungan diversifikasi wisata secara integral dengan objek daya tarik
lainnya di kawasan Kraton Yogyakarta. Pengembangan wisata dengan memanfaatkan
keunggulan objek wisata lainnya perlu diperhatikan sebagai sarana mengupgrade objek wisata
yang belum berkembang. Hubungan ini ibarat simbiosi mutualisme yang saling menguntungkan
antara satu dengan lainnya. Diversifikasi yang tepat dalam konteks ini adalah mengkaitkan
kompleks Kamagangan dengan Taman Sari. Taman sari terlebih dulu telah dikenal sebagi
wisata alternatif setelah Ktaron Yogyakarta, walaupun sebenarnya lokasi tersebut merupakan
bagian dari Kraton Yogyakarta. Lokasi Taman sari yang terpencar atau berpisah dengan kraton
banyak diinterpretasikan oleh sebagian wisatawan awam sebagai bangunan tersendiri yang
terpisah dari kraton.
4. Marketing
Melaksanakan bentuk kegiatan festival yang berlokasi di sekitar Kompleks Kamagangan
tepatnya di jalan Suryoputran dan jalan Magangan. Festival yang menggabungkan unsur
modern dan tradisional, dengan menghadirkan beberapa atraksi budaya, seperti: tarian,
kesenian adat setempat, yang pernting tidak keluar dari konteks budaya di sana.
Konsep pemasaran ideal pariwisata warisan budaya sebaiknya dilakukan oleh sektor
publik (berperan sebagai pengusaha) atau kerja sama antara sektor publik dan swasta. Sektor
publik memegang peranan sangat penting dalam pendidikan pariwisata dan pengaturan
penyelesaian masalah atau konflik. Apabila peran tersebut terlalu berat dan tidak bisa
dilakukan sama sekali, maka memberikan kesempatan kepada pihak swasta akan lebih baik.
Marketing pariwisata dengan memanfaatkan media cetak, media elektronik, dan sarana
teknologi informasi adalah langkah strategis dan efektif dalam mempromosikan suatu produk
pariwisata. Tujuan promosi tersebut mencakup:
a. Pengidentifikasian target audensi yang akan dicapai,
b. Pengidentifikasian tujuan komunikasi yang akan dicapai,
c. Formulasi bentuk pesan untuk mencapai tujuan,
d. Pilihan media untuk menyampaikan pesan secara efektif kepada audiesi yang dituju, dan
e. Alokasi anggaran untuk mencapai produksi dan penyampaian pesan (I Nengah Subadra,
2007).
Promosi pariwisata juga biasa dilakukan pengiklanan (advertising), humas (public
relation), penjualan langsung (direct selling), dan promosi penjualan (sales promotion yang
dapat dilakukan secara direct maupun indirect). Iklan memiliki banyak fungsi dalam pariwisata
antara lain:
• Membuat keperdualian (awareness) terhadap suatu produk.
• Menginformasikan tentang suatu produk yang baru atau spesial.
• Menanamkan citra yang memiliki legalitas.
• Mempengaruhi citra daerah tujuan.
• Menyediakan informasi mengenai pelayan special dan penawaran khusus.
• Penjualan langsung untuk mendatangkan respon langsung.
• Pengenalan terhadap penamaan (branding) suatu produk.
• Mencapai target audensi yang baru.
• Menyediakan informasi tentang penggunaan alat yang baru.
• Mengumumkan peluncuran kembali suatu produk baru.
• Iklan yang bersifat mengingatkan bertujuan untuk menjaga atau mempertahankan
hubungan dalam benak konsumen (I Nengah Subadra, 2007).
6. Komplek Siti Inggil6
6
Disajikan oleh Marduati
yang berfungsi sebagai tempat duduk raja untuk melantik dan mangangkat patih D i s i s i
s e l a t a n , k o m p l e k s S i t i - I n g g i l berbatasan dengan jalan supit urang dan Kori
Brajanala Lor. Di sisi barat berbatasan dengan Tepas Keprajuritan Kra to n Y ogya ka rta . D i
sisi timur berbatasan dengan sekolahan.
K o m p l e k s S it i - I n g g i l U ta ra p e r m u ka a n ta n ah n y a ditinggikan + 150 cm dari
permukaan tanah sekitarnya. Di u jung tangga naik menuju Siti-Inggil terdapat sebuah
bangunan yang d isebut Tarub A gung . Atap ban gunan berbentuk atap kampung yang
disangga oleh empat tiang kayu berhias kuncup melati dan garis-garis pada tubuh tiangnya. Fungsi
bangunan ini sebagai tempat bagi raja untuk mempersiapkan diri untu k menuju bangsa l
Pangrawit di Pagelaran (Nunuk, 1994: 41).
Bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kompleks Siti-Inggil Utara kraton
Yogyakarta, yaitu:
1). Tratag Siti-Inggil
Tratag Siti-Inggil merupakan bangunan terbuka dengan a ra h h a d a p k e u ta ra . L u a s
ban guna n + 300 m 2 . Ka k i bangunannya ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah
sekitarnya. Di atas lantai berubin kembang, terdapat 34 buah tiang berhias motif tumbuh-
tumbuhan. Atap bangunan berb en tuk rumah kampung dara gepak. Pada mu la nya
bangunan ini terbuat dari bambu yang diberi atap dan pada b agian atasn ya diberi
tu mbuhan yang mera mbat seba gai p en ed uh. B a n gu nan ya n g tam p a k sep ert i
se ka ra n g in i merupakan perbaikan yang dilakukan oleh Sultan HB VIII yang ditandai
dengan sengkalan memet pandhita cakra naga wani. Sengkalan ini terletak pada bidang
lengkung, tepat di atas pintu masuk Tratag Siti-Inggil. Fungsi bangunan ini sebagai
tempat duduk bagi para Pangeran Adipati Anom untuk menghadap ra ja a tau bia sanya
disebut pisowanan agung.
2). Bangsal Witana
Bangsal Witana merupakan bangunan terbuka dengan arah hadap ke utara. Letak bangunan
di dalam Tratag Siti-Inggil sisi selatan. Luas bangunan + 50 m2. Kaki bangunan ditinggikan +
40 cm dari permukaan lantai bangsal SitiInggil. Di atas lantai ubin kembang terdapat 32 buah
tiang pengarak dan empat saka guru yang pada tubuh tiangnya berhias motif
tumbuh-tumbuhan. Atap bangunan berbentuk tajug lambang gantung. Bangsal Witana
mengalami perbaikan pada tahun 1855 J atau 1921 M, yang dilukiskan dengan sengkalan
memet tinata piranti ing madya witana. Sengkalan ini terletaki pada batur bangunan
sebelah timur. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk meletakkan pusaka-pusaka kraton
pada perayaan garebeg.
3). Bale Bang dan Bale Angun-angun
Bale Bang dan Bale Angun-angun merupakan sepasang bangunan terbuka dengan arah
hadap ke timur. Bale Bang terleta k d i seb elah barat Trata g Siti-Inggil. Lu as
bangunan + 30 m2. Kaki bangunan ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah sekitarnya. Di
atas lantai ubin abu-abu terdapat empat tiang kayu berhias motif tumbuh-tumbuhan
pada tubuh tiangnya. Atap bangunan berbentuk limasan. Fungsi bangunan ini
sebagai tempat untuk meletakkan Kyai Kebo Ganggang, yang diperdengarkan untuk tanda
berangkat perang.
4). Bangsal Abdi Dalem Gandhek dan Jaksa
Ban gsa l Abd i Dalem Gandh ek dan Jaksa merupakan sepasang bangunan terbuka
dengan arah hadap ke selatan. Letak di sebelah utara Tratag Siti-Inggil atau di kiri
kanan Tarub Agung. Luas masing-masing bangunan + 6 m2. Atap bangunan berbentuk
limasan yang ditopang oleh empat tiang kayu berukir tumbuhan pada tubuh tiangnya.
Fungsi bangunan ini sebagai tempat duduk bagi abdi dalem Gandhek dan Jaksa pada
saat dilangsungkan upacara di Siti-Inggil. A b d i d a l e m G a n d h e k a d a l a h a b d i
d a l e m y a n g b e r tu g a s menyampaikan perintah Sultan kepada pepatih dalem dan
bawahannya yang berada di Pagelaran. Abdi dalem Ja ksa yaitu ab di dalem yang
bertu gas men ghukum o rang yang bersalah setelah mendapat persetujuan dari raja.
Pada bagian selatan kompleks Siti-Inggil terdapat batu rana, yaitu tembok yang
berfungsi sebagai penyekat. Di belakang batu rana terdapat anak tangga menuju ke
sebuah jalan yang disebut supit urang.
Pola tempat duduk ini menggambarkan alam raya. Raja di tengah sebagai pusat jagad
raya dan dikelilingi oleh para bawahannya yang membentuk suatu lingkaran konsentris. Penilaian
terhadap Siti-Inggil dan legitimasi raja selain dilihat dari bentuk fisik juga harus dilihat dari arti
yang terkandung di dalamnya. Siti-Inggil sebenarnya adalah bangunan yang secara simbolis
menyajikan sebuah arti bagi rakyat dan menunjukkan sesuatu yang lebih tinggi maknanya dari
bentuk fisiknya. Hal ini dapat dipahami sebab yang melakukan aktivitas resmi di Siti-Inggil
adalah raja, sebagai junjungan dan penguasa mereka yang harus diakui dan dihormati
kebesarannya.
Pendirian Siti-Inggil oleh seorang raja merupakan pembuktian bahwa ia mampu di
bidang ekonomi, militer, dan politik. Namun kemampuan ini memerlukan pengakuan dan
pengesahan dari dunia di luar kerajaan tersebut untuk men dapa t keku atan loyalitas
in tern . Legalia seorang raja selain ditentukan oleh bentuk fisik bangunan yang dimilikinya,
juga pengakuan dari orang lain yang dianggap mempunyai kekuatan supra natural atau
keturunan dari orang Sakti.
Abdullah, Irwan. 1981. Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa.
Dalam Jurnal Humaniora. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya.
Adam, L. 2003. The courtyards, gates and buildings of Kraton of Yogyakarta, dalam Stuart
Robson (ed.), The Kraton Selected Essays on Javanese Court. KITLV Press. pp. 13 – 40
Adam, L. 2003. Some historical and legendary place names in Yogyakarta, dalam Stuart Robson
(ed.), The Kraton Selected Essays on Javanese Court. KITLV Press. pp. 13 – 40
Adrisijanti, Inajati, 2002, “Kota Yogyakarta dan Pepohonannya”, dalam Jogja di Mataku,
Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, hlm.11- 16
______________, 2007. “Kota Yogyakarta sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan
Permasalahannya”. Makalah dalam Diskusi Sejarah “Kota dan Perubahan Sosial Dalam
Perspektif Sejarah”, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta, 11 -12 April 2007
Ahmad Adaby Darban, 2000, Sejarah Kauman; Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah,
Tarawang, Yogyakarta.
Arwan Tuti Artha dan Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2004, Jejak Masa Lalu, Sejuta Warisan Budaya,
Yogyakarta, Penerbit Kunci Ilmu.
Darmosugito, 1956 Sejarah Kota Yogyakarta, dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun; 7 Oktober
1756 – 7 Oktober 1956, Panitia Peringatan 200 Tahun Kota Yogyakarta.
Eagles, Paul F. J., Stephen F. McCool, and Christopher D. Haynes. 2002. Sustainable Tourism in
Protected Areas: Guidelines for Planning and Management. WCPA, Best Practice
Protected Area Guidelines Series No. 8, Adrian Phillips (Edt), IUCN – The World
Conservation Union.
Fagan, Brian. 1984. Archaeology and the wider audience, dalam Erneste Green (ed.), Ethics
and values in archaeology. The Free Press. pp. 175-183
Greenmapperjogja, tanpa tahun, Jeron Beteng, Press, Culture & Education Royal Netherlands
Embassy bekerjasama dengan Jogja Heritage Society dan Karang Taruna Kecamatan
Keraton.
Mc.Manamon, Francis P. and Alf Hatton (ed.), 1999, Cultural Resource Management In
Contemporary Society, Perspectives on Managing and Presenting tha Past, London and
New York, Routledge.
Mundardjito (2002). Research Method for Historocal Urban Heritage Area. Makalah
dipresentasikan pada Three Days Practical Course on Planning and Design Methods for
Urban Heritage, Usakti – T.U. Darmstadt, Jakarta 10 – 12 April 2002.
Noto Suroto, 1985, Kasultanan Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
Yogyakarta.
Nuryanti, Wiendu. 2007a. Community Development Through Tourism: Early Stages In Candirejo
Village, Borobudur, Central Java. Dalam hand out mata kuliah Arkeologi dan Pariwisata.
Yogyakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Pratiwi, D. 2006. Makna Simbolik Umpak di Keraton Yogyakarta. Skripsi Jurusan Arkeologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Saiful Munjahid. 2007. Pengamanan dan Penertiban Benda Cagar Budaya. Makalah
disampaikan dalam Penataran Tenaga Teknis Kepurbakalaan Tingkat Dasar, Parung,
Bogor 4-18 September 2001.
Sasmita, U.T. 1977. Perlindungan dan Perundang-Undangan Peninggalan Sejarah dan
Purbaka. Direktorat Sejarah dan Purbakala. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soenarto, Th.Aq, 1987, Konservasi Arkeologi Mesjid Besar Kauman Yogyakarta, Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta.
Subadra, I Nengah. 2007. Warisan Budaya dan Alam dan Pariwisata di Era Postmodernisme.
Dalam www.subadra.wordpress.com.
Sunjata, P., Tashadi, dan Astuti, S.R. 1995. Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Banguan
Kraton : Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra. Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya Pusat. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Sunaryo Imam dkk, 2000, Laporan Pendataan Mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta.
Tashadi, 1979, Risalah Sejarah dan Budaya; Seri Peninggalan Sejarah, Balai Penelitian Sejarah
dan Budaya, Yogyakarta.
Widayana, Lendy. 2004. Knowledge Management dan Objek Wisata. Dalam Harian Radar
Malang, tanggal 27 April yang dimuat pula dalam I Power Blogger.
www.blog.sendaljepit.wordpress.html