You are on page 1of 41

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquaired Immune Deficiency Syndrome) mengalami peningkatan jumlah penderita tiap tahunnya baik pada orang dewasa maupun anak di dunia maupun di Indonesia. Diduga jumlah kasus HIV/AIDS ini menyerupai fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanya sekitar 1/10 dari jumlah kasus yang sebenarnya. Penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia. Hal ini karena pada Januari 2006, UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981.1 Sejak HIV menjadi pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap tahun sekitar 400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak (penularan vertikal). Di Indonesia, hingga Maret 2011, jumlah anak penderita HIV/AIDS mencapai 1.119 orang, dengan jumlah penderita dibawah lima tahun dilaporkan mencapai 514 anak. Dilaporkan juga sebanyak 34 anak usia bawah lima tahun (balita) di propinsi Papua positif mengidap infeksi HIV.1 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa saat ini jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, sementara jumlah pekerja seks komersil yang terinfeksi HIV terus menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki perilaku beresiko. Keadaan ini dapat meningkatkan resiko penularan dari ibu ke anak. Dengan demikian permasalahan HIV harus segera ditangani dengan baik. Bila tidak ditangani, epidemi HIV akan merambat masuk ke dalam keluarga dan masyarakat umum1. Gizi buruk atau malnutrisi merupakan komplikasi pada pasien dengan infeksi HIV. Gizi buruk ini sendiri dibagi menjadi dua gambaran klinis utama, yaitu malnutrisi tanpa oedema (marasmus) dan malnutrisi dengan oedema (kwarshiorkor atau marasmus-kwarshiorkor). Terdapat prevalensi HIV yang tinggi di antara anak-anak dengan gizi buruk. Wasting syndrome sebagai salah satu

manifestasi klinis gizi buruk dilaporkan pernah terjadi pada 17% kasus anak dengan infeksi HIV di Amerika Serikat pada tahun 1994.3 Kebanyakan anak dengan infeksi HIV akan mengalami defisit nutrisi selama perjalanan penyakitnya. Suatu trial study Multicenter di Amerika Serikat yang mempelajari efek zidovudine (AZT) pada anak dengan infeksi HIV menemukan 80% anak dengan infeksi HIV memiliki berat kurang dari persentil ke-25.3 Adanya abnormalitas pertumbuhan yang signifikan ini juga dilaporkan memiliki korelasi langsung terhadap morbiditas dan survival anak dengan infeksi HIV. Angka mortalitas pada anak-anak dengan infeksi HIV disertai gizi buruk 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang mengidap gizi buruk saja. Pada suatu studi dengan sumber terbatas menyatakan anak dengan infeksi HIV yang mengalami imunosupresi berat dan status gizi yang buruk sebanyak 5-10% mengalami kematian yang lebih dini walaupun sudah mendapatkan terapi antiretroviral.4 Pada suatu penelitian yang melibatkan 100 anak dengan infeksi HIV dengan gizi buruk (marasmus, kwarshiorkor, dan marasmus kwarshiorkor) dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi yang lebih baik didapatkan beberapa faktor risiko yang memicu terjadinya malnutrisi pada pasien anak dengan infeksi HIV yaitu adanya keluarga yang dicurigai mengidap HIV (orang tua, saudara), penghentian pemberian ASI yang salah, kematian orang tua, jenis kelamin laki-laki, dan urutan lahir yang lebih tinggi (misal, anak ketiga atau lebih). Selain itu faktor-faktor tradisional seperti pemberian nutrisi yang kurang, orang tua yang tidak sanggup mengurus anaknya atau sakit, kemiskinan, dan ketidaksetaraan dalam masyarakat tetap menjadi kontributor penting dalam prevalensi gizi buruk pada anak dengan infeksi HIV.5

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Penyakit HIV/AIDS 2.1.1 Definisi dan Etiologi AIDS2 AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (human Immunodeficiency Virus). pada saat kehamilan, persalinan atau melalui air susu ibu. Infeksi HIV lebih agresif pada bayi dan anak-anak daripada pada orang dewasa, dengan 30% kematian saat berusia 1 tahun dan 50% pada usia 2 tahun tanpa akses ke obat-obatan essensial, termasuk ART dan pencegahan intervensi seperti kotrimoksasol (trimetoprim-sulfametoksazol). Pada tahun 2007, WHO / UNAIDS memperkirakan 690.000 [580.000-860.000] anak diperlukan terapi antiretroviral dann terdapat 250 000 -290.000 anak berusia di bawah 15 tahun meninggal terkait dengan HIV pada 2007, sebagian besar di sub-Sahara Afrika, dimana kematian yang paling sering terjadi pada bayi terinfeksi HIV pada awal kehamilan. Pencegahan dengan kotrimoksazol dan ART dapat sangat mengurangi jumlah anak yang meninggal secara dini. Sebagian besar anak dengan HIV-positif sebenarnya meninggal karena penyakit yang biasa menyerang anak. Sebagian dari kematian ini dapat dicegah, melalui diagnosis dini dan tatalaksana yang benar, atau dengan memberi imunisasi rutin dan perbaikan gizi. Secara khusus, anak ini mempunyai risiko lebih besar untuk mendapat infeksi pneumokokus dan tuberkulosis paru. Pada pasien anak dengan AIDS beberapa faktor yang menyebabkan penularan virus HIV yaitu dari ibu ke anaknya yang dapat diperoleh saat kehamilan, persalinan atau melalui air susu ibu. Penularan HIV dari ibu ke anak (tanpa pencegahan Antiretroviral) diperkirakan berkisar antara 1545%. Bukti dari negara industri maju menunjukkan bahwa transmisi dapat sangat dikurangi (menjadi kurang dari 2% pada beberapa penelitian terbaru) dengan pemberian antiretroviral selama kehamilan dan saat persalinan dan dengan pemberian makanan pengganti dan bedah kaisar elektif. Jalur penularan rebanyak adalah vertikal yakni penularan dari ibu ke anak. Infeksi dapat diperoleh

2.1.2 Patogenesis AIDS2 Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinsikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imum yang progresif. Virus HIV1 terutama menuju sel limfosit (CD4+) dan sel monosit atau makrofag. Setelah sel terinfeksi virus, maka RNA sampul dari virus terlepas dan membentuk DNA transkrip rangkap dua, yang kemudian ditransfer ke sel DNA host, dan terjadilah perusakan sistem imunologi baik selular maupun humoral. Kemudian bersama sitokin yang dipengaruhi akan mempengaruhi fungsi makrofag, limfosit B, dan limfosit T. Perusakan sel B mengakibatkan antibody sekunder menjadi lemah dan respon vaksinasi memburuk. Sel mediated juga mengalami kerusakan sehingga infeksi oportunis mudah terjadi seperti jamur, pneumonia pneumokistik carinii, diarekronik, dan sebagainya. Virus juga dapat menginvasi sel syaraf otak sehingga terjadi atrofi otak Pada saat limfosit yang terinfeksi menjadi aktif misal saat infeksi berulang, maka terjadilah apoptosis dan lisis sel host. Karena CD4+ limfosit merupakan respon imun yang penting terhadap keadaan zat-zat pathogen, apabila jumlah CD4+ dibawah 200 /mm3 maka tubuh menjadi rentan terhadap infeksi oportunis atau keganasan. Pada awal infeksi, virus menyerang sel dan terjadilah perbanyakan virus sehingga terjadi viremia (adanya virus dalam darah). Saat respon imun host terangsang, viremia menghilang, dan 80% penderita asimptomatik (tanpa gejala), dan hanya 20% sisanya yang mengalami penyalit progresif. Pada penderita asimptomatik, proses penyakit berkisar selama 10 tahun, dan dengan adanya infeksi oportunis (AIDS) proses berlangsung sekitar 5 tahun. Saluran pencernaan adalah elemen sentral dalam akuisisi penyakit HIV, perkembangan gagal tumbuh, dan kerusakan kekebalan yang berkembang dengan perkembangan penyakit. Meskipun beberapa anak mungkin menjadi terinfeksi HIV di dalam rahim, mayoritas tampaknya memperoleh infeksi perinatal. Rute infeksi tidak diketahui, tetapi kulit, selaput lendir, dan saluran pencernaan adalah kandidat yang baik untuk jaringan di mana HIV dapat bermigrasi. Meskipun saluran pencernaan adalah jaringan immunologie terbesar, sedikit yang diketahui tentang infeksi elemen limfoid mukosa oleh HIV pada neonatus. Namun, seseorang dapat berspekulasi bahwa virus melintasi epitel dan memasuki lamina propria dimana
4

HIV menginfeksi limfosit atau diambil oleh makrofag. Ini HFV terkait sel kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening mesenterika yang menjadi reservoir bagi virus dengan cara analog dengan yang dijelaskan dalam kelenjar getah bening perifer 2.1.3 Manifestasi Klinis AIDS pada Anak2 Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi bergantung dengan Derajat atau stadium dari manifestasi klinis yang tampak pada dan hasil CD4. Beberapa anak dengan HIVpositif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun. Adapun beberapa Anak disebut sebagai "Suspek HIV" apabila ditemukan gejala berikut, yang tidak lazim ditemukan pada anak denagn HIV negative.Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV:

Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir.

Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi. Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian lidah kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas sampai di bagian belakang kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esofagus.

Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni- atau bi-lateral selama = 14 hari, dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam.

Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya.

Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan seperti sitomegalovirus.

Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38 C) berlangsung = 7 hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari.

Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion).

Herpes zoster. Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan molluscum contagiosum yang ekstensif.

Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease). Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV.

Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung = 14 hari. Diare Persisten: berlangsung = 14 hari. Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka HIV terutama pada bayi berumur < 6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh.

Namun, perlu diingat kita tidak boleh mengesampingkan diagnosis lainnya dalam penanganan pasien. Ada beberapa morbiditas yang mungkin ditemukan pada penderita HIV tetapi juga ditemukan pada anak yang tidak terinfeksi HIV seperti halnya infeksi berulang atau menetap lebih dari 14 hari, diare persisten atau berulang, malnutrisi sedang atau berat dan malnutrisi sedang atau berat. 2.1.4 Diagnosis Klinis dan Laboratorium pada Pasien AIDS 2,6 Diagnosis ditegakkan anamnesa, pemeriksaan fisik berdasarkan klasifikasi klinis, pemeriksaan laboratorium (tes serologi bagi bayi usia lebih dari 18 bulan atau persangkaan virus dalam darah bagi bayi usia kurang dari 18 bulan, dan kadar CD4+. Sistem Klasifikasi Infeksi HIV pada anak: kategori klinis (berdasarkan WHO) untuk anak usia kurang dari 13 tahun dan sudah terinfeksi HIV

STADIUM 1 Asimptomatik Persistent generalized asimtomatik. STADIUM 2 Hepatosplenomegali Erupsi papular pruritik Dermatitis seberoik Infeksi jamur pada kuku Angular Cheilitis Lineal gingival erythema (LGE) Infeksi human pappiloma Virus atau moluskum yang luas (lebih dari 5%luas tubuh) Ulserasi oral berulang (lebih atau sama dengan 2 episode dalam 6 bulan) Pembesaran Parotis Herpes zoster Infeksi saluran nafas atas kronik atau berulang (otitis media, sinusitis>2 selama 6 bulan) STADIUM 3 Malnutrisi sedang tanpa kausa yang jelas dan tidak berespon terhadap terapi standar Diare persisten tanpa kausa yang jelas Demam persisten tanpa kausa yang jelas (intermitten atau konstan >1 bulan) Kandidiasis oral Oral hairy leukoplakia TB paru Pneumonia bakteri berat berulang (lebih atau sama dengan 2 episode dalam 6 bulan) Acute necrotizing ulcerative gingivitis/ periodontitis LIP (lymphoid Intersitial Pneumonia) Anemia tanpa kausa yang jelas (<8gm/dl), neutropenia(<500/mm3) atau trombositopenia (<30.000/mm3) selama >1 bulan STADIUM 4 Wasting atau malnutrisi berat yang tidak berespon terhadap terapi standar Pneumonia pneumocytisis Infeksi bakteri berat berulang ( lebih dari sama dengan 2 episode dalam 1 tahun, misal: empyema, pyomyositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis, tidak termasuk pneumonia) Infeksi herpes simpleks kulit atau orolabial kronik (>1bulan) TB disseminataatau ekstrapulmoner Sarcoma Kaposi Kandidiasis esophagus Bayi , 18 bulan HIV seropositif dengan lebih atau sama dengan 2 gejala berikut; Oral thrush, +/- pneumonia berat, +/- gagal tumbuh atau malnutrisi berat, +/-sepsis berat retinitis CMV Toksoplasmosis SSP Mikosis endemic diseminata, termasuk: meningitis kriptokokkus (e.g. kriptokokkis ektra pulmone, histoplasmosis, koksidiomikosis, penisilliniosis) Kriptosporidosis atau isosporiasis (dengan diare >1 bulan)
7

Infeksi CMV(usia>1bulan pada organ selain, hepar, lien atau kelenjar) Penyakit mikrobakterium diseminata selainTB Kandida pada trakea, bronkus atau paru0paru Fistel rekto-vesika didapat terikat HIV Limfoma serebri atau non Hoodgkin sel B Leukoensefalopati mulyifokal progresif Encefalopati HIV Kardiomiopati HIV Nefropati HIV Tabel 1. Stadium penyakit HIV/AIDS Pemeriksaan standar HIV yaitu Enzyme-Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA) dan analisa Western untuk mengetahui adanya antibodi immunoglobulin. Imunoglobulin G (IgG) tidak dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi di bawah usia 18 bulan. Hal ini karena karena masih ditemukannya IgG anti HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, yang terkadang hingga usia 24 bulan. Namun IgA dan IgM anti HIV tidak dapat melalui plasenta sehingga dapat dijadikan konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada darah bayi. Namun sensitifitas kedua pemeriksaan tersebut masih sangat rendah sehingga jarang diapakai sebagai alat diagnosis. Pemeriksaan bagi anak di bawah usia 18 bulan menggunakan uji virologik yaitu pemeriksaan kultur HIV dan tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV (viral load). Infeksi HIV pada bayi di bawah 18 bulan dapat ditegakkan bila dua sampel dari dua kali pemeriksaaan kultur yang berbeda, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Infeksi HIV bisa disingkirkan bila 2 macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif.Pemeriksaan dengan PCR atau kultur virus dapat dilakukan sejak lahir dan usia 1 atau 2 bulan. Darah tali pusat tidak dapat digunakan dalam pemeriksaan HIV. Jika PCR kultur virus adalah positif, maka pemeriksaan harus diulang segera untuk konfirmasi sebelum diagnosis HIV dibuat. Bila hasil PCR atau kultur virus dilakukan saat lahir dan usia 1-2 bulan tidak menunjukkan hasil positif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang usia 4 bulan. Pemeriksaan lainnya harus dimajukan sebelum usia 4 bulan bila timbul gejala infeksi pada bayi. Atau bila pemeriksaan hematologi atau imunologi menunjang adanya infeksi HIV. 2.1.5.Dampak yang Dapat Diberikan pada Anak2 Anak-anak yang masih hidup tahun pertama kehidupan lebih mungkin untuk meninggal akibat penyakit anak-anak umum. Penyakit tersering penyebab kematian pada bayi dan anak yang
8

terinfeksi HIV adalah infeksi saluran pernapasan, diare dan TBC yang biasanya berasal dari beberapa faktor risiko, termasuk infeksi oportunistik dan gizi, dengan semua-menyebabkan kematian yang terbesar di antara mereka dengan berat badan rendah. Status gizi yang buruk membuat anak-anak yang terinfeksi HIV lebih rentan terhadap morbiditas dan mortalitas, bahkan ketika mereka menerima terapi antiretroviral. Kelangsungan hidup anak dan program HIV karena itu akan menguntungkan semua anak, termasuk mereka yang terinfeksi HIV Keterkaitan antara malabsorpsi, malnutrisi, defisiensi kekebalan tubuh, dan menyebabkan infeksi enterik siklus yang potentiates masalah pertumbuhan dari anak yang terinfeksi HIV. Sel epitel usus dys fungsi dan mungkin bakteri akibat pertumbuhan berlebih di malabsorpsi hara dan, jika kalori tambahan tidak tersedia, kekurangan gizi akhirnya. Protein energi malnutrisi tanpa infeksi HIV dapat mengakibatkan kelainan immunologis termasuk penurunan jumlah T-sel, berkurangnya jumlah CD4, hipersensitivitas tertunda terganggu, peningkatan kadar imunoglobulin serum, dan respon antibodi gangguan tertentu. Bila kelainan yang sama ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV, orang tidak dapat menentukan apakah mereka terkait dengan infeksi HIV atau kekurangan gizi. Kesamaan dalam disfungsi kekebalan tubuh antara malnutrisi dan infeksi HIV menunjukkan kekurangan gizi yang dapat mempotensiasi disfungsi immunologie penyakit HIV. Penyebab defisit gizi yang menyebabkan gizi buruk dapat dibagi menjadi tiga bidang luas: nutriaent asupan berkurang, kerugian gizi meningkat, dan kebutuhan gizi meningkat. Penurunan asupan gizi dapat Kediri disebabkan oleh esofagitis, masalah dengan karet, mulut, mual muntah ulserasi,, dysgeusia berhubungan dengan defisiensi seng atau terapi obat, demam, nyeri, demensia, depresi, dan / atau putus asa. Kerugian gizi Peningkatan yang paling sering disebabkan oleh infeksi oportunistik, tapi laktosa intoleransi, insufisiensi pankreas, atau luka usus kecil dapat berkontribusi untuk malabsorpsi. Peningkatan kebutuhan zat gizi yang paling sering dikaitkan dengan penyakit demam, tetapi kelainan metabolik seperti bersepeda sia-sia dan hormon abnormal atau produksi sitokin dapat mengubah metabolisme intermediate dan memodifikasi persyaratan gizi. Data pendukung fenomena di pasien terinfeksi HIV datang terutama dari studi pada orang dewasa; beberapa studi telah sistematis dibahas masalah ini pada infeksi HIV pediatrik. 2.2 Gizi Buruk7,8
9

2.2.1 Definisi Gizi Buruk Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki atau adanya severe wasting (BB/TB<70% atau <3SD) atau ada gejala klinis gizi buruk (kwarshiorkor, marasmus, atau marasmic-kwarshiorkor).(Buku IPKA) Pada tahun 1987, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memasukkan wasting pada pasien dengan HIV sebagai salah satu AIDS-Defining Condition (ADC). Wasting pada AIDS didefinisikan sebagai kehilangan berat badan sebesar 10% atau lebih atau penurunan peningkatan berat badan yang mengakibatkan menurunnya penyebrangan grafik sebanyak 2 atau lebih garis persentil menurut umur (misal persentil ke-95, 75, 50, 25, 5) pada anak dengan umur lebih dari 1 tahun atau terletak pada persentil ke-25 berdasrkan tinggi badan/berat badan pada pengukuran konsekutif yang terpisah lebih dari 30 hari dengan tambahan adanya diare atau panas yang kronis.

2.2.2 Klasifikasi Gizi Buruk Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda. a. Marasmus Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah: a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit b. Wajah seperti orang tua c. Iga gambang dan perut cekung d. Otot paha mengendor (baggy pant)
10

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar Kwashiorkor Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam. c. Wajah membulat dan oedem (pitting oedema ekstermitas bilateral, periorbital oedema) d. Pandangan mata anak sayu e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam. f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas Marasmik-Kwashiorkor Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. 2.2.3 Faktor Penyebab Gizi Buruk Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut : 1. Penyebab langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi. 2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh
11

karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya. Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

2.2.4 Patofisiologi Gizi Buruk Patofisiologi gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin. Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL
12

dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya penumpukan lemak di hepar. Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein, sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya membutuhkan waktu yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab marasmus adalah sebagai berikut : a. Masukan makanan yang kurang : marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer. b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital. c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng, deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat e. Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance
13

g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab maramus yang lain disingkirkan h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan menimbulkan marasmus i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus 2.2.5 Dampak Gizi Buruk Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi. Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak. Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang
14

lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak. Secara ringkas, gizi buruk berhubungan dengan gangguan-gangguan fungsi berikut ini: a. Ginjal (tdak dapat mengekskresi beban Natrium) b. Pencernaan (terjadi atropi vili dan kerusakan usus menyebabkan translokasi bakteri; defisiensi enzim pencernaan menyebabkan malabsorpsi) c. Sirkulasi (dengan mudah terjadi kelebihan cairan/Congestif Cardiac Failure) d. Thymus (atropi->imunitas terganggu) e. Otak (gangguan intelektual) f. Liver (hipoglikemia, metabolism obat abnormal) g. Gangguan elektrolit (defisiensi K+, Zn, dan Mg) h. Ekskoriasi kulit (sumber sepsis) i. Hypothermia (tana prognosis buruk) j. Spesifik defisiensi nutrisi terjadi pada bebefrapa kasus. Diantaranya xeropthalmia (defisiensi Vit A), goiter (iodine), pellagra (niacin), scurvy (def. vit C), dan rickets (def. vit D) 2.2.6 Pemeriksaan untuk Menegakkan Malnutrisi Dalam menegakkan malnutrisi sebenarnya hanya diperlukan pemeriksaan antropometri, tetapi untuk mengetahui defisiensi makronutrien dan mikronutrien diperlukan anamnesis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan Antopometri Antropometri (pengukuran badan) digunakan untuk mengukur kekurangan gizi dengan mengacu pada standar internasional (lihat kotak). Berikut ini yang umum digunakan: Berat terhadap usia (W / A): berat relatif terhadap berat standar untuk anak pada usia yang sama. Tinggi terhadap usia (H / A): tinggi relatif terhadap ketinggian standar untuk anak pada usia yang sama. Berat untuk tinggi (W / H): berat relatif terhadap berat badan diharapkan untuk anak dari ketinggian yang sama.
15

Pertengahan lingkar lengan atas (MUAC). Indeks massa tubuh (BMI): berat badan / (tinggi) 2 digunakan hanya untuk dewasa. W/A, H/A, dan W/H dinyatakan sebagai persentase dari standar referensi, atau sebagai kelipatan dari standar deviasi (SD) dari rata-rata populasi referensi 'Z skor' (misalnya jika berat badan adalah 2 SD di bawah berat badan rata-rata anak normal pada usia yang sama, skor Z adalah -2. Jika usia tidak pasti, tinggi (65-110 cm) dapat digunakan sebagai tanda terhadap usia untuk mengidentifikasi anak usia 6 bulan-6 yrs. Lingkar lengan atas dapat dijadikan salah satu indicator malnutrisi pada anak karena pada umur 1 sampai 5 tahun peningkatan lla terjadi dengan lambat sehingga LLA dapat dengan mudah menjadi nilai batas ambang untuk pengukuran nutrisi. LLA < 110 cm stara dengan nilai BB/TB z-score 3 SD dan LLA < 125 cm setara dengan nilai BB/TB zscore -2 SD Malnutrisi dapat diklasifikasikan menggunakan ukuran antropometri sebagai berikut: Status Gizi Gizi Buruk Klinis Antropometri (BB/TB-PB) Tampak sangat kurus dan atau < - 3 SD/ <70% edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh Gizi Kurang Tampak Kurus - 3SD - < 2 SD/ 70-80% Gizi Baik Tampak Sehat - 2 SD - + 2 SD/ 80-90% Gizi Lebih Tampak Gemuk > +2SD/>90% Tabel 2. Status Gizi berdasarkan penampakan Klinis dan Antropometri (WHO)10 2.3 Manajemen Pasien Pediatri dengan Infeksi HIV/AIDS9,10 Di antara anak-anak yang mengalami gizi buruk di Afrika, 15% anak dengan infeksi HIV-AIDS yang berada dalam penanganan komunitas dan sekitar 60% dirawat dengan sakit berat dengan komplikasi akibat infeksi HIV-AIDS. Kebanyakan anak gizi buruk dengan positif HIV memiliki kadar CD4 yang rendah dan memerlukan pengobatan ARV. Kadar CD4 tidaklah terlalu rendah pada anak yang memiliki gizi buruk saja. Perlu dipertimbangkan untuk pemeriksaan test HIV bagi anak yang mengalami malnutrisi yang sangat berat, tetapi pemeriksaan dapat menimbukan ketakutan dan stigma karena bila anak mengidap HIV, ada kecurigaan sang ibu juga

16

mengidapnya. Tetapi bila diagnosis dapat ditegakkan dengan segera terdapat beberapa keuntungan, seperti mendapat perawatan yang tepat, antibiotik profilaksis dan ARV. Patogenesis malnutrisi pada anak dengan SIDA merupakan suatu proses yang multifaktorial. Tiga mekanisme potensial adalah asupan yang tidak adekuat, malabsorpsi gastrointestinal, dan penggunaan energy yang abnormal. Beberapa permasalahan nutrisi yang dapat ditemukan pada pasien SIDA adalah: a. Asupan nutrisi kurang akibat kelemahan, lesi oral yang menyakitkan (misalnya candida), anoreksia akibat demam/infeksi, dan orang tua yang juga sakit akibat infeksi HIV
b. Malabsorpsi dan diare kronis akibat parasit intestinal (misalnya Cyptosporidium)

menyebabkan kehilangan nutrisi dalam usus. c. Peningkatan keluaran energy akibat infeksi yang sedang terjadi
d. Penurunan berat badan yang berat dan pertumbuhan terganggu seperti stunting

e. Defisiensi mikronutrien (termasuk Vit A, Zinc) f. Anemia terjadi biasanya akibat inflamasi kronis dibandingkan defisiensi mikronutrien. Adapun manajemen gizi buruk pada anak dengan SIDA adalah sebagai berikut: 1. Penanganan malnutrisi Tangani terapi nutrisi sama seperti pada pasien dengan gizi buruk tanpa SIDA dengan lebih mengantisipasi adanya penolakan diet akibat infeksi. Penilaian awal dengan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, khususnya anthropometri, dan pemeriksaan penunjang spesifik yang telah dibahas sebelumnya. Nilai apakah anak tampak sehat secara klinis, letargi atau tidak sehat. Jika sehat, apakah anak tersebut memakan dengan baik makanan yang diberikan? Berikut ini algoritma untuk menentukan tipe malnutrisi dan menentukan penanganan yang akan digunakan.

17

Anak yang tampak malnutrisi (kurus) dalam survey masyarakat atau klinik Gizi Kurang Jika terdapat salah satu: 70-80& BB/TB tanpa oedema LLA 110-125 mm Gizi Buruk Jika terdapat salah satu atau lebih: 70% BB/TB Bilateral oedema LLA <110 mm

Tampak sehat secara klinis

Tampak sakit atau anoreksia

Tampak sehat secara klinis

Tampak sakit atau anoreksia 18 4. Program rawat inap

1. Program nutrisi rawat jalan

2. Program nutrisi rawat inap

3. Program RUTF rawat jalan

Penilaian klinis (menggunakan panduan WHO/IMCI) a. Infeksi (khususnya diare, pneumonia, demam, meningitis) b. Dehidrasi c. Anemia berat d. Tidak sadar e. Anoreksia (nilai respon saat pemberian makanan)

Penilaian Nutrisi: a. Median weight/height menggunakan table WHO/NCHS b. MUAC c. Udem

19

Gambar. Algoritma kategorisasi dan manajemen anak dengan malnutrisi9

1. Program nutrisi rawat jalan Tujuan program nutrisi ini adalah untuk mengidentifikasi keparahan malnutrisi; merencanakan manajemen regimen untuk pasien dengan gizi buruk atau gizi kurang; menentukan dimana seharusnya regimen diberikan (di rumah sakit, di rumah atau feeding centre), dan memberikan nasihat dan manajemen kepada perawat anak dengan gizi buruk atau gizi kurang. a. Berikan panduan nutrisi untuk meningkatkan asupan sehari-hari berikan saran terhadap pemberian makanan yang benar dan meningkatkan

konten protein dan mikronutrien pada makanan sehari-hari bila mampu

sarankan untuk mengikuti program local/pemerintah (posyandu) untuk

meningkatkan food security

Menyediakan suatu porsi take home yang menyediakan kebutuhan

protein, energy, dan mikronutrien yang enak (disenangi anak-anak) dan dapat disimpan tanpa memerlukan bantuan mesin pendingin b. Rawat infeksi yang terjadi

Rawat semua anak dengan gizi kurang untuk infeksi apakah terdapat tanda

klinis atau tidak (amoksisilin untuk 5 hari)

Beri albendasole single dose 400 mg PO untuk semua anak di atas 24

bulan untuk mengatasi infeksi cacing

Berika semua anak vit A (50.000, 100.000 dan 200.000 iu untuk anak <6

bulan, 7-12 bulan, dan >12 bulan pada hari 1, 2, dan 14 pada program nutrisi). Diagnosis dan rawat bila terdapat malaria
20

Pertimbangkan adanya tuberculosis sebagai salah satu penyebab respon

nutrisi yang buruk Pastikan anak mendapat imunisasi sesuai dengan jadwal yang telah

ditetapkan

Follow up anak setiap 2 minggu sampai terjadi kenaikan berat badan

2. Program RUTF (Ready to Use Therapeutic Food) Rawat Jalan

Tujuan program ini adalah untuk merawat anak dengan gizi kurang di rumah sehingga mereka bias mengkonsumsi jumlah yang adekuat dari RUTF ini sendiri. Program ini dapat memperbaiki masalah metabolic dan memacu perbaikan massa tubuh dan fungsi. Ready-to-use therapeutic food (RUTF) ini adalah suatu makanan kaya akan protein, energy, dan mikronutrien untuk anak dengan gizi buruk. RUTF memiliki rasa enak untuk dimakan, kaya akan lipid, dengan komposisi nutrisi sama dengan F-100. RUTF tidak memerlukan proses pemasakan dan kandungan air yang rendah membuat RUTF resisten terhadap kontaminasi mikroba, sehingga dapat disimpa pada kondisi tropis untuk beberapa bulan. Kebanyakan anak dengan gizi buruk dapat menerima beberapa sendok the RUTF sebanyak 5-7 kali sehari, hal ini cukup untuk mencapai perbaikan nutrisi. Saat dikonsumsi RUTF harus dicampur dengan air. Dorong ibu untuk tetap member ASI. Makanan yang lain tidak boleh diberikan sampai BB anak kembali normal. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah: Observasi apakah anak mau mengkonsumsi RUTF yang diberikan. Berikan kadar RUTF yang cukup sampai pertemuan berikutnya (di posyandu) Follow up pasien setiap 2 minggu sampai terjadi peningkatan BB yang memuaskan (>5g/kg/day). RUTF sendiri mengandung ~ 5,5 kcal/g di mana dengan pemberian 200 kcal/kg BB/hari dapat meningkatan berat badan sampai 20g/kg BB). Beri nasihat kepada perawat anak (orang tua) untuk memberi dengan porsi 100 kcal/kg BB/hari sampai oedema menghilang dan bila sudah menghilang
21

dapat diberikan 150-220 kcal/kgBB/hari.Suruh perawat anak untuk member makan sesering mungkin, dan menjaga kehangatan tubuh anak (terutama malam hari) dan untuk kembali periksa ke dokter bila terjadi infeksi dan secara konsisten pasien menolak RUTF. Pastikan perawat/orang tua pasien mengetahui porsi RUTF untuk anaknya 3. Program Nutrisi Rawat Inap Anak dengan gizi buruk yang terlihat sakit dan anoreksia sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit. Penanganan rawat inap bertujuan untuk merawat infeksi serius, komplikasi metabolic dan infeksi yang dapat mengancam nyawa dan untuk menyediakan asupan adekuat untuk pemulihan status gizi. Berdasarkan WHO pengelolaan malnutrisi berat di rumah sakit dibagi dalam 3 fase, yaitu fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. a. Fase stabilisasi Pada fase ini pasien diberikan asupan diet rumatan menggunakan jenis makanan khusus untuk memperbaiki gangguan metabolic dan kemudian ditingkatkan menuju dosis nutrisi yang lebih tinggi. Anak dengan gizi buruk tidak dapat menerima diet protein, lemak, dan Na+. Mulai asupan dengan rendah energy, rendah protein, untuk menstabilisasi proses metabolic dan fisiologik; hal ini dapat memperbaiki udem. Yang perlu diperhatikan pada fase ini adalah:
-

Gunakan regimen starter mengandung formula WHO F-75 atau modifikasinya Atasi dan cegah komplikasi dari malnutrisi berat seperti hipoglikemia, dehidrasi, hipotermia, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi. Porsi makan kecil sering, idealnya setiap 2 jam atau paling lama setiap 4 jam. Pemberian makan di malam hari diperlukan untuk mencegah hipoglikemia. Kebutuhan nutrisi yang diberikan adalah energi sebanyak 100kkal/kgBB, protein 1-1,5 g/kgBB/hari, dan cairan 130 ml/kgBB/hari (bila oedema berat:100 ml/kgBB/hari)

ASI sebaiknya terus diberikan pada anak dengan gizi buruk saja. Jika pasien tidak mampu menerima makanan atatu tidak habis (<80kcal/kg BB/hari) berikan via sonde atau selang nasogastrik. Timbang berat badan, pantau dan catat jumlah cairan yang diberikan, yang tersisa; jumlah cairan yang keluar seperti muntah, dan frekuensi buang air.
22

b. Fase transisi Ketika nafsu makan membaik, udem sudah mulai membaik dan komplikasi mulai teratasi (biasanya selama 73-77 bulan), pasien boleh masuk ke fase transisi dengan peningkatan asupan nutrisi dengan pengawasan ketat. Masalah dapat terjadi bila memberikan diet dengan Na+ dan osmolalitas berlebih dimana akan terjadi gagal jantung akibat fluid overload sehingga harus dilakukan pengawasan tanda vital. Komponen penting pada fase ini adalah: Mengganti susu formula menjadi F-100 Lanjutkan pemberian makanan secara regular ( misalnya, setiap 3 jam)
Pemberian energi masih sekitar100 kkal/kgBB/hari

Pantau frekuensi nafas dan denyut nadi Bila nafsu makan masih baik, berikan terus diet sampai pasien menolak untuk minum Timbang berat badan setiap hari dan nilai kenaikan berat badan rata setelah 3 hari, a. Jika <5g/kg BB/hari, pastikan makanan diberikan dengan tepat, periksa tandatanda infeksi b. Jika terjadi peningkatan 5-10g/kgBB/hari: periksa apakah pasien dapat menerima asupan lebih banyak c. Jika peningkatan >10 g/kg BB/hari: antisipasi awal pasien untuk dirujuk menuju fase berikutnya
d. Selalu monitor tanda-tanda syok (nadi dan respiratory rate), jika ada kurangi

volume makanan c. Fase rehabilitasi Ketika pasien mampu menerima makanan dengan kuantitas lebih besar, pasien dapat masuk ke dalam fase rehabilitasi yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan. Kemudian sebaiknya pasien dirujuk untuk mengikuti program rehabilitasi nutrisi rawat jalan, seperti TURF. Komponen penting pada fase ini adalah
Beri makanan/formula WHO (F135), jumlah tidak terbatas dan sering dengan

kandungan energi 150-220 kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 gram Tambahkan makanan formula, secara perlahan diperkenalkan dengan makanan keluarga
23

Pemantauan: kecepatan pertambahan BB setiap minggu (timbang BB setiap

hari sebelum makan). Jika kenaikan BB kurang (<5g/kgBB/hari), evaluasi kembali secara menyeluruh; bila kenaikan BB sedang (5-10 g/kgBB/hari), evaluasi asupan makanan/infeksi sudah teratasi. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat telah menyediakan suatu pedoman praktis penanganan gizi buruk dengan muntah dengan/tanpa diare atau dehidrasi (Rencana III) sebagai berikut: Pemberian Cairan dan Makanan untuk Stabilisasi (Muntah dan/atau Diare atau Dehidrasi) Segera berikan 50 ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT) 2 jam pertama:

a. Berikan ReSoMal 5 ml/kgBB tiap 30 menit b. Catat nadi dan frekuensi nafas Jika membaik, 10 jam berikutnya: ReSoMal: 5-10 mL/kgBB/setiap pemberian F75 setiap jam dengan dosis menurut BB Catat denyut nadi, frekuensi nafas Bila sudah rehidrasi:
a. Diare (-) : hentikan ReSoMal teruskan F75 setiap 2 jam

a. Teruskan pemberian ReSoMal berselang-seling dengan F75 setiap 1 jam

b. Diare (+): setiap diare berikan ReSoMal *anak <2 tahun: 50-100 ml/setiap diare *anak 2 tahun: 100-200 ml/setiap diare

Bila diare/muntah berkurang, dapat menghabiskan F75, ubah pemberian dalam

tiap 3 jam. Bila tidak ada diare dan anak adapat menghabiskan F75, ubah pemberian menjadi 4 jam. Lanjutkan pemberian ASI. Untuk fase transisi dan rehabilitasi panduannya adalah sebagai berikut: Pemberian Cairan dan Makanan untuk Tumbuh Kejar Pada tahap akhir fase stabilisasi

24

Bila setiap dosis F75 yang diberikan dengan interval 4 jam dapat dihabiskan serta edema hilang atau minimal maka:

F75 diganti dengan F100, diberikan setiap 4 jam, dengan dosis sesuai BB pada F75, dipertahankan selama 2 hari. Ukur dan catat nadi, pernafasan dan asupan F100 setiap 4 jam. Pada hari ke 3, mulai diberikan F100 dengan dosis sesuai BB pada F100. Pada jam berikutnya, dosisnya dinaikkan 10 ml, hingga anak tidak mampu menghabiskan jumlah yang diberikan, dengan catatan tidak melebihi dosis maksimal yang telah ditentukan Pada hari ke 4 diberikan F100 setiap 4 jam, dengan dosis sesuai BB berkisar antara dosis minimal dan maksimal. Pemberian dipertahankan sampai hari ke 7-14 (hari terakhir fase transisi) sesuai kondisi anak. Selanjutnya memasuki fase rehabilitasi dengan F135 dan makanan padat sesuai dengan BB anak.

Lihat kriteria pemulangan a. b. c. Bila BB <7kg beri F135 ditambah dengan makanan lumat/lembek dari sari buah Bila BB 7kg ditambah dengan makanan lunak/lembek dan makanan biasa serta buah Terus berikan makanan tahap rehabilitasi ini sampai tercapai BB/TB 2SD WHO NCHS (criteria sembuh) Adapun kriteria pulang dari rumah sakit pada pasien gizi buruk adalah a. b. Selera makan sudah bagus, makanan dapat dihabiskan Ada perbaikan kondisi mental

25

c.

Anak sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri, atau berjalan, sesuai dengan umurnya Suhu tubuh berkisar antara 36,5-37,5o C Tidak ada muntah atau diare Tidak edema Terdapat kenaikan BB >5g/kgBB/hr selama 3 hari berturut-turut atau sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu Sudah berada pada kondisi gizi kurang

d.

e. f. g. h.

Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya. Berikan setiap hari: Suplementasi multivitamin Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama) Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari Bila BB mulai naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10 mg/kgBB/hari Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat suplementasi vit.A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda/gejala defisiensi vit.A, berikan vitamin dosis terapi. 2. Tangani infeksi HIV pada pasien a. Memberikan obat anti retrovirus (ART: Anti Retroviral Therapy). Pada bayi baru lahir:Pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV dilakukan pada usia 1,2,4,6,18 bulan. Bila hasilnya positif dua kali berturut-turut selang satu bulan, maka segera berikan ART.

26

Pada Anak, bila usia lebih dari 18 bulan lakukan tes antibody HIV. Bila hasil positif, pemberian ART berdasarkan ada tidak gejala klinis dan status imun. b. Tidak memberikan ASI karena resiko penularan. Namun bila pemberian susu formulaatau keterbatasan kesediaan susu formula oleh keluarga, dapat disarankan: ASI eksklusif dengan ASI perah (memeras ASI kemudian dihangatkan) atau menggunakan ibu susuan yang HIV negatif (wet nursing), dan dilanjutkan makanan padat setelah usia 6 bulan. c. Pemberian Imunisasi rutin tetap dilakukan, kecuali bayi mengalami infeksi berat hendaknya tidak diberikan vaksin hidup Polio dan BCG, kemudian bayi dirujuk ke Tim BIHA (Bayi dengan HIV/AIDS) meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi akibat keterbatasan fasilitas air bersih 3. Tangani komplikasi yang terjadi seperti hipoglikemia, hipotermi, dehidrasi, dan ketidakseimbangan cairan. Tangani juga infeksi yang terjadi, seperti diare, serta beri antibiotic profilaksis (cotrimoxazole).

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas penderita Nama Tempat/ tanggal lahir Umur Jenis kelamin Alamat :PYA : Jimbaran,19 Februari 2008 : 4 tahun 2 bulan : Laki-laki : Banjar Cengiling Jimbaran Badung
27

Agama Suku Pendidikan Pekerjaan Orang Tua Tanggal Pemeriksaan 3.2 Heteroanamnesis (Ibu) Keluhan utama Mencret Riwayat penyakit sekarang

: Hindu : Bali : Belum sekolah :: 9 April 2012

Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 10 Maret 2012 pukul 22.45 wita dengan keluhan mencret sejak 7 hari yang lalu (3 Maret 2011). Mencret dikatakan encer, disertai ampas , dengan frekuensi (kurang lebih ) 4 kali dalam sehari, volume (kurang lebih) setengah gelas aqua setiap buang air besar, tanpa disertai darah, lendir, dan keluhan muntah disangkal oleh pasien. Demam juga dikeluhkan pasien sejak 7 hari bersamaan dengan gejala diare yang dialaminya dan masih dirasakan hingga pasien masuk rumah sakit. Demam naik turun, tanpa disertai mengigil. Pasien tidak diberi obat penurun panas. Pasien menyangkal ada riwayat kejang, gusi berdarah, mimisan, dan berak hitam. Buang air kecil normal terakhir pukul 19.00 wita ( 10/3/2012 ). Pasien cukup lahap minum. Pasien dikeluhkan sariawan sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, nyeri dikatakan pada sariawan sehingga pasien sulit makan dan nafsu makan menurun. Mulai umur 9 bulan dari Kartu Menuju Sehat pasien, berat badan pasien mulai menurun hingga pada usia 25 bulan berat badan penderita selalu ada di bawah garis merah dari kartu tersebut. Saat ini (9 April 2012) pasien tidak lagi mengeluhkan adanya demam ataupun mencret. Hanya saja sariawan masih dikeluhkan pasien dan masih membuat pasien kesulitan untuk makan. Riwayat penyakit sebelumnya Riwayat diare berulang ada sejak anak berusia (kurang lebih) 1,5 tahun. Pasien di katakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya tetapi pasien dikatakan berat badan terus menurun sejak bayi. Pasien masuk rumah sakit (10 Maret 2012) dengan diagnosa gizi buruk tipe marasmus.
28

Riwayat pengobatan 7 hari sebelum masuk rumah sakit pasien telah berobat ke bidan untuk diare, diberikan vitamin dan obat diare dan tidak membaik. Setelah masuk rumah sakit diberikan : - 50 ml glukosa dengan NGT - 50 cc ReSoMal tiap 30 menit dalam 2 jam - 10 jam berikutnya: a. Pemberian ReSoMal berselang dengan F75 setap 1 jam ReSoMal: 100 cc dan F75 100 cc setiap 2 jam - vitamin C, vitamin B kompleks dan asam folat Riwayat penyakit dalam keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama seperti penderita. Riwayat persalinan Penderita lahir spontan di ditolong dokter, usia kehamilan 7 bulan dengan berat lahir 2000 gram, panjang badan lupa, langsung menangis, adanya kelainan berupa kandung kemih yang keluar Riwayat imunisasi: Riwayat imunisasi dikatakan lengkap, yaitu BCG 1 kali, Hepatitis B 3 kali, Polio 4 kali, DPT 3 kali dan campak 1 kali. BCG skar (+) di deltoid kanan.

Riwayat nutrisi: ASI Susu Formula Bubur nasi + kacang hijau Makanan dewasa Riwayat tumbuh kembang
29

: 0 bulan 2 tahun :: 4 bulan -1 tahun : mulai umur 1 tahun

Tertawa Mengangkat kepala Balik badan Duduk Berdiri Berjalan Berbicara

: 2,5 bulan : 3 bulan : 4 bulan : 6 bulan : 11 bulan : 13 bulan : 15 bulan

3.3 Pemeriksaan fisik Status Present Keadaan umum Kesadaran N RR T ax. BB BBI TB LLA Status gizi : sedang : kompos mentis : 100 kali/ menit, reguler, isi cukup : 28 kali/ menit, reguler. : 36,5 C : 11 kg : 14 kg : 93 cm : 11,5 cm : Waterlow = 78 % (Gizi Kurang) Z-score= - 3 SD - -2 SD (Gizi Kurang) Status generalis Kepala Mata THT Telinga Hidung Tenggorok : normocephali, UUB menutup : konjungtiva pucat -/- , ikterus -/- , RP +/+ isokor : : sekret -/: napas cuping hidung (-) : faring hiperemis (-), pada mukosa rongga mulut tampak oral thrush tonsil: T1/ T1, hiperemis (-).
30

Mulut Leher Thoraks Inspeksi Jantung Inspeksi Palpasi Auskultasi Paru-paru Auskultasi Abdomen Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi Ekstremitas

: mukosa bibir basah (+) : Pembesaran kelenjar getah bening di leher dan inguinal : bentuk torak simetris, gerakan dada simetris : iktus kordis tidak tampak, Precordial Bulging (-) : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-), thrill (-) : S1S2 normal reguler murmur (-) : bronkovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/: distensi (-), tampak fiksasi eksterna melintang pada perut : bising usus (+) normal : Hepar :1/2-1/2, tepi tumpul Lien : S1 : timpani : akral hangat (+), edema (-), CRT < 3 detik

Pemeriksaan Penunjang Darah lengkap WBC : 3,82 K/L Neu : 41,6 % Lym : 43,1 % Mo : 6,50% Eos : 2,2 % Baso : 0,182 % RBC : 4,18 x103/mikroliter (N= 4,1 5,3) (R= 9,0 14,0) (R= 78 - 102)
31

(R= 6 14)

HGB : 8,5 gr/dl MCV : 68,6 fl

MCH : 20,4 pg MCHC:29,8g/dl HCT : 28,7 % PLT SERUM Bilirubin direct Bilirubin indirect SGOT SGPT Total Protein Albumin Globulin Hbs Ag Anti HCV Pemeriksaan elektrolit Cholesterol HDL Direk LDL Tryglecerida Natrium Kalium Chlorida Calsium CD4 : 77.00 mg/dL : 19.00 mg/dL : 41.4 mg/dL : 83 mg/dL : 128 mmol/L : 3.35 mmol/L : 93 mmol/L : 8.15 mg/dL : 10 sel/ mikroliter : 0.03 mg/dl : 0.06 mg/dl : 461 U/L : 429 U/L : 6.5 g/dl : 3,10 g/dl : 3,4 g/dl : 0.568 coi : 0.191 coi : 184 K/L

(R=25 - 35) (R= 31 - 36) (N= 45,0 67,0) (N= 150,0 450) (N= 0,0 0.3) (N= < 0.8) (T= 11-33) (T= 11-50) (N= 4 6) (R=3.5 5.2) (N= 3.2 3.7) non reaktif non reaktif

Pemeriksaan imunologi

Assesment: SIDA Stadium III + Gizi Kurang


32

Tanggal 9/4/12

Subjective Demam Diare -

Objective Status Present KU : Cukup Baik Kes : CM R R : 30 x / menit N : 100 x / menit Tax : 36 oC Status General : Kepala : N Cephali Mata : an-/- , ikt-/-, THT : NCH +, terpasang CPAP Thorax : Cor : S1 S2 N reg m Po: Ret + subcostal, bves +/+ Rh -/- ,Wh -/Abd : dist - , BU + N, H/L ttb Ext : akral hangat + CRT < 2 edema Status Present KU : Cukup Baik Kesadaran : CM R R : 24 x / menit N : 110 x / menit Tax : 36,9 oC Status General : Kepala : NormoCephali Mata : Konjungtiva pucat, ikt-/-, RP+/+ isokor THT CPAP + Thorax : Cor : S1 S2

Assesment SIDA stadium III + Gizi Kurang

Terapi: a. F100: 4x300cc b. Vit. B complex 1x1 tab c. Vit C 1x1 tab d. Asam folat 1x1 tab e. Resomal 100cc bila ada mencret f. Estazor 3x120cc g. Cotrimoxazole 1x cth 1 (PO) 3.4 Follow Up Pasien

Planning P/ Target Mx f100: 4x300cc Vit, B complex 1x1 tab Vit C 1x1 tab Asam folat 1x1 tab Resomal 100cc setiap mencret Estazor 3x120cc Cotrimoxazole 1x cth 1 (PO)

10/4/12

Demam Diare -

SIDA Px : stadium III + F100: 4x300cc + Gizi Kurang bubur 2x1 porsi Cotrimoxazole 1x cth 1 (PO) Vit, B complex 1x1 tab Vit C 1x1 tab Asam folat 1x1 tab Resomal 100cc setiap mencret Estazor 3x120cc (PO)
33

BAB IV PEMBAHASAN Pasien Pediatri dan terinfeksi virus HIV memiliki permasalahan yang kompleks dimana dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan yang harus diberikan haruslah bersinergi dengan keadaan umum pasien anak tersebut. Pada pasien dengan gizi buruk kita harus memperbaiki gizi buruk yang dialami pasien tersebut yang nantinya akan berefek sinergis dengan penatalaksanaan pada pasien AIDS. Pasien ini datang ke rumah sakit dengan keluhan mencret dan telah diberikan pengobatan diare. Pasien ini juga memiliki riwayat sebelumnya dari umur 1,5 tahun pernah mengalami mencret dan sering berulang. Dimana sesuai dengan tinjauan pustaka yang ada bahwa terjadinya diare yang terus berulang, ada baiknya kita mencurigai pasien tersebut terinfeksi virus HIV, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan fisik, DL dan juga pemeriksaan CD4. Diagnosis Pada pasien ini ada dua diagnosis yang harus kita tegakkan yaitu penilaian mengenai diagnosis AIDS serta penilaian mengenai nilai gizi dari pasien tersebut. Hal tersebut dapat kita lakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta beberapa hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Pasien Anamnesis
-

Tinjauan Pustaka Anamnesis dikeluhkan mencret


-

Pasien

Pada pasien HIV/AIDS dapat terjadi diare persisten dan infeksi yang berulang yang

sejak 7 hari yang lalu sebelum

34

masuk rumah sakit dengan frekuensi (kurang lebih ) 4 kali dalam sehari, tanpa disertai darah, lendir , dan pasien tidak mengalami muntah. -

ditandai demam yang naik turun. Hal ini diakibatkan karena menurunnya sel limfosit CD4 dan monosit/makrofag sehingga terjadi depresi sistem imun sehingga akan sangat mudah terjadi infeksi oportunistik pada pasien HIV.
-

Demam naik turun sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Sariawan sejak 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, terasa nyeri makan menurun. dan pasien sulit nafsu makan
-

Pasien dapat mengalami sariawan karena mengalami mikronutrien defisiensi yaitu salah satu zat Vitamin C akibat

malabsorpsi yang terjadi pada pasien dan adanya lesi oral akibat infeksi candida. Penilaian gizi yaitu terjadi keluhan penurunan badan yang cukup signifikan. Status gizi buruk dapat terjadi pada pasien HIV/AIDS akibat asupan nutrisi yang berkurang, malabsorpsi dan diare kronis yang terjadi pada pasien. -

Mulai umur 9 bulan dari kartu menuju sehat pasien, berat badan mulai menurun hingga pada usia 25 bulan berat badan penderita selalu ada di bawah garis merah dari kartu tersebut.

Pemeriksaan Fisik -

Pemeriksaan Fisik : 78 % Dapat terjadi demam yang berulang akibat dari infeksi oppurtinistik Terjadi limfadenopati generalisata:

Pasien tampak kurus Status gizi 3SD - - 2SD (menurut waterlow); z score -

Terdapat hepatomegali Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di aksila dan inguinal -

pembesaran kelenjar pada 2 atau lebih ekstra inguinal tanpa kausa yang jelas Pembesaran hepar tanpa kausa yang jelas Anak tampak kurus, seperti tulang

Terdapat

oral

thrush

pada

dibungkus kulit, wajah seperti orang tua, kulit keriput, perubahan mental cengeng
35

rongga mulut
-

dan rewel. Pemeriksaan status gizi berdasarkan

waterlow sebesar 78% menunjukkan gizi kurang serta kurva WHO diantara -3SD -2SD menunjukkan gizi kurang -

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang -

Pasien dengan HIV terjadi leucopenia akibat sel tersebut, khususnya limfosit T CD4 menjadi sel inang tempat replikasi virus HIV

Leukopenia Kadar CD 4 yang rendah (10 sel/mm3) Anemia hipokromik mikrositer Peningkatan SGOT & SGPT Penurunan Albumin Serum -

Pemeriksaan CD4 utk mengetahui status immunosupresi. Kadar CD4 pasien masuk dalam kategori supresi berat (<500 mm3) Anemia hipokromik mikrositer dapat terjadi akibat asupan nutrisi FE yang kurang atau akibat malabsorpsi akibat diare

Penurunan albumin serum terjadi pada pasien dengan gizi buruk akibat asupan

Diagnosis SIDA Stadium III + Gizi Kurang

protein yang kurang Diagnosis Pasien ini didiagnosis SIDA stadium III sesuai dengan keadaan klinis yang sesuai dengan SIDA Stadium III yang dialami pasien yaitu adanya malnutrisi sedang, terdapat oral thrush, anemia tanpa kausa yang jelas. Sedangkan diagnosis gizi kurang ditegakkan melalui pemeriksaan ditemukan status gizi pasien menurut WHO yaitu gizi kurang

36

dengan Z-Score (-3 SD - -2 SD) atau menurut Waterlow dengan persentase 78%.

Penatalaksanaan a. Penatalaksanaan HIV Pada pentalaksanaan pasien gizi buruk dengan AIDS banyak hal yang perlu dipertimbangkan pada pemberian infeksi virus HIV dengan ARV memiliki resiko diantaranya resiko resistensi obat, kemungkinan resiko interaksi obat-obat akibat infeksi oppurtinitik lainnya, kemungkinan resiko obat dan akibat pada keluhan penurunan nafsu makan. Hal tersebut mengakibatkan perlunya monitor klinis dan imunologis yang baik, selain itu diperlukan pula perhatian terhadap tumbuh, ketaatan minum obat dan efek samping obat. Maka dilakukan penatalaksanaan komperhensif yang dilakukan untuk pasien ini dimana kita perbaiki status gizinya terlebih dahulu sehingga nantinya resiko buruk pemberian ARV yang kita takutkan dapat merusak hati dan beberapa resiko lainnya tidak terjadi. Oleh karena itu kita lakukan tatalaksana sesuai dengan algoritma pada tinjauan pustaka dan kita lakukan fase stabilisasi, fase transisi serta fase rehabilitasi dan kita nilai kondisi pasien dengan nilai darah lengkap serta Serum pasien untuk nantinya kita dapat melakukan penatalaksanaan infeksi virus HIV tersebut. Pasien dengan perbaikan status gizi dengan monitoring yang tepat kita dapat memberikan terapi ARV. Dimana ada beberapa Indikasi Pengobatan Anti Retrovirus pada Anak: 1. Diagnosis infeksi HIV (+) 2. Gejala Klinis Stadium I-IV 3. Status Imunosupresi 2 atau 3 4. Semua bayi dengan diagnosis HIV (+) kurang dari 12 bulan 5. Usia = 1 tahun tanpa gejala klinis dan status imun normal Opsi 1 berikan terapi antiretrovirus

37

Opsi 2 berikan terapi antiretrovirus bila resiko progresivitas tinggi, namun bila resiko rendah pemberian ARV ditunda sambil memonitor status klinis, imunitas dan virology untuk melihat perubahan resiko progresivitas. Dalam laporan kasus pasien didiagnosis dengan SIDA stadium III, berdasarkan kriteria di atas pasien seharusnya sudah mendapatkan terapi ARV, tetapi dalam kasus pasien belum mendapatkan pengobatan ARV. Pada pemeriksaan LFT, didapatkan SGOT dan SGPT yang sangat tinggi. Pengobatan dengan menggunakan ARV khususnya golongan NRTI dapat menyebabkan hepatomegali berat dan membuat kerusakan hati. Oleh karena itu diperlukan suatu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hati pasien untuk menjadi normal kembali. Salah satu cara adalah dengan memberi pengobatan Estazor (asam ursodeoxycholic) yang secara klinis dapat memperbaiki LFT dan menurunkan progresivisitas penyakit liver. Selain itu diperlukan pengobatan profilaksis terhadap infeksi pada pasien dengan HIV/AIDS. Untuk pengobatan profilaksis infeksi dianjurkan pemberian kotrimoksasol. b. Penatalaksanaan malnutrisi Oleh karena pasien masih belum dapat menerima ARV maka terapi difokuskan untuk mengatasi masalah malnutrisi pada pasien terlebih dahulu. Ketika pasien masuk rumah sakit pasien didiagnosa dengan gizi buruk dengan status gizi menurut waterlow sebesar 69% dan z score < -3SD. Oleh karena pasien datang dengan keluhan diare tanpa tanda syok dan letargi maka sesuai tatalaksana gizi buruk Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, pengobatan pasien masuk dalam rencana III: a. 50 ml glukosa dengan NGT b. 50 cc ReSoMal tiap 30 menit dalam 2 jam c. 10 jam berikutnya: Pemberian ReSoMal berselang dengan F75 setap 1 jam ReSoMal: 100 cc dan F75 100 cc setiap 2 jam d. Tablet besi, vitamin C, vitamin B, asam folat Pada follow up tanggal 9 April 2011, diagnosis pasien adalah gizi kurang dan pada saat ini pasien sudah memasuki masa transisi di mana pasien sudah mendapat F100 4x300cc. Sesuai dengan dosis pemberian F100 menurut berat badan (BB pasien adalah 11 kg), pemberian
38

dan frekuensi F100 yang diberikan sudah tepat. Bila pasien mengalami mencret kembali, ReSoMal kembali diberikan sebanyak 100 cc. Pada follow up hari selanjutnya pasien mulai diberikan makanan lumat (bubur nasi) sebagai tambahan selain F100. Hal ini menandakan pasien sudah mulai memasuki masa rehabilitasi dan perlu dipikirkan untuk memulangkan pasien dengan menyesuaikan dengan kriteria. Selain makronutrien pasien juga harus mendapat asupan gizi mikronutrien, oleh karena itu pasien juga diberikan vitamin B kompleks, vitamin C, dan asam folat.

39

BAB V PENUTUP

Menangani gizi buruk pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS bukanlah suatu hal yang mudah. Infeksi oportunistik dan gejala lainnya kerap sekali menghalangi pasien untuk memulihkan status gizinya. Sejak HIV menjadi pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap tahun sekitar 400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak (penularan vertikal). Malnutrisi dapat terjadi akibat asupan nutrisi yang kurang (ketersediaan pangan yang kurang, malabsorpsi, dan diare kronis mengakibatkan banyak nutrisi yang hilang) dan banyaknya kalori yang diperlukan akibat reaksi inflamasi yang terjadi dalam tubuh. Penanganan gizi buruk pada pasien pediatri dengan HIV positif tidaklah berbeda bila dibandingkan dengan pasien pediatri dengan HIV negative. WHO telah membuat panduan yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah gizi buruk ini dengan melalui 3 fase, yaitu fase stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. Selain makronutrien yang diperoleh melalui pemberian formula WHO, pasien gizi buruk juga harus diberi pengobatan terhadap defisiensi mikronutrien seperti besi, asam folat, zync, Vit B kompleks, Vit C, Vit A, dll. Penanganan terhadap HIV yaitu dengan memberikan ARV dan menangani infeksi yang telah terjadi dan mencegah terjadinya infeksi dengan pemberian antibiotik profilaksis.

40

41

You might also like