You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Latar Belakang Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah suatu sindrom klinis yang memerlukan evaluasi segera dan hati-hati. Sindrom ini memberikan akibat berupa kelumpuhan akut pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior. Sindrom ini dapat menyerang otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan kematian. Setiap kasus AFP merupakan suatu keadaan darurat sehingga diagnosis akurat dari AFP penting untuk menentukan terapi dan mengetahui prognosis penyakit pada pasien. Di akhir abad 20, Kongres Kesehatan Dunia (World Health Assembly) menetapkan bahwa memasuki abad 21, seluruh dunia harus bebas dari permasalahan polio, salah satu penyebab AFP. Namun pada faktanya, di seluruh dunia minimal 30 negara merupakan daerah endemis polio. Sehingga eradikasi polio menjadi suatu tugas berat bagi semua pihak. Daftar penyebab AFP sangatlah luas dan didapatkan variasi yang dipengaruhi oleh umur, etnis, dan wilayah. Selain permasalahan polio, bentuk demielinasi akut Sindrom Guillane Bare adalah sekitar 50% dari kasus AFP, diikuti dengan infeksi virus non-polio seperti Mumps Virus, Epstein-Barr virus, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan West Nile virus. Host atau faktor lingkungan secara signifikan dapat mempengaruhi terjadinya AFP. Lingkungan yang tidak sehat dan higienitas hidup yang kurang baik dapat menimbulkan AFP, selain faktor immune regulated. Lingkungan yang tidak sehat dan tidak higienis tersebut dapat menyebabkan virus dan bakteri penyebab dengan mudah menyerang orang yang tinggal di lingkungan tersebut. Dengan masih tingginya angka kemiskinan dan kesadaran lingkungan bersih yang masih kurang baik di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, dan ancaman fatal yang ditimbulkan dari AFP berupa kelumpuhan dan kematian, maka

pengetahuan yang baik mengenai berbagai macam kelumpuhan akut, perjalanan penyakit, dan penanganan yang diperlukan untuk mengatasinya menjadi dasar pembahasan Text Book Review kali ini. 1.2.Tujuan Penulisan a. Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai berbagai gangguan Acute Flaccid Paralysis b. Memenuhi syarat mengikuti ujian program pendidikan profesi di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Definisi Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara akut yang mengenai final common path, motor end plate, dan otot yaitu pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior. Istilah flaccid menggambarkan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN), mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti gangguan pada susunan saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hiperrefleks, klonus, atau respon ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan karakteristik gejala klinis kelemahan yang timbul dengan cepat, termasuk kelemahan pada otot-otot pernapasan dan otot penelan, berkembang cepat menjadi berat dalam beberapa hari sampai minggu. II.2. Pendekatan Klinis Pasien AFP Setiap kasus AFP adalah keadaan darurat klinis dan membutuhkan penanganan segera. Dalam setiap kasus, penjelasan rinci tentang gejala klinis harus diperoleh. Gejala tersebut termasuk kelumpuhan, gangguan gaya berjalan, kelemahan atau gangguan koordinasi dari satu atau beberapa alat gerak tubuh. Berbagai macam lesi yang dapat timbul pada sususan lower motor neuron berarti lesi tersebut merusak motoneuron, akson, motor end plate, dan otot skeletal, sehingga tidak terdapat gerakan apapun walaupun impuls motorik disampaikan ke motoneuron. Kelumpuhan tersebut disertai dengan tanda-tanda lower motor neuron yaitu: a. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga refleks tendon hilang dan refleks patologik tidak muncul. b. Tonus otot hilang. c. Musnahnya motoneuron beserta akson sehingga kesatuan motorik hilang dan terjadi atrofi otot.

Tanda-tanda

AFP

harus

dievaluasi

secara

klinis

dengan

pemeriksaan neurologis lengkap, termasuk penilaian kekuatan dan tonus otot, refleks tendon, fungsi saraf kranial dan fungsi sensoris. Perlu diperhatikan adanya tanda-tanda meningismus, gangguan sistem saraf pusat (ataxia) atau sistem saraf otonom (fungsi usus dan kandung kemih, sfingter, dan refleks berkemih neurogenik). Pemeriksaan laboratorium diperlukan pemeriksaan laju sedimentasi sel darah merah. Pemeriksaan elektrofisiologi sangat penting dalam menentukan diagnosis dan prognosis penyakit motorneuron. Pemeriksaan pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal diindikasikan untuk menyingkirkan diagnosis adanya infeksi bakteri pada sistem saraf. Infeksi bakteri ditunjukkan dengan adanya neutrofil, tingkat glukosa rendah, dan kandungan protein yang tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi organisme spesifik. Pencitraan tulang belakang, seperti radiografi, CT-SCAN, atau magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menyingkirkan kompresi tulang belakang, mielopati, atau neoplasma poliradikulopati spondilosis. Pemeriksaan elektrokardiogram dapat diindikasikan untuk mendiagnosis adanya gangguan metabolisme elektrolit, seperti kelumpuhan periodik yang disebabkan oleh keadaan hipovolemia. II. 4. Diagnosis Banding AFP

Gambar 1. Diagnosis Banding AFP pada Lower Motor Neuron

1. Lesi pada sel kornu anterior a. Poliomielitis Poliomielitis atau polio, berasal dari bahasa yunani yaitu polio (abu-abu) dan mielin (medula spinalis). Poliomielitis akut adalah suatu penyakit sistemik akut yang mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang otak, dan dapat pula mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basalis, dan korteks motorik serebri. Polio menyerang tanpa peringatan, merusak sistem saraf hingga menimbulkan kelumpuhan permanen terutama pada kaki. Penderita polio dapat meninggal akibat kelumpuhan juga menyerang otot-otot pernapasan. Sebagian besar kasus poliomielitis merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik. Dapat juga dijumpai poliomielitis abortif, yaitu timbul gejala infeksi sistemik ringan berupa flu dan gangguan gastroenteritis karena terjadi viremia. Angka kejadian polio yang tercatat pada tahun 2004 mencapai 1.185 di 17 negara dimana lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia 3-5 tahun. Agen pembawa penyakit ini yaitu sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang terinfeksi atau minuman yang terkontaminasi feses. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kelumpuhan (paralisis). Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Mekanisme virus polio menginfeksi sistem saraf pusat belum diketahui secara pasti. Ada tiga mekanisme yang diduga: pertama virus polio menginfeksi sistem saraf pusat melalui transport axon dengan arah yang berlawanan dengan sinyal saraf dimana sinyal saraf bergerak dari saraf pusat ke otot sementara virus dari otot ke

sistem saraf. Kemungkinan kedua yaitu virus polio menembus sawar darah otak terpisah dari keberadaan reseptor seluler untuk virus polio. Dan kemungkinan ketiga yaitu virus polio berpindah ke sistem saraf pusat melalui sel makrofag. Hingga saat ini berbagai bukti ilmiah lebih mendukung hipotesis pertama. Terdapat beberapa jenis polio, yaitu: 1. Polio paralisis spinal Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol

pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap oleh pembuluh darah kapiler pada dinding usus dan diangkut ke seluruh tubuh. Virus Polio menyerang saraf tulang belakang dan syaraf motorik -- yang mengontrol gerakan fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Infeksi ini akan memengaruhi sistem saraf pusat lalu menyebar sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf pusat, virus akan menghancurkan saraf motorik. Saraf motorik tidak memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi pada kaki. Kelumpuhan ini timbul dalam waktu sangat cepat, yaitu dalam beberapa jam sampai 48 jam atau maksimal mencapai 10-12 hari. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas, kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi berat pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia. Meskipun strain ini dapat menyebabkan

kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. 2. Polio non-paralisis Polio non paralisis ini meliputi gejala berupa nyeri kepala, leher, punggung, dan tungkai. Selain itu pasien juga mengeluhkan demam, mual, muntah, nyeri abdomen, dan sensitif. Pada polio jenis ini tidak ditemukan adanya paralisis, namun otot penderita terasa lembek jika disentuh. 3. Polio bulbar Polio bulbar disebabkan tidak adanya kekebalan alami sehingga batang otak penderita ikut terserang virus polio. Batang otak yang mengandung berbagai saraf motorik yang mengatur pernapasan dan saraf kranial. Kelumpuhan yang sering terjadi adalah kelumpuhan pada Nn. IX yang mengakibatkan gangguan menelan dan Nn. X yang mengatur jantung, usus, paru-paru dan saraf yang mengatur pergerakan leher. Selain itu juga terjadi berbagai gangguan pergerakan bola mata, gangguan pada saraf trigeminal yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata dan otot muka, gangguan pada saraf pendengaran, dan gangguan pada saraf tambahan yang mengatur pergerakan pada leher. Virus juga dapat menyerang otot pernapasan dan dapat mengakibatkan kematian, dimana lima sampai sepuluh persen penderita polio bulbar akan meninggal akibat gangguan pada saraf kranial yang mengatur otot pernapasan tersebut. Tingkat kematian karena polio bulbar antara 25-75% tergantung usia penderita. Penderita polio bulbar bertahan hidup dengan bantuan alat pernapasan. Namun demikian, penderita yang sembuh dapat memiliki fungsi tubuh yang mendekati normal karena jenis ini tidak mengakibatkan paralisis yang permanen.

b. Non polio enterovirus Penyakit lain yang dapat menyebabkan AFP antara lain adalah acute haemorrhagic conjunctivitis (AHC), dan aseptic meningitis. Virus lain yang dapat menyebabkan AFP selain polio yaitu Coxsackievirus A dan b, echoivirus, enterovirus 70, dan enterovirus 71. 2. Poliradikuloneuropati a. Sindrom Guillane-Bare (SGB) SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Etiologi masih belum diketahui dengan pasti. Infeksi, vaksinasi, pasca pembedahan, penyakit sistemik berupa keganasan, sistema lupus eritematosus, tiroiditis, dan kehamilan diduga memiliki hubungan dengan kejadian Sindroma Guillane Barre. Dua pertiga penderita penyakit SGB berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut. Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya 1-3 minggu. Infeksi pada saluran napas atas atau infeksi gastrointestinal diduga memiliki hubungan paling tinggi, dimana insidensinya mencapai 56-80% kasus. Mekanisme bagaimana berbagai penyebab tadi

mengakibatkan terjadinya demielinisasi akut belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli memperkirakan kerusakan saraf yang terjadi akibat proses imunologik. Hal ini ditandai dengan ditemukannya antibodi atau respon kekebalan seluler terhadap agen infeksius saraf tepi. Selain itu juga ditemukan timbunan kompleks

antigen

antibodi

pada

pembuluh

darah

saraf

tepi

yang

menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi. Gejala klinis SGB yaitu timbulnya suatu kelumpuhan akut disertai hilangnya refleks tendon dan didahului parestesi dua sampai tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada CSS dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah kelemahan otot, akibat terhambatnya atau terhentinya konduksi dari spinal cord ke neuromuscular junction. Gejala kelemahan motorik yang timbul pada SGB bersifat asendens, progresif, berlangsung cepat dalam 4 minggu, hiporefleks, berlangsung simetris dan gejala gangguan sensibilitas yang muncul bersifat ringan. Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri, pengobatan biasanya bersifat simtomatik. Tujuan terapi adalah untuk

mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui imunoterapi. Prognosis pasien biasanya baik, 95% dapat terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa. Penderita dengan usia 30-60 tahun memiliki prognosis lebih baik. Namun demikian, sebagian kecil penderita dapat meninggal dan memiliki gejala sisa. b. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) Acute Motor Axonal Neuropathy merupakan varian dari Sindrom Guillain Bare. Karakteristik dari penyakit ini adalah timbulnya paralisis akut dan hilangnya refleks, namun tidak disertai hilangnya kemampuan sensoris. Sindrom ini ditandai dengan munculnya kelumpuhan flaksid progresif yang simetris dan hilangnya refleks, juga seringkali mengakibatkan gangguan respirasi. Kelumpuhan yang muncul luas dengan pemulihan yang lambat dan seringkali tidak lengkap, kelemahan wajah kedua sisi, keterlibatan lidah, namun persepsi sensorik masih normal. Gejala awal berupa kelemahan kaki dan leher yang sulit untuk fleksi, berkembang dengan cepat dalam 6 hari dan mempengaruhi kesimetrisan kedua lengan dan otot pernapasan.

c. Gangguan Neurologi akibat infeksi HIV/AIDS dan infeksi oportunistik Berbagai macam gangguan dapat menjadi penyulit pada timbulnya permasalahan Acute Flaccid Paralysis. Gangguan tersebut dapat diakibatkan: 1. Infeksi HIV dan AIDS 2. Infeksi oportunistik, seperti infeksi citomegalovirus, herpes zooster, Toxoplasma, Micobacterium tuberculosis, atau sifilis. 3. Defisiensi vitamin B12 mengakibatkan timbulnya AIDS terminal neuropatik. Citomegalovirus dapat mengakibatkan meningoencephalitis, myelitis, dan citomegalovirus-poliradiculomyelopati.

Citomegalovirus - poliradiculomyelopati merupakan suatu sindrom klinis langka dan khas yang mengakibatkan kelemahan tungkai bawah, sering didahului rasa sakit dan parasthesia di kaki dan perineum, menghilangnya refleks, retensi urin dan hilangnya kontrol sfingter. 3. Mielopati akut a. Acute transverse myelitis (Mielitis Transversa Akut) Istilah mielitis digunakan pada timbulnya lesi di medula spinalis akibat peradangan dan akibat lesi yang menyerupai peradangan dan disebabkan oleh proses patologik yang menyerupai infeksi. Peradangan dapat merusak atau menghancurkan mielin, substansi lemak yang meliputi isolasi sel serabut saraf. Hal ini menyebabkan kerusakan sistem saraf yang mengganggu impuls antara saraf-saraf di sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh. Acute transverse mielitis disebabkan infeksi virus, reaksi imunologik, atau tidak cukupnya aliran darah melalui pembuluh darah di sumsum tulang belakang. Mielitis transversa juga dapat timbul akibat komplikasi sifilis, campak, dan beberapa vaksinasi termasuk cacar dan rabies serta idiopatik.

10

Sebagai penyebab AFP, acute transverse mielitis jarang ditemui dibandingkan Sindrom Guillan Bare. Setiap tahun dilaporkan kejadian kurang dari 1 kasus per 2 juta penduduk. Gejala yang timbul pada awalnya seperti nyeri pada punggung bawah, kelemahan ekstremitas bawah, AFP, distensi urin, konstipasi, hiporefleks, gangguan sensorik, nyeri dan parastesia. Nyeri merupakan gejala utama mielitis transversa. Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia. Setelah 2-3 minggu akan muncul hiperrefleks dan spastisitas. Sepertiga dari penderita akan pulih, sepertiga lainnya pulih sebagian, dan sisanya tetap mengalami kecacatan atau kematian. Diagnosa Mielitis transversa akut harus dapat dibedakan dengan mielopati kompresi medula spinalis. Lesi kompresi dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan penyakitnya tidak akut, sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi parenkim medula spinalis. Pasien yang datang dengan onset gejala dalam waktu 10 hari atau terjadi progresifitas defisit neurologik diterapi dengan pemberian glukokortikoid atau ACTH.

Glukokortikoid diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kgBB. Penderita mendapatkan diet rendah garam dan pemberian ranitidin 150 mg. Pasien juga perlu dipasang kateter karena adanya retensi urin dan untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigasi antiseptik dan pemberian antibiotik profilaksis. Perlu dilakukan alih birang tiap 2 jam untuk mencegah ulkus dekubitus. Setelah masa akut berlalu, rehabilitasi harus dimulai sedini mungkin untuk mengurangi kontraktur dan mencegah tromboemboli. b. Mielopati akut akibat kompresi tulang belakang Mielopati atau kerusakan medula spinalis dapat muncul akibat Space Occupying Lession (SOL), abses epidural, hematoma, atau akibat tumor. Keluhan yang muncul berupa kelemahan ekstremitas bawah, AFP, distensi urin, konstipasi, hiporefleks, gangguan

11

sensorik dan parestesi. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal dapat ditemukan peningkatan protein. 4. Trauma a. Trauma akibat suntikan pada otot gluteus Pemberian suntikan pada otot gluteus masih banyak ditemukan pada misalnya pemberian vaksin difteri-pertusis-tetanus dan penberian suntikan obat-obatan secara intramuskuler. Padahal pemberian suntikan ini memiliki risiko berupa trauma langsung atau neuritis postinjection. Untuk mengurangi risiko tersebut, WHO (World Health Organization) merekomendasikan pemberian vaksin dengan suntikan pada paha atas anterolateral atau pada lengan atas. Trauma neuritis harus dibedakan dengan pemberian vaksin poliomielitis. b. Spinal Cord Injury Spinal Cord Injury atau cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering

menimbulkan kecacatan permanen pada usia muda. Insidensi cedera medula spinalis ini mencapai 11,5-53,4 kasus per 100.000 penduduk per tahun, belum termasuk penderita yang meninggal pada saat terjadi cedera akut. Cedera medula spinalis terutama disebabkan karena trauma. Trauma tersebut dapat mengakibatkan cedera medula spinalis secara langsung, ataupun menimbulkan fraktur dan instabilitas tulang belakang sehingga timbul cedera secara tidak langsung. Cedera sekunder berupa iskemia muncul yang mengakibatkan pelepasan eksitotoksin, terutama glutamat, yang diikuti influks kalsium dan pembentukan radikal bebas dalam sel neuron di medula spinalis mengakibatkan nekrosis dan terputusnya akson pada segmen medula spinalis yang terkena. Edema yang terjadi pada daerah iskemik akan memperparah kerusakan sel neuron. Beberapa minggu setelah itu, pada daerah lesi akan terbentuk jaringan parut yang terutama terdiri dari sel glia. Akson yang rusak akan mengalami
12

pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia. Kondisi demikian ini diduga sebagai penyebab terjadinya kecacatan permanen pada cedera medula spinalis. Sebagian besar cedera medula spinalis traumatik terjadi di daerah servikal. Akan tetapi yang paling sering mengakibatkan cedera berat adalah trauma di daerah torakal. Hal ini berkaitan dengan penampang melintang kanalis spinalis di daerah torakal yang lebih sempit dibanding servikal. Cedera medula spinalis di segmen torakal dapat mengakibatkan paraplegia, disertai kelemahan otot interkostal yang dapat mengganggu kemampuan inspirasi dan ekspirasi. c. Gangguan kardiovaskuler dan komplikasi operasi Kerusakan saraf tulang belakang dapat terjadi pasca operasi akibat timbulnya iskemia karena gangguan pada arteri radikuler di bawah toraks atau lumbal setinggi vertebra dan dapat menyebabkan paraplegia atau paraparesis total. Terjepitnya aorta dan tekanan darah tinggi meningkatkan kemungkinan terjadinya hal tersebut. Pemeriksaan klinis memperlihatkan adanya AFP, tidak adanya refleks, hilangnya sensoris dan hilangnya refleks spingter dan kandung kemih. 5. Neuropati Perifer Neuropati perifer adalah istilah untuk kerusakan serabut saraf dari sistem perifer yaitu berupa kerusakan pada selubung mielin atau kerusakan pada akson serabut tersebut. Proses patologik yang mendasari polineuropati ialah proses patologik multifaktorial dan multisistemik. Penyebabnya dapat berupa infeksi, intoksikasi, proses autoimunologik, defisiensi, herediter, penyakit atau trauma pada saraf atau akibat penyakit sistemik seperti kelainan metabolisme karbohidrat dan protein. Neuropati dapat berhubungan dengan kombinasi berbagai
13

kelemahan, perubahan fungsi otonom, dan perubahan sensoris berupa hilangnya sensasi nyeri tergantung jenis saraf mana yang terkena. 6. Penyakit Neuromuscular Junction Pengantaran impuls motorik ke serabut otot skeletal sering terganggu di sekitar sinaps sehingga timbul kelumpuhan LMN. Penyakit yang sering menyerang yaitu Miastenia Gravis, selain itu juga berupa penyakit sindrom miastenik dari Lambert Eaton. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun saraf perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaps asetilkolin (ACh) nikotinik pada neuromuscular junction. Akibat adanya antibodi tersebut, sehingga Ach tidak dapat bekerja dan menggalakkan serabut otot skeletal, sehingga muncul penurunan kekuatan motorik yang progresif, dan terjadi pemulihan pasca istirahat. Adanya kelainan autoimun ini ditunjukkan dengan tingginya titer antibodi anti-GM1 glycoconjugate pada pasien Miastenia Gravis. Otot-otot yang paling sering mengalami kelemahan adalah otot okular dan otot penelan. Otot anggota gerak dan otot pernapasan sering terkena pada tahap lanjut miastenia gravis. Miastenia gravis memiliki gambaran klinis khas yaitu kelemahan dan kelelahan otot terutama setelah beraktivitas. Gambaran klinis pada tahap ringan biasanya tidak jelas, dapat hanya berupa ptosis. Kelemahan otot timbul saat diprovokasi oleh aktivitas berulang. Miastenia Gravis dibagi menjadi 4 golongan, dan menentukan terapi serta prognosisnya: a. Golongan I Disebut juga miastenia okular, dimana terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang menyebabkan timbulnya ptosis dan diplopia, biasanya sifatnya unilateral. Bentuk ini ringan, namun sering resisten terhadap pengobatan. Gejala khas berupa timbulnya diplopia pada sore hari dan menghilang pada pagi hari. b. Golongan II Timbul gejala perlahan, awalnya dari okular, kemudian menyebar mengenai muka, anggota badan, dan otot bulbar. Otot respirasi

14

biasanya tidak terkena. Dalam waktu dua tahun, golongan ini dapat berkembang menjadi Miastenia Gravis golongan III. c. Golongan III Merupakan miastenia bentuk umum yang berat, dimulai dari otot okular, anggota badan, dan kemudian mengenai otot pernapasan. Pada kasus yang memiliki reaksi buruk terhadap terapi

antikolinesterase akan berkembang menjadi krisis miastenia. d. Golongan IV Golongan ini disebut krisis miastenia atau miastenia gravis kronis yang berat. Merupakan kelemahan otot menyeluruh disertai paralisis otot pernapasan, dan termasuk kedalam kegawatdaruratan medis. Diagnostik berdasarkan anamnesis dan tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah beberapa aktivitas. Pemeriksaan yang dilakukan misalnya memandang objek di atas level bola mata, dimana akan timbul ptosis dan miastenia okular. Pemeriksaan laboratorium belum mampu menunjang diagnosis, pemeriksaan radiologis berupa rontgen toraks untuk mendeteksi adanya kelainan kelenjar timus. Pada miastenia yang ringan, sering tidak gambaran tegas pada pemeriksaan EMG. Dasar pengobatan pada miastenia gravis adalah seperti dengan neostigmin menggunakan dan obat-obatan untuk

antikolinesterase

piridostigmin

menghambat kolinesterase yang menghancurkan asetilkolin. Obatobatan ini memiliki aktivitas muskarinik dan nikotinik. Juga diperlukan pemberian kortikosteroid. Pemberian kedua jenis obatobatan ini dimulai dengan dosis rendah dan kemudian ditingkatkan perlahan. Kelemahan LMN berupa sindrom Lambert-Eaton yang

menyerupai Miastenia Gravis disebabkan gangguan pada membran presinaps sehingga tidak dapat melepaskan asetilkolin ke celah sinaps. Penyebab gangguan membran presinaps tersebut adalah suatu zat akibat proses keganasan, terutama keganasan di paru-paru.

15

7. Gangguan pada otot Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau selnya, disebabkan infeksi, intoksikasi, atau degenerasi herediter. Penyakit otot tersebut dapat berupa distrofia muskulorum, miopati, dan miositis. Distrofia muskulorum disebabkan faktor patologik

kromosomal, yaitu terkait kromosom X. Miopati disebabkan penyakit otot yang tidak bersifat herediter dan bukan merupakan akibat penyakit infeksi. Inflamasi miopati idiopatik (polimiositis) yaitu penyakit otot yang disebabkan infeksi, menimbulkan keluhan yang bersifat subakut, progresif dalam waktu berminggu-minggu, bulan, bahkan tahun. Hal ini berbeda dengan kelainan yang misalnya disebabkan Sindrom Guillen Bare yang berlangsung progresif dalam waktu singkat. Polimiositis merupakan penyakit alergik hasil proses cell mediated immune. Penyakit ini dapat timbul sebagai polimiositis murni atau sebagai suatu dermatomiositis. Dari segi usia, polimiositis merupakan penyakit dewasa muda, terutama ditemukan pada wanita usia 20 40 tahun. Polimiositis dapat ditemukan pada usia diatas 50 tahun dan biasanya bersamaan dengan karsinoma. Polimiositis terdiri dari Polimiositis idiopatik dan penyakit yang melengkapi proses neoplasma ganas. Polimiositis idiopatik biasanya menyerang usia muda dan dewasa muda, kelemahan muncul pada semua otot-otot tubuh, penderita tampak lemas, eritema yang khas pada palpebra superior, yang dapat meluas hingga ke periorbital,

hidung bibir, dan lutut. Pada tahap yang lebih lanjut dapat timbul perdarahan di traktus digestivus, kelemahan otot pengunyah dan penelan, dan perburukan keadaan umum. Sedangkan pada polimiositis yang menyertai keganasan biasanya menyerang usia tua dan keganasan berupa keganasan pada paru. Penegakan diagnosis berdasarkan pada perjalanan penyakit, kelainan elektromiografi (EMG), peningkatan serum creatinin-kinase, dan biopsi otot. EMG dan kadar aldolase berguna untuk membedakan

16

dengan distrofia. Pada polimiositis tidak ditemukan faktor herediter, onset pada usia tua, progresifitas penyakit untuk memburuk berlangsung lebih cepat, timbul potensial fibrilasi yang jelas pada EMG, dan pada biopsi otot didapati gambaran degenerasi dan regenerasi disamping infiltrasi limfosit. II. 5. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada umumnya adalah terapi terhadap penyebab kelumpuhan. Oleh karena itu, penegakan diagnosis AFP sangat penting untuk menentukan penanganan yang tepat dan cepat. II. 6. Prognosis Prognosis AFP berdasarkan masing-masing penyebab dan

penanganan. Penanganan yang baik akan memberikan prognosis yang baik.

17

Revisi Mielopati akibat kompresi tulang belakang dapat menunjukkan gejalagejala kelumpuhan flaccid pada awal mula kejadiannya disebabkan oleh timbulnya suatu keadaan yang disebut spinal shock. Syok spinal dikarakteristikkan sebagai hilang total dari kontrol sensorik, motorik, dan autonom di bawah level lesi. Hal ini terjadi segera setelah cedera dan berakhir dalam beberapa hari hingga minggu setelah cedera. Selama periode ini, terdapat flaccid paralysis dari semua otot di bawah level lesi, termasuk otot polos dari organ visceral. Bila upper motor neuron (UMN) terlibat, maka penyembuhan syok spinal ditandai dengan kembalinya refleks tendon dalam dan onset spastik pada ototskeletal dan visceral. Ada 4 fase, menurut Ditunno et al, dalam proses kejadian spinal syok tersebut, yaitu: 1. Fase 1 dikarakteristikkan dengan kelumpuhan komplit dari cedera medula spinalis. Fase ini berlangsung dalam hitungan hari. 2. Fase 2, berlangsung setelah fase pertama berakhir. Ditandai dengan kembalinya sebagian refleks pada keadaan cedera medula spinalis maupun mielopati. Refleks yang muncul yaitu refleks bulbocavernosus. Refleks tendon masih belum kembali hingga fase 3. 3. Fase 3 ditandai dengan munculnya hiperrefleks, atau refleks yang abnormal pada pengetukan refleks yang minimal. Interneuron dan lower motor neuron (LMN) dibawah medula spinalis yang cedera mulai menyebar membentuk kembali sinaps di

interneuron. 4. Fase 4 ditandai dengan kembalinya berbagai faktor pertumbuhan pada sel, misalnya protein untuk membentuk secara utuh axon kembali. Sindrom Guillan Barre (SGB) merupakan suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan terkadang juga mengenai saraf kranialis. Manifestasi klinis yang muncul

18

yaitu kelumpuhan lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan, dan terkadang otot wajah. Infeksi yang menyerang pada SGB dapat menjerat radiks ventralis, namun hanya radiks ventralis yang berkelompok saja yang terkena, yang paling sering adalah pada otot anggota gerak. Sehingga otot anggota gerak tersebut mengalami kelumpuhan dengan tipe LMN. Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot ekstremitas dengan tipe LMN. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asendens ke badan, anggota gerak, dan saraf kranialis. Kelumpuhan secara simetris ini diikuti hiporefleks dan arefleksia, dan biasanya derajat kelumpuhan otot bagian proksimal lebih berat dibandingkan dari otot-otot bagian distal, namun bisa juga dengan derajat yang sama.

19

BAB III KESIMPULAN Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara akut yang mengenai final common path, motor end plate, dan otot yaitu pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior. Setiap kasus AFP adalah keadaan darurat klinis dan membutuhkan penanganan segera. Diagnosis akurat dari penyebab AFP sangat penting untuk terapi dan menentukan prognosis pasien. Jika tidak diterapi dengan baik, AFP bukan hanya dapat menjadi penyakit persisten, tetapi dapat menjadi penyebab kematian akibat kegagalan pada otot-otot pernapasan. Host atau faktor lingkungan secara signifikan dapat mempengaruhi terjadinya AFP. Lingkungan yang tidak sehat dan higienitas hidup yang kurang baik dapat menimbulkan infeksi virus dan bakteri pada orang tersebut. Oleh karena itu, pada dasarnya AFP dapat dicegah dengan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dan higienitas diri.

20

DAFTAR PUSTAKA Biller J. 2002. Acute Motor Axonal Paralysis, in: Practical Neurology, Second Edition. Lippincott Williams and Wilkins: Pg 361. Dewanto, George, dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain Barre. Thesis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Marjono M dan Sidharta P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. Marx, Arthur; Jonathan D. Glass and Roland W. Sutter. Differential Diagnosis of Acute Flaccid Paralysis and Its Role in Poliomyelitis Surveillance. Available at: http.epirev.oxfordjournals.org/content/22/2/298.full.pdf Mohammad Saiful Islam. 2006. Cedera Medula Spinalis. Cermin Dunia kedokteran no 153 hal 17-19 available at: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/153_10SELSTEMCMS_MohS aifulIslam.pdf/153_10SELSTEMCMS_MohSaifulIslam.html. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Pinzon, Rizaldi. 2007. Mielopati Servikal Traumatika: Telaah Pustaka Terkini. Sidharta, Priguna. 2004. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat.

21

You might also like