You are on page 1of 33

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 1/33

Bab I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pemeriksaan rutin prabedah, baik atas dasar indikasi sesuai gambaran klinis pasien ataupun tidak, telah menjadi bagian praktek klinik selama bertahun-tahun. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah melakukan identifikasi kondisi yang tidak terduga yang mungkin memerlukan terapi sebelum operasi atau perubahan dalam penatalaksanaan operasi atau anestesia perioperatif; menilai penyakit yang sudah diketahui sebelumnya, kelainan, terapi medis atau alternatif yang dapat mempengaruhi anestesia perioperatif; memperkirakan komplikasi pascabedah; sebagai dasar pertimbangan untuk referensi berikutnya; pemeriksaan skrining.1 Kepustakaan terakhir tidak merekomendasikan secara adekuat tentang penilaian keuntungan ataupun bahaya klinis pemeriksaan rutin prabedah. Pada saat ditemukan hasil abnormal atau positif, persentase pasien yang mengalami perubahan pada penatalaksanaannya bervariasi.1 Terminasi kata rutin tidak jelas dan memerlukan klarifikasi. Satu pengertian pemeriksaan rutin adalah semua pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan peraturan yang ada, peraturan tersebut tidak pernah diubah oleh para klinisi. Dalam pengkajian tentang pemeriksan rutin prabedah oleh unit HTA Inggris, pengertian rutin adalah pemeriksaan yang ditujukan bagi individu yang sehat, asimptomatik, tanpa adanya indikasi klinis spesifik, untuk mengetahui kondisi yang tidak terdeteksi dengan riwayat klinis dan pemeriksaan fisik. Berdasarkan pengertian tersebut, jika seorang pasien ditemukan memiliki gambaran klinis spesifik dengan pertimbangan bahwa pemeriksaan mungkin bermanfaat, maka didefinisikan bahwa pemeriksaan tersebut atas dasar indikasi bukan pemeriksaan rutin.1 Di lain pihak telah disepakati oleh para konsultan dan anggota American Society of Anesthesiologists (ASA) bahwa pemeriksaan prabedah sebaiknya tidak dilakukan secara rutin. Pemeriksaan prabedah dapat dilakukan secara selektif untuk optimalisasi pelaksanaan perioperatif. Indikasi dilakukannya pemeriksaan harus berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari rekam medik, anamnesis, pemeriksaan fisik, tipe dan tingkat invasif operasi yang direncanakan dan harus dicatat.2 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanpa adanya indikasi klinis, kemungkinan menemukan hasil abnormal yang bermakna pada pemeriksaan laboratorium, elektrokardiografi dan foto toraks

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 2/33

kecil. Hasil abnormal yang tidak diharapkan tidak mempengaruhi prosedur operasi.3

I.2. Permasalahan
Dari riwayat klinis dan pemeriksaan fisik dapat ditentukan pasien sehat yang tepat untuk menjalani operasi, dan memilih pemeriksaan prabedah yang diperlukan. Alasan mengapa para dokter tetap melakukan pemeriksaan prabedah tanpa dipilih dengan baik adalah mereka percaya bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisik tidak sensitif dan mungkin pemeriksaan rutin prabedah dapat melindungi mereka dari isu medikolegal. Setiap pemeriksaan prabedah harus dilakukan dengan alasan tepat sehingga membawa keuntungan bagi pasien dan menghindari efek samping potensial. Keuntungan yang didapat termasuk waktu pelaksanaan anestesia atau pemakaian sumber yang dapat meningkatkan keamanan dan efektivitas proses anestesia selama dan sesudah operasi. Efek samping potensial yang dapat terjadi termasuk intervensi yang dapat menyebabkan luka, ketidaknyamanan, keterlambatan atau biaya pengeluaran yang tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.

I.3. Tujuan Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi pemerintah untuk menetapkan kebijakan dalam persiapan prabedah elektif sehingga dapat menekan biaya pengeluaran bagi pasien yang tidak memiliki kelainan.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 3/33

Bab II METODOLOGI PENILAIAN


II.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan melalui Medline, New England Journal of Medicine, British Medical Journal, Anesthesiology, Annals of Internal Medicine, Canadian Journal of Anesthesia, British Journal of Anaesthesia, dan BioMedicalCenter Anesthesiology, Surgery, Pediatrics Anaesthesia, America Journal of Surgery, Journal of Clinical Anesthesia, Academy of Emergency Medicine, Mayo Clinic Proceedings, Anesthesia & Anesthesia, Anesthesia dalam 25 tahun terakhir (1978-2003). Informasi juga didapatkan dari guideline antara lain yang disusun oleh ASA, American College of Cardiology (ACC), American Heart Association (AHA), National Institute of Clinical Excellence (NICE) dan Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI) serta hasil kajian HTA dari beberapa negara, antara lain Inggris pada tahun 1997 tentang Routine Preoperative Testing. Kata kunci yang digunakan adalah preoperative evaluation, preoperative examination, preoperative assessment, preoperative testing, guidelines, routine, electrocardiography (ECG), fasting, chest-X ray, hemostatic screening, urinalysis, pulmonary function test, laboratorium tests, elective surgery, pediatric patients, elderly patients.

II.2. Level of Evidence dan Tingkat Rekomendasi


Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal) berdasarkan kaidah evidence based medicine, kemudian ditentukan levelnya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Level of evidence dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, berasal dari US Agency for Health Care Policy and Research. Level of evidence: Ia. Meta-analysis of randomized controlled trials. Ib. Minimal satu randomized controlled trials. IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials. IIb. Studi kohort dan / atau studi kasus kontrol IIIa. Studi cross-sectional IIIb. Seri kasus dan laporan kasus IV. Konsensus dan pendapat ahli Rekomendasi: A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 4/33

B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau II b C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb atau IV

II.3. Populasi Sasaran


Pasien yang tidak memiliki kelainan (asimptomatik) yang dibagi atas kelompok anak (0-18 tahun) dan dewasa (>18 tahun). Rekomendasi persiapan prabedah elektif ditetapkan berdasarkan fasilitas penunjang yang tersedia di rumah sakit tipe C dengan tingkat operasi sedang sampai berat.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 5/33

Bab III PERSIAPAN PRABEDAH ELEKTIF


III.1. Apakah pemeriksaan darah tepi lengkap rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?
ANAK Jawaban: Ya (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit) dilakukan pada anak usia <5 tahun, sedangkan untuk anak usia 5 tahun pemeriksaan darah tepi dilakukan atas indikasi, yaitu pasien yang diperkirakan menderita anemia defisiensi, pasien dengan penyakit jantung, ginjal, saluran napas atau infeksi . Rasional: Baron dkk4, pada penelitian retrospektif, menyatakan bahwa 1,1% dari 1.863 anak memiliki nilai hematokrit kurang dari 30% atau lebih besar dari 50%. Roy dkk meneliti 2.000 pasien usia 1 bulan18 tahun yang dijadwalkan menjalani operasi minor. Sebanyak 11 pasien (3 pasien berusia <1 tahun dan 8 pasien berusia 1-5 tahun) memiliki Hb <10 g/dl. Dua puluh tujuh persen pasien mengalami penundaan operasi dan dijadwalkan kembali setelah terapi besi oral, sedangkan 73% pasien tetap menjalani operasi tanpa adanya komplikasi. Peneliti menyimpulkan bahwa pasien sehat berusia 5 tahun yang akan menjalani operasi minor tidak memerlukan pemeriksaan Hb rutin. Lebih lanjut, rendahnya insidens anemia pada anak usia 1-5 tahun menimbulkan pertanyaan tentang pentingnya pemeriksaan Hb prabedah pada kelompok usia ini. Hackmann dkk4 melaporkan adanya anemia pada 0,5% dari 2.648 anak yang akan menjalani operasi. Hanya 2 dari pasien anemia tersebut mengalami penundaan operasi (satu pasien menderita infeksi saluran napas). Peneliti menyimpulkan 3 hal yaitu (1) insidens anemia jarang, dan lebih sering terjadi pada usia <1 tahun, (2) adanya anemia ringan tidak merubah keputusan penetapan hari operasi, dan (3) dokter tidak dapat mendeteksi anemia dari klinis dengan konsisten. Rekomendasi terakhir menyatakan bahwa dalam menentukan kebugaran anak untuk menjalani operasi, riwayat pasien dan pemeriksaan fisik jauh lebih penting daripada pemeriksaan laboratorium rutin walaupun sulit untuk mendeteksi anemia secara klinis dengan konsisten. Pemeriksaan Hb/Ht prabedah diindikasikan bagi kelompok pasien yang lebih rentan menderita anemia, yaitu usia <1 tahun; remaja wanita yang sudah menstruasi; memiliki

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 6/33

penyakit kronik; menjalani prosedur operasi yang menyebabkan kehilangan darah banyak.4 Keuntungan pemeriksaan darah tepi lengkap adalah dapat mendeteksi leukopenia atau leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi atau yang lebih jarang lagi adalah keganasan darah . OConnor dan Drasner4 melaporkan adanya hitung leukosit abnormal pada 13 (2,7%) dari 486 pasien, dan tidak ada satu pun mengalami penundaan operasi. Satu pasien mengalami kenaikan leukosit disebabkan otitis media akut sedangkan 12 lainnya tidak diketahui dan tidak ada penilaian lebih lanjut. Cot5 menyatakan bahwa pada bayi berusia 6 bulan sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah tepi mengingat kemungkinan terjadinya anemia fisiologis lebih besar, sehingga dokter anestesia dan bedah mengetahui Hb awal pasien. Jika anak tersebut lahir prematur maka pemeriksaan Hb menjadi lebih penting lagi karena adanya hubungan antara anemia dengan peningkatan insidens terjadinya apnea. Selain itu pemeriksaan darah tepi dianggap menguntungkan pada pasien dengan anemia defisiensi, gagal ginjal, penyakit jantung dan saluran napas. Berdasarkan laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (litbangkes)6 pada tahun 1997, 24-35% anak usia sekolah di Indonesia menderita anemia defisiensi besi. Penyebab utamanya adalah rendahnya masukan besi melalui makanan, dan tingginya inhibitor absorbsi besi yang terkandung dalam makanan serta infestasi parasit. Mengingat saat ini Indonesia mengalami krisis moneter yang berkepanjangan maka diperkirakan angka tersebut akan meningkat lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan Hb rutin prabedah pada anak sebagai salah satu usaha untuk mendeteksi anemia sehingga operasi dapat dilaksanakan secara aman. DEWASA Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan darah tepi lengkap dilakukan pada pasien dengan penyakit hati, riwayat anemia, perdarahan dan kelainan darah lainnya, serta tergantung tipe dan derajat invasif prosedur operasi. Rasional: Tujuan pemeriksaan rutin hemoglobin prabedah adalah mendeteksi anemia yang secara klinis tidak tampak. Hal itu terjadi sejak adanya kepercayaan bahwa anemia ringan sampai sedang dapat meningkatkan risiko komplikasi anestesia umum. Kelompok kerja ASA pada tahun 2001 merekomendasikan bahwa pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit rutin tidak diindikasikan. Karakteristik

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 7/33

klinis sebagai indikasi pemeriksaan tersebut adalah tipe dan derajat invasif prosedur operasi, pasien dengan penyakit hati, riwayat anemia, perdarahan dan kelainan darah lainnya.1,2 Berdasarkan kajian dari Unit HTA Inggris didapatkan tidak ada controlled trial yang mengevaluasi pentingnya pemeriksaan hemoglobin atau hitung jenis darah. Semua bukti ilmiah yang ada berupa case-series. Pemeriksaan rutin prabedah menunjukkan kadar Hb <10-10,5 g/dl pada 5% pasien, jarang yang memiliki kadar Hb <9 g/dl, dan hanya merubah penatalaksanaan pada 0,1-2,7% pasien. Pengkajian bukti ilmiah tidak mendukung kebijakan pemeriksaan Hb atau hitung jenis darah rutin pada semua pasien dan sebaliknya tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa pemeriksaan tersebut membahayakan. Batas konvensional anemia adalah kadar Hb <10 g/dl, bila kurang dari nilai tersebut operasi dapat ditunda. Namun ada beberapa bukti ilmiah menyatakan bahwa risiko operasi tidak meningkat secara bermakna sampai batas Hb 8 g/dl. Pada individu sehat, transfusi darah biasanya diperlukan jika Hb <7 g/dl. Namun tidak begitu jelas apakah transfusi darah merah bermanfaat apabila Hb antara 7 dan 10 g/dl. Satu penelitian multi-senter barubaru ini menunjukkan tidak ada perbaikan dalam morbiditas atau mortalitas pada pasien tua pascabedah yang mendapat transfusi bila kadar Hb antara 8 dan 10 g/dl. Satu penelitian menyatakan bahwa Hb 7 g/dl perioperatif cukup aman.7-9 Dalam laporan pengkajian Unit HTA Swedia disimpulkan bahwa pemeriksaan rutin hemoglobin atau hematokrit merupakan pemeriksaan yang paling cost-effective. 1 Hal lain yang dapat mempengaruhi keputusan anestesia adalah tingginya leukosit yang menunjukkan kemungkinan infeksi yang tidak terdeteksi secara klinis, atau rendahnya trombosit menyebabkan perdarahan perioperatif berlebihan. Pada pemeriksaan rutin prabedah didapatkan nilai leukosit rendah pada 1% pasien, sedangkan jumlah trombosit rendah sebanyak 1,1% pasien dan jarang menyebabkan perubahan dalam penatalaksanaan pasien.1 Dzankic dkk10 melakukan penelitian prospective cohort untuk mengevaluasi prevalensi dan nilai prediktif pemeriksaan laboratorium prabedah abnormal pada pasien usia 70 tahun yang menjalani operasi selain jantung. Pada 544 pasien, ditemukan hasil pemeriksaan trombosit abnormal sebanyak 0,5-5%, kreatinin abnormal 12%, hemoglobin abnormal 10%, glukosa abnormal 7%. Dengan multivariate logistic regression, hanya klasifikasi ASA (>II) (OR 2,55; 95%CI 1,56-4,19; p <0,001) dan risiko operasi (OR 3,48; 95%CI 2,31-5,23; p <0,001) sebagai faktor prediktor bebas bermakna terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pascabedah. Prevalensi nilai elektrolit dan trombosit abnormal prabedah kecil, demikian pula nilai prediktifnya. Walaupun lebih berhubungan, nilai hemoglobin, kreatinin dan glukosa abnormal juga

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 8/33

bukan merupakan faktor prediktor efek samping pascabedah. Pemeriksaan rutin hemoglobin, kreatinin, glukosa dan elektrolit prabedah yang hanya berdasarkan usia bukan merupakan indikasi untuk dilakukan pada pasien geriatri. Akan tetapi pemeriksaan laboratorium selektif berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang pada akhirnya menentukan komorbiditas pasien dan risiko operasi, merupakan indikasi dilakukannya pemeriksaan laboratorium prabedah.

III.2. Apakah pemeriksaan kimia darah rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?
ANAK Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila terdapat risiko kelainan ginjal, hati, endokrin, terapi perioperatif, dan pemakaian obat alternatif. Rasional: Sejak tahun 1981, di Italia, pasien anak yang dijadwalkan menjalani operasi minor hanya dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium antara lain kadar Hb, urinalisis dan serum kreatinin fosfokinase untuk mendeteksi kecurigaan hipertermia maligna dan serum kolinesterase. Hasil penelitian Meneghini dkk11 melaporkan sebanyak 508 (27%) dari 1.884 pasien anak memiliki nilai serum kreatinin fosfokinase abnormal. Selanjutnya pemeriksaan diulang pada 87 pasien yang nilai serum kreatinin fosfokinasenya tiga kali nilai normal dan hanya 5 kasus ditemukan hasil abnormal. Hal ini menunjukkan bahwa pemeriksaan serum kreatinin fosfokinase prabedah tidak perlu dilakukan. DEWASA Jawaban: Tidak, rekomendasi C Rekomendasi: Pemeriksaan kimia darah rutin hanya dilakukan pada pasien usia lanjut, adanya kelainan endokrin, kelainan fungsi ginjal dan hati, pemakaian obat tertentu atau pengobatan alternatif. Rasional: Gangguan elektrolit atau keseimbangan asam basa pada orang sehat sangat jarang sehingga dalam prakteknya keputusan melakukan pemeriksaan rutin hanya untuk mendeteksi adanya hipokalemia ringan sampai sedang, gangguan ginjal atau diabetes mellitus yang tidak tampak secara klinis, yang memungkinkan operasi ditunda sampai kelainan yang ada diatasi.1

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 9/33

Kelompok kerja ASA merekomendasikan karakteristik klinis yang merupakan indikasi pemeriksaan kalsium, glukosa, natrium, fungsi ginjal dan hati adalah adanya kemungkinan terapi perioperatif, gangguan endokrin, risiko kelainan fungsi ginjal dan hati, pemakaian obat tertentu atau pengobatan alternatif.2 Unit HTA Inggris melaporkan bahwa tidak ada controlled trial tentang pemeriksaan kimia darah rutin prabedah, semuanya dalam bentuk case series. Hasil kadar natrium dan kalium abnormal sebesar 1,4% pada pemeriksaan prabedah rutin sedangkan pemeriksaan urea dan kreatinin abnormal pada 2,5% dan gula darah 5,2%. Hasil ini jarang mengubah penatalaksanaan pasien sehingga disimpulkan bahwa tidak ada fakta yang mendukung kebijakan pemeriksaan kimia darah prabedah rutin.1 Pada pasien usia lanjut, kadar nitrogen ureum darah dan kreatinin serum merupakan komponen penting pemeriksaan laboratorium prabedah. Walaupun kecepatan filtrasi glomerular menurun seiring meningkatnya usia, biasanya kadar nitrogen ureum dan kreatinin serum normal karena pada usia lanjut memiliki massa otot yang mereduksi.12,13

III.3. Apakah pemeriksaan hemostasis rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?
ANAK Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien dengan riwayat atau kondisi klinis mengarah pada kelainan koagulasi, akan menjalani operasi yang dapat menimbulkan gangguan koagulasi (seperti cardiopulmonary bypass), ketika dibutuhkan hemostasis yang adekuat (seperti tonsilektomi), dan kemungkinan perdarahan pascabedah (seperti operasi saraf). Rasional: Boger dkk4 melaporkan bahwa 21% pasien yang menjalani tonsilektomi memiliki nilai APTT (Activated Partial Thromboplastin Time), PT (Prothrombin Time), atau waktu perdarahan abnormal, dan menyarankan agar pemeriksaan tersebut dilakukan pada semua pasien untuk mencari kemungkinan kelainan koagulasi.4 Close dkk4 menyatakan bahwa pemeriksaan rutin APTT dan PT pada pasien asimptomatik yang akan menjalani tonsilektomi tidak bermanfaat dalam memperkirakan perdarahan pascabedah. Perdarahan masif pada tonsilektomi biasanya bukan sebagai hasil kelainan koagulasi.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 10/33

Burk dkk14 melakukan penelitian prospektif untuk mengevaluasi kegunaan skrining kelainan perdarahan prabedah pada anak. Penelitian dilakukan terhadap riwayat perdarahan dan pemeriksaan laboratorium (hitung jenis darah, PT, APTT, dan waktu perdarahan) 1603 anak yang akan menjalani tonsilektomi. Dilaporkan terdapat 31 pasien (2%) dengan hasil awal abnormal. Sebanyak 23 dari 31 pasien memiliki nilai APTT memanjang. Tiga pasien memiliki APTT dan waktu perdarahan memanjang, 1 pasien dengan PT dan APTT memanjang, 2 pasien dengan PT memanjang dan 2 pasien dengan waktu perdarahan memanjang. Sebanyak total 15 pasien (0,9%) yang memiliki kelainan persisten saat diperiksa 7-10 hari kemudian (14 pasien dengan APTT memanjang, 1 pasien dengan APTT dan waktu perdarahan memanjang). Riwayat penyakit dan skrining laboratorium mempunyai spesifitas tinggi dan nilai prediktif negatif tinggi tetapi memiliki sensitivitas dan nilai prediktif positif rendah dalam mengidentifikasi pasien yang akan mengalami perdarahan perioperatif. Beberapa anak dengan kelainan perdarahan mungkin terdeteksi pertama kali dengan pemeriksaan koagulasi prabedah, selanjutnya terapi pengganti, penundaan atau pembatalan operasi dapat mengurangi atau mencegah perdarahan perioperatif. Besarnya nilai positif palsu pada pemeriksaan laboratorium dan riwayat perdarahan, ditambah dengan jarangnya kelainan koagulopati bawaan atau didapat, menyebabkan semakin meningkatnya keraguan akan kegunaan skrining rutin. DEWASA Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat kelainan koagulasi, atau riwayat terbaru yang mengarah pada kelainan koagulasi, atau sedang memakai obat antikoagulan atau obat yang diduga dapat mengganggu koagulasi termasuk obat tradisional, pasien yang memerlukan antikoagulan pascabedah, pasien yang memiliki kelainan hati dan ginjal. Rasional: Berbagai alasan dilakukannya pemeriksaan hemostasis rutin prabedah antara lain untuk mengidentifikasi pasien dengan kecenderungan perdarahan yang dapat diatasi atau reversibel setelah operasi, misalnya penundaan operasi pada pasien yang mengkonsumsi aspirin atau obat lain yang menghambat fungsi trombosit; untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi menderita perdarahan intraoperatif atau pascabedah sehingga teknik operasinya perlu dimodifikasi atau perlu persiapan untuk transfusi darah.1 Kelompok kerja ASA merekomendasikan karakteristik klinis sebagai bahan pertimbangan indikasi pemeriksaan INR, PT, APTT,

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 11/33

trombosit secara selektif adalah kelainan perdarahan, kelainan ginjal, kelainan hati, tipe dan derajat invasif prosedur operasi.2 Unit HTA Inggris mengidentifikasi 23 penelitian prabedah, yang semuanya berbentuk case-series. Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT) dilaporkan abnormal sebesar 0-15,6% pada pemeriksaan rutin dan atas indikasi, sedangkan hasil pemeriksaan rutin pada orang asimptomatik hanya sebesar 3,8%. Nilai PT dilaporkan abnormal sebesar 0-12,9%, sedangkan nilai APTT abnormal didapatkan 16,3% pasien. Pemeriksaan hemostasis hanya merubah 5,3% penatalaksanaan pasien, dan hasil pemeriksaan BT/CT/PT/APTT tidak berpengaruh terhadap kejadian perdarahan postoperatif atau dengan kata lain bahwa positive predictive value pemeriksaan ini rendah sehingga secara klinis tidak berguna. Selain itu dinyatakan pula bahwa perdarahan intraoperatif atau pascabedah lebih banyak berhubungan dengan teknik operasi daripada adanya gangguan koagulasi minor.1 Pada penelitian multi senter dengan 3.242 pasien, Houry dkk15 secara prospektif membandingkan antara hasil pemeriksaan skrining hemostasis standard prabedah (PT, APTT, trombosit, BT) dengan riwayat dan data klinis. Hasilnya menyatakan bahwa pemeriksaan skrining hemostasis prabedah seharusnya tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya pada pasien yang memiliki data klinis abnormal.

III.4. Apakah pemeriksaan urin rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?
ANAK Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan pasien dengan gejala infeksi saluran kemih. Rasional: Tujuan pemeriksaan urin rutin prabedah adalah melacak dan mengatasi infeksi saluran kemih dan penyakit ginjal yang tidak terduga. OConnor dan Drasner4 melaporkan adanya 36 (8%) dari 453 pasien yang mempunyai hasil pemeriksaan abnormal. Dari 36 pasien tersebut, 12 pasien memiliki penyakit yang sudah diketahui sebelumnya, 12 pasien menunjukkan hasil normal pada pemeriksaan ulang, dan 12 pasien lainnya tidak ada kelanjutan catatan medik. Operasi ditunda pada 2 anak, yaitu satu anak menjalani operasi darurat seminggu kemudian, dan satu anak lagi menjalani operasi setelah mengatasi infeksi saluran kemihnya. Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan urin rutin hanya menambah sedikit informasi

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 12/33

pada evaluasi prabedah anak sehat dan karena itu tidak perlu dilakukan. Jika ada riwayat yang mengarah pada kemungkinan masalah saluran kemih, maka pemeriksaan urin perlu dilakukan.5 Wood dan Haekelmen16 melaporkan tidak ada hubungan antara hasil abnormal pemeriksaan urin prabedah dengan komplikasi pascabedah dalam penelitian pemeriksaan urin 1.859 anak yang menjalani operasi elektif. DEWASA Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan pasien dengan gejala infeksi saluran kemih. Rasional: Salah satu alasan rasional meminta pemeriksaan urin adalah mendeteksi infeksi saluran kemih asimptomatik yang dapat mengubah penatalaksanaan pasien selanjutnya. Untuk beberapa prosedur, seperti joint replacement yang benar-benar memerlukan kondisi asepsis, adanya infeksi saluran kemih dapat menunda operasi, walaupun ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa risiko infeksi tidak terpengaruh oleh adanya infeksi saluran kemih.1 Kelompok kerja ASA merekomendasikan bahwa pemeriksaan urin tidak diindikasikan kecuali untuk prosedur spesifik, seperti implantasi prosthesis, prosedur urologi atau adanya gejala saluran kemih.2 Unit HTA Inggris menyatakan tidak ada controlled trial yang telah dipublikasikan tentang pentingnya pemeriksaan urin. Semua bukti ilmiah yang ada merupakan case-series. Hasil urinalisis prabedah rutin abnormal 1-34,1% pasien dan hanya mengubah penatalaksanaan pada 0,1-2,8% pasien. Yang menyebabkan perubahan penatalaksanaan adalah ditemukannya leukosit dalam urin. Namun tidak ada bukti ilmiah bahwa urinalisis abnormal prabedah berhubungan dengan komplikasi perioperatif dan pascabedah. 4 Hasil pemeriksaan urin abnormal hanya akan mengubah penatalaksanaan jika ditemukan leukosit, yang mungkin menunjukkan infeksi saluran kemih. Walaupun ditemukan leukosit, tidak semua pasien mendapat pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan respons klinis terhadap hasil abnormal lebih ditujukan untuk pemeriksaan atas dasar indikasi daripada pemeriksaan rutin. Baik pemeriksaan atas indikasi maupun rutin, ditemukannya protein, glukosa atau eritrosit tidak mengubah penatalaksanaan klinis. Hal

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 13/33

tersebut sebagai pertimbangan bahwa klinisi tidak menganggap pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan skrining yang penting bagi penderita diabetes mellitus atau penyakit saluran kemih.1 Direkomendasikan oleh Unit HTA Swedia bahwa indikasi bakteriuria asimptomatik merupakan hal penting sebelum operasi yang melibatkan manipulasi saluran kemih.1 Orang usia lanjut memiliki kesulitan dalam ekskresi air, natrium, kalsium diikuti dengan penurunan kemampuan mengkonsentrasikan urin. Karena adanya penurunan kecepatan filtrasi glomerulus, maka risiko terjadinya gagal ginjal selama operasi menjadi tinggi.13 Satu penelitian di Mayo Clinic melaporkan bahwa pemeriksaan laboratorium rutin tidak mengubah keluaran (outcome) atau rencana anestesia pada pasien semua usia. Pemeriksaan laboratorium pada pasien usia lanjut diindikasikan berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik.12,13

III.5. Apakah pemeriksaan foto toraks rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?
ANAK Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan foto toraks rutin prabedah tidak perlu dilakukan. Rasional: Wood dkk16 melakukan penelitian retrospektif tentang keuntungan skrining foto toraks sebagai prosedur skrining prabedah pada pasien anak untuk mendeteksi kelainan yang tidak diketahui dan menentukan apakah pasien yang dilakukan foto toraks prabedah mengalami komplikasi anestesia dan pascabedah yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak dilakukan foto toraks. Dari 749 kasus, ditemukan 35 pasien (4,7%) dengan hasil abnormal yang tidak dicurigai sebelumnya. Dari 35 pasien tersebut, sebanyak 9 pasien (1,2%) dinyatakan kelainannya bermakna secara klinis dan 3 pasien (0,4%) mengalami penundaan operasi. Tidak ada perbedaan prosedur anestesia atau komplikasi pascabedah di antara kedua kelompok. Selanjutnya direkomendasikan bahwa pemeriksaan foto toraks rutin prabedah pada anak sehat tidak perlu dilanjutkan. Pada awal tahun 1983 American Academy of Pediatrics merekomendasikan tidak melakukan pemeriksaan foto toraks rutin pada persiapan prabedah.17

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 14/33

DEWASA Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan foto toraks dilakukan pada pasien usia di atas 60 tahun, pasien dengan tanda dan gejala penyakit kardiopulmonal, infeksi saluran napas akut, riwayat merokok . Rasional: Tujuan dilaksanakannya pemeriksaan foto toraks rutin prabedah adalah: Penatalaksanaan anestesia atau kondisi medis segera. Tujuan utama pemeriksaan foto toraks rutin prabedah pada operasi non-kardiopulmonal adalah sebagai bahan masukan untuk mengkaji kebugaran pasien sebelum anestesia umum. Diharapkan foto toraks mampu mendeteksi kondisi seperti gagal jantung atau penyakit paru kronik yang tidak terdeteksi secara klinis, yang mungkin dapat menyebabkan penundaan atau pembatalan operasi atau memerlukan modifikasi teknik anestesia.1 Prediksi komplikasi pascabedah. Tujuan lain pemeriksaan foto toraks rutin prabedah adalah untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin berisiko menderita komplikasi paru atau jantung pascabedah sehingga penatalaksanaan pasien pascabedah dapat dimodifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan, misalnya dengan memindahkan pasien ke tempat perawatan lebih intensif (High Care Unit).1 Sebagai dasar interpretasi pascabedah. Beberapa penulis menyatakan pentingnya foto toraks prabedah sebagai dasar interpretasi foto pascabedah yang akurat bila pada pasien timbul komplikasi paru atau jantung pascabedah. Contohnya adalah terjadi embolus paru pascabedah, dengan gambaran foto toraks yang minimal mungkin dapat tidak terlihat kecuali terdapat foto toraks prabedah sebagai pembandingnya.1 Sebagai skrining. WHO memperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat TB. Setiap tahun diperkirakan timbul 8 sampai 10 juta kasus baru TB. Di Indonesia, berdasarkan laporan WHO tahun 2003 jumlah penderita TB paru meningkat dua kali lipat dari 20/100.000 penduduk pada tahun 1998 menjadi 43/100.000 penduduk pada tahun 2001. Oleh karena itu foto toraks dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining TB paru.18

Beberapa penelitian large series telah mempelajari kegunaan foto toraks prabedah dan melaporkan bahwa foto toraks rutin prabedah bukan hanya tidak memberikan keuntungan, akan tetapi juga menyebabkan banyak pasien mendapat penatalaksanaan yang

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 15/33

tidak perlu karena kelainan pada foto toraks. Jadi foto toraks rutin prabedah tidak berguna dan sebaiknya dihindari, kecuali atas indikasi sesuai dengan riwayat penyakit atau pemeriksaan fisik.2,3,19 Karakteristik klinik sebagai pertimbangan pemeriksaan foto toraks prabedah meliputi riwayat merokok, infeksi saluran napas atas akut, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan penyakit jantung. Kemungkinan didapatkan hasil foto toraks abnormal cukup tinggi pada beberapa pasien, tetapi belum ada suatu penuntun apakah faktor usia, riwayat merokok, infeksi saluran napas atas akut, PPOK stabil ataupun penyakit jantung stabil harus dipertimbangkan menjadi indikasi pemeriksaan foto toraks.2 Unit HTA Inggris telah melakukan kajian terhadap pemeriksaan foto toraks rutin prabedah. Beberapa penelitian yang dikaji menyatakan bahwa derajat abnormalitas foto toraks meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Hal tersebut digunakan sebagai dasar dalam merekomendasikan foto toraks rutin prabedah untuk usia n tahun. Delahunt dan Turnbull melaporkan hasil yang berlawanan dengan pernyataan tersebut, yaitu hasilnya tidak beda bermakna antara orang usia lanjut dengan usia lebih muda. McCleane menyatakan bahwa peningkatan prevalensi abnormalitas foto toraks lebih berhubungan dengan derajat ASA daripada dengan usia. Dari 6 penelitian yang mengevaluasi hasil foto toraks, didapatkan sekitar 0-2,1% pasien yang mengalami perubahan penatalaksanaan. Pada akhirnya Unit HTA Inggris melalui hasil yang telah dipublikasikan menyatakan bahwa foto toraks prabedah seharusnya tidak dilakukan secara rutin karena tidak ada fakta yang mendukung foto toraks prabedah dapat menaikkan atau menurunkan risiko perioperatif.1 Hanya 1,3% dari pemeriksaan foto toraks menggambarkan adanya abnormalitas yang tidak ditemukan pada pemeriksaan klinis dan hanya menyebabkan 0,1% perubahan penatalaksanaan prabedah tanpa adanya perubahan hasil yang lebih baik.20 Foto toraks prabedah dapat diminta atas indikasi adanya kondisi medis, sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau bila diperlukan untuk penatalaksanaan pascabedah (Gambar 1).21 Gambar 1. Pedoman foto toraks preoperatif 21
Indikasi kondisi atau medis/operasi saluran napas yang signifikan?

tidak

ya tidak
Adakah pemeriksaan adekuat selama 12 bulan terakhir?

Perlu penelitian sebagai perbandingan pascabedah?*

ya
Pemeriksaa n foto toraks

ya

tidak

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 16/33

ya
Adakah perburukan gejala atau kondisi sejak pemeriksaan terakhir?

tidak

Biasanya tidak memerlukan foto toraks

Keterangan: *: termasuk operasi besar, antara lain torakotomi, laparotomi, trepanasi.

III.6. Apakah pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?
ANAK Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Hanya dilakukan atas indikasi, bila dari pemeriksaan klinis ditemukan tanda-tanda kelainan jantung. Rasional: Insidens penyakit jantung bawaan di Indonesia adalah 8 per 1000 kelahiran hidup. Diagnosis penyakit jantung bawaan ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Salah satu pemeriksaan penunjang adalah dengan EKG, EKG dapat menunjukkan adanya kelainan irama jantung dan besar jantung secara tidak langsung. DEWASA Jawaban: Tidak (Rekomendasi C ) Rekomendasi: Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, nyeri dada, gagal jantung kongestif, riwayat merokok, penyakit vaskular perifer, dan obesitas, yang tidak memiliki hasil EKG dalam 1 tahun terakhir tanpa memperhatikan usia. Selain itu EKG juga dilakukan pada pasien dengan gejala kardiovaskular periodik atau tanda dan gejala penyakit jantung tidak stabil (unstable), dan semua pasien berusia usia >40 tahun. Rasional: Tujuan utama pemeriksaan EKG prabedah adalah mendeteksi kondisi jantung, seperti infark miokard baru, iskemik jantung, defek konduksi atau aritmia, yang dapat mempengaruhi anestesia atau bahkan menunda operasi; mengidentifikasi pasien akan kemungkinan komplikasi jantung, terutama infark miokard akut setelah operasi.1 Semua bukti ilmiah dalam bentuk case-series, dan tidak ada bukti ilmiah yang mendukung pentingnya EKG prabedah untuk dijadikan dasar pertimbangan. Sebaliknya tidak ada bukti ilmiah bahwa rutin EKG prabedah akan membahayakan.1

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 17/33

Karakteristik klinis pasien yang penting termasuk penyakit kardiovaskular, penyakit saluran napas dan tingkat invasif operasi. Pada pasien dengan penyakit koroner, EKG merupakan pemeriksaan penting dalam menentukan prognosis yang berhubungan dengan morbiditas jangka panjang dan mortalitas. EKG (tanpa aktivitas) tidak dapat mengidentifikasi peningkatan risiko perioperatif pada pasien yang menjalani operasi risiko rendah, tetapi EKG abnormal merupakan prediktor peningkatan risiko perioperatif dan kardiovaskular jangka panjang pada pasien yang menjalani operasi risiko sedang dan tinggi.2 Kajian kelompok kerja ASA melaporkan hasil abnormal pada pemeriksaan EKG rutin sebanyak 7-42,7% kasus (N=12 penelitian) dan merubah penatalaksanaan pada 9,1% kasus (N=1 penelitian). Sedangkan pemeriksaan EKG prabedah atas indikasi dilaporkan hasil abnormal sebanyak 4,8-78,8% kasus (N=17 penelitian) dan sebanyak 2-20% kasus mengalami perubahan penatalaksanaan. Rabkin dan Horne mengajukan pertanyaan spesifik yaitu seberapa sering perubahan EKG ditemukan pada pasien yang memiliki EKG sebelumnya. Hasil abnormal ditemukan pada 2% pasien, walaupun kemungkinan hasil abnormal meningkat seiring bertambahnya usia. McCleane2 melaporkan bahwa prevalensi abnormalitas juga meningkat seiring dengan makin buruknya status ASA. Walaupun kebanyakan pemeriksaan rutin atas dasar faktor usia mungkin tidak penting, tetapi EKG prabedah mungkin satu perkecualian dan diperlukan bagi sebagian besar pasien usia lanjut karena sering ditemukan hasil abnormal. Masih tingginya insidens sakit jantung yang silent dan penyakit lain seperti hipertensi dapat mempengaruhi hasil EKG. Hasil EKG prabedah abnormal yang sering ditemukan pada pasien usia lanjut adalah fibrilasi atrial, gelombang ST abnormal yang mengarah pada iskemik, hipertrofi ventrikel kiri dan kanan, aritmia dan blok atrioventrikular.2,21 Seymour dkk2,21 meneliti 222 pasien berusia 65 tahun, dan menemukan hasil EKG yang abnormal tidak berhubungan dengan timbulnya komplikasi jantung pascabedah pada laki-laki, tetapi pada wanita mungkin berhubungan. Sedangkan penelitian lain yang memeriksa 198 pasien, menyimpulkan bahwa gelombang ST-T abnormal dan keterlambatan konduksi intraventrikular berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pascabedah akibat komplikasi jantung. Hasil sintesis oleh Goldberger dan OKinski2,22,23 dari 4 penelitian menyatakan batas usia dilakukannya pemeriksaan EKG, biasanya antara 45 dan 65 tahun. Namun batasan usia yang dipilih masih bersifat subjektif karena keuntungan dalam mendeteksi kelainan belum dapat ditunjukkan. Di lain pihak, belum ada konsensus ASA tentang batas usia minimal untuk pemeriksaan EKG praanestesia, terutama pada pasien tanpa faktor risiko spesifik. Namun disepakati

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 18/33

pemeriksaan EKG diindikasikan bagi pasien yang diketahui memiliki faktor risiko kardiovaskular atau pasien dengan faktor risiko yang diidentifikasi saat evaluasi preanestesia. Dalam laporan HTA Swedia disebutkan, sering ditemukan perubahan EKG yang bermakna sesuai dengan bertambahnya usia sehingga sangat beralasan untuk memakai batasan usia dalam memilih pasien yang harus dilakukan pemeriksaan EKG. Batasan usia merupakan masalah pengkajian yang sulit, dan akhirnya banyak klinisi yang menggunakan batasan usia 50-60 tahun, dan usia >40 tahun jika pasien tidak memiliki EKG normal sebelumnya sebagai referensi.1 Rekomendasi EKG prabedah dari ACC dan AHA adalah:22 Kelas I Episode nyeri dada atau iskemikk ekuivalen pada pasien risiko sedang dan tinggi yang dijadwalkan untuk operasi risiko sedang dan tinggi. Kelas II Pasien asimptomatik dengan diabetes mellitus. Kelas IIb 1. Pasien dengan riwayat revaskularisasi koroner sebelumnya 2. Pasien asimptomatik laki-laki >45 tahun atau wanita >55 tahun dengan 2 atau lebih faktor risiko aterosklerotik. 3. Riwayat dirawat di rumah sakit akibat penyakit jantung Kelas III Sebagai pemeriksaan rutin pada pasien asimptomatik yang menjalani operasi risiko rendah. Berikut ini adalah penuntun untuk EKG prabedah direkomendasikan oleh Vanderbilt University (Gambar 2). Gambar 2. Pedoman EKG preoperatif 21 Laki-laki >50 thn Atau wanita >60 tahun ya Adakah EKG normal 6 bln terakhir? ya tidak Apakah pasien memiliki tanda/gejala, faktor risiko, riwayat penyakit kardiovaskular? Atau operasi risiko tinggi tidak Pemeriksaan EKG tidak yang

ya

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 19/33

ya Adakah perburukan gejala atau kondisi sejak pemeriksaan terakhir? Biasanya tidak memerlukan EKG

tidak

Murdoch dkk24 melaporkan 154 (13%) dari 1185 pasien yang akan dioperasi menjalani pemeriksaan EKG berdasarkan kriteria prediktif penyakit arteri koroner. Dua puluh enam persen dari 154 pasien tersebut diperoleh hasil abnormal sebanyak 26%, kebanyakan pasien diketahui memiliki hipertensi. Hanya 20% dari pasien yang memiliki hasil EKG abnormal mengalami penundaan operasi. Tidak ada komplikasi pascabedah yang terjadi. Disimpulkan bahwa pemeriksaan EKG mempunyai nilai terbatas dalam menentukan stratifikasi risiko pada pasien yang akan menjalani operasi.

III.7. Apakah pemeriksaan fungsi paru rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?
ANAK Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Hanya dilakukan atas indikasi. DEWASA Jawaban: Tidak (Rekomendasi C) Rekomendasi: Pemeriksaan spirometri dilakukan pada pasien dengan riwayat merokok atau dispnea yang akan menjalani operasi pintasan (bypass) koroner atau abdomen bagian atas; pasien dengan dispnea tanpa sebab atau gejala paru yang akan menjalani operasi leher dan kepala, ortopedi, atau abdomen bawah; semua pasien yang akan menjalani reseksi paru dan semua pasien usia lanjut. Rasional: Peningkatan usia menyebabkan pengurangan bertahap dalam kemampuan dan beberapa perubahan fungsi paru yang dapat diperkirakan. Toraks menjadi lebih kaku yang menyebabkan berkurangnya daya ekspansi iga, hal tersebut meningkatkan kerja pernapasan saat kekuatan dan massa otot berkurang. Perubahan itu mengakibatkan menurunnya kapasitas pernapasan maksimum. Kemampuan rekoil parenkim paru menurun. Saluran pernapasan yang lebih kecil menjadi lebih mudah kolaps dan kapasitas menutupnya meningkat seiring dengan bertambahnya usia, sehingga volume tersebut menyebabkan penutupan saluran napas pada saat napas biasa. Semua perubahan di atas menjadi faktor

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 20/33

predisposisi terjadinya hipoksia dan atelektasis pada pasien lanjut usia.12,13,25 Pasien dengan penyakit saluran napas yang bermakna harus diidentifikasi pada saat evaluasi prabedah, terutama pada mereka yang akan menjalani operasi risiko tinggi, misalnya operasi abdomen bagian atas. Selain diketahui bahwa fungsi paru menurun seiring meningkatnya usia, hanya terdapat sedikit bukti ilmiah yang menyarankan pemeriksaan fungsi paru prabedah merupakan faktor yang berguna dalam memperkirakan komplikasi paru pascabedah.
12,13,25

Salah satu alasan rasional pemeriksaan spirometri adalah untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi yang memungkinkan terjadinya penundaan operasi. Klinisi harus menggunakan berbagai macam strategi untuk mengurangi risiko komplikasi paru pada pasien risiko tinggi melalui evaluasi klinis dan kajian beberapa faktor risiko. Tidak ada data yang menyatakan bahwa spirometri dapat mengidentifikasikan orang yang berisiko tinggi tanpa memiliki gejala klinis paru atau faktor risiko lain yang memungkinkan terjadinya komplikasi paru. Spirometri mungkin berguna bagi pasien dengan PPOK atau asma, jika setelah evaluasi klinis didapatkan keraguan apakah derajat obstruksi saluran napas sudah menurun secara optimal atau belum.25 Pada tahun 1990 American College of Physicians merekomendasikan pemeriksaan spirometri pada pasien dengan riwayat merokok atau dispnea yang akan menjalani operasi pintasan koroner atau abdomen bagian atas; pasien dengan dispnea tanpa sebab atau gejala paru yang akan menjalani operasi leher dan kepala, ortopedi, atau abdomen bawah; semua pasien yang akan menjalani reseksi paru. Beberapa penelitian terakhir menyatakan bahwa spirometri mempunyai nilai prediktif yang bervariasi. Dinyatakan pula bahwa temuan klinis lebih mempunyai nilai prediktif daripada spirometri dalam memperkirakan kemungkinan terjadinya komplikasi paru setelah operasi. Tetapi belum ada randomized clinical trial tentang hal ini.25

III.8. Apakah puasa rutin dilakukan pada persiapan prabedah elektif?


ANAK Jawaban: Ya (Rekomendasi C) Rekomendasi: Jangka waktu puasa dari ASI, susu formula dan makanan padat adalah 4 jam pada anak usia <6 bulan, 6 jam pada anak usia 6-36 bulan dan 8 jam pada anak usia >36 bulan. Jangka waktu puasa dari cairan jernih adalah 2 jam pada anak usia <6 bulan, 3 jam pada anak usia 6-36 bulan dan >36 bulan.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 21/33

Rasional: Bagaimanapun juga masih terdapat beberapa keraguan, bagaimana dengan bayi usia <6 bulan yang minum ASI, susu formula, dan makanan padat. Keraguan pada ASI disebabkan komposisi ASI bergantung pada diet ibu, semakin tinggi asupan lemak ibu maka kandungan lemak ASI semakin tinggi sehingga pencernaannya juga lebih lambat. Biasanya untuk bayi <6 bulan diperbolehkan minum ASI, susu formula dan makanan padat sampai 4 jam sebelum intubasi, sedangkan yang diperbolehkan sampai 2 jam sebelum operasi adalah cairan jernih saja.5,26 Menurut kelompok kerja ASA, tidak ada cukup data yang mengevaluasi hubungan antara asupan ASI maupun susu formula sebelum prosedur anestesia dengan insidens emesis atau aspirasi paru. Selanjutnya direkomendasikan bahwa puasa ASI adalah selama 4 jam atau lebih sebelum prosedur anestesia umum, regional, atau sedasi/analgesi, sedangkan untuk susu formula selama 6 jam atau lebih.26 Untuk anak >6 bulan Cot5 menyarankan puasa ASI, susu dan makanan padat selama 6 jam, tetapi diperbolehkan untuk minum cairan jernih sampai 3 jam sebelum operasi. Beberapa kepustakaan telah membuktikan bahwa pengosongan cairan jernih di lambung berlangsung dengan cepat. Volume residu lambung pada anak yang minum cairan jernih sampai dengan 2 jam sebelum induksi tidak berbeda atau sedikit berbeda dengan anak yang telah puasa sepanjang malam. Tidak ada perbedaan volume lambung antara anak yang berpuasa selama 2-4 jam dengan yang berpuasa >4 jam. Oleh karena itu tidak dibutuhkan jangka waktu puasa yang berlebihan sebelum operasi elektif pada pasien anak. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar institusi anak telah mengubah jangka waktu puasa untuk cairan jernih.26 Beberapa klinisi menyatakan anak >3 tahun membutuhkan jangka waktu puasa yang lebih panjang yaitu 8 jam puasa susu dan makanan padat, serta 3 jam puasa cairan jernih. Hal ini memungkinkan anak tidak mengalami hipovolemi karena puasa yang berkepanjangan. Asupan cairan yang lebih bebas juga memungkinkan pengurangan insidens hipoglikemia dan hipotensi prabedah setelah induksi anestesia inhalasi, meskipun hal ini belum diteliti.5 DEWASA Jawaban: Ya (Rekomendasi C) Rekomendasi: Jangka waktu puasa adalah 8 jam. Rasional:

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 22/33

Kelompok kerja ASA menyatakan bahwa tidak ada bukti yang melaporkan hubungan antara waktu puasa, volume lambung atau keasaman lambung dengan risiko terjadinya refluks/emesis atau aspirasi paru pada manusia. Pada penelitian yang membandingkan lama puasa antara 2-4 jam dengan >4 jam didapatkan volume lambung yang lebih kecil pada orang dewasa yang berpuasa selama 2-4 jam. Kelompok kerja ASA merekomendasikan bahwa puasa selama 2 jam atau lebih untuk cairan jernih cukup memadai sebelum pelaksanaan anestesia umum, regional atau sedasi/analgesia. Contoh cairan jernih antara lain air putih, jus buah, soda, teh pahit dan kopi pahit. Volume cairan tidak begitu penting bila dibandingkan dengan jenis cairan.26 Tidak ada data yang memadai mengenai jangka waktu puasa untuk makanan padat. Untuk pasien pada semua kategori usia, kelompok kerja ASA merekomendasikan puasa dari makanan ringan atau susu selain ASI selama 6 jam atau lebih sebelum operasi elektif dengan anestesia umum, regional, atau analgesia. Mereka menyatakan bahwa asupan nasi, makanan berlemak atau daging dapat memperpanjang pengosongan lambung. Keduanya jumlah dan jenis makanan harus dipertimbangkan untuk menentukan jangka waktu puasa yang tepat.26 TABEL 1. PEDOMAN PUASA UNTUK ANAK DAN DEWASA 5
Usia Jangka waktu puasa Makanan padat Cairan jernih

<6 bulan 4 jam 2 jam 6-36 bulan 6 jam 3 jam >36 bulan 8 jam 3 jam (dikutip dari Cot CJ. Preoperative preparation and premedication. Br J Anaesth 1999)

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 23/33

Bab IV REKOMENDASI
BERDASARKAN HASIL KAJIAN DI ATAS, DISUSUN REKOMENDASI SEBAGAI BERIKUT:
PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) Jawaban Darah tepi YA Rekomendasi Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit) dilakukan pada anak usia<5 tahun, sedangkan untuk anak usia 5 tahun pemeriksaan darah tepi dilakukan atas indikasi, yaitu pasien yang diperkirakan menderita anemia defisiensi, pasien dengan penyakit jantung, ginjal, saluran napas atau infeksi . Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila terdapat risiko kelainan ginjal, hati, endokrin, terapi perioperatif, dan pemakaian obat alternatif. DEWASA (>18 tahun) Jawaban TIDAK Rekomendasi Pemeriksaan darah tepi lengkap dilakukan pada pasien dengan penyakit hati, riwayat anemia, perdarahan dan kelainan darah lainnya, serta tergantung tipe dan derajat invasif prosedur operasi.

Kimia darah

TIDAK

TIDAK

Pemeriksaan kimia darah rutin hanya dilakukan pada pasien usia lanjut, adanya kelainan endokrin, kelainan fungsi ginjal dan hati, pemakaian obat tertentu atau pengobatan alternatif. Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat kelainan koagulasi, atau riwayat terbaru yang mengarah pada kelainan koagulasi, atau sedang memakai obat

Hemostatis

YA

Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien dengan riwayat atau kondisi klinis mengarah pada kelainan koagulasi, akan menjalani operasi yang dapat

TIDAK

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 24/33

menimbulkan gangguan koagulasi (seperti cardiopulmonary bypass), ketika dibutuhkan hemostasis yang adekuat (seperti tonsilektomi), dan kemungkinan perdarahan pascabedah (seperti operasi saraf). Urinalisis TIDAK Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan pasien dengan gejala infeksi saluran kemih. Pemeriksaan foto toraks rutin prabedah tidak perlu dilakukan. TIDAK

antikoagulan, pasien yang memerlukan antikoagulan pascabedah, pasien yang memiliki kelainan hati dan ginjal.

Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan pasien dengan gejala infeksi saluran kemih. Pemeriksaan foto toraks dilakukan pada pasien usia di atas 60 tahun, pasien dengan tanda dan gejala penyakit kardiopulmonal, infeksi saluran napas akut, riwayat merokok. Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, nyeri dada, gagal jantung kongestif, riwayat merokok, penyakit vaskular perifer, dan obesitas, yang tidak memiliki hasil EKG dalam 1 tahun terakhir tanpa memperhatikan usia. Selain itu EKG juga dilakukan pada pasien dengan gejala kardiovaskular

Foto toraks

TIDAK

TIDAK

EKG

TIDAK

Hanya dilakukan atas indikasi

TIDAK

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 25/33

periodik atau tanda dan gejala penyakit jantung tidak stabil (unstable), dan semua pasien berusia usia >40 tahun. Fungsi Paru TIDAK Hanya dilakukan atas indikasi TIDAK Pemeriksaan spirometri dilakukan pada pasien dengan riwayat merokok atau dispnea yang akan menjalani operasi pintasan (bypass) koroner atau abdomen bagian atas; pasien dengan dispnea tanpa sebab atau gejala paru yang akan menjalani operasi leher dan kepala, ortopedi, atau abdomen bawah; semua pasien yang akan menjalani reseksi paru dan semua pasien usia lanjut. Lihat tabel 2

Puasa

YA

Lihat tabel 2

YA

TABEL 2. JANGKA WAKTU PUASA PERSIAPAN RUTIN PRABEDAH ELEKTIF


Usia Anak Dewasa <6 bulan 6 36 bulan >36 bulan Jangka waktu puasa Makanan padat Cairan jernih 4 jam 2 jam 6 jam 3 jam 8 jam 3 jam 8 jam 3 jam

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5. Munro J, Booth A, Nicholl J. Routine preoperative testing: a systematic review of the evidence. Health Technol Assessment 1997;I(12). American Society of Anesthesiologists. Practice advisory for preanesthesia evaluation. Anesthesiology 2002;96:485-96. Perez A, Planell J, Bacardaz, Hounie A, Franci J, Brotons C, dkk. Value of routine preoperative tests: a multicentre study in four general hospital. Br J Anaesth 1995;74:250-6. Patel RI, DeWitt L, Hannallah RS. Preoperative laboratory testing in children undergoing elective surgery: analysis of current practice. Clin Anesth 1997;9:258-61. Cot CJ. Preoperative preparation and premedication. Br J Anaesth 1999;83:16-28.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 26/33

6. 7.

8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

18. 19.
20.

21.

22.
23. 24.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Report of the policy workshop on iron deficiency anemia in Indonesia. Jakarta, Indonesia. 12 April 1997. National Institutes of Health Consensus Development Conference Statement. Perioperative red cell transfusion. 27-29 Juni 1988. Carson JL, Duff A, Berlin JA, Lawrence VA, Poses RM, Huber EC, dkk. Perioperative blood transfusion and postoperative mortality. JAMA 1998;279:199-205. Stehling L. New concepts in transfusion therapy. International Anaestesia Research Society 1998. Review Course Lectures.h. 62-5. Dzankic S, Pastor D, Gonzales C, Leung JM. The prevalence and predictive value of abnormal preoperative laboratory tests in elderly surgical patients. Anesthesia & Analgesia 2001;93(2):301-8. Meneghini L, Zadra N, Zanette G. The usefulness of routine preoperative laboratory tests for one-day surgery in healthy children. Paediatr Anaesth 1998;8(1):11-5. Barnett SR. Preoperative evaluation and preparation of the elderly patient. Current Anesthesiology Reports 2000;2:445-52. Akrp AH, Koval KJ. Preoperative medical evaluation of the elderly patient. Archives of the American Academy of Orthopaedic Surgeons 1998;2(1):81-7. Burk CD, Miller L, Handler SD, Cohen AR. Preoperative history and coagulAtion screening in children undergoing tonsillectomy. Pediatrics 1992;89(1):691-5. Houry S, Georgeac C, Hay JM, Fingerhut A, Boudet MJ. A prospective multicenter evaluation of preoperative hemostatic screening tests. Am J Surg 1995;170(8):19-23. Wood RA, Hoekelman RA. Value of the chest X-ray as a screening test for elective surgery in children. Pediatrics 1981 Apr;67(4):447-52. American Academy of Pediatrics. Evaluation and preparation of pediatric patients undergoing anesthesia. Pediatrics 1996;98(3):502-8. WHO. Global tuberculosis control: surveillance, planning, financing. WHO Report 2003. Health Services Utilization and Research Commission. Selective chest radiography: guidelines. Didapat dari URL: http://www.hsurc.sk.ca/research_studies/pdf. Velanovich V. The value of routine preoperative laboratory testing in predicting postoperative complications: a multivariate analysis. Surgery;109:236-43. Vanderbilt University Guidelines For Preoperative Evaluation and Preparation. Didapat dari URL:http://www.anesthesiology.mc.vanderbilt.edu/vpecguide/guideme nu.htm American College of Cardiology and the American Heart Association, Inc. ACC/AHA guideline update on perioperative cardiovascular evaluation for noncardiac surgery. Amerika Serikat 2002. Goldberger AL, OKonski M. Utility of the routine electrocardiogram before surgery and on general hospital admission: critical review and new guidelines. Ann Intern Med 1986 Oct;105(4):552-7. Murdoch CJ, Murdoch DR, McIntyre P, Hoste H, Clark C. The preoperative ECG in day surgery: a habit? Anaesthesia 1999;54(9):907-8.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 27/33

25. 26.

27.
28. 29. 30. 31. 32.

33.

34. 35.

36.
37.

Smetana GW. Preoperative pulmonary evaluation. N Engl J Med 1999;340(12):937-44. American Society of Anesthesiologists. Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patients undergoing elective procedures. Anesthesiology 1999;90(3):896-905. Institute for Clinical Systems Improvement. Health care guideline: preoperative evaluation. Didapat dari URL: http://www.icsi.org. Sox HC, Garber AM, Littenberg B. The resting electrocardiogram as a screening test: a clinical analysis. Annals Internal Medicine 1989 Sep 15;111(6):489-502. Narr BJ, Warner ME, Schroeder DR. Outcomes of patients with no laboratory assessment before anesthesia and a surgical procedure. Mayo Clin Proc 1997;72(6):505-9. Auble TE, Taylor DM, Hsu EB, Yealy DM. Evaluation of guidelines for ordering prothrombin and partial thromboplastin times. Acad Emerg Med 2002;9(6):567-74. Schein OD, Katz J, Bass EB, Tielsch JM, Lubomski LH, Feldman MA, dkk. The value of routine preoperative medical testing before cataract surgery. NEJM 2000;342(3):168-75. Ramrez-Mora JC, Moyao-Garcia D, Nava-Ocampo AA. Attitudes of Mexican anesthesiologists to indicate preoperative fasting periods: a cross-sectional survey. BMC Anesthesiology 2002;2:1-6. Preoperative evaluation and preparation. The center for laparoscopic obesity surgery 1998. Didapat dari URL:http://anesthesiology.mc.vanderbilt.edu/vpecguide/guidemenu.ht m British Columbia Medical Association. Guidelines & protocols advisory committee: preoperative testing 2000. Didapat dari URL: http://www.hlth.gov.bc.ac/msp/protoguides/gps/preop.pdf King MS. Preoperative evaluation. Am Fam Physician 2000;62:387-96. Association of Ottawa Anesthesiologists. Anesthesia preoperative assessment. 2000. Didapat dari URL:http://www.anesthesia.org/pau/pau_english.html The practice of anesthesiology. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, penyunting. Clinical Anesthesiology. Edisi ketiga. New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill; 1996. h. 5-9.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 28/33

LAMPIRAN METODE PEMERIKSAAN LABORATORIUM


A. Persiapan Pasien, Pengambilan dan Pengiriman Sampel Darah (Tahap Pra Analitik) 1. Persiapan pasien:
Perubahan volume plasma dapat menyebabkan perubahan jumlah sel/L darah. Dua jam setelah makan sebanyak 800 kalori volume plasma akan meningkat, sebaliknya setelah gerak badan volume plasma akan berkurang.

Sebaiknya tidak mendapat obat yang mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium dalam 2 minggu terakhir. Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium seperti adrenalin dapat meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Selain itu pemberian obat antikoagulan oral atau heparin dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.

Semprit dan jarum

Semprit dan jarum harus kering dan steril. Dianjurkan penggunaan semprit plastik dan jarum disposable. Ukuran jarum yang dipakai adalah nomor 20 untuk volume darah yang diambil sebanyak 510 ml. Bila darah yang diambil makin banyak, maka lebih baik menggunakan jarum dengan nomor yang lebih kecil. Penampung

Penampung yang baik adalah penampung yang kering, bersih, dilengkapi label dan tertutup rapat. Pada label tertera identitas penderita seperti nama, tanggal, nomor, ruangan dan jenis tes yang diminta. Untuk pemeriksaan hemostasis dianjurkan memakai penampung dari plastik atau gelas yang telah dilapisi silikon. 2. Pengambilan sampel darah Antikoagulan Untuk pemeriksaan darah tepi, antikoagulan yang dipakai adalah Na2 EDTA/K2 EDTA dengan perbandingan 11,5 mg/ml darah. Untuk pemeriksaan hemostasis antikoagulan yang

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 29/33

dipakai adalah Na sitrat 0,109 M dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian Na sitrat. Untuk pemeriksaan kimia darah tidak dipakai antikoagulan dan diambil serumnya. Perubahan posisi waktu pengambilan berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan. Perubahan posisi berbaring menjadi berdiri akan mengurangi volume darah dan sebaliknya. Pengambilan sampel dilakukan dengan melakukan bendungan vena seminimal mungkin. Pengambilan darah untuk pemeriksaan hemostasis dianjurkan dengan memakai 2 semprit. Setelah darah diambil dengan semprit pertama, tanpa mencabut jarum, semprit pertama dilepas lalu dipasang semprit kedua. Darah dalam semprit pertama tidak dipakai untuk pemeriksaan hemostasis, sebab dikhawatirkan sudah tercemar oleh tromboplastin jaringan. 3. Pengiriman sampel darah Bila bahan pemeriksaan yang telah diambil tersebut perlu dirujuk, sebaiknya dikirim dalam penampung yang tertutup rapat dan diberi label. Pemeriksaan darah tepi sebaiknya segera dilakukan karena trombosit dapat mengalami disintegrasi bila pemeriksaan dilakukan setelah 1 jam. Pemeriksaan hemostasis sebaiknya segera dikerjakan dalam waktu kurang dari 4 jam setelah pengambilan darah, karena beberapa faktor pembekuan bersifat labil. Sebaiknya pemeriksaan kimia darah dilakukan dalam waktu kurang dari 6 jam, kecuali glukosa darah harus kurang dari 1 jam setelah pengambilan darah.

B. Pemeriksaan (Tahap Analitik)


Pemeriksaan hemoglobin yang dianjurkan oleh International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) adalah cara sianmethemoglobin. Pemeriksaan hitung leukosit dan trombosit dengan alat hitung sel otomatis, maka perhitungan sel menjadi lebih mudah, cepat dan teliti dibandingkan cara manual. Walaupun demikian hitung sel darah cara manual masih dipertahankan. Hal ini disebabkan hitung sel darah cara manual masih merupakan metode rujukan. Prinsip hitung sel darah cara manual, darah diencerkan dengan suatu larutan tertentu. Jumlah sel darah dalam volume pengenceran tersebut dihitung dengan menggunakan kamar hitung. Kesalahan yang mungkin terjadi pada hitung sel darah yaitu volume yang tidak tepat karena pipet tidak di kalibrasi, penggunaan kamar hitung yang kotor, basah dan tidak menggunakan kaca penutup khusus.

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 30/33

Pemeriksaan masa perdarahan terutama menilai faktorfaktor hemostasis yang letaknya ekstravaskuler, tetapi keadaan dinding kapiler dan trombosit juga berpengaruh. Pemeriksaan masa perdarahan adalah menentukan lamanya perdarahan pada luka yang mengenai kapiler. Terdapat 2 macam cara yaitu Ivy dan Duke. Hasil pemeriksaan cara Ivy lebih dapat dipercaya daripada Duke, karena pada cara Duke tidak diadakan pembendungan sehingga mekanisme hemostasis kurang dapat dinilai. Pemeriksaan masa perdarahan merupakan suatu tes yang kurang memuaskan karena tidak dapat dilakukan standardisasi tusukan baik mengenai dalam, panjang, lokalisasi maupun arah sehingga korelasi antara hasil tes ini dan keadaan klinik tidak begitu baik. Pemeriksaan PT ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama. Prinsip pemeriksaan PT adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma yang diinkubasi pada suhu 37C, ditambahkan reagens tromboplastin jaringan dari ion kalsium. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh kepekaan tromboplastin yang dipakai dan oleh teknik pemeriksaan. Karena itu pemeriksaan ini selalu harus dilakukan in duplo dan disertai kontrol dengan plasma normal. Perbedaan kepekaan reagens tromboplastin yang dipakai dan perbedaan cara pelaporan menimbulkan kesulitan bila pemantauan dikerjakan di laboratorium yang berbedabeda. Untuk mengatasi masalah tersebut ICSH menganjurkan agar tromboplastin jaringan yang akan digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu terhadap tromboplastin rujukan untuk mendapatkan ISI (International Sensitivity Index), juga dianjurkan agar hasil pemeriksaan PT dilaporkan secara seragam dengan menggunakan INR (International Normalized Ratio). Pemeriksaan APTT digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsik dan jalur bersama. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila kedalam plasma ditambahkan reagens tromboplastin parsial dan aktivator serta ion kalsium pada suhu 37C. Pemeriksaan glukosa darah dan ureum dilakukan dengan metode enzimatik. Pemeriksaan SGOT/AST, SGPT/ALT dan GT dilakukan dengan metode IFCC (International Federation for Clinical Chemistry) pada suhu 37C. Pemeriksaan kreatinin dilakukan dengan metode Jaffe. Pemeriksaan natrium dan kalium yang akhirakhir ini dipakai adalah metode ion selective electrode (ISE).

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 31/33

PANEL AHLI
1. Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAnK(IC) Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia (IDSAI) Bagian Anestesiologi, FK UNAIR-RSUP Dr. Soetomo Surabaya 2. Dr. H. Sunatrio, SpAnKIC Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia (IDSAI) Bagian Anestesiaologi, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 3. DR. Dr. Iqbal Mustafa, SpAnKIC, FCCM Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Indonesia (IDSAI) Anggota Tim Pengkajian Teknologi Kesehatan Subdit Penapisan Teknologi Departemen Kesehatan RI Jakarta 4. Dr. Rainy Umbas, SpB, SpBU(K) Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) Bagian Bedah, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 5. Dr. Amir Thayeb, SpB, SpBA(K) Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) Bagian Bedah, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 6. Dr. Endang Windiastuti, SpA Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 7. Dr. R.W.M. Kaligis, SpJP Perhimpunan Kardiologi Indonesia, RS Jantung Harapan Kita Jakarta 8. Dr. Irmalita, SpJP Perhimpunan Kardiologi Indonesia, RS Jantung Harapan Kita Jakarta 9. Dr. Noroyono Wibowo, SpOG Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Bagian Obstetri dan Ginekologi, FKUI-RSUPN Mangunkusumo Jakarta

Cipto

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 32/33

10.Dr. Sigit Purbadi, SpOG, KOnk Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Bagian Obstetri dan Ginekologi, FKUI-RSUPN Mangunkusumo Jakarta 11. Dr. Suzanna Immanuel, SpPK Bagian Patologi Klinik, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta

Cipto

KONTRIBUTOR
1. Dr. Suhardjono, SpPD, KGH, KGer Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 2. Dr. Siti Setiati, SpPD, KGer Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 3. Dr. Bambang Budyatmoko, SpRad Perkumpulan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI) Bagian Radiologi, FKUI-RSUPN Cipto Mangukusumo Jakarta

UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN INDONESIA


1. Prof. DR. Dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K) Ketua 2. DR. Dr. Iqbal Mustafa, SpAnKIC, FCCM Anggota 3. DR. Dr. Akmal Taher, SpB, SpBU(K) Anggota 4. Dr. Ratna Mardiati, SpKJ Anggota 5. Dr. Wuwuh Utami, MKes Anggota 6. Drg. Rarit Gempari, MARS Anggota

7. Dr. Frida Soesanti Anggota 8. Dr. Nila Kusumasari

HTA Indonesia_2003_Persiapan Rutin Prabedah Elektif_hlm 33/33

Anggota

You might also like