You are on page 1of 7

PEMIKIRAN HASSAN HANAFI

TENTANG REKONSTRUKSI TASAWUF


Yayan Suryana

Pendahuluan

Semua Muslim percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma ideal yang dapat diadaptasi oleh
bangsa apa saja dan kapan saja. Ajaran Islam bersifat universal dan tidak bertentangan dengan
rasio. Semua kaum Muslim harus selalu membangun peradaban yang bertumpu pada pesan-pesan
abadi itu. Persoalannya, bagaimana semestinya mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban,
kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial Islam yang dibangun atas universalitas itu?

Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik
kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha
mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai
universalitas Islam tersebut.

Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan
memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan
kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam
bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya
dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis
gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek
besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran
keagamaan Islam. Hanafi mencoba merekonstruksi dimensi ajaran tersebut, mulai dari teologi,
hukum, sosial kemasayarakatan sampai pada dimensi mistik Islam (Tasawuf ).

Makalah ini akan mengkaji kerangka pemikiran Hassan Hanafi dalam upaya merekonstruksi
Tasawuf Islam.

Latar Belakang Kehidupan Hassan Hanafi

Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo, dari keluarga musisi. Ia adalah
seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih gelar Sarjana Muda bidang filsafat di Universitas
Kairo pada tahun 1956. Kemudian, gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Sorbonne Paris
dengan disertasinya berjudul "L Exegeses de la Phenomenologie Letat actuel de la Methode
Phenomenologie et son Application an Phenomene Religieux". Karya setebal 900 halaman itu
mendapat penghargaan sebagai penulis karya ilmiah terbaik Mesir pada tahun 1961. Karya tersebut
merupakan upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh

( Islamic Legal Teory) pada madzhab filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl. Pendidikan
Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah
Khalil Agha Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif
mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Karena itu, sejak kecil ia telah
mengetahui pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan aktifitas-
aktifitas sosialnya. Hassan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid
Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran
agama, revolusi dan perubahan sosial.
Di dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah seperti di Perancis (1969), Belgia
(1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait (1979),
Universitas Fez Maroko ( 1982-1984) dan menjadi Guru Besar tamu di Tokyo ( 1984-1985), di
Persatuan Emirat Arab (1985). Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program pada
Universitas PBB di Jepang (1985-1987), dan sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 Hassan
Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.

Aktifitas di dunia akademik tersebut ditunjang dengan aktifitasnya di organisasi masyarakat.


Tercatat, Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia menjadi
anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil
Presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.

Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981, ia
memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-
Islami. Pemikiran yang terkenal dengan al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa
Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara.

Dalam Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) tersebut, Hassan Hanafi mendiskusikan bebarapa isu
penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam
bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi
Tauhid) dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan
Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme
merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan Muslim, disamping untuk
memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang
peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang
cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang, secara kesejarahan, kaya. Ia
mengusulkan "Oksidentlisme" sebagai jawaban "Orientalisme" dalam rangka mengakhiri mitos
peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia
mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode
tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi,
dunia Islam sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme dan kapitalisme
(dari luar) serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan (dari dalam). Kiri Islam berfokus
pada problem-problem era ini.

Hassan Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian
pemikir Barat pra-modern dan modern. Karena itu, meskipun ia menolak dan mengkritik Barat,
sebagaimana dikatakan Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan
pencerahan telah banyak mempengaruhinya. Sehingga, Shimogaki mengkategorikan Hassan
Hanafi sebagai seorang pemikir medernis liberal. Karakteristik lain pemikiran-pemikiran Hassan
Hanafi pada dasawarsa 1960-an banyak dipengaruhi oleh paham-paham dunia yang
berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik, sosialistik dan populistik, yang juga dirumuskan
sebagai ideologi pan-Arabik. Baru pada akhir dasawarsa itu, Hanafi mulai berbicara tentang
keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi
pembebasan (at-taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan , jika diinginkan Islam
dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial sebagai
ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebutuhan
kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.

Kerangka Metodologis Pemikiran Hassan Hanafi


Shimogaki menegaskan bahwa untuk memantapkan posisi pemikiran Hassan Hanafi dalam
dunia pemikiran Islam dapat ditengarai dari tiga wajah, yaitu: Wajah pertama adalah peranannya
sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah Islam Iran menang, Ia meluncurkan Kiri
Islam. Salah satu tugasnya ialah untuk mencapai revolusi tauhid (keesaan, pengesaan: konsep inti
dalam pandangan dunia Islam). Dalam hal ini, ia dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam
revolusioner, seperti Ali Syari’ati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran
dan Imam Khomeini yang memimpin revolusi dengan sukses.

Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia
mirip dengan posisi Muhammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905). Sebagai
seorang reformis tradisi Islam, Hassan Hanafi adalah seorang rasionalis sebagaimana Abduh.

Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani ( 1838-1896), pendiri gerakan Islam modern,
yang disebut sebagai berjuang melawan imperialisme Barat dan mempersatukan dunia Islam.
Hassan Hanafi menyebut perjuangannya dengan hal yang sama, yaitu perjuangan melawan
imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.

Issa J. Boullata menegaskan bahwa pemikiran Hassan Hanafi tertumpu pada tiga landasan
metodologi: Pertama, tradisi atau sejarah Islam; Kedua, metode fenomenologi, dan; Ketiga, analisis
sosial Marxian.

Hassan Hanafi adalah salah seorang pemikir Arab yang sangat dipengaruhi oleh tradisi
pemikiran filsafat Materialisme-Historis dari Marx.. Dengan menggunakan metode dialektika,
Hassan Hanafi mengadakan sistematisasi dan penyatuan semua aspek pengetahuan dan
pengalaman serta menyusunnya ke dalam suatu keutuhan yang inklusif. Pemikiran Hanafi bisa
disebut Marxis walaupun tidak harus menjadi marxisme. Dalam bentuknya yang paling
sederhana, metode ini berpandangan bahwa proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis,
dimana tesis menimbulkan antitesis dan keduanya akan diangkat menjadi sintesis.

Dalam bangun pikiran Hanafi, metode dialektik dipakai untuk menjelaskan sejarah
perkembangan pemikiran Islam dan untuk menentukan titik pijak dan alasan dasar mengadakan
suatu revolusi. Demikianlah revolusi harus dipandang sebagai panggilan sejarah.

Hassan Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai metode untuk melihat
sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dengan bantuan metode itu, Hassan Hanafi mencoba
melihat kembali sejarah perkembangan perjuangan Islam dengan berusaha melakukan
rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional, yang menururt Hanafi
selama ini mengandalkan pada otoritas teks dan bertumpu pada metodologi yang hanya
mengalihkan teks ke dalam kenyataan.

Hassan Hanafi menemukan kelemahan yang mendasar dalam tradisi pemikiran Islam
tradisional. Hanafi memberikan kritik terhadap metode ini, diantaranya bahwa teks bukanlah
realitas; ia hanya sebuah teks. Teks adalah ekspresi mistik yang menggambarkan realitas, tetapi
bukan realitas itu sendiri. Teks bertumpu pada otoritas Kitab, bukan pada otoritas rasio. Otoritas
Kitab bukan bukti, karena ada beberapa teks yang disakralkan, sementara di sisi lain ada realitas
dan ada akal. Teks memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang ditunjuknya, yakni
peristiwa yang ditandai teks. Tanpa interpretasi, teks menjadi tidak bermakna. Konsekuensinya,
akan terjadi interpretasi teks di luar apa yang dimaksudkannya, dan terjadilah kesalahpahaman
dan penggunaan teks di luar konteksnya.
Hassan Hanafi tidak mau berhenti pada teks, tetapi berusaha mencari hubungan relasional
antara teks dan konteks. Tradisi dapat dipelajari dengan obyektifitas historis yang memadai dan
dipisahkan tidak saja dari masa kini, tetapi juga dari faktor-faktor normatif yang diduga telah
melahirkannya. Kerangka inilah yang membedakan tradisi pemikiran Mu’tazilah yang pure
reason dengan metode berpikir Hassan Hanafi yang menghargai sisi historis sebagai sebuah
proses yang dapat memberikan pemahaman yang inklusif tentang suatu pengetahuan.

Sebagai contoh dalam dimensi teologis dituangkan dalam bukunya Al-Din wa al-Tsaurah vol. IV.
Di buku itu, Hanafi menunjukkan perjalanan peran agama dalam pergolakan politik di Mesir
dari tahun 1952 sampai 1981. Selama periode hampir 30 tahun ini, ia membagi tiga tahap peran
agama. Tahap pertama, agama dan revolusi (1952-1966). Tahap kedua, agama dan pembangunan
masa depan (1961-1966). Tahap ketiga, kembali ke iman. Kemudian, Hanafi menggunakan
dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang merupakan cara ilmiah untuk
mengatasi keterasingan teologi itu sendiri.

Upaya tersebut tampaknya, secara profokatif, dilakukan Hanafi sebagaimana terlihat dalam sub-
sub judul artikelnya: "Dari Tuhan ke Bumi", "Dari Keabadian ke waktu", "Dari takdir ke
kehendak bebas", "Dari otoritas ke akal", "Dari teori ke tindakan", "Dari kharisma ke partisipasi
masa", "Dari jiwa ke tubuh" dan "Dari eskatologi ke futurologi".

Cara yang sama juga diarahkan kepada sufisme yang dinilainya pasif, seperti dalam: "Dari jiwa
ke tubuh", "Dari rohani ke jasmani", "Dari etika individual ke politik sosial", "Dari meditasi
menyendiri ke tindakan terbuka", "Dari organisasi sufi ke gerakan sosial", "Dari nilai pasif ke
nilai aktif", "Dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial", "Dari vertikal ke horizontal", "Dari
langkah moral ke periode sejarah", "Dari dunia lain ke dunia ini" dan "Dari kesatuan hayal ke
penyatuan nyata".

Disamping itu, gerakan peradaban dan kebudayaan Hanafi sangat dipengaruhi oleh ketajaman
analisis pemahaman terhadap realitas. Realitas, bagi Hanafi, adalah realitas masyarakat, politik
dan ekonomi, khazanah Islam dan tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-cita revolusi
Islam tergantung pada kecermatan menganalisis realitas-relaitas itu. Untuk menganalisis realitas-
realitas itu dan memetakan semuanya, Hassan Hanafi menggunakan metode fenomenologi.

Hanafi meyakini pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metode yang
tepat, sebagaimana ia jelaskan: "Sebagai bagian dari gerakan Islam Mesir dan sebagai seorang
fenomenolog, saya tidak mempunyai pilihan lain untuk menggunakan metodologi fenomenologi
dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir."

Ide Rekonstruksi Tasawuf

Kiri Islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin.
Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan dan
kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang
dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Maka, ketika kekuasaan dinasti
Umayyah mulai mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai
penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah
menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap dalam kesucian
roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.

Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang
keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh
umat --Islam pun-- menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`)
dan manunggal dengan Tuhan (al-ittiha>d) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri
pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia.

Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain adalah
egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin
menderita karena nilai-nilai negatif yang dikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf
(ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan). Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan
mengalami krisis yang tak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu.

Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia" (khaira
ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernah lahir dalam sejarah dan
menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar
agar menjadi umat yang terbaik. Adapun ekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan
berkorban untuk menegaskan misi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan
syariat Islam dan membumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaum
Muslim dalam sejarah.

Atas pertimbangan diatas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf. Hanafi mengatakan bahwa
tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar
ilmu rasional (‘aql) yang bersifat tradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali
atas ilmu-ilmu rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasil
menampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad V Hijriyah,
tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyah yang mengambil alih
semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjang masa kerajaan Usmaniyah hingga
gerakan pembaharuan modern.

Manurut Hanafi, tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upaya untuk
menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikan dalam kemenangan
rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagi sentuhan makna sosiologis dan
keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi oleh manusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha
merekonstruksi nilai mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan
mutlak untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang
sedang dihadapi.

Bagi Hanafi, tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbalik,
ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan
meninggalkan dunia kekalahan untuk membina adi dunia kemenangan, sehingga mudah
membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakan suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga
tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis dan tahap metafisik. Hanafi kemudian melakukan
rekonstruksi tasawuf dalam ketiga hal tersebut.

Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang
bertujuan untuk menyempurnakan moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak individu
dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap moral mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis
permulaan yang merupakan awal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka
tubuh tidak kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua masalah masa lampau
dihubungkan dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Dari
rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas
dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda, karena realitas memiliki wajah
ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas lahiriah, maka tasawuf mempertahankan
batiniah. Dalam era pembangunan, yang dipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial
politik yang mengontrol dunia lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa
kekuasaan; c). Dari etika individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah
rusaknya individu. Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu;
d). Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara memperoleh
kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun berpendapat secara
individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia sekarang tindakan terbuka sangat
diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik.

Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti bahwa tasawuf maju dari
moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia.
Tasawuf tidak lagi berhubungan dengan tindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin
kesalehan. Fokusnya bukan lagi pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-
tindakan hati. Kini, tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati. Ilmu ini terdiri dari
dua bagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal).
Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktif dan dari
kondisi psikologis ke perjuangan sosial.

Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi melintasi kawasan
hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada tahap terakhir yang tidak
memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah melewati seluruh latihannya dengan
keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga ini benar-benar merupakan buah yang harus
dikumpulkan, hasil yang harus dicapai dan hadiah yang harus diterima.

Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebut tercapai dibumi.
Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Dari vertikal ke horizontal. Karena
tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yang tertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras
kepada kehendak murni, setelah dikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk
membawanya kembali untuk turun ke bumi. Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba
menguasai kembali dunia. Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya
bermaksud untuk dekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-
tindakan ini muncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempat-
tempat lain. Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan ini mungkin
bersifat konklusif dan produktif. Jika gerakan di jalan sufi bermula dari luar (tahap moral) ke
dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu ke yang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan
dalam pebangunan bermula dari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan
selanjutnya ke luar (pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan
diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang mencoba
menaklukkkan bumi lagi. Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi.
Tanah mesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untuk
dekolonisasi atau untuk bekerja; b). Dari langkah moral ke periode sejarah. Karena langkah-
langkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan, mungkinkah menyusun
langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yang progresif? Dalam tasawuf, terdapat apa
yang benar-benar diperlukan pembangunan.: mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan,
rasa keharusan mengikuti pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan,
harapan memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan
depan-belakang; c). Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakan reaksi
terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakan tempat perlindungan
yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dan kebatilah di dunia. Karena
kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada, maka yang saleh pun meninggal
dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadi yang kekal bagi mereka. Namun demikian
kondisi modern ini lebih banyak berhubungan dengan kehidupan daripada kematian. Kondisi
ini lebih banyak berhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah
pembangunan urban kota-kota besar; d). Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Akibat
kekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahan antara cita-cita
dan kenyataan. Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapan dan impian yang diteruskan
di dalam tasawuf. Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini,
yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alam dan
sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuan yang
berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam. Mengapa tidak
beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan ke penyatuan nyata masyarakat
Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisial yang dihadapi sebagai upaya peralihan
dari era kolonial? Jawabannya, metafisik kesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan
sangat penting untuk mecapai kesatuan sebagai tujuan politik. Panteisme dapat direkonstruksi
sebagai kerangka konseptual bagi Pan-Islamisme.

Catatan Akhir

Dilihat dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yang dilakukan Hassan
Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi. Pemikiran ini tampaknya lahir dari
kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yang sedang terbelakang, untuk
kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat
berfungsi sebagai kekuatan pembebesan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan.

Sebagai cendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan


yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup dalam antara wilayah
internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat.

Hanafi dengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalam
dunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual. Namun demikian,
Hanafi tidak semata-mata memakai analisa filsafat materialisme. Ia juga menggunakan analisis
kesejarahan dunia Islam, sehingga secara jujur dapat mengungkap fakta-fakta dan relasinya
untuk melakukan rekonstruksi.

Tampaklah dengan jelas, bahwa Hassan Hanafi sangat kental keterpengaruhannya dengan
tradisi pemikiran Barat. Hal ini wajar terjadi, seperti bisa dijumpai pada gagasannya sendiri
tentang "Oksidentalisme". Penggunaan tradisi filsafat Barat ini, selanjutnya Hanafi jadikan
sebagai alat untuk mengoreksi dan mengkritik kelemahan Barat. Bagi Hanafi, tantangan umat
Islam adalah bagaimana mengembangkan dunia Islam melalui tradisi-tradisinya sendiri, yang
meliputi tasawuf, dan tidak melalui ideologi-ideologi yang sekuler seperti Marxisme, sosialisme,
nasionalisme, liberalisme dan sebagainya.

Islam bukan berarti ketundukan atau penghambaan, melainkan lebih merupakan revolusi
transendensi, yakni sebuah struktur yang dinamis untuk kesadaran individu, untuk tatanan
sosial dan untuk kemajuan dalam sejarah. @

You might also like