You are on page 1of 9

Hasan Tiro dan Kisah Boh Manok Kom

Posted On : 13 - Des - 2011 | Published by : Azzan Djuly el-Asyi

Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya ditentukan oleh aksinya hari ini... -Hasan Tiro -*** Suatu hari pada September 1998, di pertengahan musim gugur, seorang lelaki muda keluar dari lambung pesawat yang baru mendarat di bandara Arlanda, Stockholm, Swedia. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit putih itu baru saja tiba dari Malaysia. Muzakir Abdul Hamid, lelaki itu, adalah salah satu pemuda Aceh yang mendapat suaka politik ke Swedia dari UNHCR, lembaga PBB yang menangani urusan pengungsi. Mereka dikejar-kejar pemerintah Malaysia karena menjadikan negara itu sebagai basis gerakan baru setelah diburu tentara di Aceh. Sempat menetap di luar kota Stockholm, pada tahun 2000 ia pindah ke pusat kota. Tinggal di sebuah rumah yang berjarak 15 kilometer dari rumah Hasan Tiro, sejak itu Muzakir menghabiskan hari-harinya bersama wali nanggroe. Sebelas tahun menemani Hasan Tiro sebagai staf khusus, ia merekam banyak hal tentang keseharian Wali. Setiap hari, Hasan Tiro memulai hari dengan menganyuh sepeda fitness di apartemennya. Usai mandi, Wali memulai sarapan sambil membaca koran Internasional Herald Tribune langganannya dan berlanjut dengan menonton saluran televisi berita internasional seperti CNN dan BBC. Setelah itu, dengan berpakaian rapi setelan lengkap, barulah ia menuju meja

kerjanya. Di waktu senggang, Hasan Tiro menikmati lantunan musik klasik semisal gubahan Johann Sebastian Bach, Beethoven. Muzakir mengenangnya sebagai pribadi yang bersahaja. Saking bersahajanya, seluruh perabotan di apartemennya, termasuk sebuah televisi tua, tak pernah berganti. Pernah Muzakir dan Dokter Zaini pernah mencoba menawarkan untuk menggantinya dengan perabotan baru. Tapi beliau diam saja, tidak menjawab. Kalau sudah begitu, kita pasti tidak berani bertanya lagi, ujar Muzakir. Di mata Muzakir, Hasan Tiro tak hanya teguh pendirian, namun juga memperhatikan sesuatu sedetail mungkin. Sampai-sampai, dekorasi rumahnya pun ditata sendiri. Beliau memperhatikan sesuatu secara detail. Bahkan terkadang lebih halus dari perempuan, ujar Muzakir. Hasan Tiro adalah seorang lelaki yang perfeksionis hingga akhir hayatnya. Muzakir ingat benar ketika suatu hari ia diminta mengetik surat untuk dikirimkan kepada beberapa lembaga asing untuk mengkampanyekan perjuangan Aceh. Ternyata, dari sejumlah kalimat yang disusun, ada satu kata yang kelebihan huruf. Saya lupa kata-kata persisnya, tapi karena satu huruf yang salah itu, saya harus mengetik ulang surat itu, ujar Muzakir. Begitu pula soal kerapian. Di lain waktu, Muzakir kebagian tugas menjilid kumpulan dokumendokumen yang berkaitan dengan Aceh. Usai dijilid, Muzakir lantas menyerahkan dokumen itu kepada Wali. Usai membolak-balik, Hasan Tiro mengembalikannya sambil berujar, jilid ulang, ini tidak benar. Selidik punya selidik, rupanya salah satu halaman kumpulan dokumen itu dijilid dengan posisi agak miring. Akhirnya, dokumen itu pun dibongkar dan jilid ulang. Masih ada cerita lain soal kerapian. Ketika perundingan Jenewa tahun 2002 lalu, Hasan Tiro datang ke sana memantau jalannya perundingan. Salah seorang delegasi yang datang dari Aceh membuatnya naik darah. Gara-garanya, sang anggota delegasi tidak memakai dasi dalam pertemuan formal di meja perundingan. Wali pun langsung menarik kerah baju si anggota delegasi itu. Nyoe han jeuet lagee nyoe, tanyoe ureueng Aceh harus ta kalon pakiban adat berhubungan dengan ureueng luwa (ini tidak boleh begini, kita orang Aceh harus melihat dan mengetahui bagaimana adat berhubungan dengan orang luar), hardik Hasan Tiro kepada delegasi dari Aceh itu. Hubungan dengan dunia luar memang mendapat perhatian khusus dari Hasan Tiro. Itu sebabnya, kepada setiap tamu yang datang dari Aceh, ia selalu menekankan pentingnya menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Logikanya, tak mungkin membangun hubungan dengan dunia luar jika soal bahasa saja tak dikuasai. Tak heran, kalau ada tamu yang datang biasanya dites dulu untuk membaca tulisan dalam Bahasa Inggris. Pernah suatu ketika datang orang dari Aceh dan mengaku bisa bahasa Inggris. Tapi, ternyata, setelah dites, dia membaca dengan tersendat-sendat. Wali langsung mengangkat kacamata dan menatapnya lekat-lekat sebagai bentuk protes, kenang Muzakir.

Hasan Tiro juga dikenal tegas dan punya disiplin tinggi. Untuk memompa semangat pengikutnya, terkadang Wali harus menunjukkan sikap tak pilih kasih. Ada satu kejadian yang masih dikenang Muzakir saat ikut pelatihan militer di Libya pada 1990. Ketika itu, rupanya peserta pelatihan tidak tahan dengan kerasnya didikan di kamp Tajura. Lalu, beredarlah desasdesus sebagian peserta pelatihan berniat pulang kampung. Kabar itu sampai ke telinga Hasan Tiro, maka murkalah dia. Malamnya, seluruh peserta pelatihan dikumpulkan. Beliau lalu berpidato sambil menjatuhkan sebilah rencong di tangannya. Lon deungo na yang meuneuk woe gampong. Boh manok kom mandum gata nyoe. Soe kirem boh manok kom keunoe (saya dengar ada yang mau pulang kampung. Telur busuk anda semua. Siapa yang mengirim telur busuk ke sini), ujar Hasan Tiro dengan nada tinggi. Hening. Semua terdiam sambil menundukkan kepala. Rencana pulang pun batal. Soal kebiasaannya membawa rencong, menurut Muzakir, adalah cara Hasan Tiro menjaga semangat. Di lain waktu, jika sedang meradang, Tengku Hasan akan mengambil rencong lalu menaruhnya di meja. Tujuannya untuk menaikkan semangat. Karena semangatlah yang menentukan maju mundurnya sebuah bangsa. Hasan Tiro juga kerap meradang jika kerjaan stafnya tak sesuai harapan. Namun, hm... rupanya Muzakir dan sejumlah keluarga Aceh di Swedia menyimpan kiat untuk menjinakkan amarah Wali. Caranya, ketika melihat wajah Wali sedang tegang, mereka buru-buru pulang ke rumah. Sesaat kemudian sudah balik lagi sambil menggendong anak kecil. Dan, ketika melihat bocah wajah Wali yang masam menjadi manis. Lalu Hasan Tiro larut dalam candaan bersama anak kecil. Mungkin beliau teringat anak dan cucunya yang berpisah sejak kecil, ujar Muzakir sambil tersenyum. Kita tahu, ketika memutuskan pulang ke Aceh untuk angkat senjata pada Oktober 1976, Hasan Tiro meninggalkan istri dan anak semata wayangnya Karim Tiro yang masih berusia enam tahun di Amerika Serikat. Ia memilih naik gunung dan mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Keluar masuk hutan sejak kurun 30 Oktober 1976, dia hengkang ke Malaysia pada 29 Maret 1979. Sempat singgah di sejumlah negara, ia mendapat suaka politik di Swedia. Di negara Skandinavia ini juga dia mengantong kewarganegaraan. Pengalaman tiga tahun di belantara Aceh dituangkannya dalam buku catatan harian berjudul The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan Tiro. Sejak itu, Hasan Tiro membentuk pemerintahan di pengasingan. Sebagai Presiden ASNLF (Aceh Sumatra National Liberation Front), dia melanjutkan perjuangan dari Norsborg, Stockholm, hingga akhirnya memutuskan berdamai dengan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. Banyak pihak yang tak percaya dengan keputusan itu. Tak sedikit pula yang menduga keputusan berdamai bukan datang dari Hasan Tiro melainkan dari Mentroe Malik dan Dokter Zaini. Kecurigaan itu terbantahkan ketika Wali Nanggroe akhirnya memutuskan pulang ke Aceh pada

11 Oktober 2008. Di halaman masjid Raya Banda Aceh, Hasan Tiro meminta masyarakat Aceh menjaga perdamaian yang telah dicapai demi masa depan rakyat Aceh. Sayang, Wali tak sempat berlama-lama menetap di negeri yang diperjuangkan lebih separuh usianya. Pada 3 Juni 2010, malaikat menjemputnya di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, 3 Juni 2010. Ia pergi dalam sunyi: tanpa didampingi istri dan anaknya Karim Tiro. Ia pergi dengan meninggalkan perdamaian. Wali tahu kapan kita berdamai dan kapan kita harus berperang. Damai yang sudah ada sekarang mesti kita pelihara. Ini amanah wali yang mesti kita jalankan, ujar Dokter Zaini. Masa-masa perjuangan bersenjata memang telah menjadi masa lalu dalam sejarah Aceh. Hasan Tiro, sang mahaguru Aceh, tentu tak ingin pengorbanannya mengangkat derajat Aceh sia-sia. Itu sebabnya, kepada pengikutnya, ia berpesan, While man powerless to change his past, he still the master of his future. Because his future is largely determined by his present intention and action." "Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya ditentukan oleh aksinya hari ini."

Kisah Mantan Gerilyawan GAM Asal Papua


Posted On : 23 - Jan - 2012 | Published by : Azzan Djuly el-Asyi

Abdul Halim alias Ayah Papua Konflik Aceh telah 7 tahun berakhir. Namun masih banyak kisah haru, heroik, dan sisi-sisi kemanusiaan yang belum terungkap. Salah satunya adalah tentang sosok Abdul Halim (52) alias

Bang Yan alias Ayah Papua. Mungkin ia menjadi satu-satunya putra Papua yang berjuang di hutan Aceh. Kini, saat Aceh mulai damai, ia memendam hasrat untuk memberi contoh kepada keluarga dan teman-temannya di tanah Papua, tentang bagaimana berjuang mengangkat harkat dan martabat rakyat Papua, tanpa harus lagi mengorbankan nyawa manusia.

Terlahir dari Keluarga Pendiri OPM


GAYA bicaranya blak-blakan, logat bahasa Indonesianya masih seperti orang Papua. Jika bukan dari gaya bicaranya, orang tidak menyangka kalau pria berperawakan kecil ini adalah orang Papua asli. Apalagi, rambut kriwil khas Papua, tertutup oleh topi pet berbahan campuran kain dan karet di kepalanya.

"Saya lahir di Manokwari, tanggal 21 Juli 1950, dari keluarga pejuang OPM (Organisasi Papua Merdeka). Ayah saya, Pieter Bonsapia adalah salah satu pendiri OPM," ujar Abdul Halim alias Ayah Papua, dalam bincang-bincang dengan Serambi di sebuah warung kopi, di Uleekareng, Banda Aceh, Sabtu (21/1). Ia menyeruput kopi dalam-dalam. Rokok kretek merek Dunhill nyaris tidak pernah lepas dari celah dua bibirnya. Padahal, asbak di depan kami nyaris sudah penuh dengan puntung rokok miliknya. Baru setengah jam duduk, dia sudah minta tambah satu gelas kopi lagi kepada pelayan warung. "Kami di Papua biasanya minum kopi dalam gelas besar," kata dia sambil memeragakan ukuran gelas dengan tangannya. "Bukan 'kopi' dalam botol?" goda temannya yang juga mantan aktivis GAM. "Kadang-kadang juga," sahut Ayah Papua sambil cengar cengir. Ayah Papua memang sosok yang enak diajak bicara. Meski baru kenal, dia langsung bisa akrab dan bercerita panjang lebar tentang kisah hidupnya. Mulai dari saat SMA di Sorong, hingga kisah-kisah heroik saat harus bergerilya di Aceh masa konflik dulu.

Sebagai putra pejuang, Ayah Papua sudah biasa ditinggal pergi oleh ayahnya. "Pada tahun 1974, ayah saya hijrah ke Vanuatu, dan mulai saat itu beliau kerap keluar masuk Papua-Vanuatu melalui jalur ilegal," ungkapnya. Meski kerap ditinggal pergi ayahnya, tak membuat Abdul Halim tertinggal dari segi pendidikan. Selepas SMA di Sorong (kini Papua Barat), Abdul Halim melanjutkan pendidikannya ke Akademi Ilmu Pelayaran Surabaya. Namun, Halim hanya bertahan selama dua tahun. Ia kemudian memutuskan pindah ke Institut Ilmu Pemerintah (IIP) di Jakarta. Namun, lagi-lagi Halim hanya sanggup bertahan selama dua tahun. "Saya baru mendapat sarjana setelah ambil persamaan di Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang," ujarnya. Ijazah S-1 dari Politeknik Semarang itu tidak disia-siakannya. Dengan dasar tersebut, Halim melanjutkan kuliah untuk mengambil spesialisasi bidang Well Control di University Austin Texas, Amerika Serikat. Selepas dari Texas, Abdul Halim alias Ayah Papua, mulai bekerja di Continental Oil Company (Conoco), sebagai tenaga bidang pengeboran minyak lepas pantai. Pekerjaan ini lah yang mengantarnya bersentuhan dengan Aceh. "Tahun 1979, saya menikah dengan gadis Aceh Rosdiana Juned, di Tapanuli Selatan. Kami kenal di sana (Tapsel)," ujarnya. Setahun di Tapsel, Abdul Halim dikontrak oleh perusahaan pengeboran minyak Mobil Oil untuk ditugaskan di wilayah Aceh Timur. Di sinilah dia mulai bersentuhan dengan para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). "Saat itu saya mulai tertarik dengan perjuangan mereka (GAM), tapi saya belum terlibat aktif," ujarnya.

Tinggalkan Medco Bergerilya di Rimba Aceh


Baru pada tahun 1986, dia mulai mencoba-coba aktif di GAM dengan tugas pertama sebagai petugas di bidang komunikasi (radio). Meski mulai aktif di GAM, Abdul Halim tetap menjalani tugas rutinnya yang pada tahun 1987 menjadi staf pengeboran di perusahaan Medco, subkontrak Mobil Oil di bidang pengeboran.

"Keterlibatan saya di GAM bukan serta merta, melainkan melalui sebuah pemikiran cukup panjang. Akhirnya saya ambil kesimpulan bergabung karena menurut saya ini adalah perjuangan mulia, untuk mengembalikan harkat dan martabat rakyat Aceh," ujarnya. Keputusan Ayah Papua bergabung dengan GAM bukan tanpa konsekwensi, saat pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, Ayah Papua harus meninggalkan pekerjaan yang baru satu tahun digelutinya di Medco. "Pada tahun 1989 saya hijrah ke Malaysia, dan baru kembali menjelang satu tahun pencabutan status DOM (1998). Setelah status DOM dicabut, kami kembali aktif membangun kekuatan dengan di bawah komando Analfiah Julok. Sejak itu, berbagai kisah heroik dialaminya. Sebagai pejuang Ayah Papua, jarang berkumpul dengan keluarganya. Kondisi Ayah Papua Cs semakin terjepit saat pemerintah RI menetapkan status Darurat Militer pada tahun 2003. "Saat itu kami kerap keluar masuk Aceh. Kebanyakan dari kami membuat basis di Kerinci, Jambi. Banyak dari teman-teman kami meninggal di medan perang. Alhamdulillah, saya masih dilindungi, hingga bisa menikmati perdamaian saat ini," ujarnya mengenang. Dua dari tujuh anaknya (2 perempuan 5 laki-laki), juga aktif di GAM. "Satu orang TNA (tentara GAM) dan satu lainnya sipil," terang dia. Panggilan Ayah Papua Saat tsunami menerjang Aceh 26 Desember 2004, Ayah Papua menjadi salah satu orang pertama yang paling terpukul. Tanpa memedulikan statusnya sebagai buronan aparat keamanan, Ayah Papua bekerja keras untuk mengevakuasi mayat-mayat yang berserakan di seputar Banda Aceh dan Aceh Besar.

"Saat itu, banyak relawan datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka lebih suka memanggil saya Ayah Papua. Padahal nama saya Abdul Halim, sementara saat konflik dulu, saya dikenal dengan nama Sofyan atau Bang Yan," ujarnya.

Aceh dan Papua Kerangka Indonesia

SEJAK menetap di Aceh pada tahun 1980, Abdul Halim alias Ayah Pupua telah melewati berbagai pengalaman hidup yang akan diceritakan kepada anak cucunya kelak. Tentang bagaimana ia meninggalkan pekerjaannya di perusahaan minyak, untuk kemudian keluar masuk hutan dengan memanggul senjata. Juga tentang bagaimana ia memunguti mayat para korban konflik dan korban bencana tsunami terdahsyat di abad ini. Meski usianya sudah berkepala lima, bukan berarti Ayah Papua tidak lagi punya cita-cita. "Saya memendam hasrat untuk membagikan ilmu tentang perdamaian di Aceh ini kepada teman-teman di Papua. Bahwa berjuang itu tidak mutlak dengan senjata. Sudah cukup mereka berjuang puluhan tahun dengan senjata, kini saatnya mereka harus berjuang melalui jalur politik, seperti yang dilakukan teman-teman saya di Aceh," ujarnya. Ia berpendapat, perdamaian Aceh yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, bukan saja telah menyelamatkan nyawa ribuan rakyat Aceh dan Indonesia. Tapi, perdamaian yang melahirkan butir-butir kesepahaman (MoU) Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), juga telah mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh. "Orang-orang Aceh yang dulu terpinggirkan dan tinggal di desa-desa, kini telah bisa menjadi pemimpin formal yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. Hasil perjuangan ini juga melahirkan para pemuda kritis dan pintar. Ini merupakan aset bagi Aceh untuk bisa berbicara lebih banyak lagi di tingkat nasional," ujarnya. "Saat delegasi masyarakat adat Papua dan DPR Papua berkunjung ke Aceh beberapa waktu lalu, saya menyerahkan dokumen MoU Helsinki dan UUPA. Saya bilang, generasi Papua harus banyak belajar ke Aceh, harus banyak orang Papua datang melihat Sabang. Jangan hanya melihat Mereuke saja. Mereka harus sadar bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka berdirinya Indonesia," tambah dia.

Pendapat bahwa Aceh dan Papua adalah kerangka Indonesia, kata Ayah Papua, didasarkan pada lirik lagu "Dari Sabang Sampai Mereuke" ciptaan R. Surarjo. Lirik yang dimaksudnya "Dari Sabang sampai Merauke, Berjajar pulau-pulau, "Sambung-menyambung menjadi satu Itulah Indonesia...." "Dari lagu itu jelas bahwa pemilik Indonesia sesungguhnya adalah Aceh dan Papua, yang lainnya numpang. Makanya, saya selalu bilang, kalau mau memperbaiki Indonesia, maka perhatikan dulu Aceh dan Papua. Selama ini pemerintah hanya membangun wilayah tengah saja. Sedangkan kerangkanya (Aceh dan Papua) diabaikan. Apa tidak hancur bangsa ini," ujarnya penuh semangat. Atas dasar itu pula, saat ini Ayah Papua sedang mencoba menjajaki memfasilitasi perdamaian di Papua melalui Interpeace, lembaga yang hingga kini masih mengawal perdamaian di Aceh. Dia akan mengajak para pemuda Aceh untuk menurunkan ilmunya kepada masyarakat di Papua. "Mereka (warga Papua) harus meningkatkan harkat dan martabat bangsa Papua, tidak hanya sekedar berani mati. Kalau modal nekat, sudah dimiliki pejuang di Papua. Sekarang tinggal dikombinasikan dengan ilmu politik yang mumpuni," katanya. Lalu apakah kondisi Aceh saat ini sudah cukup ideal? "Belum, masih butuh perjuangan panjang. Tapi saya pikir, Aceh sudah lebih baik daripada Papua. Saya pikir, yang perlu dilakukan di Aceh setelah proses reintegrasi selesai, adalah regenerasi. Secara perlahan, para pemimpin Aceh harus menyerahkan tongkat kepemimpinan di beberapa bidang kepada para pemuda. Sehingga suatu hari nanti, mereka benar-benar telah siap memimpin dan mewujudkan kesejahteraan, serta mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh," ujarnya. Ayah Papua yang kini aktif di Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Aceh ini juga punya saran kepada pemerintah pusat untuk tidak mengabaikan aspirasi dari para mantan kombatan GAM. "Perjuangan hari ini adalah perjuangan dengan konsentrasi dan penuh perdamaian. Jadi bangsa ini tolong hargai aspirasi mereka. Sebab kalau tidak dihargai, kita akan membuka ruang bagi terjadinya upaya penghancuran kerangka Republik ini," ungkap Ayah Papua. Mengomentari tentang aksi penembakan yang marak terjadi di Aceh beberapa minggu lalu, Ayah Papua mengaku tidak yakin kalau aksi itu dilakukan oleh para mantan kombatan. Apalagi sampai dikait-kaitkan dengan sentimen anti-Jawa di Aceh. "Saya sudah merasakan saat bergabung dengan GAM, tidak ada perbedaan ras dan warna kulit. Sekarang juga di Partai Aceh didoktrin seperti itu, semua penduduk ber- KTP Aceh punya kesempatan yang sama untuk berkiprah di PA. Jadi kami para mantan kombatan, tidak pernah anti dengan pendatang. Bahkan banyak kombatan berasal dari suku Jawa," tukas Ayah Papua.[]

You might also like