You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Istilah cacingan yang paling populer di Indonesia adalah cacingan oleh cacing kremi (Oxyorus vermicularis) yaitu sejenis cacing famili Vermes Annelida yang juga termasuk parasit bagi manusia. Enterobiasis (Oxiyuriasis, cacing kremi, dan infeksi Seatworm) adalah kondisi medis yang disebabkan oleh cacing kremi ( Enterobius vermicularis/ Oxyuris). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan yang paling sering terinfeksi adalah anak-anak. Enterobiasis ditandai dengan sering

ditemukannya rasa gatal pada anus (pruritis ani) yang timbul pada malam hari, anoreksia, penurunan berat badan, sulit tidur, diare, dan nyeri perut. Infeksi Enterobiasis vermicularis terjadi melalui makanan, jari dan inhalasi udara yang terkontaminasi telur Enterobiasis vermicularis serta secara retroinfeksi dari daerah sekitar anus. Cacing Enterobius vermicularis paling banyak ditemukan di daerah dingin karena pada umumnya di daerah dingin orang-orang jarang mandi dan berganti pakaian dalam. Hasil penelitian menunjukan angka prevelensi pada berbagai golongan manusia sekitar 3-8 %. Peneliyian di daerah Jakarta Timur menunjukan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita Enterobiasis adalah kelompok usia 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1 %) dari 85 anak yang diperiksa. Penularan penyakit Enterobiasis paling sering terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup pada lingkungan yang sama (asrama, dan rumah piatu). Pada anak-anak sering terinfeksi Enterobiasis karena sering memasukan jari tangannya ke mulut dan jarang cuci tangan sebelum makan. Untuk menghindari terkena Enterobiasis, kebersihan perorangan harus dilakukan, memotong kuku, mencuci tangan sebelum makan terutama pada anak-anak dan selalu menjaga kebersihan makanan.

2.

Rumusan Masalah 1) Apakah yang dimaksud dengan Enterobiasis (cacing kremi) dan penyebabnya? 2) Bagaimanakah patogenesis dan siklus penularan dari penyakit Enterobiasis? 3) 4) Bagaimana daur hidup Enterobiasis vermicularis (Oxyuris)? Bagaimanakah Enterobiasis? 5) Mengapa di daerah perianal pada anak tersebut terlihat kemerahan bekas luka garukan? 6) Mengapa rasa gatal di dubur hanya terjadi pada waktu malam hari dan mengapa terjadi pruritis ani? 7) Bagaimana diagnosis, diagnosis banding, dan pemeriksaan penunjang dari Enterobiasis? 8) 9) Bagaimana prognosis dari penyakit Enterobiasis? Bagaimana pengobatan dan terapi yang dapat dilakukan pada penyakit Enterobiasis? 10) Bagaimana Enterobiasis? pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyakit gejala dan tanda yang timbul pada penyakit

3.

Manfaat 1) 2) 3) 4) Mampu menjelaskan pengertian dan etiologi penyakit enterobiasis Mampu menjelaskan patogenesis penyakit enterobiasis Mampu menjelaskan manifestasi klinis penyakit enterobiasis Mampu menjelaskan diagnosis, diagnosis banding dan pemeriksaan penunjang penyakit enterobiasis 5) 6) Mampu menjelaskan pengobatan dan pencegahan penyakit enterobiasis Mampu menjelaskan prognosis dan komplikasi dari penyakit malaria tertiana maligna

7)

Mampu menjelaskan penyelidikan epidemiologi dan terapi penyakit enterobiasis

4.

Tujuan 1) Mahasiswa mampu dan mengenal dasar dasar hak penyakit infeksi tropis 2) Mahasiswa mampu menggali potensi dalam pemahaman penyakit enterobiasis 3) Mahasiswa mampu dalam memahami gambaran umum dan pola perawatan mengenai penyakit enterobiasis 4) Mahasiswa mampu menjelaskan pencegahan dan prognosis penyakit penyakit enterobiasis 5) 6) Menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca Menunjang wawasan tentang penyakit enterobiasis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Enterobiasis Enterobiasis (Infeksi Cacing Kremi) adalah suatu infeksi parasit yang terutama menyerang anak-anak, dimana cacing Enterobius vermicularis tumbuh dan berkembangbiak di dalam usus. (Sudoyo, 2006) 1. Etiologi Penyebab penyakit Enterobiasis adalah Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis yang berukuran 1 cm dan berwarna putih. Dalam sekali bertelur cacing ini dapat menghasilkan 11.000 butir telur. Telurnya bebentuk asimetris, eclipse pada satu sisi dan datar pada sisi lainnya dengan ukuran 30-60 m. Setelah melalui proses pematangan larva dapat bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari. Infeksi cacing Enterobius vermicularis bisa terjadi melalui 2 cara yaitu, yang pertama telur cacing berpindah dari daerah sekitar anus (perianal) penderita kemudian pindah ke pakaian, sprei atau mainan, kemudian melalui jari-jari tangan telur cacing pindah ke mulut dan akirnya tertelan. Kemudian cara yang kedua dapat terhirup melalui udara kemudian tertelan. (Widoyono, 2008) 2. Morfologi Enterobius vermicularis a. Telur Enterobius vermicularis Telur berbentuk elipsoid atau lonjong dan mempunyai dua sisi yaitu sisi lengkung dan sisi mendatar atau lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Dinding telur bening dan agak lebih tebal berdinding hialin transparan, biasanya sudah diketemukan embrio dalam stadium tadpole (kecebong). Telur jarang dikeluarkan melalui tinja dan tahan disinfektan dan suhu dingin.

b.

Cacing betina Enterobius vermicularis Cacing betina Enterobius vermicularis berukuran 8-13 mm x 0,4 mm dan berbentuk silindris. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti sayap yaitu 1 pasang alae yang disebut cephalic alae dan terdapat 3 labia. Bulbus esofagus ganda jelas sekali, ekornya panjang dan runcing, Vulva terletak kira bagian anterior. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh dengan telur.

Gambar : Cacing dewasa jantan dan betina

c.

Cacing jantan Enterobius vermicularis Cacing jantan Enterobius vermicularis berukuran 2-5 mm berbentuk mempunyai sepasang chepalic alae alae silindris 3 labia juga dan

yang pada

disebut ujung

anterior. Bulbus esofagus ganda, ujung posterior sangat melengkung jelas dengan spikulum kopulatoris yang jelas. Tidak ada

gubernaculums. Mempunyai bursa kecil yang tampak sebagai alae kaudal.

Kopulasi cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di sekum. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar, usus halus yang berdekatan dengan rongga usus. Makanannya adalah isi dari usus penderitanya. Cacing jantan mati setelah kawin dan cacing betina mati setelah bertelur. Cacing betina yang mengandung 11.00015.000 butir telur akan bermigrasi ke daerah sekitar anal (perianal) untuk bertelur. Migrasi ini berlangsung 15 40 hari setelah infeksi. Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu tubuh. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.

3.

Patogenesis a. Telur berada di lipatan perianal. Telur ini memerlukan waktu 4-6 jam untuk menjadi telur yang infektif b. Telur tertelan manusia, misal menggaruk anus lalu menggunakannya untuk makan tanpa cuci tangan c. Sesampainya di duodenum telur ini menetas dan menjadi larva rhabditiformis dan berkembang menjadi cacing dewasa d. e. Cacing dewasa akan menuju jejunum, coecum dan kolon Cacing betina akan bermigrasi ke daerah perineum/perianal untuk bertelur lalu mati setelah bertelur. Cacing jantan mati setelah kopulasi. Motilitas cacing betina saat bertelur di anus, dapat menyebabkan gatal-gatal di anus. Jika telur menetas di anus, larva akan masuk ke kolon lagi (retrofeksi). Telur enterobius vermicularis biasa menempel di manapun, di lantai, meja, kursi dan mudah diterbangkan bersama debu dan menginfeksi orang yang menghisap debu ini (infeksi inhalasi). (Widoyono, 2008)

Gambar : Siklus hidup Enterobius vermikularis 4. Manifestasi klinis Beberapa gejala dan tanda dari Enterobiasis (infeksi cacing kremi) adalah a. Rasa gatal pada anus (pruritis ani), karena adanya deposit atau tumpukan telur Enterobius vermicularis di daerah sekitar anus (perianal) dan arena cacing Enterobius vermicularis suka bergerak di daerah anus terutama pada malam hari. b. Luka garuk di sekitar anus, karena adanya rasa gatal pada daerah perianal sehingga menyebabkan penderita menggaruk pada daerah perianal tersebut sampai terjadi luka c. Insomnia (susah tidur), karena rasa gatal (pruritis ani) sering

terjadi pada waktu mlam hari sehingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah d. Kurang nafsu makan (terutama pada infeksi yang berat) sehingga menyebabkan penurunan berat badan e. Kadang-kadang cacing dewasa dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esophagus dan hidung sehingga menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual, muntah dan diare. f. Vaginitis (radang saluran telur), terjadi karena cacing betina gravid mengembara dan bersarang di vagina dan di tuba fallopi.

5.

Diagnosis dan diagnosis banding a. Diagnosis Diagnosis enterobiasis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. 1) Gejala klinis a) Anamnesis Keluhan utama yang sering kali muncul dari infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Disamping itu sumber penyakit harus ditelusuri. b) Pemeriksaan fisik Pasien mengalami nyeri pada perutnya, nafsu makan dan berat badan turun, dan diare, anoreksia, badan menjadi kurus, sukar tidur. Disamping itu juga timbul rasa mual, muntah, disebabkan karena iritasi cacing dewasa pada sekum, apendiks, dan sekitar muara anus. 2) Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah tepi umumnya normal, hanya ditemukan sedikit eosinofilia. 3) Pemeriksaan penunjang Diagnosis pasti enterobiasis dengan cara menemukan telur atau cacing dewasa di daerah perianal dengan swab atau di dalam tinja. Anal swab di tempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat. (Widoyono, 2008)

b.

Diagnosis banding Pruritus ani merupakan gejala enterobiasis yang menonjol, yang juga dijumpai pada hampir semua kelainan kulit, misalnya psoriasis dan dermatitis atopik. Reaksi alergi, misalnya dermatitis kontak yang disebabkan oleh bahan obat bius yang dioleskan di kulit, berbagai jenis salep atau bahan kimia dalam sabun. Infestasi parasit seperi cacing kremi dan skabies atau pedikulosis. Selain itu, penyakit-penyakit, seperti kencing manis atau penyakit hati, kelainan anus (misalnya tanda di kulit atau skin tags, kriptitis, pengeringan fistula) dan kanker (contohnya penyakit Bowen). (Sudoyo, 2006)

6.

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan laboratorium yaitu dengan Anal Swab. Pemeriksaan Anal swab dilkukan untuk menemukan telur atau cacing dewasa di daerah perianal di dalam tinja. Pemeriksaan Anal swab dilakukan pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat (cebok) Anal Swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan pita perekat atau Scoth adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus (perianal), telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape

diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopik. Satu tes tidak selalu cukup untuk berhasil mendiagnosa enterobiasis dan lebih dari satu mungkin harus dilakukan. Sebuah tes ulang dilakukan setiap hari selama tiga hari berturut-turut akan mendiagnosis enterobiasis lebih dari 90% dari waktu. (Corwin, 2001) 7. Pencegahan Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan atau mengendalikan infeksi cacing kremi (Enterobius vermicularis) antaralain : a. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar

b. c. d. e. f.

Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku Mencuci sprei minimal 2 kali seminggu Membersihkan kamar mandi atau jamban setiap hari Sebaiknya pakaian dicuci bersih dan diganti setiap hari Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung parasit (Hassan, 2007)

8.

Pengobatan a. Perawatan umum 1) Pengobatan sebaiknya dilakukan juga terhadap keluarga serumah atau yang sering berhubungan dengan pasien 2) Kesehatan pribadi perlu diperhatikan terutama kuku, jari-jari dan pakaiain tidur 3) Toilet sebaiknya dibersihkan dan disiram dengan desinfektan, bila mungkin setiap hari b. Pengobatan spesifik 1) Mebendazole Pemberian mebendazole dengan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu. Kerjanya merusak subseluler dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing, menghambat ambilan glukosa. Absorpsi oral buruk, ekskresi terutama lewat urin dalam dalam bentuk utuh. 2) Albendazole Albendazole diberikan dosis tunggal 400 mg diulang setelah 2 minggu. 3) Piperazin sitrat Piperazin sitrat diberikan dengan dosis 2 x 1 g/hari selama 7 hari berturut-turut dapat diulang dengan interval 7 hari. Kerjanya menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin sehingga terjadi paralisis dan cacing mudah

dikeluarkan oleh peristaltik usus. Absorpsi melalui saluran cerna, ekskresi melalui urine. 4) Pirvium pamoat Obat ini diberikan dengan dosis 5 mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan diulangi 2 minggu kemudian. Obat ini dapat menyebabkan rasa mual, muntah dan warna tinja menjadi merah. Bersama mebendazole efektif terhadap semua stadium cacing Enterobius vermicularis. 5) Pirantel pamoat Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram. Kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine. 9. Prognosis Infeksi cacing ini biasanya tidak begitu berat, dan dengan pemberian obat-obat yang efektif maka komplikasi dapat dihindari. Pengobatan yang secara periodik akan memberikan prognosis yang baik. Yang sering menimbulkan masalah adalah infeksi intra familiar, apalagi dengan keadaan higienik yang buruk. Baik dan biasanya tidak menimbulkan bahaya, terutama dengan pengobatan yang baik. Yang perlu diperhatikan adalah kebersihan dan pencegahan auto atau hetero-infection kembali. (Markum, A.H. dkk. 2007) 10. Epidemiologi Penyebaran dan penularan penyakit cacing kremi (enterobiasis) terutama terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup di dalam suatu lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu). Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di lantai,

meja, kursi, buffet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi, alas kasur dan pakaian. Kelompok usia yang rentan terinfeksi Enteobius vermicularis adalah kelompok usia 5-9 tahun (anak-anak). 11. Kompilkasi Bila jumlah cacing dewasa cukup banyak akan dapat

menyebabkan apendisitis. Cacing dewasa pada wanita dapat bermigrasi ke dalam vagina, uterus dan tuba falopi, dan dapat menyebabkan peradangan di daerah tersebut. (Corwin, 2001) Salpingitis (peradangan saluran indung telur). Vaginitis (peradangan vagina). Infeksi ulang. (Sudarmo, S.S, dkk, 2009)

B. Cara infeksi dan penularan Penularan dapat dipengaruhi oleh: a. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (auto infeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-benda yang terkontaminasi. b. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan. c. Retrofeksi melalui anus, larva dari telur menetas di sekitar anus kembali masuk melalui anus terus naik sampai sekum dan tumbuh menjadi

dewasa ke usus. d. Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.

BAB III

PEMBAHASAN
Dalam skenario empat ini membahas infeksi parasit yang berwujud cacing Enterobius vermicularis awal pembahasan diperlukan pengetahuan tentang hidup dari cacing Enterobius vermicularis. Cacing Enterobius vermicularis adalah cacing yang temasuk golongan spesies nematoda usus. Dalam penyebaran penyakit, cacing Enterobius vermicularis hanya menginfeksi manusia dan disebut penyakit enterobiasis atau oxyuriasis. Enterobius vermicularis mempunyai daur hidup dapat berkembang biak di tubuh manusia langsung jadi tidak melewati tanah sebagai media transmisinya (STH). Enterobius vermicularis berkembang biak dan tumbuh di tubuh manusia, selain manusia sebagai inanganya belum diketahui apakah ada hewan atau makhluk lain yang dapat sebagai inang. Dalam skenario Satrio terinfeksi Enterobius vermiculari. Cacing ini merupakan salah satu Nematoda usus, dan merupakan parasit umum bagi manusia (manusia adalah satu-satunya hospes bagi cacing ini) terutama anak-anak. Infeksi ini lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, terutama pada usia sekolah. Infeksi dapat terjadi pada suatu kelompok-kelompok yang hidup pada suatu lingkungan yang sama (keluarga, asrama, sekolah, dll. Bila tidak dilakukan kontrol dan pemeliharaan, infeksi bertendensi penularan dari satu orang ke orang lain sehingga infeksi dapat mengenai seluruh keluarga, asrama atau sekolah. Seperti pada Satrio yang kesehariannya bermain dikebun dan sungai serta jarang mencuci tangan dan memotong kuku menyebabkan Satrio mudah terinfeksi Enterobius vermiculari, karena penularannya dapat secara autoinfeksi (penularan dari tangan ke mulut, sesudah menggaruk daerah perianal baik ke diri sendiri maupun ke orang lain), retrofeksi (larva migrasi kembali ke usus besar), inhalasi debu dan makanan/minuman/tanah yang terkontaminasi. Enterobiasis ini relatif tidak berbahaya, karena jarang menimbulkan lesi yang berarti dan pada infeksi ini dapat sembuh sendiri (limited disease). Tapi gejala klinis yang sangat mengganggu adalah adanya pruritus lokal (gatal) yang disebabkan adanya iritasi sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina

gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina. Cacing betina sendiri dapat menginfeksi saluran genital hospes wanita. Sehingga pada anak perempuan, dapat terjadi adanya vulvovaginitis (radang pada vulva dan vagina), infeksi sekunder saluran urin dan eneuresis sekunder serta dalam penelitian lebih lanjut adanya cacing Enterobius vermicularis di rongga peritonium tanpa menembus usus, yaitu dengan jalan bermigrasi lewat vagina masuk ke uteru lalu ke tubafalopi dan akhirnya sampai ke rongga peritonium, di peritonium ada juga yang bertelur. Pruritus ani yang terjadi menyebabkan Satrio sering menggaruk daerah sekitar anus, sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini membuat Satrio atau penderita lain menjadi terganggu, karena gejala ini sering timbul di malam hari. Satrio menjadi kurang tidur, dan karena kualitas kuantitas tidur terganggu, maka Satrio tidak dapat berisitirahat dengan semestinya dan mempengaruhi aktivitas harian. Kondisi yang tidak mengenakkan ini membuat nafsu makan Satrio berkurang sehingga berat badannya berkurang. Sedangkan diare Satrio karena adanya cacing dewasa pada usus halus Satrio sehingga mengiritasi mukosa, mengakibatkan sensifitasi terhadap pleksus sub mukosa/meisner menyebabkan peningkatan sekresi H2O dan HCO3- yang merupakan adaptasi reflek homeostasis berupa peningkatan H2O dalam feces sehingga terjadi peningkatan frekwensi buang air besar, terjadilah diare. Gangguan lain pada anak usia sekolah, dapat terjadi penurunan kemampuan menerima pelajaran karena kondisi tubuh yang lemah dan kurang energic. Saat satrio dibawa ke puskesmas didapatkan pemeriksaan bahwa kuku jari tangan satrio panjang dan kotor dan kebiasaan bermain dikebun dan disungai, dapat diperjelas Enterobius vermicularis menular lewat berbagai cara yaitu : 1. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (auto infeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-benda yang terkontaminasi. 2. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.

3. Retrofeksi melalui anus, larva dari telur menetas di sekitar anus kembali masuk melalui anus terus naik sampai sekum dan tumbuh menjadi dewasa ke usus. 4. Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya.

Untuk pemeriksaan cacing, telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat. Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluen untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut. Infeksi cacing ini dapat sembuh sendiri, bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatan pun infeksi akan berakhir. Obat pilihan untuk infeksi ini adalah pemberian Pyrantel Pamoat dengan dosis 10mg/kgbb, dosis tunggal, serta Mebendazol, pengobatan harus diulang setelah 10 hari untuk membunuh cacing yang masih hidup pada pengobatan pertama. Pengobatan sebaiknya dilakukan secara menyeluruh pada kelompok tempat tinggal dan dilakukan secara periodic. Perincian obat antara lain : 1. Mebendazole Pemberian mebendazole dengan dosis tunggal 500 mg, diulang setelah 2 minggu. Kerjanya merusak subseluler dan menghambat sekresi

asetilkolinesterase cacing, menghambat ambilan glukosa. Absorpsi oral buruk, ekskresi terutama lewat urin dalam dalam bentuk utuh. 2. Albendazole Albendazole diberikan dosis tunggal 400 mg diulang setelah 2 minggu. 3. Pirantel pamoat Pirantel pamoat diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan sebagai dosis tunggal dan maksimum 1 gram. Kerjanya menimbulkan depolarisasi pada

otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine. Pencegahan penularan infeksi Enterobius vermicularis dapat dilakukan sebagai berikut yaitu : 1. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar 2. Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku 3. Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu 4. Mencuci jamban setiap hari 5. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari tangan dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya 6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut

Hal terpenting adalah menjaga kebersihan pribadi. Sebagai contoh, biasakan anak untuk menjaga kebersihan tangan dan kaki, memotong kuku pendek, mencuci tangan dan kaki sebelum makan dan tidur, sering membersihkan daerah perianal, dan bagi penderita,disarankan untuk memakai celana panjang sewaktu tidur, supaya kasur tidak terkontaminasi.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN 1. Infeksi Enterobius vermicularis ( enterobiasis, oxyuriasis) adalah suatu infeksi parasit yang terutama menyerang anak-anak, dimana cacing Enterobius vermicularis tumbuh dan berkembangbiak di dalam usus. 2. Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah cacing kecil (1cm) berwarna putih. Dalam sekali bereproduksi cacing dapat menghasilkan 11.000 butir telur. Setelah mengalami proses pematangan, larva dapat bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari. 3. Morfologi telur berbentuk elipsoid atau lonjong dan mempunyai dua sisi yaitu sisi lengkung dan sisi mendatar atau lebih datar pada satu sisi (asimetrik), cacing Enterobius vermicularis berukuran 8-13 mm x 0,4 mm dan berbentuk silindris sedang yang jantan juga sama berbentuk silindris walaupun lebih kecil dengan berukuran 2-5 mm. Kopulasi cacing jantan dan betina kemungkinan terjadi di sekum, Migrasi ini berlangsung 15 40 hari setelah infeksi. Telur akan matang dalam waktu sekitar 6 jam setelah dikeluarkan, pada suhu tubuh. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. 4. Epidemiologi penularan penyakit Enterobius vermicularis (enterobiasis) terutama terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup di dalam suatu lingkungan yang sama 5. Penularan dapat dipengaruhi oleh : a. Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal. b. Debu merupakan sumber infeksi oleh karena mudah diterbangkan oleh angin c. Retrofeksi melalui anus.

d. Anjing dan kucing bukan mengandung cacing kremi tetapi dapat menjadi sumber infeksi oleh karena telur dapat menempel pada bulunya 6. Manifestasi klinis berupa rasa gatal pada daerah perianal terjadi pada malam hari sehingga si anak tidak dapat tidur atau gelisah terus menerus mengakibatkan napsu makan kurang dan badan kurus, dapat juga terjadi pruritus ani. 7. Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan Scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ini ditempelkan di daerah sekitar anus, telur cacing akan menempel pada perekatnya. Kemudian adhesive tape diratakan pada kaca benda dan dibubuhi sedikit toluen untuk pemeriksaan mikroskopik. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut.

B. SARAN 1. 2. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku, mencuci jamban setiap hari, mencuci seprei minimal 2 kali/minggu 3. Menghindari penggarukan daerah anus karena bisa mencemari jari-jari tangan dan setiap benda yang dipegang/disentuhnya 4. 5. 6. Menjauhkan tangan dan jari tangan dari hidung dan mulut Pelihara kebersihan lingkungan, baik di dalam maupun halaman rumah Lakukan toilet training pada waktunya dan ajarkan cara menjaga kebersihan saat BAB dan BAK. 7. Bila ingin makan sayuran mentah (lalapan) atau buah-buahan, cucilah dengan air bersih yang mengalir. Bila perlu gunakan sabun yang bisa digunakan untuk mencuci sayuran dan buah-buahan agar bersih dari hama. 8. Biasakan anak untuk selalu menggunakan sandal atau sepatu bila keluar rumah, terutama bila berjalan di tanah. Tanah, terutama yang lembab, merupakan tempat cacing untuk berkembang.

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman and Nelson Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.1 Edisi 15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Corwin, Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Dorland, W.A,dkk. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Ed 25. Jakarta : EGC Hassan, Rusepno. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Latief, dkk., 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Markum, A.H. dkk. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Media Aesculaplus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Prasetyo, Heru. 2003. Atlas Berwarna Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga University Press. Soedarno, S P, dkk. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatric Tropis edisi kedua. Jakarta : FKUI Soeparman. 1993. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sudarto. 2009. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta : Sagung Seto. Sudoyo, A,W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ke-3. Jakarta : EGC Sutanto, I,dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Ed.4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Tjokroprawiro, A, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :

Airlangga University Press. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan. Jakarta : Erlangga Yamaguchi, Tomio. 1992. Atlas Berwarna Parasitologi Klinik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Oleh :

PRIAMBODO ILHAM A J 5000 800 88

Tutor :

dr Ellya latifah

Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Surakarta

You might also like