You are on page 1of 48

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, Karena atas rahmat dan ridhonyalah, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini dengan baik dan sesuai dengan waktunya. Presentasi kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu penyakit dalam di RSUD Arjawinangun. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Hami Zulkifli Abbas Sp.PD. MH.Kes, Dr. Sianne A. Wahyudi Sp.PD dan dr. Sunhadi selaku pembimbing dalam penyusunan presentasi kasus ini, serta berbagai pihak yang telah membantu penulis sehingga tugas presentasi kasus ini dapat diselesaikan dengan baik Semoga presentasi kasus ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia kesehatan, khususnya pada topik Penyakit Ginjal Kronik. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun.

Arjawinangun, 22 agustus 2010

Penulis

IHSAN PANJI SANTIKO

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI.. BAB I . Identifikasi Kasus BAB II Pembahasan DAFTAR PUSTAKA

1 2 3

18

48

BAB I IDENTIFIKASI KASUS

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Pendidikan Pekerjaan Agama : Tuan S : Laki-laki : 17 tahun : Ds. Panguragan : SMP : Pelajar : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah Tgl. Masuk RS Tgl. Keluar RS : 25 agustus 2010 : 30 agustus 2010

II. Anamnesis Keluhan Utama: Kejang-kejang Keluhan Tambahan: Demam, Sesak napas, Mual, muntah, sakit perut, kepala pusing, susah tidur, lemas

Riwayat Penyakit Sekarang: Os datang dari UGD BRSUD Arjawinangun untuk dirawat di bangsal penyakit dalam dengan keluhan demam sejak tiga hari yang lalu. Demam menggigil dengan suhu naik turun. Dibangsal penyakit dalam os kejang-kejang sampai 3x. Ketika kejang os keluar air liur dari mulutnya dan lidahnya tergigit, Tangan dan kaki os gemetaran dan kejang. Os kemudian diberi antikejang dan kejang menghilang. Setelah keadaan membaik, os dianamnesis dan os mengeluh sesak napas sejak satu bulan yang lalu. Sesak napas bertambah berat jika melakukan aktivitas dan menjadi ringan jika beristirahat. Sebelum demam os beraktivitas sekolah seperti biasa. Os merasa perutnya mual dan os muntah-muntah sejak satu hari yang lalu, muntah-muntah terutama timbul setelah makan. Keosluhan ini disertai sakit perut yang hilang timbul. Os juga mengeluhkan badannya terasa lemas dan kepalanya terasa sangat pusing seakan-akan sekelilingnya berputar. Os mengeluh susah tidur semenjak sakit. Os bisa buang air kecil tapi mengaku BAK jarang, dalam sehari hanya 2-3 kali dan BAK-nya sedikit, kurang dari setengah gelas aqua setiap kali BAK. Keluhan ini dirasakan selama 3 bulan. BAB lancar. Os belum pernah memiliki riwayat cuci darah sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat penyakit jantung tidak diketahui penyakit paru tidak diketahui penyakit ginjal tidak diketahui penyakit liver tidak diketahui penyakit DM tidak diketahui penyakit alergi tidak diketahui 4

penyakit hipertensi tidak diketahui

Riwayat Penyakit Keluarga: Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui

III. Status Praesen Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran Tensi Nadi Suhu Pernafasan Tinggi Badan Berat Badan Status gizi: BMI = = = 21,3 = gizi cukup : Composmentis : 220/120 mmHg : 120 x/menit : 39,80C : 24 x/menit : 165 cm : 58 kg

IV. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Kulit: pucat, petekia (--), bruise (--), Kepala : Rambut tidak mudah tercabut Mata: Palpebra edema -/-; Konjungtiva anemis +/+; Sklera ikterik -/-; Refleks pupil +/+, isokor Telinga: tidak tampak kelainan 5

Hidung: tidak tampak kelainan Mulut: tidak tampak kelainan Leher : Trakea berada di tengah Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening (KGB) Toraks : I : Bentuk dada normal dan simetris, tidak terlihat massa dan benjolan

P : Kedua hemitoraks teraba simetris, tidak teraba massa atau benjolan, tidak teraba krepitasi Paru-Paru: I : Dinding dada datar, dalam keadaan statis kedua hemitoraks terlihat simetris, dalam

keadaan dinamis gerakan pernapasan kedua hemitoraks terlihat simetris P : Fremitus taktil dan vokal simetris P : Sonor seluruh lapang paru A : VBS menurun, Ronkhi +/+, wheezing --/-Jantung: I : Iktus kordis tidak terlihat P : Iktus kordis tidak teraba P : Batas paru kanan-hati pada SIC 6 linea midclavicula dextra Batas paru kanan-jantung pada SIC 5 linea parasternalis dextra Batas paru kiri-jantung dua jari kearah lateral dari SIC 5 linea midclavicula sinistra Batas atas jantung pada SIC 3 linea parasternalis sinistra A : BJ 1 dan 2 takikardi, murmur (), gallop () Abdomen: I : Permukaan sedikit cembung, simetris. tidak terlihat kelainan kulit, massa atau benjolan, venektasi, dan caput medusae P : dinding abdomen teraba lunak, tidak ada nyeri tekan, tidak ada distensi abdomen, Hepar dan lien tidak teraba, ballotement (), Vesika Urinaria tidak teraba, Undulasi () P : perkusi timpani diempat regio abdomen, tidak ada nyeri ketuk, daerah redup hepar dalam batas normal, pekak limpa (-), shifting dullness (+) A : Bising usus (+) normal reguler 6

Genitalia Ekstremitas

: Tidak ada kelainan : Akral pucat, edema (-/-)

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. LABORATORIUM PEMERIKSAAN DARAH RUTIN (25-08-2010 16:54 WIB ) JENIS Sel darah putih Limfosit Monosit Granulosit Limfosit % Monosit % Granulosit % Sel darah merah Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW Trombosit MPV PCT PDW NILAI 12,3 2,8 3,9 5,6 23,1 31,4 45,5 1,89 5,5 17,5 92,6 29,1 31,4 12,9 334 6,4 0,214 13 SATUAN 103/l 103/l 103/l 10 /l % % % 106/l g/dl % m3 Pg g/dl % 10 /l m3 % %
3 3

KISARAN NORMAL 4.0 10.0 1- 5 0,1 10 28 25 50 2 10 50 80 4 6,2 11 17 33 55 80 100 26 34 31.0 35.5 10 16 150 400 7.0 11.0 0.200 0.500 10 18.0

PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU (25-08-2010 16:54 WIB)

Pemeriksaan Klinik Glukosa Sewaktu

Hasil

Nilai normal

Satuan

229

70-150

mg/dl

PEMERIKSAAN DARAH RUTIN (26-08-2010 00:34 WIB ) JENIS Sel darah putih Limfosit Monosit Granulosit Limfosit % Monosit % Granulosit % Sel darah merah Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW Trombosit MPV PCT PDW NILAI 14,3 0,9 0,7 12,6 6,4 5,2 88,4 1,69 4,4 15,7 92,9 29,1 31,4 12,9 334 6,4 0,214 13 SATUAN 103/l 103/l 103/l 103/l % % % 106/l g/dl % m
3

KISARAN NORMAL 4.0 10.0 1- 5 0,1 10 28 25 50 2 10 50 80 4 6,2 11 17 33 55 80 100 26 34 31.0 35.5 10 16 150 400 7.0 11.0 0.200 0.500 10 18.0

Pg g/dl % 103/l m3 % %

PEMERIKSAAN HEMATOLOGI (26-08-2010 12:32 WIB) Pemeriksaan Hematologi Hasil Nilai Normal Satuan

Darah Rutin LED Golongan darah Golongan darah O 140 -15/-10 mm/jam

PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK (26-08-2010 10:33 WIB) NO 1. Pemeriksaan Glukosa Glukosa sewaktu 2. Fungsi Ginjal ureum Kreatinin Uric acid 3. Fungsi Hati Protein total Albumin Globulin SGOT SGPT Alkali Fosfatase 4. Lipid Kolesterol Total 142 mg/dl (-220/resiko tinggi) 6,41 3,76 2,7 9 10 79 gr/dl gr/dl gr/dl U/I U/I U/I 7,09,0 3,55,0 1,53,0 038 041 0258 251,7 24,8 19,12 mg/dl mg/dl mg/dl 10 50 0,61,38 3,347,0 60 mg/dl 7050 Hasil Satuan Nilai Normal

PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU (26-08-2010 17:16 WIB) Pemeriksaan Klinik Glukosa Sewaktu 148 70-150 mg/dl Hasil Nilai normal Satuan

PEMERIKSAAN DARAH TEPI (27-08-2010 13:33 WIB) Eritrosit : Hipokrom Mikrositer Target cell Burr cell Anulosit

Leukosit : Jumlah Meningkat Stab

Trombosit : Giant Trombosit Retikulosit : 1,0%

PEMERIKSAAN URINE NO 1

(27-08-2010 10:06 WIB) HASIL Kuning Muda 6,0 1.025 Negative (+) 3 Negative Negative Negative Negative +1-2 +2-3 Negative Negative Negative NILAI NORMAL Kuning jernih 5,0 8,0 1.005 1.030 Negatif Negatif

PEMERIKSAAN Urine Rutin Warna Ph Berat jenis Nitrit Protein Glukosa Keton Bilirubin Urobilinogen Sedimen Leukosit Eritrosit Epitel Kristal Silinder

10

PEMERIKSAAN KIMIA KLINIK (28-08-2010 11:24 WIB) Pemeriksaan Kimia Klinik Fungsi Ginjal Ureum Kreatinin 245,5 27,53 10-50 0,6-1,38 mg/dl mg/dl Hasil Nilai Normal Satuan

PEMERIKSAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEWAKTU (29-08-2010 17:16 WIB) Pemeriksaan Klinik Glukosa Sewaktu 148 70-150 mg/dl Hasil Nilai normal Satuan

B. EKG
1. 2. 3. 4. Sinus Takikardi = 135 kali/menit First degree AV block Possible Inferior Miocard Infark Abnormal Right Axis Deviation

C. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

ROENTGEN THORAK

(28-08-2010)

11

Cor membesar ke lateral kanan dan kiri dengan apek tertanam dibawah diafragma, sinuses dan diafragma normal. Pulmo: Kesan: Pembesaran jantung dengan susp. Edema paru interstitialis Hili normal Corakan paru bertambah Kranialisasi (-) Tampak ground glass appearance pada kedua lapangan paru

USG ABDOMEN (28-08-2010) Ginjal: ukuran mengecil, kontur kabur, parenkim kabur, intensitas gema relatif meningkat. Batas tekstur parenkim dengan central echocompleks kabur, tidak tampak bayangan hiperechoic dengan acuatic shadow. Sistem pelvokalises tidak melebar. Vesika Urinaria:

12

Tidak terisi penuh, dinding tidak menebal, reguler, tidak tampak bayangan hiperechoic dengan acuatic shadow/massa. Tampak bayangan bebas gema sekitar kandung kemih, sekitar hepar dan limpa Kesan : Proses kronis pada kedua parenkim ginjal Ascites Poliposis vesica velea

VI. RESUME: Os, laki-laki berusia 17 tahun datang dengan keluhan demam(+) sejak tiga hari SMRS, kejangkejang (+), nausea(+), vomitus(+), abdominal pain (+), confusion (+), insomnia(+), fatique (+), oliguria (+). Hasil pemeriksaan fisik: Kulit pucat(+), C.A(+/+), VBS menurun, ronki basah kasar (+), BJ I II normal reguler, shifting dulness (+), BU (+), akral pucat(+). Hasil pemeriksaan penunjang: darah rutin(Leukositosis(+), Eritropenia(+), Anemia(+), Trombosit normal); analisa darah tepi(eritrosit hipokrom mikrositer, leukositosis , giant trombosit, jumlah retikulosit 1%); urine rutin(protein (+)3); kimia klinik(ureum 251,7; kreatinin 24,8; uric acid 19,12; albumin 3,76; globulin 2,7; SGOT 9; SGPT 10; ALP 79; GDS 229 mg/dl); EKG (Sinus Takikardi = 135 kali/menit, First degree AV block, Possible Inferior Miocard Infark, Abnormal Right Axis Deviation); roentgen thorax pa (Pembesaran jantung dengan susp. Edema paru interstitialis), USG abdomen(Proses kronis pada kedua parenkim ginjal, Ascites Poliposis, vesica velea)

VII. DIAGNOSIS KERJA Penyakit Ginjal Kronik grade V et causa Hipertensi Kronik

VIII. DIAGNOSIS BANDING Gagal ginjal akut

IX. Penatalaksanaan 13

I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. XII. XIII. XIV. XV. XVI. XVII.

Oksigen 2-4 liter Pasang IV line Diazepam 3 x 2 mg im Allopurinol 1 x 300 mg ISDN 1 x 5 mg Antrain 3 x 1amp iv Amlodipin 1 x 10 mg Kaptopril 2 x 25 mg Cefadroxil 2 x 500 gr Diet protein 40/hari Transfusi PRC 7 labu Furosemide 2 x 40 mg Spironolakton 1 x 100 mg Ksr 2 x 1 tab Tonar 3 x 2 kaplet Asam folat 3 x 1 tab Metoclopramid 3 x 1 gr iv

X. FOLLOW UP

Tgl

S Lemas, kepala pusing, mual, demam

A CKD grade V + hipertensi grade II

26-082010

T: 170/110 mmHg; P:108 x/menit; R: 28 x/menit; S: 37,5C

I. II. III.

Oksigen 2-4 liter Pasang IV line Diazepam 3 x 2 mg im

IV.

Allopurinol 1 x 300 mg

V. VI.

ISDN 1 x 5 mg Antrain 3 x 1amp

14

iv VII. Amlodipin 1 x 10 mg VIII. Kaptopril 2 x 25 mg IX. Cefadroxil 2 x 500 gr X. Diet protein 40/hari XI. Transfusi PRC 7 labu XII. Furosemide 2 x 40 mg XIII. XIV. Tonar 3 x 2 kaplet Asam folat 3 x 1 tab XV. Metoclopramid 3 x 1 gr iv

cek KGD 2 jam pp periksa fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asam urat) USG renal Pemeriksaan Urine rutin Anemia profile (ADT)

27-082010

Lemas, kepala pusing, demam

T: 170/100 mmHg; P:88 x/menit; R: 22

CKD grade V + hipertensi grade II

Terapi lama dilanjutkan

15

x/menit; S: 37C
Lemas, kepala pusing, demam CKD grade V + hipertensi grade II Terapi lama dilanjutkan

28-082010

T: 170/90 mmHg; P:120 x/menit; R: 28 x/menit; S: 37,3C

29-082010

Lemas, kepala pusing

T: 150/90 mmHg; P:96 x/menit; R: 20 x/menit; S: 36,8C

CKD grade V + hipertensi grade II

Terapi lama lanjutkan

30-082010

Lemas, kepala pusing

T: 150/80 mmHg; P:96 x/menit; R: 22 x/menit; S: 36,8C

CKD grade V + hipertensi grade II

I. II. III.

Oksigen 2-4 liter Pasang IV line Allopurinol 1 x 300 mg

IV.

Kaptopril 2 x 25 mg

V.

Cefadroxil 2 x 500 gr

VI.

Diet protein 40/hari

VII.

Furosemide 2 x 40 mg

VIII.

Spironolakton 1 x 100 mg

IX. X.

Ksr 2 x 1 tab Tonar 3 x 2 kaplet 16

I.

PROGNOSIS

Dubia ad malam

17

BAB II PEMBAHASAN
Analisis Kasus Saya mendiagnosis pasien tersebut dengan gagal ginjal terminal karena ditemukan kelainan seperti: 1. Laju filtrasi ginjal menurun <5% 2. Hipertensi 220 /120 mmHg 3. Uremia 251,7 mg/dl 4. Peningkatan kreatinin 24,8 mg/dl 5. Hiperurisemia 19,12 mmol/L 6. Anemia 5,5 g/dl 7. Terdapat nausea vomitus 8. Edema anasarka 9. Sesak napas
LFG

140 17 58,5
72 24,8

LFG 4,02l / menit / 1,73m 2

Ginjal pada pasien ini memiliki Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) 4,02% yang dapat berarti kerusakan ginjal derajat V yaitu gagal ginjal terminal. Laju filtrasi yang berkurang menyebabkan semua zat sisa yang tidak dibutuhkan tubuh dapat menumpuk di dalam tubuh seperti ureum dan dapat menganggu keseimbangan elektrolit seperti adanya filtrasi dan

reabsorbsi ion-ion seperti natrium dan kalium. Karena adanya gangguan-gangguan tersebut maka dapat menjelaskan adanya kelainan-kelainan yang terdapat pada pasien tersebut. Hipertensi dalam kasus ini dapat disebabkan karena adanya gangguan dari keseimbangan natrium yaitu resistensi natrium yang menyebabkan adanya pengikatan H2O di dalam vaskular. Retensi natrium dan air dapat mengakibatkan beban sirkulasi berlebihan sehingga dapat menyebabkan edema anasarka.

Pasien ini terdapat azotemia yaitu peningkatan ureum hingga 251,7 mg/dl dan kreatinin 24, 8 mg/dl. Azotemia ini dapat terjadi karena dengan adanya gangguan ginjal dapat 18

menyebabkan gangguan ekskresi NH4+. Ureum dalam darah dapat bertindak sebagai racun jika tidak dibuang. Ureum yang bertindak sebagai racun antara lain guanidin, fenol, amin, urat, kreatinin dan asam hidroksi aromatik, beberapa senyawa ini dapat bertindak sebagai penghambat enzim dan dapat menyebabkan asidosis metabolik karena NH4+ pada saat diekskresikan membawa ion H+ tapi karena tertahan di dalam tubuh sehingga pH di dalam tubuh menjadi turun. Asidosis metabolik ini dapat menyebabkan gejala-gejala seperti yang dialami pasien ini yaitu mual muntah rasa sesak napas pada pasien. Karena dasarnya adalah adanya gangguan perfusi ginjal hal ini dapat menyebabkan juga hiperurisemia seperti yang terjadi pada pasien ini, hiperurisemia terjadi karena adanya gangguan ekskresi dari asam urat, biasanya 75% dari total asam urat diekskresi oleh ginjal. Os mengalami anemia, penyebab utama anemia adalah berkurangnya pembentukan sel-sel darah merah disebabkan defisiensi eritropoietin dari ginjal, dan uremik toksik dapat menginaktifkan eritropoietin atau menekan respons sumsum tulang terhadap eritropoietin. Pada gagal ginjal umur hidup eritrosit berkurang menjadi setengahnya disebabkan karena lingkungan kimia plasma. Pada hitung jenis ditemukan burr cell yaitu eritrosit yang menciut hal ini dapat mengindikasikan dehidrasi berat sehingga timbul mekanisme perpindahan cairan intrasel ke ekstrasel untuk mngkompensasi dehidrasi tersebut. Penanganan gagal ginjal terminal, apapun etiologi penyakitnya, memerlukan pengobatan atau terapi pengganti (TP), seperti dialysis ataupun transplantasi ginjal. Pada umumnya indikasi dialysis pada GGK adalah bila LFG <5 ml/menit, keadaan pasien yang hanya mempunyai ciri ini tidak selalu sama, sehingga dialysis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu tanda, yaitu keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, K serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dl, pH darah < 7,1, anuria berkepanjangan (> 5 hari) dan fluid overloaded. Pasien ini memiliki indikasi hemodialisa karena laju filtrasi ginjalnya adalah 4,02% dan ureum darah 283,2 mg/dl.

19

1. PENYAKIT GINJAL KRONIK

Epidemiologi Angka prevalensi dari CKD -secara umum didefinisi sebagai kerusakan dari fungsi ginjal yang ireversibel- pada pokoknya lebih besar dari jumlah pasien dengan pasien gagal ginjal terminal, saat ini lebih dari 300.000 di amerika. Terdapat spektrum penyakit berkaitan dengan penurunan fungsi ginjal: gambaran klinik dan pilihan terapi sangat berbeda tergantung apakah penurunan LFG berderajat sedang(30-59 mL/min/1,73 m2), berat (15-29 mL/min/1,73 m2) atau mendekati ginjal terminal (<15 mL/min/1,73 m2). Dialisis biasanya dibutuhkan untuk mengendalikan gejala uremia dengan LFG <10 mL/min/1,73 m2.

Batasan Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada tabel 1.
Tabel 1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

20

Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: LFG (ml/mnt/1,73 m2)
( ) ( )

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit Derajat 1 2 3 4 5 Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau Kerusakan ginjal dengan LFG ringan Kerusakan ginjal dengan LFG sedang Kerusakan ginjal dengan LFG berat Gagal ginjal terminal LFG (ml/menit/1,73m) 90 60-89 30-59 15-29 < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi Penyakit Tipe Mayor (contoh)

Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2 diabetes Penyakit ginjal Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat, non diabetes neoplasia) Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointestinal (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikistik) Penyakit trasplantasi pada Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin/takrolimus) Penyakit rekuren (glomerular) Transplant glomerrulopathy 21

Table 226. Major causes of chronic kidney disease.

Glomerulopathies Primary glomerular diseases: Focal and segmental glomerulosclerosis Membranoproliferative glomerulonephritis IgA nephropathy Membranous nephropathy Secondary glomerular diseases: Diabetic nephropathy Amyloidosis Postinfectious glomerulonephritis HIV-associated nephropathy Collagen-vascular diseases Sickle cell nephropathy HIV-associated membranoproliferative glomerulonephritis Tubulointerstitial nephritis Drug hypersensitivity Heavy metals Analgesic nephropathy Reflux/chronic pyelonephritis Idiopathic Hereditary diseases Polycystic kidney disease Medullary cystic disease Alport syndrome Obstructive nephropathies Prostatic disease Nephrolithiasis Retroperitoneal fibrosis/tumor Congenital Vascular diseases 22

Hypertensive nephrosclerosis Renal artery stenosis

Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron , sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tetapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air 23

seperti hipovolemia atau hipervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara

Gambaran klinis Gambaran klinis pasien penyakit gagal ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, lupus eritematous sistemik (LES) dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

24

Table 227. Symptoms and signs of uremia.

Organ System Symptoms General Skin ENT Eye Pulmonary Shortness of breath Cardiovascular Dyspnea on exertion, retrosternal pain on inspiration (pericarditis) Gastrointestinal Anorexia, nausea, vomiting, hiccups Genitourinary Neurologic Nocturia, impotence Generalized irritability and inability to concentrate, decreased libido Fatigue, weakness Pruritus, easy bruisability Metallic taste in mouth, epistaxis

Signs Sallow-appearing, chronically ill Pallor, ecchymoses, excoriations, edema, xerosis Urinous breath Pale conjunctiva Rales, pleural effusion Hypertension, cardiomegaly, friction rub Isosthenuria Stupor, asterixis, myoclonus, peripheral neuropathy

Neuromuscular Restless legs, numbness and cramps in legs

Table 1 Features suggestive of renal artery stenosis Onset of hypertension before the age of 30 years, especially without a family history (fibromuscular dysplasia) Sudden onset of significant hypertension after the age of 50 years (atheromatous RAS) Sudden worsening of previously stable hypertension Severe or resistant hypertension (uncontrolled despite three or more drugs) Abdominal bruit Evidence of other vascular disease, e.g. absent pulses, bruits Smoker Flash pulmonary oedema Acute deterioration in renal function with ACEI or ARB therapy Unexplained renal impairment, especially with normal urine dipstix Table 2 Clinical assessment in renal hypertension: features indicating the need for further investigation Past or family history of renal disease Symptoms of renal dysfunction, e.g. nocturia Proteinuria or haematuria Prospect of future pregnancies 25

Features suggestive of renal artery stenosis as listed inTable 1

Table 3 Features on clinical examination suggesting renal hypertension Bilateral palpable kidneys Polycystic kidney disease Tuberous sclerosis Von-HippelLindau (hydronephrotic kidneys often not palpable) Systemic lupus erythematosis Nerve deafnessAlport's syndrome Partial lipodystrophymesangiocapillary glomerulonephritis Adenoma sebaceumtuberous sclerosis Epigastric bruitrenal artery stenosis Neurofibromatosisrenal artery stenosis or phaeochromocytoma Note: Clinical clues are uncommon.

Gambaran Laboratoris Gambaran laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan berupa kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcrouft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast isostenuria.

Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : a). Foto polos abdomen, dapat tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping ke khawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal

26

yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindahan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan biopsi dan patologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal dikontraindikasikan pada keadan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefritik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.

Table 4 Laboratory and radiological investigation to detect renal disease in hypertensives Obligatory in all hypertensives Urinalysis Glomerulonephritisblood and/or protein in most cases. May be red cells or casts on microscopy Chronic pyelonephritis (reflux nephropathy)may be blood/protein, may be normal. May be white cells on microscopy Polycystic disease: may be haematuria, perhaps frank, may be normal Renovascular disease: normal to nephrotic range proteinuria Plasma creatininecrude test of renal function Plasma electrolyteshypokalaemia without hypernatraemia clue to renovascular hypertension Glucose, lipid levels to assess overall cardiovascular risk When indicated Renal ultrasonography Obstruction Polycystic kidneys Scarring in reflux nephropathy Small kidneys in chronic renal failure Asymmetry in renal artery stenosis Renal duplex Doppler sonography Blood flow characteristics in renal vessels may suggest renal artery stenosis Further imaging IVUobstruction, stones, frank haematuria DTPA renogram to further investigate renal artery stenosis DMSA scan to confirm renal scarring, especially in children MR angiogram/CT scan to confirm renal artery stenosis Renal angiography for definitive diagnosis of renal artery stenosis and 27

interventionangioplasty, stent

DIAGNOSIS BANDING Langkah pertama dalam mendiagnosis banding CKD adalah menetapkan kekronikan penyakit, dilakukan dengan menyingkirkan adanya komponen akut mayor. Dua cara yang paling sering digunakan dalam menentukan kekronisan penyakit adalah riwayat penyakit dan USG renal, yang digunakan untuk mengukur ukuran ginjal. Secara umum ginjal yang telah mengecil (<1011,5cm, tergantung pada ukuran tubuh) kemungkinan dipengaruhi oleh penyakit kronik. Walaupun kespesifikannya sangat beralasan, pengurangan massa/ukuran ginjal hanya dianggap sebagai marker yang sensitif untuk CKD. Terdapat beberapa kondisi umum yang relatif dimana penyakit ginjal mungkin menjadi kronik, tanpa pengurangan ukuran ginjal. Nefropati diabetik, nefropati terkait HIV, dan penyakit infiltratif seperti multipel mieloma dapat diasosiasikan dengan ginjal yang berukuran besar meskipun merupakan penyakit kronis. Biopsi renal merupakan pemeriksaan yang lebih diandalkan dalam membuktikan kekronisan penyakit.; predominan dari glomerulosclerosis atau fibrosis interstitial adalah bukti yang kuat dari penyakit kronik. Hiperfosfatemia dan kelainan elektrolit lainnya bukan merupakan indikator yang dapat diandalkan dalam membedakan penyakit akut dari penyakit kronik. Ketika kekronisan penyakit telah ditetapkan, hasil dari pemeriksaan fisik, laboraturium dan sedimen urin dapat digunakan untuk menentukan etiologi penyakit. Riwayat penyakit yang detail akan dapat mengidentifikasikan kondisi komorbid seperti diabetes, HIV seropositif, atau penyakit vaskular perifer. Riwayat penyakit keluarga sangat penting dalam pencarian adanya penyakit ginjal polikistik dominan atau nefritis herediter (sindrome alports). riwayat pekerjaan dapat mengungkap adanya paparan dengan toksin atau obat (termasuk analgetik atau obat traditional cina). Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan massa abdominal (contoh: ginjal polikistik), pulsus deficit (contoh: penyakit vaskular perifer atherosklerotik), atau memar abdomen (contoh: penyakit renovaskular). Riwayat pasien dan pemeriksaan dapat juga menghasilkan data yang penting mengenai keparahan penyakit. Adanya jari yang memendek, dan atau nodul subkutan dapat terlihat pada CKD lanjut dan hiperparatiroidism sekunder. Ekskoriasi (pruritus uremia), pucat (anemia), massa otot yang mengecil dan fetor nitrogen adalah tanda dari CKD yang lanjut,

28

sebagaimana pericarditis, pleuritis dan asteriksis, komplikasi yang biasanya menjadi tanda harus dimulainya dialisis.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:


Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel 6.

Table 5 Drug strategy in renal hypertension ACEIs: use whenever possible for cardiovascular protection and renoprotection Monitor renal function and potassium Use with care in significant renal artery stenosis; consider angioplasty/stent to allow ACEI use if renal function worsens Use with care in hypovolaemia, congestive cardiac failure ARBs: in those intolerant of ACEIs Monitor renal function and potassium Use with care in significant renal artery stenosis Thiazide diuretic: if plasma creatinine< 200 mol/l OR to amplify response to loop diuretics at higher serum creatinine concentrations Loop diuretic: if plasma creatinine> 200 mol/l OR resistant hypertension -Blockers: if coexisting angina, ischaemic heart disease, previous MI. Consider for cautious use in heart failure Calcium channel blocker: use long acting preparation -Blocker: useful for prostatism Methyldopa: still useful in resistant cases or pregnancy Minoxidil: if all else fails (Note: fluid retention and hirsutism) Aspirin, statins: to reduce cardiovascular risk, according to local guidelines

29

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. Menghambat perburukan fungsi ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada gambar 1. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah: Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 gr/KgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/KgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak dapat disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, pospat, sulfat dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein 30

berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karen asupan protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Terapi

farmakologis

untuk

mengurangi

hipertensi

intraglomerulus.

Pemakaian

obat

antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertenis terutama penghambat ensim konverting angiotensin (ACE inhibitors) melalui beberapa studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting karena 4045% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,

pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terlihat dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa diantara komplikasi tersebut akan dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain. 31

Anemia Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/TIBC, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia

32

dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

Osteodistrofi renal Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 2. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH2)D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi hiperfosfatemia
a. Pembatasana asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu: tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasai 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu keta tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi. b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate. Tabel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya. c. Pemberian bahan menyerupai kalsium. Akhir akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2)D3) Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di 33

jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.

Pembatasan cairan dan elektrolit Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit ynag harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/L. pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

2. HEMODIALISIS

34

Pada GGT, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi. 35

Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (gambar 2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen. Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selukosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa. Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2 sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi. Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi kedalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/ml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135/145 mEq/L. bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pasca dialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih

36

banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi. Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di amerika serikat dilakukan daur ulang sedangkan dieropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dilakukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80%. Setelah itu dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada pasien. Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam didalam darah yang akan bermaifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokontriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan gagal ginjal terminal dan juga tidak menimbulkan vasodilatasi. Pada proses dialisis terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan secara bolus diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan dimana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati dan pasca operasi dengan perdarahan. Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, harus memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula 37

dengan arteri radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahuntahun dan komplikasinya hampir tidak ada.

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemodialisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia. Di indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di sentra dialisis lain ada juga dialisis lain yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 g/KgBB/hari dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 mEq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan. Karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode diantara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar. Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisa. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan (KT/V). urea dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pasca dialisis dibagi kadar ureum pasca dialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu 38

dialisis dianggap cukup bila URR-nya lebih dari 80%. Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitung KT/N. terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pasca dialisis, berat badan pra dan pasca dialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8. Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/menit) yang didalam praktek dianggap demikian bila (TKK) <5 mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKII <5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah:
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata K serum >6 mEq/L Ureum darah >200 mg/dL pH darah < 7,1 anuria berkepanjangan (>5 hari) fluid overloaded

Hemodialisis di indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan dibanyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.

Peritoneal Dialisis (PD) Peritoneal Dialisis (beberapa orang menyebutnya sebagai 'cuci perut') merupakan proses dialisis yang berlangsung di dalam rongga perut memanfaatkan ruang peritoneum. Cairan dialisis/dialisat dimasukkan kedalam rongga perut melalui suatu kateter two way (disebut Tenckhoff catheter) yang lembut, untuk kemudian didiamkan beberapa waktu (disebut dwell time). Antara darah dengan cairan dialisis dibatasi oleh membran peritoneum yang berfungsi sebagai media pertukaran zat. Ketika cairan dialisat berada di dalam rongga peritoneum maka terjadi pertukaran zat-zat, yang berguna akan terserap kedalam darah dan yang tidak berguna (produk limbah dan racun) serta kelebihan air akan terserap kedalam cairan dialisat melalui 39

proses ultrafiltrasi. Ketika klep kateter pengeluaran dibuka, maka cairan dialisis meninggalkan tubuh dengan membawa serta limbah (racun) ditambah ekstra cairan yang tadi diserap dari dalam darah pasien. Membran Peritoneum adalah suatu membran (selaput) semi-permeabel tipis yang melapisi dinding perut bagian dalam serta melapisi juga organ-organ di dalam rongga perut. Selaput peritoneum banyak mengandung pembuluh darah yang berasal dan mengalir kedalam sistem sirkulasi sehingga difungsikan sebagai media ultrafiltrasi antara darah dan cairan dialisat. Cairan dialisat yang tersedia memiliki konsentrasi yang beragam yang dapat dipilih tergantung keperluan. Dokter akan memilihkan cairan dialisat dengan konsentrasi yang tepat bagi pasiennya. Bila pasien masih mengalami kelebihan volume cairan di dalam sirkulasi darahnya, maka digunakan cairan dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar kelebihan cairan berpindah kedalam cairan dialisat. Indikasi pemakaian dialisis peritoneal Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien: 1. gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut) 2. gangguan keseimbangan cairan. Elektrolit atau asam basa 3. intoksikasi obat atau bahan lain 4. gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik) 5. keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya Kontraindikasi dialisis peritoneal : 1. Kontraindikasi Absolut : tidak ada 2. Kontraindikasi Relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi, seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat. Salah satu cara yang sering

40

digunakan untuk menilai efisiensi DP adalah dengan menentukan peritoneal clearance dengan rumus:

Cp: peritoneal clearance U: konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar dari kavum peritoneal (mg%) P: konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%) V: volume cairan dialisat tiap menit Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, permeabilitas peritoneum dan aliran darah dalam kapiler peritoneum.

Ilustrasi ruang peritonium

41

Peritoneal Dialisis harus dilakukan setiap hari dan cairan dialisat harus senantiasa berada di rongga perut agar terjadi pembersihan darah secara adekuat. Ada 2 metode peritoneal dialisis yaitu: 1. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisis (CAPD): peritoneal dialisis yang dilakukan sementara pasien aktif melakukan aktifitas sehari-hari. CAPD dilakukan 3-6 kali perhari dengan jumlah cairan dialisat sebanyak 2 liter setiap satu putaran, lamanya cairan dialisat berada di dalam rongga peritonium 4-6 jam. 2. Continuous Cyclic Peritoneal Dialisis (CCPD) atau Peritoneal Dialisis otomatis. CCPD dilakukan dengan memakai bantuan mesin sewaktu pasien sedang tidur. Mesin secara otomatis akan melakukan penukaran cairan dialisat sebanyak 4-8 kali pada malam hari selama 8-12 jam ketika pasien sedang tidur. Keuntungan menggunakan Peritoneal Dialisis:

Pasien diajar mandiri dalam melakukan dialisis sehingga lebih percaya diri Waktu lebih bebas, dapat dilakukan di rumah/tempat kerja Proses dialisis lebih 'lembut', tidak terjadi lonjakan-lonjakan penurunan tekanan darah yang drastis seperti pada hemodialisis sehingga lebih cocok bagi pasien dengan gangguan fungsi jantung

Tahan lama asalkan dilakukan dengan benar sesuai petunjuk dan dilakukan dengan higienis Komplikasi PD dapat berupa komplikasi mekanis, komplikasi metabolik, dan komplikasi

radang : a. b. Komplikasi mekanis Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati) Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter Gangguan drainase aliran cairan dialisat Bocornya cairan dialisat Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut Komplikasi metabolik

42

Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia postdialisis

Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat Sindrom disekuilibrium. Terdiri dari kumpulan gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien dengan overhidrasi

c.

Komplikasi radang Infeksi pernapasan, biasanya berupa pneumonia, atau bronkitis purulenta Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis Peritonitis

Prognosis Angka kematian lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis dibandingkan pada pasien kontrol dengan umur yang sama. Angka kematian setiap tahun adalah 21,2 setiap seratus pasien per tahun. Angka kelangsungan hidup yang diharapkan pada pasien grup usia 55-64 tahun adalah 22 tahun sementara pada pasien dengan gagal ginjal terminal angka kelangsungan hidup adalah 5 tahun. Penyebab utama kematian adalah disfungsi jantung (45%). Penyebab lainnya termasuk infeksi (14%), penyakit cerebrovaskular (6%), dan keganasan (4%). Diabetes, umur, albumin serum rendah, status sosial ekonomik rendah dan dialisis inadekuat adalah prediktor signifikan dalam angka kematian. Bagi pasien yang membutuhkan dialisis untuk mempertahankan hidupnya namun memilih untuk tidak melakukan dialisis, kematian bisa terjadi dalam hitungan hari sampai minggu. Secara umum terjadi uremia dan pasien kehilangan kesadaran menjelang kematian.

43

Aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan elektrolit. Hipervolemia dan dispnea dapat ditatalaksana dengan restriksi cairan dan opioid. Sementara pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal, pasien bisa kembali hidup normal seperti biasa meskipun harus menjalani medikasi dengan regimen imunosupresif.

Transplantasi Ginjal Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya seorang perempuan muda yang menerima ginjal transplant bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Manfaat transplantasi ginjal paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pasien diabetes melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang berumur 20-39 tahun mempunyai harapan hidup 20 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 31 tahun lagi. Pasien dialisis yang diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan hidup 8 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi. Keuntungan transplantasi ginjal dibandingkan dengan hemodialisis kronik. Transplantasi Ginjal Prosedur Kualitas hidup (jika berhasil) Ketergantungan pada fasilitas medik Jika gagal Dapat HD kembali atau transplantasi lagi Angka kematian pertahun 4-8 % 20-25 % meninggal minimal besar Biasanya satu kali Baik sekali HD kronik Seumur hidup Cukup baik

44

Cangkok ginjal adalah mencangkokkan ginjal sehat yang berasal dari manusia lain (donor) ke tubuh pasien gagal ginjal terminal melalui suatu tindakan bedah (operasi). Biasanya ginjal cangkokan ditempelkan (dicangkokkan) di sebelah bawah pada pembuluh darah yang sama dari ginjal lama yang sudah 'tidak' berfungsi sedangkan ginjal lama dibiarkan ditempatnya.

Kenyataan bahwa manusia dapat hidup dengan satu ginjal membuat cangkok ginjal begitu populer sebagai upaya terakhir bagi penyembuhan gagal ginjal terminal, selain itu membuat para calon pendonor ginjal bersedia 'menyumbangkan' satu ginjalnya bagi orang lain yang memerlukan. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor jenazah, juga ginjal xenogenik. Sebagian besar negara di Asia sudah memanfaatkan donor jenazah, sedangkan Indonesia belum memanfaatkan donor jenazah. Proses evaluasi calon donor hidup : (1) Penjaringan Donor Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan jenazah Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringan calon donor Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO donor-resipien Pemeriksaan tissue typing dan cross match Pilih donor yang paling sesuai 45

Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi

(2)

Evaluasi Donor Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap Pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, kimia darah, HbsAg, anti-HCV, CMV, VDRL, HIV, tes toleransi glukosa jika ada riwayat diabetes dalam keluarga, hemostasis, tes kehamilan, urinalisis kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi protein dalam urin 24 jam) Foto thoraks, EKG, tes treadmill (usia > 50 tahun), pielografi intravena Evaluasi psikiatrik Kriteria Ekslusi Calon Donor Hidup iografi ginjal cross Tes match sebelum transplantasi Arter

Umur < 18 tahun atau > 65 tahun Hipertensi (> 140/90 atau perlu obat darah tinggi) Diabetes (Tes toleransi glukosa atau HbA1c abnormal) Proteinuria (> 250 mg/24 jam) Riwayat batu ginjal LFG abnormal (< 80 ml/menit) Hematuria mikroskopik Kelainan urologik ginjal donor Masalah medik yang bermakna (PPOK, keganasan) Obesitas (30% di atas BB ideal) Riwayat trombosis atau tromboembolisme Kontraindikasi psikiatrik

Walaupun cangkok ginjal merupakan terapi terbaik bagi pasien Gagal Ginjal Kronik Stadium Terminal, namun bukan perkara mudah bagi pasien untuk memasuki fase ini disebabkan banyaknya kendala yang menghadang. Kendala yang sering dialami pasien yang ingin atau telah melakukan cangkok ginjal antara lain:

46

Ketersediaan donor ginjal. Jumlah donor di Indonesia masih sangat kecil, hanya 15 donor ginjal per tahunnya, dibandingkan dengan terjadinya 2.000 kasus baru penyakit ginjal kronik stadium akhir per tahunnya.

Tingginya biaya operasi cangkok ginjal. Dana yang diperlukan untuk persiapan transplantasi ginjal di RS dalam negeri berkisar dari 28,5 juta hingga 35 juta rupiah. Total biaya transplantasi di dalam negeri sekitar 80 juta hingga 250 juta rupiah. Sedangkan bila dilakukan di luar negeri akan menghabiskan biaya sekitar 100 juta hingga 570 juta rupiah.

Kecocokan donor dengan resipien. Bila donor sudah tersedia atau bersedia, belum tentu akan cocok bila ginjalnya dicangkokkan ke tubuh resipien. Donor dan resipien perlu menjalani serangkaian pemeriksaan untuk memperkirakan kecocokan dan tingkat keberhasilan operasi cangkok ginjal yang akan dilaksanakan.

Terjadinya penolakan (rejection) setelah operasi cangkok ginjal. Rejection merupakan masalah terbesar bagi pasien pasca operasi cangkok ginjal.

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Tessy Sp.PD, Prof. DR. Dr. Agus, dkk. GINJAL HIPERTENSI: BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM. Jakarta: pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 570-590.

2. L.Kasper MD, Dennis dkk. HARRISONS MANUAL OF MEDICINE. India: Mc Graw Hill. 2005. Hal 707-708

3. J.McPhee MD, Steven dkk. KIDNEY DISEASE: CURRENT MEDICAL DIAGNOSIS AND TREATMENT. United States of America: Mc Graw Hill. 2009. CHAPTER 22

4. L. Brown, Alison; Wilkinson, Robert. RENAL HYPERTENSION:OXFORD TEXTBOOK OF CLINICAL NEPHROLOGY VOL 1. Oxford University Press. 2005. CHAPTER 9 5. Goldsmith, David. CHRONIC KIDNEY DISEASE-PREVENTION OF PROGRESSION AND OF CARDIOVASCULAR COMPLICATIONS:ABC OF KIDNEY DISEASE. Blackwell Publishing Ltd. 2007. CHAPTER 3

48

You might also like