You are on page 1of 2

Masalah penyakit kulit di masyarakat, khususnya yang bersifat kronis dan kambuha n seperti DA, bukan merupakan masalah

kesehatan semata tetapi dapat berimbas pad a kondisi sosial ekonomi dan kualitas hidup penderita. Pada akhir-akhir ini dila porkan bahwa DA merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, umumnya penderita DA adalah anak-anak dengan angka kejadian 10-20% di Amerika Serikat, Eropa bagian Utara dan Barat, Afrika, Jepang, Australia, dan daerah insdustri la innya. (Leung, 2008) Studi epidemiologi dari berbagai kepustakaan menunjukkan ba hwa DA dapat mengenai semua jenis kelamin, pada anak perempuan lebih sedikit dib andingkan anak laki-laki. (Abramovits,2005, Leung, 2008). Pada penelitian ini pe rbandingan pria dan wanita adalah 1,5:1. Hasil ini sesuai dengan teori tersebut. Pada hakekatnya patogenesis DA sampai saat ini masih merupakan perdebatan. Telah banyak teori yang mengemukakan imunopatogenesis DA, namun pada intinya atopi me rupakan suatu kelainan hipersensitifitas yang diturunkan dalam keluarga. Reaksi hipersensitifitas tersebut merupaka reaksi alergi terhadap alergen lingkungan. P enelitian epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit alergi cenderung meningkat. Bi la kedua orang tua menderita alergi + 80 % kemungkinan anak-anaknya menderita al ergi, dengan manifestasi klinik sama atau berbeda. Bila salah satu orang tua men derita alergi + 60% kemungkinan menurun pada anaknya. Hampir keseluruhan terjad inya penyakit alergi melibatkan IgE. (Fokkens, 1999) Hasil uji tusuk kulit merupakan menifestasi respon vaskular kulit. Bila kulit te rpajan oleh suatu antigen maka akan terjadi respon atau reaktifitas kulit. Reaks i maksimal terjadi setelah 15-20 menit setelah pajanan antigen. Sel mast dengan IgE antigen terkait akan mengeluarkan berbagai mediator, sitokin, dan faktor kem otaktik untuk lekosit ke jaringan setempat sehingga terjadi pruritus dan eritem. (Norman, 1998). Ig E berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui berbagai me kanisme termasuk reaksi bifasik, presentase alergen oleh sel Langerhans penyanda ng IgE, aktivasi makrofag penyandang IgE yang dipicu alergen, dan autoreaktivita s IgE terhadap protein manusia. Kelainan klinis reaksi yang dipicu oleh alergen terkait dengan respon bifasik dan bergantung pada IgE. Sel mast penyandang IgE yang sesuai dengan alergen pemicu akan mengeluarkan berbagai mediator ke jaringa n setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut tergambar sebagai pruritus dan eritema akut. Tiga sampai empat jam kemudian setelah reaksi akut m enghilangakan terjadi reaksi lambat. Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi dermatitis atopik menyandang IgE. (Soebaryo, 2009) Salah satu metode untuk mendeteksi IgE spesifik adalah dengan metode in vitro (t es RAST atau FEIA-CAP). Beberapa peneliti lebih suka menggunakan teknik in vitr o jika pada pasien tampak dermatografisme, ekzim yang berat, atau jika penderita tidak mau menghentikan penggunaan H1 blocker. (Cianferoni and Spergel, 2009) Pada pasien DA pemeriksaan kadar IgE spesifik lebih mempunyai arti dibandingkan dengan pemeriksaan kadar IgE total serum. Kadar IgE spesifik walaupun rendah, da pat menentukan adanya penyakit atopik pada penderita. (Centner, 1995) Peran makanan untuk mencetuskan dermatitis atopik masih kontroversial. Banyak pe nelitian mendukung peran IgE spesifik terhadap makanan pada patogenesis DA. Pasi en DA menunjukkan meningginya kadar IgE total dan IgE spesifik terhadap makanan. Pada penelitian lainnya, pasien dengan IgE spesifik terhadap makanan bila diber ikan makanan tersebut akan meningkatkan konsentrasi histamin pada plasma, produk eosinofil dan aktivasi eosinofil plasma. Bila anak dengan DA secara kronik maka n makanan yang menyebabkan mereka alergi akan dijumpai meningkatnya pelepasan hi stamin secara spontan dari basofil dibandingkan dengan anak tanpa alergi makanan . Terdapat kira-kira 40% bayi dan anak usia muda dengan DA sedang dan berat yang disertai alergi makanan. Banyak laporan mengemukakan DA akan membaik secara kli nis setelah menghindari protein makanan penyebab. (Mahadi, 2009) Peranan IgE sp esifik terhadap alergen pada imunopatogenesis DA melibatkan beberapa jenis sel. Reseptor untuk antibodi IgE dijumpai pada sel B, sel T, monosit, makrofag, sel d endritik, eosinofil, dan platelet. (Mahadi, 2009) Peran imunopatogen pada DA melibatkan sel B, sel T, monosit, makrofag, sel dendr itik, eosinofil, dan platelet. Sel Langerhan yang merupakan sel penyaji alergen di kulit banyak dijumpai pada lesi DA. Setelah antigen terikat dengan IgE, antig en diproses di sel Langerhans, yang kemudian sebagai fragmen peptida pada MHC kl

as II akan disajikan pada sel T sehingga terjadi aktivasi sel T, terutama sel Th 2. Pada lesi akut (kurang dari 3 hari) terdapat infiltrasi limfosit dan sitokin sel Th2, yaitu IL-4, IL-5, dan IL-13, sedangkan pada lesi kronik terutama IL-5 d an IL-13. Secara klinis fase lambet IgE penting, meingkat pada kelainan alergi d an berperan penting pada DA. Reaksi imunologik pada DA merupakan reaksi bifase y ang diperantarai IgE early phase reaction (EPR) dan IgE dependent Late Phase Rea ction (LPR). Dalam waktu 15-30 menit alergen makanan berikatan dengan IgE yang t erdapat pada permukaan sel mas, maka terjadi degranulasi sel mas yang mengeluark an histamin dan beberapa mediator, misalnya IL-1, IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF (Gran ulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor), TNF (Tumor Necrosis Factor), dan fa ktor kemotaktik yang akan menarik berbagai sel inflamasi ke kulit. Penarikan eos inofil dan basofil berperan penting selama fase LPR. Kedua sel ini mampu mengika t alergen spesifik melalui ikatan IgE pada permukaan sel tersebut. Eosinofil mel epas beberapa bahan yang dapa menyebabkan beberapa perubahan patologik pada DA. (Mahadi, 2009) Pada penelitian kami, kelompok dermatitis atopik memiliki kadar Ig E spesifik c oklat dengan berbagai tingkat alergi. Artinya terdapat variasi kadar IgE spesifi k sebagai antibodi monoklonal terhadap coklat. Kadar IgE meningkat pada sekitar 70-80% penderita DA. Hal ini berhubungan dengan sensasi inhalan dan makanan yan g menyebabkan alergi. Sebaliknya, 20-30% penderita DA mempunyai kadar IgE yang normal. Hal ini karena kurangnya sensasi IgE dalam melawan inhalan atau makanan yang menyebabkan alergi. (Leung, 2008) Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa tidak terdapat kesepadanan peme riksaan uji kulit dan IgE spesifik terhadap coklat. Hal ini berbeda dengan penel itian yang dilakukan oleh Harijono dan Yusuf. (Dewi, 2001, Kariosentono, 2005)

You might also like