You are on page 1of 7

Hidrolisis Senyawa Obat

Suatu senyawa yang dapat digunakan sebagai obat harus stabil selama penyimpanan dalam jangka waktu tertentu. Dalam penyimpanan, senyawa obat harus tidak mudah terdegradasi atau berubah menjadi senyawa lain yang tidak berkhasiat atau bahkan bersifat toksik. Pengetahuan tentang stabilitas suatu senyawa juga sangat diperlukan dalam proses manufakturing obat, terkait dengan dosis dan eksipien yang diperlukan sehingga dihasilkan produk yang efektif dan aman (Franklin et al., 2005). Stabilitas suatu senyawa diketahui dari laju degradasinya yang ditentukan berdasarkan studi kinetika reaksi. Degradasi berlangsung melalui beberapa jalur, tetapi mekanisme yang paling umum adalah hidrolisis (Ratna and Edwards, 2006). Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air (H 2O) menjadi kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida (OH) melalui suatu proses kimia. Proses ini biasanya digunakan untuk memecah polimer tertentu, terutama yang dibuat melalui polimerisasi tumbuh bertahap (step-growth polimerization). Reaksi hidrolisis terjadi ketika suatu asam bertemu dengan basa yang akan menghasilkan garam dan air yang merubah pH dari campuran tersebut. Dalam reaksi hidrolisis, terjadi penarikan H+ dan OH- dari senyawa asam dan basa. H+ dan OH- berikatan menjadi air. Sedangkan pembentuk senyawa asam dan basa yang lain bersatu membentuk dari garam campuran asam basa tersebut. Garam tersebut dapat bersifat asam atau basa atau netral tergantung dari sifat sifat para campurannya apakah asam kuat, asam lemah, basa kuat, basa lemah. Reaksi hidrolisis akan mempercepat degradasi senyawa aktif yang terkandung didalam suatu sediaan obat sehingga efektivitasnya juga akan berkurang secara cepat dan dampak yang lebih jauh, usia guna dari sediaan tersebut akan semakin pendek. Nilai kadar air suatu sediaan obat sebaiknya kurang dari 10% untuk mencegah tumbuhnya mikroba. Asam O-asetilsalisilat (aspirin) adalah turunan asam salisilat yang telah dikenal sebagai prototip obat analgesik kelompok NSAIDs. Sayangnya, stabilitas senyawa ini menjadi salah satu kelemahannya, di samping efek sampingnya. Reaksi yang paling berkontribusi dalam degradasi aspirin adalah hidrolisis yang menghasilkan produk asam salisilat dan asam asetat. Reaksi ini berlangsung dalam berbagai pH dan laju reaksinya mengikuti kinetika order pertama semu (Marr, 2004) tetapi dalam suasana yang lebih basa, aspirin terhidrolisis lebih cepat (Reynolds, 1982). Asam O-(4-klorobenzoil)salisilat merupakan ester asam salisilat yang dapat mengalami hidrolisis menjadi asam salisilat dan asam 4-klorobenzoat. Gugus 4-klorobenzoil pada atom oksigen posisi 2 dari gugus

karboksilat merupakan gugus asil yang berukuran lebih besar daripada gugus asetil pada aspirin. Adanya asil tersebut memberikan halangan ruang bagi nukleofil untuk menyerang atom C karbonil ester. Di samping itu adanya substituen klor pada posisi 4 cincin kedua dapat mempengaruhi reaktivitas karbonil tersebut sehingga menurunkan laju reaksinya. Reaksi hidrolisis ester termasuk reaksi substitusi nukleofilik, yang pada reaksi ini air adalah nukleofilnya. Reaksi tersebut dapat berjalan lebih cepat tergantung reaktivitas nukleofil dan juga gugus karbonil yang menjadi sasaran serangan nukleofil.

Reaksi Kompleks
Senyawa kompleks merupakan senyawa yang tersusun dari ion logam dengan satu atau lebih ligan. Interaksi antara logam dengan ligan - ligan dapat diibaratkan seperti reaksi asam-basa lewis, di mana basa lewis merupakan zat yang mampu memberikan satu atau lebih pasangan elektron (ligan). Setiap ligan memiliki setidaknya satu pasang elektron bebas, tetapi ada juga ligan yang mempunyai dua pasang atau lebih elektron bebas. Taube (1950) telah mengklasifikasikan senyawa kompleks menjadi kompleks labil dan kompleks inert berdasarkan laju pertukaran ligan kompleks tersebut. Kompleks yang labil mengalami pertukaran ligan dengan cepat. Sebaliknya pada kompleks inert, pertukaran ligan berlangsung dengan sangat lambat atau bahkan tidak berlangsung sama sekali. Pembentukan kompleks dalam suatu larutan berlangsung melalui sejumlah tahapan. Untuk setiap tahapan, tetapan stabilitasnya dapat dituliskan dalam suatu persamaan. Misalkan pembentukan kompleks MLn, terbentuk melalui sejumlah n tahapan. Tetapan stabilitas untuk setiap tahapan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

Stabilitas dari suatu senyawa kompleks dipengaruhi dua faktor, yaitu pengaruh dari ligan, dan pengaruh dari logam pusat kompleks tersebut. Berikut ini beberapa sifat logam pusat yang menentukan stabilitas dari suatu senyawa kompleks :

1. Pengaruh Logam Pusat a) Ukuran dan Muatan Logam Pusat Stabilitas kompleks umumnya menurun dengan kenaikan jari-jari ion logam pusatnya. Jika ditinjau dari muatan ion logam pusatnya, maka stabilitas kompleks menurun seiring dengan penurunan muatan ion logam pusat tersebut. Jika kedua faktor (jari-jari ion dan muatan ion pusat) digabungkan, maka secara umum dapat dilihat bahwa makin besar perbandingan harga muatan (q) dan jari.jari (r) kation logam, kompleks yang terbentuk akan semakin stabil. Hal ini dikarenakan dengan harga q/r yang makin besar medan listrik dari logam pusat semakin besar pula. b) Faktor CFSE Pada logam unsur-unsur transisi, adanya pemecahan orbital d yang memberikan harga CFSE tertentu mempengaruhi stabilitas dari kompleks yang terbentuk. Adanya CFSE akan meningkatkan kestabilan kompleks, sehingga harga K maksimum dapat diramalkan akan diperoleh pada kompleks dengan logam pusat yang memiliki konfigurasi elektron d3 dan d8, karena konfigurasi ini akan memberikan harga CFSE yang paling besar. c) Elektronegativitas dan Kemampuan Polarisasi Logam Kompleks yang terbentuk dari logam dengan elektonegativitas yang tinggi akan menghasilkan kopmpleks yang lebih stabil, karena kecenderungan logam untuk menarik pasangan elektron yang didonasikan oleh ligan akan lebih kuat. Dalam hal yang sama, logam dengan kemampuan polarisasi yang lebih besar juga akan menghasilkan kompleks yang lebih stabil. 2. Pengaruh Ligan Selain pengaruh dari logam sebagai ion pusat dari kompleks, ligan yang terikat pada logam tersebut juga menentukan kestabilan dari kompleks yang terbentuk. Berikut beberapa factor dari ligan yang mempengaruhi kestabilan kompleks. a) Ukuran dan Muatan Ligan Ligan yang berukuran lebih kecil akan lebih mudah mendekat ke arah logam pusat untuk membentuk ikatan yang lebih kuat. Dengan demikian ligan yang ukurannya lebih kecil akan membentuk kompleks yang lebih stabil. Ditinjau dari muatannya, semakin besar muatan yang dimiliki ligan, gaya tarik menarik antara ligan dengan logam pusat juga makin kuat, sehingga ikatan yang terbentuk otomatis juga menjadi lebih kuat. Dari dua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kompleks yang stabil akan terbentuk dari ligan yang berukuran kecil dan memiliki muatan yang besar. b) Momen Dipol dari Ligan Analog dengan faktor muatan, makin besar momen dipol dari suatu ligan, stabilitas kompleks yang terbentuk dietilamin > trietilamin. c) Sifat Basa Ligan Interaksi antara logam dengan ligan dapat ditinjau sebagai interaksi AsamBasa Lewis. Oleh karena itu, makin basa suatu ligan, kompleks yang terbentuk akan semakin stabil. Hal ini dikarenakan ligan yang sifatnya lebih basa akan lebih mudah mendonorkan pasangan elektron bebas yang dimilikinya pada logam. Atas dasar hal ini, maka ligan NH3 dapat membentuk kompleks yang lebih stabil dibandingkan H2O. d) Kemampuan Membentuk Ikatan Adanya ikatan dapat memperkuat ikatan logam dengan ligan dalam kompleks. Oleh karena itu, ligan-ligan yang dapat membentuk ikatan dengan logam membentuk kompleks yang lebih stabil. Misalnya saja ligan CN-, CO, PR3, dan alkena. e) Efek Sterik Adanya efek sterik dapat melemahkan ikatan logam dengan ligan karena adanya gaya tolak menolak antar ligan yang terikat. f) Efek Khelat Ligan yang merupakan suatu ligan pengkhelat membentuk kompleks yang lebih stabil dibandingkan ligan bukan khelat. Hal ini dikarenakan ligan berikatan dengan logam melalui lebih dari satu atom donor, sehingga otomatis ikatan yang terbentuk akan lebih kuat. Kestabilan ligan pengkhelat sendiri dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut : ukuran cincin khelat, umumnya makin besar ukuran cincin khelat, makin stabil kompleks yang terbentuk efek resonansi, adanya resonansi akan meningkatkan kestabilan makin besar. Hal ini dapat menjelaskan urutan kestabilan dari sejumlah ligan netral berikut : amina > etilamin >

DAFTAR PUSTAKA Franklin, A., Kreider, R. Rassiwalla, A., 2005. Aspirin Hydrolysis. www.seas.upenn.edu/ courses/belab/LabProjects/2005/FRPTM3E4.doc, diakses tanggal 14 Oktober 2012. Ratna, J.V. Edwards, L.J. 2005. pH Rate Dependence Of The Hydrolysis Of Aspirin. Overall Velocity Constant For Aspirin Hydrolysis At 17oC As A Function Of Ph, Trans. Farad. Soc. 46:723. Marr, P. 2004. Class Project in Physical Organic Chemistry : The hydrolysis of Aspirin. J.Chem.Ed, 2004 (81) :. 870 873. Reynolds, J.E.F. (eds), 1982. Martindale, The Extra Pharmacopoeia, 28th ed, London : The Pharmaceutical Press, p. 234 244.

TUGAS TERSTRUKTUR MATA KULIAH STABILITAS OBAT Hidrolisis dan Reaksi Kompleks

DI SUSUN O L E H KELOMPOK 3 : Aris Winanto (I211090059) Arlia Wigati (I211090054) Fitri Apriani (I21109024) Gusfarendi (I21109046) Mega Gustiani Utami (I211090 Rianti Kartika (I21109052) Roudhatini (I21109013) Sainah (I21109018) Septian Laianto (I21109049)

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2012

You might also like