Professional Documents
Culture Documents
Abstrak Human Imunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrome), dimana penyakit ini ditandai infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis keganasan tertentu diakibatkan penurunan fungsi imun penderita. Kemungkinan alasan terpenting mengenai infeksi paru akibat HIV/AIDS berkaitan dengan konsekuensi anatomi paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan infeksius maupun non-infeksius dari luar (eksogen) dan tersebar hematogen (endogen) melalui luas permukaan paru yang mengandung jutaan alveolus. Mekanisme yang berperan pada kerusakan paru yaitu mekanisme pertahanan langsung akibat HIV yang menginfeksi dan membunuh sel sehingga terjadi kerusakan sel efektor dan perubahan fungsi dari imunostimulasi menjadi imunosupresi yang berakibat gangguan migrasi sejumlah limfosit, monosit maupun netrofil ke paru-paru. Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik dengan mudah berkembang. Jumlah infeksi oportunistik terbanyak di Indonesia dilaporkan TB (10.648 kasus), Diare kronis (6.392 kasus), Kandidiasis oro-faringeal (6.412 kasus), Dermatitis generalisata (1.623 kasus) dan Limfadenopati generalisata persisten (770 kasus). Kata kunci: Imfeksi oportunistik, HIV, AIDS, TB
PENDAHULUAN Human Virus (HIV) Imunodeficiency merupakan AIDS virus juta orang yang terdiri dari infeksi baru sejumlah 2,5 juta orang dan sebanyak 2,1 juta kematian
penyebab
(Acquired
Indonesia
pada
triwulan
kedua 2010 terdapat penambahan 1.206 kasus AIDS. Sampai 30 Juni 2010, kasus AIDS yang dilaporkan sejak 1978 berjumlah 21.770 dan
penurunan fungsi imun penderita. Dilaporkan bahwa jumlah penderita HIV di dunia pada tahun 2007 33,2
berasal dari 32 provinsi serta 300 kabupaten dan kota di tanah air (Depkes, 2010). Di Aceh, sejak 2004 hingga 2009 kasus HIV/AIDS
menjadi berakibat
gangguan migrasi sejumlah limfosit, monosit maupun netrofil ke paruparu. Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik dengan mudah
ditemukan terus meningkat. Hingga kini jumlah penederita sebanyak 46 orang dan 18 diantaranya dilaporkan telah meninggal (Fatah, 2010). Jumlah infeksi oportunistik terbanyak di Indonesia dilaporkan TB (10.648 kasus), Diare kronis (6.392 kasus), Kandidiasis oro-
INFEKSI OPORTUNISTIK Infeksi adalah infeksi untuk opportunistik akibat timbul (IO)
kesempatan
kondisi-kondisi
tertentu
Limfadenopati generalisata persisten 770 kasus (Ditjen Kemenkes, 2010). Kemungkinan mengenai HIV/AIDS alasan terpenting akibat dengan
patogen. Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV), tubuh secara gradual akan imunitas jumlah dan mengalami akibat fungsi
infeksi
paru
berkaitan
penurunan penurunan
konsekuensi anatomi paru sehingga terpapar bahan secara infeksius kronis terhadap non-
limfosit CD4. Pada keadaan dimana jumlah limfosit CD4 <200/ml atau kurang, sering terjadi gejala penyakit indicator AIDS. Spektrum infeksi yang tejadi pada keadaan imunitas tubuh menurun pada infeksi HIV ini disebut sebagai infeksi oportunistik. Organisme penyebab IO
maupun
melalui luas permukaan paru yang mengandung Mekanisme jutaan yang alveolus. pada
berperan
kerusakan paru yaitu mekanisme pertahanan langsung akibat HIV yang menginfeksi dan membunuh sel sehingga terjadi kerusakan sel
adalah organism yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian
mengalami menurun
reaktivasi. jumlah
Semakin CD4
terintegrasi secara acak di dalam genom sel penjamu. Virus yang terintegrasi ini disebut provirus.
limfosit
semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian
Pada aktivasi sel pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya translasi
(Merati, 2007).
menyebabkan produksi protein virus. PATOGENESIS Partikel HIV infeksius terdiri dari 2 untaian RNA yang identik, masing-masing panjangnya 9,2 Poliprotein prekursor dipecah oleh protease virus menjadi enzim dan protein struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk
menghasilkan partikel virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel pejamu. Virus infeksius baru (virion)
fosfolipid dua lapis yang berasal dari membran sel pejamu dan protein membran yang disandi oleh virus (Kresno, 2007). Pada membran ini terdapat tonjolan glikoprotein (gp) 120 dan gp41. Awalnya, terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor CD4, yang memicu perubahan
EFEK PARU
INFEKSI
HIV
PADA
konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan reseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41. Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom RNA oleh enzim reverse trancriptase (RT) yang dibawa oleh virus. Selanjutnya DNA ini
Makrofag
dan
limfosit
alveolar yang terdapat di permukaan alveoli adalah sel defender utama parenkim paru. Terinfeksinya
makrofag dan limfosit alveolar oleh HIV (paparan endogen) merupakan proses krusial pada patogenesis
penyakit paru pada AIDS. Molekul CD4 pada permukaan sel merupakan reseptor untuk masuknya HIV dan
untuk masuknya virus ke dalam sel diperlukan kerjasama dengan koreseptor kemokin. CCR5 adalah koreseptor yang digunakan untuk
membunuh sel yang terinfeksi HIV melalui cytotoxic T-cell lymphocyte (CTL) CD8. Sel limfosit sitotoksik CD8 ini akan aktif dan berproliferasi sebagai epitope menekan langsung. respon virus terhadap HIV, virus telah adanya sehingga secara ada
menginfeksi makrofag oleh strain monoscytetropic (M-tropic), namun tidak untuk menginfeksi limfosit dan sebaliknya CXCR4 atau fusin untuk strain lymphocyte-tropic atau Ltropic (Beck, 2005). Makrofag
replikasi Walaupun
alveolar merupakan reservoir HIV yang utama. Hal ini dibuktikan dengan terdeteksinya HIV reverse transcriptase Bronchoalveolar dari Lavage hasil (BAL).
mekanisme penekanan ini, namun replikasi virus tetap berlangsung (mekanismenya masih belum jelas) sehingga terjadi destruksi dan
penurunan jumlah dan kualitas CD4, selanjutnya CTL (secara CD8 in menyebabkan menjadi vitro, respon
Pada paru, CD4 ini terdapat pada permukaan makrofag alveolar dan ko-reseptor yang paling berperan adalah CCR5 walaupun terdapat pula ekspresi CXCR4. Infeksi oleh strain M-tropic dapat diblokir oleh CC chemokines RANTES, macrophage inflammatory protein-1 dan yang berperan Seiring sebagai dengan ligand CCR5.
melakukan lisis sel target dengan baik) (Agustriadi, 2008). Pada suatu studi, didapatkan terjadinya penurunan jumlah limfosit CD4 (dari hasil BAL) disertai
dengan peningkatan limfosit CD8 pada paru, sehingga rasio CD4/CD8 pada paru lebih kecil dibandingkan darah perifer. Pada beberapa symptom
perkembangan
disertai penurunan yang cepat status imunologik penderita (Hogan, 2001). Sebagai reaksi defensif lokal paru terhadap masuknya virus: dengan bantuan limfosit CD4 (T-helper),
penderita
menunjukkan
pulmonologis sebagai akibat influks limfosit CD8 ke sel paru (lymphoid interstitial pneumonitis), dimana hal ini berkorelasi dengan tingginya
viral load. Namun pada tahap lanjut jumlah limfosit CD8 ini juga
menghambat
aktivasi
limfosit
mikroorganisme tertentu, misalnya P carinii akan merangsang produksi TNF oleh makrofag alveolar, berikutnya TNF akan
(sebelum terpengaruhnya fungsi sel T) dengan gangguan pembentukan antibodi sebagai respon terhadap mitogen sintesis dan gangguan secara inisiasi normal
mengaktifkan replikasi virus HIV sekaligus protein terjadi mengganggu surfaktan, deplesi dan sintesis akhirnya antiviral
antibodi
natural
sebagai respon terhadap antigen. Penurunan konsentrasi IgG pada paru kemungkinan akibat gangguan kemampuan makrofag alveolar
TUBERKULOSIS Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobic dan tahan asam ini, dapat merupakan organism patogen maupun saprofit. Basil
dalam merangsang sekresi IgG dari sel B. (Hogan, 2001). Mekanisme defensif lainnyaadalah surfaktan paru (disekresi oleh sel epitel alveolar tipe II) yang secara fisiologis berguna untuk menurunkan tegangan
tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price, 2006). Berdasarkan data World
permukaan sehingga memudahkan reinflasi pada setiap akhir ekspirasi. Surfaktan tersusun atas kompleks fosfolipid dan protein spesifik, selsel bronkoalveolar juga terdapat didalamnya. proses Surfaktan dan menekan produksi
Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi M tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa dengan tuberkulosis, derajat dan seiring beratnya
oksidatif
beberapa jenis sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF (sitokin-sitokin yang merangsang replikasi virus HIV),
imunosupresi
yang
terjadi.
dan
mikroskopis
yang
normal,
Suspetibilitas terhadap tuberkulosis, baik untuk terjadinya tuberkulosis primer, reaktivasi ataupun reinfeksi berhubungan dengan pola sitokin yang diproduksi oleh limfosit T, dalam hal ini limfosit T1 melalui produksi interferon yang berperan defensif terhadap mikobakterium.
sehingga
diperlukan
pemeriksaan
BACTEC (metode
radiometrik dengan mengukur kadar karbondioksida yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh M tuberculosis) dan polymerase chain reaction (Haburchack, 2010). Pada daerah endemis tuberkulosis atau adanya riwayat kontak dengan
suspetibilitas terhadap tuberkulosis meningkat. Di lain pihak, infeksi M tuberculosis itu sendiri merangsang makrofag memproduksi TNF , IL-1 dan IL-6 yang menyebabkan
dikerjakan pada semua penderita HIV/AIDS dengan infiltrat pada paru, untuk keperluan klinis dan kontrol infeksi.
peningkatan replikasi virus HIV. Jadi antara infeksi HIV dan tuberkulosis terjadi interaksi patogenik 2 arah (bidirectional interaction) yang pathogenic memperburuk
dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa HIV. Saat
pemberian obat pada koinfeksi TBCDIAGNOSA Pendekatan diagnosis TB HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Namun pada beberapa studi mendapatkan tingginya angka kekambuhan pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan. Terdapat
paru pada penderita dengan infeksi HIV menggunakan kriteria yang samA dengan tanpa infeksi HIV. Namun pada sekitar 10% penderita infeksi HIV dengan tuberkulosis menunjukkan gambaran radiologis
interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin karena rangsangannya terhadap aktivitas
pemakaian
bersama
obat-obat
tersebut tidak direkomendasikan. Pada sekitar 36% penderita tuberkulosis aktif yang mendapatkan OAT dan ARV secara simultan, terjadi reaksi akibat paradoksal terjadinya
inhibitor (PI) dan nonnucleosidase reverse (NNRTI), trancriptase sehingga inhibitor terjadi
(kemungkinan
immune restitution) dengan tanda dan gejala seperti demam tinggi, limfadenopati dan memburuknya
penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar subterapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat
paradoksal, etiologi lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Reaksi ini bersifat self limiting (umumnya 10-40 hari), namun pada reaksi yang berat dapat diberikan terapi
prednison 1-2 mg/ kg berat badan selama 1-2 minggu, lalu dosis di tappering off. Isoniazid dan NRTI sama-sama neuropati simultan berefek perifer. kedua obat samping Pemakaian tersebut
tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar subterapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya
resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat
perifer. Sehingga pada manajemen tuberkulosis pada infeksi HIV/AIDS prinsipnya adalah terapi
tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis risiko serta meningkatnya obat, sehingga
toksisitas
PENUTUP Alasan terpenting mengenai infeksi berkaitan anatomi secara paru akibat HIV/AIDS konsekuensi terpapar bahan
DAFTAR PUSTAKA Agustriadi O, Sutha IB. 2008. Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik pada Infeksi HIV/AIDS. J Peny Dalam 9:233-244 Beck J. 2005. The immunocompromised host. Proc Am Thorax Soc 2:423-7. Herchline T. 2010. Tuberculosis . Artikel eMedicine, Medscapes Continually Updated Clinical Reference. http://emedicine.medscape.com/articl e/230802-overview Haburchak DR. 2010. Prevention of Oportunistik Infections in Patients Infected With HIV. Artikel eMedicine, MedscapeS Continually Updated Clinical Reference. http://emedicine.medscape.com/arti cle/1529727-overview Carpenter RJ. 2009. Early Symptomatic HIV Infection. Artikel eMedicine, MedscapeS Continually Updated Clinical Reference.http://emedicine.medsca pe.com/article/211873-overview Colebunders R, Lambert ML. 2002. Management of coinfection with HIV and TB. BMJ 324:802-3. Fatah, Abdul. 2010. Penderita HIV/AIDS di Aceh 46 orang. http://mpubandaaceh.wordpress.com/ 2010/03/25/penderita-hivaids-di aceh-46-orang/ (diakses 02 Oktober 2010). Hogan CM, Hammer SM. 2001. Host determinants in HIV infection and disease part 1: cellular
8
sehingga terhadap
hematogen (endogen) melalui luas permukaan paru yang mengandung jutaan alveolus. Mekanisme yang berperan pada kerusakan paru yaitu mekanisme pertahanan langsung
kerusakan sel efektor dan perubahan fungsi dari imunostimulasi menjadi imunosupresi yang berakibat
gangguan migrasi sejumlah limfosit, monosit maupun netrofil ke paruparu. Hal ini menyebabkan infeksi oportunistik berkembang. Untuk kemajuan penanganan terhadap terutama infeksi TB perlu oportunistik dilakukan lanjutan dengan mudah
penelitian-penelitian
sehingga masalah yang dihadapi selama terapi seperti resistensi obat serta efek samping yang berlebihan dapat dihindari.
and humoral immune response. Ann Intern Med 134:761-76. Kresno, Siti Boedina. 2007. Imunologi : Diagnosis dan prosedur laboratorium. FKUI. Jakarta. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. 2006. Penyakit Infeksi. Penerjemah: Surapsari, Juwalita. Edisi ke-6. Erlangga. Jakarta. Merati TP, Djauzi S. 2007. Respon Imun Infeksi HIV hal: 275. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. EGC. Jakarta. Pramono, Steven. 2010. Jumlah Penderita AIDS Terus Bertambah.http://www.christianpost. co.id/society/stats/20100927/5325/kp a-jumlah-penderita-aids-terusbertambah/index.html (diakses 02 Oktober 2010). Price SA, Standridge MP. 2006. Tuberkulosis Paru Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi ke-6. Penerjemah: Udumbara B. EGC. Jakarta. Segreti J. 2006. Pulmonary complications of HIV disease. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnosis & treatment. 39th ed. Connecticut: Prentice-Hall International p.414-23. Sinaga, RT. 2009. Pendidikan Pencegahan HIV. Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. Jakarta.
Soewandojo E. 2002. The management of HIV/AIDS in pulmonary TB. In: Palilingan JF, Maranatha D, Winariani, editors. TB update 2002 Global management of tuberculosis to reach an indonesian health for all in the year of 2010. Surabaya p.74-89.