You are on page 1of 125

PLURALISME DAN INTEGRASI BANGSA

HENDRA PRIJATNA
1. PLURALISASI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTUR DI INDONESIA

Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius. pluralisasi merupakan suatu hal yang tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang besar harus sekuat tenaga menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media yang dapat memecahbelah kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan Peter L. Berger dalam Evers (1988), menggambarkan dengan jelas perbedaan antara masyarakat kuno dan masyarakat modern. Dikatakan, bahwa masyarakat kuno (sering dinamakan masyarakat dengan kebudayaan sederhana) bersifat terintegrasi tinggi dan tetap bersatu (istilah lain adalah homogen) dalam keteraturan agama. Karena masih sederhananya alat-alat transport dan komunikasi maka hubungan antar masyarakat kuno itu terbatas. Sebaliknya menurut Berger, masyarakat modern mengalami proses segmentasi atau pluralisasi, sering juga dinamakan diferensiasi. Setiap segmen dari masyarakat harus berhubungan dengan segmen-segmen lain untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Masyarakat modern dapat tetap terintegrasi dalam pola interpendensi, bahkan multidependensi. Dikatakan, bahwa pluralisasi itu terjadi di dalam dunia kehidupan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

pribadi manusia dan juga pada lingkungan umum. Kedua-duanya harus hidup bersama dalam suasana yang selaras dan serasi. Pluralisasi kedua bidang tersebut selalu ditemukan dalam pengalaman modern: Pengalaman kehidupan kota dan pengalaman komunikasi massa modern. Sejak munculnya pada zaman kuno, kota telah merupakan tempat pertemuan orang-orang dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda, jadi, kota merupakan pertemuan dunia-dunia yang berbeda. Sesuai dengan strukturnya, kota mendorong penduduknya menjadi berbudi (urbane) dengan menghormati orang asing, serta canggih dalam pendekatan berbagai realitas yang berbeda. Modernitas dalam setiap masyarakat dimengerti sebagai pertumbuhan kota-kota secara besarbesaran. Jadi dengan demikian urbanisasi tidak saja berarti pertumbuhan fisik komunitas tertentu dan pembangunan berbagai pranata yang khas bersifat kota. Urbanisasi juga berarti sebuah proses dalam tingkat kesadaran yang tidak terbatas pada komunitas yang dapat dengan tepat dirancang menjadi kota. Menurut Berger, urbanisasi kesadaran ini banyak dipengaruhi oleh media, dimana akibatnya gaya hidup (termasuk gaya berpikir, perasaan, realitas pengalaman yang bersifat umum) yang sekaran ini menjadi standar di masyarakat dapat saja menjadi sifat seseorang yang tetap tinggal di kota kecil. Dalam hubungannya dengan proses sosialisasi, berger melihatnya sebagai berikut 1. Pluralisme telah memasuki berbagai proses sosialisasi primer, yaitu dalam proses berlangsungnya pembentukan dasar kepribadian dan dunia subjektif pada masa kanak-kanak 2. Pluralisme juga juga terjadu pada proses sosialisasi sekunder pada masyarakat modern, yaitu sosialisasi yang berlangsung setelah awal pembentukan diri. Namun dikhawatirkan oleh Berger, bahwa pluralisasi dunia kehidupan itu menimbulkan rasa disorientasi dan kebingungan yang dinamakan homeless mind. Rasa yang demikian itu mungkin timbul dalam masyarakat-masyarakat yang caranya mengagungkan kehidupan ekonomi sudah sedemikian dominan dibanding dengan kehidupan di bidang lain, sehingga semangat untuk mendapatkan keuntungan uang atau benda menyingkirkan segala pertimbangan lain. Karena itu individualisme berkembang dengan suburnya sehingga menutupi nilai-nilai sosial lainnya, termasuk nilai-nilai yang mengikat para anggita keluarga sebagai kolektfitas yang terkuat untuk menghadapi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Meskipun pluralisasi atau diversifikasi sosial sudah tampak gejalanya di kota-kota Indonesia, namun ikatan kekeluargaan, bahkan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

ikatan kesukuan dan kedaerahan masih dapat bertahan dengan kuat terhadap desakan individualisme dan timbulnya homeless mind. Betapapun kuatnya hasrat masyarakat Indonesia untuk membangun ekonomi nasionalnya sampai taraf setinggi mungkin, namun tata hidup yang dijiwai dengan nilainilai kekeluargaan tidak akan mudah dilepaskan. Mungkin istilah the homeless mind yang menggambarkan pola sikap hidup tidak berakar dalam bumi sesuatu masyarakat dapat diganti dengan the universal mind yang lebih mementingkan sifat persamaan pola pikir dan pola bersikap hidup umat manusia diseluruh dunia. Dalam tulisannya Berger Melihat bahwa ideologi pluralisme secara luas berfungsi melegitimasi pluralitas pengalaman sosial, koeksistensi berbagai dunia sosial yang berbeda seringkali tidak sesuai satu sama lain secara luas dilegitimasikan oleh berbagai nilai seperti demokrasi dan kemajuan (Progress). Kita tidak ingin menyangkal kesungguhan kepercayaan akan ide-ide tersebut maupun kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus ide-ide tersebut mempunyai akibat-akibat sosial yang objektif. Bagaimanapun juga, secara sosiologis memandang pengalaman pluralitas sebagai sesuatu yang berlangsung mendahului ide-ide pokok pemberi legitimasi tampaknya lebih persuasif. Apa pun ideologi yang ditawarkan, setiap masyarakat modern harus menemukan jalan untuk sampai pada proses pluralisasi. Sangat mungkin hal tersebut memerlukan sejumlah legitimasi, paling tidak suatu langkah pluralitastertentu. Selain itu menurut Berger kehidupan menjadi sumber utama bagi identitas. Kebanyakan keputusan hidup yang konkret dibuat sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan keseluruhan rencana kehidupan. Tetapi rencana kehidupan tersebut bersifat terbuka dan seringkali dinyatakan dalam cara yang tidak menentu. Oleh karena itu, selalu tetap terancam frustasi. Jika rencana kehidupan diungkapkan secara pasti, maka relevansi keputusan tertentu dengan rencana yang besar seringkali bersifat ragu-ragu dan menjemukan serta mencemaskan. Jika sebaliknya, bila rencana tersebut menjadi tidak jelas, maka mungkin terdapat kecemasan dalam wujudyang berbeda: individu secara samar-samar mengetahui bahwa seharusnya ia mempunyai rencana tertentu, dan kini ia merasa cemasdan frustasi karena kenyataan bahwa ia benar-benar tidak dapat mengungkapkan apa yang seharusnya bisa ia lakukan. Semua atau sebagian besar rencana tersebut bersifat jangka panjang. Oleh karena itu membutuhkan kemampuan tinggi untuk menunda kepuasaan. Agar rencana tersebut dapat berjalan, individu harus menanti dan menagguhkannya. Hal ini menimbulkan berbagai kecemasan dan frustasi tambahan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Berhubungan dengan gaya kognitif dalam kehidupan jangka panjang, Berger menekankan padaaspek multi-relasionalitas. Tetapi penekanan tersebut sekarang harus dengan penuh empati mencakup baik diri sendiri maupun orang lainnya. Riwayat hidup seseorang dimengerti olehnya sebagai sebuah proyek terpasang (esigned projects). Proyek terpasang tersebut mencakup identitas. Dengan kata lain, rencana kehidupan jangka panjang seseorang tidak hanya mencakup rencana tentang ia akan menjadi apa. Dalam kasus individu yang mempunyai kepribadian menonjol diantara satu sama lain, proyek-proyek tersebut saling tumpang tindih, baik dalam pengertian karir-karir maupun dalam identitas-identitas yang direncanakan. Seorang individu merupakan bagian dari proyek orang lain dan juga sebaliknya. Keluarga dan khususnya hubungan perkawinan menduduki posisi istimewa dalam halproyek bersama seperti perkawinan menduduki posisi istimewa dalam proyek bersama seperti itu. Hal tersebut akan segera menjadi jelas bila seseorang memahami bahwa identitas, seperti juga aktivitas, merupakan bagian dalam rancangan itu. Identitas modern menurut Berger, secara khusus bersifat terbuka. Tanpa diraguan lagi, dalam diri individu terdapat hal-hal tertentu yang sedikit banyak tetap seimbang pada bagian akhir sosialisasi primer, meskipun individu modern bersifat belum selesai padasaat ia memasuki kehidupan dewasa. Tampaknya tidak saja ada kemampuan objektif yang besar untuk

mentransformasikan identitas ke dalam kehidupan dewasa, melainkan juga ada kesadaran dan bahkan kesiapan subjektif untuk transformasi tersebut. Individu modern tidak saja mudah melakukan perubahan (conversionprone), melainkan juga mengetahui dan merasa bangga dengan perubahan itu. Identitas modern mempunyai perbedaan-perbedaan khusus. Karena pluralitas dunia sosial dalam masyarakat modern, struktur masing-masing dunia dialami sebgaai struktur yang relatif tidak stabil dan tidak dapat dipercaya. Individu pada sebagian besar masyarakat pra-modern hidup dalam dunia yang lebih terpadu. Oleh karena itu, baginya dunia kelihatan kokoh dan tidak mungkin dielakkan. Sebaliknya, pengalaman individu modern dalam pluralitas dunia sosial merelatifkan setiap dunia sosial itu. Akibatnya, tatanan kelembagaan mengalami kehilangan realitas tertentu. Identitas modern secara khusus diindividualisasikan. Individu yang memiliki identitas sebagai ens realissimun, secara sangat logis mencapai kedudukan penting dalam hirarki nilai. Kebebasan individu, otonomi individu, dan hak-hak individu diterima begitu saja sebagai keharusan moral yang sangat mendasar. Dan yang terpenting diantara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

hak-hak individu dalah hak untuk merencanakan dan menentukan kehidupannya sebebas mungkin. Hak-hak dasar ini secara terinci dilegitimasikan oleh bermacam-macam ideologi modern, baik dalam struktur kelembagaan maupun dalam struktur kesadaran. Pluralitas dunia-kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam bidang agama. Sepanjang sebagian besar umat manusia yang adasecara empiris, agama telah memainkan peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya bagi integrasi masyarakat. Beraneka macam makna, nilai, dan kepercayaan yang ada dalam suatu masyarakat akhirnya dipersatukan dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia secara keseluruhan. Dari sudut pandang pandang sosiologi dan psikologi sosial, agama dapat didefinisikan sebagai struktur kognitif dan normatif yang memungkinkan manusia merasa betah tinggal di alam semesta ini. Fungsi tradisional agama seperti itu sangat terancam oleh proses pluralisasi. Berbagai sektor kehidupan sosial yang berbeda kini diatur oleh makna dan sistem makna yang sangat beragam. Bukan saja tradisi religius dan pranata yang mewujudkan tradisi religius tersebut semakin sulit mengintegrasikan pluralitas dunia-kehidupan sosial dalam sebuah pandangan menyeluruh, melainkan bahkan lebih mendasar, masuk akalnya definisi agama tentang realitas telah terancam dari dalam, yaitu dari dalam kesadaran subjektif individu itu sendiri. Dalam pluralisasi yang berkembang dengan pesat, individu dipaksa untuk mengambil pengetahuan orang lain, yang tidak mempercayai apa yang ia sendiri percayai, dan yang hidupnya didominasi oleh makna, nilai dan kepercayaan yang berbeda dan seringkali malah bertentangan. Akibatnya, lepas dari faktor-faktor lain dalam jalur pemikiran ini pluralisasi memiliki akibat yang mesekuarisasikan. Yaitu bahwa pluralisasi memperlemah kepercayaan masyarakat dan individu akan agama. Dari segi kelelembagaan, akibat yang dapat dilihat dari proses pluralisasi ini adalah privatisasi agama. Dikotomisasi kehidupan sosial menjadi bidang umum dan pribadi telah menawarkan pemecahan atas masalah agama dalam masyarakat modern. Ketika agama harus mengungsi dari satu wilayah ke wilayah yang lain dala bidang umum, agama telah berhasil memelihara dirinya sebagai suatu perwujudan makna pribadi. Dari segi peikolosi sosial, kekuatan pluralisasi yang sama telah meruntuhkan status makna religius yang telah diterima begitu saja dalam kesadaran individu. Karena tidak ada konfirmasi sosial yang konsisten dan umum, definisi agama tentang realitas telah kehilangan sifatnya yang pasti dan malah merupakan suatu pilihan belaka.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Konsepsi hubungan antara pluralisasi dan sekularisasi ini sama sekali tidak menyangkal bahwa terdapat faktor-faktor lain yang mendorong sekularisasi dalam masyarakat modern. Meskipun masih dapat dipersoalkan apakah ilmu pengetahuan dan teknologi modern secara instrinsik dan tak terelakan bertentangan dengan agama, kiranya jelas bahwa demikianlah yang dianggap oleh banyak orang. Paling tidak sejauh misteri, magic, dan otoritas telah menjadi hal penting dalam regiositas manusia Isebagaimana dipertahan oleh Grand Inquisitor Dostoevsky), rasionalisasi kesadaran modern telah merusak sifat masuk akan dari definisi agama tentang realitas. Akibatnya, efek sekularisasi dari pluralisasi telah berjalan bersama-sama dengan berbagai kekuatan sekularisasi lainnya dalam masyarakat modern. Konsekuensi terakhir dari semua ini dapat dirangkum secara sangat sederhana: manusia modern telah menderita karena suatu kondisi ketakberumahan yang mendalam. Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius. Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation state) tak dapat menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan sebagai hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini. Dalam The Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai : (1) Suatu teori yang menentang kekuasaan dan negara monolitis; untuk dan

sebaliknya,mendukung

desentralisasi

otonomi

organisasi-

organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara sejumlah partai politik. (2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Definisi yang pertama mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua mengandung pengertian pluralisme sosial atauprimordial (Maskuri,2001). Masyarakat plural seperti Indonesia selalu dihadapkan kepada persoalan politis dan sosial, yaitu bagaimana mencapai tingkat integritas bersifat nasional. Baik bersifat horizontal, yaitu hubungan antar warga negara yang berbeda latar belakang budayanya, maupun secara vertikal menghadapi berbagai macam bentuk hubungan dengan peimpinnya tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan stratifikasi sosialnya. (Purwasito, 2003) Pierre L. Van de Berghe dalam Purwasito (2003) mengemukakan bahwa masyarakat multikultural mempunyai beberapa karakteristik yang khas, sebagai berikut: 1. Masyarakat terbagi dalam segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok latar budaya, subbudaya yang berbeda. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer. 3. Kurang adanya kemauan untuk mengembangkan konsensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang fundamental. 4. Kurangnya kesadaran mengembangkan konsensus relatif sering menumbuhkan konflik antar kelompok subbudaya tersebut. 5. Konflik bisa dihindari dan integrasi sosial dapat terjadi, tetapi dengan jalan relatif menggunakan paksaan ditambah adanya ketergantungan satu sama lain dalam bidang ekonomi. 6. Adanya dominasi politik kelompok satu atas kelompok yang lain. Keadaan yang sangat rentan dalam masyarakat multikultur tersebut, sulit kiranya, menurut van de Berghe, model analisis Emile Durkheim tentang adanya masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, yaitu adanya kelompokkelompok yang didasarkan atas keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous. Selain itu, pandangan Durkheim adanya diferensiasi fungsional atau spesialisasi yang tinggi terdiri atas berbagai lembaga kemasyarakatan, bersifat komplementer dan bergantung satu dengan lainnya. Maka, van de Berghe kurang yakin bahwa solidaritas mekanik maupun solidaritas organic dalam konsep Durkheim sulit dikembangkan dalam masyarakat multicultural. Nasikun, mengambil konsep van de Berghe, dan para ahli fungsionalis structural menyimpulkan bahwa dua landasan terjadinya integrasi masyarakat, meskipun menjadi sangat terbatas dalam masyarakat multicultural, setidaknya :
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya consensus oleh sebagian besar masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, adanya berbagai macam anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai macam kesatuan social. Dengan adanya kesatuan social (cross-cutting affiliations) tersebut jika terjadi konflik dengan kesatuan social yang lain akan segera di netralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities). Konflik yang sering terjadi dalam masyarakat multicultural menurut Nasikun cenderung bersifat ideologis dan politis. Karl Marx justru melihat adanya factor ekonomi yang diperoleh nelalui produksi kerja. Pada tingkat ideologis, konflik yang terjadi dalam bentuk konflik antara system nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat sekaligus merupakan penganut dari ideology dari bermacam-macam kesatuan social. Sedangkan yang bersifat politis, terjadi dalam ranah pembagian status kekuasaan, sumber-sumber ekonomi. Yang bersifat ekonomis lebih jelasnya perebutan lahan produksi untuk menopang kehidupan., karena ialah yang menopang segala struktur social, konflik social yang menjadi dasar adanya perubahan social itu sendiri. Secara alamiah, ketika terjadi konflik, pihak-pihak yang berselisih akan mengikatkan dirinya secara cepat dengan dua cara: 1. Memperkokoh solidaritas, bentuknya sepertimembentuk organisasi kemasyarakatan, pertahanan bersama. 2. Memperkokoh identitas cultural yang menghadapkan dirinya dengan kelompok pesaing lain, misalnya dalam bidang pendidikan, organisasi sosial, ekonomi, politik, dan kelompok swadaya lainnya. Konflik sosial dan ketegangan politik yang berlarut-larut saat ini, merupakan personifikasi fakta dan realita bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang tidak dapat diseragamkan. Thesa tersebut setidaknya ingin memberi gambaran bahwa phobia terhadap ancaman disintegrasi multidimensi yang sedang tersaji saat ini adalah wujud resistensi yang di dalamnya membawa nilai terhadap aksi politik kooptasi dan uniform (penyeragaman) yang dipertontonkan pada masa OrdeBaru. Kebijakan masa lalu yang mencoba menegasi karakteristik nilai-nilai dalam unsur-unsur pembentuk pluralisme telah melahirkan pemberontakan nilai yang terekspresi lewat berbagai konflik dan dinamika yangada saat ini. Walaupun kita sangat meyakini bahwa perjuangan nilai tidaklah selalu melahirkan pemberontakan, di dalam

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

pemberontakan selalu ada nilai yang ingin dicapai. Bagaimana Indonesia mampu bertahan sebagai Negara Kesatuan yang integrative ? Para penganut aliran konflik lebih percaya dengan pendekatan paksanaan dari suatu kelompok dominan atau kesatuan social yang dominan atas kelompok dan kesatuan yang lain. Ekonomi menjadi factor utama, dimana setiap orang saling bergantung dengan orang lain sehingga mereka saling membutuhkan untuk menciptakan kehidupan yang rukun dan aman. Paksaan tidak selamanya memberi rasa aman, justru sebaiknya akan membawa suatu masyarakat ke arah disintegrasi sebagaimana ditujukkan selama Pemerintahan Orde baru. (Purwasito, 2003) Purwasito, memberikan gambaran bahwa integritas masyarakat Indonesia dalam paying Negara kesatuan Republik Indonesia, tidak lain adalah suatu kemauan para warga masyarakat untuk membangun suatu kultur yang baru, yang mungkin berbeda dengan kultur kelompoknya, yang kemudian menjadi pedoman dan kaidah dalam interaksi social bersama. Kultur baru, atau nilai-nilai dan norma-norma umum yang disepakatimenjadi kaidah masyarakat bukan sekedar retorika namun haruslah benar-benar dihayati dan dijadikan sebagai milik sendiri.. Untuk mencapai konsensus nasional, Nasikun mengutamakan sosialisasi. Menghidupi dan menjalani kehidupan dalam sebuah negara seperti Indonesia, kita tak bisa berbuat lain kecuali menghidupi dan bahkan menikmati sebuah kemajemukan. Sejak awal para pendiri bangsa ini menyadari benar realitas seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Pancasila dijadikan dasar negara; dan bineka tunggal ika menjadi sebuah semboyan yang acap dirujuk tatkala kita menjelaskan tentang keberagaman bangsa ini. Program pembangunan bertujuan menghadirkan masyarakat industri modern yang adil, makmur, dan lestari berdasarkan Pancasila. Usaha yang besar itu memerlukan waktu puluhan tahun, tatkala ilmu dan teknologi akan makin mempengaruhi kehidupan manusia. Masyaraka tindustri modern yang dicita-citakan itu dihadapkan pada bermacam-macam bahaya sebagai akibat masih adanya jurang yang lebar antara yang kaya dan yang miskin,adanya ketidakadilan, kurangnya partisipasi rakyat, kesenjangan antara pusat dan daerah, serta langkanya kesempatan kerja. Bahaya seperti itu akan mengakibatkan antara lain: kegagalan total

pembangunan; negara menjadi negara industri modern tetapi militeristis dan totaliter yangmenghancurkan peradaban manusia; ketidakstabilan politik dan terhentinya kehidupan ekonomi; kehancuran lingkungan hidup sebagai akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab terhadap sumber-sumber daya alam dan polusi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Menyadari realitas kemajemukan itu dan adanya tugas besar bangsa kita dalam membangun masa depan, maka hubungan dan kerjasama antar umat beragama harus makin dikembangkan dan menjadi program yang berkesinambungan, baik yang dilaksanakan oleh umat beragama/lembaga-lembaga keagamaan maupun atas prakarsa Pemerintah. Untuk melaksanakan tugas besar tersebut dan demi menjaga agar kemajemukan dapat tetap terbebas dari virus disintegratif, selain pemantapan programprogram dialog antar umat beragama, maka pengembangan wawasan yang inklusif penting dilakukan. Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir berciri non diskriminatif, yang memberikan kerangka di dalam mana semua kelompok dalam masyarakat tanpa memandang suku, agama, dan golongan dapat hidup bersama, bekerja bersama untuk membangun masa depan bersama yang telah baik, dengan tetap berpijak pada visi teologis yang diyakini setiap orang. Dengan demikian pemikiran inklusif adalah pemikiran yang mengakomodasi, memberi tempat, menghargai kelompok lain dan sebab itu jauh dari sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan. Sudah jelas bahwa kita memang menghadapi masalah multi-kulturalisme atau multi-etnisisme. Semakin nyata bahwa dalam banyak bagian masyarakat Indonesia terjadi penegasan identitas kelompok etnis atau komunal. Semakin banyak penduduk yang memandang diri mereka sendiri sebagai suatu komunitas kultural tersendiri. Komunitas yang seringkali memiliki bahasa, agama, kekerabatan, dan/atau ciri-ciri fisik (seperti warna kulit) sendiri, atau berbeda agama tetapi berbicara dalam bahasa yang sama. Banyak kalangan seperti ini yang cenderung memilik penilaian negatif terhadap anggota kelompok etnik lain. Sementara semangat yang menggelora sejak dua tahun terakhir adalah demokratisasi, kita masih bertanya: Mungkinkah mengembangkan demokrasi dalam masyarakat multi-etnik? Yaitu, suatu sistem politik yang bebas dan berdaulat dengan lembaga-lembaga pembuatan keputusan demokratik dan dengan melibatkan semua kelompok etnik yang ada? Sebagian ilmuwan sosial sejak lama bersepakat bahwa demokrasi yang stabil dan efektif hampir tidak mungkin muncul dalam masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok etnik yang berbeda, apalagi kalau masingmasing kelompok etnik itu memakai bahasa yang berbeda. Kelompok teoritis itu berpendapat bahwa pembuatan keputusan demokratik hanya bisa berjalan baik kalau perbedaan-perbedaan yang hendak diselesaikan melalui kebijakan publik itu tidak terlalu besar.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

10

Karena itu, walaupun demokrasi tidak mensyaratkan suatu masyarakat yang sepenuhnya homogen, kehidupan politik yang demokratis hanya bisa berlangsung kalau ada kesatuan dan konsensus sosial dan politik, paling tidak, minimum. Padahal, derajat kesatuan dan konsensus dalam masyarakat multi-etnik umumnya tidak bisa memenuhi syarat minimum itu (J.S. Mills dibahas dalam Lijphart, 1996). Real-politik Indonesia menghadapkan kita pada dua hal berikut: Pertama, kemajemukan adalah bagian dari kehidupan politik Indonesia sejak merdeka. Perbedaan etnik dan komunal tidak bisa begitu saja dihilangkan. Pengalaman Orde Baru menunjukkan bahwa ketika fenomena multi-etnik dan multikultural itu diabaikan yang muncul adalah kebijakan ekonomi dan politik yang menghasilkan ketimpangan sosial-ekonomi. Kedua, pengalaman komparatif menunjukkan bahwa separatisme tidak menjamin munculnya unit politik yang homogen. Kemungkinan tetap besar bahwa dalam unit-unit wilayah baru itu akan tetap ada perpecahan. Artinya, kita harus menemukan jalan agar kenyataan multi-kultural dan multi-etnis itu bisa dipertemukan dengan ideal demokrasi. Prospek demokrasi di Indonesia sangat tergantung pada cara kita menangani persoalan kemajemukan masyarakat itu. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah mencari cara bagaimana mengakomodasi realitas politik multi-kultural dan multi-etnik sehingga terbentuk perpolitikan yang berfungsi melayani kepentingan semua pihak.

2. KESUKUBANGSAAN, NASIONALISME DAN MULTIKULTURALISME

Pembicaraan mengenai nasionalisme dan multikulturalisme bersifat posteriori karena beberapa konsep harus dibicarakan lebih dahulu sebelum membahas isyu tersebut. Menurut pendapat saya dalam hal ini tentu banyak diwarnai oleh pemikiran antropologi -- konsep-konsep yang harus dibicarakan lebih dahulu setidak-tidaknya adalah sukubangsa, kesukubangsaan, bangsa, negara-bangsa, dan kebangsaan. Semenjak lama kajian antropologi mengenai kesukubangsaan memusatkan perhatian pada hubungan-hubungan antar kelompok yang kelompok-kelompok tersebut dianggap memiliki ukuran sedemikian sehingga memungkinkan dikaji melalui penelitian lapangan tradisional seperti pengamatan terlibat, wawancara pribadi, maupun
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

11

survei dalam pengertian tertentu. Fokus empiris kajian antropologi nyaris merupakan kajian komunitas lokal. Apabila negara dibicarakan dalam hal ini, maka negara ditempatkan sebagai bagian dari konteks yang lebih luas, misalnya sebagai agen luar (external agent) yang mempengaruhi kondisi-kondisi lokal. Selain itu, antropologi masa lampau kerapkali bias terhadap kajian the others. Istilah-istilah seperti masyarakat primitif, masyarakat belum beradab, masyarakat sederhana dan lainnya jelas menunjukkan bagaimana para antropolog Barat pada akhir abad 19 hingga pertengahan abad ke 20 memandang dan menyebut masyarakat asing (thee others) yang di hadapinya di lapangan . Pergeseran peristilahan dari suku bangsa menjadi kelompok etnik (ethnic groups) merelatifkan dikotomi kita/mereka, karena istilah kelompok etnik, berbeda dari sukubangsa, berada atau hadir di dalam kita (self) sekaligus orang lain/mereka (others). Mekanisme batas (boundary mechanism) yang menyebabkan kelompok etnik tetap kurang-lebih distinktif atau diskret memiliki karakteristik formal yang sama di kota-kota metropolitan seperti Jakarta maupun di daerah pedalaman pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, dan perkembangan identitas etnik dapat dipelajari dengan peralatan konseptual yang sama di Indonesia maupun di negeri-negeri lain, meski pun konteks-konteks empirisnya berbeda-beda atau mungkin unik. Pada masa kini, kalangan antropologi sosial mengakui bahwa mungkin sebagian besar peneliti kini mempelajari sistem-sistem kompleks yang unbounded daripada komunitas-komunitas yang terisolasi. Kebangsaan atau nasionalisme adalah topik baru dalam antropologi. Kajian tentang nasionalisme ideologi negara-bangsa modernsejak lama adalah topic pembicaraan ilmu politik, sosiologi makro dan sejarah. Bangsa (nation) dan ideology kebangsaan adalah fenomena modern berskala besar. Meski pun kajian mengenai nasionalisme memunculkan masalah-masalah metodologi yang baru yang berkaitan dengan skala dan kesukaran mengisolasi satuan-satuan penelitian, masalah-masalah ini justru mengkait dengan topik-topik lain. Perubahan sosial telah terjadi di wilayah sentral kajian antropologi, yang mengintegrasikan jutaan orang ke dalam pasar dan negara. Perhatian antropologi terhadap nasionalisme justru menempuh jalur yang berbeda dari ilmu politik yang sejak awal menempatkan negara sebagai pusat kajian. Antropologi, sejalan dengan tradisi teorinya yang menempatkan evolusi sebagai premis dasar memposisikan negara sebagai bagian dari pembicaraan mengenai evolusi masyarakat dari sederhana ke kompleks (modern). Dalam hal ini Negara menjadi bagian
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

12

dari pembicaraan tentang proses masyarakat mengkota (urbanizing) sebagai akibat proses evolusi dari masyarakat sederhana (d/h masyarakat primitif). Dengan kata lain, negara adalah suatu institusi yang merupakan konsekuensi dari evolusi masyarakat tersebut, suatu pengorganisasian yang tumpang-tindih dengan institusi kekerabatan pada masyarakat sederhana pada masa lampau. (Cohen 1985). Secara metodologi, seperti halnya kita yang hidup pada masa kini, dan disini, informan penelitian antropologi adalah warga negara. Selanjutnya, masyarakat primitif mungkin tak terisolasi seperti pada masa lampau, sehingga kini tak lagi lebih asli atau lebih murni daripada masyarakat kita kini . Para antropolog sejak lama berupaya mengangkat kasus-kasus pada tingkatan mikro, sebagaimana tercermin dari masyarakat sederhana (d/h primitif) yang berskala kecil, populasi kecil, hidup di suatu lingkungan yang relatif terisolasi, dan memiliki kebudayaan yang relatif homogen, ke tingkatan abstraksi yang bersifat makro, sehingga mampu menjelaskan gejala yang sama di berbagai tempat di dunia. Meski demikian, upaya ini tidak mudah diwujudkan terlebih ketika antropolog masa kini semakin cenderung menyukai keanekaragaman dalam paradigma berfikir konstruktivisme yang kini berkembang, seolah paradigma relativisme kebudayaan yang berakar pada tradisi antropologi masa lampau memperoleh tempat baru pada masa kini (Saifuddin 2005) Dalam terminologi klasik antropologi sosial, konsep bangsa (nation) digunakan secara kurang akurat untuk menggambarkan kategori-kategori besar orang atau masyarakat dengan kebudayaan yang kurang lebih seragam. I.M. Lewis (1985: 287), misalnya, mengatakan bahwa :Istilah bangsa (nation), mengikuti arus pemikiran dominan dalam antropologi, adalah satuan kebudayaan. Selanjutnya Lewis memperjelas bahwa tidak perlu membedakan antara sukubangsa (tribes), kelompok etnik (ethnic groups), dan bangsa (nation) karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya. Apakah segmen-segmen yang lebih kecil ini berbeda secara signifikan? Jawabannya adalah bahwa segmen-segmen tersebut tidaklah berbeda; karena hanya merupakan satuan yang lebih kecil dari satuan yang lebih besar yang memiliki ciri yang sama. (Lewis 1985: 358). Dalam terminologi masa kini, ketika argumentasi homogenitas semakin sukar dipertahankan, maka pembedaan bangsa dan kategori etnik menjadi semakin penting karena keterkaitannya dengan negara modern. Lagi pula, suatu negara yang isinya adalah suatu kategori etnik semakin langka adanya. Dengan kata lain, suatu perspektif antropologi menjadi esensil bagi pemahaman secara menyeluruh mengenai nasionalisme.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

13

Suatu fokus yang bersifat analitis dan empiris mengenai nasionalisme dalam penelitian modernisasi dan perubahan sosial, menjadi penting dan sangat relevan dengan lapangan kajian yang lebih luas dari antropologi politik dan kajian mengenai identitas sosial. Barangkali penting merujuk pandangan Ernest Gellner (1983) tentang nasionalisme: Nasionalisme adalah prinsip politik, yang berarti bahwa satuan nasion harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai gerakan, paling tepat didefinisikan dalam konteks prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah rasa marah yang timbul akibat pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentiment semacam ini (hal. 1). Pandangan Gellner tentang nasionalisme ini lebih pas untuk konteks negarabangsa (nation state). Hal ini tercermin dari konsep satuan nasion yang terkandung dalam kutipan di atas. Nampaknya Gellner masih memandang satuan nasion sama dengan kelompok etnik atau setidak-tidaknya suatu kelompok etnik yang diklaim keberadaannya oleh para nasionalis : Ringkas kata, nasionalisme adalah suatu teori legitimasi politik, yakni bahwa batas-batas etnik tidak harus berpotongan dengan batasbatas politik (Gellner 1983: 1). Dengan kata lain, nasionalisme, menurut pandangan Gellner, merujuk kepada keterkaitan antara etnisitas dan negara. Nasionalisme, menurut pandangan ini, adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga kelompok etnik ini mendominasi suatu negara. Negara-bangsa dengan sendirinya adalah negara yang didominasi oleh suatu kelompok etnik, yang penanda identitasnya seperti bahasa atau agamakerapkali terkandung dalam simbolisme resmi dan institusi perundang-undangannya. Tokoh lain yang dikenal dengan gagasan teoretisnya tentang nasionalisme, khususnya Indonesia, adalah Benedict Anderson (1991[1983]: 6) yang mendefinisikan nasion sebagai an imagined political community dan dibayangkan baik terbatas secara inheren maupun berdaulat. Kata imagined di sini lebih berarti orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai anggota suatu nasion, meski mereka tak pernah mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar tentang warga negara yang lain, namun dalam fikiran mereka hidup suatu citra (image) mengenai kesatuan komunion bersama (hal. 6). Jadi, berbeda dari pendapat Gellner yang lebih memusatkan perhatian pada aspek politik dari nasionalisme, Anderson lebih suka memahami kekuatan dan persistensi identitas dan sentimen nasional. Fakta bahwa banyak orang yang rela mati membela bangsa menunjukkan adanya kekuatan yang luar biasa itu.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

14

Meski Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang berbeda, prinsip politik dan sentimen identitas, keduanya sesungguhnya saling mendukung. Keduanya menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi ideologi demi untuk menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan (sebagaimana didefinisikan warga masyarakat yang bersangkutan) dan negara, dan bahwa mereka menciptakan komunitas abstrak (abstract communities) dari keteraturan yang berbeda dari Negara dinasti atau komunitas berbasis kekerabatan yang menjadi sasaran perhatian antropologi masa lampau. Anderson sendiri berupaya memberikan penjelasan terhadap apa yang disebut anomali nasionalisme. Menurut pandangan Marxis dan teori-teori sosial liberal tentang modernisasi, nasionalisme seharusnya tidak lagi relevan di dunia individualis pasca Pencerahan, karena nasionalisme itu berbau kesetiaan primodial dan solidaritas yang berbasis asal-usul dan kebudayaan yang sama. Maka, kalau kita kini menyaksikan goyahnya nasionalisme di Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu social di Indonesia, dan menjadi bagian dari cara ilmu-ilmu sosial memikirkan negarabangsa dan nasionalisme kita sendiri. Kajian antropologi mengenai batas-batas etnik dan proses identitas mungkin dapat membantu memecahkan problematika Anderson. Penelitian tentang pembentukan identitas etnik dan dipertahankannya identitas etnik cenderung menjadi paling penting dalam situasi-situasi tak menentu, perubahan, persaingan memperoleh sumberdaya, dan ancaman terhadap batas-batas tersebut. Maka tak mengherankan bahwa gerakan-gerakan politik yang berdasarkan identitas kebudayaan kuat dalam masyarakat yang tengah mengalami modernisasi, meski pun hal ini tidaklah berarti bahwa gerakan-gerakan tersebut menjadi gerakan-gerakan nasionalis. Titik temu antara teori-teori nasionalisme dan etnisitas perlu disinggung di sini. Menurut hemat saya, baik Gellner maupun Anderson tidak berupaya menemukan titik temu tersebut; kedua pandangan teori mereka dikembangkan sendiri-sendiri. Baik kajian etnisitas di tingkat komunitas lokal maupun kajian nasionalisme di tingkat negara menegaskan bahwa identitas etnik maupun nasional adalah konstruksi. Berarti kedua identitas tersebut bukan alamiah. Selanjutnya, jalinan hubungan antara identitas khusus dan kebudayaan bukanlah hubungan satu per satu. Asumsi-asumsi titik temu yang tersebar luas antara etnisitas dan kebudayaan obyektif adalah kasus yang terpancarkan dari konstruksi kebudayaan itu sendiri. Berbicara tentang kebudayaan dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

15

kebudayaan dapat dibedakan ibarat kita berbicara tentang perbedaan antara menu dan makanan. Keduanya adalah fakta sosial dengan keteraturan yang berbeda. Tatkala kita menyoroti nasionalisme, jalinan hubungan antara organisasi etnik dan identitas etnik sebagaimana didiskusikan sebelumnya menjadi lebih jelas. Menurut nasionalisme, organisasi politik seharusnya bersifat etnik karena organisasi ini merepresentasikan kepentingan-kepentingan kelompok etnik tertentu. Sebaliknya, negara-bangsa mengandung aspek penting dari legitimasi politik yakni dukungan massa yang sebenarnya merepresentasikan sebagai suatu satuan kebudayaan. Di dalam antropologi dapat kita temukan juga teori-teori tentang simbolsimbol ritual yang dalam konteks pembicaraan ini juga menggambarkan dualitas antara makna dan politik, yang umum kita temukan baik dalam kajian etnisitas maupun kajian nasionalisme. Menyitir Victor Turner (1969 : 108) :simbol-simbol itu multivokal karena memiliki kutub instrumental dan sensoris (makna). Itulah sebabnya, pendapat Turner ini relevan dengan apa yang dikemukakan Anderson (1991) bahwa nasionalisme memperoleh kekuatannya dari kombinasi legitimasi politik dan kekuatan emosional. Sejalan dengan hal di atas, seorang ahli antropologi lain, Abner Cohen (1974) mengemukakan bahwa politik tidak dapat sepenuhnya instrumental, melainkan harus selalu melibatkan simbol-simbol yang mengandung kekuatan untuk menciptakan loyalitas dan rasa memiliki. Para antropolog yang mengkaji nasionalisme umumnya memandang isyu ini sebagai varian dari etnisitas. Tentu saja dapat muncul pertanyaan bahwa kalau nasionalisme dibicarakan dalam atau sebagai bagian dari etnisitas, dan nasionalisme yang berbasis etnisitas itu imaginable kalau kita mengikuti pandangan Anderson maka bagaimana dengan nasionalisme yang dibangun tidak berdasarkan etnik ? Apakah untuk kasus ini juga imaginable ? Para pengkaji nasionalisme menekankan aspek-aspek modern dan abstrak. Perspektif antropologis khususnya penting di sini karena para antropolog lebih suka mengetengahkan karakter nasionalsme dan negara-bangsa yang khusus dan unik melalui pembandingan-pembandingan dengan, atau pemikiran yang berakar pada masyarakat yang berskala kecil. Dalam perspektif ini, bangsa (nation) dan ideology nasionalis setidak-tidaknya nampak sebagai peralatan simbolik bagi kelas-kelas yang berkuasa dalam masyarakat, yang tanpa peralatan simbolik itu bangsa rentan terancam perpecahan. Sebagian ahli berpendapat bahwa nasionalisme dan komunitas nasional dapat memiliki akar yang kuat dalam komunitas etnik sebelumnya atau ethnies (A.D.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

16

Smith 1986), tetapi niscaya kurang tepat untuk mengklaim bahwa kesinambungan masyarakat komunitas pra-modern atau kebudayaan etnik menjadi nasional terjaga dengan baik. Contoh Norwegia menunjukkan bahwa tradisi dan simbol-simbol nasional lainnya memiliki makna yang sangat berbeda dalam konteks modern dibandingkan makna pada masa lampau (A.D.Smith 1986). Seperti telah dikemukakan di atas, konsep negara dalam antropologi adalah perluasan dari konsep-konsep sukubangsa, kelompok etnik, etnisitas, yang pada setiap konsep tersebut konsep nasionalisme menyelimuti sekaligus memberikan roh. Dalam konteks ini negara merupakan suatu bentuk pengorganisasian warga masyarakat yang secara intrinsik berasal dari sukubangsa atau kelompok etnik tersebut. Konsep negarabangsa (nation-state), misalnya, jelas sekali menunjukkan orientasi pemikiran antropologi ini. Dipandang dari perspektif ini, nasionalisme yang sukses ditentukan oleh keterjalinan ideologi etnik dengan aparatus negara. Negara-bangsa, seperti halnya banyak sistem politik lain, memandang pentingnya ideologi bahwa batas-batas politik harus saling mendukung dengan batas-batas kebudayaan. Selanjutnya, negarabangsaa memiliki monopoli atas keabsahan untuk memungut pajak, dan bahwa tindakan kekerasan terhadap warga yang dianggap menyimpang dari kehendak negara. Monopoli ini adalah sumber kekuasaan yang paling penting. Negara bangsa memiliki administrasi birokrasi dan undang-undang tertulis yang meliputi semua warga negara, dan memiliki sistem pendidikan yang seragam di seluruh negeri, dan pasar tenaga kerja yang sama bagi semua warga negara. Hampir semua Negara bangsa di dunia memiliki bahasa nasional yang digunakan untuk komunikasi resmi. Suatu ciri yang khas dari negara bangsa adalah konsentrasi kekuasaan yang luarbiasa. Cukup jelas bahwa Indonesia adalah salah satu contoh negara-bangsa. Dari pembicaraan kita tentang perspektif antropologi mengenai nasionalisme dan negara di atas, dapatlah dikemukakan bahwa negara-bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan-tantangan besar, yang apabila kita tak berhasil menghadapi dan menaklukkan tantangan tersebut, dapat diprediksi bahwa negara kesatuan Republik Indonesia ini akan berakhir. Akan tetapi kalau kita memiliki kesepakatan dan komitemen bahwa negara kesatuan ini adalah final, maka kita perlu memperhatikan secara seksama tantangantantangan yang kita hadapi, dan tugas-tugas yang harus kita laksanakan untuk menghadapinya. Banyak orang berpendapat bahwa multikulturalisme merupakan alternatif yang paling tepat untuk membangun kembali integrasi bangsa tersebut, meski
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

17

belum ditemukan model multikulturalisme seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia. Pendapat tersebut benar, karena pendekatan proses dalam multikulturalisme lebih relevan untuk menjawab isyu kebangsaan dan integrasi nasional yang kini dituntut mampu menjawab tantangan perubahan. Buku Sdr Mashudi Noorsalim (ed.) yang kini sedang kita bahas menurut hemat saya mengandung empat persoalan besar (penulis menyebutnya dilematis) berkaitan dengan isyu hak-hak minoritas dalam kaitannya dengan multikulturalisme dan dilema negara bangsa. 1. Fakta keanekaragaman sukubangsa, ras, agama, dan golongan sosialekonomi, semakin diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang kepulauan, penduduk yang tinggal terpisah-pisah satu sama lain, mendorong potensi disintegrasi meningkat. 2. Prenis antropologi bahwa nasionalisme dan negara seyogyanya dibicarakan mulai dari akarnya, yakni mulai dari konsep-konsep sukubangsa, kelompok etnik, dan etnisitas, jelas menunjukkan bahwa apabila semangat nasionalisme luntur karena berbagai sebab, maka yang tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang menguat. Dengan kata lain, meningkatnya semangat primordial ( antara lain kesukubangsaan) di tanah air akhir-akhir adalah indikasi melunturnya nasionalisme. 3. Hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta pengaturan keanekaragaman yang ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada kebijakan kebudayaan seragam dan sentralistis maka fakta pluralisme, diferensiasi, dan hirarki masyarakat dan kebudayaan akan meningkat. Dalam kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan karena tertutup oleh kebijakan negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis. Namun, apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau multikuluralistis maka hak-hak minoritas akan semakin dihargai. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa upaya membangun bangsa yang multikultural itu berhadapan dengan tantangan berat, yaitu fakta keenekaragaman yang luas dalam konteks geografi, populasi, sukubangsa, agama, dan lainnya. Oleh karena itu membangun negara-bangsa yang multicultural nampaknya harus dibarengi oleh politik pengaturan dan sentiment kebangsaan yang kuat. 4. Perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi seperti politik penyeragaman nasional dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya adalah hal yang lumrah dalam politik pemeliharaan Negara bangsa. Namun, mekanisme pengaturan nasional ini terganggu ketika seleksi global pernyataan saya ini dipengaruhi oleh prinsip alamiah proses seleksi alam dalam evolusionisme tidak lagi menghendaki (not
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

18

favour) bentuk negara-bangsa sebagai bentuk pengaturan nasional pada abad yang baru ini. Kondisi negeri kita yang serba lemah di berbagai sektor mempermudah kita menjadi rentan untuk tidak lagi dikehendaki dalam proses seleksi global.

3. PLURALISME DAN DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

A. History Pluralisme agama merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari adanya dan setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural. Jika pluralisme agama tersebut tidak disikapi secara tepat maka akan menimbulkan problem dan konflik antar umat beragama, dan kenyataan ini telah terjadi pada agama-agama monotheis. Untuk mencari solusi konflik antar umat beragama perlu adanya pendekatan-pendekatan yang tepat. Bagaimanakah pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam upaya melerai konflik antarumat beragama? Tulisan ini hendak mengungkap problem pluralisme agama dan dialog antar umat beragama beberapa pendekatan yang ditawarkan oleh para ahli. Pendekatan yang digunakan dalam melerai konflik antar umat beragama sebagaimana yang ditawarkan John Hick adalah pendekatan lintas agama (cross cultural), multikultural oleh Brian Fay, esoterisme oleh Schuon dan Hossein Nasr dengan philosophia perennis-nya. Secara historis, pada masa kolonial, masyarakat Muslim di kepulauan Nusantara merasa terancam dengan kebijakan politik kolonial yang memberi perlindungan terhadap kegiatan penyebaran agama Kristen. Akibatntya, hingga masa awal pasca kemerdekaan, kecurigaan Muslim terhadap Kristen dan Katolik dengan mudah terbentuk Namun demikian, keputusan para pendiri Republik Indonesia, yang sebagian besar juga terdiri dari para pemuka agama Islam, untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dapat ditunjuk sebagai upaya sungguh-sungguh dalam mencari sistem kenegaraan yang menjamin kerukunan dan pluralisme keagamaan.1 Menurut Abu Rabi, meski Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi, aspirasi politik-keagamaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

19

yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan moderasi. Dan ini merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana keagamaan pasca-modern. Menurut Sudarto, pada masa kolonial, ketegangan dalam hubungan umat Islam dan umat Kristen lebih dipicu oleh kegiatan penginjilan (misionaris) yang mendapat bantuan besar dari pemerintahan penjajah Belanda, baik bantuan politik maupun finansial. Sementara pada masa Orde lama ketegangan antar dua komunitas umat beragama itu mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil Pemilu 1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan tujuh kata yang bernuansa islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam, yang pada akhirnya dihapuskan. Berangkat dari perkembangan situasi umat beragama yang tidak menguntungkan, maka pada 30 November 1967 diadakan dialog dari atas yang dipelopori oleh Pemerintah melalui Menteri Agama, KH. Muhammad Dahlan. Tetapi dialog yang melahirkan wadah Musyawarah Antar Agama itu belum dianggap berhasil menyelesaikan konflik antar agama. Sampai pada periode berikutnya dialog itu menemukan kembali momentum barunya pada masa Mukti Ali menjadi Menteri Agama yang mencoba merumuskan dialog dengan berpijak pada iktikad baik dan sikap saling percaya dari masing-masing komuitas agama. Dan karena itu, Mukti Ali menghidupkan kembali wadah Musyawarah Antar agama dengan melibatkan lebih banyak tokoh dan pemimpin agama. Sebenarnya sejak awal Orde Baru hingga sekarang, baik atas prakarsa pemerintah maupun masyarakat beragama itu sendiri, dialog antar umat beragama telah dibangun, bahkan menjadi agenda nasional demi terciptanya stabilitas keamanan serta lancarnya pembangunan , meskipun kemudian ada pihak yang menilai tidak berhasil, karena tidak adanya kesepakatan bersama berkenaan dengan prinsip-prinsip penyebaran agama. Bahkan masa antara tahun 1972-1977 tercatat pemerintah telah menyelenggarakan dialog yang berlangsung di 21 kota. Pada dekade tahun 1980-an hingga saat ini prakarsa dialog dalam mewujudkan kerukunan antarumat beragama dan sosialisasi pemahaman pluralisme ini pun terus dilakukan, baik oleh para tokoh agama, intelektual muda maupun pemerintah sendiri, misalnya dialog yang diselenggarakan oleh International Conference on Religion and Peace (ICRP) yang diprakarsai oleh Johan Efendi dan kawan-kawan, dialog
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

20

kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog antar delegasi berbagai organisasi agama yang melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI) dan seterusnya; dialog berwacana transformatif yang sering dilakukan oleh kalangan intelektual atau LSM seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA dan lain-lain. Tapi kenyataannya sampai sekarang, ketegangan dan kerusuhan yang disebabkan oleh sentimen keagamaan (Islam-Kristen) di beberapa daerah, seperti di Situbondo, Tasikmalaya, Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku dan seterusnya yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, dan gereja semakin bertambah parah kondisinya. Padahal upaya Pemerintah RI. dalam menyelesaikan masalah konflik di Poso, yang melahirkan wadah yang bernama Perundingan Malino I dan ditindaklanjuti dengan Perundingan Malino II untuk penyelesaikan konflik Maluku terus digalang. Dengan perundingan Malino II ini diharapkan menghasilkan kemanfaatan yang berarti bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia. Tetapi upaya inipun, sebagaimana yang kita saksikan bersama, belum juga mampu mengatasi dan mencegah timbulnya kembali konflik antar umat beragama. Fenomena di atas menunjukkan kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). Seperti telah diketahui, bahwa dalam rangka membina dan memlihara kerukunan antar umat beragama di Indonesia, pemerintah telah mencarikan jalan keluar melalui pelbagai cara dan upaya, antara lain dengan menyelenggarakan dialog antartokoh agama; memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah satu pranata agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program pemerintah tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan pengaruh besar di tengah-tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai beberapa kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain sebagainya. Tokoh agama juga merupakan pemimpin informal dalam masyarakatnya, dan secara umum mereka tidak diangkat oleh pemerintah tetapi ditunjuk atas kehendak dan persetujuan dari masyarakat setempat. Penelitian tentang hubungan antarumat beragama di Indonesia telah banyak dilakukan, misalnya yang dilakukan oleh Qowaid di Kalimantan Selatan. Penelitian ini
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

21

bersifat deskriptif-evaluatif, yang berusaha menggambarkan pelaksanaan program dialog antar umat beragama. Tujuan akhir dari pendekatan penelitian ini adalah, mengetahui keberhasilan dan ketidakberhasilan dari pelaksanaan kegiatan program dialog dimaksud. Data yang dihimpun meliputi: kelemahan dan kelebihan kegiatan serta faktor penyebabnya. Sumber datanya mencakup tokoh agama dan tokoh masyarakat baik yang pernah terlibat dialog maupun yang belum, pelaksana dialog dan pejabat pemerintah setempat. Secara umum kegiatan dialog berjalan dengan baik, walaupun dijumpai beberapa kelemahan atau kekurangan di pelbagai tahapan dan aspek. Diantara kelemahannya adalah, masalah persiapan pelaksanaan dialog oleh panitia yang masih kurang, kurangnya wawasan nara sumber mengenai agama lain, minimnya waktu

penyelenggaraan, kurangnya fasilitas, kegiatan dan metode yang kurang variatif (menjenuhkan), termasuk kuranya materi buku/ referensi yang aktual. Secara umum kekurangan atau kelemahan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, antara lain: problem SDM yang masih relatif rendah, biaya dan fasilitas yang masih minim. Keberhasilan dialog ini antara lain: mereka bisa saling mengenal, lebih mengetahui berbagai problem yang dihadapi, bersedia saling mendengarkan dan saling introspeksi, tenggang rasa (toleran) dan seterusnya. Penelitian tentang potret dialog antaragama di Jawa Timur yang dilakukan oleh Siti Zulaikha7 bertujuan mengetahui seberapa jauh gagasan dialog antarumat beragama di Jawa Timur mampu mengatasi konflik sosial berbau SARA di lokal masingmasing kota di Jawa Timur. Materi penelitian meliputi: 1) cara pandang aktvis dialog antar agama terhadap agama; 2) membongkar cara pandang para aktivis dialog antar agama terhadap sumber-sumber konflik agama yang berkembang di masyarakat; 3) menggali sebanyak mungkin model dialog antar uamt beragama yang dikembangkan; 4) mengukur sejauhmana implikasi yang muncul sebagai akibat dari gerakan yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Ismatu Ropi mengenai kesenjangan hubungan Kristen-Islam di Indonesia berusaha mengetahui sikap Muslim terhadap Kristen di Indonesia modern. Penelitian ini juga ingin melihat hubungan Muslim-Kristen di Indonesia. Penelitian M. Yahya terkait dengan pemahaman masyarakat awam (MuslimKristen) terhadap agama mereka di Kabupaten Malang mengungkap respon masyarakat awam (Muslim dan Kristen) terhadap dialog antar umat beragama yang sudah berlangsung selama ini.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

22

Penelitian tentang peran tokoh agama dalam mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama juga dilakukan oleh Abdul Ghaffar Mahfuz di Pangkal Pinang. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sosial antar tokoh agama dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama di kecamatan Bukit Intan Kotamadya Pangkal Pinang. Disamping itu penelitian ini juga mengidentifikasi faktor-faktor yang turut mempengaruhi pola hubungan yang diciptakan oleh para tokoh agama tersebut, baik faktor personalnya maupun faktor sosialnya; bentuk-bentuk pranata sosial keagamaan yang dikembangkan oleh para tokoh agama. Undang-undang Dasar memberikan kebebasan dalam beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pemakaian hak ini. Tidak ada perubahan dalam status penghargaan pemerintah terhadap kebebasan beragama selama periode pembuatan laporan, dan kebijakan pemerintah kian memberikan kebebasan secara umum dalam beragama. Namun, saat sebagian besar penduduk menikmati tingkat kebebasan beragama yang tinggi, pemerintah hanya mengakui enam agama besar. Beberapa larangan hukum terus berlaku pada beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui. Beberapa larangan Pemerintah terkadang memberikan toleransi terhadap diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok individu dan seringkali gagal menghukum para pelakunya. Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya propinsi yang diberikan wewenang untuk melaksanakan hukum Islam (Syariah), beberapa pemerintah daerah di luar Aceh mengeluarkan peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah yang menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama minoritas. Pemerintah tidak menggunakan wewenang konstitusionalnya atas masalah-masalah agama untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan daerah ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok agama minoritas dan atheis terus mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam konteks pencatatan sipil untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan dengan pengeluaran kartu identitas. Publik pada umumnya menghargai kebebasan beragama; namun, kelompokkelompok ekstrim menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam memaksa delapan gereja kecil yang tidak memiliki ijin dan satu masjid Ahmadiyah untuk ditutup. Selain itu beberapa gereja dan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah yang ditutup secara paksa oleh massa pada tahun-tahun sebelumnya tetap ditutup. Beberapa pejabat pemerintah dan organisasi massa Islam terus menolak penafsiran Ahmadiyah terhadap Islam yang menimbulkan diskriminasi terhadap para pengikutnya. Banyak pelaku kekerasan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

23

terhadap pemeluk agama minoritas di masa lalu yang tidak diadili. Begitu pula pada kejadian dimana kelompok ekstrimis yang menyerang dan mencoba meneror anggota kelompok-kelompok agama lain yang terjadi di propinsi tertentu selama periode pelaporan. Pemerintah AS membahas masalah kebebasan beragama dengan Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari seluruh kebijakannya untuk menegakkan hak asasi manusia. Kedutaan Besar AS menegakkan kebebasan dan toleransi beragama melalui program pertukaran dan pengembangan masyarakat madani.

B. Demografi Agama Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau, Indonesia memiliki luas wilayah 700.000 juta mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta. Menurut laporan sensus tahun 2000, 88,2 persen penduduk menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam, 5,9 persen Kristen Protestan, 3,1 persen Katolik Roma, 1,8 persen Hindu, 0,8 persen Budha, dan 0,2 persen lain-lain, termasuk agama pribumi, kelompok Kristen lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota kelompok agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam menghitung jumlah nonmuslim. Pemerintah tidak mengakui atheisme. Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Orang Syiah memperkirakan bahwa terdapat sekitar satu hingga tiga juta pengikut Syiah. Mayoritas komunitas Muslim di negara ini mengikuti dua aliran utama: kaum modernis, yang sangat taat kepada teologi ortodok yang tekstual, seraya merangkul ajaran dan konsep-konsep moderen; dan kaum tradisionalis yang kerap kali mengikuti kyai kharismatik dan berorganisasi di pesantren-pesantren. Organisasi sosial modernis terkemuka,

Muhammadiyah, mengklaim memiliki 30 juta pengikut, sementara organisasi sosial tradisionalis terbesar, Nahdlatul Ulama, mengklaim mempunyai 40 juta pengikut. Organisasi-organisasi Islam yang lebih kecil meliputi Jaringan Islam Liberal, yang memiliki penafsiran ajaran sendiri, hingga kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang mendukung kekhalifahan Islam, dan Majelis Mujahidin, yang menyerukan penerapan Syariah Islam sebagai syarat terbentuknya negara Islam. Minoritas kecil memeluk interpretasi Ahmadiyah terhadap Islam dan terdapat 242 cabang Ahmadiyah. Terdapat pula kelompok Islam sempalan, termasuk Darul Arqam, Jamaah Salamullah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

24

Departemen Agama memperkirakan bahwa ada 19 juta pemeluk Protestan (yang disebut sebagai Kristen di negara ini) dan 8 juta pemeluk Katolik tinggal di negara ini. Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik tertinggi dengan 55 persen. Sementara itu, propinsi Papua memiliki proporsi penganut Kristen Protestan terbesar, yaitu 58 persen. Departemen Agama juga memperkirakan terdapat 10 juta pemeluk agama Hindu yang hidup di negara ini. Agama Hindu dianut hampir 90 persen dari jumlah penduduk Bali. Penganut Hindu minoriotas (yang disebut Keharingan) tinggal di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, serta di Lombok (Nusa Tenggara Barat). Kelompok-kelompok Hindu seperti Hare Krishna dan para pengikut pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Beberapa agama pribumi, termasuk Naurus di Pulau Seram di propinsi Maluku yang berkaitan dengan kepercayaan Hindu dan animisme dalam kebiasaan hidupnya. Banyak pula yang mengadopsi beberapa prinsip Kristen Protestan. Komunitas Tamil di Medan juga mewakili sekelompok penting pemeluk agama Hindu. Negara ini memiliki sedikit pengikut Sikh yang berjumlah sekitar 10 hingga 15 ribu orang. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Medan dan Jakarta. Delapan kuil Sikh (gurdwara) terletak di Sumatera Utara sementara di Jakarta terdapat dua kuil dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah. Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi Muda Budhhis Indonesia, sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau, etnis China merupakan 60 persen dari penganut agama Budha. Jumlah pengikut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus nasional tahun 2000, para responden tidak diijinkan untuk menunjukkan identitas mereka. Jumlah mereka mungkin terus bertambah setelah pemerintah menghapuskan berbagai larangan di tahun 2000 seperti hak untuk merayakan Tahun Baru China di muka umum. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen dari pengikut Konghucu adalah etnis China dan sisanya dari etnis Jawa pribumi. Banyak pengikut Konghucu yang juga menjalankan ajaran agama Budha dan Kristen.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

25

MATAKIN mendesak pemerintah untuk memasukkan Konghucu sebagai salah satu kategori pada sensus berikutnya. Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua diperkirakan mempraktekkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional lainnya yang disebut sebagai Aliran Kepercayaan. Beberapa penganut animisme menggabungkan

kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang diakui Pemerintah. Sejumlah kecil komunitas Yahudi terdapat di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Bahai melaporkan bahwa mereka memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan. Perwakilan Falun Dafa mengklaim bahwa kelompok mereka lebih sebagai organisasi spiritual daripada agama, memiliki 2.000 sampai 3.000 pengikut dan hampir setengahnya tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan. Tidak ada data mengenai agama yang dianut warga asing dan para imigran. Sekitar 191 misionaris asing, terutama dari agama Kristen, menjalankan misi di negara ini. Banyak yang bekerja di Papua, Kalimantan, dan di wilayah-wilayah lain dengan jumlah penganut animisme besar.

C. Kerangka Hukum/Kebijakan Undang-undang Dasar memberikan kebebasan beragama, dan pemerintah pada umumnya menghargai pelaksanaan hak ini. UUD menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dan menyatakan pula bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ideologi nasional negara ini, Pancasila, menyatakan keyakinan kepada satu Tuhan. Namun, terdapat beberapa larangan pada jenis-jenis kegiatan agama tertentu dan pada agama-agama yang tidak diakui. Pegawai negeri sipil harus menyatakan sumpah setia kepada bangsa dan ideologi Pancasila. Pemerintah terkadang memberikan toleransi kepada kelompokkelompok ekstrim yang menggunakan kekerasan dan intimidasi terhadap kelompokkelompok agama, dan seringkali gagal menghukum para pelakunya. Pemerintah tidak menggunakan wewenangnya untuk meninjau atau mencabut perturan daerah yang melanggar kebebasan beragama. Departemen Agama menambah status resmi menjadi enam keyakinan; Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan sejak Januari 2006, Konghucu. Atheisme tidak diakui. Organisasi-organisasi keagamaan selain dari keenam agama yang diakui tersebut dapat mendaftar ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi sosial yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Kelompok-kelompok
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

26

keagamaan yang tidak terdaftar tidak memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadah dan mengalami kesulitan-kesulitan administratif dalam mendapatkan kartu identitas dan dalam mendaftarkan pernikahan dan kelahiran. Pemerintah mensyaratkan kelompok-kelompok keagamaan yang diakui secara resmi untuk mematuhi instruksi Departemen Agama dan departemen lainnya seperti Surat Keputusan Bersama Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat (2006), Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman Penyiaran Agama (1978). Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang Administrasi Kependudukan yang mengharuskan warganegara mengidentifikasikan diri mereka pada KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah. Undangundang tersebut melegalisir apa yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di seluruh negeri. Undang-undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain dalam KTP tersebut. Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi tahun 2006 mengenai Pendirian Rumah Ibadat yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 2006 mengharuskan kelompok agama yang hendak mendirikan rumah ibadat untuk mengumpulkan paling sedikit 90 tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan dari pemeluk agama lain yagn berada dalam komunitasnya yang mendukung pendirian rumah ibadat, serta mendapatkan persetujuan kantor urusan agama setempat. Beberapa kelompok agama mengeluhkan bahwa surat keputusan yang direvisi tersebut mempersulit mereka dalam mendirikan rumah ibadat, sementara yang lain berpendapat bahwa kejelasan dalam surat keputusan yang direvisi tersebut akan memperbaiki keadaan dengan menghilangkan penafsiranpenafsiran yang menimbulkan konfik dari surat keputusan tahun 1969 yang digantikannya. Pedoman untuk Batuan Asing bagi Lembaga Keagamaan mengharuskan

lembaga keagamaan dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan dari Departemen Agama sebelum menerima dana dari donor asing. Pedoman Penyiaran Agama melarang ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi. Undang-undang Perlindungan Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah keyakinan anak pindah agama melalui tipu muslihat dan/atau kebohongan sebagai kejahatan yang dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara. Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan penghinaan terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara. Walaupun hukum
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

27

diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi, namun pasal ini biasanya berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Masalah penerapan Syariah Islam menimbulkan kontroversi dan keprihatinan selama periode pelaporan. Aceh tetap merupakan satu-satunya propinsi dimana pemerintah pusat secara khusus memberikan wewenang untuk penerapan Syariah Islam. Keputusan Presiden No. 11/2003 secara formal mengesahkan Pengadilan Syariah di Aceh. Namun, beberapa pemerintahan daerah secara resmi memberlakuan peraturan daerah yang diilhami oleh syariah Islam. Menurut Koalisi Perempuan Indonesia, paling sedikit ada 46 peraturan daerah berbasis syariah yang telah dikeluarkan pemerintah daerah. Ini mencakup peraturan yang mewajibkan perempuan untuk mengenakan penutup kepala di muka umum; memerintahkan para pejabat terpilih, pelajar, pegawai negeri, dan penduduk yang ingin mendapatkan ijin nikah untuk dapat membaca Quran dalam bahasa Arab; dan melarang meminum minuman beralkohol dan berjudi. Selama periode pelaporan, pemerintah tidak menggunakan hak hukumnya dalam masalah-masalah keagamaan untuk meninjau atau membatalkan peraturan-peraturan kontroversial ini yang bertentangan dengan UUD. Misalnya, menurut seorang pejabat senior pemda, 18 dari 22 kabupaten di Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek hukum syariah Islam. Penerapannya berkisar antara pelaksanaan cara berbusana Islami bagi perempuan di muka umum hingga larangan minuman beralkohol dan perjudian. Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan memiliki empat peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah untuk semua Muslim. Kabupaten Bulukumba dan Bone telah melaksanakan elemen-elemen khusus dimana kepala desa, calon kepala daerah, pelajar sekolah menengah, dan mereka yang ingin mendapatkan ijin nikah harus dapat membaca Quran dalam literatur Arab. Di Padang, Sumatera Barat, walikota menginstruksikan semua muslimah untuk mengenakan penutup kepala dan pihak berwenang setempat memberlakukan persyaratan ini. Peraturan tersebut tidak berlaku bagi non-muslim. Beberapa kabupaten telah mengeluarkan peraturan yang menghalangi perempuan mendapatkan layanan umum pemerintah jika mereka tidak mengenakan penutup kepala. Beberapa tempat lain memiliki peraturan daerah yang serupa dengan Kabupaten Bulukumba. Peraturan daerah di Kabupaten Pamekasan, Madura mengharuskan para pegawai negeri sipil yang beragama Islam mengenakan busana Muslim dan menghentikan baik aktivitas publik maupun pekerjaan saat azan tiba.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

28

Di Tangerang, propinsi Banten, larangan bermesraan di muka umum, minuman beralkohol, dan prostitusi terus diberlakukan. Larangan-larangan ini berlaku bagi Muslim maupun nonmuslim. Pasal anti-prostitusi yang kontroversial secara tidak jelas mendefinisikan seorang pelacur sebagai orang yang menimbulkan kecurigaan berdasarkan sikap, perilaku, atau pakaian dan membebankan mereka yang dicurigai untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Kelompok advokasi menantang konstitusionalitas peraturan Tangerang, tetapi pada bulan Maret 2007, Mahkamah Agung menguatkan larangan tersebut. Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama di Nusa Tenggara Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 kelompok keagamaan, termasuk Ahmadiyah, Saksi Yehova, Hare Krishna, dan 9 bentuk aliran kepercayaan sebagai penyimpangan terhadap Islam, Kristen, dan Hindu. Larangan ini masih berlaku. Selama periode pelaporan, panitia khusus DPR terus melakukan peninjauan terhadap versi revisi racangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Undangundang ini pada awalnya diperkenalkan pada tahun 2004 sebagai Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dan melarang sikap mempertunjukkan bagian tubuh yang sensual, berciuman di muka umum, dan semua tulisan, karya seni, rekaman, atau siaransiaran yang dengan jelas menampilkan seksualitas, dimana semuanya didefinisikan secara luas. Rancangan undang-undang tersebut mengundang debat nasional dan menimbulkan demonstrasi-demonstrasi besar baik yang mendukung maupun yang menentang. Para penentang undang-undang tersebut mengatakan undang-undang ini sebagai suatu usaha para pendukung undang-undang syariah untuk melaksanakan ayariah secara tidak langsung. Pada bulan Februari 2006, anggota legislatif Indonesia diberitakan telah merevisi RUU tersebut dengan mempertimbangkan tradisi-tradisi budaya dan sensitivitas masyarakat setempat serta merubah nama undang-undang tersebut menjadi Undang-undang Pornografi. Undang-undang Perkawinan tahun 1974 melarang pegawai negeri melakukan poligami kecuali dalam keadaan-keadaan terbatas. Undang-undang perkawinan untuk umat Islam diambil dari syariah yang mengijinkan seorang pria memiliki hingga empat orang istri, dengan syarat ia mampu bersikap adil. Seorang pria yang menikahi istri kedua, ketiga atau keempatnya harus mendapatkan ijin pengadilan dan ijin dari istri pertamanya; namun, pada prakteknya hal ini selalu tidak dipenuhi. Banyak perempuan yang dilaporkan sulit untuk menolak, dan kelompok perempuan muslim tetap terbagi dua antara yang mendukung perlunya sistem ini direvisi dengan yang tidak mendukung.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

29

Perceraian tetaplah merupakan pilihan hukum yang tersedia bagi pengikut semua agama, tetapi Muslim yang ingin bercerai umumnya harus melalui Pengadilan Agama Islam, sementara nonmuslim dapat bercerai melalui pengadilan umum. Pada kasus-kasus perceraian, terbukti bahwa perempuan seringkali menanggung beban yang lebih berat dibandingkan pria, khususnya dalam sistem pengadilan agama berdasarkan hukum Islam. Undang-undang mengharuskan mantan suami untuk memberikan tunjangan atau yang setara, tetapi tidak terdapat mekanisme pelaksanaannya dan perempuan yang diceraikan jarang menerimanya. Pada bulan Desember 2006, seorang ulama Muslim terkemuka, Aa Gymnastiar, mengumumkan bahwa ia telah menikahi istri keduanya. Pernikahan kedua Gymnastiar menjadi masalah nasional ketika buntut dari pemberitaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan para pejabat dari Departemen Agama untuk membahas kontroversi atas pernikahan poligami. Sejak itu Departemen Pemberdayaan Perempuan mengumumkan bahwa Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memperluas larangan berpoligami hingga mencakup semua pejabat negara, termasuk anggota parlemen dan para prajurit. Usulan tersebut menerima dukungan antusias dari Muslim yang berpikir maju dan dari banyak kalangan perempuan, tetapi menadapatkan tentangan keras dari para konservatif agama yang berpendapat bahwa poligami diijinkan dalam Islam dan karena itu tidak boleh dilarang oleh hukum sekuler. Pemerintah mengijinkan praktek sistem keyakinan tradisional Aliran

Kepercayaan sebagai manifestasi budaya, bukan sebagai suatu agama. Para pengikut Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen Pendidikan. Pihak berwenang daerah pada umunya menghargai penganut Aliran Kepercayaan ini dalam

mempraktekkan keyakinannya. Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 37/2007 yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Perkawinan. Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk mendaftarkan ijin nikah yang ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat perkawinanperkawinan ini diakui secara resmi. Namun, peraturan pelaksanaan atau panduan teknis lain belum dikeluarkan hingga akhir periode pembuatan laporan. Pemerintah nasional secara resmi tidak melarang kegiatan Ahmadiyah, tetapi beberapa pemerintah daerah melarangnya. Walaupun yurisdiksi pemerintah pusat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

30

meliputi urusan-urusan keagamaan, masalah administrasi kian sulit mengambil posisi yang jelas atas larangan-larangan daerah terhadap Ahmadiyah tersebut. Beberapa hari raya umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha menjadi hari libur nasional. Hari besar Islam yang diakui mencakup Isra Miraj, Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Islam, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hari besar Kristen adalah Natal, Wafatnya Isa Almasih, dan Kenaikan Isa Almasih. Tiga hari libur nasional lainnya adalah hari raya Nyepi umat Hindu, Hari Raya Waisak umat Budha, dan Tahun Baru Cina (Imlek) yang dirayakan oleh pemeluk Konghucu dan masyarakat Tionghoa lainnya. Di Bali, semua hari raya Hindu adalah hari libur daerah, dan PNS serta pegawai lainnya tidak bekerja pada hari Saraswati, Galungan dan Kuningan. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sepanjang bulan puasa Ramadhan Muslim, banyak Pemerintah daerah yang memerintahkan penutupan atau pengurangan jam operasi berbagai tempat hiburan. Pada tahun 2006 di Jakarta, lagi-lagi SK gubernur memerintahkan penutupan bar-bar bukan hotel, diskotik, klub malam, spa sauna, panti pijat, dan pertunjukan musik hidup selama sebulan. Tempat-tempat biliar, bar karaoke, bar hotel, dan diskotik diijinkan untuk beroperasi maksimal empat jam per malam. Beberapa pemeluk agama minoritas dan sebagian Muslim yakin bahwa peraturan ini melanggar hak-hak mereka. Berdasarkan UU No. 17/1999, pemerintah memiliki monopoli atas

penyelenggaraan ibadah Haji. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Departemen Agama bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan, layanan, dan perlindungan kepada mereka yang sedang menunaikan ibadah Haji. Departemen juga menetapkan biaya berkaitan dengan Haji dan mengeluarkan paspor haji. Pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Pendidikan Nasional. Pada akhir periode pembuatan laporan, Presiden tidak menandatangani peraturan pelaksanaan mengenai pengajaran agama dan pendidikan agama. Peraturan ini memerintahkan pengajaran agama dalam salah satu dari enam agama resmi saat diminta oleh seorang pelajar. Undang-undang sebelumnya mengharuskan semua siswa untuk mengambil pelajaran agama dalam salah dari lima agama, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Budha, dan Hindu. Pemerintah melarang ajakan untuk pindah agama dengan alasan bahwa kegiatan tersebut, khususnya di wilayah-wilayah yang didominasi oleh anggota agama lain, terbukti mengganggu. Pada tahun 1979 Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan yang melarang usaha-usaha permurtadan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

31

Pemerintah membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975 dan terus mendanai dan menunjuk para anggotanya. MUI bukanlah badan resmi pemerintah. Namun, maklumat atau fatwa-fatwanya dijadikan dasar bimbingan moral bagi umat Islam. Walaupun pendapat-pendapat MUI tidak mengikat secara hukum, masyarakat dan pemerintah secara serius mempertimbangkan mereka saat membuat berbagai keputusan atau menyusun undang-undang. Di tahun 2005, MUI nasional mengeluarkan 11 fatwa, termasuk sebuah fatwa yang melarang Ahmadiyah. Fatwa-fatwa tersebut sangat berpengaruh pada diskriminasi resmi dan sosial terhadap Ahmadiyah dan kelompok agama minoritas lainnya selama periode pelaporan. Periode pembuatan laporan, beberapa pejabat pemerintah dan para pemimpin politik terkemuka berinteraksi di forum-forum dan seminar-seminar publik dengan para pemuka agama dan kelompok antar agama seperti Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (GANDI) dan Solidaritas Nusa Bangsa. Undang-undang tidak mendiskriminasikan kelompok agama apapun dalam lapangan pekerjaan, perumahan, atau layanan kesehatan.

D. Pembatasan-pembatasan terhadap Kebebasan Beragama Kebijakan dan tindakan pemerintah berpengaruh pada praktek praktek beragama yang secara umum bebas. Namun, kebijakan-kebijakan, undang-undang, dan tindakantindakan resmi tertentu membatasi kebebasan beragama, dan pemerintah terkadang mentolerir diskriminasi dan kekerasan terhadap para individu dikarenakan keyakinan agama mereka yang dilakukan oleh para pelaku individu. Tidak ada laporan mengenai adanya penahanan para pelaku tersebut di negara ini. Pemerintah mengharuskan semua warga negara dewasa untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang, antara lain, menunjukkan identitas agama. Pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah umumnya tidak dapat memperoleh KTP kecuali bila mereka mengaku sebagai pengikut dari agama yang diakui. Selama periode pelaporan, kelompok hak asasi manusia terus menerima laporan sporadis bahwa ada petugas Catatan Sipil daerah yang menolak pengajuan permohonan pemeluk agama yang tidak diakui pemerintah atau agama minoritas. Yang lainnya menerima permohonan tetapi mengeluarkan KTP-KTP yang mencatumkan keterangan yang tidak akurat mengenai agama pemohon. Beberapa penganut animisme menerima KTP yang menyebutkan bahwa mereka beragama Islam. Banyak penganut Sikh yang dicantumkan sebagai penganut Hindu dalam KTP dan akte perkawinan mereka karena pemerintah tidak secara resmi mengakui agama mereka. Warganegara yang tidak memiliki KTP mendapati
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

32

kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Sebagian organisasi swadaya masyarakat dan kelompok advokasi agama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kategori agama dalam KTP. Sistem pencatatan sipil membatasi kebebasan beragama orang yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui; animisme, Bahai, dan penganut kepercayaan minoritas lain mengalami kesulitan dalam mendaftarkan perkawinan atau kelahiran, meskipun terdapat peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan administrasi perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai dengan keyakinan mereka masuk ke dalam agama yang diakui atau menyatakan seolah-olah mereka penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Mereka yang memilih untuk tidak mencatatkan perkawinannya atau kelahiran anaknya di masa mendatang akan menemui kesulitan seperti: seorang anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk sekolah dan tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka yang tidak memiliki akte kelahiran tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pekerjaan di kantor pemerintahan. Pria dan wanita beda agama akan terus menghadapi hambatan untuk menikah dan mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi. Para pasangan ini mengalami kesulitan dalam mencari pemuka agama yang bersedia melaksanakan upacara pernikahan antar agama; upacara pernikahan agama harus dilakukan sebelum suatu pernikahan dapat didaftarkan. Akibatnya, sebagian orang berpindah agama untuk dapat menikah. Lainnya, menikah di luar negeri dan kemudian mendaftarkan pernikahannya di Kedutaan Besar Indonesia. Meskipun merupakan sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi, umat Hindu mengatakan bahwa seringkali mereka harus menempuh jarak yang jauh untuk mendaftarkan pernikahan mereka karena di banyak daerah pedalaman karena pemerintah daerahnya tidak dapat atau tidak mau melakukan pencatatan. Kelompok keagamaan dan organisasi sosial harus mendapatkan ijin untuk mengadakan konser keagamaan atau kegiatan lainnya di hadapan publik. Pemerintah biasanya memberikan ijin dengan cara yang tidak berat sebelah kecuali terdapat kekhawatiran bahwa kegiatan tersebut akan menimbulkan kemarahan kelompok agama lain di wilayah tersebut. Ceramah agama dapat diberikan jika disampaikan ke penganut agama yang sama dan tidak dimaksudkan untuk mengajak orang pindah keyakinan. Program keagamaaan yang ditayangkan di televisi tetap dibatasi, dan pemirsa dapat menyaksikan program
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

33

religi yang ditawarkan oleh agama manapun yang diakui. Tidak ada batasan atas publikasi materi keagamaan atau penggunaan simbol-simbol agama; namun, pemerintah melarang penyebaran materi-materi keagamaan kepada pemeluk agama lain. Tentara Nasional Indonesia menyediakan sarana dan program keagamaan, termasuk kebaktian dan pertemuan keagamaan di semua komplek perumahan bagi prajurit yang melakukan ibadah agama yang diakui secara resmi. Walaupun setiap komplek perumahan militer wajib menyediakan masjid, gereja Katolik dan Protestan, dan pusat ibadah atau kuil untuk umat Budha dan Hindu, kompleks perumahan yang lebih kecil jarang menyediakan sarana ibadah untuk keenam agama. Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006, yang merupakan revisi surat keputusan tahun 1969, pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah SKB tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Selama periode pelaporan, sebagian umat Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara sporadis, dimana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin pembangunan gereja dan kuil walaupun kelompok tersebut telah mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan yang diminta. Misalnya, Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka tetap tidak bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah mengumpulkan persyaratan tanda tangan yang diminta. Di Aceh, upaya untuk mendidik masyarakat tentang syariat dan pelaksanaannya terus dilakukan. Selama bulan Ramadan, penjaga toko menutup usaha mereka untuk sholat Zuhur dan rumah makan tetap tutup sepanjang hari. Propinsi Aceh mengerahkan ratusan polisi syariat untuk menegakkan syariat. Mereka bekerjasama dengan polisi pamong praja untuk menyelidiki dan mengusut berbagai pelanggaran. Kadang polisi syariat menahan beberapa orang untuk mendidik masyarakat jika tertangkap tidak berbusana Muslim atau berkencan tanpa didampingi muhrimnya, tetapi polisi pada umumnya tidak menahan atau menuntut mereka dengan dakwaan pidana. Kota Banda Aceh tidak lagi mengerahkan Brigade Masjid untuk mengawasi penggunaan pakaian Muslim yang pantas. Pada tanggal 17 Agustus 2006, 15 petugas polisi syariat dan 10 anggota polisi merazia kompleks perumahan Program Pangan Dunia PBB di Banda Aceh. Alasan dilakukannya razia tersebut beragam karena dilaporkan berkaitan dengan narkoba atau alkohol.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

34

Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin Departemen Agama untuk memberikan jenis bantuan apapun (barang, orang, atau uang) kepada kelompokkelompok keagamaan. Misionaris asing harus mendapatkan visa tinggal terbatas untuk rohaniawan. Sebagian kelompok Kristen mengatakan bahwa misionaris Kristiani menemui kesulitan untuk mendapatkan atau memperpanjang visa. Persyaratan untuk visa tinggal terbatas untuk rohaniawan lebih sukar diperoleh daripada visa kategori lain. Mereka tidak hanya meminta persetujuan dari kantor wilayah Departemen Agama, mulai dari tingkat daerah hingga ke pusat, tetapi juga data statistik tentang jumlah pemeluk agama tersebut di masyarakat dan pernyataan yang menegaskan bahwa pemohon tidak akan bekerja lebih dari dua tahun di negara ini sebelum digantikan oleh warganegara setempat. Misionaris asing yang mendapatkan visa tersebut bekerja relatif tanpa hambatan. Banyak misionaris yang fokus utama kegiatannya pada pembangunan berhasil memperoleh visa kunjungan sosial di Departemen Kesehatan atau Departemen Pendidikan Nasional.

E. Penyalahgunaan Kebebasan Beragama Selama periode pelaporan, ada laporan-laporan mengenai penyalahgunaan kebebasan beragama di seluruh wilayah negara ini. Selama periode pelaporan, seperti pada periode sebelumnya, pemerintah terus secara jelas dan tegas melarang kebebasan beragama kelompok-kelompok yang berkaitan dengan bentuk-bentuk Islam yang dipandang di luar aliran utama. Selama periode pelaporan pula, pemerintah menahan dan menuntut beberapa orang dengan tuduhan aliran sesat, penghujatan, dan penghinaan terhadap Islam. Pada bulan Mei 2007, di Kabupaten Lebak, Jawa Barat, Departemen Agama menghimbau pengikut ajaran Islam Sejati untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 15 Mei 2007, MUI Propinsi Banten, Jawa Barat, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kelompok tersebut menyimpang karena para anggotanya hanya sholat tiga kali sehari dan tidak menghadap ke Kiblat ketika melaksanakan sholat. Selama periode pelaporan, 187 anggota Ahmadiyah terus hidup di penampungan pengungsi di Mataram, Lombok. Mereka telah hidup di kamp tersebut sejak adanya serangan yang dilakukan oleh Muslim setempat pada bulan Februari dan Maret 2006 yang menghancurkan rumah-rumah dan masjid mereka. Perwakilan Ahmadiyah di Lombok mengangkat masalah keamanan pada tanggal 24 Juli 2006 dengan perwakilan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

35

Konsulat Australia di Bali. Mereka meminta suaka dari penyiksaan Muslim setempat. Pada bulan Mei 2007, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat menyatakan bahwa Ahmadiyah diijinkan oleh hukum untuk mencari suaka di negara lain. Kekerasan dan tindakan terhadap komunitas Ahmadiyah meningkat setelah MUI mengeluarkan fatwanya di bulan Juli 2005 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Di tahun 2005 sejumlah kebijakan, undang-undang, dan tindakan resmi

membatasi kebebasan beragama komunitas Ahmadiyah di wialayah-wilayah lain. Walaupun dengan penjagaan ketat aparat ketika terjadi dua serangan atas jamaah Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli, polisi tidak menahan siapapun. Pemerintah daerah kemudian memberlakukan larangan terhadap Ahmadiyah di Jawa Barat, dan mereka tidak diperkenankan menggunakan komplek ibadah mereka. Pada masa akhir periode pembuatan laporan, tidak ada tindakan yang diambil terhadap para pelaku peristiwa tersebut. Pemerintah terus mentolerir diskriminasi dan kekejaman terhadap Ahmadiyah dengan tetap diam mengenai fatwa MUI tahun 2005, status hukum Ahmadiyah, dan larangan oleh pemerintah daerah. Puluhan orang di Pasuruan, Jawa timur, mendatangi dua rumah milik M. Thoyib dan Rochamim pada tanggal 9 April 2007, dan menuduh mereka mempraktekkan animisme. Kedua pria tersebut sebelumnya menjalankan agama Islam, tetapi kemudian diduga keras memeluk animisme dan melaksanakan upacara ritual animisme di makammakam. Para tetangga mengadukan mereka sebagai pelaku ajaran sesat. Polisi setempat menahan dan menanyai keduanya mengenai kegiatan mereka. Mereka tidak ditahan atau dikenai tuduhan; tetapi, keduanya memilih tetap berada dalam penjagaan polisi demi keselamatan mereka sendiri selama dua minggu sebelum kembali ke rumah. Pada bulan April 2007, Kepolisian Wilayah Malang menahan delapan orang yang dituduh menyebarkan video pelatihan doa yang dibuat oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia di Batu, Jawa Timur. Video tersebut diduga menggambarkan 30 umat Kristiani yang diperintahkan oleh pemimpin mereka untuk meletakkan Al Quran di lantai pada pertemuan di bulan Desember 2006. Setelah penahanan awal, 33 orang kembali ditahan dengan tuduhan penistaan agama berkaitan dengan video-video tersebut. Para pemuka gereja Kristen membantah dugaan bahwa Kristen terlibat dalam pembuatan atau penyebaran video-video tersebut. Di akhir periode pembuatan laporan, 41 orang yang ditahan masih menunggu sidang pengadilan. Pada tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali, Sulawesi Selatan, menjatuhkan hukuman kepada Sumardi Tappaya, seorang guru agama Islam sebuah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

36

SMU, dengan 6 bulan penjara untuk penghinaan agama setelah seorang kerabat menuduhnya sholat sambil bersiul. MUI setempat menyatakan bahwa perbuatan itu sesat. Guru tersebut telah selesai menjalani hukumannya. Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Lia Eden, seorang pemimpin Kelompok Jamaah Salamullah, dengan 2 tahun penjara untuk penodaan terhadap ajaran agama. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang menyatakan bahwa ajaran Jamaah Salamullah sesat. Pers melaporkan bahwa pada bulan Mei 2006, DPRD Banyuwangi, Jawa Timur melakukan pengambilan suara untuk memecat Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari. Ratna yang terlahir sebagai seorang Muslim, oleh para pelaku pemecatan dituduh menghina Islam dengan mempraktekkan agama yang berbeda dari yang disebutkan dalam KTP-nya. Para pendukung Ratna menyatakan bahwa Ratna adalah sasaran kampanye pemfitnahan bermotivasi agama disebabkan pernikahannya dengan pria Hindu. Ratna tetap menjadi bupati karena pengadilan menyatakan bahwa tidak cukup quorum saat pengambilan suara dilakukan. DPRD naik banding ke Mahkamah Agung yang hingga akhir periode pelaporan belum mengeluarkan keputusannya. Pada tangga 12 April 2006, polisi di Banyuwangi, Jawa Timur, menahan lima aktivis Falun Dafa, dua di antaranya orang asing, yang membagikan surat edaran kepada penduduk setempat. Kemudian polisi mengaku bahwa penahanan kelima orang itu karena isi edaran memuat informasi mengenai partai Komunis Cina dan bukan karena mereka aktivis anggota Falun Dafa; mendistribusikan tulisan tentang Komunis tetap dilarang. Kelima aktivis Falun Dafa tersebut kemudian dibebaskan dan tidak ada tuduhan yang diajukan. Sepanjang tahun 2006 Pemerintah Aceh menghukum cambuk setidaknya 25 orang karena meminum minuman beralkohol, 59 orang karena berjudi, dan 32 orang karena berdua-duaan dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah. Forum Komunikasi Kristen Indonesia mengaku bahwa delapan gereja kecil tidak berijin di Jawa Barat telah ditutup selama periode pelaporan oleh kelompok ekstrimis Muslim walaupun dalam peraturan yang direvisi rumah ibadah diberikan tenggang waktu 2 tahun untuk mendapatkan ijin setiap permohonan baru. Pada tahun 2006, kelompok militan menutup dua gereja secara paksa tanpa intervensi polisi. Penutupan 20 gereja lainnya pada tahun 2006 di bawah tekanan kelompok militan setelah pengumuman surat keputusan yang direvisi tetap ditutup, menurut Forum tersebut. Walaupun ada penjagaan, polisi jarang bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

37

membantu para kelompok militan melakukan penutupan tersebut. Di awal Juni 2006, Pemerintah pusat mengumumkan niatnya untuk mengambil tindakan keras terhadap kelompok militan agama tersebut atas perilaku membahayakan mereka terhadap tempattempat ibadah dan sasaran lainnya. Di akhir periode pembuatan laporan, tidak ada laporan khusus mengenai tindakan yang diambil. Pada bulan November 2005, polisi setempat menahan seorang asing dan seorang WNI yang bekerja pada proyek kemanusiaan Kristen untuk pembangunan bendungan di pulau Madura. Polisi bertindak setelah pemuka agama setempat menuduh keduanya melakukan permurtadan. Tuduhan dipicu kecemburuan para pemuka agama karena masyarakat mereka tidak menerima proyek serupa. Jaksa mendakwa sang WNI, yang terus mengenalkan versi bukan Islam tradisional kepada masyarakat, dengan tuduhan penghinaan terhadap suatu agama, dan pengadilan menghukumnya 2 tahun penjara. Orang asing tersebut dijatuhi hukuman untuk pelanggaran keimmigrasian dan dihukum 5 bulan, dan dideportasi. Pada bulan Oktober 2005, polisi di Sulawesi Tengah mendatangi aliran Madi setelah penduduk dari desa tetangga mengeluh bahwa para pengikut aliran tersebut tidak berpuasa atau melaksanakan sholat taraweh selama bulan Ramadan. Tiga polisi dan dua anggota aliran tewas dalam bentrokan. Pengikut aliran tersebut diberitakan menahan dua petugas kepolisian sebagai tawanan tetapi kemudian dilepaskan. Lima pengikut aliran Madi diadili oleh pengadilan daerah dengan tuduhan menyebabkan kematian personil polisi; pada bulan Januari 2006, mereka dijatuhi hukuman penjara antara 9 hingga 12 tahun. Pada bulan September 2005, pengadilan di Jawa Timur menghukum enam terapis narkoba dan kanker di sebuah pusat rehabilitasi di Jawa Timur dengan hukuman masingmasing 5 tahun penjara dan tambahan 3 tahun penjara atas dakwaan melanggar ajaran Islam dengan menggunakan metode penyembuhan paranormal. MUI setempat menyatakan bahwa metode penyembuhan pusat rehabilitasi mereka sesat. Polisi menahan para terapis saat mereka berusaha mempertahankan diri dari serangan ratusan orang ke kantor mereka. Pusat rehabilitasi tersebut ditutup dan keenam penasehat mulai menjalankan hukuman mereka selama periode pelaporan. Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, menvonis Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena sholat menggunakan dua bahasa, yaitu Indonesia dan Arab, yang oleh MUI dinyatakan sebagai hal yang menodai keaslian

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

38

ajaran Islam yang berbahasa Arab. Roy bebas dari penjara pada tanggal 9 November 2006 setelah menjalani masa tahanan selama 18 bulan. Pada bulan Juni 2005, polisi mendakwa dosen Universitas Muhammadiyah di Palu atas tuduhan penghinaan. Mereka menahannya selama 5 hari kemudian menetapkannya sebagai tahanan rumah, setelah 2.000 orang memprotes artikel mengenai pendapatnya berjudul Islam, Agama yang Gagal. Artikel tersebut, antara lain menyoroti penyebaran korupsi di negara ini. Dosen tersebut dibebaskan dari tahanan rumah dan kemudian dipecat oleh Universitas. Pada bulan September 2005, sebuah pengadilan menghukum tiga orang wanita dari Gereja Kristen Kemah Daud dengan hukuman 3 tahun penjara di bawah UU Perlindungan Anak untuk dugaan Kristenisasi anak-anak Muslim. Para wanita tersebut mengaku bahwa anggota keluarga telah memberikan ijin kepada anak-anak mereka untuk mengikuti program pemuda Kristen. Mahkamah Agung menolak banding para wanita tersebut di tahun 2006. Mereka menjalani dua tahun hukuman dan kemudian bebas bersyarat pada tanggal 11 Juni 2007. Peraturan daerah berdasarkan syariah tentang anti pelacuran terdapat di seluruh wilayah negara ini. Peraturan ini juga terdapat di Tangerang, Jawa Barat, di mana DPRD mengeluarkan peraturan dengan kalimat yang tidak jelas pada tanggal 21 November 2005, yang melarang siapapun yang dicurigai sebagai pelacur, berdasarkan sikap atau perilakunya, berada di tempat-tempat umum. Di tahun 2006, Tangerang menahan dan mengadili puluhan wanita sebagai pelacur, termasuk seorang ibu dua orang anak yang sedang hamil yang dituduh sebagai pelacur karena menyimpan peralatan berhias dalam tasnya. Pada bulan April 2006, tiga orang dari para perempuan yang diadili di Tangerang mengajukan permohonan peninjauan ulang atas perda tersebut ke Mahkamah Agung, tetapi Mahkamah menetapkan pada tanggal 1 Maret 2007 bahwa perda tersebut sah dan tidak bertentangan dengan undang-undang lainnya yang lebih tinggi. Tidak ada laporan mengenai pemaksaan untuk berpindah agama, termasuk tentang warganegara AS yang diculik atau dipindahkan secara ilegal dari Amerika Serikat, ataupun pelarangan pengembalian warga AS tersebut kembali ke Amerika Serikat. Sabili, majalah Islam yang bertiras luas, terus menerbitkan artikel-artikel dengan pernyataan-pernyataan dan tema-tema anti Semit. Majalah ini memperingatkan keberadaan kegiatan konspirasi Zionis di negara ini. Sebuah CD yang diproduksi pada bulan September 2005 oleh badan komersial Trustco Multimedia yang memuat materi politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menduduki 8 persen kursi di DPR, dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

39

sebuah permainan anti Semit berjudul Tembak Yahudi. PKS kemudian meminta Trustco Multimedia untuk menarik CD tersebut dari pasaran, dan tidak ada laporan lebih lanjut mengenai kemunculan CD tersebut di toko-toko eceran.

F. Pelanggaran oleh Organisasi-organisasi Teroris Selama periode pelaporan, pemerintah berhasil mengadili dan menghukum 27 tersangka terorisme dan menahan paling tidak 47 tersangka teroris lainnya yang diharapkan akan diadili di masa mendatang. Persidangan ke-17 tersangka teroris tersebut sedang berlangsung dalam periode pembuatan laporan ini, sementara setidaknya 27 tersangka teroris lainnya berada dalam tahanan sambil menunggu sidang. Jumlah ini mencakup para tersangka yang berafiliasi pada Jamaah Islamiyah (JI) dan penduduk Poso, baik yang Kristen maupun Islam, yang terlibat dalam kekerasan terhadap kelompok keagamaan lainnya. Pada tanggal 21 Maret 2007, Hasanuddin, salah satu pemimpin JI di balik peristiwa pemenggalan tiga pelajar putri Kristen di Poso pada bulan November 2005, dihukum 20 tahun penjara oleh pengadilan Jakarta atas perannya dalam pemenggalan kepala. Polisi Sulawesi Tengah menahan Hasanuddin pada sebuah penggerebekan di bulan Mei 2006. penahanannya menyoroti peranan kelompok militan daerah dan jaringan terorisme JI dalam serangan dengan kekerasan yang telah mengganggu propinsi ini. Pada bulan Januari 2007, polisi menggerebek tersangka teroris, ekstrimis Muslim Dedi Pasaran yang ditembak mati sementara Abdul Muis ditangkap. Kedua pria ini membunuh seorang pemuka agama Kristen dan sekretaris Gereja Protestan Sulawesi Tengah, Pendeta Irianto Kongkoli, pada tanggal 22 Oktober 2006 di Palu, Sulawesi Tengah. Pada bulan September 2006, Pengadilan Negeri Denpasar menghukum Mohammad Cholily dan Anief Solchanudin masing-masing dengan 18 dan 15 tahun penjara dan Dwi Widianto serta Abdul Aziz dengan 8 tahun penjara untuk perencanaan dan pelaksanaan pengeboman Bali tanggal 1 Oktober 2005. Tiga pelaku bom bunuh diri dari JI menewaskan 22 orang dan mencederai 100 orang di wilayah-wilayah turis Kuta dan Jimbaran di Bali selama serangan. Pemerintah berhasil menghukum 6 orang untuk serangan bunuh diri bulan September 2004 di Kedutaan Besar Australia yang menewaskan 10 orang dan mencederai lebih dari 100 orang. Pada bulan September 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Rois dan Ahmad Hasan dengan hukuman mati, Saipul Bahri dengan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

40

hukuman penjara selama 10 tahun, dan 3 pelaku lain mendapatkan 3 hingga 7 tahun penjara. Pada bulan Desember 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan hukuman mati untuk Rois dan Ahmad Hasan. Pada bulan Januari 2006, Rois dan Hasan mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menguatkan keputusan hukuman mati Hasan pada bulan Mei 2006, tetapi belum memberikan putusan banding Rois hingga akhir periode pembuatan laporan ini.

G. Perkembangan

dan

Kemajuan

Positif

dalam

Penghormatan

terhadap

Kebebasan Beragama Pada bulan Februari 2006 saat berpidato di hadapan publik, Presiden memastikan kembali kepada warganegara keturunan Tionghoa bahwa hak-hak mereka secara hukum dan konstitusional dijamin dan meminta kantor catatan sipil di seluruh Indonesia untuk mencatatkan pernikahan Konghucu sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang. Pidato Presiden tersebut yang disampaikan saat Tahun Baru Cina, mempermudah penganut Konghucu dalam memperoleh KTP yang menuliskan agama mereka dan mencatatkan perkawinan dan kelahiran Konghucu. Perwakilan komunitas Cina kembali dapat mempraktekkan agama Konghucu dengan cara yang relatif bebas selama periode pelaporan ini. Tidak ada upaya khusus untuk membangun keharmonisan antar agama di beberapa propinsi. Pemerintah Sumatera Utara terus mendukung sebuah organisasi, yaitu FORKALA, yang menyatukan perwakilan dari semua kelompok agama yang diakui dan menggalakkan dialog antara agama sebagai cara untuk menghindari konflik agama. Selama periode pelaporan, kekerasan bermotivasi agama menurun secara signifkan di Maluku dan Maluku Utara. Kekerasan bermotif agama mencapai puncaknya terjadi akhir 1990an, dan terus berlanjut pada skala lebih kecil walau cukup mengganggu di tahun-tahun berikutnya. Namun, seperti di tahun-tahun sebelumnya, Sulawesi Tengah mengalami peledakan bom, penembakan secara sporadis, dan kekerasan lain walaunpun berbagai usaha untuk mengembalikan keamanan dan meningkatkan perdamaian terus dilakukan. Pejabat pemerintah bekerja sama dengan para pemuka agama Islam dan Kristen untuk meredakan ketegangan di kedua wilayah. Maluku tetap tenang dan baik para pemuka agama dari masyarakat Islam maupun Kristen serta pemerintah daerah Maluku memperlihatkan komitmen yang kuat untuk meredakan ketegangan dan melakukan pembangunan kembali. Berbagai proyek pembangunan untuk membangun kembali gereja, masjid, dan rumah-rumah yang rusak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

41

telah dilakukan selama periode pelaporan. Kanwil Departemen Sosial Maluku mensponsori sebuah program di bulan September 2006 yang disebut Jembatan Persahabatan yang dihadiri oleh 250 orang dari seluruh Maluku yang sebelumnya terlibat dalam konflik keagamaan tersebut. Umat Muslim dan Kristen menghabiskan satu hari untuk berkumpul bersama di Letuwaru, sebuah desa Kristen, dan kemudian pada hari berikutnya di Amahai, sebuah desa Muslim. Pimpinan daerah Maluku dan perwakilan masyarakat Islam maupun Kristen bergabung bersama di bulan November 2006 di Ambon untuk membahas cara-cara untuk terus meningkatkan proses perdamaian. Selama periode pelaporan, para pemuka agama Islam dan Kristen dengan cepat mengecam segala upaya yang terus dilakukan untuk membuat Maluku tidak stabil. Ketua MUI Maluku dan ketua Sinode Gereja Maluku mengutuk dua insiden yang terjadi di bulan Maret 2007. Pada tanggal 3 Maret, bom rakitan berdaya ledak rendah diledakkan di pintu gerbang pelabuhan Ambon melukai 16 orang, dan pada tanggal 5 Maret polisi menyingkirkan alat peledak serupa di pusat perbelanjaan Ambon Plaza. Polisi memeriksa sedikitnya lima orang berkaitan dengan serangan tersebut, tetapi pelaku dan motif masih tidak jelas. Tidak ada penahanan. Para pemimpin agama memperlihatkan kerjasama kuat antar agama dan keinginan menjaga perdamaian di wilayahnya dengan segera dab samasama mengutuk berbagai insiden. Situasi di Poso tetap tegang, tetapi polisi terus mengambil tindakan keras dan menahan beberapa tersangka dengan tuduhan terorisme dan kejahatan keras lainnya terkait dengan perselisihan agama di Sulawesi Tengah. Polisi daerah Sulawesi Tengah terus melindungi gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah setempat sepanjang pelayanan keagamaan. Tindakan ini secara berangsur-angsur membangkitkan optimisme penduduk setempat bahwa siklus kekerasan telah menurun. Sepanjang semester pertama tahun 2007, polisi di pulau Jawa menangkap 17 tersangka yang dicuriagi sebagai teroris JI untuk tuduhan merencanakan berbagai operasi dan menyembunyikan senjata dan bahan peledak, yang sebagian mereka kirimkan untuk mendukung berlanjutnya kekerasan di wilayah seperti Poso. Polisi menemukan rencanarencana operasional dan menyita ratusan kilogram bahan peledak dan detonator, lusinan senapan, dan ribuan amunisi. Penahanan pemimpin operasional kunci JI, Abu Dujana di bulan Juni 2007 kemudian membenarkan tujuan-tujuan kekerasan kelompok tersebut. Di akhir 2006 dan awal 2007, polisi menahan puluhan tersangka di Poso atas keterlibatan mereka dalam serangkaian serangan sektarian sejak tahun 2001. Sampai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

42

Februari 2007, polisi menyatakan bahwa mereka telah menahan 18 dari 29 orang paling dicari yang dicurigai terlibat dalam kekerasan di Sulawesi Tengah. Menurut Kadiv Humas Polri, sebagian besar dari 18 orang yang ditangkap adalah anggota JI yang terhubung dengan kelompok militan Muslim Tanah Runtuh yang dituduh telah melakukan sebagian besar kejahatan mengerikan terhadap umat Kristen sejak tahun 2001.

H. Kekerasan Sosial dan Diskriminasi Selama periode pelaporan, terdapat laporan-laporan mengenai kekerasan sosial dan diskriminai berdasarkan keyakinan atau praktek agama. Menurut Forum Komunikasi Kristen Indonesia, kelompok militan memaksa penutupan delapan gereja kecil tidak resmi selama periode pelaporan. Front Pembela Islam (FPI), Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), dan Divisi Anti Permurtadan (DAP) Forum Ulama Islam Indonesia, didukung beberapa komunitas Muslim setempat, mendalangi banyak penutupan gereja. AGAP dan FPI menyatakan bahwa mereka mentargetkan gereja-gereja yang beroperasi tanpa ijin pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya seperti disyaratkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi mengenai Pendirian Rumah-rumah Ibadat, walaupun terdapat pemberian waktu dua tahun untuk mendaftarkannya secara resmi. Banyak dari gereja yang menjadi target beroperasi di rumah-rumah pribadi dan di ruko. Pada tanggal 4 Juni 2007, sebuah kelompok militan menyerang dan merusak sebuah gereja Protestan kecil di komplek perumahan di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang menuntut agar gereja tersebut ditutup. Para penyerang mengaku berasal dari AGAP, tetapi baik AGAP maupun DAP menolak bertanggung jawab. Dalam kejadian terkait sepuluh hari kemudian, lebih dari 100 orang berdemonstrasi menuntut penutupan rumah-rumah pribadi yang dijadikan gereja di Soreang. Pada tanggal 4 April 2007, puluhan anggota DAP mendatangi Gereja Kristen Pasundan di Bandung, Jawa Barat, untuk menanyakan peristiwa yang baru saja terjadi dimana gereja melanggar perjanjiannya untuk tidak melakukan kegiatan pemurtadan di komunitas Muslim. Seorang anggota DAP menyatakan bahwa gereja tersebut menandatangani perjanjian tahun 2005 dengan kelompok anti pemurtadan AGAP untuk tidak melakukan upaya pemurtadan. Namun, anggota tersebut menduga bahwa gereja telah melanggar perjanjiannya dengan menjadikan beberapa Muslim di Garut dan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

43

wilayah-wilayah Pagauban Bandung pengikut agama Kristen dengan memberikan mereka uang. Para pemimpin gereja secara damai membahas masalah tersebut. Pada tanggal 24 September 2006 sekitar 50 orang dari DAP menyerang dan mencoba menghancurkan Gereja Yayasan Penginjilan Roti Kehidupan Bandung Selatan, Jawa Barat, dengan alasan bahwa tingkat kebisingan kebaktian menganggu masyarakat setempat. Para penyerang memulai dengan menghancurkan atap dan mereka berhenti ketika polisi turun tangan. Gereja tersebut tidak lagi berfungsi. Pada bulan September 2006, mendekati Ramadan, kelompok militan Muslim merazia kedai minuman keras dan tempat prostitusi di seluruh negeri. Pada tanggal 8 september 2006, ratusan anak muda merazia warung-warung minuman di pinggir jalan di Bogor, Jawa Barat, mencari minuman beralkohol untuk dihancurkan. Pada 8 September 2006, di Semarang, Jawa Tengah, polisi merazia sejumlah kedai minuman di sisi jalan yang menjual minuman beralkohol. Pada tanggal 13 September 2006, Gubernur Jakarta Sutiyoso meminta organisasi-organisasi massa untuk tidak main hakim sendiri dan menyatakan bahwa pengoperasian tempat-tempat hiburan sepanjang bulan Ramadhan sudah diatur dalam peraturan daerah dan ini adalah tanggung jawab Polisi. Beberapa rumah ibadah, sekolah agama, dan rumah warga sekte Islam yang dianggap menyimpang diserang, dirusak, ditutup secara paksa, dihalangi

pembangunannya oleh kelompok-kelompok militan dan massa di seluruh negara tersebut seperti yang digambarkan dalam contoh-contoh kasus berikut ini. Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan anggota FPI dan kelompok garis keras lainnya berdemonstrasi di depan Mesjid Mahmud di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Demonstrasi tersebut merupakan balasan terhadap diadakannya Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) komunitas Ahmadiyah pada April 22, 2007. Pimpinan Ahmadiyah mengaku telah menerima ijin polisi untuk mengadakan pertemuan. Polisi dengan segera mengamankan mesjid dan menjaga para demonstran. Menyusul peristiwa tersebut, para pimpinan Ahmadiyah bertemu dengan pimpinan Muslim setempat, dan diskusi antara Ahmadiyah dan kelompok muda Islam menghasilkan satu diskusi publik berjudul, Negara Harus Melindungi Pengikut Ahmadiyah. Namun, pada tanggal 26 Juni, 2007, kelompok yang sama berdemonstrasi menuntut DPRD Tasikmalaya membubarkan Ahmadiyah. DPRD menolak tuntutan tersebut, dan menyatakan bahwa masalah agama adalah kewenangan pemerintah pusat. Pada tanggal 9 April 2007, polisi mencegah ratusan orang yang hendak menyerang sebuah pesantren milik Tajul Ali Murthado dengan menggunakan pisau dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

44

golok di Sampang, Jawa Timur. Penduduk setempat menuduh Murtadho mengajarkan Islam yang menyimpang. Murtadho ditahan sebentar oleh Polisi dan kemudian dilepaskan. Polisi untuk sementara menutup pesantren tersebut tetapi dibuka kembali setelah situasi terkendali. Pada tanggal 8 April 2007, di Jember, Jawa Timur, massa yang marah

mengepung sebuah rumah milik Suwarno, seorang pemimpin kelompok Ikatan Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), sebuah organisasi keagamaan Syiah. Mereka menuntut Ijabi tidak menyebarkan ajaran-ajaran Syiah. Polisi setempat memindahkan tiga pemimpin Ijabi termasuk Suwarno guna menenangkan situasi; massa kemudian dibubarkan. Para pemimpin Ijabi diperiksa polisi dan dilepaskan pada hari yang sama. Pada tanggal 27 Maret 2007, Alih bin Hadi, seorang ulama di Bogor, Jawa Barat diculik dari dalam masjid oleh massa yang berjumlah sekitar 200 orang dan memukulinya hingga tewas. Alih berceramah bahwa umat Islam dapat pergi ke masjid sekitar daripada ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Ia juga mengatakan umat Islam dapat membayar zakat setelah hari raya Idul Fitri. Ajaran-ajaran Alih telah lama menimbulkan kemarahan penduduk setempat. Pada bulan Desember 2005, ia menandatangani perjanjian untuk menghentikan kegiatan masjid dan meninggalkan wilayah tersebut, tetapi kemudian ia kembali dan memperbarui kegiatan ceramahnya. Alih adalah bagian dari kelompok yang lebih besar yang disebut Yayasan Karisma Usada Mustika (Yaskum) yang sedang diselidiki oleh MUI Kabupaten Bogor dengan dugaan melakukan ajaran sesat selama periode pelaporan. Sekitar 1.000 anggota Yaskum berdemonstrasi di luar kantor polisi Bogor untuk memprotes pembunuhan terhadap Alih. Di akhir periode pembuatan laporan ini, tiga pria yang dicurigai merencanakan pembunuhan terhadap Alih telah ditahan polisi. Pada tanggal 24 Desember 2006, didorong oleh ulama setempat, 500 penduduk desa yang marah di desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur menyerang 150 anggota Ijabi yang sedang melaksanakan sholat dengan menghancurkan tiga rumah, sebuah musholah, dan sebuah mobil milik ketua Ijabi setempat. Para penduduk Suni setempat keberatan dengan kehadiran Syiah dalam komunitas mereka dan menuduh mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam dan melakukan ajaran sesat. Polisi memindahkan dan memeriksa 17 anggota Ijabi selama delapan jam, tetapi tidak ada penahanan. Dua penghasut, Sumiko (aka Pak Lim) dan Burasim, kemudian ditahan dan dikenakan dakwaan pidana perusakan properti. Sidang mereka, yang sedang berlangsung, dimulai pada tanggal 2 Mei 2007. Jaksa menuntut
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

hukuman 6 bulan
45

penjara. Para pemimpin Ijabi melaporkan bahwa tidak ada insiden lagi sejak Desember itu. Pada tanggal 29 Oktober 2006, penduduk mengamuk dan menyerang enam rumah milik anggota masjid Miftahus Salam dan pesantren di Bogor, Jawa Barat. Penduduk yakin bahwa masjid dan sekolah adalah pusat ajaran sesat. Sebelum penyerangan, Ustad Yusup Maulana yang merupakan kepala sekolah, diperiksa polisi. Dalam sebuah pernyataan tertulis, ia mengakui bahwa ia mengajarkan ide-ide yang tidak sesuai dengan hukum Islam kepada 40 murid sekolahnya. Pernyataannya membuat penduduk melakukan serangan. Polisi menahan Maulana dan menangkap dua perusuh, tetapi masih tidak jelas apakah mereka masih tetap dalam tahanan hingga akhir periode pembuatan laporan ini. Pada tanggal 8 Agustus 2006, ratusan orang yang mengenakan topeng membakar sebuah sekolah asrama milik Datuk Buluh Perindu, di Sidera, Sulawesi Tengah. Penduduk menuduh Perindu sebagai guru spiritual Madi, yaitu sebuah aliran Islam minoritas. Polisi tidak melakukan penangkapan. Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug, sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta, menyerang Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena para pelajarnya menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat setempat. FPI juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan bangunan maupun asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk menghentikan massa tersebut. Sekolah tersebut masih berfungsi hingga kini. Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar Gereja Misi Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita bahwa gereja tersebut merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat sejumlah besar umat Kristen berangkat menuju kebaktian tersebut, mereka dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak menyetujui kebaktian kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut. Pastor Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan umat Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang dengan sepeda motor membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan istrinya yang sedang hamil. Pastor dan istrinya melarikan diri ke hutan dan bersembunyi disana hingga mereka ditemukan selamat oleh teman-temannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian pindah untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

46

Warga Muslim secara rutin melaporkan adanya kesulitan untuk membangun masjid di wilayah-wilayah minoritas Muslim di Papua, Sulawesi Utara, dan tempattempat lainnya. Kadang-kadang, kelompok garis keras menggunakan tekanan, intimidasi, atau kekerasan terhadap mereka yang membawa pesan bersifat menghina. Walaupun masih mendapat kritik dari kelompok Islam garis keras, Jaringan Islam Liberal (JIL) tetap menyerukan penafsiran pribadi tentang ajaran Islam dan toleransi beragama. JIL mengkonfrontasi kelompok garis keras di forum-forum umum, termasuk seminarseminar. Kelompok militan yang mengaku menegakkan moralitas masyarakat terkadang menyerang kafe dan klub malam yang mereka anggap sebagai ajang prostitusi atau yang tidak membayaran kepada mereka. Perpindahan agama tanpa paksaan terjadi sebagaimana diperbolehkan secara hukum, tetapi tetap saja merupakan sumber kontroversi. Sebagian orang berpindah agama karena menikah dengan orang beda agama; yang lain berpindah agama akibat penyebaran agama atau kegiatan sosial yang diorganisir oleh kelompok agama. Sebagian Muslim menuduh misionaris Kristen menggunakan pembagian makanan dan program kredit mikro untuk memikat Muslim miskin pindah agama. Sebagian orang yang berpindah agama terpaksa tidak memberitahukan kepindahan agama mereka karena alasan keluarga dan tekanan masyarakat. Di sulawesi Tengah, ketegangan politik dan ekonomi antara populasi Kristen dan Muslim yang jumlahnya hampir seimbang terus menyulut berbagai tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian selama periode pelaporan. Berbagai tindak kriminalitas tersebut kelihatannya terjadi dengan motif agama. Pada tanggal 22 September 2006, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu dihukum mati akibat peran mereka dalam kekerasan sektarian di Poso pada tahun 2000 dan pada pembunuhan 191 Muslim di sebuah sekolah. Eksekusi tersebut menimbulkan kekerasan di daerah Flores dan Timor Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan di Sulawesi Tengah, dengan beberapa kritikan bahwa penjatuhan hukuman dan eksekusi ketiga pria Kristen tersebut adalah sebuah kasus diskriminasi yang dilakukan oleh pihak berwenang. Di Flores 3.000 orang melakukan kerusuhan dan membakar paling sedikit 3 bangunan pemerintahan. Di Kefamananu dan Atambua, Timor Barat, antara 3.000 hingga 5.000 orang membuat kerusuhan dengan menghancurkan gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah, dan kendaraan. Di Sulawesi Tengah, pada hari yang sama saat eksekusi dilaksanakan, dua orang Muslim, Arham Badaruddin dan Rendi Rahman, ditarik dari mobil mereka dan dipukuli
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

47

hingga tewas saat melewati Taripa, sebuah desa yang didominasi komunitas Kristen. Polisi menangkap 17 orang yang ikut serta dalam pembunuhan tersebut, semuanya mengakui keterlibatan mereka. Para tersangka memberitahukan polisi bahwa para korban dibunuh karena eksekusi terhadap Tibo, Riwu, dan Da Silva. Pada tanggal 2 April 2007, jaksa penuntut di Jakarta menuntut ke-17 tersangka dengan undang-undang anti terorisme atas pembunuhan kejam terhadap 2 pria Muslim pada tanggal 23 September 2006. Ke-17 tersangka adalah penganut Kristen pertama dari Sulawesi Tengah yang dituntut dengan terorisme. Pada bulan Juni 2007, jaksa penuntut mengajukan argumen penutup dalam kasus ini dan keputusannya diharapkan akan keluar akhir musim panas 2007. Sementara itu hukuman maksimum adalah hukuman mati, para jaksa penuntut mengajukan permohonan 15 hingga 20 tahun penjara bagi para pelaku. Beberapa peristiwa terjadi setelah eksekusi dilaksanakan pada bulan September 2006, termasuk 3 ledakan skala kecil, penyerangan baik terhadap umat Islam maupun Kristen, dan penyerangan terhadap Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah yang mengakibatkan pengeroyokan dan penghancuran helikopter polisi oleh 5.000 massa. Polisi terus menyelidiki pengakuan terpidana mati Fabianus Tibo tentang tuduhan bahwa 16 orang Kristen lainnya yang menjadi otak di balik kekerasan di Sulawesi Tengah. Pada bulan April 2007, polisi Sulawesi Tengah kembali memriksa 10 dari 16 orang yang disebutkan oleh Tibo.

I. Kebijakan Pemerintah AS Misi diplomatik AS di Indonesia, termasuk Kedutaan Besar AS di Jakarta, Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan, secara berkala berhubungan dengan pejabat Indonesia dalam isu-isu kebebasan beragama dan mendorong pejabat Kedutaan lain untuk membahas masalah ini dengan pemerintah. Staf Kedubes di semua level sering bertemu dengan para pemuka agama dan advokat hak asasi manusia untuk meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Staf Kedubes juga secara rutin mengadakan pertemuan dengan para pimpinan NU dan Muhammadiyah untuk menjelaskan kebijakan AS dan membahas toleransi antarumat beragama serta isu-isu lain. Upaya penjangkauan Kedubes AS menekankan pada pentingnya kebebasan beragama dan toleransi dalam masyarakat yang demokratis. Selama periode pelaporan, Kedubes mempromosikan pluralisme dan toleransi melalui program-program pertukaran dan masyarakat madani.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

48

Sebanyak 213 warga Indonesia telah mengunjungi Amerika Serikat dalam program jangka pendek, termasuk melihat peran agama di masyarakat dan politik AS. Para peserta program mengalami langsung bagaimana pluralisme agama, dialog antaragama, dan multikulturalisme menjadi bagian integral dalam masyarakat yang demokratis. Misalnya, satu program kepemimpinan pemuda menawarkan remaja Indonesia kesempatan untuk bertemu dengan rekan sebaya di Amerika. Mereka

berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, bertemu dengan para pemimpin agama dan terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai toleransi beragama. Delapan penerima beasiswa Fulbright dari Indonesia berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi dan mengambil program-program studi yang langsung berkaitan dengan praktek agama dalam masyarakat demokratis. Tiga akademisi AS datang ke Indonesia untuk mengajar dan melakukan penelitian mengenai topik yang sama. Kedubes AS berhasil menjangkau jutaan orang melalui produksi siaran media yang memberikan liputan mendalam mengenai isu kebebasan beragama dari perspektif Amerika. Ini termasuk program radio Greetings from America, yang secara berkala menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama, perbedaan agama, toleransi, dan pluralisme dari perspektif para pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Program radio ini mengudara 9 kali setiap minggunya dengan 10 juta pendengar potensial di 6 kota. Kedubes AS juga mendanai pembuatan serial dokumenter televisi, The Colors of Democracy, yang diproduksi secara bersama-sama di Indonesia dan Amerika Serikat. Serial ini, pada awalnya mengudara setiap sore dari tanggal 5 Desember 2005 hingga 25 Januari 2006, secara berkala menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama dan dialog antaragama di Amerika Serikat. Misi diplomatik menyumbangkan 6.000 set video compact disc (VCD) berisikan The Colors of Democracy, yang menyoroti dampak positif kebebasan beragama, pluralisme, dan kegiatan antar agama untuk sekolah dan perpustakaan. Melalui perjanjian dengan Departemen Pendidikan yang ditandatangani pada tanggal 11 Oktoiber 2006, VCD-VCD dimasukkan dalam kurikulum pelatihan guru Departemen Pendidikan dan meliputi 32.000 sekolah di seluruh Indonesia. Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung, program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

49

penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat. Pada bulan Desember 2006, CRCS memperluas diskusi publik mengenai isu-isu ini melalui pembuatan website. Kedubes AS mendukung pembuatan dan produksi acara bincang-bincang di televisi dengan 12 episode berjudul Islam Indonesia. Program tersebut bertujuan mendidik kalangan kelas menengah dan profesional muda dan ditayangkan di televisi setiap dua minggu, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendengarkan, menyaksikan, dan terlibat secara aktif dalam debat interaktif melalui saluran telepon. Topik-topik yang dibahas mencakup kebebasan beragama, toleransi, dan pluralisme. Setiap episode menerima 12 hingga 33 telepon. Berkaitan dengan majalah mingguan, Kedubes AS mendukung publikasi edisi suplemen untuk memberikan informasi obyektif mengenai usaha-usaha jaringan Muslim pro demokrasi untuk mendukung proses demokrasi, termasuk kebebasan beragama, toleransi, hak sipil, dan demokrasi. Majalah ini menyebarkan 90.000 salinan ke seluruh nusantara setiap minggunya dengan perkiraan jumlah pembaca 450.000 orang. Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender. Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung, Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.

J. Pluralisme Agama Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan, demikian ungkap Coward Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan. Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward, setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

50

pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. MenurutTracy, diantara agama-agama yang ada di dunia ini memang tidak ada yang memiliki esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang pencerahan atau wahyu, tidak ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi yang dibangun dalam semua pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran tentang Tuhan itu sendiri: God, Emptiness, Suchness, the One, Nature, the Many. Ada perbedaan pemahaman mengenai apa yang diwahyukan oleh Tuhan tentang Tuhan dan tentang diri kita dalam hubungan kita tentang harmoni dan disharmoni dengan Tuhan tersebut. Ada perbedaan penafsiran tentang cara apa yang harus kita ikuti untuk mengubah (pandangan kita) dari pemusatan-diri secara fatal menuju pemusatan-kepada Tuhan secara bebas. Tetapi diskurus dan cara-cara agama seperti itu kadang-kadang bisa saling melengkapi, dan pada batas tertentu, melengkapi beberapa aspek yang belum maju dari yang lain, tetapi pada saat yang sama juga bisa saling mengganggu dan melenyapkan. Menurut Hick, bahwa pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya, pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di antara berbagai pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick memang, sebagaimana kata Soroush, adalah seorang teolog yang membela pluralisme dan inklusivisme sejajar dengan Kung, Smart dan Toynbee. Tetapi, kenapa pula pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Menurut Rodney Stark, claim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif, bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God) banyak memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui penelitiannya, Stark berkesimpulan, bahwa berbedaan agama dalam seluruh masyarakat berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan. Ketika beberapa agama

partikularistik yang kuat saling mengancam antara satu dengan yang lain, maka konflik akan termaksimalisasikan, begitu pula tingkat intoleransi.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

51

Menurut Stark, pluralisme agama memang merupakan keniscayaan dan pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang intens. Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan. Huston Smith, dalam memberikan komentar karya Schuon mengenai hubungan antar agama-agama, mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan, demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia ini disebut agama karena masing-masing memiliki persamaan. Persamaan atau titik temu antara agama-agama tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level eksoterieme, agama-agama tampak berbeda. Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami agamanya melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa semua harus menjadi satu. Menurutnya, ada tiga macam sikap keagamaan manusia: eksklusif, inklusif dan paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya, seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang lain salah; sikap inklusif artinya seseorang beranggapan, bahwa agamanya yang paling

benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap plural artinya, seseorang menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran masing-masing.

K. Dialog Antar umat Beragama Guna mengakomodasi hubungan antara agama-agama pada level internasional, maka pada tahun 1958, di Tokyo, diadakan kongres internasional oleh The International Association for The History of Religion, dalam Konggres itu Friedrich Heiler dari Marburg menerangkan bahwa memberi penerangan tentang kesatuan semua agama merupakan salah satu dari tugas-tugas yang amat penting dari ilmu agama. Orang yang mengakui kesatuan agama, menurutnya, harus memegangnya dengan serius dengan toleransi dalam kata-kata dan perbuatan. Di sini Heiler melihat betapa dekatnya agamaagama itu satu sama lainnya; dengan membandingkan strukturnya, keyakinan dan amalan-amalannya, ia dibawa kepada suatu yang transenden yang melampaui semua namun tetap imanen dalam hati manusia. Oleh karena itu, studi ilmu perbandingan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

52

agama merupakan pencegah paling baik untuk melawan eksklusivisme, karena ia mengajarkan cinta; di mana ada cinta tentu di situ ada kesatuan dalam jiwa. Di akhir pidatonya, Heiler menganalogikan pentingnya ilmu perbandingan agama dengan apa yang dilakukan oleh Helmholtz, penemu kaca mata, yang telah membantu jutaan orang yang sakit mata. Hal demikian juga berlaku bagi studi ilmiah tentang agama, usahanya untuk mencari kebenaran membawa akibat-akibat yang penting bagi hubungan yang praktis antara agama satu dengan lainnya. Dan tidak menutup kemungkinan, bahwa belum tampaknya hasil yang signifikan dari pendekatan dialog dalam menyelesaikan konflik antarumat beragama selama ini karena pendekatan yang dilakukan masih bersifat top down, belum menggunakan model dialog yang bersifat buttom up sehingga bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan dan evaluasi penyelenggaraan dialog kerukunan di masa mendatang. Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan kompleks. Dalam kasus dialog antara Islam dan Kristen, menurut Hassan Hanafi24 keduanya mempunyai dua karakteristik ideal (ideal types) yang kaya untuk dikomparasikan dan selanjutnya bisa mengantarakan kepada suatu common platform. Dialog perlu dilakukan dengan mengedepankan prinsip humanisme, karena antara Islam dan Kristen mempunyai pandangan yang kosmopolit mengenai manusia yang lebih memudahkan untuk melakukan komparasi antara dua dimensi: antropologis dan teologis. Tuhan dan manusia, menurut Hanafi, merupakan kata kunci bagi timbulnya persatuan dan perpecahan antara kultur modernitas dan kultur tradisional atau antara Kristen dan Muslim di Timur. Ada beberapa alasan keraguan sementara orang-orang muslim menanggapi dialog agama ini. Gerakan dialog ini adalah murni inisiatif Kristen Barat dan orang-orang Islam merasa diri mereka sebagai tamu yang diundang, tidak memiliki agenda dan merasa hasil yang bisa dicapai dari dialog ini sedikit. Keyakinan mereka bahwa misi Kristen merupakan agenda tambahan atas kolonialisme yang sering dilakukan orang-orang Kristen menambah ketidakpercayaan terhadap agenda Kristen dan dialog tersebut ditakutkan oleh orang-orang muslim sebagai agenda tersembunyi dari agenda

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

53

evangelism. Ketidakpercayaan ini ditambah dengan ketidakadilan global Barat, khususnya dalam konflik Israel-Palestina. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam dialog ini menurut Hans Kung adalah, bahwa setiap orang beragama harus membuktikan keimanannya masing-masing. Terlepas dari semua perbedaan yang ada menurut Kung, orang Kristen dan Islam harus bertanggung jawab terhadap Tuhan dan melayani masyarakat manusia dengan penuh penghormatan satu sama lain. Seyyed Hossein Nasr menawarkan kajian agama dengan philosohia perennis, karena dia melihat bahwa banyaknya kajian keagamaan di Barat kurang memahami bahwa realitas agama sebagai agama dan bentuk-bentuk yang sakral sebagai realitas ilahi. Sesuatu yang hilang di Barat dalam kajian agama adalah suatu pengetahuan yang bisa memandang agama secara adil, yaitu dengan menggunakan perennial wisdom yang berada dalam hati semua tradisi-tradisi keagamaan. Philosophia perennis merupakan pengetahuan yang berada pada dalam hati agama yang bisa menerangkan makna ritusritus keagamaan, doktrin-doktrin dan simbol-simbol. Philosophia perennis juga menyediakan kunci untuk memahami pentingnya pluralitas agama dan metode untuk masuk kepada dunia agama lain tanpa mereduksi signifikansi atau menghilangkan komitmen kita kepada dunia agama yang menjadi kajian kita. philosophia perennis akan mengkaji agama dari segala aspeknya; Tuhan dan manusia, wahyu dan seni yang sakral, simbol-simbol dan images, ritus-ritus dan hukum-hukum agama, mistisisme dan etika sosial, metafisika, kosmologi dan teologi. Demi mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut, maka pemahaman terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama, tetapi harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama orang lain merupakan prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena tanpa ini dialog mustahil dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama dipergunakan untuk memperlancar dialog ini dan dialog antar agama sendiri merupakan media untuk memahami agama lain secara benar dan komprehensif. Dialog antarumat beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama. Dalam dialog ini diperlukan sikap saling terbuka antarpemeluk agama yang berdialog.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

54

Sebenarnya menganggap bahwa agama yang dipeluk itu adalah agama yang paling benar bukanlah anggapan yang salah, bahkan yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, dan orang lainpun dipersilahkan untuk meyakini bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar. Malapetaka akan timbul apabila orang yang yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, lalu beranggapan bahwa karena itu orang lain harus ikut ia untuk memeluk agama yang ia peluk. Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa model dialog antarumat beragama (tripologi), yaitu: Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta, seperti dialog Worlds Parliament of Religions pada tahun 1873 di Chicago, dan dialog-dialog yang pernah diselenggarakan oleh World Conference on Religion and Peace (WCRP) pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kedua, dialog kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog diantara wakilwakil institusional berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan ini sering dilakukan untuk membicarakan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat beragama yang berbeda. Dialog seperti ini biasanya melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darmadan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI). Ketiga, dialog teologi (theological dialogue). Dialog ini mencakup pertemuan-pertemuan reguler maupun tidak, untuk membahas persoalanpersoalan teologis dan filosofis. Dialog teologi pada umumnya diselenggarakan kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk untuk mengembangkan dialog antaragama, seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA, dan lain-lain. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialogue in community), dialog kehidupan (dialogue of live), dialog seperti ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama dan berbangsa dan bernegara. Dialog dalam kategori ini biasanya diselenggarakan kelompok-kelompok kajian dan LSM atau NGO. Kelima, dialog kerohanian (spritual dialogue), yaitu dialog yang bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spritual di antara berbagai agama. Pada pihak Kristen, menurut Kate Zebiri sikap keterbukaan terhadap agama lain telah melahirkan gerakan antar iman yang pada dekade terakhir terekspresikan dalam dialog yang terorganisir. Vatican telah mendirikan sekretariat bagi agama non-Kristen (Pasific Council for Interreligious Dialogue-PCID) pada tahun 1964 yang mempunyai misi mempromosikan kajian tradisi-tradisi agama lain dan mensponsori dialog antar
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

55

iman (interfaith dialogue). Vatican II (1962-5) juga telah mengeluarkan dokumen yang berisi tentang penghormatannya terhadap orang-orang muslim, karena mereka menyembah Satu Tuhan Yang Maha Hidup, Abadi, Pengasih dan Perkasa. Mereka juga tunduk sepenuh hatinya kepada takdir Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim yang merupakan sandaran keimanan Islam. Walaupun mereka tidak mengakui bahwa Yesus sebagai Tuhan tetapi mereka mengakuinya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maryam, Ibu Yesus yang suci. Mereka juga menantikan Hari Perhitungan. Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap oleh Ahmad Gaus adalah, dialog yang meleburkan diri pada realitas dan tatanan sosial yang tidak adil dengan sikap kritis. Karena setiap agama penegakan moralitas. Dengan tegas dikatakan oleh Mudji Sutrisno, bahwa tidak cukup membangun dialog antaragama hanya dengan dialog-dialog logika rasional, namun perlu pula logika psikis. Maka ikhtiar dialog teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencairanpencairan psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul. Memang, seperti juga yang diungkap oleh Kautsar Azhari, bahwa kendala dialog antar umat beragama adalah persoalan eksklusivisme. Seorang eksklusivis akan terus berusaha agar orang lain mengikuti agamanya dengan menganggap agama orang lain keliru dan tidak selamat (truth claim). Dengan demikian, sepanjang sikap di atas belum tercairkan, maka dialog menuju cita-cita agama yang luhur sulit dicapai. Maka jangan khawatir dengan dialog, karena yang ingin dicapai dalam dialog, kata Victor I. Tanja bukan soal kompromi akidah, melainkan bagaimana akhlak keagamaan kita dapat disumbangkan kepada orang lain. Dan seperti tegas Shihab, bahwa kita tidak ingin mengatasnamakan ajaran agama, dan kemudian mengorbankan kerukunan beragama. Dan pada saat yang sama, kita tidak ingin menegakkan kerukunan agama dengan mengorbankan agama. Islam mendambakan kerukunan, tetapi jangan lantas demi kerukunan, agama kita terlecehkan. Ulil Abshar Abdalla dalam artikelnya, Beberapa Kendala Praktis Dialog Antar Agama, menengarai tujuh kendala praktis di lapangan yang menghalangi pertemuan antar umat beragama, yaitu: adanya kecenderungan dialog yang bersifat diskursif dan elitis; kurang serius (baca: agresif) dalam memperjuangkan isu dialog; adanya kesenjangan antara kelompok elit agama dengan mediator (dai) di lapangan; tidak memadainya infra struktur dialog; adanya prasangka antar umat beragama dan juga intern umat beragama; adanya kesenjangan sosial dan ketidakadilan dan tidak adanya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

memiliki nilai-nilai kebaikan dan misi

56

dialog intern umat beragama. Sementara menurut mantan menteri agama, Tholchah Hasan, pembinaan kerukunan umat beragama yang ada selama ini, ditengarai masih cenderung berorientasi struktural dan politis. Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan komplek. Huston Smith, dalam pengantarnya mengungkapkan tentang tesis Schuon mengenai hubungan antara agama-agama bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan sekaligus perbedaan, demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia ini disebut agama karena masing-masing memiliki persamaan. Persamaan atau titik temu antara agama-agama tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level eksoterieme, agama-agama tampak berbeda. Oleh karena itu, untuk mencari titik temu antar agama, perlu adanya kajian esoteris terhadap agama. Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara komprehensif, kita harus memahami agamanya (kitab agama) melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa semua harus menjadi satu. Menurutnya, setiap agama merefleksikan, membenarkan, menambahi dan melawan yang lain.

L. Pluralisme dan Dialog Antarumat Beragama: Beberapa Pendekatan Harus diakui, bahwa agama-agama, disamping memiliki klaim absolutisme, juga memiliki klaim inklusivisme. Dalam konteks ini ada kasus menarik yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad, yaitu ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama Tuhan memerintahkan kepada Nabi untuk berkata kepada mereka: .Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan diantara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui. Menurut penafsiran Quraish Shihab ketika absolutisitas diantar ke luar (ke dunia nyata), Nabi tidak diperintahkan untuk menyatakan apa yang ada di dalam (keyakinan tentang absolutisitas agama tersebut), tetapi justru sebaliknya. Itulah sebabnya menurut Quraish Shihab, bahwa salah satu kelemahan manusia adalah semangatnya yang menggebu-gebu, sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi Tuhan, misalnya menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat, menjadi satu aliran dan satu agama.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

57

Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang mengantarkan mereka memaksakan pandangan absolutnya untuk dianut orang lain. Pada umumnya kebanyakan filosuf berpendapat bahwa hakikat realitas tertinggi adalah satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama juga satu. Ketika allamah Thabathabai berbicara tentang agama pada level filosofis ia tidak pernah bersikap permissif, tetapi ketika kajiannya mulai menyentuh dataran sosiologis ia sangat toleran, begitu pula muridnya, Muthahhari. Itulah sebabnya menurut Shahab, dalam masalah perbandingan agama hendaknya digunakan perspektif filosufis, bukan sosiologis, untuk menghindari pada jebakan simbol-simbol agama. Dalam menghadapi pluralisme agama, John Hick menawarkan pendekatan lintas budaya (crooss-cultural). Pendekatan ini menegaskan bahwa ada satu Tuhan tak terbatas (Maha Kuasa) yang ada di balik semua kesan dan pandangan agama yang berbeda. Oleh sebab itu menurut Hick, tidak beralasan bagi suatu agama yang mengklaim dirinya paling benar dan menganggap agama yang lain salah. Adalah tidak mungkin bahwa kesan paling lengkap atau kurang lengkap tentang Tuhan dilakukan dalam tradisi keagamaan yang berbeda. Dalam karyanya, On Grading Religions, Hick berusaha menilai agama-agama itu sebagai tradisi-tradisi yang utuh, (total) ketimbang melihatnya sebagai fenomena keagamaan yang partikular dan pada akhirnya merupakan kerja yang tidak realistik. Hick melihat tradisi perbedaan keagamaan dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri (Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-Centredness). Hick dalam hal ini menganalisis kriteria dan pendekatan-pendekatan evauluatif yang mungkin dapat membantu dalam menilai kultur keagamaan secara lengkap dan utuh. Hick menganalisis tiga kriteria ketika orang menyambut dan menerima perantara Tuhan dalam membangun sebuah tradisi keagamaan. Pertama, adalah kriteria moral yang didasarkan pada sebuah tatanan moral universal, yang mempertanyakan: Apakah perantara (mediator) itu lebih baik dari kejahatan, dan apakah ajarannya menawarkan sebuah visi moral lebih baik dari pada moralitas umum yang ada? Kedua, kriteria yang menfokuskan pada kemampuan mediator untuk mengungkapkan visi baru tentang realitas yang mendorong manusia untuk mengikutinya: Apakah visi baru itu lebih baik, dan apakah kehidupan baru dan lebih baik itu bisa melalui mediator tersebut? Ketiga, kriteria yang memusatkan pada respon manusia: Apakah manusia bisa berubah dan dijamin bahwa Tuhan kenyataannya mengantarkan mereka?

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

58

Hick mengajukan evaluasi rasional mengenai kognisi, elemen-elemen teori mengenai tradisi keagamaan dan evaluasi moral tentang aktualisasi kultur-sejarah kepercayaan keagamaan. Namun menurut penilaian Stenger44 keduanya (baik evaluasi rasional maupun moral) mengarah pada kesimpulan positif dan negatif, lebih kuat dan lebih lemah yang memberi contoh setiap tradisi. Orang boleh juga mempertanyakan, apakah visi dasar keagamaan berlanjut menjadi efektif secara soteriologic (soteriologically effective) atau hidup yang transformatif, tetapi akhir pembuktian tentang itu menurut Stenger bersifat eskatologis. Memang, sebagaimana penilaian Stenger, Hick tidak menemukan kriteria yang cukup untuk perbandingan yang memadai dan penilaian yang baik terhadap tradisi keagamaan secara utuh. Meski begitu menurut Stenger, kriteria-kriteria yang dibuat Hick itu bisa dipakai pada fenomena keagamaan khusus dan oleh karena itu patut dipertimbangkan dalam persolan yang terkait dengan isu penilaian kebenaran keagamaan tersebut. Hick mengatakan bahwa semua cara yang ditempuh agama-agama menuntut transformasi tunggal mengenai diri: dari pemusatan diri (Self-Centredness) menuju pemusatan Tuhan (Reality-Centredness). Dalam beberapa cara keagamaan, orang harus merubah perhatian ego dengan menggunakan hubungan baru dengan Tuhan. Hanya kemudian, dapatkah diri (self) berhenti menjadi ego dan menemukan kebebasan otentik yang dihubungkan dengan alam, sejarah, dan yang lain? Adalah tidak mungkin bahwa semua pencerahan keagamaan berbeda ekspresi dari posisi keagamaan yang sama. Pluralitas diantara agama-agama tidaklah mereduksi terhadap klaim bahwa mereka semua memperlihatkan pencerahan yang sama atau praktik yang sama tentang kebebasan45. Brian Fay dalam mengkaji fenomena sosial menggunakan pendekatan yang disebut dengan pendekatan multikultural. Ada dua belas pendekatan multikultural dalam filsafat ilmu sosial yang dibangun oleh Fay. Pendekatan ini mencoba mendamaikan berbagai perbedaan pandangan dalam ilmu sosial dengan cara yang lebih mendalam, plural, inklusif, tanpa sekat dan subjektivisme. Dalam filsafat ilmu sosial terdapat pola yang bersifat dualistis yang mendominasi. Pola itu terkait dengan pertanyaan: Apakah satu pilihan atau pilihan lainnya dan kemudian salah satu diantaranya dianggap pilihan yang benar? Fay berusaha menghindari dualisme yang merusak, misalnya: diri vs. orang lain;

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

59

subjetivisme vs. objektivisme; atomisme vs. holisme; kebudayaan kita vs. kebudayaan mereka; orang dalam vs. orang luar; kesamaan vs. perbedaan dst. Fay menjelaskan tentang memahami orang lain dan mengkritik orang lain. Antara memahami dan mengkritik adalah dua hal yang berbeda. Ilmu sosial terkait dengan usaha memahami orang lain bukannya menilai orang lain. Dari dua belas tesis filsafat multikultural yang dibangun Fay ini, ada empat poin yang penulis anggap tepat untuk memahami pluralisme agama, yaitu: pertama, mewaspadai adanya dikotomi, menghindari dualisme buruk dan berpikir secara dialektis. Sebagaimana yang disarankan oleh Fay, kita tidak boleh terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis; kedua, tidak menganggap orang lain sebagai yang lain. Sebenaranya semua identitas pribadi pada hakikatnya menurut Fay bersifat dialogis. Tidak ada pemahaman diri tanpa pemahaman orang lain, dan jangkauan kesadaran diri kita dibatasi oleh pengetahuan orang lain; ketiga, mentransendensikan kesalahan memilih antara universalisme dan partikularisme, asimilasi dan pemisahan. Hendaknya kita memanfaatkan perbedaan, dengan mengambil hikmah, pembelajaran dan saling menguntungkan; keempat, berpikir secara proses, dengan pengertian kata kerja bukan kata benda (produk). Jika umat beragama mampu menggunakan pendekatan multikultural dalam berinteraksi, maka keberadaan agama dan perbedaan yang ada diantara agama-agama tidak akan menimbulkan pertentangan dan konflik yang membahayakan. Menyangkut masalah pemahaman dan peran agama, secara umum, dapat dilihat dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan dengan kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggotaanggotanya untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Kedua, aspeknya yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait dengan peranan agama dalam menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya di masa kini, Pemahaman terhadap peranan agama semacam itu dapat ditemukan batu pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-agama semit. Dalam Islam misalnya, alQuran tidak hanya mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah ritualseremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan spiritual, tetapi juga membuka ruang penafsiran intelektual guna membantu manusia dalam mendapatkan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

60

makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Peranan Islam seperti ini tampak dengan jelas dalam hampir setiap ibadah ritualnya selalu terkandung apa yang biasa disebut dengan pesan moral. Bahkan begitu pentingnya pesan moral ini, harga suatu ibadah dalam Islam dinilai dari sejauh mana pesan moralnya bisa dijalankan oleh manusianya. Apabila suatu ibadah tidak bisa meningkatkan moral seseorang, maka ibadahnya dianggap tidak ada maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan hal-hal yang terlarang secara fiqh dalam suatu ibadah, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu sendiri. Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan intim pada siang hari, maka kifarat (dendanya) ialah memberi makan enam puluh orang miskin, karena salah satu pesan moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di sekitarnya. Aspek kognitif peranan agama semacam ini juga bisa dijumpai dalam agama Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel misalnya atau Nabi Ayyub dalam al-Quran merupakan simbol persoalan kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat dalam. Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial dan keagamaan memang tidak serta merta menjadikannya bahagia, sebaliknya menyebabkan dia memperoleh cobaan penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati niali-nilai sakral yang terdapat dalam perintah-perintah Tuhan bukan hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan tersebut, namun juga membantu dia menemukan makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan kepada Tuhan tentang apa yang terjadi, bukan keadaan dirinya yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa seluruh umatnya yang dikedepankan. Pesan agama yang terpantul dari kisah tentang Ayub itu adalah, bahwa ketidaksamaan nasib untung dan malang manusia tidak dapat dijelaskan begitu saja menurut ukuran baik buruk manusiawi, tetapi harus dilihat pula dari segi adanya penilaian-penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu) fungsi agama yang penting, yaitu memberikan makna moral dalam pengalaman-pengalaman kemanusiaan. Makna moral di sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, bahwa semua agama besar menekankan kebajikan seperti kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang serius kebajikan seperti itu. Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada ajaran Islam dan Kristen di atas merupakan persoalan makna agama dalam pengalaman individual. Secara esensial, persoalan yang sama bisa juga ditemukan pada level masyarakat secara keseluruhannya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

61

Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan kekuasaan merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Fenomena semacam ini secara sosiologis sangat bisa mendorong timbulnya penafsiran-penafsiran moral terhadap tertib sosial yang ada. Pada situasi dan kondisi tertentu tidak jarang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, apabila interpretasi yang dilakukan oleh masingmasing anggota masyarakat tidak mencapai titik temunya. Atas dasar pemahaman seperti itu, persoalan makna agama dalam pengalaman masyarakat menjadi lebih unik dan rumit dibanding pada pengalaman individu. Apabila suatu masyarakat mampu memahami peranan agama dalam membantu menafsirkan secara moral pengalaman hidupnya secara tepat, maka agama akan hadir sebagaimana fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-interpretasi tersebut maka agama bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengahtengah masyarakat. Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka penganut agama harus belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme, demikian ungkap Nurcholish Madjid. Kita boleh memandang agama sebagai absolut, namun yang harus diingat bahwa pemahaman kita baik pribadi maupun kelompok menyimpan kualitas kemanusiaan yang relatif. Petunjuk konkret untuk memupuk persaudaraan menurut Nurcholish adalah, supaya suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman tidak memandang rendah atau meremehkan orang dan agama lain. Sekurang-kurangnya menurut Bambang Sugiharto, tantangan yang dihadapi setiap agama saat ini ada tiga: pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral; kedua, soal pluralisme dan eksklusivisme; ketiga, soal ketidakadilan. Ketiga persoalan tersebut sulit diatasi karena beberapa faktor, di antaranya adalah: karena adanya sikap agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan yang disalahmengertikan; dan adanya kepentingan luar agama (politik, ekonomi) yang turut mengintervensi agama. Tetapi jika faktor di atas dapat diselesaikan, maka tantangantantangan tersebut juga dapat dijawab. Menurut Armahedi Azhar, terdapat lima penyakit yang menghinggapi para aktivis gerakan keagamaan, yaitu: absolutisme, ekslusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, ekslusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah sikap yang berlebihan dan agresivisme adalah tindakan fisik yang berlebihan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

62

Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat). Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan bahwa ketegangan agama yang terjadi selama ini adalah karena pelaku dakwah (dai, muballigh, missionaris) adalah orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan provokatif. Tentu saja dengan masih adanya konflik antar umat pada beberapa tahun terakhir ini tidak bisa dikembalikan begitu saja kesalahannya pada pendekatan dialog secara an sich sebab disamping ada faktor-faktor lain yang ikut ambil bagian di dalamnya seperti ekonomi, hukum, politik dan seterusnya. Sudah saatnya kini para pemuka agama mulai mengedepankan misi agama yang terkait dengan masalah spiritualitas dan persoalan kemanusiaan (keadilan, kejujuran, dan keramahan). Oleh sebab itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama di tengah pluralitas ini adalah dengan memahami ajaran agama masing-masing secara utuh.

4. Pemahaman Psikologi Masyarakat Indonesia Sebagai Upaya Menjembatani Permasalahan Silang Budaya

A. Pendahuluan Permasalahan silang budaya terkait dengan paham kultural materialisme yang

mencermati permasalahan budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu. Pola temperamen yang relatif seragam ini ditentukan oleh faktor keturunan, kebutuhan dan hubungan sosial yang terjadi di antara mereka, sehingga dalam kehidupan suatu kebudayaan cenderung untuk mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku tertentu, karena pola perilaku tersebut diturunkan melalui pola asuh dan proses belajar.

Kemudian muncullah struktur kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang merupakan ciri khas suku bangsa dan masyarakat tertentu. Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

63

budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang budaya dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku masyarakatnya. Juga peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara substantif dan distributif, sehingga dapat menampilkan informasi apresiatif terhadap budaya masyarakat lain. Pendidikan sebagai proses humanisasi menekankan pembentukan makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya, yaitu manusia yang bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya. Toleransi budaya di lembaga pendidikan dapat diupayakan lewat pergaulan di sekolah dan muatan bidang studi, transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan. Pemerintah telah bertekad untuk dapat memajukan masyarakat serta pendidikan nasional, yang berakar pada kebudayaan nasional (Pasal I ayat 2 Undang-Undang No II tahun 1989), tekad ini mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pendidikan Nasional akan selalu berpijak pada bumi dan budaya Indonesia. Berangkat dari

permasalahan di atas, makalah ini disusun dan bertujuan untuk dapat mengungkap bagaimana upaya untuk dapat memahami psikologi masyarakat Indonesia sebagai upaya menjembatani permasalahan silang budaya, pemahaman ini diperlukan karena pada dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan (pengejawantahan) manusiawi dari individu-individu yang berada dalam masyarakat pendukungnya sehingga permasalahan kebudayaan akan selalu berkembang sejalan dengan

perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang sudah barang tentu tidak bisa lepas dari aspek psikologis dan kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut. Dalam konsep yang paling dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan dengan pengertian tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh

kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

64

mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973), kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan

(Folkways) dan tata kelakuan (mores ) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curural materialisme yang

mencermati budaya dari pola piker dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual kaitannya pada kehidupan masyarakat yang tidak terlepas dari

dengan orietasi kebudayaannya yang khas,

sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra individual, sosial dan cultural sekaligus. Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang buaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu consensus yang perlu

disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam berbagai aspek kehidupan, maka dengan meminjam istilah Budiono, yang menyatakan bahwa pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia cenderung dapat dipandang sebagai suatu masyarakat besar yang belum selesai. Hal ini dapat dikembalikan pada adanya berbagai dorongan sentripetal dan sentrifugal yang bersilangan secara terus menerus naik ke permukaan secara silih berganti. Persentuhan antar budaya yang terjadi secara dinamis dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil sekedar sebagai pergeseran ( (shift) antar nilai, atau peresengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya mekanisme yang dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media masa.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

65

Harus dipahami bahwa penggalian budaya

nasional bukan

diarahkan

konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilainilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan memperkokoh dan

rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi

pengembangan diarahkan pada perwujutan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa. Kebudayaan Etnis yang kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu dipahami sebagai kebudayaan sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis tertentu oleh karenanya permasalahan silang budaya, hanya dapat terjembatani dengan pemahaman bahwa keutuhan suatu bangsa dapat terbentuk dengan kesadaran setiap individu dan kesadaran setiap etnis yang terhimpun dalam suatu bangsa , sehingga perlu membina kesadaran individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan individu.

B. Psikologi Masyarakat Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain ,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

66

karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya. Masyarakat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat. Kebudayaan dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang kemudian memunculkan adanya kepribadian rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada sekelompok individu pada masyarakat tertentu.. Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh

karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,) Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari suatu kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif masyarakat yang dihadapi suatu masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja : 1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi karakterologi psiko analitik. Teori Erich Formm mengenai watak

masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk suatu masyarakat perlu menerjemahkannya

memuskan hubungan itu secara efektif kedalam

unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia

melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.


PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

67

Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2 proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaphoric sehingga dapat memperluas atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat pendukungnya.

C. Masyarakat Multikultural dan Masalah Silang Budaya Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya. Hambatan-hambatan yang potensial dimiliki oleh suatu masyarakat yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya : Struktur sosial yang berbeda akan menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda, pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas juga tanpa memperoleh tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara sentralistik. Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan

masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

68

yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad Hassan, 1998). Sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Sehingga permasalahan multicultural justru merupakan suatu keindahan bila indentitas masingmasing budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta dapat dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain , bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang salah kaprah untuk

membengun struktur dan budaya politik yang sentralistik. Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya

persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budayabudaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru

disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam

proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang berkepribadian

etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga

sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

69

Ditambahkan oleh Budiono bahwa ;

Dalam masyarakat selalu bekerja dua

macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah memperlihatkan bahwa kaum konserfatif cepat atau lambat akan terdesak untuk

memberi tempat pada adanya perobahan. Proses itu seringkali tidak berjalan secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan kaum konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri. Dalam masyarakat yang sudah selesai konflik itu sudah ditempatkan dalam suatu mekanisme yang

biasanya merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung secara liar karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk menyelesaikan/ mengatasi perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam masing-masing kekutan progresif itu juga

bersama-sama mencari mekanisme itu

berusaha untuk mencari kekuatan yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu pemaksaan fisik. Dengan pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat Indonesia yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu memperoleh perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat majemuk lebih menekankan pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk diwujudkan dalam masarakat yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan proses-proses demokratisasi, ideology harus digeser menjadi ideology keanekaragaman budaya atau multi kulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa maka yang nampak menyolok dalam kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekakanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai acuan utama bagi jati diri individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang memiliki potensi pemecah belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara primordial dan sobyektif. Konflik-konflik yang terjadi antar etnik dan antar agama yang terjadi, sering kali berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

dipadu dengan

70

konfkil konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan secara berlebihan jatidiri etnik untuk solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada (Hamengku Buwono X. 2001).

D. Kendala dan Upaya Penyelesaian Permasalahan Silang Budaya Dengan mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi masyarakat Indonesia, dapat ditenui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah diantaranya adalah : (1) Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya (2) Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi, (3) Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan & pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral. (4). Meningkatnya gejala Societal crisis on caring (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas. Sejalan dengan berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian permasalahan silang budaya dapat dilakukan dengan : Pertama dapat dilakukan dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya. Kedua : Peningkatan peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

terutama

71

distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang

mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain. Ketiga : Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya, yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus perubahan dengan

memperetajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dam sence of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut, transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.

5. HARI

BUDAYA

NUSANTARA

SEBAGAI

NATION

BUILDING,

CHARACTER BUILDING, DAN INVENTARISASI BUDAYA Konflik konflik yang terjadi di masa yang akan datang lebih disebabkan oleh faktorfaktor budaya daripada ekonomi ataupun ideologi ( Jacques Delors; Question Concerning European Security). Pernyataan Jacques Delors di atas ada benarnya juga melihat permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari kasus klaim budaya Indonesia oleh pihak Malaysia. Mulai dari gamelan, wayang, reog ponorogo, sampai yang terakhir adalah Tari pendet. Kejadian tersebut memunculkan sikap kemarahan terhadap Malaysia dan seruan seruan Ganyang Malaysia kembali

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

72

berkumandang. Ini menunjukkan bahwa ternyata budaya memang mampu menimbulkan suatu konflik. Tamparan keras yang kita peroleh dari Malaysia memberikan pelajaran berharga bahwa bangsa ini belum bisa memberikan perlindungan terhadap aset aset budaya. Ketakutan beberapa kalangan budayawan tampaknya akan menjadi kenyataan bahwa budaya kita akan menemui the end of history. Ini menjadi sebuah peringatan yang perlu menjadi perhatian lebih. Secara tidak disadari pencaplokan budaya oleh Malaysia membangkitkan Nasionalisme kita. Ernest Renan pernah berkata bahwa bangsa adalah satu jiwa. Terbukti tidak hanya orang Jawa yang geram ketika wayang kulit di klaim, tidak hanya orang Bali yang marah ketika Tari Pendet di komersialkan Malaysia, tampaknya semua masyarakat bangsa ini juga ikut marah. Rasa saling memiliki budaya di tiaptiap daerah membuat alam bawah sadar bergejolak dan merasa tersinggung ketika budaya yang kita banggakan direbut oleh pihak asing. Tanpa disadari benih benih nasionalisme yang ada di dada kita bangkit.

A. Nasionalisme dan Kebudayaan Prof. Dr. Slamet Muljana mengartikan nasionalisme sebagai manifestasi kesadaran bernegara atau semangat bernegara. Sedangkan Bung Karno dalam Dibawah Bendera Revolusi jilid II membedakan nasionalisme di barat dengan nasionalisme di Indonesia. Beliau beranggapan bahwa nasionalisme eropa ialah suatu sistem yang melahirkan kolonialisme serta imperialis yang bersifat menghisap, merampas, dan menjajah. Beda dengan nasionalisme Indonesia yang ingin terbebas dari penjajahan karena baginya nasionalisme sejati lahir karena semangat menuntut keadilan dan melawan penindasan. Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi yang memiliki arti budi atau akal. Dari sini kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dangan budi atau akal. Menurut Clifford Geertz, Kebudayaan (culture) sebagai sebuah pola makna atau ideide yang termuat dalam simbolsimbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan. Nasionalisme merupakan sarana untuk mengungkap jati diri bangsa yang nantinya berfungsi untuk penetapan identitas. Terkadang nasionalisme muncul seperti sebuah orientasi kultural sehingga sering ditemui dalam tindakan politik. Kuntowidjoyo mengintrodusir bahwa paralelisme transformasi sosial berarti bahwa
73

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

perubahanperubahan memang sedang terjadi dalam skala dan kecepatan yang lebih, sementara antara perubahan struktural dan perubahan kultural tidak sejalan, sehingga terjadi anomie pada perangkat nilai. Anomie terjadi karena kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya tradisional di lain pihak. Industrialisasi telah melahirkan budaya massa yang mengarah ke semangat kolektif dalam tata nilai; tekonologisasi telah menuntut penerapan metode teknik dalam segala bidang; dan urbanisasi telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai komunal sebuah masyarakat tradisional

B. Mencari Identitas Nasional ?

Gus Dur: Saat ini Indonesia sedang dalam proses mencari Identitas Nasional. Namun harus diakui pemerintah menghadapi banyak sekali hambatan dan masalah untuk mewujudkan hal tersebut, seperti ancaman separatisme, militerisme dan konflik keagamaan. Bahkan, juga ada sekelompok kaum militan yang merasa terancam1[1]. Apa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan identitas nasional? Sebelum bicara lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa arti dan makna kata tersebut. Identitas, kalau mau lebih spesifik lagi, identitas kolektif, dapat dibagi menjadi lima kategorie: Identitas gender (feminisme), identitas kedaerahan, identitas kelas-sosial, identitas etnis dan yang terakhir identitas religius.2[2] Identitas kolektif. Feminisme sebagai identitas kolektif, memang pernah ngetrend, terutama di negara negara (industri) maju; Eropa, Amerika Serikat dll. Kolektivitas jenis ini, kendati populer, namun kurang mengikat, karena dibatasi oleh benua, negara, etnis dan agama. Demikian pula, identitas kolektif yang bersifat kedaerahan (lokalisme/ regionalisme). Keunikan sebuah daerah, (keunikan saja!) tak bisa dijadikan alat untuk memobilisasi massa. Rupanya ini lebih banyak urusan ideologi dibanding ekologi (natur). Kemudian masalah kelas sosial3[3] (borjuis vs. kelas buruh) sebagai identitas kolektif, bukan saja kurang atraktif, akan tetapi keberadaannyapun sangat meragukan. Identitas kelas (buruh sedunia?) sebagai identitas kolektif tak pernah benar-benar eksis. Karena terbukti, kurang lem perekat emosional, disamping itu
1[1]

Hal ini diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam pertemuan dengan sejumlah investor Inggris di Hotel Kempinski, Jakarta, 29 Mei 2000. (Tempo interaktif 29/5) Mengenai identitas kolektif Anda bisa lihat: National Identity. A. D. Smith 1991: terutama h. 4-8 Diskusi lebih luas mengenai masalah kelas sosial baca Marx dan Weber.

2[2] 3[3]

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

74

juga, karena, tidak memiliki akar budaya yang kuat. Kalau dibanding identitas lain seperti identitas religius atau etnis, misalnya. Perlu diketahui, kelompok interes, dengan basis ekonomi, bukanlah termasuk bentuk identitas kolektif yang stabil. Identitas religius dan identitas etnis sering kali, mengikat dan merekayasa (basis) lebih dari satu kelas-sosial. Identitas religius berbeda dengan kelas sosial, masing-masing berangkat dari segi kebutuhan dan aktivitas manusia yang berbeda. Identitas kelas berangkat dari pola produksi dan tukar menukar barang dan jasa. Sedangkan identitas religius tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari hasil komunikasi dan proses sosialisasi di masyarakat. Yang bersumber dari elemen-elemen budaya seperti nilai-nilai, simbol, mitos, tradisi yang sering dikodifikasi menjadi adat-istiadat dan ritual, demikian menurut sosiolog Inggris Anthony D. Smith. Komunitas religius seringkali bersimbiose dengan identitas etnis. Tatkala agamaagama dunia bersaing ketat, mencoba, berusaha mengaburkan atau bahkan menghapuskan batas-batas ke-etnisan, yang terjadi malah sebaliknya. Kebanyakan komunitas religius menyatu dengan kelompok-kelompok etnis. Hubungan ini malah bisa lebih erat lagi. Ceritanya seperti ini: Komunitas religius yang semula kecil dan sederhana, dalam kurun waktu tertentu, bisa saja berubah bentuk menjadi sebuah komunitas etnis yang eksklusif. Sampai saat ini masih banyak minoritas etnis yang memiliki ikatan religius.4[4] Definsi etnis dan nasion (bangsa) berubah-ubah dan selalu bermuatan politis dan penuh rekayasa. Misalnya, identitas kolektif, bisa berarti identitas etnis dan bisa juga berarti identitas nasional. Kenapa demikian? Begini. Dari perbedaan kultural, etnisitas membentuk batas-batas kultural. Dari batas-batas kultural, sebuah bangsa membentuk batas wilayah negara. Kedua batas ini bukan terbentuk secara alami, melainkan resultat dari berbagai macam strategi serta struktur organisasi sosial/politik dll. baik batas yang merupakan produk kesewenang wenangan kolonialisme abad 19, ataupun rekayasa kolonialisme internal (penguasa bangsa sendiri) akhir abad 20. Singkat, kini etnisitas berarti: pertama sebagai pengganti status minoritas (hampir disegala bidang) dan kedua, munculnya situasi dikotomis: penguasa versus kelompok tertindas. Perlu diingat hanya gerakan etnis yang memiliki karakter kelas sosial, bisa menjadi politis. Dan kalau politik mandeg gerakan etnislah yang mengisi ruang politik itu.

4[4]

Katholik/Protestan, Irlandia Utara.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

75

Etnisitas bisa juga dilihat sebagai ekspresi seseorang (baca kelompok) yang mengacu pada etnis tertentu. Perbedaan (etnis) muncul, sebagai akibat dari bentuk kultur yang berlainan. Namun yang terpenting, bukan substansi perbedaan-perbedaan tersebut yang harus ditonjolkan, melainkan; bagaimana sebuah kelompok menamakan diri mereka sendiri dan bagaimana mereka dinamakan oleh kelompok lain (Barth, 1969). Hasil pemotretan pihak lain mestinya bisa dipakai sebagai pengakuan terhadap eksistensi identitas diri sendiri. Jika cara ini tidak klop, maka sudah pasti identitas yang dimiliki, tidak akan pernah stabil. (Elwert 1989:23). Sebagai contoh mungkin sekarang orang Papua tak mau lagi kalau disebut sebagai orang Irian. Dalam kondisi normal (tanpa krisis) soal identitas bukanlah masalah pokok. Namun dalam suasana krisis multi dimensional, banyak orang bingung, yang kemudian lantas mencari tempat untuk berlindung rumah ibadah penuh. Acara-acara yang bernuansa religius dan kedaerahan tambah marak. Wacana budaya lokal pun muncul. Masalah ini bisa dilihat sebagai akibat dari kapitalisme yang makin meng-global, yang menyebabkan, fungsi negara-nasional, disatu pihak kurang optimal (lemah) dan dipihak lain munculnya sentimen budaya lokal, separatisme atau nasionalisme etnis. Kenapa kita harus heran tatkala melihat bangkitnya nasionalisme etnis dimana-mana? Nasionalisme etnis dan nasionalisme teritorial. Dalam hal ini Smith (1981:14-20) membedakan antara nasionalisme etnis, yakni gerakan yang berusaha keras memperjuangkan kemandirian tradisi, kultur atau adat istiadat lokal. Sedangkan nasionalisme teritorial, pertama tama bertujuan membentuk sebuah negara teritorial. Pembagian Smith terasa kurang pas. Karena itu, perlu direvisi. Berbeda dengan Smith dan yang lebih relevan Jggi, membedakan antara periphere nasionalisme dan nasionalisme sentral. Alasannya seperti ini; gerakan nasionalisme pinggiran, yang tercerabut dari akar kulturalnya, memiliki dinamika yang berbeda dengan nasionalisme dominan. Nasionalisme pinggiran bertujuan merubah struktur kekuasaan, sedangkan nasionalisme di pusat memperkuatnya (Jggi 1993:23). Dengan kata lain, setiap usaha pencarian identitas (nasional), selamanya akan memicu munculnya identitas-identitas nasional tandingan. Karena (kalau menurut Fredrik Barth 1969): Identity makes counter- identity. Dan identitas kolektif tak pernah nyelonong begitu saja jatuh dari langit. Identitas memiliki asal usul yang jelas dan selamanya merupakan produk sejarah penuh rekayasa politik dan sarat muatan ideologi dan manipulasi. Akhirnya identitas etnis, misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang (pernah dan terus) eksis walau ratusan tahun sekalipun.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

76

Aceh. Misalnya, peringatan 360 tahun wafatnya Sultan Iskandar Muda dirayakan secara militer, 27 Desember tahun lalu, merupakan momentum bagi bangsa Aceh untuk meningkatkan persatuan, katanya. Menurut Hasan Di Tiro, Aceh sedang berada di ambang kemerdekaan kembali ke masa pimpinan Sultan Iskandar Muda abad 16, yang terkenal ke seluruh dunia. Kehidupan rakyatnya sangat makmur. Disebabkan pimpinan selalu bertindak adil, bijaksana, dan selalu bersikap jujur sehingga terkenal di kawasan Asia, Eropa, dan tanah Arab. Menurut dia, keadaan itulah yang hendak dikembalikan ketika Aceh Sumatera mencapai kemerdekaannya nanti (lihat : Waspada 28 Desember 1999). Singkat, kasus Aceh boleh dibilang sebagai kombinasi antara represi politik (DOM) dan penghisapan sumber daya alam, yang kemudian menyebabkan identitas etnis yang sudah kuat menjadi makin kental. Maluku. Sedangkan konflik (Kristen/Islam) Maluku, lain lagi. Penyelesaian persoalan, tidak mudah, kata Presiden Adurrahman Wahid, baru baru ini, karena ini berakar sejak zaman Belanda, di mana golongan Kristen ketika itu mendapat perlakuan istimewa dari Belanda, misalnya untuk menjadi anggota militer. Ketika Soeharto (dan kemudian Habibie) berkuasa, keadaan terbalik, di mana kaum Muslimin menduduki berbagai posisi penting, namun ketika Kristen protes, mereka dihadapi dengan kekerasan. Karena itu, kekerasan yang terjadi sekarang ini tidaklah mungkin dihadapi dengan kekerasan pula, ujar Abdurrahman Wahid (Kompas 04/05/00). Kasus bangsa Papua lebih spesifik lagi. Kongres Rakyat Papua, (4/6), menyatakan, menolak penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses penyatuan Papua yang dilakukan Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia, selanjutnya dikukuhkan PBB, dinilai cacat hukum. Sebab itu, kongres meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua. Demikian resolusi KRP yang dibacakan oleh Thaha Al-Hamid di hadapan ribuan warga Papua. Menurut resolusi yang dihasilkan oleh kongres itu, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961 (Kompas 05/05/00). Kasus Riau sederhana saja. Proklamator Riau Merdeka, Prof. Dr. Tabrani Rab menilai kedatangan Gus Dur ke Pekanbaru Riau (29/4) , kecuali menghabiskan dana rakyat, juga tak ada gunanya serta tak menyelesaikan akar persoalan. Tabrani menilai Gus Dur tak mampu menyelesaikan persoalan Riau. Sebab, hingga saat ini, Gus Dur dianggapnya belum memahami akar persoalan masyarakat Riau. "Ini jelas terlihat. Jangankan soal penyerahan wewenang pengelolaan pendapatan daerah. Soal UU No 22 dan 25 saja, tak jelas pelaksanaannya. Semua hanya omong kosong. Menurut Tabrani
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

77

akar persoalan Riau sederhana saja: perbaikan taraf hidup. Keinginan itulah yang mendorong munculnya Deklarasi Riau Merdeka, 15 Maret 1999 lalu (Tempo Interaktif 29/04/00). Tuntutan Lampung kelihatan masih lebih bersahaja. Sekitar enam ribu warga Bandar Lampung, (21/3) yang umumnya petani dari delapan kabupaten di Lampung itu, berkumpul untuk menuntut "kemerdekaan dari segala macam penindasan" terhadap rakyat dengan menggunakan momentum peringatan hari jadi provinsi Lampung yang ke36. (Waspada 22/03/00) Perjuangan nationalisme-etnis, biasanya melalui empat tahap: fase keterpinggiran (marginalisasi) yang cukup lama, fase penindasan yang brutal, fase perlawanan yang menelan korban sangat banyak dan yang terakhir (kalau mujur) fase kemenangan. Korban jiwa ataupun materi biasanya lebih banyak dihabiskan bukan untuk membidani lahirnya, anak haram yang bernama separatisme melainkan usaha untuk membunuhnya. Logika nasionalisme. Sebenarnya tak ada istilah perjuangan nasional ataupun pembebasan nasional. Yang ada yalah perang yang gunanya memperkuat nasionalisme. Menindas bangsa lain atau ditindas oleh bangsa lain memiliki fungsi yang kira kira sama. Nasionalisme pinggiran bakal mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah perang sebuah bangsa melawan negara sentral. Negara sentral akan mengaku, bahwa mereka sedang memerangi teroris (GPK). Nasionalisme dan integrasi nasional. Integrasi bukan hanya tergantung dari seberapa besar kontrol pemerintah pusat terhadap daerah dan (sebaliknya) bagaimana respon daerah terhadap pusat. Integrasi berarti saling ketergantungen antar daerah serta partisipasi regional dalam urusan atau masalah nasional. Pembedaan ini dapat dibandingkan dengan perbedaan atara integrasi nasional dan nasionalisme. Nasionalisme berkaitan erat dengan patriotisme, emosi nasionalis (perasaan senasib seperjuangan sebagai satu bangsa). Kehadiran perasaan nasionalis ini diperlukan untuk mengatasi jiwa kerdil (regionalisme, tribalisme, partikularisme atau sekterianisme) sembari memperkuat hubungan vertikal pusat daerah. Sebaliknya integrasi nasional adalah sebuah konsep yang jauh lebih luas, yang tidak hanya membahas kasus-kasus atau masalah-masalah daerah (pinggiran) akan tetapi juga menyoroti hubungan antara pusat dan daerah. Misalnya seperti ini: faktor interaksi masyarakat, faktor saling ketergantungan antara pusat dan daerah, antara daerah yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

78

satu dengan yang lain, bukan tergantung dari emosi nasional. Melainkan lebih banyak tergantung dari arah (dari mana dan kemana) mengalirnya kapital, apakah uang mengalir lebih banyak dari pusat kedaerah atau sebaliknya dari daerah ke pusat? Separatisme. Kasus yang terjadi di berbagai negara (multi etnik) di dunia bukanlah separatisme, melainkan masalah yang lebih ringan yakni emansipasi warga masyarakat atau karsa bersama menuju masyarakat madani (civil society), menciptakan kemakmuran bersama (keadilan ekonomis) dan atau mengatasi masalah kerusakan lingkungan dsb.nya. Lahirnya separatisme boleh dianggap sebagai sebuah hukuman terhadap negara karena pemerintahnya terlalu banyak (atau malah sebelumnya terlalu sedikit?) memberikan ruang gerak bagi sentimen lokal. Separatisme bukan merupakan masalah besar di dunia, yang menjadi masalah ialah karena mereka semua mengaku (dan minta diakui) sebagai bangsa. Identitas nasional dan teritorium (wilayah). Nasion (bangsa) adalah sebuah kesatuan yang terikat dengan teritorium dan mesti memiliki wilayah (tanah tumpah daerah mereka sendiri), kesamaan sejarah, sistim hukum/perundang undangan, hak dan kewajiban serta pembagian kerja berdasarkan profesi. Tak ada satu pun bangsa di dunia ini yang tidak memanipulasi sejarahnya sendiri! Saya pernah bertanya pada seorang teman wanita, apakah dirinya mau kuliah dengan menggunakan sanggul beserta kebaya khas keraton. Jawabannya tidak mengagetkan karena dia menolak bahkan bilang gila kuliah pake kebaya plus sanggul! Gak ah, malu aku gak gaul.. memang kalau dipikirpikir pasti banyak yang tidak mau melaksanakannya. Dari sini bisa dilihat bahwa kita telah malu akan pakaian tradisional yang menjadi identitas dirinya. Contoh diatas memperlihatkan telah terjadi pengenyahan budaya atas nama modernisasi. Paradigma yang ada sesuatu bahwa yang tradisional dianggap ketinggalan jaman. Seolaholah kita telah menjadi satu bangsa tiruan yang lupa akan kulitnya. Kita menganggap budaya barat lebih bagus dari budaya kita sehingga semua budaya sendiri ditinggalkan. Inilah yang dinamakan Samuel P. Huntington dalam bukunya The clash of Civilization and The Remaking of World Order sebagai Benturan Peradaban atau Vaclav Havel menyebutnya konflik-konflik kultural. Menurut Samuel P. Huntington, Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

79

Kita saat ini hampir kalah melawan budaya barat ketika mencermati penduduk Indonesia. Konsep yang ditawarkan Bung Karno mengenai Nation Building and Character Building bukannya tanpa sebab. Pelarangan menyanyikan musik musik barat bertujuan agar kita mencintai musik tradisional dalam negeri. Tetapi hal ini banyak ditentang masyarakat Indonesia dan baru sekarang terasa dampaknya ketika angklung diakui sebagai alat musik Malaysia. Bila dibiarkan terusterusan yang terjadi adalah kita akan kehilangan identitas kebangsaan karena budaya kita akan diambil oleh negara lain atau hilang dengan sendirinya karena terabaikan oleh masyarakatnya. Padahal begitu banyak suku, bahasa daerah, tarian, lagu, serta budaya yang hidup dan berasal dari negeri ini tetapi yang diketahui dan dilestarikan begitu sedikit. Bahkan dalam kunjungan Bung Karno ke Amerika Serikat yang waktu itu dipimpin oleh John F. Kennedy, pernah berkata Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi. Ketika kita dihadapkan pada keadaan identitas yang hilang yang terjadi adalah penyesalan. Disamping itu pemuda yang menjadi generasi penerus telah tidak sadar kalau sedang dijajah. Penjajahan saat ini bukan secara fisik tetapi penjajahan budaya juga telah terjadi. Telah terjadi modernisasi dan westernisasi yang kita telan mentahmentah. Eksesnya berupa universalisasi kultur tanpa memperhatikan budaya kita lagi dan menganggapnya kuno. Maka daripada itu dibutuhkan formula untuk menjaga tradisi serta khasanah budaya bangsa jangan sampai kita tidak mengenal diri kita sendiri.

C. Mencontoh Jepang Untuk masalah ini kita perlu berguru kepada Jepang karena negara ini merupakan negara maju yang tidak lupa akan budayanya serta memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Misalnya ketika Amerika mengembangkan tokoh tokoh Walt Disney, Batman, Superman, ataupun Spiderman sebagai ciri khas mereka dan mulai menjajah pemikiran anakanak di seluruh dunia, Jepang tampil sebagai negara yang tidak menelan mentah mentah budaya baru yang menjajah mereka tetapi menyesuaikan dengan Anime, Video Game dan Manga. Lambat tapi pasti tokoh tokoh tandingan dari Jepang bermunculan dari Anime, Video game, dan Manga menjadi idola di beberapa negera. Bahkan tokoh tokoh disana tidak meninggalkan khas budaya Jepang. Malah dari sanalah kita mengenal budaya Jepang. Keistimewaan bangsa Jepang adalah kuatnya memegang tradisi. Mereka merasa malu jika telah mengabaikan atau tidak tahu akan budayanya. Meskipun terkenal dengan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

80

kemajuan teknologi dan informasi tetapi hal ini tidak lantas mengubah cara hidup rakyatnya. Penerapan tradisi masih bisa dilihat dari sikap, cara berpikir, berpakaian, berbahasa, serta cara makan makanan. Mereka bisa melakukan penyerapan budaya luar yang disesuaikan dengan budaya lokal. Ini menunjukkan bahwa ternyata tidak semua budaya menghambat modernisasi. Dan buktinya kita bisa melihat Jepang. Bukan berarti saya memihak Jepang tapi kita wajib menjadikan teladan bagi kita untuk memajukan bangsa tanpa membuang budaya atau tradisi yang dianggap kuno.

D. Hari Budaya Nusantara Perlu pemerintah melakukan terobosan dengan memberlakukan Hari Budaya Nusantara. Hari dimana tiap tiap Provinsi atau minimal desa memiliki hari budaya masing masing yang telah disepakati oleh perangkat pemerintah setempat. Setiap daerah wajib menggali budaya daerah serta mentransformasikannya kedalam sebuah pertunjukan budaya di daerah tersebut. Penentuan hari budaya juga tidak sembarangan karena harus memiliki nilai nilai history serta muatan lokal yang berkembang di daerah masing masing. Inilah hari yang mewajibkan seluruh warga daerah selalu memakai pakaian adat daerahnya, memasak makanan khas daerah serta bebahasa daerah juga. Sekaligus mengharuskan seluruh warga berkumpul untuk menyaksikan pameran budaya. Penting juga menginformasikan nilai nilai budaya yang diperingati sebagai hari budaya nusantara kepada masyarakat atau perlu juga dimasukkan pada mata pelajaran khusus mengenai nilai nilai budaya yang diterapkan oleh masyarakat tersebut sehingga mereka mengetahui harus mengetahui landasan filosofi apa yang mereka rayakan serta mengajarkan sejarah budaya di daerah tempat mereka tinggal. Disisnilah peran pemerintah, khususnya Departemen Kebudayaan untuk membantu tiap tiap daerah untuk memberikan pelatihan bermain alat musik tradisional atau pelatihan menjadi dalang atau pelatihan menari tarian daerah masing masing. Ini wajib dilakukan karena langkah pertama dari masyarakat adalah pendidikan budaya yang belum begitu dikenal oleh masyarakat awam. Sekaligus sebagai langkah pertama pemerintah membeli pakaian adat kemudian menjual pakaian adat secara murah. Nantinya hal ini akan menarik minat masyarakat untuk mencintai pakaian adatnya. Apalagi ketika orang memakai pakaian adat ada rasa kebanggaan tersendiri serta menunjukan identitas diri orang tersebut.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

81

Dalam hal ini, setiap daerah mempunyai hari daerah masingmasing di seluruh Nusantara sehingga dari Sabang Merauke bisa saja tiap hari dalam sebulan di Indonesia adalah Hari Budaya yang nantinya mampu menyedot para wisatawan asing dan tentunya akan menambah devisa negara dari wisatawan mancanegara. Pemerintah pun ikut mempromosikan budaya yang telah diperkenalkan oleh daerahdaerah ke dunia internasional. Selain itu juga acara ini bisa menjadi waktu untuk mempatenkan budaya yang telah diperkenalkan. Untuk itu Departemen Kebudayaan perlu kiranya memberikan rangsangan berupa penghargaan bagi daerah yang mampu menciptakan tarian & lagu daerah baru atau menyumbangkan khasanah budaya bangsa.

E. Keuntungan Hari Budaya Nusantara Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan diselenggarakannya Hari Budaya Nusantara bagi Pemerintah dan Warga Setempat. Pertama, inventarisasi asset budaya bangsa. Dengan Hari Budaya Nusantara kita bisa mempatenkan budaya tiap tiap daerah serta bisa juga membuat database. Pencatatan ini perlu karena sebagai bukti untuk menegaskan bahwa budaya yang telah dipatenkan merupakan milik bangsa ini. Apalagi kalau ada daerah mampu mengembangkan budayanya atau menciptakan budaya sendiri Ini juga sebagai antisipasi pencaplokan budaya oleh negara asing. Misalnya saja Malaysia berdalih untuk menyelamatkan budaya Indonesia karena tidak dilestarikan dengan baik. Jadi dari sinilah kita akan membungkam anggapan bahwa kita mengabaikan budaya kita sendiri. Kedua, nation building and character building yang terwujud. Agenda ini mampu membangkitakan wawasan kebangsaan. Dengan mengetahui nilai nilai budaya dan nilai nilai sejarah yang terkandung dalam Hari Budaya Nusantara di tiap tiap daerah akan mampu membangkitkan rasa nasionalisme serta mampu membentuk karakter bangsa yang asli. Orang Indonesia yang rajin, ramah, telaten, beradab akan menjadi cermin bahwa pembangunan budaya juga ikut andil dalam pembangunan karakter bangsa. Mungkin dengan ini kita juga bisa memadukan kearifan local nilainilai global sehingga adopsi yang kita lakukan mampu membentuk budaya dan karakter yang unik dan khas untuk Indonesia. Apalagi dalam pandangan Koentjoroningrat Kebudayaan masyarakat Indonesia: sikap mental sebagian besar masyarakat Indonesia belum cocok untuk pembangunan. Oleh sebab itu sikap mental bangsa Indonesia harus diubah, dicocokkan dan dimatangkan untuk pembangunan. Ditambahkan pula oleh

Koentjoroningrat, bahwa masih ada sikap yang menghambat pembangunan, karena


PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

82

menghambat perkembangan individu dan meremehkan kualitas individu. Terutama konsep memandang buruk, apabila seseorang menonjol (yang merupakan salah satu aspek dari pranata gotong royong) menjadi penghalang bagi manusia Indonesia untuk berkembang dan terusmenerus menyempurnakan mutu karyanya, disebabkan oleh ejekan-ejekan dan tuduhan, masyarakat, bahwa "ada orang yang ingin maju sendiri". Ketiga, mengangkat ekonomi masyarakat dan negara .Hari Budaya Nusantara yang berbeda tiap daerah memungkinkan setiap saat dikunjungi wisatawan domestic maupun internasional. Secara otomatis akan menambah devisa serta menjadi tambahan penghasilan bagi masyarakat. Tidak boleh dilupakan juga perlunya promosi, pengelolaan serta bantuan pemerintah untuk membantu Budaya di tiaptiap daerah untuk berkembang karena hal ini bersifat mutualisme.

6. KONTRIBUSI PELESTARIAN NILAI-NILAI BUDAYA TRADISIONAL DALAM PEMBENTUKAN JATI DIRI GENERASI MUDA

A. PENDAHULUAN Dalam buku "Primitive Cultur" karangan E.B.Tylor dikutip oleh Prof. Harsojo (1967:13), bahwa kebudayaan adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang terkandung di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan- kemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. R.Linton (1947) dalam bukunya "The cultural background of personality" mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil-hasil dari tingkah laku, yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai keseluruhan bentuk kesenian, yang meliputi sastra, musik, pahat/ukir, rupa, tari, dan berbagai bentuk karya cipta yang mengutamakan keindahan (estetika) sebagai kebutuhan hidup manusia. Pihak lain mengartikan kebudayaan sebagai lambang, benda atau obyek material yang mengandung nilai tertentu. Lambang ini dapat berbentuk gerakan, warna, suara atau aroma yang melekat pada lambang itu. Masyarakat tertentu (tidak semua) memberi nilai pada warna hitam sebagai lambang duka cita, suara lembut (tutur kata) melambangkan kesopanan (meskipun didaerah lain suara lantang berarti keterbukaan), dan seterusnya.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

83

Koentjaraningrat (1982) memperinci kebudayaan kedalam tiga wujud dari keseluruhan hasil budi dan karya manusia, yaitu: a. sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; b. sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat; c. sebagai benda-benda hasil karya manusia. Abdulkadir Muhammad (1987), menyebutkan tiga unsur budaya dalam diri manusia, yaitu: a. Unsur cipta (budi), berkenaan dengan akal (rasio), yang menimbulkan ilmu dan teknologi (science and technology). Dengan akal itu manusia menilai mana yang benar dan mana yang tidak benar menurut kenyataan yang diterima oleh akal (nilai kebenaran atau nilai kenyataan). b. Unsur rasa (Estetika), yang menimbulkan kesenian, dengan rasa itu manusia menilai mana yang indah dan mana yang tidak indah (nilai keindahan). c. Unsur karsa (etika), yang menimbulkan kebaikan, dengan karsa itu manusia menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik (nilai kebaikan atau nilai moral).

B. BUDAYA RENDAH HATI SEBAGAI JATIDIRI BANGSA Secara umum kita mengakui bahwa masyarakat lampung memiliki nilai-nilai budaya tersendiri. Elemen-elemen budaya yang dominan atau khas bagi masyarakat lampung itu tertuang dalam prinsip Pi'il Pesenggiri (kehormatan, harga diri, perasaan malu bersalah atau jika tak mampu berprestasi), bejulukbuadek (bergelar adat atau bernama dan bergelar), memui-nyimah (ramah dan terbuka/peduli), nengah-nyappur (bermasyarakat dan bergaul), sakay-sambayan (tolong menolong). Pi'il Pesenggiri merupakan elemen budaya mengandung nilai positif, oleh karena didalamnya mengandung keutamaan prinsip dan kedudukan terhormat dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat lampung pada dasarnya mendambakan kedudukan yang terhormat, prestasi yang gemilang, menilai harga diri dari segi moral dan bukan perhitungan ekonomis. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kehormatan dan harga diri, maka berarti masyarakat lampung mempunyai sumber daya yang besar dalam upaya menjauhkan diri dari segala sikap dan perbuatan yang tercela atau melanggar ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini Prinsip Pi'il Pesenggiri perlu dipertahankan, diterapkan dan diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan formal organisasi-organisasi pemerintah.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

84

Dalam Sosiologi nilai-nilai kehormatan itu tercermin dalam stratifikasi sosial yang terbentuk oleh karena ada yang dibanggakan. Apa yang dibanggakan itu terbatas, sedikit pemilik/penganutnya dan dibutuhkan, sehingga seseorang atau golongan tertentu terpola pada strata teratas dalam kehidupan masyarakat. Sumber kehormatan itu bisa karena luas pemilikan, status sosial budaya, kesolehan beragama, pendidikan dan lainlain (Abdul Syani, 1994). Mejaga kehormatan dalam pergaulan kemasyarakatan dengan selalu berlomba berbuat kebaikan dan kebenaran yang bermanfaat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang tercermin dalam konsep Pi'il Pesenggiri. Salah satu kehormatan wanita adalah kalau ia mampu menutup auratnya, bukan justeru membukanya agar banyak mendapat perhatian. Seorang pria atau wanita seharusnya menjaga dirinya agar tidak kejanguh (kelihatan auratnya=Kalianda). Dalam Pasal 80 Kuntara Raja Niti dijelaskan bahwa "Jika ada pria atau wanita yang kesunguh (kejanguh), maka baik yang kesunguh maupun yang melihat aurat itu didenda 12 rial ke bawah menurut kedudukan orangnya". Penegakan wibawa pemerintah atau hukum, berarti setiap pejabat yang bersalah mesti diadili lewat saluran hukum yang berlaku, bukan justeru menyembunyikan kesalahan demi kehormatan. Dalam Kuntara Raja Niti Pasal 161 (Ps.161 KRN), yang intinya bahwa apabila seseorang penyimbang menerima suap (sogok) agar merahasiakan perbuatan tertentu, maka atas kesalahan itu ia di hokum denda 24 rial. Norma-norma yang berisikan keharusan, larangan, anjuran dan kebolehan dapat digunakan sebagai standar perilaku untuk dapat mempertahankan kehormatan diri dari perbuatan tercela dalam setiap usaha membangun karya-karya, memenuhi kepentingan hidup keluarga, dan berbagai perjuangan cita-cita lainnya. Bersaing secara jujur, tidak menginjak yang lain, berprofesi dengan landasan moral dan kebenaran. Lebih baik bekerja sampingan sebagai sales dari pada harus menghalalkan segala cara demi status dan kemasyhuran nama. Dengan demikian berarti Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya telah menunjukkan apa yang disebut sebagai jatidiri masyarakat lampung pada umumnya. Sebagai warga masyarakat yang dilahirkan dalam lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang mengutamakan kehormatan dan harga diri telah memberikan pertanda tentang jatidiri yang khas. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sangat berarti bagi pembentukan jatidiri masyarakat lampung khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

85

Jika Pi'il Pesenggiri tersebut dilihat dari keseluruhan selaras dengan system kemasyarakatan masyarakat lampung pada umumnya, maka ia tidak terpisahkan dengan elemen-elemen lainnya. Dikatakan demikian oleh karena dalam mempertahankan Pi'il Pesenggiri senantiasa bensentuhan dengan elemen-elemen lainnya. Dan nampaknya memang popularitas jatidiri itu akan lebih tegas dan spesifik, jika dalam kiprahnya disertai oleh potensi elemen-elemen pendukungnya. Dalam hubungannya dengan elemen bejuluk-buadek, dasar Pi'il pribadi harus mampu mempertahankan nama baik, status gelar adat yang diterima sesuai dengan fungsinya dalam kehidupan masyarakat adat. Jika ia telah dinobatkan sebagai Suttan, Pangeran, Raja, Ratu, Radin, Dalom, Batin, Minak, dan sebagainya, maka konsekuensi bagi penyandangnya adalah harus mampu memberikan teladan positif kepada masyarakat. Begitu pula halnya jika seseorang yang mempunyai posisi tertentu dengan predikat pendidikan S1, S2 dan S3, mestinya ia mampu menerapkan secara konsekuen agar kehormatan dapat dipertahankan. Dengan kemampuan menjaga nama baik, bebarti segaligus merupakan kemampuan menjaga Pi'ilnya. Bejuluk-buadek secara ideal melekat pada pribadi sebagai identitas dengan kadar yang tercermin dalam setiap perilaku dan pergaulannya dalam masyarakat. Jika identitas pribadi dapat dipelihara, dikembangkan dan diterapkan penuh dengan rasa tanggungjawab dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, maka berarti jatidiri masyarakat lampung adalah mengutamakan kelestarian nama baiknya, jauh dari cela dan nista. Jati diri yang khas ini dapat dijadikan modal dasar yang penting bagi upaya pembentukan jatidiri bangsa. Jika dikaitkan dengan prinsip Nemui-nyimah (ramah-terbuka), berarti pribadipribadi sebagai anggota masyarakat lampung memiliki tanggungjawab dan keharusan untuk dapat mempertahankan, meningkat sikap dan perilaku ramah tamah, terbuka, pemurah, sopan, sukarela, ikhlas dari lubuk hati yang dalam terhadap setiap tamu atau siapa saja yang bertemu. Kepada siapa saja yang disebut tamu, kawan dekat atau pihakpihak yang memerlukan informasi harus dilayani dengan ramah dan berusaha agar orang lain mendapatkan kepuasan dan senang hati. Tujuan dari pemenuhan tanggungjawab ini tidak lain adalah untuk mempertahankan Pi'ilnya, karena salah satu ciri orang lampung yang mempunyai Pi'il adalah jika ia mampu memelihara keramah-tamahannya ditengahtengah pergaulan masyarakat. Hal ini pertanda bahwa potensi jatidiri masyarakat lampung pada umumnya terletak pada keramahtamahannya, baik dalam menerima tamu maupun dalam pergaulan sehari-hari. Nemuinyimah, jika diterapkan dalam kehidupan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

86

sehari-hari secara konsekuen, dan tidak hanya sekedar formalitas belaka, maka konflik dapat dihindari, sehingga stabilitas sosial, kerukunan pergaulan dan ketenteraman masyarakat dapat lebih terjamin. Dengan demikian berarti elemen keramah-tamahan yang dimiliki oleh masyarakat lampung sangat berarti bagi pembentukan jatidiri bangsa. Nengah-nyappur (bermasyarakat dan bergaul), juga merupakan salah satu elemen yang tidak kalah pentingnya untuk dipertahankan, jika seseorang hendak dikatakan mempunyai Pi'il atau kehormatan. Masyarakat lampung yang memiliki Pi'il dapat dilihat dari luasnya cabang hubungan pergaulannya dalam masyarakat. Semakin luas pergaulannya, kesukaan bermasyarakat, kesukaan berbaur dengan segala kegiatan masyarakat yang positif, maka semakin besar kemampuannya dalam bekerjasama, semakin memiliki tenggangrasa (teposeliro=jawa) yang tinggi terhadap sesamanya. Pergaulan yang luas dapat juga melahirkan dan menumbuh-kembangkan rasa tanggungjawab, dan mampu bermusyawarah dalam rangka mencari kesepakatan bersama. Orang-orang yang suka bermusyawarah merupakan sosok dambaan bagi masyarakat, karena dianggap dapat maju/tampil dalam setiap acara atau aktivitas, dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial secara adil dan bijaksana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan seseorang dalam nengah-nyappur dapat membangun simpati masyarakat, yang berarti sekaligus mendudukannya sebagai orang populer dan keharuman nama baik. Orang-orang yang mempunyai popularitas dan keharuman nama ini dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki Pi'il Pesenggiri. Hal ini berarti masyarakat lampung pada dasarnya memiliki potensi jatidiri yang khas, yaitu suka bermasyarakat, suka bergaul dan tidak suka mengisolir diri. Apabila potensi ini dapat dipertahankan dan disesuaikan dengan kemajuan masyarakat, maka pantas apabila masyarakat lampung mada masa kemajuan ini dikenal sebagai masyarakat yang adaptif dan innovatif. Dengan nengah-nyappur ini dapat diteladani oleh sebagian besar masyarakat daerah di Indonesia sebagai upaya pembentukan jatidiri bangsa. Elemen Sakay-sambayan yang berarti suka tolong menolong terhadap sesame merupakan wujud kebersamaan dalam senang dan susah. Tolong menolong ini biasanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan sarana umum, pembangunan rumah, acara-acara adat, pada waktu warga masyarakat terkena musibah, atau dalam rangka membangun kehidupan masyarakat secara ekonomis. Bentuk tolong menolong dapat berupa tenaga, uang atau benda yang bernilai ekonomis, peralatan dan perlengkapan,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

87

berupa sumbangan pemikiran atau nasehat-nasehat positif yang berguna, baik bagi kepentingan bersama maupun pertolongan yang khusus ditujukan kepada anggota masyarakat yang sedang dalam kesulitan. Mengajak kerjasama (setikuhan) dalam urusan pembangunan dan kemasyarakatan menunjukkan bahwa orang lain diperhitungkan dan berguna bagi kelompok atau kerabatnya. Standar nilai yang dipakai dalam pelaksanaan tolong menolong adalah moral dan keikhlasan (kerelaan) terhadap apa yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan secara tegas sebagaimana perhitungan untung rugi. Suatu kebanggaan, kehormatan dan kepuasan bagi orang lampung jika ia telah dapat memberikan sesuatu atau bantuan terhadap orang lain dan kerabatnya. Dengan demikian berarti menunjukkan bahwa pribadi orang lampung merasa tidak terpandang atau tidak terhormat apabila ia belum mampu berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan atau belum mampu memberikan pertolongan yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan tolong menolong merupakan bagian penting atau konsekuensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan apabila pribadi dikehendaki tetap terhormat. Orang yang dihormati oleh masyarakat oleh karena ia suka membantu atau menolong orang lain adalah pribadi yang tergolong mempunyai Pi'il Pesenggiri. Prinsip tolong menolong ini dapat dikategorikan sebagai sumber potensi jatidiri, oleh karena tolong menolong merupakan ciri khas kepribadian masyarakat lampung yang pada dasarnya merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan bangsa pada umumnya, disamping sangat potensial dalam rangka mendukung pelaksanaan pembangunan khususnya di daerah lampung. Itulah sebabnya, maka sakay-sambayan sebagai elemen budaya daerah lampung sangat berarti bagi pembentukan jatidiri bangsa. Mengenai budi bahasa dan titi gematie (titi=jalan, gematie= kelaziman/ kebiasaan/adat) yang artinya sopan santun dan adat-istiadat, adalah salah satu elemen Pi'il Pesenggiri yang tidak kalah pentingnya dari elemen-elemen yang lain. Oleh karenanya ada sebagaian ahli budaya lampung yang sengaja memisahkan pengertiannya secara tersendiri. Sopan santun menunjukkan pribadi seseorang yang baik, berperasaan dan suka menghormati orang lain, baik yang sebaya maupun terhadap orang yang lebih tua atau orang-orang yang patut dihormati. Orang yang memiliki kesopanan dalam bergaul, cenderung banyak disukai atau mendapatkan perlakuan dan

kehormatan/penghargaan secara timbal balik yang setimpal. Orang lampung percaya bahwa perlakuan baik dan terhormat dari orang lain akan diperoleh setelah ia menghormati orang lain dengan sopan santun. Sedangkan titi gematie diwujudkan dalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

88

bentuk kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri atau menempatkan diri pada porsi atau kedudukannya dalam masyarakat sesuai dengan kemajuan zaman. Titi gematie mengandung unsur hukum adat (hukum tak tertulis) yang yang pada dasarnya memuat rambu-rambu larangan (cepalo), keharusan dan kebolehan dan segala kelaziman diri dalam setiap melakukan sesuatu. Meskipun seorang penyimbang pada masa sebelumnya lazim menyelipkan badik dipinggangnya dalam rapat adat, tapi pada masa sekarang jika ia hendak mengikuti musyawarah desa tidak perlu membawa badik. Secara umum budi bahasa dan titi gematie dapat diartikan sebagai kesopanan atau tata krama yang berisikan kebaikan dan kejujuran yang berpedoman pada kelaziman dan kepantasan yang berlaku (diakui umum). Bagi orang-orang yang mampu bersopan santun sesuai dengan kebiasaan yang selama waktu tertentu diakui masyarakat, maka selama itu pula ia berpotensi untuk mudah mendapatkan kedudukan terhormat (menjaga pi'ilnya) ditengah-tengah pergaulan masyarakat. Dengan demikian berarti masyarakat lampung mempunyai potensi jatidiri yang senantiasa menghendaki kehidupan kemasyarakatan yang teratur penuh dengan sopan santun (tata krama) yang lues. Ini sangat penting artinya dalam rangka mempermudah upaya pembentukan jatidiri bangsa. Oleh karena budi bahasa dan titi gematie ini pada prakteknya dapat digolongkan kedalam elemenelemen lainnya seperti Bejuluk-buadek, Nemui-nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakaysambayan, maka sebagian ahli budaya tidak menyorotinya secara khusus.

C. PI'IL PESENGGIRI SEBAGAI JATIDIRI BANGSA DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN NASIONAL Secara ilmiah dalam kondisi kehidupan masyarakat yang telah semakin berkembang dan modern, tentu segala aktivitas selalu diperhitungkan fungsi dan kemanfaatnya bagi kepentingan hidup manusia dalam masyarakat dengan landasan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Tidak menilai unsur kebudayaan secara subyektif, melainkan menggunakan penalaran kausalitas yang logis sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat daerah setempat. Hal ini berarti masyarakat setempat selayaknya harus sudah mampu memilih, memberikan penilaian terhadap fungsi kebudayaan yang telah ada, dan masyarakat harus berani menolak nilai-nilai yang tidak sesuai lagi atau nilai-nilai budaya asing yang cenderung merusak prinsip kepribadian, perangai, identitas atau jatidiri bangsa secara umum. Sikap subyektif meskipun wajar, akan tetapi tetap tunduk terhadap prinsip adat istiadat in-groupnya. Dengan demikian berarti kebiasaan outgroup/asing seharusnya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

89

dapat dinilai secara ilmiah dan obyektif yang menyangkut usaha pemenuhan kebutuhan hidup, baik meterial maupun spiritual dengan pertimbangan rasio/akal, nilai etika dan estetika/perasaan yang merupakan pandangan hidup bangsa. Kehidupan masyarakat sebagai suatu kondisi pergaulan yang dinamis dengan segala konsekuensinya perlu diikat dengan nilai-nilai dan makna moral yang terkandung dalam prinsip Pi'il Psesenggiri sebagai jatidiri bangsa, agar dapat tercipta stabilitas sosial, ekonomi dan hukum yang mantap. Pi'il Pesenggiri dalam proses perubahan dan pembangunan perlu dipelihara, disulam, dibangun, dan dievaluasi secara terus menerus agar tak terjadi disintegrasi. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa biang kerok dari disintegrasi dan konflik itu adalah kemiskinan, kemerosotan moral dan ambisi berlebihan. Oleh karena itu kita harus waspada agar gerakan modernisasi dalam pembangunan segala bidang tidak berdampak negatif dan salah kaprah, agar tidak keliru menilai rasa dan makna dari kebudayaan yang ada, khususnya penerapan Pi'il Pesenggiri bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa masih banyak nilai Pi'il Pesenggiri yang relevan dan dapat kita teladani dalam bergelut dengan kompleksitas kepentingan di abad globalisasi ini. Membawa badik (beselok badik) atau senjata tajam dimasa kini perlu dievaluasi secara cermat dengan pandangan yang rasional dari segi bahaya dan untung ruginya. Pada akhirnya Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri masyarakat lampung pada dasarnya menyimpan harga diri dan kehormatan yang rasional yang dapat diteladani sebagai jatidiri bangsa. Bukan berarti harus melepas total nilai-nilai tradisi, karena alam rasional yang domotori oleh orang-orang berakal sering juga membuat hidupan ini menjadi rumit. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri bangsa diharapkan dapat jadi pedoman bertindak, sehingga kita tak perlu terburu-buru berbicara kualitas kalau masih banyak orang yang tak puas. Salah satu cara pemeliharaannya menurut Berger (dikutip dari Slamet Rahardjo, Editor Nurdin HK., 1983) adalah dengan pendekatan kultural, sebab hanya manusia budayalah yang suatu hari bisa berhenti dari kegiatannya, lalu melihat sekitar, merenung ..., lalu timbul dalam sanubarinya desakan yang kuat untuk meninjau kembali segala yang telah dijalaninya. Lalu ia merubah sikap atau memperbaiki apa yang selama ini diyakini, atau bahkan merubah dan meninggalkannya. Dan merintis horizon keyakinan yang baru, lebih matang dan lebih memadai. Solidaritas sosial sebagaimana tersirat dalam prinsip Pi"il Pesenggiri diharapkan dapat mempererat persatuan dan kesatuan dalam setiap derap langkah upaya pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

90

Jatidiri bangsa suka menjadi penengah yang adil dapat dijadikan modal dasar dalam pendekatan sosial budaya dalam rangka meningkatkan kwalitas pembangunan hukum, sosial budaya dan pembangunan nasional. Pendekatan fungsional juga nampaknya tidak kalah penting untuk memonitor perkembangan budaya dan pembangunan daerah, terutama jika kita hendak mengetahui keselarasan kepentingan masyarakat dengan unsur-unsur kebudayaan yang dianutnya. Dengan pendekatan ini diharapkan berbagai kegiatan dapat diarahkan, diperbaiki atau dikembangkan, unsurunsur budaya mana yang merugikan atau menyimpang dari keharusan tuntutan stabilitas sosial, keamanan dan kesejahteraan sosial masa kini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri masyarakat lampung merupakan modal dasar yang sangat penting bagi pembentukan jati diri bangsa. Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri bangsa dapat dijadikan sebagai sumber potensi dalam perspektif pembangunan yang tidak hanya terbatas bagi kepentingan daerah lampung, akan tetapi sangat penting bagi pembangunan nasional. Kita belum perlu mencari dan membentuk budaya baru, yang penting adalah meningkatkan kualitas kemanfaatannya secara rasional dan adaptif.

7. HUBUNGAN ANTAR SUKU-BANGSA DAN GOLONGAN SERTA MASALAH INTEGRASI NASIONAL

A. Umum Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan. Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna, Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah (a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c) hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini, sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Terakhir kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

91

dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam Volkstelling (1930). Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan sukubangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974), antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %), Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu konsep suku-bangsa. Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas. Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh sukubangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah Flores. Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan. Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405 suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan yang lain merasa memiliki perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka, Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

92

sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di Indonesia. Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi dikalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan. Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama (cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation), asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar sukubangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang kokoh.

A. Prejudice dan Stereotype Ethnic Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa tertentu sehari-harinya dijumpai gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau yang lazim disebut dengan stereotipe etnik. Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif (akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula gambaran yang bersifat positif. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Untuk memahami bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks kelompoknya, Herbert M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan, ialah secara mikro dan makro. Secara mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan dengan berbagai hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

93

makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai masalah diskriminasi dan kepemimpinan. Berbagai hal yang erat kaitannya dengan itu antara lain mengenai bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah status dan peranan ditempatkan sebagai unit analisis yang penting. Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses (discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi tentang diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable. Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya tentang diskriminasi F.H.Hankins (1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of equals. Ada beberapa aspek yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus diperhatikan (Blalock, 1976:2; Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah (anxiety), rasa frustrasi, sifat otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot, konvensional dan yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut melekat dalam struktur masyara-kat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan berbagai hal yang melatar belakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilita vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi timbulnya suatu prejudice. Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D. Photiadis dan Jeane Bigger dikalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti bahwa authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya dengan indikator yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata tidak selalu tepat. Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun psikologis (Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, sukubangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan stereotype merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan penilaian negative yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group memberikan penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

94

menyebabkan timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula sebagai perkembangan lebih lanjut dari stereotype. Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti itu, juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh akibat terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai perbedaan rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu wilayah geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya diusahakan untuk memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan loyalitas bersama. Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai bahwa adanya keragaman dan perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan ancaman untuk menumbuhkan solidaritas nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti permasalahan yang dapat menjelaskan berbagai kristalisasi prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya kendala perbedaan fisik semata. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai etisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (sukubangsa) untuk bersedia menerima norma-norma tertentu dalam suatu proses interaksi sosial. Oleh karenanya para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman (1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang menunjuk pada aspek mendasar yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu sementara itu pihak lain juga sering mengidentifikasikan bahwa perilaku seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesuku-bangsannya.

C. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari kata Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

95

Israel. Dengan kata lain, menurut The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non Kristen atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala. Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di London pada 1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah Societe Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga serupa tersebut di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian M.du Toit et al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosiokultural dari pada yang berkaitan dengan ras. Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn (1970:12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari berbagai unsur simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in localism or sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation, nationality, phenotypical feature, or any combination of these. Selanjutnya, seringkali pemakaian istilah golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan kehadiran masyarakat Cina di Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas. Secara sepintas, konotasi arti minoritas adalah lebih dikaitkan dengan perbandingan jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia, misalnya Jawa dan Sunda. Selain itu, jumlah mereka pada tahun 1971 adalah merupakan 2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima sampai dengan sepuluh persen dari keseluruhan penduduk suatu kota. Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan variabel. Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger (1972:11) menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika dikaitkan dengan konsep-konsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering dipakai tetapi tidak dalam konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

96

dipakai untuk menunjukkan kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau prasangka dan diskriminasi; misalnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson (1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer some disadvantage due to prejudice or discrimination". Apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas adalah masih umumnya sifatnya. Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth (1943:347), We may define a minority as a group of people who, because of their physical or cultural characteristics are single out from the other society in which they live for differential and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges. Minority status carries it the exclusion from full participation in the life of the society". Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak selalu harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu diterapkan terhadap orang Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun berbagai suku-bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam klasifikasi ras Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud fisik dan lebih menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya. Timbulnya perlakuan 'diskriminatif' dalam konteks Louis Wirth adalah lebih disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa kehadiran golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh karena itu, untuk lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat yang majemuk, kiranya paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang Cina di Indonesia. tampak pada bagan 1 di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi keturunan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

97

Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat Kelompok Dominan Jumlah Kekuasaan Kelompok A + + Golongan mayoritas Kelompok B - + Elite Kelompok Subordinat Jumlah Kekuasaan Kelompok C + - Subyek massa Kelompok D - - Golongan minoritas

Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan subordinat, didasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan). Berdasarkan paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim diklasifikasikan sebagai golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai kelompok B dan D; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering dikategorikan sebagai golongan mayoritas adalah lebih memiliki ciri-siri kelompok A dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan minoritas (kelompok D) menurut model paradigma tersebut diterapkan untuk orang Cina di Indonesia, adalah tidak tepat. Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika golongan Cina di Indonesia termasuk minoritas. Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar. Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk lebih dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan variabel. Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan penduduk bumiputera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan untuk melakukan perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan oleh Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh Simpson dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

98

lima karakteristik. Pertama, golongan minoritas adalah merupakan segmen dari subordinat dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas memiliki bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas memiliki kesadaran akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas adalah diperoleh karena keturunan atau karena ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima, perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas adalah cenderung dengan sesamanya.

D. Asimilasi dan Integrasi Nasional Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli antropologi (Gordon, 1964:61). Lebih lanjut M.J.Herskovits berpendapat bahwa akulturasi lebih spesifik istilah yang lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan. Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan. Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang ahli antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149). Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136). Selanjutnya, pada dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

99

W.Burgess (1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life". Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan akulturasi adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups". Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka saling berubah bentuk. Sementara itu yang tampak membedakannya adalah tidak ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari "sharing their experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih lanjut Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanyalah merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557558) mengatakan bahwa ........the adoption by a person or group of the culture of another social group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah karakteristik dari asimilasi. Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak terlepaskan dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami perubahan, terutama sejak awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika, bangsa-bangsa 'primitif' mulai menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan yang terjadi di Amerika, konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai dikaitkan dengan aspek politik. Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya, Park (1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " .......... the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural heritage, accupying a common territory, achieve a cultural solidarity sufficient at least to sustain a national exixtence". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

100

apabila mereka itu secepatnya dapat mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi dan politik tanpa menyebabkan timbulnya prasangka. Oleh karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi. Dalam hal itu asimilasi mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu kelompok dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold M.Rose, dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru. Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional, adalah menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh Milton M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the grandfather". Timbulnya ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian dalam bentuk stereotipe terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun orang Yahudi hidup tersebar di berbagai Negara tetapi mengingat kuatnya ikatan perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina di berbagai negara Asia Tenggara juga sering disamakan dan memiliki cirri seperti orang Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964). Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut bukanlah merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia adalah menunjuk pada suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi masalah adalah bagaimanakah aspek primordial attachment dapat dieliminasi sehingga tujuan akhir untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan. Dalam salah satu ntulisannya, C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan primordial attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, misalnya karena ras, hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai bentuk keterikatan tersebut antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai akibatnya, proses pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan kata lain, suatu proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

101

E. Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)

AB Superordinat Sp Sf Cenderung ke arah integrasi Subordinat Sp Sf Assimilation Incorporation Cultural Autonomy

CD Superordinat Sf Sp Cenderung ke arah konflik Subordinat Sp Sf Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal

Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan identitas golongan minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok dominan atau superordinat. Hal tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis. Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat, atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan mereka. Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang Cina di Indonesia dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan. Untuk orang orang Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia berlaku kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina diarahkan dan diharapkan menerima dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

102

Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi yang mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan sejauh manakah kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan kelompok subordinate melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu pertanyaan apakah kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas akan berasimilasi ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu pula, apakah kelompok dominan dapat menerima berbagai hal kontradiktip yang mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika berbagai hal tadi dapat diterima maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent. Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi, terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep utama yang dapat dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua adalah inkorporasi. Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi dikalangan subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok dominan atau dari berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal tersebut lazim terjadi karena kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga berbagai tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain sebagainya. Guna melindungi berbagai hal tersebut, diperlukan persyaratan struktural, antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk melakukan endogami atau mendirikan perkumpulan yang terpisah, dan bahkan memusatkan diri pada suatu lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif terhadap out-group. Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

103

discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar luas.

8. KELOMPOK SOSIAL DALAM INTEGRASI NASIONAL (SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL DALAM NATION BUILDING INDONESIA)

Pendahuluan Pengkajian dalam ilmu sosial seakan tidak ada habisnya, bahkan selalu saja menunjukkan adanya perkembangan yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran sebelumnya dan memunculkan konsep-konsep baru yang tidak kalah menarik untuk dikaji lebih lanjut. Begitu juga dengan kajian ilmu hubungan internasional, sebagai bagian dari ilmu sosial, perkembangan pemikiran dalam ilmu hubungan internasional tidak lepas dari perkembangan ilmu sosial lainnya, bahkan pada tingkatan teoritis tidak jarang ilmu ini juga mendapat pengaruh dari ilmu pasti. Sehingga banyak pengkajian ilmu hubungan internasional yang dilakukan secara kuantitif sebagaimana yang dilakukan kelompok behavioralis. Salah satu pengaruh atau dapat dikatakan sumbangsih ilmu lain dalam kajian ilmu hubungan internasional yang akan dibahas pada tulisan ini adalah ilmu sosiologi dan psikologi yang kemudian membentuk kajian dengan istilah psikologi sosial. Kajian ini salah satunya membahas tentang * Dosen HI, FISIP Universitas Budi Luhur dan Universitas Jenderal Ahmad Yani, Cimahi 2 entitas-entitas pembentuk negara, termasuk semua bentuk kelompok sosial, baik yang didasari atas etnis, agama, ras / suku, wilayah geografis maupun tingkatan ekonomi dan pendidikan. Pengkajian dari sudut pandang psikologi sosial ini menjadi penting karena hampir semua negara memiliki permasalahan dalam mengakomodasikan kepentingan warganya dengan latar belakang kelompok sosial yang beragam, termasuk ketika terjadi persinggungan kepentingan antar negara yang mendorong pada potensi konflik. Demikian hal ketika kita membahas masalah intergrasi nasional Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Kajian psikologi sosial dalam nation building Indonesia hanya sebagai salah satu angle dalam pembahasan tentang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

104

nation building. Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara dengan multi-etnisnya. Keanekaragaman ini disisi lain membawa keunggulan tersendiri yang turut membentuk identitas nasional sebagai modal dasar pembangunan termasuk dalam berinteraksi dengan negara lain. Namun disisi lain, keanekarangaman ini juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah di Asia Tenggara yang kurang stabil kondisi internalnya, terutama jika dibandingkan dengan Malaysia yang juga dikategorikan sebagai negara multi-etnis. Ketidakstabilan ini lebih karena upaya kelompok dalam mengakomodasikan kepentingannya. Berbagai kepentingan tersebut menyangkut segala hal kebutuhan kelompok dalam mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah masyarakat. Sehingga kepentingan kelompok juga menyangkut upaya pemenuhan kepentingan anggotanya, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan individu-individu pembentuk kelompok tersebut. Maka pengakomodasian kepentingan kelompok ini menyangkut kebutuhan dasar (primer), sekunder dan tersier sebagaimana kebutuhan individu sebagai manusia. Oleh Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhan manusia (chiron.valdosta.edu), menyebutkan bahwa berbagai 3 kebutuhan manusia tersebut dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu kebutuhan defisiensi (deficiency needs) dan kebutuhan untuk tumbuh (growth needs). Kedua kebutuhan ini mencakup kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia hingga kebutuhan trasedent yang berkaitan dengan sesuatu diluar batas ego manusia. Atau dapat dikatakan kebutuhan untuk berperan serta dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu kepuasan. Kebutuhan Defisiensi merupakan kebutuhan dasar manusia sebagai mahluk hidup. Kebutuhan defisiensi ini meliputi kebutuhan psikologis seperti haus dan lapar, kebutuhan keamanan agar terhindar dari bahaya, kebutuhan untuk memiliki dan mencintai agar bisa diterima dan berhubungan dengan individu lain, serta kebutuhan penghargaan (esteem) sebagai sesuatu yang ingin dicapai oleh individu untuk mendapatkan pengakuan dan menempatkan dirinya pada posisi yang diinginkan. Sedangkan kebutuhan untuk tumbuh (growth) meliputi kebutuhan cognitif, aestetik, aktualisasi diri dan keutamaan diri. Upaya pengakomodasian kepentingan dari berbagai kebutuhan ini bukan hanya berhadapan dengan elit namun juga berhadapan dengan kepentingan kelompok lain dengan upaya yang sama. Dapat dikatakan persinggungan kepentingan yang tidak terakomodasikan dengan baik menyebabkan konflik baik horizontal maupun vertical. Konflik ini terkadang tidak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

105

dapat dihindari meskipun pemerintahan suatu negara selalu berusaha untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan warganya dalam kerangka besar kepentingan nasional yang di dalamnya termasuk nation building. Konflik horizontal dan vertical ini pula yang berpotensi menjadi ancaman terhadap integrasi nasional, baik integrasi horizontal dan vertical. Lemahnya derajat integrasi nasional akan menyebabkan jarum spectrum nation building yang pada sejarah suatu negara bangsa telah mencapai pada titik kematangan (mature), mengalami pergeseran kearah ketidakmatangan (immature). Pergeseran kearah negatif 4 ini tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat atau warga negara selaku modal utama dalam nation building. Peranan pemimpin atau elit massa juga sangat berpengaruh dalam pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam integrasi nasional. Semasa orde lama, jarang sekali masyarakat kita mendengar terjadinya konflik sosial dalam masyarakat, baik karena perbedaan etnis, ras, agama, kelompok sosial ataupun pemikiran. Kalaupun ada, elit massa mampu meredam konfliknya dan juga pemberitaannya. Sebagaimana kita ketahui sistem politik pada masa orde baru lebih mengarah pada bentuk otoriter birokratik. Model ini lebih banyak menerapkan penekanan atau paksaan dari atas atau bersifat topdown. Sehingga kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan berekspresi tidak mendapatkan peluang yang luas. Pada sistem otoriter birokratik, gagasan dan pendapat yang dianggap berseberangan dengan norma dan pemikiran elit akan kesulitan untuk bisa diterima, bahkan mendapatkan tekanan atas gagasan yang telah dikeluarkan tersebut. Sehingga dikatakan bahwa pada masa orde lama, elit massa berusaha untuk menghilangkan konflik yang ada tanpa menyelesaikan akar permasalahanya. Reformasi yang telah terjadi di Indonesia diharapkan akan membawa angin segar bagi beberapa bidang, terutama bagi pengembangan sistem politik yang demokratis, stabil dan modern. Kondisi ini juga memunculkan harapan untuk menata kembali sistem politik, hukum dan ekonomi kearah yang lebih baik. Harapan juga muncul agar proses transisi menuju demokrasi di Indonesia berjalan dengan lancar dan damai. Namun demikian, kenyataan yang ada bahwa dibukanya kebebasan politik dan kehidupan demokratis juga menimbulkan berbagai masalah yang rumit dan bahkan cenderung anarkis. Bahkan seorang pengamat politik dan internasional Thomas Friedman mengatakan bahwa Indonesia sebagai the messy state. Kesemrawutan ini
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

106

5 terlihat dengan munculnya berbagai bentuk konflik horizontal antar warga masyarakat ataupun antar etnis seperti yang terjadi di Papua, Madura, Kalimantan serta tawuran antar warga yang terjadi di beberapa daerah. Demikian juga dengan adanya aspirasi separatisme seperti yang telah terjadi di Timor-Timur, Aceh, Riau dan Papua. Masalah Konflik-konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat, aspirasi merdeka dan tuntutan otonomi yang lebih luas, menimbulkan masalah seputar integrasi nasional Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Meskipun Indonesia telah merdeka selama setengah abad lebih, dengan adanya berbagai konflik horizontal dan bahkan vertical menjadikan pelaksanaan nation building di Indonesia perlu ditinjau dan digiatkan kembali. Hal ini menyangkut pembentukan homogenitas cultural, consensus atas nilai-nilai bersama dan membangun loyalitas terhadap negara. Sehingga salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok sosial tersebut agar mampu memperkecil terjadinya konflik, menyelesaikan konflik yang ada bahkan mencegah terjadinya konflik sebagai upaya integrasi nasional dalam kerangka nation building Indonesia. Kerangka Pemikiran Terdapat berbagai pendapat dan perdebatan mengenai integrasi nasional. Menurut Myron Weiner, integrasi nasional meliputi mencakup nilai-nilai masyarakat yang luas dengan 5 (lima) aspek persoalan, yaitu; integrasi bangsa, integrasi wilayah, integrasi elit massa, integrasi nilai dan perilaku integrative. Sedangkan William Liddle melihat persoalan integrasi nasional sebagai masalah integrasi horizontal dan 6 integrasi vertical elit massa. Pada integrasi horizontal mencakup integrasi perbedaan yang berakar pada masalah etnik, ras, geografi dan agama. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki beraneka ragam elemen masyarakat baik kondisi territorial geografis, etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang kesemuanya berpotensi sebagai ancaman integrasi nasional. Meskipun Indonesia memegang teguh apa yang disebut dengan Bhineka Tunggal Ika, namun dalam dataran riil, masih banyak terjadi konflik sosial dengan berbagai macam sebab. Bahkan kecenderungan tersebut semakin meningkat seiring digulirkannya reformasi yang membawa nilai-nilai demokrasi dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

107

hak asasi manusia (HAM). Kondisi masyarakat seperti Indonesia ini dapat dilihat dari perspektif plural society oleh J.S Furnivall. Furnivall menyatakan bahwa masyarakat plural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam satu kesatuan politik. Antara elemen satu dengan lainnya terpisah oleh karena perbedaan ras, suku, sosial budaya dan ekonominya. Hal lain yang menonjol adalah tidak adanya kehendak bersama, tidak adanya permintaan sosial ekonomi bersama dan tidak adanya kultur serta nilai-nilai yang dihayati bersama secara mendalam oleh seluruh elemen masyarakat. Pierre L. Van den Berghe menambahkan beberapa karakteristik masyarakat plural, antara lain: (1) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang bersifat non-komplementer. (2) kurang mengembangkan consensus antar anggota terhadap nilai-nilai dasar, (3) seringkali kelompok masyarakat terlibat konflik satu sama lain, (4) integrasi sosial yang tumbuh berdasarkan paksaan, dan (5) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain. Penggambaran masyarakat Indonesia yang plural tersebut tidak terlepas dari latar belakang histories 7 Indonesia dalam upaya melepaskan diri dari penjajahan. Proses terbentuknya bangsa Indonesia dimulai secara dinamis melalui pembentukan organisasi-organisasi yang mengarah pada persatuan dan bersifat menyeluruh yang kemudian disebut sebagai kebangkitan nasional. Puncak proses ini terjadi dengan adanya consensus nasional melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai sebuah ikrar untuk bersatu dalam satu nusa, bangsa dan bahasa yang kemudian bisa disebut sebagai nation-state. Berdasarkan penggambaran tersebut, maka dapat dikatakan kedua perspektif diatas oleh Furnivall dan Van den Berghe, kurang tepat pada kondisi histories Indonesia, yang mana pluralitas tersebut justru mendorong untuk bersatu, berkonsensus tanpa paksaan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan luar yang lebih besar. Dapat dikatakan bahwa konsensus masyarakat plural Indonesia lebih dikarenakan adanya persamaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai ancaman, terutama ancaman dalam pemenuhan kepentingan. Lain halnya apabila dibandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini, perbedaan mengenai persepsi ancaman yang dihadapi menjadikan kedua pemikiran mengenai masyarakat plural lebih mengena pada beberapa hal. Pembahasan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

108

Permasalahan yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme yang terjadi diwilayah tersebut. Perbedaan tipe kolonialisme antar penjajah menimbulkan dampak yang berbeda-beda dikemudian hari pada negara jajahannya. Sebagai negara baru yang mendapatkan kemerdekaan dari penjajah, maka pembentukannya juga tidak berdasarkan kesamaan sifat, namun kesamaan kepentingan penjajah. Sebagaimana ketika Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk suatu badan khusus untuk mempersiapkan segala hal apabila Indonesia telah di 8 merdekakan. Sehingga tidak mengherankan apabila dikemudian hari sering terjadi konflik dengan tingkatan-tingkatan tertentu, sehingga negara baru tidak dapat lepas dari upaya Nation Building, State Building dan Economic Development. Ketiga hal ini saling berhubungan dalam menunjang kestabilan suatu negara, namun permasalahan yang sering dihadapi oleh negara multi-etnis adalah dalam pelaksanaan Nation Building-nya. Nation building dipahami sebagai proses konsolidasi dan integrasi dari kelompok-kelompok pembentuk negara sehingga tidak mudah terpecah-pecah baik dari luar maupun dari dalam. Nation Building berhubungan erat dengan etnis (nation) dalam satuan wilayah teritorial yang kemudian disebut negara, sehingga kuat lemahnya nation building tersebut tergantung pada bagaimana etnis-etnis didalamnya berinteraksi baik berkonflik ataupun berkerjasama. sehingga proses nation building melalui integrasi berjalan terus-menerus dan dapat dikatakan sebagai proses yang tak pernah selesai karena menyangkut keamanan negara. Suatu proses dari ketika adanya konsensus untuk membentuk negara hingga kini dan masa yang akan datang. Barry Buzan dalam bukunya People, State and Fear menganalisis keamanan negara berdasarkan struktur internal pembentuk negara, termasuk etnis-etnis pembentuknya. Dengan menggunakan konsep awal state, Buzan membagi negara dalam tiga kelompok sifat negara terhadap keamanan yaitu negara stabil, tidak stabil dan sangat tidak stabil yang didasarkan dari tiga model dasar pembentuk negara yaitu: The Idea of State, The Institutional Expression of the state dan The physical base of the state. Ketiga hal tersebut menjelaskan dua hal yaitu: pertama; ketiga hal tersebut dapat dibedakan satu persatu untuk menjelaskan lebih jauh sebagai bagian dari objek keamanan negara, kedua; hubungan antar ketiganya dapat digunakan sebagai sumber penjelasan permasalahan keamanan nasional.(Buzan, 1991:65) Dengan demikian mengukur
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

109

9 ketiga hal diatas kita dapat mengetahui tingkat kestabilan struktur internal negara dalam menghadapi keamanan nasional/ konflik yang muncul dalam negara baik yang bersumber dari internal maupun campur tangan luar. Namun demikian bukan berarti kita tidak dapat mengukur tingkat kestabilan struktur internal negara hanya dengan salah satu dasar pembentuk. Karena keterbatasan, tulisan ini hanya akan memfokuskan pada model the idea of state. The Idea of the State berhubungan dengan legitimasi rakyat yang bersumber dari nation dan organizing ideology, berdasarkan kedua sumber ini maka dapat diketahui tipe-tipe negara berdasarkan entitas pembentuknya yaitu (1)Nation-State; negara yang memiliki satu entitas nation sebagai major role, sehingga ikatan negara dan entitas pembentuknya kuat. (2)State-Nation; negara berperan didalam membentuk entitas didalamnya, bersifat top-down, sehingga biasanya berusaha menghilangkan entitas asli didalamnya dan membentuk entitas baru yang homogen dan diterima semua kalangan, pada bentuk ini yang telah mapan akan menpunyai ikatan kuat seperti Amerika dan Australlia sedangkan pada bentuk yang belum mapan dengan kondisi termasuk lemah dan rawan konflik salah satunya dapat dilihat pada usaha separatisme di Nigeria. (3)Part Nation-State; dimana satu nation terdapat dalam dua negara atau lebih (tersebar) seperti Cina dan Korea. (4)Multination-State; satu negara terdiri dari dua nation atau lebih, bentuk ini ada dua macam yaitu federatif state dengan tidak ada nation yang mendominasi dan imperial state dengan ada satu nation yang yang mendominasi struktur kenegaraan, sehingga bentuk imperial ini lebih rawan konflik daripada federatif. Indonesia pada tipologi ini dapat kategorisasikan dalam multination-state bentuk federatif, karena tidak ada satu nation yang mendominasi struktur kenegaraan meskipun suku jawa mempunyai jumlah paling banyak. Meskipun oleh Buzan bentuk federatif dianggap relative lebih aman dibandingkan dengan bentuk imperatif, bukan berarti dalam bentuk federatif 10 tidak ada konflik sama sekali. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hambatan justru ada dalam upaya pembentukan konsensus antar entitas yang beraneka ragam tersebut. Hal ini karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai ancaman dan sesuatu yang dianggap lebih bernilai (values). Berbagai tipe negara beserta konsekuensi keamanan nasionalnya terhadap konflik etnis tidak lepas dari modernisasi dan pembangunan politik yang menegaskan bahwa jaringan kelompok mayoritas (utama) bisa menjadi penghambat nation
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

110

building dan pembangunan, sehingga perlu membongkar jaringan tersebut dan memindahkan loyalitas dari loyalitas pada kelompok etnis ke bentuk loyalitas masyarakat yang lebih luas dalam lingkup negara (Stavenhagen, 1990:78) sehingga tindakan yang diambil dalam aktivitas etnis harus lebih menunjukkan pada pilihan rasional bagi tindakan politik daripada sentimen primordial. Pada negara bekas kolonial yang entitas pembentuknya terdiri dari beberapa etnis, maka akan dihadapkan pada permasalahan ini, terlebih lagi jika ada kelompok etnis yang dominan. Sehingga situasi tersebut bisa menyebabkan terjadinya konflik etnis yang disebut dengan ethnic revival, yaitu dengan adanya rasa ketakutan kelompok minoritas pada masa kolonial dan rasa ketakutan itu justru semakin bertambah setelah masa kemerdekaan karena beranggapan bahwa etnis mayoritas adalah kelompok penjajah baru (Ryan, 1990:x). Menurut Rothchild konsep sentral etnik adalah ketakutan etnik akan kehidupan masa depan atas kehidupan yang pernah dilalui pada masa lalu. Dengan anggapan ini tentu dapat dipahami sebagai sikap manusia sebagai anggota kelompok etnis berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan identitasnya. Hal ini berdasarkan pada definisi dari kelompok etnis yaitu sebagai sekelompok orang yang mendefinisikan dirinya (identitas) mempunyai perbedaan yang sangat jelas dengan kelompok lain karena perbedaan budaya. Sedangkan budaya menurut 11 Galner didefinisikan sebagai kesatuan konsep yang dijadikan acuan berfikir dan bertindak oleh sekelompok manusia (population) secara turun menurun yang biasanya mempunyai nama. Oleh karena itu budaya bukan hanya sekedar kumpulan konsep, namun lebih dari sekedar hubungan dan ketergantungan antar konsep (Ryan, 1990: xiii). Berdasarkan pengertian tentang etnis tersebut maka dapat dimengerti apabila konflik etnis lebih didasarkan pada suatu hal yang tidak jelas (intangible) dengan melihat who someone is dari pada what someone does(Goldstein, 1996:198) maka dapat dipahami juga apabila konflik etnis sulit untuk diselesaikan karena didasarkan pada kebencian I dont like you - dan bukan who gets what. Sehingga rasionalitas dalam konflik etnis terkadang tersingkirkan dengan adanya benturan nilai-nilai adat meskipun etnis yang berkonflik tersebut selalu ingin disebut sebagai masyarakat modern. Disisi lain, elit massa juga diharapkan mampu mengakomodasikan kelompok minoritas, demikian juga kelompok minoritas sebaiknya melakukan beberapa tindakan agar tidak terdeprivasi. Deprivasi yang berkelanjutan dan dalam jangka
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

111

waktu yang lama akan memicu terjadinya konflik sebagai suatu bentuk pemberontakan. Rothchild mengemukakan ada empat mekanisme untuk menolong kelompok etnis minoritas agar tidak terdeprivasi antara lain: (1)Demonstrations of respect, sebagai sikap saling menghormati antar kelompok etnis terutama terhadap etnis minoritas, (2)Power Sharing, yang diusahakan pemerintah untuk membentuk perwakilan sesuai dengan kondisi entitas pembentuk masyarakat, (3)Elections, dengan melakukan sistem pemilu sebagai bagian dari political game menyangkut partisipasi dalam proses pengambilan suara, (4)Otonomi regional dan federalisme, berhubungan dengan kemampuan pemimpin politik/pemeritah pusat dalam memajukan kepercayaan diri antar pemimpin lokal (international security, 1996,2/21:57). 12 Permasalahan etnis dalam diperlukan juga pemikiran dari kajian psikologi sosial, untuk melihat bagaimana individu-individu yang tergabung dalam kelompok etnis berinteraksi dengan kelompok lainnya. Beberapa kajian psikologi sosial ini telah berhasil diterapkan dalam beberapa konflik sosial yang terjadi di dunia internasional dengan melakukan identifikasi terhadap konflik sosial yang ada sebagai upaya untuk menuju resolusi konflik. Kajian ini dikembangkan oleh Herbert C. Kelman, seorang ahli psikologi, yang telah melakukan penelitian dan workshop bagi penyelesaian masalah konflik sosial yang terjadi di Irlandia Utara, Sri Lanka, Rwanda-Burundi, eks Yugoslavia, eks Uni Soviet dan konflik Israel-Palestina. Pemikiran Kelman ini juga banyak dijadikan acuan dalam resolusi konflik yang terjadi antar kelompok dalam negara, termasuk konflik local di Indonesia, seperti resolusi konflik di Ambon, Sampit dan Poso adalah contoh dari konstrubusi pemikiran Kelman. Menilik permasalahan nation building di Indonesia, kembali lagi pada penekanan integrasi horisontal antar kelompok sosial dalam masyarakat, dalam hal ini bukan hanya kelompok etnis. Keikut sertaan individu dalam kelompok, baik karena ada aturan yang berlaku (paksaan) ataupun otomatis, merupakan penciptaan komunikasi yang mengarah pada hubungan fungsional. Oleh Thilbaut dan Kelley hubungan ini disebut dengan social exchage theory(Ahmadi, 1991:104). Analog dengan teori ekonomi, teori ini menunjukkan bahwa keikutsertaan atau masuknya individu dalam suatu kelompok akan memperoleh keuntungan dan kerugian. Keuntungan dapat berupa kesenangan dan kepuasan keikutsertaan individu dalam kelompok, sedangkan kerugian bisa berupa waktu, tenaga, jasa, ataupun materi yang telah dikeluarkan individu dalam kelompok. Perbedaannya, apabila nilai tukar dalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

112

ekonomi penguatnya adalah uang, maka pada nilai tukar sosial penguatnya adalah penerimaan sosial. Penerimaan sosial ini juga berarti diterimanya nilai-nilai 13 individu tersebut dalam kelompok. Semakin diterima nilai-nilai individu dalam suatu kelompok maka semakin tinggi pula nilai sosial exchange-nya yang ditandai dengan kesenangan dan kepuasan individu tersebut dalam kelompok. Hal ini karena kelompok terbentuk dari individu yang mempunyai tujuan yang sama dan membentuk hubungan fungsional. Hubungan ini pada akhirnya membentuk nilai-nilai sosial yang dianut oleh anggota kelompok. Semakin besar nilai tukar sosial suatu kelompok, semakin besar pula penerimaan sosial akan kelompok tersebut. Untuk meningkatkan nilai tukar sosial, kelompok sosial berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Artinya apabila banyak anggota kelompok yang kecewa dengan kelompok atau tingkah laku kelompok tidak sesuai dengan yang diharapkan anggotanya, maka penerimaan sosial kelompok tersebut kecil, bahkan bisa saja terjadi perpecahan kelompok. Saat ini seseorang bergabung dengan suatu kelompok lebih pada pemenuhan kebutuhannya, sehingga seseorang bisa menjadi anggota pada lebih dari satu kelompok. Keikutsertaan individu dalam kelompok secara tidak sadar memunculkan perasaan ikatan di dalam kelompoknya (in-group) ataupun perasaan terhadap kelompok lain (out-group). Perasaan ikatan dalam kelompok berpengaruh terhadap kohesifitas kelompok dan bahkan memunculkan favoritisme terhadap kelompoknya. Kohesi kelompok merupakan perasaan bahwa orang bersama-sama dalam kelompok sebagai kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam kelompok. Kohesi ini terlihat dengan adanya rasa sentimen, simpati, intim dan solidaritas antar anggota. Perasaan ini yang juga sedikit banyak mempengaruhi pola hubungan antar kelompok, apakah akan melakukan kerjasama atau beroposisi. Karena kohesi dapat berkembang dengan adanya ancaman atau tekanan dari out-group. Ingroup terkadang membuat kode-kode tertentu sebagai bentuk komunikasi yang hanya bisa dipahami antar anggotanya. Dalam hal ini keanggotaan kelompok menjadi bagian 14 dari identitas seseorang. Pada kelompok yang lebih moderat, pola hubungan ini lebih rasional dengan melihat adanya kesamaan kepentingan atau persepsi terhadap suatu hal yang mendorong adanya konsensus untuk bekerjasama. Setiap kelompok mempunyai pedoman tingkah laku yang khas antar anggotanya yang disebut dengan norma kelompok. Norma terbentuk dari hasil interaksi antar anggota karena terdorong
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

113

untuk mencapai tujuan bersama. Sebaliknya norma bukanlah sesuatu yang tidak statis / selalu berubah karena kelompok sosial merupakan hubungan yang dinamis. Perubahan yang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi masing-masing anggotanya. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku anggota kelompok akan bisa berubah akibat dari perubahan kelompok. Singkatnya norma kelompok mempengaruhi tingkah laku anggota. Norma kelompok sosial berbeda-beda satu sama lain yang disebabkan adanya perbedaan geografis, status sosial dan tujuan kelompok. Misalnya kelompok masyarakat yang tinggal di pantai pasti mempunyai norma yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang tinggal di pegunungan, demikian juga antara pegawai negeri dengan petani, pekerja seni dengan atlet. Perbedaan norma ini memunculkan perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Sekali lagi, apabila tidak terakomodasikan dengan baik tentu akan menimbulkan konflik. Upaya mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok, membentuk consensus atas nilai-nilai bersama dan membentuk loyalitas terhadap negara, sekalipun merupakan tugas bersama antar entitas pembentuk negara, elit massa-lah yang diharapkan mampu mengkoordinasikan semua hal diatas. Adanya konsesus antar kelompok tanpa adanya elit yang mempunyai tujuan yang jelas, maka nation building yang diharapkan akan rapuh dan mudah goyah. Sehingga elit, dalam hal ini lebih pada pemimpin diharapkan mampu melaksanakan peranannya sebagaimana mestinya. Peranan dapat diartikan sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap 15 caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Sehingga pengharapan terhadap pemimpin lebih pada kemampuan pemimpin tersebut mempengaruhi orang lain sehingga bertingkah laku sebagaimana dikehendaki pemimpin tersebut. Karena pemimpin bukan hanya sebagai kedudukan yang merupakan satuan kompleks atas hak-hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang atau institusi, namun juga sebagai proses sosial yang merupakan segala tindakan yang dilakukan seseorang atau institusi yang mampu menggerakkan masyarakat dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Sehingga bagaimana interaksi suatu kelompok dengan kelompok lainnya juga dipengaruhi oleh pemimpinnya. Pemimpin disini pada akhirnya juga ikut andil dalam pembentukan norma kelompok. Acap kali setiap terjadi pergantian kepemimpinan suatu kelompok, juga terjadi perubahan norma. Apabila perubahan norma yang ada mudah diterima dan diadopsi oleh anggotanya, maka kohesifitas dalam kelompok semakin kuat. Sebaliknya apabila
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

114

norma baru tersebut kurang bisa diterima oleh anggotanya, maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perpecahan dalam kelompok. Dengan kata lain bagaimana pemimpin itu bersikap akan berpengaruh juga terhadap kohesifitas kelompok. Kepemimpinan dan norma kelompok secara tidak langsung akan menentukan bagaimana kelompok itu bersikap (attitude). Sikap ini dipahami sebagai suatu kesadaran yang menentukan perbuatan nyata yang berulang-ulang terhadap objek sosial. Karena tidak ada satu sikap-pun tanpa objek sosial. Misalnya sikap bangsa Indonesia terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, sikap yang ditunjukkan warga Indonesia tidak lepas / dipengaruhi oleh norma yang dikembangkan pemimpin. Pada masa awal orde baru, sikap terhadap etnis Tionghoa lebih dikarenakan aspek afektif adanya emosi yang berkaitan dengan objek yang dianggap tidak menyenangkan karena berkaitan dengan peristiwa 30 September (bahaya laten PKI). Pada kasus 16 internasional dapat dicontohkan mengenai sikap bangsa Jerman terhadap orang Yahudi pada masa Hitler karena dianggap penyebab kekalahan Jerman pada Perang Dunia I. Perasaan terhadap kelompok tertentu ini disebut dengan prasangka sosial (sosial prejudice) yang terkadang mendorong pada stereotip terhadap kelompok tertentu tanpa adanya pengetahuan mengenai kelompok yang dikenai prasangka tersebut. Prasangka inilah yang pada akhirnya menciptakan jarak sosial (sosial distant) antar kelompok yang seharusnya tidak perlu. Prasangka negatif (stereotif) yang menciptakan jarak sosial ini merupakan potensi konflik antar kelompok sosial. Agar terhindar dari konflik maka informasi mengenai kelompok berikut normanya sangat diperlukan dalam menciptakan hubungan yang positif antar kelompok. Setiap persinggungan norma antar kelompok merupakan tugas bersama antar anggota yang difasilitasi pemimpin dalam mengakomodasikannya. Apabila pemimpin mampu mengakomodasikan perbedaan ini hingga membentuk suatu konsensus atas nilai-nilai bersama, maka kohesifitas kelompok bukan hanya terjadi pada in-group, tapi juga out-group. Pada akhirnya hal ini juga akan mendorong terciptanya loyalitas terhadap negara karena pemimpinnya dianggap mampu berperan sebagaimana mestinya. Indonesia sebagai negara dengan kemajemukannya, segmentasi yang ada berupa aspek horizontal dan vertical. Segmentasi aspek horizontal berupa perbedaan ras, agama, suku dan daerah, sedangkan segmentasi aspek vertical merupakan kondisi politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek vertical ini, jarak antara pelapisan masyarakat atas dan bawah masih sangat tajam, baik antara kaya-miskin, desa-kota, tingkat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

115

pendidikan dan sebagainya. Jarak dalam aspek vertical ini yang dipertegas dengan adanya jarak sosial semakin menyulitkan Indonesia memperkokoh integrasi dalam nation building. Sehingga perbedaan ini perlu dijembatani dengan nilai persatuan yang mengecilkan kesenjangan antar kelompok. 17 Menilik upaya resolusi konflik antar kelompok sosial yang ditawarkan Kelman, sebaiknya pemerintah melakukan tindakan proaktif terhadap berbagai kemungkinan terjadinya konflik. Kelman mengenalkan interactive problem solving (Kelman, American Psychologist, 1997, 52/3:212-220) yang menghadirkan pihak ketiga untuk membahas segala permasalah yang berpotensi konflik. Metode ini telah diterapkan pada kasus di Poso dan Sampit. Interactive problem solving ini lebih merupakan workshop yang menjadikan kelompok sosial sebagai laboratorium. Workshop ini dilakukan untuk mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan, antara lain keinginan kelompok, norma yang berlaku, pandangan terhadap kelompok lain serta upaya penyelesaian kelompok. Dengan mengkomunikasikan berbagai kepentingan diharapkan bisa mendapatkan resolusinya. Workshop pada proses resolusi konflik, kelompok sosial menjadi subjek yang berperan aktif. Ada tiga peran kelompok sosial dalam resolusi konflik, satu; kelompok sosial dapat dilihat sebagai mikrokosmik dari sebuah sistem yang lebih besar, dimana kelompok sebagai arena dimana sistem yang lebih besar itu berada. Sehingga norma-norma yang diinginkan bersama dapat terbentuk untuk mendukung tercapai resolusi. Dua; selain itu dalam workshop antar kelompok yang berkonflik dibentuk suatu koalisi agar mampu membentuk kesamaan tujuan dan kepentingan. Meskipun dalam kenyataannya sangat sulit membentuk koalisi antar kelompok yang berkonflik karena berhadapan dengan berbagai hal termasuk norma dan kepemimpinan. Tiga ; langkah berikutnya adalah menciptakan hubungan baru, artinya mengembangkan prinsip resiprositas antar kelompok yang berkonflik, yang tentunya berkaitan dengan keunggulan masing-masing kelompok. Dengan terciptanya hubungan baru maka diharapkan konflik dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan mencari alternatif yang lebih baik. Ketiga peran kelompok sosial dalam penyelesaian 18 konflik secara interaktif ini merupakan analog atau gambaran konflik riil. Hasil workshop yang terkesan hanya berada didunia abstrak setidaknya cukup memberikan informasi bagi konstribusi resolusi konflik.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

116

Kesimpulan Keberagaman kelompok sosial dalam integrasi nasional Indonesia bukanlah suatu hal yang mudah untuk ditangani namun bukan pula suatu hal yang rumit karena integrasi merupakan suatu proses yang selalu berlanjut dan tidak pernah berhenti. Konflik sosial yang terjadi lebih pada perbedaan norma, sikap dan prasangka yang tidak terkomunikasikan dengan baik. Integrasi nasional dalam kerangka nation building bukan hanya masalah negara hanya masalah negara baru ataupun negara plural, namun juga masalah semua negara demi menjaga eksistensinya. Elit sebaiknya bersikap proaktif terhadap segala bentuk potensi konflik yang ada. Konflik sosial yang terjadi juga bukan tanggungjawab pemimpin/ elit semata, namun juga tanggungjawab kelompok (termasuk individu didalamnya) yang turut membentuk norma, sikap dan prasangka terhadap kelompok lain. Pengkajian masalah internasional bukanlah monopoli pengkajian ilmu hubungan internasional, karena permasalahan internasional juga dapat dikaji dari ilmu lain.

8. PENUTUP

Pada Bagian penutup ini penulis kembali menegaskan bahwa pluralisasi merupakan suatu hal yang tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang besar harus sekuat tenaga menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media yang dapat memecahbelah kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan. Tidak ada salahnya kita melihat kembali apa yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran : Dalam Alquran Allah SWT berfirman : "Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al-hujurat: 13). Dalam ayat di atas Allah telah menandaskan bahwa manusia diciptakan dalam wujud laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku. Dengan tegas ayat ini menandakan pluralitas manusia. Kebhinekaan bukan untuk saling menghilangkan, sebaliknya agar saling mengenal (lita'rafu). Mengenal artinya saling mengerti dan memahami, di sini diandaikan saling belajar sehingga kehidupan menjadi dinamis. Kita berharap, Indonesia dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat kokoh berdiri didasarkan segala perbedaan dan kemajemukan. Suku, bangsa, budaya, agama,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

117

serta perbedaan wilayah geografis menjadi pondasi kuat baik tegaknya Indonesia dengan slogannya Bhinneka Tunggal Ika. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi

antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam ke-ekaan mulai menjadi masalah yang tak pernah kunjung selesai. Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik sepatutkan dikaji ulang untuk digeser pada pluraisme budaya (multi culturalme) yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga berbagai lokal yang ada di Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh kebijakan politik Nasional yang meletakkan berbagai kebudayaan itu dalam kesetaraan derajad. Tranformasi budaya dan berbagai permasalahan silang budaya harus dapat dipandu secara perlahan lewat jalur media massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus informasi, memerlukan berbagai penyesuaian, baik dalam struktur pekerjaan, tuntutan keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam proses perubahan tersebut bila tidak memiliki akar budaya yang kuat akan kehilangan identitas diri, dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan memberikan sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat. Nilai budaya yang berkembang dalam suatu

masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Dengan

berpijak pada pemahaman

tersebut, nampak bahwa kebijakan pendidikan yang

sentralistik menjadi tidak relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi dan humanisasi. Pi'il Pesenggiri merupakan elemen budaya mengandung nilai positif, oleh karena didalamnya mengandung keutamaan prinsip dan kedudukan terhormat dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat lampung pada dasarnya mendambakan kedudukan yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

118

terhormat, prestasi yang gemilang, menilai harga diri dari segi moral dan bukan perhitungan ekonomis. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kehormatan dan harga diri, maka berarti masyarakat lampung mempunyai sumber daya yang besar dalam upaya menjauhkan diri dari segala sikap dan perbuatan yang tercela atau melanggar ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini Prinsip Pi'il Pesenggiri perlu dipertahankan, diterapkan dan diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan formal organisasi-organisasi pemerintah. Dengan demikian berarti Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya telah menunjukkan apa yang disebut sebagai jatidiri masyarakat lampung pada umumnya. Sebagai warga masyarakat yang dilahirkan dalam lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang mengutamakan kehormatan dan harga diri telah memberikan pertanda tentang jatidiri yang khas. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sangat berarti bagi pembentukan jatidiri bangsa Indonesia pada umumnya. Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri bangsa dapat dijadikan sebagai sumber potensi dalam perspektif pembangunan yang tidak hanya terbatas bagi kepentingan daerah lampung, akan tetapi sangat penting bagi pembangunan nasional. Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari

keberadaannya, dan merupakan tantangan yang dihadapi oleh agama-agama dunia dewasa ini. Untuk menghadapi tantangan pluralisme, diperlukan pemahaman yang plural terhadap agama. Setiap agama hendaknya dinilai sebagai tradisi-tradisi yang utuh, bukan sebagai fenomena keagamaan yang partikular. Tradisi perbedaan keagamaan hendaknya dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri (Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-Centredness). Semua agama cenderung memiliki klaim absolutisme, baik Islam, Kristen Hindu maupun Yahudi. Klaim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif akan berdampak pada konflik antarumat beragama, dan konflik tersebut akan menjadi

memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan. Tidak ada agama yang memiliki esensi tunggal. Yang ada adalah perbedaan penafsiran tentang Tuhan: God, Emptiness, Suchness, the One, Nature, the Many.

Perbedaan agama-agama hanya berada pada level eksoterisme, sementara pada level esoterisme terdapat titik temu. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

119

ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa semua harus menjadi satu. Dalam memahami persoalan agama-agama perlu pendekatan multikultural, dimana pendekatan ini berusaha menjauhkan sikap absolut, subjektif dan ekslusif. Pemahaman ini juga setara dengan pendekatan yang digunakan oleh Schuon dengan istilah esoterisme, atau yang digunakan Hick dengan pendekatan cross-cultural-nya dan Nasr dengan philosophia-perennia-nya. Mengedepankan aspek moral dan sosial dalam agama juga diperlukan agar agama tampil sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Wallahu Alam bi-l-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

120

Abdul Syani, 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara, Jakarta. Abdulkadir Muhammad, 1987. Ilmu Budaya Dasar (IBD). Fajar Agung, Jakarta. Abu Rabi, Ibrahim. Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century Jurnal Studia Islamika. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998. Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991) Ali, Mukti H. A.. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998. Anderson, B. (1991 [1983]) Imagined Communities. Reflections on the Origins and Spread of Nationalism. 2nd edition. London: Verso. Andito (ed.). Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Arikunto, S. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Bina Aksara,1989. Ary D. et.al.. Introduction to Research in Education, The Third Education, New York: Holt, Rinehart and Wiston,1985. Azra, Azyumardi.. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999. Budiono Kusumohamodjojo, 2000, Jakarta Buzan, Barry, People, State and Fear, (Harvester Wheatsheaf, London, 1995) Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius. Nasikun, Sistem Sosial Budaya, Jakarta : Penerbit Rajawali Press. Tom Campbell. Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian dan Perbandingan. Kanisius. Yogayakarta, 1994. p. 141. Cohen, A. (1974) Two-dimensional Man. London: Tavistock. Coward, Harold.. Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989. Danandjaja James, 1988, Antropologi Psikologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Dean, Thomas, ed. Religious Pluralism and Truth Essays on Cross-Cultural Philosophy of Religion. State University of New York, 1985. Dieters Evers. Hans. 1998. Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Ritzer, Depag RI. Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI. 1995. Dian Interfidei. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri Dian I Th. I,. 1995.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Kebhinekaan Masyarakat Indonesia,

Grasindo

121

Fay, Brian Contemporary Philosophy of Social Science. Oxford: Blackwell Publisher. 1996. Furnivall, J.S. (1938) The Netherlands Indies: A Study in Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press. Geerz, Cliffort. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Surya Grafindo, 1985. Geertz, C. & D. Apter, eds. (1969) The Old Societies and New States. Chicago: Aldine Publications. Gellner, E. (1983) Nations and Nationalism. Oxford : Blackwell. George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke-6. Jakarta: Prenada Media. Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, (PT. Eresco Bandung, 1991) Goldstein, Joshua S., International Relations, 2sd edition,(Harper Collins Publisher Inc. New York, 1996) Hanafi, Hassan. 1977. Religious Dialogue & Revolution, Essay on Judaism, Christianity & Islam, Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop. Hamengku Buwono X, 2001, Implementasi Budaya Jawa Dalam Menjaga Keutuhan dan Persatua Bangsa, Mungkinkah? Makalah Seminar, Solo, Agustus 2001 Harsojo, 1967. _Pengantar Antropologi_. Binacipta, Bandung. Hasan, Thalchah.. Reaktualisasi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, makalah tidak diterbitkan. 1999 Hick, John Problem of Religious Pluralism. London: The Macmillan Press, 1985. Hilman Hadikesuma, 1977. Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia. Alumni, Bandung. Hilman Hadikesuma, 1979. Hukum Pidana Adat. Alumni, Bandung. Hornby, AS. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, Oxford: University Press. 1986. Jurnal Ulumul Quran.1993. No. 4, Volume IV. Kelman, Herbert C., Group Processes in The Resolution of International from The Israeli-Palestinian Case, (American

Conflicts:Experiences

Psychologist, March 1997, 52/3) p. 212-220 Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta. Koentjoraningrat, 1964. Pengantar Antorpologi. PD. Aksara, Jakarta. Kompas, 2000/ 05/ 08.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

122

Kung, Hans. Sebuah Model Dialog Kristen-Islam dalam Jurnal Paramadina, Jakarta, Paramadina Juli-Desember, 1998. Lyden, John (Editor). Enduring Issues in Religion, San Diego: Greenhaven Press. 1995. Mahfuz, Abdul Ghoffar. Tokoh Agama dalam Mewujudkan Kerukunan Antarumat Beragama (Studi Kasus di Kec. Bukit Intan Palembang, Puslit IAIN Raden Fatah. 1997. Mastudu dan M. Deden Ridwan (eds.)..Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Jakarta, Pusjarlit. 2000 Mathews, Warren.World Religion, Canada: International Thompson Publishing, 1999. Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif, Suatu pendekatan Lintas Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasr, Seyyed Hossein. The Need for Sacred Science, United Kingdom: Curzon Press, 1993. Notingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Terjemahan A. Muis Naharong, Jakarta: Rajawali Press,1985. Nurdin HK. (Editor), 1983. Perubahan Nilai-nilai di Indonesia. Alumni, Bandung. Paul B. Horton & Chester LH, Terj. Aminuddin Ram, 1992, Sosiologi, Erlangga, Jakarta Puspito, Hendro, OC. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1984. Qowaid. Dialog Antarumat Beragama di Kalimantan Selatan, Jakarta, Jurnal Penamas No. 39, Th. XIV. 2001. Ralp Linton, 1947. The Cultural Background of Personality. New York. Ropi, Ismatu. Fragile Relation: Muslims and Christians in Modern Indonesia Jakarta: Logos. 2000. Rothchild, Donald & David A. Lake, Containing Fear: The Origins and Management of Ethnic Conflict, (International Security 1996, 2/21) p.57 Ryan, Stephen, Ethnic Conflict and International Relations (Darmouth Publishing Company, England, 1990) Saifuddin, A.F. (2005) Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritik Mengenai Paradigma. Jakarta : Prenada-Media. Schuon, Frithjof The transcendent Unity of Religions. Wheston, Illinois: The Theosophical Publishing House,1984. Setya Yuwana Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudayaan, Citra Wacana, Surabaya Shihab, Quraish Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1992.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Kodya Pangkal Pinang),

123

Smith, A.D. (1986) The Ethnic Origin of Nation. Oxford: Blackwell. Soroush, Abdul Karim Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2003. Stavehagen, Rodolfo, The Ethnic Question : Conflict, Development and Human Rights (United Nations Univ.Press, Tokyo, 1990) Stark, Rodney. One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, penerjemah M. Sadat Ismail, Jakarta, Nizam, Yogyakarta: Qalam, 2003. Sudarta. Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar umat

Beragama di Indonesia, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. Sumarthana, T.H. Menuju Dialog Antar Iman, Pengantar dalam Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/Interfedei, Seri Dian I/Tahun I. 1993. Suparlan P. Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama Sebagai Sasaran Penelitian Antropologi dalam Parsudi Suparlan (ed), Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama, Jakarta, Badan Litbang Agama, Departemen Agama RI. 1982. Suparlan P. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta, Rajawali Press, 1984. Suparlan P. Agama Sebagai Sasaran dan Penelitian dalam Sujangi (ed), Kajian Agama dan Masyarakat, Jakarta, Badan Litbang Departemen Agama RI. 1991. Tracy, David. Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope. University of Chicago Press, 1987. Turner, V. (1969) The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine Publications. Yahya, M., et.al. Respon Masyarakat Awam (Islam-Kristen) Terhadap Dialog Antarumat Beragama di Kabupaten Malang, Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Depag RI. 2002. Zakiyuddin. Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta: Lesfi, 2002. Zebiri, Kate. Muslims and Christians, Face to Face, Oxford: Oneworld, 1997. Zulaikha, Siti. Toleransi Awu-awu: Potret Dialog Antar Agama di Surabaya: Jurnal Gerbang, Oktober-Januari, 2002-2003. Zainuddin, M. Potret Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Jakarta: Mediacita, 2002 Malang Selatan, Jawa Timur

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

124

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

125

You might also like