You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengaruh mikroba terhadap kehidupan manusia dimulai sejak bayi dilahirkan.

Mikroba tersebut didapat dan mempengaruhinya saat melewati jalan lahir. Adanya mikroba di dalam kehidupan manusia berkelanjutan disertai kualitas hidup yang meningkat. Hal itu disebabkan mikroba memiliki untuk melakukan proses biokimiawi yang diperlukan bagi kehidupan manusia seperti melakukan proses dekomposisi bahan organik dan proses fermentasi yang memungkinkan dihasilkannya bahan kebutuhan manusia. Patogenesis adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi adalah invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit. Kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya. Dengan kriteria ini, bakteri dikelompokan menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit, patogen oportunistik, nonpatogen. Agen penyebab penyakit adalah bakteri patogen yang menyebabkan suatu penyakit. Kemampuan bakteri untuk menimbulkan suatu penyakit pada manusia tergantung dari system kekebalan tubuh manusia itu sendiri, jumlah bakteri yang masuk dalam tubuh, adanya mutasi bahan genetic bakteri serta jenis toksin yang dihasilkan bakteri tersebut. Masuknya bakteri ke dalam tubuh manusia dengan cara yakni melalui makanan, melalui vector berupa hewan, melalui udara, serta melalui luka yang nantinya masuk ke dalam jaringan. Untuk mengetahui jenis dan penyebab suatu penyakit terlebih dahulu diketahui penyebaran penyakit di daerah itu sendiri, serta diagnosa penyakit dengan melihat gejala-gejala yang ditimbulkan. Dari uraian di atas, perlunya pengetahuan mengenai penyebaran suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dengan melihat struktur morfologi, cara penularannya, diagnosis, serta pengobatan dan pencegahannya.

1.2

Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini yaitu: 1. Bagaimana proses penularan bakteri Streptococcus pneumonia, Clostridium botulinum, dan Haemophilus influenzae. 2. Bagaimana epidemiologi penyakit yang influenzae. 3. Bagaimana proses pendiagnosaan dan proses pengobatan serta proses pencegahan influenzae. penyebaran penyakit yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia, Clostridium botulinum, dan Haemophilus disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia, Clostridium botulinum, dan Haemophilus

1.3

Tujuan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu : 1. Untuk mengetahui proses penularan bakteri Streptococcus pneumonia, Clostridium botulinum, dan Haemophilus influenzae. 2. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia, Clostridium botulinum, dan Haemophilus influenzae. 3. Untuk mengetahui proses pendiagnosaan dan proses pengobatan serta proses pencegahan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia, Clostridium botulinum, dan Haemophilus influenzae.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Bakteri Clostridium botulinum a. Morfologi Clostridium botulinum adalah bakteri anaerobik, gram positif, membentuk spora, dan relatif besar. Sel vegetatif C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk ukuran bakteri. Panjangnya antara 3 m hingga 7 8 m. Lebarnya antara 0,4 m hingga 1,2 m. Pada pengecatan Gram, C. botulinum yang mengandung spora bersifat Gram positif, sedangkan C. botulinum yang tidak mengandung spora bersifat gram negatif. Namun, C. botulinum termasuk bakteri Gram positif. C. botulinum bersifat motil atau dapat bergerak dengan flagel yang berbentuk peritirik. b. Cara Penularan Clostridium botulinum tersebar luas di seluruh dunia. Botulinus terdapat dalam bentuk bakteri dan spora di dalam tanah, sedimen dilaut, permukaan buah dan sayur, di usus mamalia dan ikan dan di insang dan vixcera dari kerang-kerangan, kepiting. Karena spora botulinum, terdapat didalam tanah dan sedimen di dasar laut. Spora ini dapat berakhir di usus dari binatang yang memakan rumput dan ikan, kemudian memasuki rantai makanan manusia. Botulism pada bayi disebabkan tertelannya bakteri itu, dan bukan tertelannya racun. Terdapat tiga tipe keracunan menurut cara terjangkitnya: Hampir seluruh kejadian (90%) terjadi karena buruknya makanan kaleng yang diawetkan. Botulism akibat makanan (Foodborne botulism) biasanya disebabkan oleh daging yang tercemar (termasuk seafood) dan sayuran kaleng. Botulism pada bayi (Infant botulism) merupakan bentuk botulism yang paling umum. Disebabkan oleh menghirup spora bersamaan dengan partikel debu yang mikroskopis. Botulism pada luka (wound botulism) merupakan bentuk botulism yang paling jarang. Dapat terjadi ketika bakteri meng-infeksi luka (seperti luka koyak atau retaknya susunan tulang ) dan

memproduksi racun in vivo. Spora tumbuh secara lokal (didalam luka) dan racun bersirkulasi melalui pembuluh darah untuk mencapai bagian lain dari tubuh. Jalan masuk spora pada luka dapat saja kecil dan terlihat tidak penting. Pada makanan-makanan kalengan, bakteri ini sengaja dimasukkan dengan tujuan agar dapat membantu dalam mengawetkan makanan tersebut dengan keadaan yang dorman (tidak diaktifkan). Tetapi, apabila makanan kaleng telah kadarluasa, maka didalam kaleng bakteri ini akan aktif sehingga sporanya akan berkembang dan bakteri ini akan menghasilkan racun yang berupa neurotoksin (racun yang dapat langsung menyerang saraf) yang akan menyerang jaringan syaraf, sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi yang mengkonsumsinya. C. Epidemiologi Clostridium botilinum tersebar luas di seluruh dunia. Penyebaran bakteri C. botulinum melalui spora yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Spora C. botulinum dapat ditemukan di saluran pencernaan manusia, ikan, burung, dan hewan ternak. Selain itu, spora C. botulinum juga dapat ditemukan di tanah, pupuk organik, limbah, dan hasil panen. Spora tersebut dapat berakhir di usus hewan yang memakan hewan atau tumbuhan yang terkontaminasi spora tersebut kemudian memasuki rantai makanan manusia. Jika spora memasuki lingkungan yang anaerob, misalnya pada kaleng makanan, spora spora tersebut akan tumbuh menjadi bakteri yang dapat menghasilkan neurotoksin. Pada makanan yang tertutup dan pH nya rendah (lebih dari 4,6) merupakan tempat pertumbuhan bakteri C. botulinum yang kemudian dapat memproduksi racun. Faktor lain yang mendukung tumbuhnya spora menjadi sel vegetatif adalah kadar garam yang di bawah 7%, kandungan gula di bawah 50%, temperatur 4oC 49oC (suhu kamar), kadar kelembapan tinggi, serta sedikitnya kompetensi dengan bakteri flora.

D. Patogenesis Bakteri Clostridium botulinum akan berbahaya bila aktif secara metabolisme dan memproduksi racun botulinus. Dalam keadaan spora, botulinum tidak berbahaya. Panas dapat memungkinkan spora aktif dan berkecambah dan panas juga dapat membunuh bakteri lain yang menjadi saingan dengan Clostridium botulinum dalam mendapatkan Host. C. botulinum dapat menghasilkan molekul protein dengan daya keracunan yang sangat kuat yang dikenal dengan botulinin. Botulinin tersebut yang menyebabkan botulisme, yaitu penyakit keracunan makanan yang terkontaminasi oleh C. botulinum. Toksin botulinum mempunyai persamaan struktur dan fungsi dengan toksin tetanus. Kedua-duanya adalah neurotoksin tetapi toksin botulinum mempengaruhi sistem saraf periferi karena memiliki afiniti untuk neuron pada persimpangan otot syaraf. Toksin ini disintesis sebagai rantai polipeptid tunggal (150,000 dalton) yang kurang toksik. Walau bagaimanapun setelah dipotong oleh protease, ia menghasilkan 2 rantai: rantai ringan (subunit A, 50,00 dalton) dan rantai berat (subunit B, 100,000 dalton) yang duhubungkan oleh ikatan dwisulfida. Subunit A merupakan toksin paling toksik yang diketahui. Toksin botulinum ialah sejenis endopeptidase yang menghalang pembebasan asetilkolin pada pertemuan antara otot dengan saraf (myoneural junction). Ia adalah spesifik untuk bagian ujung saraf tepi/periferi pada tempat di mana neuron motor merangsang otot. Toksin ini bertindak seperti toksin tetanus dan memecahkan synaptobrevin, mengganggu pembentukan (dan pembebasan) vesikel yang mengandungi asetilkolin. Sel yang terpapar gagal membebaskan neurotransmiter (asetilkolin). Apabila otot tidak menerima isyarat daripada saraf, ia tidak akan berkontraksi (contract). Ini menyebabkan paralisis (lumpuh) sistem motor. Didalam tubuh neurotransmiter adalah pengirim pesan secara kimia yang digunakan oleh sel sel syaraf untuk berkomunikasi satu dengan yang lain dan yang mana digunakan oleh sel-sel syaraf untuk berkomunikasi

dengan otot. Racun botulism mengakibatkan characteristic flaccid paralysis dengan memecah satu dari tiga protein yang dibutuhkan untuk melepaskan neurotransmitter hal ini memblokade pelepasan acetikolin dan kemampuan sel-sel syaraf untuk berkomunikasi. Dengan terblokadenya syaraf terminal oleh racun, syaraf tidak dapat mengirim sinyal kepada otot untuk berkontraksi. Pasien mengalami kelemahan atau kelumpuhan, biasanya dimulai dengan muka/wajah, kemudian tenggorokan, dada dan lengan. Ketika diaphragma dan otot dada terkena pengaruhnya, bernafas menjadi sulit, terhambat atau sepenuhnya lumpuh. Di beberapa kasus, pasien mati akibat asphyxia /sesak dada. Racun botulinum beraksi dengan mengikat presynaptically kepada lokasi yang dikenal memiliki afinitas tinggi didalam terminal syaraf cholinergic dan menurunkan pelepasan acetylcholine, menyebabkan efek blokade syaraf otot. Mekanisme ini digunakan sebagai dasar untuk pengembangan racun ini sebagai alat terapi. Recovery terjadi ketika proximal axonal bertunas dan terjadi reinnervation otot dengan pembentukan pertemuan syaraf - otot (neuromuscular junction) yang baru. Tipe racun botulinum dan lokasi target 1. BTX-A dan BTX-E memecah synaptosome-associated protein (SNAP 25), sebuah protein membran presynaptic dibutuhkan untuk penggabungan dari neurotranmitter yang mengandung vesikel. 2. BTX-B,BTX-D, dan BTX-F memecah vesicle-associated membrane protein (VAMP), juga dikenal dengan synaptobrevin. 3. BTX-C beraksi dengan memecah syntaxin, sebuah target protein membran. E. Diagnosis Gejala klinis yang disebabkan intoksikasi diantaranya adalah gangguan pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-pusing dan muntahmuntah, bisa juga diare, lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut konstipasi, kesulitan menelan dan berbicara, lidah bisa membengkak dan

tertutup, beberapa otot lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar ke hati dan saluran pernafasan. Kematian bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari. Menurut Bayrak AO and Tilky HE (2006), gejala klinis akan muncul 2- 36 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Clostridium botulinum. Identifikasi bisa dilakukan dengan cara tes aglutinasi pada gelas objek dengan antigen yang spesifik. F. Pengobatan dan Pencegahan Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan antitoksin trivalen (A, B, E). Karena berhubungan dengan keracunan makanan pencegahan dilakukan dengan melakukan proses pengalengan makanan yang benar (spora mati), memasak makanan 100oC selama 15 menit dan kaleng makanan yang mengalami penggelembungan dibuang. 2.2 Haemophilus influenzae a. Morfologi H. influenza berbentuk batang dengan ukuran sangat kecil , yaitu panjang 0,5 m dan lebar 0,2 sampai 0.3 m. Bakteri ini bersifat pleomorfik. Kapsul dijumpai pada bakteri yang berasal dari eksudat dan dari biakan yang baru berumur 6 jam. H. influenza tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Dengan pewarnan garam bersifat garam negatif. b. Cara Penularan Infeksi oleh H. influenzae terjadi yang biasanya menyebar secara langsung saat bersin atau batuk. H. influenzae menyebabkan sejumlah infeksi pada saluran pernafasan bagian atas seperti faringitis. Pada farings dari induvidu yang normal terdapat H. influenzae yang pathogen secara konstan galur yang virulen ini berpindah dari satu induvidu ke induvidu yang lain. Karena hanya satu jenis antigen (tipe B) yang paling sering menyebabkan infeksi, maka infeksi kliniks dan sub kliniks dapat memberikan imunitas yang efektif dan proktetif. Hal ini menyebabkan H. influenzae jarang terjadi pada orang dewasa , kecuali terjadi pada waktu

epidemic influenza karena virus yang menyebabkan daya tahan tubuh manusia menurun. C. Epidemiologi Sesuai dengan namanya, H. influenzae membutuhkan faktor-faktor pertumbuhan yang terdapat di dalam darah yang dilepaskan ketika sel darah merah mengalami lisis (haemo=darah, philos=menyukai). Faktor-faktor tersebut adalah faktor X (hemin), suatu derivat haemoglobin yang termostabil, dan faktor V (nicotinamide-adenine-dinucleotide) yang termolabil. Spesies ini memerlukan salah satu atau kedua faktor pertumbuhan tersebut. H. influenzae sangat peka terhadap disinfektan dan kekeringan. Kuman ini tumbuh optimum pada suhu 37C dan pH 7,4-7,8 dalam suasana CO2 10%. Kuman ini juga tumbuh subur sebagai satelit Stafilokokus karena Stafilokokus menghasilkan faktor V. D. Patogenesis H. influenzae menyebabkan sejumlah infeksi pada saluran pernafasan bagian atas seperti faringitis, otitis media, dan sinusitis yang terutama penting pada penyakit paru kronik. H. influenzae dapat menyebabkan pembengkakan saluran pernapasan bagian atas yang hebat yang mengakibatkan obstruksi dan sering menyebabkan kematian kurang dari 24 jam. Hal ini terjadi karena flu yang diderita sudah sangat berat sehingga menyebabkan meningitis. Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membrane atau selaput yang melapisi otak dan syaraf tunjang. Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak. Bakteri ini masuk kedalam tubuh melalui udara yang dihirup, kemudian menetap didalam tubuh. Didalam tubuh manusia, bakteri ini mengadakan pembelahan dan berkembangbiak dengan jumlah yang banyak, kemudian masuk ke dalam darah sampai ke otak, apabila bakteri ini sudah masuk dan menyebar kedalam peredaran darah (bersifat sistemik) dan masuk ke otak, maka dapat menyebabkan kematian.

E. Diagnosis Dalam mendiagnosis penyakit ini, dapat dipergunakan cairan serebrospinal, sputum, dan cairan telinga sebagai bahah pemeriksaan. Dari bahan ini dibuat preparat Gram, dan ditanam pada perbenihan agar coklat yang dieramkan dalam suasana CO2 10%. Ada 3 cara untuk mendiagnosanya, yaitu dengan Staphylococcus streak technique, untuk mengasingkan H. influenzae, terutama dari bahan-bahan yang tidak terkontaminasi dengan kuman-kuman lain seperti cairan serebrospinal dan darah. Cara lain adalah dengan reaksi Quellung yang khas sangat membantu diagnosis, kecuali untuk kuman-kuman tak bersimpai. Sedangkan untuk menegakkan diagnosis meningitis, digunakan deteksi antigen polisakarida simpai di dalam cairan tubuh. F. Pengobatan dan Pencegahan Pemilihan antibiotika yang akan digunakan dapat ditentukan dengan tes kepekaan secara in vitro. Kebanyakan H. influenzae peka terhadap ampisilin, khloramfenikol, tetrasiklin, sulfonamida dan kotrimoksasol, dan terapi dengan salah satu atau kombinasi obat-obat ini, namun kepekaan kumannya sendiri dan hasil suatu terapi tidak dapat diperkirakan. Sementara untuk pencegahannya, dapat digunakan vaksin khas polisakarida kapsuler terhadap bayi dimana ibunya tidak memiliki Ab terhadap H. influenzae . Disarankan juga untuk menjaga pola hidup bersih di daerah yang padat penduduk. 2.3. Streptococcus pneumonia a. Morfologi Bakteri Streptococcus pneumonia berbentuk diplokokus dan memanjang seperti lanset. Dapat berbentuk tunggal berbentuk kapsul atau seperti rantai yang dikelilingi oleh sebuah kapsul. Bakteri ini tidak membentuk spora dan tidak bergerak. Bakteri ini mudah diwarnai dengan pewarnaan yang sederhana. Bersifat garam positif dan mudah berubah menjadi garam negatif pada sendian yang agak tua.

b. Cara Penularan Cara penularan virus atau bakteri Streptococcus pneumonia sampai saat ini belum diketahui pasti, namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi terserang penyakit Streptococcus pneumonia. Hal ini diantaranya adalah orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah, seperti penderita HIV/AIDS dan para penderita penyakit kronik seperti sakit jantung, diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani kemoterapy (chemotherapy) dan meminum obat golongan Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya memiliki daya tahan tubuh (Immun) yang lemah. Perokok dan peminum alkohol. Perokok berat dapat mengalami irritasi pada saluran pernafasan (bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi muccus (riak/dahak), Apabila riak/dahak mengandung bakteri maka dapat menyebabkan Pneumonia. Alkohol dapat berdampak buruk terhadap sel-sel darah putih, hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dalam melawan suatu infeksi. Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU). Pasien yang dilakukan tindakan ventilator (alat bantu nafas) 'endotracheal tube' sangat beresiko terkena Pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke arah kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator) maka potensial tinggi terkena Pneumonia. Menghirup udara tercemar polusi zat kemikal. Resiko tinggi dihadapi oleh para petani apabila mereka menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal (chemical) tanpa memakai masker adalah terjadi irritasi dan menimbulkan peradangan pada paru yang akibatnya mudah menderita penyakit Pneumonia dengan masuknya bakteri atau virus. Pasien yang lama berbaring. Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkannya bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan salah satu resiko tinggi terkena penyakit Pneumonia, dimana dengan tidur

10

berbaring statis memungkinkan riak/muccus berkumpul dirongga paru dan menjadi media berkembangnya bakteri. C. Epidemiologi Streptococcus pneumonia dapat hidup berbulan-bulan dalam sputum yang kering terlindung matahari. Bakteri ini akan mati dalam beberapa hari apabila ditanam pada medium biasa. Pada suhu 50oC bakteri mati dalam satu jam. Bakteri mati dalam larutan fenol dan antiseptik biasa, sensetif terhadap penisilin. D. Patogenesis Patoginesis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah. Patoginesis dapat ditentukan dengan cara kapsul polisakarida dan neuraminidase. Sputum merupakan dahak yang disekresikan oleh tubuh dalam melawan bakteri yang masuk kedalam tubuh. E. Diagnosis Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui cara rontgen dada dan pembiakan dahak. Pengambilan spesimen tergantung dari gejala kliniksnya, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan cara hapusan langsung dengan pewarnaan gram, reaksi quelling, inokulasi. F. Pengobatan dan Pencegahan Obat pilihan Streptococcus pneumonia adalah pinisilin. Bakteri ini lebih mudah resisten terhadap obat-obatan seperti tetrasiklin, sulfa, dan eritromisin. Sebagai upaya untuk mencegah infeksi bakteri ini adalah menghindari terjadinya infeksi saluran pernafasan. Selain dari obat-obatan diatas, dapat juga dilakukan pengobatan dengan pemberian obat-obat dari tanaman-tanaman herbal tertentu khusus penyakit ini yang diberukan dalam bentuk seduhan ataupun dalam bentuk jamu-jamu tradisional.

11

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Clostridium botulinum adalah bakteri anaerobik, gram positif, membentuk spora, dan relatif besar. Bakteri Clostridium botulinum akan berbahaya bila aktif secara metabolisme dan memproduksi racun botulinus. Identifikasi bisa dilakukan dengan cara tes aglutinasi pada gelas objek dengan antigen yang spesifik. Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan antitoksin trivalen (A, B, E). Karena berhubungan dengan keracunan makanan pencegahan dilakukan dengan melakukan proses pengalengan makanan yang benar (spora mati), memasak makanan 100oC selama 15 menit dan kaleng makanan yang mengalami penggelembungan dibuang. 2. H. influenza berbentuk batang dengan ukuran sangat kecil , yaitu panjang 0,5 m dan lebar 0,2 sampai 0.3 m. Bakteri ini bersifat pleomorfik. H. influenzae menyebabkan sejumlah infeksi pada saluran pernafasan bagian atas seperti faringitis, otitis media, dan sinusitis yang terutama penting pada penyakit paru kronik. Dalam mendiagnosis penyakit ini, dapat dipergunakan cairan serebrospinal, sputum, dan cairan telinga sebagai bahah pemeriksaan. Pemilihan antibiotika yang akan digunakan dapat ditentukan dengan tes kepekaan secara in vitro. Sementara untuk pencegahannya, dapat digunakan vaksin khas polisakarida kapsuler terhadap bayi dimana ibunya tidak memiliki Ab terhadap H. influenzae . 3. Bakteri Streptococcus pneumonia berbentuk diplokokus dan memanjang seperti lanset. Dapat berbentuk tunggal berbentuk kapsul atau seperti rantai yang dikelilingi oleh sebuah kapsul. Bakteri mati dalam larutan fenol dan antiseptik biasa, sensetif terhadap penisilin. Patoginesis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang

12

melebihi 40oC, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui cara rontgen dada dan pembiakan dahak. Obat pilihan Streptococcus pneumonia adalah pinisilin. Bakteri ini lebih mudah resisten terhadap obat-obatan seperti tetrasiklin, sulfa, dan eritromisin. Sebagai upaya untuk mencegah infeksi bakteri ini adalah menghindari terjadinya infeksi saluran pernafasan.

13

DAFTAR PUSTAKA Shapiro DS., 1997, Cases in Medical Microbiology and Infictious Diseases, ASM Press, Washintong DC. Song J.H., 2000, Simposium Penggunaan Antibiotik Secara Optimal di Era Resistensi Kuman, PAMKI, Jakarta. Todar K., 1997, Bacteriology, Departement of Bacteriology, Universitas of Wisconsin

14

MAKALAH BAKTERIOLOGI Clostrisium botulinum Haemophilus influenzae Streptococcus pneumoniae DISUSUN OLEH : Kelompok 2 Nelky Suriawanto Lisa Yuliana Momiyo Syahdima Mirawati

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TADULAKO 2011

15

You might also like