You are on page 1of 11

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya. Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit - belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya dapat dikategorikan tidak layak sebagai tempat menimba ilmu. Dapat dikatakan yang menjadi akar utama dalam permasalahan pendidikan di Indonesia antara lain : 1. Mahalnya Biaya pendidikan 2. Kurangnya Pemerataan Pendidikan di Indonesia 3. Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan 4. Masih rendahnya kesejahteraan Guru 5. Rendahnya Prestasi Siswa
Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

B. Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen.1 Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN.2 Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Disebutkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi3.

1 2

Harian Kompas 10 Mei 2005 kompas.com/archive/2005/may/10.html Kau.or.id 3 Yanti Mochtar Privatisasi Pendidikan dan Dampaknya, Republika 25 Agustus 2009

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

BAB II PERMASALAHAN A. Problematika Penyelenggaraan Pendidikan di Era Otonomi Daerah Perubahan besar terjadi dalam Pengelolaan pendidikan sejak Otonomi Daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001. Hal ini mempengaruhi tanggung jawab Pemda atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang selain daripada Pendidikan Tinggi yaitu SD, SMP, dan SMA. Dari sisi substansi, Pemda bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang terkait dengan sektor pendidikan kecuali kurikulum dan penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat. Sekitar 58% dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang. Pada saat yang sama, hanya 4% dari tenaga kerja yang berpendidikan tinggi Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) ini menggambarkan kondisi umum sektor pendidikan di Indonesia Dalam hal prospek peningkatan mutu dari SDM juga menurut saya juga tidak begitu cerah. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi masih relatif rendah (56% untuk SMP, 32% untuk SMA dan 12% untuk perguruan tinggi).4

B. Pola Pembiayaan Sektor Pendidikan Pola pembiayaan sektor pendidikan berubah seiring dengan kewenangan pengelolaan pendidikan. Pemda bertanggung jawab hanya menyangkut pembiayaan SD sebelum adanya Otonomi Daerah, lain halnya dengan SMP dan SMA juga perguruan tinggi yang menjadi tanggung jawab Pusat. Pembiayaan SMP dan SMA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota).

http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=152691:kualitas-tenaga-kerja-indonesiaperingkat-54&catid=17:nasional&Itemid=30

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

Seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SMA menjadi tanggung jawab Pemda setelah diberlakukannya otonomi daerah, sehingga Kanwil dan Kandepdiknas dihilangkan, menyisakan Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemprov. Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan provinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan Pemerintah Pusat tidak memiliki wewenang secara signifikan di daerah untuk mengimplementasikan program programnya. sehingga setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Dengan bentuk kelembagaan yang seperti itu menyebabkan, perubahan pola pembiayaan pendidikan. Dimana sektor pendidikan menjadi tanggung jawab setiap Daerah dan dengan kata lain pembiayaannya memerlukan dana dari APBD. Bantuan dari Pusat dan Provinsi tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota.

C. Masalah APBD Dalam Pembiayaan Pendidikan Masalah paling awal dalam penyelenggaraan pendidikan adalah masalah dana. Contohnya adalah di beberapa daerah masih terdapat banyak sekolah yang kualitas gedungnya buruk, terutama gedung SD, ini menandai bentuk dari keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Selain itu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menurut saya cukup membebani pemerintah. Berikut saya lampirkan Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

Pasal 49 menyatakan bahwa : Pemerintah (pusat maupun daerah) harus mengalokasikan minimal 20% anggarannya untuk keperluan sektor pendidikan di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Studi terhadap 245 kabupaten/kota menunjukkan bahwa realisasi anggaran masih jauh dari yang diharapkan. Pada tahun 2002, rata-rata persentase anggaran pembangunan terhadap APBD hanya 3,14%. Bahkan, persentase tertinggi hanya mencapai 10%, masih sangat jauh dari target 20% yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Di atas kertas, Pemda memang memiliki beberapa sumber keuangan daerah, seperti dana perimbangan (DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil), pendapatan asli daerah (PAD) dan pinjaman. Tapi pada kenyataannya, rata-rata peranan PAD dalam APBD hanya sekitar 7%. Sementara itu, rata-rata tertimbang rasio dana perimbangan terhadap pengeluaran rutin adalah 1,4 yang menunjukkan bahwa tidak banyak dana perimbangan yang bisa digunakan untuk keperluan di luar anggaran rutin.5 Berdasarkan Otonomi Daerah Pemda memiliki tanggung jawab yang besar dan bersifat jangka panjang di sektor pendidikan, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk mendanai. Apabila terus seperti ini, Daerah tidak akan mampu memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas dan pada gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai dampak otonomi daerah.

Analisis-Anggaran-Pendapatan-Belanja-Daerah-terhadap-Realisasi-Tata-Kelola-Anggaran-Pembangunan-diSektor-Pendidikan-Pemerintah-Kabupaten-Jombang.doc

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

BAB III ANALISIS PERMASALAHAN A. Alokasi Dana APBN Dalam pemilihan presiden tahun 2009, Beberapa calon presiden secara eksplisit menjanjikan bahwa kalau menang, maka pemerintah akan mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan diluar gaji pegawai dan pendidikan kedinasan sesuai UU Sisdiknas, dimana pada prakteknya menurut saya masih belum terpenuhi Yang menjadi masalah utama mengenai target anggaran pendidikan 20 persen adalah masalah kemampuan finansial pemerintah. Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai anggaran pendidikan adalah di luar untuk keperluan gaji pendidikan dan pendidikan kedinasan, dengan kata lain adalah sebagai anggaran pembangunan (bukan anggaran rutin). Di luar masalah kemampuan finansial, menyangkut dasar penentuan target anggaran. Angka 20 persen sangat mekanistik, dan tidak menjamin kecukupan anggaran. Karena ketentuan tersebut tidak didasari oleh sebuah perhitungan yang teliti tentang kebutuhan anggaran, khususnya perhitungan biaya satuan (unit cost). Akibatnya, angka 20 persen itu menjadi sangat relatif, bisa cukup, bisa kurang, bisa juga berlebih

B. Permasalahan Terkait Otonomi Daerah Permasalahan kedua yaitu terkait dengan otonomi daerah. dimana dalam hal ini apabila menyangkut APBN, maka akan terkait tentang pengeluaran pemerintah pusat. dimana di era otonomi daerah ini, kewenangan pusat di sektor pendidikan sangat terbatas, yakni di bidang kurikulum dan penetapan standar, selain tanggung jawab untuk pengelolaan perguruan tinggi. Itu pun dengan catatan bahwa peran pemerintah di

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

tingkat perguruan tinggi lebih banyak di bidang regulasi dan pengawasan. Di luar itu, khususnya dalam pengelolaan Wajib Belajar, menjadi tanggung jawab daerah. Apabila di angka kan, 20 persen anggaran pendidikan itu terbilang sangat besar, melibatkan uang sekitar Rp 50 trilyun. Apabila mengaca pada Otonomi daerah dimana Pemda bertanggung jawab pada pendidikan di daerahnya, jumlah itu terlalu berlebihan hal ini tidak sejalan dengan arah kebijakan otonomi daerah yang mengikuti prinsip money follows function.

C. Mekanisme Alokasi Permasalahan ketiga yaitu tentang mekanisme alokasi. Kalau pusat akan mengalokasikan langsung dananya ke sekolah-sekolah, pasti akan muncul masalah mistargeting. Identifikasi kebutuhan dan permasalahan di tingkat mikro (dalam hal ini adalah sekolah) adalah salah satu kelemahan utama pemerintah pusat, Apabila prakteknya disalurkan melalui pemerintah daerah, untuk kemudian dialokasikan lagi ke sekolah-sekolah, akan sama halnya dengan pola yang sebelumnya. Hal ini menimbulkan rawannya kemungkinan penyimpangan, pengawasan dari masyarakat juga terbatas. Ada ide untuk menggunakan Dewan Pendidikan yang merupakan institusi multistakeholder di tingkat kabupaten/kota untuk menyalurkan dana itu. Padahal, institusi yang relatif baru tersebut belum teruji akuntabilitas dan efektifitasnya sejauh ini.

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

BAB IV SOLUSI DAN SARAN A. Dana Alokasi Khusus Sektor Pendidikan Salah satu solusi mengenai dana 20 persen APBN untuk pendidikan untuk dialokasikan kepada daerah adalah melalui mekanisme DAK (dana alokasi khusus) dengan cara memutus perantara aliran dana APBN dari pusat ke daerah yang berpotensi adanya penyelewengan dana. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemungkinan Pemda untuk mengalokasikan dana itu untuk keperluan lain di luar sektor pendidikan. Selain itu, pusat juga masih memiliki kewenangan untuk melakukan kontrol dalam batas-batas wajar terhadap penggunaan dana tsb. 6 Masalahnya adalah hingga saat ini peraturan yang ada hanya mengizinkan penggunaan DAK untuk keperluan pembangunan fisik. Padahal untuk pendidikan keperluan non-fisik yang berorientasi pada peningkatan kualitas juga tak kalah penting.

B. Sistem Earmarking Dari sisi pembiayaan pendidikan di daerah, idenya adalah bagaimana mencari sumber pembiayaan pendidikan yang memiliki dua karakteristik dasar. Pertama, cukup dan stabil bagi sektor pendidikan di daerah untuk memenuhi target 20% anggaran untuk pendidikan. Kedua, berada dalam kewenangan Pemda, sehingga memungkinkan dijadikan kebijakan fiskal di daerah (dinaikkan/diturunkan jika dianggap perlu). Salah satu alternatif yang mungkin adalah menerapkan sistem earmarking. Pada prinsipnya, dalam sistem earmarking ada suatu sumber penerimaan yang secara transparan dan konsisten dialokasikan untuk keperluan sektor pendidikan. Sumber penerimaan tersebut harus merupakan sumber penerimaan yang berada dalam kewenangan Pemda.
6

Peraturan Menkeu PMK Nomor 209/PMK.07/2011 tanggal 12 Desember 2011, tentang Pedoman Umum Dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2012.

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

Sebagai contoh, di Amerika Serikat, selain dengan transfer dana dari Pusat ke Daerah, sektor pendidikan dibiayai dengan property tax (analog dengan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia) yang merupakan pajak daerah. Jadi, tinggi-rendahnya tarif property tax ditentukan oleh besar-kecilnya kebutuhan pendanaan pendidikan di daerah tersebut. Jika suatu daerah ingin pembangunan pendidikannya lebih baik dibandingkan daerah lain, secara sadar mereka tahu bahwa itu artinya mereka harus membayar property tax yang lebih tinggi. Ada beberapa keuntungan diterapkannya sistem earmarking ini. Pertama, kebijakan perpajakan daerah ada di tangan Pemda (dalam koridor UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Kedua, ada mekanisme transaksi yang jelas antara pemungut pajak dengan wajib pajak. Dalam banyak kasus, masyarakat Indonesia mau membayar cukup besar untuk keperluan sektor publik jika mereka yakin bahwa uang tersebut digunakan dengan baik. Dengan kata lain, dengan sistem ini ada potensi untuk memobilisasi dana yang lebih besar untuk sektor pendidikan. Selain itu, sistem ini juga lebih accountable. Masyarakat mudah melihat penggunaannya, yakni dengan mengkaitkan antara penerimaan pajak tertentu dengan anggaran pendidikan. Meskipun demikian, ada beberapa aspek yang seringkali dipandang sebagai kelemahan sistem earmarking, yakni adanya spillover effect. Pembangunan pendidikan di suatu daerah bisa juga dinikmati oleh penduduk dari daerah lain. Hal ini bisa menimbulkan masalah ketidakadilan, karena artinya penduduk suatu daerah juga membiayai pendidikan penduduk daerah lain. Akan tetapi, patut dicatat bahwa spillover effect terindikasi hanya terjadi di kotakota besar. Selain itu, bagi kepentingan nasional hal ini tidak buruk. Artinya, masalah ini sebenarnya bisa dinegosiasikan, misalkan melalui mekanisme inter-governmental transfer sebagai kompensasi, baik yang berupa transfer antar daerah maupun dari Pusat ke Daerah.

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

10

Sebelum sistem earmarking ini diimplementasikan. Daerah harus mampu menanggung pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dengan sumber penerimaannya sendiri, khususnya dari Pajak Daerah Pada tahun 2002, rata-rata rasio Pajak Daerah (total) terhadap pengeluaran pembangunan pendidikan adalah sekitar 0.89. Artinya, secara rata-rata, semua penerimaan pajak daerah akan habis jika digunakan untuk membiayai pembangunan sektor pendidikan. Dengan kata lain, secara finansial kabupaten/kota memang belum berada dalam posisi siap untuk menerapkan sistem earmarking.7 Meskipun demikian ada beberapa daerah yang sebenarnya mampu, dengan catatan sektor pendidikan dijadikan prioritas pembangunan. Beberapa kota besar seperti Medan, Padang, Yogyakarta dan Surabaya memiliki penerimaan pajak daerah yang nilainya lebih dari lima kali anggaran pembangunan pendidikan. Kemudian jenis penerimaan yang akan di-earmark untuk dialokasikan bagi sektor pendidikan. Terdapat dua jenis pajak daerah yang sesuai, yakni Pajak Hotel dan Restoran (untuk kota) atau Pajak Pengambilan Bahan Galian C (untuk kabupaten). Kedua jenis pajak daerah ini biasanya nilainya cukup signifikan di masing masing wilayah.8 Yang tidak boleh dilupakan adalah sebuah proses yang transparan dan demokratis jika ada dearah yang ingin menerapkan ide ini. Masyarakat secara luas harus dilibatkan agar kebijakan ini mendapatkan dukunngan politik dan finansial dari berbagai pihak, khususnya masyarakat sebagai stakeholder kunci sektor pendidikan.

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDUQFjAB&url=http%3A %2F%2Fwww.pnbp.net%2F%3Fp%3D169&ei=EOLlUJbeD5DYkgX554FQ&usg=AFQjCNHhv3w8QgqhadxIWOhqzchLV 5J_4Q&sig2=YsY4v-iKPwhmMUwlVYYzsw&bvm=bv.1355325884,d.dGI 8 http://www.kanwilpajakwpbesar.go.id/?task=penerimaan

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

11

DAFTAR PUSTAKA

Harian Kompas 10 Mei 2005 kompas.com/archive/2005/may/10.html Kau.or.id Yanti Mochtar Privatisasi Pendidikan dan Dampaknya, Republika 25 Agustus 2009 http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=152691:ku alitas-tenaga-kerja-indonesia-peringkat-54&catid=17:nasional&Itemid=30 Analisis-Anggaran-Pendapatan-Belanja-Daerah-terhadap-Realisasi-Tata-KelolaAnggaran-Pembangunan-di-Sektor-Pendidikan-Pemerintah-KabupatenJombang.doc

Peraturan Menkeu PMK Nomor 209/PMK.07/2011 tanggal 12 Desember 2011, tentang Pedoman Umum Dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2012.

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja &ved=0CDUQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.pnbp.net%2F%3Fp%3D169&ei= EOLlUJbeD5DYkgX554FQ&usg=AFQjCNHhv3w8QgqhadxIWOhqzchLV5J_4Q& sig2=YsY4v-iKPwhmMUwlVYYzsw&bvm=bv.1355325884,d.dGI

http://www.kanwilpajakwpbesar.go.id/?task=penerimaan

Masalah Penyelenggaraan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Muhamad Pratama Luckyto

110110070335

You might also like