Professional Documents
Culture Documents
yang bertambah sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit, sembab timbul mula-mula saat bangun tidur, di daerah kelopak mata, kemudian berkembang ke seluruh tubuh. Buang air kecil berkurang, buang air besar tidak ada keluhan. Satu tahun yang lalu, penderita sering mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan kaki, nyeri hilang timbul. Penderita juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul, rambut sering rontok, sariawan yang tanpa sembab, muka kemerahan terutama daerah pipi dan bertambah merah bila terkena matahari. Nona A telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada perubahan. Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit berat, sensorium kompos mentis. HR 100x/menit (reguler), RR 28x/menit (cepat dan dalam), temperatur 37,5oC, TD 170/100 mmHg. Keadaan spesifik didapatkan edema anasarka, stomatitis, ascites, edema pada ekstremitas. Pemeriksaan lab : Hb 9,5 gr%, WBC 8.000/mm3, LED 105 mm/hour, ureum 138mg/dl, kreatinin 3,2 mg/dl, albumin 2,5 g/dl, kolesterol 268 mg/dl, protein urin ++ +.
I.
KLARIFIKASI ISTILAH
1.
2.
Nyeri :
Perasaan
tidak
enak,
disebabkan
Radang
difus
pada
4.
Sensorium
kesadaran seseorang
5.
Kompos mentis
Kejernihan
pikiran,
Edema anasarka
Penumpukan
cairan
8. 9.
Ekstremitas
Ureum : Produk akhir nitrogen utama dari metabolismeprotein yang dibentuk di dalam hati dari asam amino dan dari senyawa amoniak
10.
Kreatinin
(asam amino pada jaringan intervertebrata, khususnya pada otot) dipakai sebagai indikator diagnostik fungsi ginjal
11.
Albumin sedang
12.
Kolesterol
Sterol
yang
merupakan
prekursor asam empedu dan hormon steroid serta merupakan unsur penting dalam membran sel, disintesis di dalam hati dan jaringan lain, dan sebagian diabsorbsi dari sumber makanan oleh lipoprotein spesifik dalam plasma
13.
Trigliserida
Senyawa
terdiri
dari
tiga
II.
IDENTIFIKASI MASALAH Nona A, umur 20 tahun : 1. Sembab seluruh tubuh yang bertambah sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit, sembab timbul mula-mula saat bangun tidur, di daerah kelopak mata, kemudian berkembang ke seluruh tubuh. Buang air kecil berkurang, buang air besar tidak ada keluhan. 2. Satu tahun yang lalu, mengeluh nyeri sendi terutama pada jari tangan dan kaki, nyeri hilang timbul.
3. Demam yang tidak terlalu tinggi, demam hilang timbul 4. Rambut sering rontok, sariawan yang tanpa sembab, muka kemerahan
terutama daerah pipi dan bertambah merah bila terkena matahari. 5. Telah minum obat nyeri bila keluhan muncul tetapi tidak ada perubahan.
6. Pemeriksaan fisik : keadaan umum sakit berat, sensorium kompos mentis.
37,5oC, TD 170/100 mmHg. Keadaan spesifik didapatkan edema anasarka, stomatitis, ascites, edema pada ekstremitas.
7. Pemeriksaan lab : Hb 9,5 gr%, WBC 8.000/mm 3, LED 105 mm/hour,
ureum 138mg/dl, kreatinin 3,2 mg/dl, albumin 2,5 g/dl, kolesterol 268 mg/dl, protein urin +++. III. ANALISIS MASALAH
1. a. Bagaimana patogenesis edema yang terjadi pada Nona A?
b. Mengapa muncul pertama kali pada kelopak mata saat bangun tidur lalu menyebar ke seluruh tubuh? c. Mengapa produksi BAK berkurang, sedangkan produksi BAB normal? 2. a. Bagaimana patogenesis nyeri sendi? b. Mengapa pada Nona A, nyeri sendi terjadi pada jari tangan dan kaki? c. Mengapa nyeri hilang timbul? 3. a. Bagaimana patogenesis demam yang terjadi pada kasus? b. Mengapa pada Nona A, terjadi demam hilang timbul dan tidak terlalu tinggi? 4. Bagaimana mekanisme timbulnya gejala pada kasus : a. Rambut rontok c. Sariawan d. Muka kemerahan, terutama di pipi dan bertambah merah jika terpapar matahari?
5. a. Apa saja obat penghilang rasa nyeri? b. Apa efek samping dari obat tersebut? 6. a. Apa diagnosis banding penyakit Nona A? b. Apa diagnosa sementara penyakit Nona A berdasarkan gejala-gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium? c. Bagaimana patogenesis penyakit tersebut? d. Bagaimana penatalaksanaan penyakit tersebut? e. Apa saja bentuk komplikasi penyakit tersebut? f. Bagaimana prognosis dari penyakit tersebut?
IV.
HIPOTESIS Nona A menderita Lupus Erythematosis Systemic (LES) disertai dengan gangguan ginjal akibat respon autoimun
V. KERANGKA KONSEP
Nona A, 20 th Factor imunitas, genetic, dan atau lingkungan
Penyakit autoimun
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan fisik
Hematologi: Anemia, kadar LED tinggi, uremia, kadar kreatinin tinggi, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, proteinuria
Gangguan ginjal
Nyeri sendi
demam
Rambut rontok
sariawan
Butterfl y rash
edema
BAK
VI.
Kriteria autoimun
Faktor pada autoimunitas
Faktor lingkungan pada autoimunitas Mekanisme kerusakan jaringan Macam-macam penyakit 2. Hipersensit ivitas Pengertian autoimunitas Jenis-jenis reaksi pada 3. Lupus eritematos us sistemik Pengertian
Mekanisme
klinis
sistemik.
VII. SINTESIS
Respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan mekanisme yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau keduanya.
Penyakit autoimun
Kerusakan jaringan/ gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun
Kriteria autoimun
1. autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifisitas untuk organ yang terkena ditemukan pada penyakit 2. autoantibodi dan atau sel T ditemukan di jaringan dengan cedera 3. ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktivitas penyakit 4. penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit 5. transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada resipien 6. imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun menimbulkan penyakit a. Faktor imun pada autoimunitas sequestered antigen o sel T o inflamasi perubahan anatomik dalam jaringan memajankan self antigen yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B/
sequestered antigen
b.
gangguan presentasi bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr sel Th dirangsang autoimunitas
c.
o o
o
ekspresi kadar MHC-I dan MHC-II yang terlalu tinggi normalnya : MHC-I sedikit, dan MHC-II tidak ada ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya diekspresikan APC mensensitasi sel Th terhadap peptida dari sel beta mengaktifkan sel beta/ Tc/ Th1 terhadap self antigen
d.
aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), LPS, dan malaria merangsang sel B secara langsung autoimunitas
e.
CD4 efektor utama pada penyakit autoimun MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen sel sendiri rentan terhadap autoimunitas
f.
keseimbangan Th1 dan Th2 sel Th1 memacu perkembangan autoimunitas sel Th2 menghambat terjadinya dan perkembangan penyakit autoimun
g.
10
mekanisme kontrol terhadap sitokin patogenik : sitokin sementara dan reseptornya, produksi antagonis sitokin dan inhibitornya.
- destruksi jaringan
a. kemiripan molekular dan infeksi infeksi kemiripan molekular non-self antigen dan self-antigen tubuh memproduksi antibodi antibodi menyerang self antigen autoimunitas
11
c. obat pada penyakit atoimun tertentu, antibodi menghilang bila obat dihentikan d. radiasi UV o radiasi UV Pemicu inflamasi kulit dan kadang LES o menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen imunogenesitas
e. oksigen radikal bebas radikal bebas oksigen inflamasi kerusakan self molekul
Terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe IV mengaktifkan sel CD4/ CD8 Kerusakan organ, disebabkan oleh: -
autoantibodi mengikat tempat fungsional self-antigen autoantobodi menyerupai/ menghambat efek ligan endogen untuk sel protein gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan
organ spesifik respon autoimun terutama terhadap organ tunggal/ kelenjar penyakit autoimun sistemik jaringan dengan spektrum luas
12
HIPERSENSITIVITAS Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. I. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi b. reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal. c. reaksi intermediet tejadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
13
komplemen dan atau sel NK/ ADCC. Reaksi intermediet diawali oleg IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK. d. reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
II. Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut gell dan coombs Tipe I (Reaksi IgE) Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil melepas mediator vasoaktif Manifestasi khas: anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, urtikaria, alergi makanan dan ekzem.
Tipe II (Reaksi sitotoksik IgG atau IgM) Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan komplemen atau ADCC. Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimun.
14
Kompleks Ag-Ab mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi melalui infiltrasi masif neutrofil. Manifestasi khas: reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum sickness, vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.
Sel Th yang disensitasi melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag atau sel Tc yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th 2 dan Tc menimbulkan respons sama. Manifestasi khas: dermatitis kontak, lesi tuberkulosis dan penolakan tandur.
Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Kompleks imun di sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit menuju hati dan limpa kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear Kompleks besar mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag Kompleks kecil dan larut sulit dimusnahkan
15
1. kompleks imun mengendap di pembuluh darah kompleks imun (antigen + IgM/IgG3/IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal reaksi inflamasi lokal dan luas agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influks neutrofil kerusakan jaringan setempat. 2. kompleks imun mengendap di jaringan hal ini dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil. Permeabilitas vaskular yang meningkat disebabkan histamin yang dilepas oleh sel mast. lokal Bentuk Reaksi sistemik
16
a. reaksi lokal reaksi terbatas hanya pada tempat tertentu kompleks imun
trombosit
komplemen
makrofag
mikrotrombi
amin vasoaktif
anafilaktosin
lisis
b. rekasi sistemik antibodi yang berperan IgM dan IgG komplemen melepas anafilaktosin (C3a dan C5a) memacu sel
darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya: kapiler glomerulus kompemen agregasi trombosit amin vasoaktif vasodilatasi,
17
neutrofil melepas granulnya merusak jaringan makrofag melepas berbagai mediator dan enzim-enzim merusak
jaringan
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Etiologi
18
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES. Sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh dihasilkan antibodi yang terus menerus antibodi berperan dalam pembentukan kompleks imun mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan.
Faktor Risiko 1. faktor risiko genetik Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa), umur ( lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana terdapat anggota dengan penyakit tersebut) 2. faktor risiko hormon Estrogen menambah risiko LES, sedangkan andogen mengurangi risiko ini 3. Sinar ultraviolet Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran di pembuluh darah 4. Imunitas Pada pasien penderita LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
19
5. Obat Obat tertentu dalam persentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat. Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan lupus obat : klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin. Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik, griseofulvin. 6. infeksi pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. 7. stress stress berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Patogenesis penyakit Self antigen kelainan pada APC dan sel B menstimulasi sel Th 1 diikat oleh sel B pada reseptornya reaksi antibodi terhadap self antigen terbentuk ikatan antibodi antigen mengendap di membran basalis vaskular dan glomerulus merusak organ target (glomerulus, sel endotel, trombosit) symptom
Manifestasi Klinis
20
Keluhan utama dan pertama LES adalah atralgia (pegal dan linu di dalam sendi). Dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Artritis biasanya ahnya berlangsung selama beberapa hari. Lokasi artritis akut biasanya di sendi tangan, pergelanagn tangan, dan lutut, biasanya simetris. Artritis dapat berpindah-pindah atau tetap di satu sendi dan jadi menahun. Pasien mengeluh lesu, lemas, dan capai sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam, pegal linu seluruh tubuh, nyeri otot, dan penurunan berat badan. Terlihat kelainan kulit spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu di muka dan eritema umum yang menonjol. Pasien menjadi fotosensitif dan LES kambuh bila terjemur sinar matahari cukup lama. Kulit yang terkena sinar matahari menunjukkan kelainan subakut yang bersifat rekurens, berupa bercak menonjol, kemerahan, dan menahun. Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula sebagai eritema pupul atau plak bersisik. Sisik ini menebal dan melekat disertai hipopigmentasi sentral. Terutama terjadi di daerah yang terkena sinar matahari dan dapat menimbulkan kebotakan di kepala. Dapat pula terjadi kelainan darah berupa anemia hemolitik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung, kelainan gastrointestinal misalnya pankreatitis, gangguan saraf seperti nyeri kepala dan konvulsi, dan kelainan psikiatri misalnya psikosis atau sindrom organik otak. GANGGUAN GINJAL Mekanisme :
Hipersensitivitas sel B Kegagalan supresi CD 8,T suppressor Dan sel NK trhdp aktivitas sel B. penurunan produksi IL-1 dan IL-2 Menghasilkan antibody berlebih
21
Terbentuk komplek imun berlebihan Mengalir dalam sistemik dan menempel pada jaringan atau organ Mengendap di membran basalis glomerulus fagositosis IgG2 dan IgG3 terhadap komplek imun tidak adekuat komplek imun menumpuk di ginjal Aktivasi komplemen
Reaksi inflamasi
Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil
agregasi trombosit
22
amin vasoaktif
permeabilitas vaskular Protein lolos ke filtrat glomerulus Masuk ke dalam urine Proteinuria Hipoalbuminemia
23
hipertensi
(bagan 1)
24
Proteinuria
Selektif
non-selektif
Imunoglobulinuria
Penurunan tekanan onkotik plasma Cairan pindah dari intravaskuler ke jaringan interstisium Edema Hipovolemia Ginjal, meningkatkan retensi Na dan air
25
edema
(bagan 2)
Adapun sembab muncul pertama kali di kelopak mata karena : Hipoproteinemia tekanan hidrostatik yang tinggi dan tekanan osmotik yang rendah di kelopak mata edema subkutan bersifat lebih difus dan berat karena terletak di jaringan ikat longgar edema periorbital Dinamika cairan edema ini juga sangat bergantung pada gravitasi sehingga disaat nona A melakukan aktivitas sehari-harinya, cairan edema ini cenderung menumpuk pada ektremitas bawah.
Mekanisme buang air kecil berkurang : (lihat bagan 1 dan 2) LES Gangguan ginjal hipovolemia
26
Retensi Na dan air Eksresi air menurun Buang air kecil berkurang
(Bagan 3)
GANGGUAN PERSENDIAN a. Struktur sendi Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulangtulang tersebut dapat bergerak satu sama lain, ataupun tidak dapat bergerak satu sama lain. Secara anatomic, sendi dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Sinartrosis : sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang berhubungan
27
memungkinkan tulang-tulang tersebut bergerak satu sama lain. Di antara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut kavum artkulare. Sendi ini tersusun atas bonggol sendi (kapsul artikulare), bursa sendi dan ikat sendi (ligamentum). Berdasarkan bentuknya diartrosis dibagi dalam beberapa sendi, yaitu :
a. Sendi Engsel / Ginglymus : interfalang, articulation cubiti, articulation
c. Articulatio ellipsoidea : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, kecuali rotasi pada artculatio radiocarpalis d. Sendi Pelana : fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, rotasi pada carpometacarpalis. e. Sendi Peluru : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi medial. Rotasi lateral, dan sirkumduksi pada artculatio humeri dan articulation coxae.
3. Amfiartrosis : sendi yang memungkinkan tulang-tulang yang saling
berhubungan dapat bergerak secara terbatas, misalnya sendi sakroiliaka dan antarcorpus vertebrae.
b.
Rawan Sendi Pada sendi synovial (diartrosis), tulang-tulang yang saling berhubungan
dilapisi rawan sendi. Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit) dan matrix rawan sendi. Kondrosit berfungsi menyintesis dan memelihara matrix rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matrix rawan sendi terutama terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen. Bersama-sama dengan asam hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air di sekitarnya
28
sehingga mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi rawan sendi. Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat, berfungsi sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi pengembangan berlebihan agregat proteoglikan. Rawan sendi merupakan jaringan yang avaskular, oleh sebab itu makanan diperoleh dengan jalan difusi. Beban yang intermiten pada rawan sendi sangat baik bagi difusi nutrient untuk rawan sendi. Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan sintesis matriks selalu terjadi. Salah satu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh kondrosit dan berperan pada degradasi kolagen dan proteoglikan adalah kelompok enzim metaloprotease, seperti kolagenase dan stromelisin. Berbagai sitokin juga berperan pada proses degradasi dan sintesis matriks. Interleukin-1 (IL-1) yang dihasilkan oleh makrofag berperan pada degradsi kolegen dan proteoglikan. Growth Factors factor-1 (IGF-1) berperan merangsang sintesis proteoglikan dan menghambat kerja IL-1. Rawan sendi merupakan salah satu jaringan sumber keratin sulfat, oleh sebab itu keratin sulfat dalam serum dan cairan sendi dapat digunakan sebagai penanda kerusakan rawan sendi. c. Persarafan Sendi Capsula articularis dan ligamentum mendapat banyak persarafan sensoris. Sebuah sarah saraf sensoris yang menyarafi sendi, juga menyarafi otot-otot yang menggerakkan sendi dan kulit di sekitar insersio (perlekatan otot rangka yang pergerakannya lebih banyak) otot-otot tersebut. Serabut saraf simpatis mengatur suplai darah ke sendi. MEKANISME NYERI 4 proses : 1. Transduksi / aktivasi reseptor.
29
2. Transmisi Impuls dari neuron aferen primer kornu dorsalis medulla spinalis batang otak dan talamus
3. Modulasi Pada kornu dorsalis medulla spinalis. 4. Persepsi Pesan nyeri direlai ke otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan.
NYERI INFLAMASI Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear, terjadi pengingkatan konsumsi Oksigen dan produksi radikal Oksigen bebas seperti Anion superoksida (O2-) dan hydrogen peroksida (H2O2). Kedua radikal oksigen ini akan membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat menyebabkan depolimerasi hialuronat sehingga dapat merusak rawan sendi dan menurunkan viskositas cairan sendi.
Antigen sendiri
APC
Aktivasi sel T
30
Pelepasan sitokin
Pelepasan mediator
(bagan 4) Secara histologist, sendi yang terserang menunjukkan sinovitis kronis, yang ditandai dengan : 1. Hyperplasia dan proliferasi sel synovial (sel-sel penyusun membrane synovial); 2. Infiltrat sel peradangan perivaskular padat (sering kali membentuk folikel limfoid) dalam sinovium yang tersusun atas sel CD4+, sel plasma, dan makrofag; 3. Peningkatan vaskularitas akibat angiogenesis (pertumbuhan pembuluh darah); 4. Neutrofil dan agregat fibrin yang mengalami organisasi pada permukaan synovial dan dalam ruang sendi; 5. Peningkatan aktivitas osteoklas pada tulang di bawahnya sehingga terjadi penetrasi synovial dan erosi tulang.
31
Pada kasus tahap morfologi hanya sampai pada tahap ke empat. Pada Systemis Lupus Erythematosus serangan pada sendi biasanya tidak disertai dengan perubahan anatomis atau deformitas yang mencolok seperti yang dialami Nona A dengan manifestasi klinik nyeri sendi yang hilang timbul. Hal ini bergantung pada sifat autoantibody, kompleks imun yang mengendap pada sendi, perjalanan dan lamanya penyakit.
DEMAM Patogenesis demam: Infeksi Reaksi imun (antigen-antibodi) Pirogen eksogen Merangsang pirogen endogen (leukosit) Produksi sitokin (IL 1, IL-6,TNF) Pelepasan asam arakidonat sintesis prostaglandin E2
32
Mencapai hipotamalus set point pada termostat hipotalamus Penyimpanan panas tubuh dan pembentukan panas demam
(bagan 5)
RAMBUT SERING RONTOK Ada berbagai macam alopecia tetapi yang berkaitan dengan kondisi
autoimun seperti Lupus dan alergi adalah Alopecia areata. Alopecia areata adalah suatu penyakit autoimun (sistem imun yang menyerang folikel rambut) dimana folikel menjadi sangat kecil, produksi rambut lambat dan kehilangan rambut untuk berbulan-bulan atau bertahun tahun.
Patogenesis: Autoimunitas Kompleks imun (Ab-Ag) Mengendap pada membran basalis vaskular folikel rambut
33
Reaksi inflamasi Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil Gangguan jaringan ikat Folikel rambut menjadi sangat kecil Produksi folikel rambut berkurang Pertumbuhan rambut terganggu Rambut rontok
34
Mengendap pada mukosa mulut Reaksi inflamasi Aktivasi makrofag, sel mast, pelepasan mediator inflamasi, bahan kemotaktik, serta influks neutrofil Kerusakan jaringan pada mukosa mulut Sariawan (stomatitis)
(bagan 7)
MUKA KEMERAHAN DAN HIPERSENSITIFITAS TERHADAP CAHAYA MATAHARI cahaya matahari memiliki sinar ultraviolet (UV), sinar UV merusak sel dari
kulit (keratinosit) dan menyebabkan sel menjadi mati.Pada orang sehat tanpa lupus , sel yang mati ini akan dibuang dengan cepat dan inflamasi yang diinduksi oleh matahari akan menginduksi kerusakan kulit dengan cepat (sun burn), dimana pada pasien lupus , sel kulit lebih sensitif terhadap sunburn dan dengan adanya peningkatan kejadian yang menyebabkan kematian sel (apoptosis) yang tidak dibersihkan secara efisien akibatnya isi dari sel yang mati dapat dilepaskan dan menyebabkan inflamasi.Selain itu sel tersebut memiliki DNA dan molekul- molekul termasuk Ro yang secara normal tidak terpapar pada sel imun sehingga menyebabkan
35
reaksi imun.Akibatnya orang yang menderita lupus akan mengalami ruam photosensitivity.
Sensorium kompos mentis sadar sepenuhnya HR : 100x/menit takikardi (normal : 60-80x/menit) RR : 28x/menit takipnoe (normal : 16-24x/menit) Temperatur : 37.5 C demam (normal : 36.8-37.2 C) TD : 170/100 mmHg hipertensi (normal : 120/80 mmHg)
Mekanisme Takikardi: Hipovolemi suplai darah pada organ vital rangsangan saraf simpatis vasodilatasi lokal curah jantung takikardi (mekanisme pertahanan tubuh untuk mencukupi perfusi jaringan) Selain itu, kenaikan suhu tubuh juga berperan dalam peningkatan denyut jantung. Frekuensi jantung meningkat kira-kira 10 denyut per menit untuk setiap kenaikan suhu sebesar 1 derajat fahrenheit (18 denyut per derajat celcius).
Mekanisme Takipnoe:
36
Kenaikan suhu mekanisme pertahanan dari sistem kadiovaskular (takikardi, hipertensi) sistem kardiovaskular tidak mampu mengatasinya mekanisme pertahanan dari sistem respiratory takipnoe
Anemia perfusi oksigen ke jaringan respon tubuh dengan mempercepat frekuensi pernapasan (takipnoe)
Hiperpnoe untuk memperbanyak jumlah oksigen yang masuk ke dalam tubuh agar mencapai batas normal oksigen. Penumpukan cairan pada ruang di paru paru (efusi pleura) dapat turut campur tangan dengan pengembangan paru paru. Inflamasi dari kantung udara ( pneumonitis) atau disfungsi dan luka pada jaringan penyokong antara kantung udara ( penyakit paru paru intersial) dapat menyebabkan kesulitan bernafas.Hipertensi pulmonary dapat juga menyebabkan nafas pendek yang biasanya terjadi pada saat pendesakan.
Mekanisme asites: Edema cairan terkumpul di rongga potensial abdomen (pengumpulan cairan efusi di peritoneum) asites
Hb : 9,5 gr% anemia (normal pada wanita : 12-14 gr%) WBC : 8000/mm normal ( normal : 4000-10000/mm) LED : 105 mm/hour tinggi (normal wanita : 0-20 mm/hour)
37
Ureum : 138 mg/dl uremia (normal : 15 mg/dl) Kreatinin : 3,2 mg/dl tinggi (normal : 1,5 mg/dl) Albumin : 2,5 g/dl hipoalbuminemia (normal : 3,5-5,5 g/dl) Kolesterol : 268 mg/dl tinggi (normal : 150 mg/dl) Trigliserida : 235 mg/dl tinggi (normal :125 mg/dl) Protein urin +++ proteinuria
Mekanisme anemia : Autoantibodi berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding eritrosit kerusakan eritrosit Autoantibodi bereaksi dengan antigen sitoplasmik eritrosit aktivasi sel Ts apoptosis
Autoimunitas Tubuh kehilangan self-tolerance peningkatan immunoglobulin menyerang self-antigen Kadar immunoglobulin yang tinggi dalam darah akan meningkatkan LED (semakin tinggi immunoglobulin, maka akan semakin tinggi LED) Kadar plasma darah yang rendah
38
Kadar plasma darah rendah hipersensitivitas tipe III o Kompleks imun aktivasi komplemen melepas anafilaktosin (C3a dan C5a) memacu sel mast dan basofil melepas histamin permeabilitas vaskuler, vasodilatasi
o
Aktivasi komplemen agregasi trombosit amin vasoaktif permeabilitas vaskular, vasodilatasi plasma yang keluar
Selain itu, kondisi nona A yang mengalami edema juga merupakan sebab utama rendahnya kadar plasma darah dalam tubuh nona A. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Laju Endap Darah (LED) adalah faktor eritrosit, faktor plasma dan faktor teknik. Jumlah eritrosit/ul darah yang kurang dari normal, ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan eritrosit yang mudah beraglutinasi akan menyebabkan Laju Endap Darah (LED) cepat. Walau pun demikian, tidak semua anemia disertai Laju Endap Darah (LED) yang cepat. Pada anemia sel sabit, akantositosis, sferositosis serta poikilositosis berat, laju endap darah tidak cepat, karena pada keadaan-keadaan ini pembentukan rouleaux sukar terjadi. Pada polisitemia dimana jumlah eritrosit/l darah meningkat, Laju Endap Darah (LED) normal. Pembentukan rouleaux tergantung dari komposisi protein plasma.
Peningkatan kadar fibrinogen dan globulin mempermudah pembentukan roleaux sehingga Laju Endap Darah (LED) cepat sedangkan kadar albumin yang tinggi menyebabkan Laju Endap Darah (LED) lambat. Laju Endap Darah (LED) terutama mencerminkan perubahan protein plasma yang terjadi pada infeksi akut maupun kronik, proses degenerasi dan penyakit limfoproliferatif. Peningkatan laju endap darah merupakan respons yang tidak spesifik terhadap kerusakan jaringan dan merupakan petunjuk adanya penyakit.
39
Bila dilakukan secara berulang laju endap darah dapat dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti tuberkulosis, demam rematik, artritis dan nefritis. Laju Endap Darah (LED) yang cepat menunjukkan suatu lesi yang aktif, peningkatan Laju Endap Darah (LED) dibandingkan sebelumnya menunjukkan proses yang meluas, sedangkan Laju Endap Darah (LED) yang menurun dibandingkan sebelumnya menunjukkan suatu perbaikan. Mekanisme uremia dan peningkatan kreatinin : (lihat bagan 1) Hipovolemia RPF dan GFR laju ekskresi ureum dan kreatinin akumulasi ureum dan kreatinin dalam cairan tubuh Mekanisme proteinuria : (lihat bagan 1) Kerusakan pada membran basalis glomerulus permeabilitas vaskular protein lolos ke filtrat glomerulus masuk ke dalam urin proteinuria Mekanisme hipoalbuminemia : (lihat bagan 1) Kerusakan pada membran basalis glomerulus permeabilitas vaskular protein lolos ke filtrat glomerulus masuk ke dalam urin proteinuria tingginya kadar protein dalam urin, rendahnya kadar protein dalam darah hipoalbuminemia Mekanisme hiperlipidemia ( kolesterol dan trigliserida): (lihat bagan 1) Hipoalbuminemia lipid serum hiperlipidemia
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien LES meliputi :
40
ANA (anti nuclear antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah Anti dcDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya titernya akan meningat sebelum LES kambuh. Antibodi anto-S (smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien Anti-RNP (ribonukleoprotein) anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus)/ anti-SSB, dan anti antikardiopilin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik) Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga posotif pada artritis reumatoid, sindrom sjogren, skleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain Anti ssDNA (single stranded) Pasien dengan angi ssDNA cenderung menderita nefritis
DIAGNOSIS
41
DIAGNOSIS BANDING
42
Gejala
LES
skleroder ma
Sel LE Nyeri sendi Eritema Proteinuria Hipertensi Edema Fenomena ryenod Rambut rontok
+ + + + + + +
_ + + + + + +
_ + _ _ _ _ +
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pasien LES 1. Konseling Penyuluhan dan intervensi psikososial terutama pada pasien yang baru terdiagnosis.
Pada umumnya, pasien SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga pasien harus selalu diingatkan agar tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari
43
dan memakai baju lengan panjang, topi, payung, sunblock bila akan berjalan di siang hari Karena infeksi sering terjadi pada pasien SLE, maka pasien harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tak jelas penyebabnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada pasein SLE terutama pada pasien yang mendapat obat-obat antimalaria atau siklofosfamid yang kontraiindikasi bagi pasien yang mengalami kehamilan.
2. Medikamentosa a. Terapi Konservatif Artritis, Atralgia, dan Mialgia. Merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada pasien SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat anti-inflamasi non-steroid. Efek sampingnya terhadap system gastrointestinal, hepar, dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kadar kreatinin serum secara berkala. Bila analgetik dan obat anti-inflamasi non-steroid tidak memberikan respon yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah dengan dosis tidak lebih dari 15 mg setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada pasien SLE. Lupus Kutaneus. Sekitar 70% pasien SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut akan timbul bila pasien terkena sinar ultraviolet, inframerah, panas, dan terkadang sinar fluoresensi. Hendaknya diberikan sunscreen/sunblock. Sebagian besar sunscreen topical berupa krem , minyak lotio atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,
44
salisilat, dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen harus dipakai kembali setelah mandi atau berkeringat. Obat-obatan antimalaria sadngat baik untuk mengatasi lupus kutaneus. Antimalaria mempunyai egek sunblocking, antiinflamasi dan immunosupresan. Efek imunosupresan berhubungan dengan ikatannya pada membrane lisosomal sehingga menggangu metabolism rantai dan HLA kelas II. Selain itu antimalaria juga mengurang I pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF (Tumor Necrosis Factor)- oleh makrofag dan IL-2 dan IFN- oleh sel T. antimalaria juga mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen. Fatiq dan Keluhan Sistemik. Fatiq dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga timbul akibat pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam mengatasi keluhan ini.seringkali tidak membutuhkan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Serositis. Nyeeri dada dan nyeri abdomen pada pasien SLE dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa pasien keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15mg/hari). Pada keaadaan berat harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.
b. Terapi Konservatif Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius dari SLE. Walaupun demikian pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pemberian prednisone lebih banyak disukai karena lebih mudah dalam mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebainya
45
diberikan dengan dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE , seperti arthritis, serositis, dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/KgBB/hari. Sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednisone 1-1,5 mg/KgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15mg/KgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi kemudian dilanjutkan dengan prednisone oral 1-1,5 mg/KgBB/hari. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah prednisone mencapai 30mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednisone mencapai 10-15 mg/ hari penurunan dosis dilakukan 1mg/minggu. Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter /24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada: Pasien SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent) Pasien SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi Pasien SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang Glomerulonefritis difus awal SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid Penuruna laju filtrasi glomerulus atau peningkatan konsentrasi serum tanpa danya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
46
Pada pasien dengan penurunan fugsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian ssiklofosfamid, jumlah leukosit darah harus terus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid selama 6 bulan dengan interval selama 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktivitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi alopesia, nausea dan vomitus, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekananan fungsi ovarium dan azoospermia. Imunopsupresan lainnya yang dapat digunakan untuk pengobatan SLE adalah Siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/KgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin-A dapat diberikan pada pasien SLE baik tanpa manifestasi enal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah pasien dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian Siklosporin-A, maka dosisnya harus diturunkan.
47
Diet
48
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional. Aktivitas Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.
KOMPLIKASI PENYAKIT komplikasi pada organ-organ dalam tubuh seperti ginjal (glomerulonefritis proliferatif, gagal ginjal), gagal paru-paru, radang selaput otak, gagal jantung, nyeri sendi (atralgia), buta, anemia, dan lain-lain.
PROGNOSIS Dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang mutakhir maka 80-90% pasien dapat mencapai harapan hidup 10 tahun dengan kualitas hidup yang hampir normal.
49
DAFTAR PUSTAKA Baratawidjaja, Karnen Gana. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran UI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta Fakultas Kedokteran UI. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta Fakultas Kedokteran UI. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta : Media Aeculapius Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC Kamus Kedokteran Dorland Katzung, Betram. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Jilid 3. Jakarta : Salemba Medika Kumar ,Stanley L.Robbins, dkk. Buku ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC Price Sylvia dan Lorraine Wilson. 2000. Buku Ajar Patofisiologi Jilid 1. Jakarta: EGC
50
http://en.wikipedia.org/wiki/lupus http://www.diskes.jabarprov.go.id/
51