You are on page 1of 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ARTHRITIS GOUT Arthritis pirai (gout) adalah penyakit yang seing ditemukan dan tersebar diseluruh dunia. Arthritis pirai merupakan kelmopok penyakit heterogen sebagai akibat deposit Kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi arthritis gout akut, akumulasi Kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang jarang adalah kegagalan ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolism yang mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 mg/dl pada laki laki dan 6,0 mg/dl pada perempuan. Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan hasil akhir darimetabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satukomponen asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman (sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Jadi asam urat merupakan hasil metabolisme di dalam tubuh yang kadarnya tidak boleh berlebih, kelebihan asam urat akan dibuang melalui urin. Penyakit hiperurisemia lebih sering menyerang laki-laki diatas umur 40 tahun, karena kadar asam urat pada pria cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada usia ini, pria mengalami penurunan kemampuan yaitu tak seenergik pria yang berusia 20 tahun karena mempunyai masalah dengan otot atau persendian .Jika penyakit ini menyerang wanita, maka pada umunya wanita yang menderita adalah wanita yang sudah menopause. Pada wanita yang belum menopause, memiliki kadar hormon estrogen yang cukup tinggi. Hormon ini membantu mengeluarkan asam urat darah melalui kencing. Laki-laki tidak memiliki hormone estrogen yang tinggi, sehingga asam urat sulit dikeluarkan melalui kencing dan resikonya adalah kadar asam urat bisa menjadi tinggi (hiperurisemia). Pada anak-anak jarang menderita hiperurisemia, jika anak-anak terserang hiperurisemia, kemungkinan ada penyakit lain yang menyebabkan kadar asam urat tinggi, seperti gangguan hormon, penyakit ginjal, kanker darah ataupun faktor keturunan.

26

Arthtitis Gout adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara total, yang berarti sekali terjerat penyakit ini, seseorang harus memperhatikannya seumur hidup. Kadang-kadang kombinasi obat yang disarankan harus dikonsumsi dalam jangka panjang, dalam hitungan bulan atau tahun. Bahkan ada kalanya penderita disarank an mengkonsumsi obat penurun asam urat tersebut seumur hidup apabila tingkat serangan sampai pada tahap yang berat. Hal ini misalnya terjadi pada penderita batu ginjal asam urat ataupun telah terjadi pengendapan asam urat pada persendiaan.

2.1.1 PATOGENESIS ARTRITIS GOUT Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar asam urat yang stabil, jarang mendapatkan serangan. Pengobatan dini dengan allopurinol yang menurunkan kadar urat serum dapat mempresipitasi serang gout akut. Pemakaian alcohol berat oleh pasien gout dapat menimbulkan fluktuasi kadar urat serum. Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan Kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals sheeding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia asimptomatik Kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian gout, seperti juga pseudogout, dapat timbul pada keadaan asimptomatik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Edward Stefanus T, didapat 21% pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperature, PH dan kelrutan urat untuk menimbulkan serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperature lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa Kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan Kristal MSU pada metatarsofalangeal- 1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang ulang pada daerah tersebut. Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam cairan sendi seperti MTP -1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari.selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat in vitro melalui pembentukan dari protonated solid phases. Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada penurunan pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH serta kapasitas buffer pada sendi dengan gout,
27

gagal untuk menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi pembentukan Kristal MSU sendi. Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada arthritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi adalah: Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas.

Perdangan pada arthritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu Kristal monosodium urat pada sendi. Mekanisme perdngan ini belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas komplemen (C) dan selular.

28

Proses inflamasi melalui beberapa cara: Kristal bersifat mengaktifkan sistem komplemen terutama C3a dan C5a. Komplemen ini bersifat kemotaktik dan akan merekrut neutrofil ke jaringan (sendi dan membransinovium). Fagositosis terhadap kristal memicu pengeluaran radikal bebas toksik danleukotrien, terutama leukotrien B. Kematian neutrofil menyebabkan keluarnya enzimlisosom yang destruktif. Makrofag yang juga terekrut pada pengendapan kristal urat dalam sendi akan melakukanaktivitas fagositosis, dan juga mengeluarkan berbagai mediator

proinflamasi seperti IL-1,IL-6, IL-8, dan TNF. Mediator-mediator ini akan memperkuat respons peradangan, disamping itu mengaktifkan sel sinovium dan sel tulang rawan untuk menghasilkan protease. Protease ini akan menyebabkan cedera jaringan Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan menyebabkan terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut tofi/tofus (tophus) di tulang rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut endapan akan memicu reaksi peradangan granulomatosa, yang ditandai dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh makrofag, limfosit, fibroblas, dan sel raksasa benda asing. Peradangan kronis yang persisten dapat menyebabkan fibrosis sinovium, erosi tulang rawan, dan dapat diikuti oleh fusi sendi (ankilosis). Tofus dapat terbentuk di tempat lain (misalnya tendon, bursa, jaringan lunak). Pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal dapat mengakibatkan penyumbatan dan nefropati gout

2.1.2 MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinik gout terdiri dari arthritis gout akut , interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat deposisi yang progresif Kristal urat. a. Stadium Artritis Gout Akut
29

Pada waktu serangan artritis sendi yang terkena berupa rasa sakit yang sangat disertai warna kemerahan dan pembengkakan sendi yang terkena karena adanya endapan kristal monosodium urat monohidrat pada sendi. Umumnya mengenai sendi engkel kaki, lutut kadangkala ekstremitas bagian atas atau ibu jari kaki bagian dalam yang dikenal sebagai podagra ,walaupun sering juga pada beberapa kasus disertai dengan faktor pencetus berupa: makan-makanan yang mengandung tinggi purin, obat diuretika, alkohol dan lain-lain. Pemeriksaan laborat bila dilakukan pengambilan cairan sendi yang terkena dan dilihat dibawah mikroskop akan ditemukan kristal asam urat berbentuk seperti jarum maka diagnosis artritis gout menjadi pasti.Pada pemerikisaan asam urat darah umumnya meninggi walaupun tidak selalu kadang kadang asam urat darah seringkali normal, sedangkan pemeriksaan radiologik tak begitu khas. b. Stadium Interkritikal Pada kasus ini penderita pernah beberapa kali mendapat serangan akut artritis gout diselingi periode asimptomatik, pada beberapa kasus serangan akan terjadi dalam periode 6 bulan sampai 2 tahun. Tindakan yang diperlukan ialah dengan diet rendah purin dan minum banyak lebih kurang dua liter perhari serta bila kadar asam urat darah lebih dari normal dapat diberikan alopurinol tergantung tinggi rendahnya asam urat darah dari penderita tersebut. Fase asimptomatik murni sangat jarang terjadi pada kelainan sendi lainnya, kecuali pada kasus artritis akibat kristal, karenanya fase ini pun menjadi kriteria diagnosis artritis gout. c. Stadium Kronis (Menahun) Pada artritis gout kronik yang mana penderita tidak lagi bebas serangan akut disertai dengan kelainan sendi dan adanya tophus atau tophi (jamak ) di beberapa tempat, kadang-kadang disertai ada batu pada ginjalnya (renal kalkuli ). Fase ini terjadi sekitar 10 tahun setelah serangan akut intermitten sehingga merupakan tahap paling buruk, tahap interkritikalnya sudah tidak lagi murni asimptomatik, sudah ada merah dan pembengkakan yang terus memburuk. Ditemukan pula deposit tofus akibat kristalisasi monosodium urat. 2.1.3 DIAGNOSIS Diagnosis pasti arthritis gout bila kita dapat mengambil cairan sendi ( aspirasi ) dan didapatkan cairan seperti susu dalam tofi dan bila dilakukan pemeriksaan dengan mikroskop akan didapatkan kristal berbentuk seperti jarum. Akan tetapi tidak semua pasien mempunyai tofi sehingga pemeriksaan ini kurang sensitif. Oleh karena itu
30

kombinasi dari penemuan penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis Riwayat inflamasi klasik arthritis monoartikuler khusus pada sendi MTP 1. Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas symptom. Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin.

Sedangkan menurut American College of. Rheumatology (ACR) 1977: A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi, atau B. Thopus terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan mikroskopik dengan sinar terpolarisasi, atau C. 1) Inflamasi maksimal pada hari pertama 2) Serangan arthritis gout lebih dari satu kali. 3) Artritis monoartikulair 4) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang 5) Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau membengkak 6) Serangan unilateral (satu sisi) pada sendi metatarsophalangeal pertama 7) Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki) 8) Tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di kartilago artikular (tulang rawan sendi) dan kapsula sendi 9) Hiperuricemia (kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,5 mg/dL) 10) Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic. 11) Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic 12 ) kultur bakteri cairan sendi negatif Diagnosis gout ditetapkan ketika didapatkan kriteria A dan/atau kriteria B dan/atau 6 hal atau lebih dari kriteria C.

Diagnogsis banding Beberapa penyakit reumatik yang lain yang mirip dengan artritis gout ialah artritis infektif, atipikal reumatoid artritis, dan pseudo gout. Untuk membedakankannya ialah pada artritis infektif bila ditemukan kuman baik lewat kultur cairan sendi atau pengecatan gram, sedangkan pseudo gout agak sulit tergantung bentuk kristal yang dapat ditemukan dari cairan sendi, sedangkan untuk membedakan dengan artritis reumatoid cukup sulit bila gejala-gejala yang lain belum tampak.

31

2.1.4 PENATALAKSANAAN ARTRITIS GOUT Secara umum penanganan artritis gout adalah pemberian edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi atau komplikasi lain, seperti pada ginjal. Pengobatan atritis gout akut bertujuan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin, OAINS, kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat sepertiallopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut, namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan. Tujuan pengobatan arthritis gout: a. Mengobati dan mencegah serangan akut artritis gout. b. Menurunkan kadar asam urat darah sehingga mencegah terjadinya flare up. c. Menekan kerusakan sendi serta mencegah terjadinya batu ginjal. Pengobatan hiperurisemia asimptomatik Dikatakan suatu hiperuresemia bila kadar asam urat darah > 8 mg/dl pada laki-laki, sedangkan pada wanita bila > 7 mg /dl. Pengobatan hiperurisemia asimptomatik umumnya dengan diet rendah purin dan pemberian alopurinol tergantung tinggi dan rendah asam urat darah pada penderita tersebut disertai dengan minum air putih paling sedikit sebanyak dua liter. a. Pengobatan Artritis gout akut Diet rendah purin Obat anti inflamasi non steroid (OAINS ) dapat digunakan, tidak ada satupun OAINS yang paling superior untuk mengatasi serangan akut artritis gout, semua obat dapat dipakai, hanya pertimbangan pemilihan obat berdasarkan adanya tidaknya kemungkinan efek samping pada penderita seperti ada tidaknya risiko pada gastrointestinal, ginjal dll. Misal OAINS yang dapat digunakan antara lain : indometasin 3x 50 mg, sulindac 2x 400 mg,naproxen 2 x 500 mg atau ibuprofen 3x 400 mg/hari atau obat anti inflamasi non steroid yang lain. c. Kolkisin digunakan pada serangan akut:yaitu dengan dosis maksimum 7-8 mg /hari dengan efek sampingnya adalah mualmual sampai diare kemudian diturunkan dosisnya bila keluhannya mereda. Kolkisin dapat diteruskan untuk mencegah serangan selama sampai beberapa bulan dengan dosis yang minimal. Pada penyakit pirai kolkisin tidak meningkatkan ekskresi, sintesis, atau kadar asam urat dalam darah. Obat ini berikatan dengan protein mikrotubular dengan menyebabkan depolimerasi dan menghilangnya mikrotubul fibrilar granulosit dan sel bergerak lainnya. Hal ini

32

menyebabkan peghambatan migrasi ganulosit ke tempat radang sehingga penglepasan mediator inflamasi juga dihambat dan respon inflamasi ditekan. Allopurinol tidak diberikan pada serangan akut, alopurinol baru diberikan bila serangan akut telah mereda dosisnya tergantung tinggi rendahnya asam urat darah. Steroid injeksi bisa diberikan pada keadaan tertentu misalnya prednison 20-40 mg perhari sampai 3 hari dan injeksi lokal dapat diberikan pada keadaan tertentu. b. Pengobatan artritis gout interkritikal Pada kasus ini penderita pernah beberapa kali mendapat serangan akut artritis gout diselingi periode asimptomatik, pada beberapa kasus serangan akan terjadi dalam periode 6 bulan sampai 2 tahun. Tindakan yang diperlukan ialah dengan diet rendah purin dan minum banyak lebih kurang dua liter perhari serta bila kadar asam urat darah lebih dari normal dapat diberikan alopurinol tergantung tinggi rendahnya asam urat darah dari penderita tersebut. c. Pengobatan artritis gout kronik Pada artritis gout kronik yang mana penderita tidak lagi bebas serangan akut disertai dengan kelainan sendi dan adanya tophus atau tophi (jamak ) di beberapa tempat, kadangkadang disertai ada batu pada ginjalnya (renal kalkuli ). Beberapa hal yang harus dilakukan penderita antara lain: a. Edukasi pasien tentang pentingnya modifikasi sikap hidup seperti menjaga berat badan diusahakan normoweight ,diet rendah purin dan usahakan minum banyak 2 liter perhari,mengurangi atau berhenti konsumsi minuman berakohol dan menghentikan minum obat aspirin dosis rendah yang kemungkinan dapat meninggikan asam urat darah. b. Tujuan terapi pada artritis gout kronik ialah mencegah kerusakan parenkim ginjal dan pembentukan batu ginjal serta mencegah flare up dengan diberikan kolkisin 0,5-1 mg/hari selama 6 bulan sampai setahun kolkisin dapat dihentikan bila dievaluasi selama 6 bulan sudah bebas serangan akut.Apabla terdapat gangguan fungsi ginjal sebaiknya kolkisin dihindari atau dosisnya dikurangi sambil monitoring ketat kadar ureum dan kreatinin darah. c. Pemberian alopurinol untuk menurunkan asam urat darah minimal menjadi 5-6 mg /dl. Indikasi pemberian alopurinol: Hiperekresi asam urat urin per 24 jam ( >600 mg/ hari )\ Riwayat batu ginjal

33

Adanya tophus/tophi Gangguan faal ginjal (renal insuffiency ) Sebelum pengobatan sitostatika karena kanker Terjadinya serangan akut gout yang refrakter walaupun sudah mendapat kolkisin dan obat urikosurik.

d.Indikasi pemberian urikosurik: 1) Hiposekresi atau normal ekskresi asam urat urin/24 jam (< 600 mg/hari ) 2) Fungsi ginjal normal 3) Tidak adanya tophus atau tophi 4) Tidak ada batu pada ginjal e. Obat anti inflamasi non steroid serta steroid dapat diberikan secara dosis kecil dalam waktu pendek 3-5 hari atau dapat diberikan injeksi pada sendi yang sakit bila serangan akut tidak mereda dengan obat-obat yang lain. f. Pencegahan terhadap nefrolitiasis .Pada pasien dengan batu ginjal ialah dengan cara alkalisasi urin bila pH urin asam atau kurang 6,0 dengan pemberian bikarbonat natrikus dan minum air sebanyak 2 liter perhari. g. Tindakan bedah pada tophi dapat dilakukan bila terjadi infeksi atau mengganggu fungsi sendi.

34

2.2 ANEMIA 2.2.1 DEFINISI ANEMIA 1. Anemia ialah keadaaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. 2. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell) Dinyatakan anemia bila :26,27 Laki laki dewasa : Hb < 13 g/dl Perempuan dewasa tak hamil : Hb < 12 g/dl Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl Anak umur 6 bulan 6 bulan :Hb < 11 g/dl Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Klasifikasi derajat anemia : o Ringan sekali : Hb 10 g/ dl cut off point o Ringan : Hb 8 g/dl - Hb 9,9 g/dl o Sedang : Hb 6 g/dl Hb 7,9 g/dl o Berat : Hb < g/dl

2.2.2 KLASIFIKASI ANEMIA BERDASARKAN MORFOLOGI ERITROSIT A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80fl; MCH < 27 pg) 1. Anemia defisiensi besi 2. Thalassemia 3. Anemia akibat penyakit kronik 4. Anemia sideroblastik B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg) 1. Anemia pascaperdarahan akut 2. Anemia aplastik hipoplastik 3. Anemia hemolitik terutama bentuk yang didapat 4. Anemia akibat penyakit kronik 5. Anemia mieloptisik 6. Anemia pada gagal ginjal kronik

35

7. Anemia pada mieolofibrosis 8. Anemia pada sindrom mielodisplastik 9. Anemia pada leukemia akut C. Anemia makrositer (MCV > 95) 1. Megaloblastik a. Anemia defisiensi folat b. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Nonmegaloblastik a. Anemia pada penyakit hati kronik b. Anemia pada hipotiroid c. Anemia pada sindroma mielodisplastik

2.2.3 PATOFISIOLOGI ANEMIA Anemia timbul karena : a. Anoksia organ target, karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah ke jaringan menimbulkan gejala pada organ yang terkena. b. Mekanisme kompesasi tubuh terhadap anemia: Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkat enzim 2,3 DPG (2,3 diphospho glycerate) Meningkatkan curah jantung Redistribusi aliran darah Menurunkan tekanan oksigen darah Eritrosit/hemoglobin menurun

Kapasitas angkut oksigen menurun

Anoksia organ target

Mekanisme kompensasi tubuh

Gejala anemia

2.2.4 DIAGNOSIS ANEMIA Langkah langkah untuk menegakkan diagnosis anemia :26,27 1. Anamnesis
36

2.

Pemeriksaan fisik Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti jerami Purpura : petechia dan echymosis Kuku : koilonychias (kuku sendok) Mata : ikterus, kunjungtiva pucat, perubahan fundus Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan stomatitis angularis Limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali.

3.

Pemeriksaan laboraturium hematologik Tes penyaring : kadar Hb, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), apusan darah tepi Pemeriksaan rutin : LED, hitung diferensial, hitung retikulosit Pemeriksaan sumsum tulang Pemeriksaan atas indikasi khusus Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi tranferin dan feritin serum Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12 Anemia hemolitik hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforsis Hb Anemia pada leukemia akut : pemeriksaan sitokimia

Pemeriksaan laboratorium nonhematologik : faal ginjal, faal endokrin, asam urat, faal hati, biakan kuman, dll Pemeriksaan penunjang lain : Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi Radiologi : toraks, bone survey, USG, skening, limfangiografi Pemeriksaan sistogenetik Pemeriksaan biologi molekuler (PCR, FISH)

37

2.3 SINDROM METABOLIK 2.3.1 DEFINISI SINDROM METABOLIK Sindrom metabolic (sindrom X, sindrom resistensi insulin) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1923 saat Kylin mengobservasi bahwa hipertensi, hiperglikemia, dan gout cenderung mengelompok. Saat ini, sindrom ini meliputi obesitas, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia, pertama kali dideskripsikan pada 1960 sebagai sindrom
38

metabolik. Tahun 1988 Reaven dan Ferraninni menyebutkan bahwa penyebab yang mendasarinya adalah resistensi insulin, sehingga Ferraninni menyebutnya sindrom resistensi insulin sementara Reaven menyebutnya sindrom X. Sindrom metabolik meliputi sekelompok komponen yang menunjukkan overnutrisi, gaya hidup sedenter, dengan adiposa yang berlebih. Sindrom metabolik meliputi obesitas abdominal, resistensi insulin, dislipidemia, dan peningkatan tekanan darah serta berhubungan dengan komorbiditas lain meliputi keadaan protrombotik, proinflamasi, non alcoholic fatty liver disease, dan gangguan reproduktif.

2.3.2 EPIDEMIOLOGI SINDROM METABOLIK Prevalensi sindroma metabolic bervariasi di seluruh dunia, menggambarkan umur dan etnisitas populasi yang dipelajari dan kriteria diagnostik yang digunakan. Prevalensi paling tinggi adalah pada Native Americans, hampir 60% wanita berusia 45-49 dan 45% pria berusia 45-49. Industrialisasi di seluruh dunia berhubungan dengan meningkatnya kejadian obesitas, yang diantisipasi akan meningkatkan prevalensi sindrom metabolic secara dramatis. Terlebih lagi, prevalensi dan keparahan yang meningkat dari obesitas pada anak-anak menginisiasi timbulnya sindrom metabolic pada populasi yang lebih muda . 2.3.3 FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK a. Overweight/obesitas Adipositas sentral merupakan kunci dari sindrom metabolic, menggambarkan fakta bahwa prevalensi sindrom tersebut didorong oleh hubungan yang kuat antara lingkar pinggang dan meningkatnya adipositas. b. Gaya hidup sendentari Inaktifitas fisik adalah predictor dari kejadian CVD dan peningkatan mortalitas. Banyak komponen dari sindrom metabolic berhubungan dengan gaya hidup sedentari, termasuk peningkatan jaringan adipose (terutama sentral), berkurangnya kolesterol HDL, dan kecenderungan peningkatan trigliserida, tekanan darah yang tinggi, dan glukosa darah yang tinggi. c. Penuaan Sindrom metabolic didapatkan pada 44% dari populasi AS yang lebih tua dari 50 tahun. Persentase yang lebih besar pada wanita berusia lebih dari 50 tahun menderita sindrom ini dibandingkan pada pria. d. Diabetes melitus
39

Diperkirakan bahwa sebagian besar (~75%) pasien dengan DM tipe 2 atau IGT memiliki sindroma metabolic. Adanya sindrom metabolic pada pasien-pasien ini berhubungan dengan prevalensi CVD yang lebih tinggi.(18) e. Coronary heart disease Perkiraan prevalensi dari sindrom metabolic pada pasien dengan CHD adalah 50%. Dengan rehabilitasi yang sesuai dan perubahan gaya hidup (nutrisi, aktivitas fisik, penurunan berat badan), prevalensi dari sindrom ini dapat dikurangi.(18)

2.3.4 DIAGNOSIS SINDROM METABOLIK Tabel. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik


Faktor Risiko Obesitas ATP III/NECP WCF>102 cm atau >88 cm (P) (L) WHO BMI 30 kg/m2 dan/atau WHR >0,9 (L), >0,85 (P) 140/90 mmHg IGT atau diabetes AER 20g/dl 150 mg/dl <35 mg/dl (L) <39 mg/dl (P) TGT/T2DM/HOMAR/IR hanya butuh 2 kriteria terpenuhi IDF Obesitas sentral WC (etnik spesifik) 130/85 mmHg 100 mg/dl 150 mg/dl <40 mg/dl (L) <50 mg/dl (P) Obesitas sentral (etnik spesifik) ditambah 2 dari 4

Tekanan darah Glukosa puasa Mikroalbuminuria Trigliserida Kolesterol HDL Kriteria

130/85 mmHg 110 mg/dl 150 mg/dl <40 mg/dl (L) <50 mg/dl (P) 3 dari 5 kriteria terpenuhi

2.3.5 HIPERTENSI Hipertensi merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi peningkatan tekanan darah dari normal. Kriteria seseorang dikatakan hipertensi mengacu pada sistem klasifikasi yang ada saat ini yaitu JNC 7. Klasifikasi hipertensi penting adanya untuk penentuan diagnosis dan kebijakan praktisi dalam penanganan tekanan darah tinggi yang optimal mengingat komplikasi yang ditimbulkan. Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi dalam 4 klasifikasi yakni normal, prehipertensi, ,hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.

40

Tabel. Klasifikasi dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi pada Orang Dewasa Klasifikasi Tekanan Darah Normal Tekanan Darah Sistolik (mmhg) <120 Tekanan Modifikasi Darah Gaya Hidup Diastolik (mmhg) < 80 Anjuran 80 89 90 99 Ya Ya Obat Awal Tanpa indikasi Tidak perlu menggunakan obat anti hipertensi Dengan Indikasi

Pre Hipertensi 120 139 Hipertensi Stage I 140 159

Hipertensi Stage II

160

100

Ya

Gunakan obat yang spesifik dengan indikasi (risiko) Untuk semua kasus Gunakan obat gunakan diuretik yang spesifik jenis thiazide dengan dengan indikasi pertimbangan ACEi, (risiko). ARB, BB, CCB, Kemudian atau kombinasikan tambahkan Gunakan kombinasi dengan obat anti hipertensi 2 obat ( biasanya (diuretik, diuretik jenis ACEi, ARB, thiazide) dan ACEi/ARB/BB/CCB BB, CCB) seperti yang dibutuhkan

Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang menjadi hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya peningkatan edukasi pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi gaya hidup dalam rangka menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke arah hipertensi. Modifikasi gayahidup merupakan salah satu strategi dalam pencapaian tekanan darah target, mengingat hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya hidup yang salah. 2.3.5.1 FAKTOR RISIKO HIPERTENSI Faktor risiko terjadinya hipertensi yaitu, sebagai berikut : Usia Risiko terjadinya hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Pada usia pertengahan tahun, laki laki lebih berisiko untuk mengalami hipertensi sedangkan wanita lebih berisiko untuk mengalami hipertensi setelah menopause. Ras Hipertensi lebih sering terjadi pada ras hitam, seringkali terjadi pada usia muda jika dibandingkan dengan ras kulit putih putih. Komplikasi serius, seperti stroke dan serangan jantung, lebih sering terjadi pada ras kulit hitam. Riwayat keluarga
41

Overweight atau obesitas Individu dengan overweight dan obesitas memiliki risiko untuk mengalami hipertensi. Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar pasokan darah yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan. Seiring dengan peningkatan volume yang melalui pembuluh darah, maka tekanan pada dinding kapiler pun meningkat.

Kurang aktif bergerak. Merokok Merokok tidak hanya akan meningkatkan tekanan darah sementara tetapi zat kimia yang terkandung di dalamnya akan merusak permukaan dinding arteri, hal ini akan menyebabkan arteri akan menyempit, dan tekanan darah akan meningkat.

Diet tinggi garam ( sodium) Diet kurang potasium Diet kurang vitamin D Alkohol Stres Penyakit kronik Individu yang menderita kolesterol, diabetes, penyakit ginjal kronik dan sleep apneu berisiko untuk mengalami hipertensi

2.3.5.2 PATOFISIOLOGI HIPERTENSI Patogenesis hipertensi esensial multifaktorial dan sangat kompleks. Berbagai faktor mempengaruhi tekanan darah dalam tubuh dalam rangka mempertahankan perfusi jaringan, termasuk di dalamnya mediator humoral, reaktivitas vaskular, volume darah yang bersirkulasi, diameter pembuluh darah, viskositas darah, cardiac output, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural.Proses terjadinya hipertensi esensial dimulai dari suatu proses peningkatan tekanan darah yang asimptomatik yang berkembang menjadi hipertensi persisten dimana terjadi kerusakan pada aorta dan arteri arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan sistem saraf pusat. Progresivitas dimulai dari suatu kondisi prehipertensi pada individu sekitar usia 10 30 tahun yang berkembang menjadi awal hipertensi di usia 20 40 tahun, menjadi hipertensi yang nyata pada usia 30 40 tahun dan mulai muncul komplikasi pada usia 40 60 tahun.

42

2.3.5.3 PENATALAKSANAAN HIPERTENSI Modifikasi gaya hidup

Target tekanan darah tidak terpenuhi (<140/90 mmHg) atau (<130/80 mmHg pad pasien DM, penyakit ginjal kronik, 3 faktor risiko atau adanya penyakit penyerta tertentu)

Obat antihipertensi inisial

Dengan indikasi khusus

Tanpa indikasi khusus

Obat-obatan untuk indikasi khusus tersebut ditambah obat antihipertensi (diuretik ACEi, BB, CCB)

Hipertensi stage I (sistolik 140-159 mmHg atau diastolik 90-99 mmHg) Diuretik golongan Tiazide. Dapat dipertimbangkan pemberian ACEi, BB, CCB atau kombinasi)

Hipertensi stage II (sistolik 160 mmHg atau diastolik >100 mmHg) Kombinasi dua obat. Biasanya diuretik dengan ACEi atau BB atau CCB

Target tekanan darah tidak terpenuhi

Optimalkan dosis obat atau berikan tambahan obat antihipertensi lain. Pertimbangkan untuk konsultasi dengan dokter spesialis.
43

a. Modifikasi Gaya Hidup Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi merupakan suatu cara pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak terabaikan dalam penanganan pasien tersebut. Modifikasi gaya hidup memperlihatkan dapat menurunkan tekanan darah yang meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight atauobesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang tinggi kalium dan kalsium, rendah natrium, olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, mempertinggi khasiat obat anti hipertensi, dan menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Sebagai contohnya adalah konsumsi 1600 mg natrium memiliki efek yang sama dengan pengobatan tunggal. Kombinasi dua atau lebih modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang lebih baik. Berikut adalah uraian modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan hipertensi. Tabel . Modifikasi Gaya Hidup Modifikasi Rekomendasi Perkiraan Penurunan Tekanan Darah Sistolik (Skala) 5 20 mmhg/ 10 kg penurunan berat badan 8 14 mmhg

Menurunkan Berat Badan Melakukan pola diet berdasarkan DASH

Memelihara Berat Badan Normal ( Indeks Massa Tubuh 18.5 24.9 kg/m2) Mengkonsumsi makanan yang kaya dengan buah buahan, sayuran, produk makanan yang rendah lemak, dengan kadar lemak total dan saturasi yang rendah Menurunkan intake Garam sebesar 2 8 mmhg tidak lebih dari 100 mmol per hari (2.4 gram Na atau 6 gram garam) Melakukan kegiatan aerobik fisik secara teratur, seperti jalan cepat ( paling tidak 30

Diet rendah natrium

2 8 mmhg 4 9 mmhg
44

Olahraga

Membatasi Penggunaan alcohol

menit per hari, setiap hari dalam seminggu) Membatasi konsumsi alkohol tidak lebih 2 4 mmhg dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml ethanol ; misalnya 24 oz bir, 10 oz anggur atau 3 oz 80 whiski) per hari pada sebagian besar laki laki dan tidak lebih dari 1 gelas per hari pada wanita dan laki laki yang lebih kurus

b. Terapi Farmakologi Terdapat beberapa data hasil percobaan klinik yang membuktikan bahwa semua kelas obat antihipertensi, seperti angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI), angiotensin reseptor bloker (ARB), beta-bloker (BB), kalsium chanel bloker (CCB), dan diuretik jenistiazide, dapat menurunkan komplikasi hipertensi yang berupa kerusakan organ target. Diuretik jenis tiazide telah menjadi dasar pengobatan antihipertensi pada hampir semua hasil percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sesuai dengan percobaan yang telah dipublikasikan baru-baru ini oleh ALLHAT (Anti hipertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial), yang juga memperlihatkan bahwa diuretik tidak dapat dibandingkan dengan kelas antihipertensi lainnya dalam pencegahan komplikasi kardiovaskuler. Selain itu, diuretik meningkatkan khasiat penggunaan regimen obat antihipertensi kombinasi, yang dapat digunakan dalam mencapai tekanan darah target, dan lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan agen obat antihipertensi lainnya. Meskipun demikian, sebuah pengecualian didapatkan pada percobaan yang telah dilakukan oleh Second Australian National Blood Pressure yang melaporkan hasil penggunaan obat awal ACEI sedikit lebih baik pada laki-laki berkulit putih dibandingkan pada pasien yang memulaipengobatannya dengan diuretik.Obat diuretik jenis tiazide harus digunakan sebagai pengobatan awal pada semua pasiendengan hipertensi, baik penggunaan secara tunggal maupun secara kombinasi dengan satukelas antihipertensi lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB) yang memperlihatkan manfaat penggunaannya pada hasil percobaan random terkontrol. Jika salah satu obat tidak dapat ditoleransi atau kontraindikasi, sedangkan kelas lainnya memperlihatkan khasiat dapat menurunkan resiko kardiovaskuler, obat yang ditoleransi tersebut harus diganti dengan jenis obat dari kelas berkhasiat tersebut. Sebagian besar pasien yang mengidap hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mendapatkan sasaran tekanan darah yang seharusnya. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda harus dilakukan ketika penggunaan obat tunggal dengan dosis adekuat gagal mencapai tekanan darah target. Ketika tekanan darah lebih dari
45

20/10mmHg di atas tekanan darah target, harus dipertimbangkan pemberian terapi dengan duakelas obat, keduanya bisa dengan resep yang berbeda atau dalam dosis kombinasi yang telahdisatukan (tabel 3). Pemberian obat dengan lebih dari satu kelas obat dapat meningkatkan kemungkinan pencapaian tekanan darah target pada beberapa waktu yang tepat, namun harustetap memperhatikan resiko hipotensi ortostatik utamanya pada pasien dengan diabetes,disfungsi autonom, dan pada beberapa orang yang berumur lebih tua. Penggunaan obat-obat generik harus dipertimbangkan untuk mengurangi biaya pengobatan. Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah : Diuretik dan blocker Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist Calcium antagonist dan diuretik Calcium antagonist dan B Blocker Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonis blocker dan blocker Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan angiotensin receptor antagonist 2.3.5.4. KOMPLIKASI Hipertensi merupakan penyakit primer yang memerlukan penanganan yang tepat sebelum berkomplikasi ke penyakit lainnya seperti gagal jantung, infark miokard, penyakit jantung koroner, dan penyakit ginjal yang akhirnya dapat berakhir pada kerusakan organ. Keadaan hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta ini membutuhkan obat antihipertensi yang tepat yang berdasarkan pada beragam hasil percobaan klinis. Penanganan dengan kombinasi obat kemungkinan dibutuhkan. Penentuannya disesuaikan dengan penilaian pengobatan sebelumnya, tolerabilitas obat serta tekanan darah target yang harus dicapai.

2.3.6. DIABETES MELITUS DAN TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU Diagnosis diabetes melitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menetukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil daan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis dengan cara enzimatik dengan bahan dasar plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setepat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena dan kapiler
46

dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringannya positif untuk memastikan diagnosis definitif. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, keseutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, difungsi ereksi pada laki-laki dan pruritus vagina pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah sekali saja sudah dapat menegakkan diagnosis DM namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui cara pada berikut: Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari memperhatikan waktu makan terakhir Atau gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa diartkikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8jam Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200mg/dl (11,1 mmol/l). TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gra glukosa anhidrus yang dilarutkan dalan air. Cara pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) berdasarkan WHO 1994: 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa sehari-hari (dengan karbohidrat cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaaan, minum air putih tanpa air gula tetap diperbolehkan Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa) atau 1,75gram/kgbb (anak-anak) dilarutkan dalam air 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
47

Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. <140mg/dl normal 140 199 mg/dl toleransi glukosa terganggu 200 mg/dl diabetes

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3,yaitu:

Pemeriksaan penyaringan dikerjakan pada semua individu dengan IMT 25 kg/m 2 dengan faktor risiko lain, antara lain: Aktivitas fisik kurang Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative) Masuk kelompok etnik risiko tinggi (african, american, latino, native american, asia american, pacific islander) Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan BBL 4000gram atau riwayat dibetes melitus gestasional Hipertensi (140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi) Kolesterol HDL < 35mg/dl dan trigliserida 250 mg/dl Wanita dengan sindro polikistik ovarium Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDTP) Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis nigrikans) Riwayat penyakit kardiovaskuler Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelommpok risiko tinggi yang haasil pemeriksaan penyaringannya negatif, pemeriksaan penyaringan ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien. Pemeriksaan penyaringan yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk penangannya. Pasien dengan TGT atau GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5 10 tahun kemudian 1/3 kelompok
48

TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya arterioklerosis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin.Pemeriksaan

penyaring dapat dilakukan elalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Tabel. Konsentrasi GDS dan GDP sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) Bukan DM Konsentrasi GDS (mg/dl) Plasma Vena Darah kapiler Konsentrasi GDP (mg/dl) Plasma vena Darah kapiler <100 <9 <100 <90 Belum Pasti DM 100-199 90-199 100-125 90-99 DM 200 200 126 100

Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa, antara lain: 1. Konsentrasi GDS (plasma vena) 200mg/dl 2. konsentrasi GDP > 126 mg/dl atau 3. Konsentrasi glukosa darah > 200mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gramm pada TTGO.

2.4 AZOTEMIA Azotemia adalah peningkatan nitrogenurea darah(BUN) (referensi kisaran,8-20mg /dL)dan serumkreatinin (nilai normal, 0,7-1,4mg /dL), seperti digambarkan dalam grafik berikut.

49

Setiap ginjal manusia mengandung sekitar 1juta unit fungsional,yang disebut nefron, yang terutama terlibat dalam pembentukan urin. Pembentukan urin menghilangkan produk akhir dari aktivitas metabolik dan kelebihan air dalam upaya untuk mempertahankan homeostasis. Pembentukan urin oleh nefron melibatkan 3 proses utama, yaitu: penyaringan di tingkat glomerular, reabsorpsi selektif,dan sekresi oleh sel-sel tubulus. Gangguan dari salah satu proses akan merusak fungsi ekskresi ginjal, sehingga terjadi azotemia.Jumlahfiltrat glomerulus yang diproduksi setiap menit oleh semua nefron di kedua ginjal disebut sebagai laju filtrasi glomerulus (GFR). Rata-rata GFR sekitar 125 ml / menit (10% lebih rendah untuk wanita) atau 180L/ hari.Sekitar 99% (178L /hari) diserap, dan sisanya (2L/ hari) diekskresikan. Ada 3 patofisiologi azotemia: azotemia prerenal, intrarenal, dan azotemia postrenal. a. Azotemia Prerenal Prerenal azotemia mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena masalah penurunan sirkulasi yang mengalir ke ginjal. Dalam azotemia prerenal, penurunan aliran ginjal merangsang retensi garam dan air untuk mengembalikan volume dan tekanan. Ketika volume atau tekanan menurun, refleks baroreseptor yang terletak di arkus aorta dan sinus karotid diaktifkan. Hal ini menyebabkan aktivasi saraf simpatik, menghasilkan vasokonstriksi arteriol aferen ginjal dan sekresi renin melalui reseptor -1. Konstriksi arteriol aferen menyebabkan penurunan tekanan intraglomerular, mengurangi GFR secara proporsional. Renin mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, yang pada gilirannya menstimulasi pelepasan aldosteron. Kadar aldosteron menyebabkan penyerapan garam dan air meningkat pada tubulus colectivus distal. Penurunan volume atau tekanan adalah stimulus nonosmotik untuk produksi hormon antidiuretik di hipotalamus, yang memberikan efeknya di ductus colectivs bagian medula untuk reabsorpsiair. Melalui mekanisme yang tidak diketahui, aktivasi sistem saraf simpatik menyebabkan reabsorpsi tubulus proksimal \ garam dan air, serta BUN, kreatinin, kalsium, asam urat, dan bikarbonat. Hasil bersih dari 4 mekanisme retensi garam dan air menurun output dan penurunan ekskresi natrium (<20 mEq / L). b. AzotemiaIntrarenal Azotemia intrarenal, juga dikenal sebagai gagal ginjal akut (GGA) dan cedera ginjal akut (AKI), mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena masalah dalam ginjal itu sendiri. Ada beberapa definisi, termasuk peningkatan kadar kreatinin serum sekitar 30% dari baseline atau penurunan volume urin secara tiba-tiba hingga di bawah 500 ml / hari. Jika
50

output yang dipertahankan, dinamakanGGAnonoliguric. Jika output turun di bawah 500 ml / hari, dinamakanGGAoliguria. Beberapa jenisGGA yang parah menimbulkan anuria (<100 ml / hari). Penyebab paling umum dari GGA nonoliguric adalah nekrosis tubular akut (ATN), nefrotoksisitas aminoglikosida, toksisitas litium, atau nefrotoksisitas cisplatin. Kerusakan tubular lebih sedikit daripada di GGA oliguria. Output normal dalam GGA nonoliguric tidak mencerminkan GFR normal. Pasien masih dapat berkemih 1440 mL / hari bahkan ketika GFR turun menjadi sekitar 1 mL / menit karena penurunan reabsorpsi tubular. Beberapa studi menunjukkan bahwa bentuk-bentuk GGA nonoliguric berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan denganGGA oliguria. Studi yang lain menunjukkan bahwa ekspansi volume, agen diuretik kuat, dan vasodilator ginjal dapat mengkonversi oliguria untuk GGA nonoliguric jika diberikan lebih awal. Patofisiologi oliguria akut atau GGA nonoliguric tergantung pada lokasi anatomis dari cedera. Di ATN, kerusakan epitel menyebabkan penurunan fungsional dalam kemampuan tubulus untuk menyerap kembali garam, air, dan elektrolit lain. Ekskresi asam dan potasium juga terganggu. Dalam ATN yang lebih berat, lumen tubular diisi dengan gips epitel, menyebabkan obstruksi intraluminal, mengakibatkan penurunan GFR. Nefritis interstisial akut ditandai oleh peradangan dan edema, mengakibatkan azotemia, hematuria, piuria steril, silinder sel putih dengan eosinophiluria variabel, proteinuria, dan silinder hialin. Efek net adalah hilangnya kemampuan berkonsentrasi kemih, dengan osmolalitas rendah (biasanya <500 mOsm / L), berat jenis rendah (<1,015), natrium urin tinggi (> 40 mEq / L), dan kadang-kadang, hiperkalemia dan asidosis tubulus ginjal . Namun, dalam adanya azotemia prerenal ditumpangkan, berat jenis, osmolalitas, dan sodium dapat menyesatkan. Glomerulonefritis atau vaskulitis disarankan oleh adanya hematuria, sel darah merah, sel darah putih, silinder granular dan selular, dan tingkat variabel proteinuria. Sindrom nefrotik biasanya tidak terkait dengan peradangan aktif dan sering muncul sebagai proteinuria lebih dari 3,5 g/24 jam. Penyakit glomerular dapat mengurangi GFR karena perubahan permeabilitas membran basal dan karena stimulasi dari sumbu renin-aldosteron. Penyakit glomerulus sering memanifestasikan sebagai sindrom nefrotik atau nephric. Pada sindrom nefrotik, endapan kemih tidak aktif, dan ada proteinuria bruto (> 3,5 g / hari), hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Azotemia dan hipertensi jarang terjadi awalnya, tapi kehadiran mereka dapat menunjukkan penyakit lanjut. Beberapa pasien dengan sindrom nefrotik dapat hadir dengan
51

ARF. Penurunan sirkulasi kapiler dalam ginjal karena edema (nephrosarca) dan obstruksi tubular dari gips protein telah diusulkan sebagai mekanisme potensial untuk pengembangan GGA pada pasien dengan sindrom nefrotik. Pada sindrom nefritik, endapan kemih aktif dengan sel gips putih atau merah, gips granular, dan azotemia. Proteinuria kurang jelas, tetapi meningkatkan retensi garam dan air di glomerulonefritis dapat menyebabkan hipertensi, pembentukan edema, penurunan output, ekskresi urin rendah natrium, dan peningkatan berat jenis. Penyakit pembuluh darah akut termasuk sindrom vaskulitis, hipertensi ganas, krisis skleroderma ginjal, dan penyakit tromboemboli, yang semuanya menyebabkan hipoperfusi ginjal dan iskemia yang menyebabkan azotemia. Penyakit pembuluh darah kronis karena nephrosclerosis hipertensi jinak, yang belum secara meyakinkan terkait dengan stadium akhir penyakit ginjal dan penyakit ginjal iskemik dari stenosis arteri bilateral ginjal. Pada stenosis arteri bilateral ginjal, pemeliharaan tekanan intraglomerular memadai untuk penyaringan sangat tergantung pada vasokonstriksi arteriol eferen. Azotemia merasuk ketika angiotensinconverting enzyme (ACE) inhibitor atau jenis angiotensin receptor blockers 2 menyebabkan dilatasi arteriol eferen, sehingga mengurangi tekanan intraglomerular dan filtrasi. Oleh karena itu, penghambat enzim konversi dan penghambat reseptor dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral. Selain akumulasi kreatinin urea dan produk-produk limbah lain, besarnya penurunan pada GFR dalam hasil CKD penurunan produksi eritropoietin (menyebabkan anemia) dan vitamin D-3 (menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder, hiperfosfatemia, dan osteodistrofi ginjal), pengurangan asam, kalium, garam, dan air ekskresi (menyebabkan asidosis, hiperkalemia, hipertensi, dan edema), dan disfungsi trombosit, yang menyebabkan kecenderungan perdarahan meningkat. Sindrom yang terkait dengan tanda dan gejala akumulasi produk-produk limbah toksik (racun uremik) disebut uremia dan sering terjadi pada GFR sekitar 10 mL / menit. Beberapa racun uremik (yaitu, urea, kreatinin, fenol, guanidines) telah diidentifikasi, tetapi tidak ada yang ditemukan bertanggung jawab atas semua manifestasi dari uremia. c. Azotemia Postrenal Azotemia Postrenal mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena obstruksi dalam sistem pengumpul. Obstruksi bilateral progresif menyebabkan hidronefrosis dengan peningkatan tekanan hidrostatik kapsula Bowman dan penyumbatan tubulus yang mengakibatkan penurunan dan penghentian filtrasi glomerulus secara progresif, azotemia, asidosis, kelebihan cairan, dan hiperkalemia.
52

Obstruksi sepihak jarang menyebabkan azotemia. Dengan bantuan dari obstruksi saluran kemih lengkap dalam waktu 48 jam, ada bukti bahwa pemulihan GFR yang relatif lengkap dapat dicapai dalam waktu seminggu, sementara pemulihan lebih sedikit atau tidak terjadi setelah 12 minggu. Obstruksi parsial atau lengkap yang berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi tubulus dan fibrosis ginjal ireversibel. Hidronefrosis mungkin tidak ada jika obstruksi ringan atau akut atau jika sistem pengumpulan terbungkus oleh tumor atau fibrosis retroperitoneal.

2.5 SKIZOFRENIA 2.5.1 DEFINISI SKIZOFRENIA Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis dan progresif yang ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism) atara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena. Perpecahan pada passien digambarkan dengan adanya gangguan fundamental spesifik yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran afektif, autisme dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi. Pedoman diagnostik skizofrenia menurut PPDGJ III antara lain: Harus memenuhi sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas a. - Thought of echo isi pikirannya sendiri yang berulang dan bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama namun kualitas berbeda - Thought of insertion or withdrawal isi pikiran yang asing dari luar yang menyisip atau masuk ke pikiran (insertion) atau isi pikirannya tertarik keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal) - Thought of broadcasting isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya b. - Delusion of control waham tentang dirinya dikendalikn oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar - Delusion of influence waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar - Delusion of passivity waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap kekuatan dari luar

53

- Delusion of perception pengalaman inderawi yang tak wajar yang bermakna sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mukjizat c. Halusinasi auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara)atau Jenis halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh d. Waham waham yang menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan atau kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendaikan cuaca atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain) Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apasaaja apabila disertai waha yang mengambang maupun yang setengah berbentukk tanpa kandungan afektif yang jelas ataupun disertai ide-ide berlebihan (over valued ideas) yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme c. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu

(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respon emosinal yang menumpul atau tidak wajar biasanya yang mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial yang mengakibatkan menurunkan kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Adanya gejala-gejala yang khas teersebut diatas harus berlangsung selama satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal) Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat hidup tak

54

bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara sosial

2.5.2 KLASIFIKASI SKIZOFRENIA Menurut PPDGJ III skizofrenia diklasifikasikan menjadi: a. Skizofrenia Paranoid Disebut skizofrenia paranoid jika: Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Sebagai tambahan o Halusinasi dan atau waham yang menonjol Suara halusinasi yang mengancam atau memberi perintah atau halusinasi auditorik tanpa verbal berupa bunyi peluit, mendengung atau bunyi tawa Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lainlain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol Waham dapat berupa hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan , dipengaruhi atau passivity yang beraneka ragam yang paling khas o Gangguan afektif , dorongan kehendak dan pembicaraan serrta gejala katatonik secara relatif tidak terlalu menonjol b. Skizofrenia Hebefrenik Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Diagnosis hebefrenik pertamakali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya 15-25 tahun) Kepribadian peremorbid menunjuk ciri khas: pemalu dan senang menyediri, namun tidak harus demekian untuk menentukan diagnosis Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya memerlukan

pengamatan 2 hingga 3 bulan, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan: o Perilaku tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan. Ada kecenderungan untuk selalu menyendiri dan menunjukan hampa tujuan dan hampa perasaan. o Afek pasien dangkal dan tidak wajar serta disertai dengan giggling, atau persaan puas diri, self absorbed smiling, atau sikap tinggi hati, grimaces,

55

mannerisme, mengibuli serta bersendaugurau, keluha hipokondrial dan ungkapan kata yang diulang-ulang o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren. Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi tidak menonjol (fleeting and fragmentary delution and hallucination). Dorongan kehendak dan yang bertujuan hilang serta sasaran ditinggalkan sehingga perilaku pasien memperlihatkan ciri khas yaitu perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud. Adanya preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersulit orang memahai jalan pikiran pasien. c. Skizofrenia Katatonik Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya: o Stupor o Gaduh gelisah o Menampilkan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar o Negativisme o Rigiditas o Fleksibilatas cerea / wavy flexibility o Gejala lain seperti comand autoatism dan pengulangan kata-kata atau kalimat-kalimat Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejal-gejala lain. d. Skizofrenia tak terinci Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia

56

BAB III PEMBAHASAN

Seorang laki- laki berusia 37 tahun

didiagnosis dengan artrhritis gout

menahun dengan osteomyelitis akut digiti II pedis dextra dan digiti I pedis sinistra, anemia mikrositik hipokromik, hipertensi stage 1, toleransi glukosa terganggu, dislipidemia azotemia, dan skizofrenia hebefrenik. Dasar diagnosis dari arthrtitis gout menahun adalah dari anamesis didapatkan pasien datang ke RSDK dengan keluhan nyeri pada luka di jempol jari kaki kiri. 5 tahun SMRS saat bangun tidur pasien mengeluh jempol kaki kirinya bengkak dan terasa nyeri. Nyeri betambah jika digunakan menapak atau berjalan. Bengkak di jempol kaki kiri teraba hangat dan terlihat memerah. Demam (+), menggigil (-).Pasien tidak berobat ke pelayanan kesehatan. Bengkak di jempol kaki lama-lama tidak terasa nyeri dan membentuk benjolan. Benjolan oleh pasien pernah beberapakali ditusuk dengan jarum dan mengeluarkan cairan berwarna putih kental namun setelah itu akan timbul benjolan baru ditempat yang sama. 2 hari SMRS (Tgl 6 Januari 2013) pasien mengeluh benjolan di jempol kaki kiri pecah secara tiba-tiba dan terasa nyeri. Nyeri terasa terus menerus dan terasa senut senut, jempol kaki bertambah nyeri ketika ditekan ataupun digunakan untuk berjalan, pasien menggunakan tumit kaki untuk menapak sehingga mengganggu aktivitas sehari hari. Pasien merasakan kaku-kaku di persedian tangan dan kaki, dan timbul demam (+) hilang timbul. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tofus pada ekstermitas kanan dan kiri baik ekstremitas inferior dan superior. Didapatkan ulkus pedis pada digiti II pedis dextra. Pada pemeriksaan rheumatologi, pada pedis sinistra didapatkan tofus (+) pada persendian digiti I sampai V dan yang terbesar pada sendi MTP I. Deformitas (+) pada digiti I,III,IV dan V. Tampak luka mengering pada digiti I dengan nyeri tekan (-). Pergerakan jari-jari kaki terbatas. Pada pemeriksaan pedis dextra didaptkan tofus pada persendian digiti III,IV dan V. Tampak deformitas pada digiti I,II,IV dan V. Gerak sendi jari-jari kaki terbatas. Pada pemeriksaan manus dextra dan sinistra didapatkan tofus pada interphalang digiti I,II,dan III. Tampak deformitas pada kelima jari baik pada tangan kanan dan kiri. Gerak jari-jari tangan kanan dan kiri sangat minimal, terdapat kekakuan pada sendi interphalang digiti I,II,II, IV dan V manus dextra dan sinistra. Dari pemeriksaan kimia klinik tanggal 9 Januari 2013 didaptkan peningkatan asam urat (10,5mg/dl), pada pemeriksaan mikroskopis dari sampel pus dari aspirasi ulkus pedis dextra didapatkan kristal
57

monosodium urat (+) dan tidak ditemukan adanya bakteri. Pada pemeriksaan X foto pedis dextra sinistra pada tanggal 8 Januari 2013 didaptkan tampak penyempitan sela sendi intertarsalis, tarso metatarsal, interphalang disertai erosi marginal sendi

metatarsophalangeal digiti 1,4, dan 5, tampak multipel osteofit pada os.Naviculer, Os.Cuneiformis, kaput metatarsal 1 kanan-kiri, tampak soft tissue swelling regio metatarsophalangeal digiti 1 kiri, tampak soft tissue swelling regio phalang proksimal digiti 2 kanan, disertai multipel lesi titik dan sklerotik, tampak multipel lusensi pada soft tissue regio pedis kanan, deviasi sendi metatarsophalangeal digiti 5 kiri lateral. Dari pemeriksaan X Foto manus tanggal 8 Januari 2013 didapatkan tampak penyempitan sela sendi interphalangeal kanan dan kiri disertai periartriculer osteoporotik dan erosi marginal. Dari pemeriksaan USG abdomen pada tanggal 14 jauari 2013 didapatkan gambaran ekogenitas parenkim kedua ginjal meningkat (BrenBridge1) disertai nefrokalsinosis kedua ginjal dan soliter simple cyst pada interpole ginjal kiri sesuai gambaran proses kronis pada ginjal. Pada pasien ini riwayat arthritis gout telah berada pada fase kronik, dimana telah didapatkan tophi di sendi tangan dan kaki. Osteomyelitis akut pada digiti II pedis dextra dan digiti I pedis sinistra ditegakkan dengan anamesis ditemukan luka pada benjolan di jari kaki yang pecah tiba-tiba terasa nyeri dan disertai dengan demam yang hilang timbul. Didapatkan juga leukositosis 11,7 ribu/mmk dan peningkatan CRP

kuantitatif meningkat (3,98 mg/dl) menandakan adanya inflamasi akut. Penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian diet rendah purin yaitu dengan 1700 kkal, 75 gr protein dan 250 gr karbohidrat. Diberikan juga alopurinol 2x 100 mg yang berguna untuk meghambat pembentukan asam urat. Pasien juga diberikan paracetamol 3x500 mg jika suhu tubuh lebih dari 38oC dan antibiotik profilaksis untuk ulkus pada digiti 2 pedis dextra dan digiti 1 pedis sinistra yaitu injeksi ceftriaxon 1x2gr yang memiliki spektrum luas untuk kuman gram positif dan negatif dan clindamycin 3x300mg untuk kuman

anaerob serta mengedukasi pasien agar menghindari makanan yang mengandung purin, konsumsi alkohol, obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar asam urat. Diagnosis anemia mikrositik hipokromik didapatkan dari pemeriksaan fisik didaptkan knjungtiva palpebra anemis (+/+), dari pemeriksaan hematologi rutin tanggal 8 Januari didapatkan kesan anemia mikrositik hipokromik (Hb 8,89gr%, MCH 22,65pg, MCV 70,85 fL). Terdapat penurunan kadar Fe (39 mg/dl) dan peningkatan ferritin (436mg/ml) dan TIBC normal dimana sesuai dengan algoritma anemia mikrositik hipokrom yang disebabkan karena penyakit kronis. Penatalaksaan yang diberikan dengan

58

pemberian diet dan pemantauan kadar Hb seminggu sekali serta mengedukasi pasien untuk menghabiskan diet yang diberikan RS. Diagnosis hipertensi stage 1 ditegakkan dengan pemeriksaan tekanan darah didapatkan sistole 140 mmHg dan diastole 90 mmHg. Terapi yang diberikan adalah captopril 3x 25g dan mengedukasi pasien agar menghindari makanan yang mengadung banyak garam, menjaga pola hidup sehat dan rutin meminum obat. Diagnosis TGT didapatkan dari pemeriksaan laboratorium tanggal 8 januari 2013 didapatkan GDS 232 g/dl, telah dilakukan pemeriksaan HbAIC didaptkan hasil 5% dimana belum memenuhi kriteria DM yaitu >6,5% dan pemeriksaan gula darah puasa normal dan glukosa PP 2jam 161,0mg/dl belum memenuhi kriteria DM. Dari anamesis tidak didaptkan tanda khas DM yaitu poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya. Dari pemeriksaan GDS pada tanggal 12 januari didapatkan hasil 78 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan antara lain pemberian diet DM yaitu 1700 kkal, 75 gr protein dan 250 mg karbohidrat dan mengedukasi pasien agar menghindari makanan manis, dan menjaga pola hidup sehat Diagnosis Dislipidemia didaptakan dari pemeriksaan profil lipid terdapat penurunan kadar HDL-C yaitu16mg/dl meski trigliserid dan kolesterol masih dalam ambang normal.Penatalaksanaan yang diberikan antara lain pemberian diet yaitu 1700 kkal, 75 gr protein dan 250 mg karbohidrat. Pasien diedukasi untuk menghabiskan diet yang diberikan, menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh, dan setelah keluar RS untuk rutin berolahraga dan menjaga berata badan ideal. Dasar diagnosis azotemia didapatkan dengan adanya kenaikan kadar ureum 60mg/dl dan creatinin 2,10 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian diet dan monitoring balance cairan dan pemeriksaan ureum kreatinin ulang 1 minggu lagi. Diagnosis skizofrenia hebefrenik didapatkan dari anamesis didapat bahwa pasien memiliki riwayat skizofrenia hebefrenik telah dirawat di panti rehab selama 2 tahun dan mendapat terapi haloperidol 2x5mg, chlorpermazide 1x100mg, dan trihexipenidyl 2x5mg. Untuk penatalaksaannya dikonsulkan ke bagian psikiatri dan usul rawat bersama.

59

TINJAUAN PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI 2. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: 2550-5 3. Tehupelory ES, Artritis Pirai ( Artritis Gout). Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: 2556-60 4. Hadi S.Gambaran Klinis Dan Diagnosis Gout. Dalam: Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2010.Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2010:94-6 5. Tahupelory ES. Advances In The Treatment Of Gout And Hyperuricemia. Dalam: Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2010.Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2010:98-9 6. Bhakta M. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC, 2006. 7. Bhakta M. Pendekatan terhadap pasien anemia Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. 8. Chobanian AV, et al. The seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004 9. Riaz K. Hypertension. 2012 [cited : November 24, 2012]. Available at http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview 10. Indonesian Society of Hypertension. Konsensus Penanggulangan Krisis hipertensi. 2008. 11. Mayo Clinic. Hypertension. 2011 [ cited : November 24, 2012]. Available at : http://www.mayoclinic.com/health/high-blood-pressure/ds00100/dsection=riskfactors 12. Riaz,K. Hypertensive Heart Disease. 2012 [cited : November 24, 2012]. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview 13. Panggabean M. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. 5 th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

60

14. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:1880-3 15. Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. 16. Djokomoeljanto R. Introduction of metabolic syndrome. In: Djokomoeljanto R, Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Nugroho KH, editors. Naskah Lengkap the 3rd Workshop on "Semarang Metabolic Syndrome" 2010. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2010. 17. Eckel RH. The metabolic syndrome. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies 2012. 18. Djokomoeljanto R. The role of central obesity in metabolic syndrome. In: Djokomoeljanto R, Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Nugroho KH, editors. Naskah Lengkap the 3rd Workshop on "Semarang Metabolic Syndrome" 2010. Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2010. 19. Maslim R.2001. Diagnosis Gangguan Jiwa:Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.

61

You might also like