You are on page 1of 7

BAB I PENDAHULUAN

Sekitar hampir 5 juta penduduk dunia meninggal akibat trauma tiap tahunnya. Pada tahun 2002, kecelakaan lalu lintas, kekerasan, kasus luka bakar dan tenggelam merupakan penyebab kematian antara umur 5 sampai dengan 44 tahun. Di USA sendiri, trauma merupakan penyebab kematian dini disamping keganasan dan penyakit jantung. Jumlah kematian akibat trauma tidak menurun selama beberapa dekade, sehingga kejadian trauma menjadi perhatian serius dari pusat-pusat kesehatan.1 Kematian akibat suatu trauma dapat diperparah dengan suatu keadaan koagulopati dan kegagalan fungsi organ. Peningkatan kejadian kegagalan fungsi organ biasanya berhubungan dengan pemberian transfuse massif yang juga menyebabkan suatu keadaan koagulopati melalui dilusi dari factor koagulasi. Koagulopati terjadi pada 65% pasien yang menerima transfusi massif akibat dari koagulasi sekunder akibat perdarahan dan penurunan kadar platelet. Koagulopati akibat perdarahan merupakan efek sekunder karena adanya triad dari hilangnya dan dilusi dari factor koagulan, asidosis dan hipotermia. Pembedahan untuk mengontrol perdarahan merupakan intervensi utama yang harus dilakukan untuk menurunkan tingkat mortalitas. 1 Transfusi massif dilakukan untuk menangani suatu keadaan perdarahan yang tidak terkontrol. Tindakan definitive sebelumnya untuk mengontrol perdarahan mungkin sudah dilakukan, tetapi pemberian transfuse massif terkadang masih diperlukan.2 Pemberian transfuse ini bersifat lifesaving pada keadaan syok akibat perdarahan, namun juga dapat menimbulkan beberapa komplikasi yang dapat meningkatkan tingkat kematian pasien trauma.3. Manajemen transfuse massif pada psien trauma akan memberikan outcome yang baik jika didapatkan pengertian yang baik mengenai keadaan koagulopati akibat trauma, pembatasan penggunaan cairan kristaloid dan implementasi dari protocol transfuse massif.1 Pada laporan ini akan dibahas mengenai bagaimana pemberian transfuse massif pada pasien dengan trauma.

BAB II PEMBAHASAN

2.1.

Definisi Transfusi Masif Transfusi massif berisiko untuk meningkatkan tingkat mortalitas pada pasien trauma, dimana pasien yang menerima 10 atau lebih unit sel darah merah selama berada di rumah sakit memiliki tingkat mortalitas sebesar 39% dan pasien yang menerima 50 unit atau lebih memiliki tingkat kematian sebesar 57% dari dua hasil studi retrospektif terpisah. Terdapat banyak pengertian dari transfuse massif, secara umum transfuse massif adalah pemberian transfuse sebanyak 10 atau lebih produk sel darah merah (hamper mendekati volume total darah resipien) dalam waktu 24 jam. Definisi lainnya dapat dilihat pada table 1 Tabel 1. Definisi Transfusi Masif Transfusi Masif Penggantian seluruh volume darah dalam 24 jam Transfusi > 10 unit packet Red Blood Cells (PRBCs) dalam 6 jam Transfusi > 10 unit PRBCs dalam 24 jam Transfusi > 20 unit PRBCs dalam 24 jam Dynamic Transfusi Masif Transfusi > 4 unit PRBCs dalam 1 jam Penggantian 50% dari total volume darah dalam 3 jam

2.2.

Manajemen Transfusi Masif Pada Pasien Trauma Koagulopati dikatakan sebagai contributor dalam terjadinya peningkatan mortalitas akibat trauma. Koagulasi sekunder ini disebabkan akibat dilusi dan pelepasan factor koagulasi disertai dengan keadaan hipotermi dan asidosi yang disebut the blood vicious cycle atau triad of death.

2.3.

Komplikasi Transfusi Masif Ada beberapa masalah yang timbul akibat dari transfuse massif meliputi kejadian infeksi, komplikasi imunologi dan faal yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyimpanan produk darah. Risiko kumulatif dari transfuse darah berkaitan dengan jumlah unit PRBCs yang ditransfusi, peningkatan waktu penyimpanan dan kemungkinan leukosit dari pendonor. Komplikasi pemberian transfuse massif dapat dilihat pada table 2

Ada beberapa keadaan potensial yang memediasi terjadinya efek samping dari pemberian transfuse seperti ethal triad dari asidosis, hipotermia dan

koagulopati akibat dari perdarahan karena trauma.Masing-masing dari keadaan abnormalitas ini mengancam nyawa dan saling memperparah keadaan lainnya sehingga disbut dengan bloody vicious cycle. Beberapa usaha dilakukan, seperti mengontrol perdarahan, pemberian resusitasi darah dan pengendalian keadaan koagulopati dan kelaianan hemostastis untuk

meningkatkan survival pada pasien yang menerima transfuse massif. Hipotermia biasa terjadi pada pasien dengan syok. Pada pasien trauma ada beberapa factor yang berkontribusi mengakibatkan hipotermia seperti paparan, infus cairan dan produk darah dingin serta gangguan dari pusat termoregulator. Keadaan hipotermi ini dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, asidosis metabolic, koagulopati, infeksi dan komorbiditas lainnya. Selain itu dapat juga menyebabka komplikasi serius seperti: 1. Penurunan metabolism sitrat 2. Penurunan metabolism hati 3. Penurunan drug clearance 4. Penurunan pembentukan protein fase akut 5. Penurunan produksi factor pembekuan Hipotermia memiliki efek yang signifikan pada kaskade koagulasi. Terdapat 10% penurunan dalam aktivitas factor koagulasi tiap penurunan suhu 1 C, dimana hal ini memperpanjang clotting time pada temperature dibawah 33 C. Hipotermia dapat dicegah dengan: 1. Peningkatan temperatuir kamar 2. Pemakaian selimut 3. Pengguaan blood dan fluid warmer.

Abnormalitas elektrolit Hipokalemia dan Hiperkalemia Komsentrasi kalium dalam plasma meningkat dalam produk darah, dimana berkiasar dari 777 mEq/L dengan peningkatan sejalan dengan durasi penyimpanan darah. Hal ini diakibatkan karena inaktivasi pompa ATPase dari dinding membrane sel darah. Konsentrasi kalium meningkat dengan iradiasi dan berkurang dengan pencucian.Hiperkalemia biasanay terjadi pada pasien yang memiliki kegagalan ginjal seperti rhabdomyolisis dan myonecrosus. Ketika pemberian transfuse melebihi 100-150 mL/min, biasanya terjadi hyperkalemia. Hipokalemi terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu: 1. Restorasi dari pompa ATP ase pada dinding membran sel darah merah yang menyebabkan masuknya kalium ke sel 2. Pelepasan aldosterone, ADH dan katekolamin 3. Metabolic alkalosis (akibat dari pmberian sitrat yang menurunkan kadar kalium) 4. Pemberian infus yang rendah kalium Hipokalsemia dan Hipomagnesia Darah simpanan mengandung sitrat yang mengikat kalsium. Tiap unit PRBCs mengandung sekitar 3 gram sitrat. Hati dewasa normal mampu memetabolisme 3 gram sitrat tiap 5 menit. Pada transfuse dan gangguan hati dapat tejadi hipokalsemia akibat toksisitas sitrat dimana konsentrasi 40-140 kali normal. Tanda tanda dari citrate toksistas anatara lain tetani, pemanjangan interval QT, penurunan kontraktilitas miokard, hipotensi, peningkatan tekanan vena sentral. Kegagalan Multi Organ Transfusi darah pertama kali diidentifikasi sebagai salah satu factor risiko independent dari kejadian kegagalan nulti organ pada suatu penelitian selama 3 tahun. Pasien trauma dengan ISS > 15 dan survival > 24 jam diperiksa. Beberapa variable yang diidentifikasi sebagai factor risiko MOF seperti umur > 55 tahun, ISS > 25 dan pemberian > 6 unit PRBCs pada 12 jam pertama postinjury SIRS Transfuse darah dikatakan berhubungan dengan peningkatan insiden dari SIRS dari beberapa penelitian multisenter. Pasien yang menerima transfuse darah lebih lama berada dirumah sakit dibandingkan yang tidak mendapat transfuse. Konsekuensi dari SIRS posttrauma adalah terjadinya anemia posttrauma. Trauma menyebabkan suatu keadaan hiperinflamasi yang menyebabkan gangguan fungsi bone marrow dan mengakibatkan gamgguan eritropoesis,

penuruanan availibilitas besi dan penurunan masa hidup RBC. Hal ini memperparah keadaan SIRS akibat dari transfuse darah. Infeksi Imunosupresi merupakan konsekueensi dari transfuse darah bersifat allogenic. Mechanisme yang mendasari hal ini belum diketahui pasti, tetapi hal ini mungkin meliputi transfusion associated microchimerism, dimana populasi kecil leukosit allogenic donor dari darah donot bercampur pada resipien selama beberapa tahun atau decade TRALI Adalah suatu acute lung injury yang terjadi dalam 6 jam setelah transfuse dan hal ini tidak berhubungan dengan factor risiko ALI atau ARDS. Ada juga yang mendefinisikan sebagai msuatu sindrom tertunda, dimana terjadi 6-72 jam setelah transfuse. Pasien dengan sindrom ini memiliki risiko tambahan untuk ALI/ARDS seperti sepsis, trauma dan luka bakar.Risiko terjadinya TRALI bervariasi tergantung produk darah yang digunakan, dimana pada suatu studi dikatakan risiko ini meningkat 3 x lipat pada pasien yang menerima FFP atau platelet. Paru pasien kritis sangat sensitive terhadap efek dari transfuse, sebagaimana sejumlah kecil produk darah dapat menyebabkan injuri pada paru.Pengobatannya dengan menggunakan lung protective untuk pasien dengan ventilator dan meminimalkan administrasi cairan untuk mengurangi jumlah cairan yang melewati endotel dan epitel paru.

2.4.

Strategi Pencegahan Untuk Menurunkan Komplikasi Terapi Transfusi Sangat penting bagi seorang klinisi untuk mengetahui strategi untuk menurunkan komplikasi yang berhubungan dengan pemberian transfuse. Beberapa strategi tercantum dalam massif transfusion protocols seperti pengguanan penghangat. Strategi lainnya dengan mencegah dan mengobati koagulopati dan trombositopenia dan mengontrol perdarahan.

You might also like