You are on page 1of 61

Halaman 0 dari 60

LAPORAN TEKNIS

SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA DAN JAMINAN SOSIAL

Disusun Oleh: Tara Suprobo Ingan Ukur Tarigan Daniel Weiss

Januari 2007

Halaman 1 dari 60

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL ...................................................................................................................................... ...................................................................................................................................... ...................................................................................................................................... 2 3 3 4 6 6 7 8 10 10 22 28 33 39 40 45 46 51 51 53 57 57 59

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. .... 1.2 Tujuan Studi ........................................................................................................................... 1.3 Metodologi Studi ..................................................................................................................... HASIL STUDI KEPUSTAKAAN ....................................................................................................... 2.1. Definisi Sektor Informal .......................................................................................................... 2.2. Program Jaminan Sosial/Kesehatan ....................................................................................... 2.3. Peraturan/Regulasi Terkait Sektor Informal Dan Jaminan Kesehatan Di Indonesia ............... 2.4 Program Jaminan Sosial Di Indonesia .................................................................................... TEMUAN HASIL STUDI LAPANGAN ............................................................................................... 3.1 Sektor Informal ........................................................................................................................ 3.2 Program Jaminan Sosial Dan Jaminan Kesehatan ................................................................. 3.3 Pola Pencarian Pengobatan Bagi Kelompok Informal ............................................................ PEMBAHASAN/ANALISIS HASIL STUDI ........................................................................................ 4.1 Sektor Informal ...................................................................................................................... 4.2 Jaminan Sosial Dan Jaminan Kesehatan ............................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................................ 5.1 Kesimpulan ............................................................................................................................. 5.2 Saran ......................................................................................................................................

BAB II

BAB III

BAB IV

BAB V

Halaman 2 dari 60

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Kerja Perlindungan sosial bagi pekerja informal.................................................. 22

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Pandangan Baru dan Lama atas Sektor Informal...................................................................... Status/Kedudukan dalam Pekerjaan Utama Tenaga Kerja Umur 10 Tahun ke Atas di Indonesia, 2004 ..................................................................................................................... Pemangku Kepentingan di Pemerintahan bagi Perekonomian Informal ................................... Jaminan Sosial bagi Pekerja Informal ....................................................................................... Peraturan/Regulasi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ....................................... Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Kesehatan (JPKM, Askeskin) .................................... Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Sosial (ASKESOS) .................................................... Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Tenagakerja dan Transmigrasi.................................. Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Perindustrian dan Perdagangan................................ Penetapan Kelompok Pekerja Informal Berdasarkan Status Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Utama.............................................................................................................. Status Tenaga Kerja Umur 10 Tahun ke Atas Berdasarkan Sektor Formal dan Informal & Jenis Kelamin, Indonesia 2004 ................................................................................ Kategori Lapangan Usaha Sektor Informal Berdasarkan Klasifikasi Desa/Kelurahan, Indonesia 2004 .......................................................................................................................... 41 41 40 17 18 23 28 29 30 31 32 14

Halaman 3 dari 60

RINGKASAN EKSEKUTIF
UU No. 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah diundangkan sejak tahun 2004 masih memerlukan berbagai tugas lanjutan bagi berbagai pihak yang terkait agar UU tersebut dapat dijalankan sepenuhnya. Sebagaimana diketahui selama ini di Indonesia telah berjalan berbagai program jaminan sosial yang baru mencakup sebagian kecil saja dari penduduk, yaitu terutama mereka yang bekerja di jenis pekerjaan formal. Sedangkan sebagian besar penduduk, yang memiliki pekerjaan di sektor informal, belum terjangkau oleh program jaminan sosial tersebut. Dengan UU SJSN yang baru, diharapkan seluruh penduduk Indonesia, baik pekerja formal dan informal atau mereka yang tinggal diperkotaan maupun di pedesaan, dapat dijangkau oleh jaminan sosial. Dalam tulisan ini dikaji lebih khusus mengenai kelompok sektor informal dan bagaimana caranya agar mereka dapat masuk kedalam cakupan program jaminan sosial, terutama jaminan kesehatan. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang SJSN, manfaat jaminan sosial harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebetulnya kelompok penduduk ini bukannya tidak memperoleh program-program perlindungan sosial. Berbagai program bantuan sosial, bantuan tunai dan asuransi sosial telah diberikan untuk masyarakat miskin namun seringkali tidak dapat menjangkau sasaran karena berbagai masalah seperti adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penerima bantuan. Pada akhirnya penduduk miskin tetap harus mengandalkan bantuan dari masyarakat di lingkungannya. Keberadaan UU SJSN diharapkan dapat memperbaiki situasi yang kerap terjadi di masyarakat miskin ini. Dalam upaya mempelajari lebih mendalam mereka yang termasuk dalam kelompok pekerja sektor informal maka 3 macam studi telah dilakukan, yaitu studi literature, studi lapangan dan analisis data sekunder. Dengan studi kepustakaan telah diperoleh gambaran mengenai pekerja sektor informal, terutama mengenai definisinya menurut berbagai institusi, praktek di berbagai Negara dan regulasi/peraturan yang terkait. Dari hasil studi lapangan di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Tengah (kota Semarang, kabupaten Purbalingga, kabupaten Klaten), diperoleh berbagai informasi mengenai sektor informal terutama mengenai definisi yang digunakan oleh berbagai institusi yang ada, landasan hukum, koordinasi dan bagaimana cara mereka mengatasi masalah kesehatan serta program jaminan sosial dan jaminan kesehatan yang bagaimana sekiranya mungkin untuk diterapkan bagi mereka. Terutama dalam hal kemungkinan mereka menjadi peserta program dan bagaimana memenuhi iuran premi yang diwajibkan (mereka yang tidak mampu membayar akankah dibantu oleh pemerintah). Dengan analisis data sekunder, yang menggunakan data Susenas 2004 dari BPS, dapat diperoleh gambaran secara nasional mengenai situasi dari pekerja sektor informal di Indonesia.

Halaman 4 dari 60

Dari hasil studi mengenai kelompok penduduk yang memiliki pekerjaan di sektor informal ini, telah dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat diringkas sebagaimana berikut. Bahwa untuk pekerja formal masih banyak yang belum memperoleh jaminan sosial, apalagi untuk pekerja di sektor informal. Jadi perlu pemikiran lebih lanjut agar seluruh penduduk dapat segera dicakup dalam sebuah sistem jaminan sosial nasional. Bagi pekerja sektor informal sendiri, ternyata dalam kenyataannya terdapat berbagai pengertian dan definisi yang digunakan oleh berbagai institusi pemerintah dan non pemerintah. Berbagai definisi yang digunakan ternyata disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing institusi. Padahal target sasaran program yang dijalankan oleh berbagai institusi adalah segmen penduduk yang sama, yaitu mereka yang bekerja sebagai pekerja informal. Dari pengalaman di berbagai wilayah yang distudi, berbagai program jaminan sosial dan jaminan kesehatan dapat berjalan untuk mereka yang bekerja sebagai pekerja sektor informal, dengan berbasis kelompok (perkumpulan pekerja, paguyuban), dengan berbagai keunikan dari masing-masing kelompok tersebut. Program jaminan sosial juga ada yang menunjukkan keberhasilan dalam pelaksanaannya, misalnya di kabupaten Purbalingga. Pemda setempat menggunakan data penduduk miskin (termasuk pekerja informal) yang telah diverifikasi melalui musyawarah terbuka ditingkat paling bawah, dengan anggota RT/RW setempat, tokoh masyarakat, tokoh agama, atau guru. Dengan daftar penduduk rentan maka pemda dapat menetukan siapa saja yang harus menerima bantuan dalam pembayaran iuran premi, siapa yang dapat membayar sebagian iuran dan siapa yang mampu membayar iuran sepenuhnya. Dalam hal regulasi/peraturan yang terkait dengan pekerja sektor informal dan jaminan sosial/ kesehatan, nampak terjadinya tumpang tindih baik dalam pelaksanaannya maupun dalam hal target sasarannya. Karena institusi yang berbeda telah menerbitkan peraturan masing-masing, padahal yang menjadi sasaran adalah kelompok penduduk yang sama, maka dalam prakteknya terdapat individu atau rumah tangga yang bisa memperoleh fasilitas yang sama dari institusi yang berbeda. Semua ini disebabkan karena maisng-masing institusi berpegang pada kepentingan masing-masing tanpa didasari dengan kesadaran bahwa segmen penduduk yang menjadi sasaran adalah sama. Dengan demikian, dalam upaya memperkuat pelaksanaan UU SJSN yang baru, dibawah koordinasi sebuah institusi yang dapat diandalkan dan memiliki perspektif luas, yang dapat melihat seluruh aspek dari kelompok penduduk pekerja sektor informal secara komprehensif, maka diharapkan segala definisi, pengertian dan regulasi yang berkaitan dengan penduduk ini dapat ditinjau kembali dan kemudian diperkuat secara keseluruhan (tidak terpisah-pisah menurut sektor) agar penduduk ini dapat tercakup dalam sistem jaminan sosial. Tentu saja data penduduk rentan dari masing-masing daerah yang sudah diverifikasi lewat musyawarah terbuka dapat dijadikan acuan dalam menentukan mereka yang memerlukan bantuan dalam pembayaran kontribusi, agar seluruh penduduk dapat terjangkau.
Halaman 5 dari 60

BAB I LATAR BELAKANG


1.1 LATAR BELAKANG

Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 sudah resmi diundangkan sejak tahun 2004, namun dalam rangka pelaksanaannya belum satupun perangkat hukum dan peraturan yang berhasil diciptakan sebagai landasan pengembangan jaminan Sosial. Untuk mempersiapkan kerangka pengembangan jaminan sosial dimasa yang akan datang, maka perlu ditemukenali lebih dahulu pembagian berbagai kelompok yang ada di masyarakat yang nantinya akan diikutsertakan dalam sistem jaminan sosial nasional tersebut. Sejauh ini jaminan sosial yang tersedia di Indonesia masih sangat terbatas jangkauannya, diberikan kepada hanya sebagian kecil penduduk Indonesia. Mereka yang mewakili kurang dari 20 persen penduduk yang pada saat ini terjangkau program-program jaminan sosial adalah : pegawai negeri dan karyawan sebagian BUMN dan universitas, anggota TNI/POLRI dan sebagian pegawai sipil pertahanan, dan sekelompok karyawan swasta (dari perusahaan swasta yang memiliki jumlah pegawai dan upah di atas standar yang telah ditentukan). Sedangkan penduduk yang lain, terutama mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan kecil, wiraswasta di sektor perekonomian informal dan yang menganggur atau telah lanjut usia, akan bergantung pada asuransi pribadi atau bantuan dari keluarga dekat dan jauh serta masyarakat setempat. Agar cakupan Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat diperluas dan menjamin tercakupnya seluruh penduduk tanpa terkecuali, maka kelompok-kelompok penduduk yang ada di masyarakat harus dapat dikenali keberadaannya dan sekaligus dapat dibedakan karakteristiknya. Untuk keperluan ini diperlukan pendefinisian berbagai segmen penduduk yang ada dalam masyarakat dan sekaligus dengan cara bagaimana untuk dapat membedakannya. Lebih khusus lagi misalnya, bagaimana penduduk yang bergerak di sektor informal dapat diikutsertakan dalam program ini, dimana kelompok penduduk ini sangat beragam dan perlu pendefinisian lebih lanjut. Dalam tulisan ini akan dikaji lebih khusus mengenai kelompok sektor informal dan bagaimana cara mereka dapat masuk kedalam cakupan program jaminan sosial, terutama jaminan kesehatan. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang SJSN, manfaat jaminan sosial harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebetulnya kelompok penduduk ini bukannya tidak memperoleh program-program perlindungan sosial. Berbagai program bantuan sosial, bantuan tunai dan asuransi sosial telah diberikan untuk masyarakat miskin namun seringkali tidak dapat menjangkau sasaran karena berbagai masalah seperti adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penerima bantuan. Pada akhirnya penduduk miskin tetap harus mengandalkan bantuan dari masyarakat di

Halaman 6 dari 60

lingkungannya. Keberadaan UU SJSN diharapkan dapat memperbaiki situasi yang kerap terjadi di masyarakat miskin ini. Dalam UU SJSN dinyatakan bahwa bagi para peserta yang tidak mampu maka premi akan dibayar oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa jika seorang pekerja informal, pekerja mandiri atau seorang karyawan dapat dinyatakan sebagai tidak mampu maka tampaknya pemerintah berkewajiban untuk membayar preminya. Disisi lain, seorang pekerja informal yang tidak mampu tampaknya harus menunggu untuk dimasukkan ke dalam skema. Memang pelaksanaan UU SJSN dilakukan secara bertahap dimana cakupannya diharapkan akan semakin meluas hingga seluruh warga dapat memperoleh jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan. Hal ini berarti bahwa seluruh pekerja di semua sektor di perkotaan dan perdesaan, termasuk sektor informal (dan pekerja asing), harus dapat dicakup oleh sistem jaminan sosial nasional tersebut nantinya. Tidak terdapat penjelasan mengenai bagaimana dan kapan para pekerja di perekonomian informal akan tercakup, dan bagaimana kontribusi-kontribusi mereka harus dibayarkan kepada badan pelaksana. Pemerintah belum mendefinisikan secara terperinci jumlah premi serta metode pembayaran. Pekerja sektor formal akan diwajibkan untuk membayar premi sesuai dengan penghasilannya. Bagi mereka yang bekerja, premi akan dibayar secara kolektif oleh para karyawan serta majikan (termasuk pemerintah sebagai majikan dari para pegawai negeri dan para anggota dari angkatan bersenjata dan kepolisian). Akan tetapi undang-undang tidak mengindikasikan kontribusi relatif dari masing-masing pihak. Apalagi yang menyangkut pekerja di perekonomian informal yang definisinyapun masih perlu ditetapkan lebih lanjut. Semua ini memerlukan perangkat hukum dan peraturan-peraturan pelaksana sebagai penjabaran dari UU SJSN, yang dapat digunakan sebagai landasan bagi berbagai pihak untuk mulai mengimplementasikan UU tersebut. Dalam upaya membantu pemerintah dalam mengembangkan peraturan-peraturan pelaksanaan UU itulah maka tulisan ini berusaha untuk membahas lebih dalam mengenai mereka yang berkecimpung dalam perekonomian informal dan bagaimana mereka dapat memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.

1.2

TUJUAN STUDI

1.2.1 Tujuan umum Tujuan umum dari studi ini adalah mengkaji secara mendalam dan komprehensif sektor informal di Indonesia dengan tujuan akhir menyiapkan masukan kepada proses penyusunan peraturan pemerintah dan peraturan presiden mengenai pasal V dari UU No. 40 Tahun 2004 (mengenai kepesertaan dan kontribusi).

Halaman 7 dari 60

1.2.2

Tujuan khusus

Tujuan umum sebagaimana tersebut diatas dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi beberapa tujuan khusus : 1. Mengkaji peraturan-peraturan yang sedang berlaku mengenai sistem jaminan sosial atau program asuransi kesehatan khusus untuk ekonomi informal dan pekerja mandiri; 2. Menelaah secara kritis definisi sektor informal yang dipergunakan saat ini dan mengidentifikasi dan menjelaskan sub-sub kelompok di dalamnya; 3. Mengidentifikasi sistem jaminan sosial dan program jaminan kesehatan bagi kelompok masyarakat sektor informal; 4. Menganalisa mekanisme-mekanisme penanggulangan penyakit dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat sektor informal; 5. Mengidentifikasi pilihan, desain dan strategi-strategi awal untuk perluasan kepesertaan sistem jaminan sosial/jaminan kesehatan sosial kepada sektor informal (masukan kepada pelaksanaan peraturan-peraturan dari UU No. 40 Tahun 2004).

1.3 METODOLOGI STUDI 1.3.1 Desain studi

Dalam studi ini digunakan kombinasi metode kualitatif dan metode kuantitatif. Agar tujuan dari studi ini dapat dicapai dengan sebaik-baiknya, dengan memperhatikan berbagai kendala yang ada, maka studi ini akan melakukan beberapa metode pengumpulan data: 1. studi kepustakaan: dengan melakukan studi kepustakaan yang mendalam maka diharapkan dapat diperoleh informasi yang cukup banyak mengenai berbagai peraturan jaminan sosial, program asuransi kesehatan dan sektor informal. 2. studi lapangan: informasi yang paling dapat dipercaya akan dapat diperoleh langsung dari lapangan, walaupun hasil dari lapangan ini tidak dimaksudkan untuk digeneralisir untuk tingkat nasional. Di lapangan akan dilakukan wawancara mendalam terhadap beberapa informan kunci dan diskusi kelompok. 3. analisis data sekunder: data sekunder hasil survei nasional yang dapat menggambarkan situasi di tingkat nasional akan dianalisis. Hasil analisis data sekunder ini diharapkan dapat melengkapi hasil analisis dari studi kepustakaan dan studi lapangan.

1.3.2

Responden studi lapangan

Guna memperoleh informasi langsung dari sumbernya yang diperlukan dalam studi ini, maka beberapa narasumber ditetapkan untuk diwawancara secara langsung. Beberapa diantaranya adalah kantor pemerintah
Halaman 8 dari 60

yang berada di tingkat pusat seperti : Setwapres, Kantor Menkokesra, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, BPS, Bappenas. Di tingkat wilayah : Pemda tingkat propinsi, kabupaten hingga tingkat kelurahan/desa, yang mencakup dinasdinas Tenaga Kerja & Transmigrasi, Kesehatan, Sosial, Perindustrian dan Perdagangan, dan Pertanian. Institusi lain : Kantor PT Jamsostek (pusat dan propinsi); PT Askes; Asosiasi atau Forum Komunikasi pekerja informal dan buruh tani; Pasar (pedagang dan pengurus pasar) dan Pekerja Informal. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada daftar narasumber yang diwawancara pada lampiran dari laporan ini.

1.3.3

Lokasi studi lapangan

Studi lapangan dalam rangka pengumpulan informasi secara langsung dari narasumber dilakukan di 2 Propinsi, yaitu : DKI Jakarta dan Jawa Tengah (kota Semarang, Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Klaten).

1.3.4

Data sekunder yang digunakan

Guna melengkapi dan memperkuat analisis dari studi ini maka data Susenas 2004 yang dikumpulkan oleh BPS turut dianalisis juga. Data nasional ini sangat bermanfaat memberikan gambaran situasi di tingkat nasional akan permasalahan yang sedang diteliti.

Halaman 9 dari 60

BAB II HASIL STUDI KEPUSTAKAAN


2.1. DEFINISI SEKTOR INFORMAL Dalam perkembangannya sektor informal atau ekonomi informal telah mengalami berbagai perubahan konsep/pengertian sesuai dengan kondisi pada saat itu. Untuk negara/wilayah berbeda, juga untuk institusi/kantor yang berbeda dalam satu wilayahpun, pengertian mengenai sektor informal dapat berbeda pula. Beberapa definisi dari sektor informal yang digunakan oleh berbagai institusi antara lain : 1. ILO (International Labour Organization) ILO telah menyatakan bahwa istilah sektor informal yang sebelumnya banyak digunakan kemungkinan dapat menyesatkan dan mengusulkan istilah alternatif. Hal ini dikaitkan dengan kenyataan pada saat ini bahwa rumah tangga, bahkan juga individu, dapat terlibat dalam pekerjaan sektor formal dan informal sekaligus. ILO lebih sering menggunakan istilah ekonomi informal ketimbang sektor informal karena ekonomi informal lebih cocok untuk menggambarkan pendekatan yang terintegrasi dalam menggambarkan ketidak-formalan (House, 2003). Pandangan ILO : Ekonomi informal terdiri dari unit-unit ekonomi yang termarjinalisasi dan pekerja-pekerja yang memiliki karakteristik: mengalami defisit yang parah dalam hal pekerjaan yang layak, defisit dalam hal standar perburuhan, defisit dalam hal produktivitas dan kualitas pekerjaan, defisit dalam hal perlindungan sosial dan defisit dalam hal organisasi dan hak suara. Dengan mengurangi defisit yang dimiliki oleh ekonomi informal, diharapkan akan dapat meningkatkan gerakan kearah kegiatan-kegiatan yang diakui, terlindungi dan formal didalam kerangka perekonomian utama dan yang memenuhi peraturan (ILO, 2002). Meskipun tidak ada konsensus khusus mengenai definisi sektor informal, perngertian sektor informal ini sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. ILO (1972) mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut yaitu: a. kemudahan untuk masuk b. kemudahan untuk mendapatkan bahan baku c. sifat kepemilikan d. skala kegiatan e. penggunaan tenaga kerja dan teknologi f. tuntutan keahlian g. deregulasi dan kompetisi pasar
Halaman 10 dari 60

2. Institusi lain a. Becker (2004) dari SIDA (dana bantuan dari Swedia) yang mempelajari mengenai perekonomian informal dengan referensi beberapa Negara di Afrika, Asia, Amerika latin, mengemukakan bahwa secara umum ekonomi informal adalah bagian dari ekonomi pasar yang tidak punya aturan dan tidak formal, yang memproduksi barang dan jasa untuk dijual atau untuk memperoleh pendapatan lain. Dengan demikian istilah ekonomi informal mengacu kepada seluruh kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pekerja dan unit-unit ekonomi, baik dalam hukum maupun dalam praktek, yang tidak terlindungi atau tidak cukup terlindungi oleh aturan-aturan formal. Lebih lanjut disebutkan bahwa perekonomian informal sebagian besar memiliki karakteristik: 1) Persyaratan yang rendah, dalam hal modal dan kualifikasi profesional, untuk masuk dalam sektor tersebut. 2) Beroperasi pada skala kecil. 3) Ketrampilan yang diperlukan pada umumnya diperoleh dari luar sekolah formal. 4) Metode produksi dan teknologi yang digunakan adalah yang labour intensive. Secara tradisional ekonomi informal sering dikaitkan dengan aspek negatif seperti penggunaan pekerja yang tidak dilaporkan, ingin menghindar dari pajak, usaha yang tidak patuh aturan, kegiatan yang ilegal dan bersifat kriminal. Namun bagaimanapun kegiatan ekonomi informal telah menyediakan barang dan jasa yang produksi dan distribusinya adalah legal. Sebagai tambahan, kegiatan-kegiatan ekonomi informal tidak selalu berarti dengan sengaja tidak membayar pajak atau tidak berkontribusi untuk jaminan sosial, atau melanggar peraturan ketenagakerjaan atau aturan-aturan lainnya. Becker lebih lanjut menyatakan bahwa definisi ekonomi informal dapat dibuat menjadi beberapa karena sifatnya yang heterogen : 1) Definisi berdasarkan atas kegiatan (unit ekonomi/perusahaan) Definisi ini adalah definisi yang paling tradisional diantara beberapa definisi yang ada. Usaha yang bersifat informal mempunyai karakteristik : jarang mengikuti peraturan yang berlaku untuk mereka seperti mengenai pendaftaran, pembayaran pajak, kondisi pekerjaan dan lisensi untuk beroperasi. Perusahaan informal tidak hanya mereka yang mempekerjakan pekerja tetapi termasuk juga mereka yang dimiliki dan dijalankan sendiri oleh seseorang yang bekerja sebagai pekerja mandiri (self-employed). Dengan demikian, pedagang jalanan (independent street vendors), supir taxi dan pekerja yang bekerja dirumah yang dibayar berdasarkan jumlah yang dihasilkan, semuanya diaggap sebagai unit usaha. Pemilik usaha biasanya menyiapkan keuangan sendiri dengan resiko sendiri. Mereka juga jarang memilki sistem akuntansi.
Halaman 11 dari 60

2) Definisi berdasarkan atas kategori ketenagakerjaan Ketenagakerjaan informal adalah seluruh jenis pekerjaan yang memberikan pendapatan, baik pekerjaan mandiri dan pekerjaan dengan gaji, yang tidak diakui, diatur, atau dilindungi oleh hukum dan peraturan yang ada. Disini termasuk juga pekerjaan yang tidak memberikan penghasilan didalam perusahaan yang menghasilkan pendapatan. Ekonomi informal dapat digambarkan melalui kategori jenis pekerjaan sebagai berikut : a) Pekerja mandiri (self-employed), contohnya adalah own-account worker, pemimpin usaha keluarga dan pekerja keluarga yang tidak dibayar. b) Pekerja yang bergaji, contohnya pegawai perusahaan informal, pekerja tidak tetap tanpa majikan yang tetap, pekerja rumahan, pembantu RT yang dibayar, pekerja sementara dan paruh waktu, dan pekerja yang tidak terdaftar. c) Majikan, contohnya pemilik perusahaan dan pemilik yang menjalankan usaha informal. 3) Definisi berdasarkan atas lokasi pelaku ekonomi informal Definisi ini didasarkan atas gambaran lokasi dimana pekerja informal bekerja. Kategori-kategorinya adalah : a) Pekerja yang bekerja di rumah (home-based workers) : i. Pekerja rumah yang tidak bebas: Bekerja di rumah, diluar perusahaan yang membeli barang produksi mereka; Dengan perjanjian sebelumnya, sepakat untuk men-supply barang atau jasa ke perusahaan tertentu. Memperoleh pendapatan melalui pembayaran trehadap apa yang diproduksi. Tidak mempekerjakan pekerja secara teratur. ii. Pekerja rumah yang bebas, adalah mereka yang bekerja di rumah dan menyalurkan hasil produksi dan jasanya kepada pembeli yang prospektif. Karakteristik mereka adalah sebagai pekerja mandiri dan memiliki sifat dari pekerja account workers. b) Pedagang asongan jalanan dan pedagang kakilima di pinggir jalan. c) Pekerja musiman atau pekerja sementara di lokasi sekitar bangunan atau jalan yang sedang dikerjakan. d) Mereka yang bekerja diantara jalanan dan rumah, contohnya pemulung. b. International Conference of Labour Statisticians (ICLS) tahun 1993 membuat definisi ekonomi informal berdasarkan unit produksi sebagai berikut : unit usaha yang terlibat dalam produksi barang dan jasa dengan tujuan utama untuk menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi orang-orang
Halaman 12 dari 60

yang terlibat. Hubungan ketenagakerjaan, jika memang ada, kebanyakan atas dasar pekerjaan tidak tetap, persaudaraan atau hubungan pribadi dan hubungan sosial, dan bukan atas dasar persetujuan kontrak dengan jaminan formal. Selanjutnya konsep ini juga membedakan antara dua sub-kategori dari ekonomi informal, yaitu : 1) Perusahaan keluarga, terdiri dari pekerja mandiri, pekerja keluarga, pekerja magang, dan mereka yang tidak memiliki pegawai tetap. 2) Perusahaan kecil, terdiri dari unit usaha dengan pegawai berjumlah kurang dari 5 sampai dengan 10 orang, dan tidak terdaftar sebagai perusahaan. c. Canagarajah dan Sethuraman (2001) dari The Human Development Network, The World Bank, menyatakan bahwa ekonomi informal terdiri dari seluruh kegiatan ekonomi yang berada diluar kerangka institusional resmi. Akibatnya, pemerintah hanya memiliki kontrol yang kecil terhadap kualitas dari ketenagakerjaannya. Bahkan seringkali pemerintah pada kenyataannya tidak memiliki data statistik dari kelompok ini. Lebih lanjut disebutkan bahwa ada berbagai alasan mengapa kegiatan-kegiatan ini gagal untuk mengikuti kerangka institusional yang resmi. Sebagian besar dari usaha-usaha informal yang terlibat dalam produksi dan distribusi cenderung berskala sangat kecil, dimana orang-orang yang mendirikannya sangat kurang dalam hal pendidikan dan ketrampilan, dan hanya memiliki sedikit sumber daya untuk investasi fisik seperti pabrik dan perlengkapan, serta mesin-mesin. Agaknya kurang tepat juga jika disebutkan bahwa institusi-institusi formal adalah yang paling bertanggung jawab atas munculnya sektor informal. Selain peraturan-peraturan pemerintah, hukum-hukum kebiasaan/adat yang ada di masyarakat telah ikut mendorong timbulnya sektor informal dan menghambat usaha-usaha kecil untuk menjadi institusi formal. Di negara tertentu hukum sejenis ini mengatur alokasi tanah, pembagian warisan dan penerus keluarga, dan hak atas bangunan. Misalnya di Zaire, perempuan harus memperoleh ijin dan tanda tangan dari suaminya ketika akan membuka rekening di bank. Hal ini menghambat usaha informal, yang banyak dikelola oleh perempuan, untuk menjadi sebuah usaha formal. Kesimpulannya, ekonomi informal terbentuk sebagai akibat dari adanya hambatan baik dari sisi formal dan informal sekaligus. d. Chen, dkk (2004) dari The Commonwealth, mengemukakan terjadinya perubahan pandangan terhadap sektor informal sebagai akibat dari terjadinya perubahan lingkungan dari sektor informal tersebut. Pandangan yang baru dibandingkan dengan pandangan yang lama adalah sebagai berikut : \

Halaman 13 dari 60

Tabel 1. Pandangan Baru dan Lama atas Sektor Informal Pandangan Lama Pandangan Baru

Sektor informal adalah sektor tradisional yang Sektor informal akan tetap ada dan tumbuh akan hilang dengan pertumbuhan dan adanya bersama industri yang semakin modern. perindustrian modern. Produktivitas sektor informal rendah. Sektor informal merupakan penyedia kesempatan kerja dan produksi barang dan jasa bagi mereka yang berpendapatan rendah. Sumbangannya terhadap GDP juga cukup besar. Keberadaannya terpisah dengan sektor formal. Ada kaitan dengan sektor formal. Mereka produksi, berdagang, medistribusikan jasa untuk sektor formal. Sebagai tempat penampung kelebihan tenaga Sebagian besar sektor informal yang muncul kerja belakangan adalah karena berkurangnya kesempatan kerja di sektor formal atau karena perubahan dari pekerjaan sektor formal menjadi informal. Umumnya terdiri dari pedagang jalanan dan Terdiri dari jenis pekerjaan yang sangat luas, produsen skala kecil mulai dari buruh lepas disektor konstruksi dan pertanian hingga pekerja sementara dan paruh waktu, serta pekerja rumah dibidang teknologi tinggi. Umumnya pekerja sektor informal adalah Terdiri dari pekerja non-standar dengan wiraswasta yang mengelola usaha yang ilegal upah/gaji, wiraswasta dan pekerja mandiri yang dan tidak terdaftar karena menghindari peraturan memproduksi barang dan jasa yang legal. Kebanyakan wiraswsta dan pekerja mandiri tsb dan pajak. setuju dengan upaya-upaya untuk mempermudah pendaftaran dan membayar biaya transaksi serta mengikuti peraturan; pekerja non-standar juga setuju untuk memenuhi hak-hak pekerja dan pekerjaan yang lebih stabil. Pekerjaan informal pada umumnya terdiri dari Ekonomi informal tidak hanya terdiri dari kegiatan utuk mempertahankan hidup sehingga kegiatan-kegiatan untuk bertahan hidup, tapi tidak perlu masuk dalam kebijakan juga mencakup perusahaan stabil dan bisnis yang berkembang dinamis. Pekerja informal peekonomian. tidak hanya mereka yang bekerja sendiri tapi juga termasuk mereka yang menerima gaji. Seluruh jenis pekerjaan informal dipengaruhi oleh kebijakan perekonomian yang ada. e. Inventarisasi mengenai konsep dari sektor informal dilakukan oleh Blunch, dkk dari unit Social Protection, The World Bank (2001). Sektor informal sebagai konsep pertama kali diperkenalkan oleh Hart pada tahun 1971 sebagai sektor yang tidak terorganisir. Kemudian Kabra (1995) menambahkan bahwa konsep tersebut termasuk unit produksi yang berukuran kecil, termasuk kerajinan tangan yang bersifat domestik dan tidak terorganisir, yang juga termasuk dalam sektor non-moneter dari
Halaman 14 dari 60

perekonomian. Bromley (1978) menyatakan bahwa sektor tersebut merupakan dampak dari adanya konsep dual economy dimana sektor manufaktur (sektor modern) muncul dan tumbuh dengan melalui penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian (sektor tradisional) karena sektor manufaktur yang proses produksinya lebih efisien. Selanjutnya konsep dual economy (dikotomi modern-tradisional) lebih banyak membahas perbedaan sektor dalam hal teknologi yang digunakan, dan belakangan dalam hal organisasinya. Contoh dalam literatur adalah apa yang ditulis Geertz (1963) mengenai sektor informal di Indonesia. 3. Negara lain a. Unni dan Rani (2002) yang melakukan penelitian dengan dana dari ILO di Gujarat (India) menyatakan bahwa kesempatan kerja informal menjadi penampung kelompok penduduk yang termarjinalisasi sebagai strategi mempertahankan hidup. Kesempatan kerja di sektor informal ini tidak homogen melainkan terdiri dari berbagai kategori, seperti pekerja mandiri, buruh dengan upah, pekerja yang bekerja di rumah yang dibayar berdasarkan jumlah yang dihasilkan, dan kegiatan-kegiatan pekerjaan informal yang terorganisir yang dilakukan oleh pegawai. b. Di Kenya, melalui penelitian yang dilakukan oleh ILO pada tahun 1972, terlihat bahwa sektor tradisional pada saat itu, yang terdiri dari pedagang kecil, produsen kecil dan berbagai pekerjaan tidak tetap, tidak hanya sulit diatasi tetapi juga bahkan meluas menjadi meliputi usaha-usaha yang menguntungkan dan efisien, selain termasuk juga kegiatan-kegiatan yang marjinal (Chen, dkk. 2004). Untuk kepentingan ini maka digunakan istilah sektor informal dan bukan lagi sektor tradisional. c. Jhabvala (koordinator nasional SEWA di India) dan Sinha dalam tulisan berjudul Social Protection for Women Workers in the Informal Economy (2006), menyatakan bahwa perempuan dalam perekonomian informal tidak mempunyai akses yang mudah pada kesempatan kerja baru yang muncul karena mereka tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan. Akses pada pasar kerja hampir tidak ada, khusunya bagi pekerja perempuan miskin yang bekerja di rumah dan pekerja mendiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa di beberapa Negara di sub-Sahara Afrika, seluruh pekerja perempuan di sektor nonpertanian bekerja di pekerjaan informal. Contohnya, pekerja informal mencakup lebih dari 95 persen dari pekerja perempuan diluar pertanian di Benin, Chad, dan Mali. Di India dan Indonesia, pekerjaan informal mencakup 9 dari setiap 10 pekerja perempuan diluar pertanian. Di 10 negara Amerika Selatan dan di 4 negara Asia Timur, dimana tersedia datanya, separuh atau lebih dari separuh pekerja perempuan diluar pertanian bekerja pada sektor informal.

Halaman 15 dari 60

4. Di Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia selama ini menggunakan pengertian/definisi mengenai sektor informal berdasarkan kategori dari status pekerjaan dari pekerja. Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Seperti diketahui, sejak tahun 2001 BPS membagi status pekerjaan menjadi 7 kategori, yaitu: a. Berusaha sendiri b. Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar c. Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar d. Buruh/Karyawan/Pegawai e. Pekerja bebas di pertanian f. Pekerja bebas di non pertanian g. Pekerja tak dibayar Kategori huruf e dan f yang dikembangkan mulai pada publikasi 2001, pada tahun 2000 dan sebelumnya dikategorikan pada huruf d dan a (huruf e termasuk dalam d dan huruf f termasuk dalam a). Dari sekian banyak kategori status pekerjaan, hanya 2 kategori yang dapat disebut sebagai bekerja pada sektor formal, yaitu mereka yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai dan mereka yang berstatus sebagai majikan (kategori c dalam daftar kategori diatas). Selebihnya adalah mereka yang termasuk dalam sektor informal, yaitu mereka yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian, dan pekerja tak dibayar (termasuk pekerja keluarga). Dalam tabel dibawah, yang merupakan hasil analisis Susenas 2004, dengan mengikuti definisi yang selama ini digunakan, maka mereka yang tergolong sebagai pekerja sektor formal adalah sekitar 33,4 persen, yaitu mereka yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai dan mereka yang berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar. Dengan demikian pekerja di sektor informal di Indonesia adalah sebesar 66,6 persen.

Halaman 16 dari 60

Tabel 2. Status/Kedudukan dalam Pekerjaan Utama Tenaga Kerja Umur 10 Tahun ke Atas di Indonesia, 2004 Status/Kedudukan dalam Pekerjaan Utama Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tdk tetap/buruh tdk dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar Buruh/karyawan/pegawai Pekerja bebas di pertanian Pekerja bebas di non pertanian Pekerja tidak dibayar Total Sumber: Dianalisa dari BPS, Susenas 2004. Angelini dan Hirose dari kantor ILO Asia Tenggara dan Pasifik, dalam tulisannya Extension of Social Security Coverage for the Informal Economy in Indonesia, Surveys in the Urban and Rural Informal Economy (2004), mengemukakan sederet pemangku kepentingan (stake holders) di pemerintahan yang berpengaruh bagi sektor informal di Indonesia. Dari daftar tersebut terlihat bagaimana rumitnya jika ingin membenahi masalah perlindungan sosial, termasuk jaminan kesehatan, bagi sektor informal di Indonesia. 16.258.358 3.064.267 27.605.546 5.246.524 3.075.100 15.583.601 91.595.256 17,8 3,3 30,1 5,7 3,4 17,0 100,0 Jumlah 20.761.860 Persen 22,7

Halaman 17 dari 60

Tabel 3. Pemangku Kepentingan di Pemerintahan bagi Perekonomian Informal No. 1 2 Institusi Menteri Koperasi dan UKM Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan 3 4 Menteri Keuangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 5 Menteri Perindustrian dan Perdagangan 6 Menteri Pertanian Mendukung pengembangan teknik pertanian dan infrastruktur pertanian 7 Menteri Infrastruktur Regional 8 Pemerintah Provinsi Meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk membantu masyarakat lokal Mengadministrasikan program nasional dan lokal mewakili kementerian nasional 9 10 Pemerintah Kabupaten Menteri Sosial Mengadministrasikan program lokal tentang sektor informal Untuk mengembangkan program yang membantu orang miskin untuk menjadi mandiri 11 12 Menteri Kesehatan Bappenas Pelayanan dan promosi kesehatan dalam skema asuransi mikro Mengkoordinasikan aktivitas nasional maupun internasional untuk mengembangkan peluang di ekonomi informal 13 Menko Kesra Berusaha menyusun kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan Mengawasi dan mengatur skema pembiayaan mikro Mempromosikan dan mendukung penciptaan lapangan kerja dan standar kerja di ekonomi informal Meningkatkan kualitas dan output perusahaan di ekonomi informal Peran Mempromosikan dan mendukung pengembangan koperasi Meningkatkan peran dan perlindungan sosial bagi pekerja perempuan

Halaman 18 dari 60

Menurut URDI (Urban and Regional Development Institute) Sektor informal merupakan katup pengaman yang terbukti mampu menyerap sejumlah besar angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor formal (URDI, 2003). Di perkotaan, sektor informal menciptakan lapangan pekerjaan terutama kepada kelompok miskin. Dengan terlibat di sektor informal, kelompok tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga mereka dapat bertahan selama masa krisis. Angka statistik menunjukkan, sektor informal perkotaan (tempat terkonsentrasinya kelompok miskin) mencapai angka 39.3% pada tahun 1997, namun tahun 2001 meningkat menjadi 42.2%. Namun disayangkan, masih ada pandangan yang mengecilkan arti kegiatan ekonomi informal terutama di kota-kota besar yang dapat berdampak pada terus terpinggirkannya pekerja di sektor informal. Pendapat seperti itu juga tampaknya masih tertanam di benak aparat pemerintahan dan hal ini membutuhkan waktu dan upaya untuk dapat dirubah ke arah pemikiran yang mendukung kegiatan ekonomi informal. Untuk itu, pemahaman bersama antara stakeholder akan peran penting sektor informal terhadap perekonomian kota perlu dibentuk.

2.2 PROGRAM JAMINAN SOSIAL/KESEHATAN Dalam tulisan Canagarajah dan Sethuraman (2001) berkaitan dengan jaminan sosial bagi sektor informal, dikemukakan pendekatan dari ILO mengenai hal ini. Berdasarkan konvensi ILO no. 102 tahun 1952 yaitu konvensi tentang jaminan sosial, jaminan sosial didefinisikan sebagai jaminan yang dilakukan oleh masyarakat untuk: 1. Mengganti hilangnya pendapatan dari bekerja sebagai akibat beberapa kejadian seperti sakit, melahirkan, kecelakaan kerja, pengangguran, ketidakberdayaan, usia tua dan meninggalnya pencari nafkah. 2. Menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat 3. Memberikan tunjangan bagi keluarga yang memiliki anak kecil. Mekanisme jaminan sosial yang dibuat oleh ILO terdiri dari dua kategori yaitu; a) skema yang bertujuan untuk mempertahankan kapasitas pendapatan pekerja selama karirnya, b) skema yang menyediakan jaminan pendapatan kepada pekerja dan keluarganya setelah berakhirnya masa kerja, dan oleh karenanya mencegah dia masuk ke jurang kemiskinan. Skema yang bertujuan untuk mempertahankan kapasitas pendapatan secara umum terdiri dari pelayanan kesehatan, jaminan sosial selama periode ketidakberdayaan, perlindungan kehamilan bagi pekerja wanita, dan asuransi pengangguran. Sementara itu, skema yang bertujuan mempertahankan standar hidup pekerja dan keluarganya setelah masa kerja antara lain seperti skema pensiun dan asuransi sosial. Sementara itu Unni dan Rani (2002) membedakan antara jaminan ekonomi dan jaminan dasar sebagai kerangka kerja untuk perlindungan sosial. Perlindungan sosial meliputi hak-hak dasar seperti pendapatan, makanan,
Halaman 19 dari 60

kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal mengacu kepada hak asasi manusia. Sementara itu hak ekonomi seperti memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan dan adanya standar ketenagakerjaan yang menguntungkan pekerja. Sehingga, hak dasar adalah berlandaskan pada penduduk dan memiliki nilai universal sedangkan hak ekonomi berlandaskan pada pekerjaan. Hubungan keduanya terlihat jelas. 1. Jaminan dasar Perhatian utama pada periode 1990an adalah globalisasi dan meningkatnya informalisasi angkatan kerja yang berdampak negatif pada masyarakat khususnya masyarakat kecil. Hal ini telah membuat negara keluar dari berbagai aspek penyediaan barang dan jasa. Sebagai akibatnya, mekanisme pasar lebih diandalkan. Akses ke pelayanan dasar- seperti makanan, perumahan, pendidikan dan pembentukan ketrampilan -akan terpengaruh dengan hal ini. Implikasi selanjutnya, pendapatan rumah tangga dan distribusi pendapatan berdasarkan jenis kelamin juga akan berubah. 2. Jaminan ekonomi Globalisasi dunia telah mengubah struktur ketenagakerjaan yang semakin mirip antar negara dari waktu ke waktu. Selama dua dekade terakhir, di beberapa negara berkembang proporsi bekerja sendiri dalam angkatan kerja mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena beberapa hal, seperti berkurangnya kesempatan untuk bekerja dengan gaji tetap dan meningkatnya kecenderungan perusahaan dan sektor publik untuk membeli jasa daripada mempekerjakan orang. Kebanyakan pekerjaan yang tersedia adalah di perusahaan kecil yang terdiri dari orang yang bekerja sendiri di sektor informal hingga unit produksi yang agak rumit, yang mempekerjakan beberapa pekerja dengan upah. Beberapa dari pekerjaan ini memang memberikan jaminan pendapatan dan lingkungan kerja yang baik. Tapi banyak pula yang upahnya rendah, produktivitas rendah, berbahaya atau tidak ada perlindungan sosial. Bentuk pekerjaan lain yang juga meningkat jumlahnya adalah pekerjaan paruh waktu, pekerjaan sementara, pekerja bebas/lepas, pekerja rumahan dan pekerja jarak jauh. Pekerjaan-pekerjaan jenis seperti ini hanya sedikit yang memberikan jaminan pendapatan dan tunjangan jaminan sosial jika dibandingkan dengan pekerjaan tetap di kantor majikan. Di Kolombia pada awalnya pemerintah membatasi pilihan perusahaan asuransi kepada satu perusahaan penyelenggara (monopoli) dalam melaksanakan program jaminan kesehatannya (Bappenas, 2004) . Namun karena banyaknya keluhan terhadap kualitas program kesehatan ini maka pemerintah melakukan reformasi yang sangat mendasar. Program jaminan kesehatan pada dasarnya dibagi dua: Pertama adalah asuransi kesehatan wajib bagi pekerja formal yang disebut social health insurance (SHI). Kedua adalah program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin.

Halaman 20 dari 60

Program jaminan kesehatan bagi pekerja informal dan masyarakat miskin disubsidi oleh peserta pekerja formal dan pemerintah. Jumlah pekerja formal yang dicakup oleh SHI berjumlah sekitar 30 % dari penduduk. Penduduk miskin dan pekerja informal berjumlah sekitar 60 %. Mereka ini tidak mampu untuk membayar iuran jaminan kesehatan. Untuk itu pemerintah melakukan subsidi yang diambil dari anggaran pemerintah dan juga sumbangan 1 % dari pendapatan pekerja formal. Program jaminan kesehatan bersubsidi ini dilaksanakan melalui pemerintah daerah. Pemerintah daerah melakukan seleksi untuk memilih siapa yang berhak menerima bantuan uang iuran jaminan kesehatan. Setelah pemerintah daerah menentukan siapa yang berhak menerima maka pemerintah pusat mengirim dana tadi ke pemerintah daerah dan dana tersebut dibayarkan sebagai uang premi jaminan kesehatan kepada perusahaan penyelenggara jaminan kesehatan yang dipilih oleh pekerja informal dan penduduk miskin tadi. Dari 60% penduduk yang tergolong pekerja informal dan miskin tadi hanya sekitar 30 % yang berhak untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan atau hanya sekitar 20 % dari populasi. Dengan demikian masih ada sekitar 40 % penduduk yang tidak tercakup dalam program jaminan kesehatan. Mereka ini tidak tergolong miskin sehingga tidak berhak untuk memperoleh bantuan jaminan kesehatan tetapi tidak cukup mampu untuk membayar premi SHI sebesar 11 % dari pendapatan. Selain itu kebanyakan masyarakat yang dicakup adalah masyarakat perkotaan dan hanya sebagian masyarakat perdesaan. Ini merupakan tantangan berat yang sedang terus diupayakan untuk dipecahkan oleh pemerintah Kolombia. Jhabvala dan Sinha, dalam artikelnya berjudul Social Protection for Women Workers in the Informal Economy (2006), menyatakan bahwa isu utama dalam pengembangan perlindungan sosial bagi pekerja informal perempuan adalah bagaimana ini dapat diperoleh, dengan kepastian pelayanan yang sesuai, efisien, dan berkualitas, tepat waktu serta dekat dengan tempat tinggal. Skema yang tersedia adalah untuk sektor formal, namun memperluas perlindungan sosial pada sektor informal, terutama pekerja perempuan, tidak berarti hanya memperluas program yang ada. Ukuran dan sifat dari sektor informal, termasuk ragam dan letak geografis tempat kerja, perlu mendapat perhatian khusus. Pertama, hubungan perburuhan yang berbeda-beda, tentu saja akan sangat berbeda pula dengan yang ada di sektor formal. Kedua, hambatan terbesar untuk memperkenalkan skema asuransi sosial dengan sistem iuran kepada pekerja informal adalah tidak adanya majikan. Ketiga, tidak seperti sektor formal yang pekerjaannya tetap dan teratur, pekerja informal memerlukan jaminan pekerjaan, jaminan pendapatan, dan perlindungan sosial sekaligus. Keempat, kebutuhan pekerja perempuan berbedabeda, misalnya kebutuhan yang berorientasi untuk anak adalah prioritas bagi kebanyakan pekerja perempuan. Unni dan Rani (2003) dalam tulisan yang lain mengenai perlindungan sosial bagi pekerja informal, menawarkan kerangka kerja perlindungan sosial, termasuk jaminan kesehatan, bagi pekerja informal, sebagaimana dijelaskan dalam gambar 1 berikut ini.

Halaman 21 dari 60

Gambar 1. Kerangka Kerja Perlindungan sosial bagi pekerja informal Penyebab Insecurity Tiga Pilar Jaminan Lembaga Negara

Jaminan dasar Struktural Jaminan Ekonomi Goncangan Jaminan Sosial

Majikan Sektor Swasta Masyarakat Madani

Dengan kerangka kerja sebagaimana diuraikan diatas kemudian dibuat rincian khusus untuk beberapa jenis pekerja informal lengkap beserta ketiga pilar jaminan. Pada tabel 4 dibawah dapat dilihat bahwa jaminan dasar adalah kebutuhan bagi seluruh jenis pekerja informal dan menjadi tanggung jawab negara. Yang berbeda dari setiap jenis pekerja informal adalah jaminan ekonomi dan jaminan sosial. Disini jelas tampak bahwa walaupun keempat kelompok pekerja ini adalah termasuk pekerja informal, namun dari segi kebutuhan jaminan (terutama jaminan ekonomi dan jaminan sosial) akan berbeda. Hal ini tentu saja berkaitan dengan karakteristik dari masing-masing sub-kelompok yang berbeda satu sama lain. Dengan memahami apa penyebab dari ketidakamanan (insecurity) yang dialami oleh pekerja informal, maka akan dapat diperkirakan jaminan seperti apa yang diperlukan oleh mereka dan siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhinya. Seperti dipaparkan dalam gambar 1, bahwa jaminan sosial seyogyanya diberikan oleh negara bersama-sama dengan sektor swasta dan masyarakat madani. Sedangkan untuk jaminan ekonomi, selain negara maka majikan juga ikut bertanggung jawab untuk memberikannya kepada pekerja.

Halaman 22 dari 60

Tabel 4. Jaminan Sosial bagi Pekerja Informal Pekerja di Ekonomi Informal Bekerja Sendiri 3 Pilar Jaminan Jaminan Dasar Jaminan pangan Pelayanan kesehatan Pelayanan pendidikan Perumahan Produsen yang sangat tergantung pada pembelinya Upah minimum Prosedur Sub Kontrak Bahan baku Asosiasi informal perumahan dan pergudangan Kebijakan perdagangan Infrastruktur perkotaan Kebijakan ruang perkotaan Kartu identitas/lisensi Dana kesejahteraan sosial Badan tripartite Jaminan kesehatan Jaminan Ekonomi Kebijakan kredit Akses ke pasar Ratio harga input/output Asosiasi dagang Pasar kerja Ketrampilan Teknologi Jaminan Sosial Asuransi kesehatan Tunjangan kecelakaan Tunjangan hari tua/pensiun Tunjangan melahirkan Perawatan orang tua Perawatan anak-anak

Pedagang kaki lima

Asuransi kesehatan Tunjangan kecelakaan Tunjangan hari tua/pensiun Tunjangan melahirkan Perawatan orang tua Perawatan anak-anak Dana cadangan

Pekerja yang menerima upah

Investasi di industri domestik Badan industri tradisional Upah minimum Hari kerja minimum

Halaman 23 dari 60

GTZ yang memberikan bantuan dan melakukan perbandingan antara negara-negara berkembang mengenai perlindungan sosial (2005), mengungkapkan antara lain: 1. Filipina, PhilHealth (perusahaan asuransi kesehatan nasional) menawarkan 4 skema dalam program kesehatan yang ditanganinya: a. Program pembayaran individu : di desain untuk pekerja mandiri (self-employed) dengan target anggota yang beragam, mulai pekerja mandiri profesional (seperti dokter) hingga pekerja perekonomian informal (seperti pedagang jalanan). Iuran untuk program ini adalah tetap dan dapat dibayar setiap 3 bulanan, 6 bulanan atau tahunan. b. Program untuk pegawai : iuran dibayar oleh pegawai (1,25 persen dari gajinya) dan majikan dengan persentase tertentu. Iuran ini telah mengalami penyesuaian secara progresif setiap waktu dengan menetapkan besarnya iuran tertinggi. c. Program untuk fakir miskin dengan bantuan (sponsor) : ditujukan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada kelompok yang termarjinalisasi di Filipina, yaitu mereka yang tidak memiliki pendapatan dan tidak memiliki asuransi kesehatan. Program ini dilaksanakan bersama dengan unit pemerintah setempat. Keluarga calon penerima bantuan harus melewati seleksi (means test), yaitu dengan dilakukan survei sosial untuk menentukan kemampuan mereka untuk membayar premi. Unit pemerintah lokal (dimana keluarga tersebut tinggal) dan pemerintah pusat/nasional akan memberikan subsidi premi bagi anggota yang mendapat bantuan/sponsor. Premi tahunan untuk program ini adalah tetap. Unit pemerintah lokal akan membayar persentase tertentu (antara 10-50 persen), sisanya akan dibayar oleh pemerintah pusat. Pemerintah lokal dapat juga meminta bantuan dari pihak lain seperti badan pemerintah pusat, legislatif dan perusahaan swasta. d. Program tanpa membayar : program ini ditujukan kepada anggota yang telah mencapai usia pensiun (biasanya 60 tahun) dan paling tidak telah melakukan iuran selama 120 bulan. Dengan peraturan yang baru, kepada kelompok terorganisir yang membuat kontrak pendaftaran dengan PhilHealth dapat diberikan diskon atas premi yang harus dibayar, dengan ketentuan jumlah anggota yang memenuhi syarat. Semakin banyak jumlah anggota dari kelompok tersebut, maka semakin besar diskon atas premi yang dapat diberikan kepada kelompok tersebut. Diskon dapat diberikan karena pendaftaran secara kelompok akan meringankan beban administrasi bagi PhilHealth, dibandingkan jika mendaftar secara individu. 2. India, pemerintahnya dalam upaya mereformasi kebijakan perlindungan sosial, telah melakukan strategi untuk manajemen resiko yang terintegrasi dengan adanya kerjasama antara pemerintah, sektor swasta seperti perusahaan asuransi, organisasi masyarakat madani, dan kelompok mandiri atau jaringan berbasis komunitas.
Halaman 24 dari 60

Uni Micro Health Insurance adalah contoh yang baik mengenai pemberian paket komprehensif untuk sektor informal. Program ini merupakan kerjasama antara organisasi mandiri di bidang kesehatan dan pembangunan pedesaan (SHEPHERD) dan United Indian Insurance Company (UIIC). Untuk mendesain produk asuransi yang khusus, SHEPHERD dan UIIC bersama dengan calon klien mengembangkan paket asuransi yang disebut Uni Micro Health Insurance Scheme. Paket ini merupakan kombinasi antara asuransi kesehatan dengan cakupan atas kematian, kecacatan dan kehilangan atau kerusakan atas rumah/tempat tinggal. Karena paket produk ini berbeda dengan skema asuransi lain, maka paket ini harus mendapat persetujuan dari yang berwenang dalam hal peraturan. 3. Tanzania, organisasi pemerintah dan non-pemerintah berusaha untuk memperbaiki pemberian pelayanan kesehatan. Pemerintah bertanggung jawab akan fasilitas kesehatan umum dan mendanai program-program pemberian pelayanan bagi kelompok rentan. Sebagai majikan, pemerintah juga membayar iuran ke National Health Insurance Fund (NHIF) bagi pegawainya, yang merupakan kewajiban bagi pegawai negeri. NHIF juga bekerja sama dengan TNCHF (organisasi non-pemerintah di bidang kesehatan) untuk dapat saling mempelajari pengalaman masing-masing dalam hal metodologi dan asuransi kesehatan. Di Dar es Salaam, organisasi payung bagi wiraswastawan di sektor informal, VIBINDO, berusaha mengasuransikan anggotanya untuk mengatasi biaya sakit. Organisasi ini membuat program asuransi mikro sendiri yang berbasis pada koperasi pekerja. Dengan 10 skema, mereka berhasil mencakup 1.000 klien, tapi jumlah ini masih terlalu kecil untuk kota dengan penduduk sebesar 3 juta orang. Masalah utama skema asuransi kesehatan yang dikelola sendiri adalah karena kecilnya keuntungan dari usaha anggota yang seringkali tidak memiliki tempat usaha permanen dan tidak memiliki pendapatan tetap. 4. Paraguay, Selain pemerintah yang bertanggung jawab atas masalah kesehatan nasional, skema lain juga ditawarkan oleh penyedia pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk membantu masyarakat tidak mampu. Dalam hal ini proyek dari Konfederasi Serikat Pekeja Paraguay patut mendapat perhatian. Mereka mencoba untuk memberdayakan infra struktur yang selama ini kurang berfungsi karena pemisahan yang selama ini terjadi di masyarakat. Pelayanan kesehatan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Paraguay dilakukan dengan bekerja sama dengan sektor kesehatan angkatan bersenjata. Sementara angkatan bersenjata masih tetap melakukan pelayanan kesehatan dengan jaringan yang banyak sekali, beberapa serikat pekerja melakukan negosiasi dengan beberapa fasilitas, terutama di ibukota Asuncion, untuk mencari jalan agar para pekerja dan keluarganya memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. 5. Chile adalah salah satu dari beberapa negara di Amerika Selatan yang memberikan cakupan menyeluruh dalam bidang kesehatan. Hal ini dapat terjadi karena adanya kombinasi dari sistem Bismarck dan Beveridge. Perekonomian formal dan sebagian dari sektor informal tergantung pada sistem asuransi dengan pembayaran iuran. Penduduk miskin dilindungi dengan sistem kesejahteraan yang dibiayai melalui pajak
Halaman 25 dari 60

dan dikelola oleh skema asuransi kesehatan publik yang sama. Disamping beberapa keterbatasan dalam hal konsep dan pembayaran yang relatif tinggi oleh mereka yang mampu, kedua sub-sistem adalah didasarkan pada prinsip kebersamaan dan kombinasi keduanya menjamin terjadinya pendanaan yang meningkat dan re-distribusi yang efektif dalam sektor pelayanan kesehatan publik. Beberapa perkecualian dan pembebasan didalam sistem publik telah mengurangi efek sosial negatif dan diskriminasi yang diakibatkan oleh pembayaran sendiri (out-of-pocket). Secara keseluruhan, dibawah atap FONASA (badan yang bertanggung jawab atas kesehatan nasional) hubungan antara sistem kontribusi dan non-kontribusi yang efektif telah dilaksanakan dan dikelola secara berkesinambungan. 6. Vietnam , dalam beberapa tahun belakangn ini terdapat 2 program utama untuk pengentasan kemiskinan, agar akses terhadap pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin dan rentan dapat meningkat. Kedua program tersebut adalah : a. Health Care Fund for the Poor : dimulai sejak tahun 2001 sebagai mekanisme jaring pengaman sosial untuk memperbaiki akses pada pelayanan kesehatan dan melindungi kaum miskin dari biaya kesehatan yang membebani. Manajemen dana tersebut ada dibawah pengawasan Komite Masyarakat tingkat Propinsi. Propinsi dapat memilih apakah akan mengeluarkan kartu sehat untuk kaum miskin atau menyediakan pelayanan gratis di fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat (biaya ditanggung bersama dengan pemerintah pusat, 70 persen, dan pemerintah propinsi). Penduduk miskin yang terdaftar akan menerima kartu sehat yang sudah dibayar penuh dan dengan kartu itu mereka berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif. Kantor asuransi sosial propinsi memberikan kartu asuransi kesehatan kepada rumah tangga-rumah tangga ini. Daftar rumah tangga miskin didefinisikan dari Kantor Menteri Tenaga Kerja (MOLISA) berdasarkan garis kemiskinan nasional, dengan ikut memperhatikan konteks lokal. Pada tingkat paling bawah (grassroots), Komite Masyarakat untuk Pengentasan Kemiskinan menyeleksi rumah tangga yang akan dimasukkan dalam daftar. Sampai saat ini pemerintah telah mengalokasikan dana untuk menerbitkan 3,8 juta kartu sehat gratis. Penduduk miskin yang tidak memiliki kartu sehat masih bisa mendapat bantuan apabila Komite Masyarakat tingkat Propinsi secara langsung membayar fasilitas kesehatan. b. Programs for children under 6 : Pada tanggal 26 Agustus 2004, pemerintah Vietnam dalam kaitan dengan konvensi anak, telah membuat persetujuan untuk program lain dalam pengentasan kemiskinan, yang ditujukan khusus pada pelayanan kesehatan bagi anak-anak sekolah dibawah usia 6 tahun. 7. Laos, lebih dari 80 persen penduduknya adalah pekerja sektor informal dan pada saat ini tidak tercakup dalam kedua program jaminan sosial yang ada, yaitu program jaminan sosial swasta dan publik. Departemen Kesehatan kemudian mengupayakan pemberian jaminan sosial bagi masyarakat ini dengan melalui asuransi kesehatan sukarela berbasis masyarakat (CBHI= community-based health insurance).
Halaman 26 dari 60

Sebenarnya kelebihan dari proyek hasil kerjasama antara Departemen Kesehatan dan WHO ini adalah bahwa proyek CBHI ini telah menggunakan desain skema asuransi, mekanisme manajemen, dan sistem evaluasi, seperti yang telah diimplementasikan dengan baik pada organisasi jaminan sosial swasta. Contohnya : a. Pendaftaran berdasarkan keanggotaan keluarga b. Tidak ada pembayar lain c. Paket manfaat yang diberikan pada skema sektor informal adalah sama dengan program jaminan sosial lain d. Pembayaran penyedia pelayanan adalah berdasarkan kapitasi e. Kedua sistem menggunakan ATD (Admission-Transfer-Discharge) sistem informasi kesehatan Disamping kesamaan struktur yang dijalankan, CBHI masih menghadapi berbagai masalah, seperti yang umum dihadapi oleh sistem asuransi mikro berskala kecil, yaitu antara lain : a. Jumlah anggota sangat terbatas dan kapasitasnya terlalu kecil untuk dapat ekspansi menuju cakupan yang berskala besar b. Di distrik Sisathanak pada skema pertama telah mengalami tingkat drop-out yang tinggi (31 persen) c. Iuran banyak yang terlambat dibayar (sekitar 17 - 47 persen dari anggota terlambat membayar) d. Pekerja kesehatan memperlihatkan sikap yang negatif kepada pasien yang dijamin karena mereka tidak bisa memperoleh tambahan keuntungan. Sebagai dampaknya, mereka cenderung memberikan obat berlebih demi mengurangi waktu konseling dan pasien merasa puas e. Anggota memiliki ekspektasi yang tidak realistis dalam pemberian pelayanan dan cenderung berlebihan dalam menggunakan manfaat f. Ukuran keluarga yang lebih besar pada skema CBHI (rata-rata 5,6) menyebabkan lebih tingginya biaya kesehatan per keluarga dibandingkan sektor formal g. Biaya transportasi ke rumah sakit, terutama rumah sakit rujukan, telah menyebabkan masalah keuangan bagi anggota karena transportasi tidak dicakup dalam paket manfaat Dari pilot proyek didapat bukti bahwa CBHI adalah sistem yang memungkinkan akses kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk berpendapatan rendah. Namun demikian, memperluas keanggotaan tetap menjadi prioritas utama. Juga diperlukan untuk memperoleh tambahan pendapatan agar dapat mencakup kaum miskin. Hal ini dapat diperoleh melalui peningkatan iuran secara bertahap atau melalui akses pada dana modal dari donor internasional.

Halaman 27 dari 60

2.3. PERATURAN/REGULASI TERKAIT SEKTOR INFORMAL DAN JAMINAN KESEHATAN DI INDONESIA Tabel 5. Peraturan/Regulasi Terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No 1. Peraturan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Ringkasan Isi - Undang-Undang ini dibuat untuk mengatur sistem jaminan social nasional yang bertujuan memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. - SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. - SJSN dijalankan oleh sebuah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang terdiri dari Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes. Jika diperlukan dapat dibentuk badan yang baru dengan UU. - Dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional yang bertanggung jawab kepada presiden dengan fungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Tugas dewan ini ada tiga yaitu melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial, mengusulkan kebijakan investasi dana jaminan sosial nasional dan mengusulkan angaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah. Penetapan PT TASPEN (Tabungan Asuransi Pegawai Negeri) sebagai pelaksana dari jaminan hari tua bagi pensiunan pegawai negeri. Iuran kepesertaan untuk program ini dipotong dari gaji pegawai negeri setiap bulan. Penetapan PT ASABRI (Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sebagai pelaksana dari jaminan hari tua bagi pensiunan ABRI. Bahwa peran tenaga kerja yang semakin penting dalam pembangunan nasional memerlukan peningkatan perlindungan bagi mereka, baik yang terikat kontrak pekerjaan maupun tidak, dengan memberikan jaminan sosial agar memberikan ketenangan bekerja dan meningkatkan disiplin dan produktifitas kerja. Dalam rangka pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, maka diperlukan PP untuk pedoman implementasinya. PP ini mendasari terbentuknya Perseroan Terbatas Jaminan Sosial Tenaga Kerja dari sebelumnya PT ASTEK, yang bertugas melaksanakan program jaminan sosial bagi tenaga kerja.

2.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 1981 Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 1991 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992

PT TASPEN

3. 4.

PT ASABRI Jaminan Sosial Tenaga Kerja

5. 6.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 1993 Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 1995

Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Halaman 28 dari 60

Tabel 6. Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Kesehatan (JPKM, Askeskin) No 1. Peraturan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Ringkasan Isi - Kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin. - Pengaturan pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). SK ini menugaskan PT Askes dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin dengan berbasis asuransi sosial. Asuransi inilah yang kemudian sering disebut dengan istilah Askeskin. Prinsip penyelenggaraan program Askeskin : Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan jaminan pemeliharaan kesehatan menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dimulai untuk masyarakat miskin. Pada prinsipnya penyelenggaraan Askeskin merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan pusat. Penyelenggaraan Askeskin mengacu pada prinsip-prinsip : - pengelolaan dana amanat dan nirlaba semata-mata demi kesehatan masyarakat miskin, - pelayanan kesehatan bersifat menyeluruh sesuai standar pelayanan medik - pelayanan kesehatan dilaksanakan dengan prinsip terstruktur dan berjenjang - portabilitas dan ekuitas - mekanisme asuransi sosial dengan iuran peserta dibayar pemerintah - transparansi dan akuntabilitas Program Askeskin ini dilakukan oleh PT ASKES.

2.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1241/MENKES/SK/ XI/2004, tanggal 12 Nopember 2004 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 332/Menkes/ SK/V/2006

3.

Penugasan PT Askes dalam pengelolaan program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin (Askeskin) Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin tahun 2006 (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin [ASKESKIN]). Dengan adanya peraturan ini maka Kepmenkes No 56/Menkes/SK/I/2005 tentang penyelenggaraan JPKM menjadi tidak berlaku.

Halaman 29 dari 60

Tabel 7. Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Sosial (ASKESOS) No 1. Peraturan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Tahun 2002, pasal 28 ayat 3 huruf H dan pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 Tentang Penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terutama bagi keluarga miskin Ketentuan ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Ringkasan Isi - Setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. - Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. UU memberi penegasan bahwa setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaikbaiknya dan seluruh masyarakat dan pemerintah ikut serta dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial sebagai bagian yang integral dari usaha-usaha pembangunan nasional. UU ini juga menjadi dasar pelaksanaan kegiatan-kegiatan Askesos dan BKSP. - Walau berbagai upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial telah dilaksanakan pemerintah namun masih banyak PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) di masyarakat. - Askesos adalah bentuk jaminan sosial bagi kelompok masyarakat pekerja mandiri dan mereka yang bekerja di sektor informal, yang diharapkan dapat mempertahankan stabilitas pendapatan warga, sekaligus mencegah terjadinya kemiskinan. - BKSP merupakan usaha perlindungan dan jaminan penghidupan bagi warga yang karena kondisinya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari luar dirinya dan tidak didasarkan kontribusi yang bersangkutan (misalnya jompo terlantar, cacat ganda, psikotik, dan eks penyakit kronis). - BKSP dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi PMKS Non Potensial agar dapat hidup secara wajar, terpenuhinya kebutuhan dasar hidup. - Sehingga dapat memelihara taraf kesejahteraan sosial serta melembaganya masyarakat untuk memberikan perlindungan sosial secara berkelanjutan kepada PMKS Non Potensial. - Sasaran pelayanan BKSP adalah PMKS Non Potensial yang meliputi : (a) lanjut usia terlantar, (b) penderita cacat ganda terlantar, (c) eks penyakit kronis, (d) penyandang psikotik terlantar Panduan Umum Jaminan Kesejahteraan Sosial digunakan sebagai acuan penyelenggaraan kegiatan Jaminan Kesejahteraan Sosial agar ada kesamaan persepsi dan pemahaman bagi petugas Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Desa dan Kelurahan,

2.

3.

Keputusan Menteri Sosial RI No 51/HUK/ 2003

Program Jaminan Sosial bagi Masyarakat Rentan dan tidak Mampu Melalui Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) dan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP)

4.

Keputusan Menteri Sosial RI No 44/HUK/ 2004

Pelaksanaan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP)

5.

Keputusan Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial No. 23/BJS/2005

Panduan Umum Jaminan Kesejahteraan Sosial

Halaman 30 dari 60

No

Peraturan

Tentang

Ringkasan Isi Lembaga Pelaksana dan Tim Pengelola serta masyarakat umum lainnya. Peraturan ini mengatur petunjuk penyaluran dan pencarian dana klaim Askesos dan BKSP

6.

Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 30 Tahun 2006

Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER- 30/PB/2006, ttg Petunjuk Penyaluran dan Pencairan Dana Klaim Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS) dan Dana Stimulan Bantuan Kesejahteraan Sosial Permanen (BKSP)Program Jaminan Kesejahteraan Sosial Melalui Lembaga Pelaksana ASKESOS dan BKSP

Tabel 8. Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Tenagakerja dan Transmigrasi No 1. Peraturan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Ringkasan Isi Mencakup segala hal mengenai tenaga kerja, seperti: larangan diskriminasi dalam pekerjaan; perencanaan tenagakerja; pelatihan kerja; pelayanan penempatan tenagakerja; penggunaan tenagakerja asing; hubungan kerja dan hubungan industrial; lembaga dan sarana hubungan industrial; perlindungan tenagakerja; dan pengawasan ketenagakerjaan. Peraturan ini membahas tentang penyelenggaraan program Jamsos bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.

2.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. PER-24/MEN/ VI/2006

Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Yang Melakukan Pekerjaan Di Luar Hubungan Kerja

Halaman 31 dari 60

Tabel 9. Peraturan/Regulasi Terkait Departemen Perindustrian dan Perdagangan No 1. No. dan Tahun Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Kewajiban Pendaftaran Perusahaan Ringkasan Isi Istilah pekerja informal tidak dikenal oleh institusi ini. Yang ada yaitu pengusaha kecil yang berstatus informal, yaitu mereka yang usahanya tidak terdaftar di Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Juga mereka yang berusaha sendiri disebut usaha informal.

Dari paparan mengenai regulasi/peraturan diatas nampak bahwa dalam UU SJSN No. 40/2004 juga tercakup pengaturan atas badan-badan penyelenggara jaminan sosial seperti Jamsostek, Askes, Taspen, Asabri. Seperti diketahui, keberadaan badan-badan penyelenggara jaminan sosial ini sudah lebih dahulu dibanding UU SJSN yang baru (dapat dilihat dari peraturan pemerintah yang melandasinya). Hal ini berarti bahwa implementasi dari UU SJSN yang baru tidak bisa begitu saja mengesampingkan segala ketentuan yang sudah ada mengenai badan-badan penyelenggara jaminan sosial tersebut. Pembuatan perangkat peraturan dalam rangka pelaksanaan dari UU ini harus disesuaikan dengan ketentuan yang ada menyangkut badan-badan tersebut. Jika ternyata ada ketentuan baru yang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ada sebelumnya, maka ketentuan lama harus dirubah lebih dahulu agar ketentuan yang baru dapat digunakan secara legal. Selain itu, selama ini di Indonesia sudah berjalan beberapa program jaminan sosial dan jaminan kesehatan melalui beberapa institusi. Jamsostek dengan didukung landasan hukum yang cukup kuat dan sudah berjalan cukup lama adalah salah satu penyelenggara program jaminan sosial yang selama ini sudah diterima masyarakat pekerja. Program JPKM dan Askeskin yang masih dijalankan sampai saat ini adalah merupakan contoh program pemerintah (melalui Departemen Kesehatan), yang dalam pelaksanaannya tidak selalu sama untuk setiap daerah/kabupaten/kota. Program-program ini memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Departemen lain, misalnya Departemen Sosial, telah meluncurkan program Askesos (Asuransi Kesejahteraan Sosial) yang mempunyai target sasaran masyarakat miskin pula, terutama pekerja mandiri dan pekerja informal. Dengan disahkannya UU SJSN yang mengatur sistem jaminan sosial nasional, maka keberadaan program-program jaminan sosial dan jaminan kesehatan yang sudah ada lebih dahulu perlu dipertimbangkan, apakah akan diteruskan pelaksanaannya atau akan diintegrasikan kedalam UU yang baru.

Dalam hal perangkat hukum yang menjadi landasan pelaksanaan sebuah program pemerintah, nampak bahwa program Askesos dari Depasos telah didukung oleh perangkat hukum yang memadai mulai dari tingkat atas (UU) hingga di tingkat bawah (Keputusan Dirjen). Bahkan program ini telah mendapat dukungan dari Dirjen Perbendaharaan, Departemen Keuangan, sebagai pedoman pelaksanaan pencairan dana klaim Askesos dan BKSP. Untuk pelaksanaan JPKM dan Askeskin, Departemen Kesehatan telah pula memiliki ladasan hukum
Halaman 32 dari 60

yang cukup memadai walaupun tidak selengkap yang dimiliki Askesos. Yang agak kurang mengikuti kaidah yang biasa dalam hal landasan hukum bagi sebuah program adalah program yang dicanangkan oleh Menteri Tenaga Kerja bekerja sama dengan Jamsostek. Program penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang bekerja diluar hubungan kerja (istilah bagi pekerja informal) ini diluncurkan melalui Peraturan Menteri No 24 Tahun 2006. Dengan mengacu kepada UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta beberapa Peraturan Pemerintah (PP), tanpa adanya Keputusan ditingkat Menteri program ini langsung sudah diujicobakan. Argumentasi yang diberikan oleh pejabat yang bersangkutan mengenai hal ini adalah justru Peraturan Menteri ini digunakan sebagai pancingan agar terbentuk perangkat hukum lain yang diperlukan. Karena selama ini mereka merasakan terjadinya kekosongan dalam hal perangkat hukum yang diperlukan padahal masalah pekerja yang bekerja diluar hubungan kerja atau pekerja sektor informal ini mendesak untuk diselesaikan.

2.4 PROGRAM JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA Untuk mengoptimalkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan mengurangi tingkat kemiskinan di segala aspek, dan dengan meningkatkan standar kehidupan masyarakat, maka diperlukan berbagai program perlindungan sosial untuk seluruh masyarakat. Di Indonesia selama ini telah dikenal berbagai program jaminan sosial sebagai bagian dari kebijakan perlindungan sosial, namun program tersebut masih dirasakan kurang memadai. Beberapa ciri utama dari perlindungan sosial di Indonesia adalah (Lindenthal, 2004): 1. Jangkauan program terbatas, hanya mencakup sebagian kecil penduduk Indonesia, yaitu pegawai negeri, anggota TNI, dan sebagian karyawan swasta; 2. Ketergantungan yang sangat besar terhadap keluarga dekat dan jauh serta masyarakat sekitar; 3. Ketergantungan yang terbatas kepada pengusaha melalui peraturan ketenagakerjaan, seperti tunjangan sakit, melahirkan, dan pemutusan hubungan kerja (PHK); 4. Pilihan asuransi sosial yang terbatas untuk karyawan swasta; 5. Paket layanan dan tunjangan sosial yang komprehensif tersedia hanya untuk pegawai negeri dan anggota TNI; 6. Layanan untuk masyarakat miskin yang berbentuk subsidi dan distribusi dana tunai sering mengalami kebocoran dan ketidak-adilan sehingga penduduk yang tidak miskin memperoleh bantuan. Hal ini karena kapasitas pemerintah daerah yang rendah dan menimbulkan biaya administrasi yang tinggi; 7. sistem kesehatan yang kekurangan dana dan penyediaan layanan kesehatan yang kurang memadai bagi warga negara Indonesia. Beberapa program jaminan sosial yang ada dan dapat ditemukan di masyarakat antara lain adalah :

Halaman 33 dari 60

1. Asuransi Kesehatan (ASKES) Penyelenggara Asuransi Kesehatan di Indonesia adalah PT Askes, dimana 100 persen kepemilikannya adalah milik pemerintah RI dibawah Departemen Kesehatan. Tujuan dibentuknya Askes adalah untuk menunjang kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya, serta pembangunan di bidang asuransi khususnya asuransi kesehatan bagi PNS, penerima pensiunan, veteran, perintis kemerdekaan berserta keluarganya, dan peserta lainnya serta menjalankan jaminan pemeliharaan kesehatan dengan menerapkan prinsip-prinsip perseroan terbatas. Bentuk-bentuk kegiatan Perseroan tersebut adalah; a. menyelenggarakan asuransi kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), penerima pensiunan, veteran, perintis kemerdekaan, beserta keluarganya. b. menyelenggarakan asuransi kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) bagi Pegawai dan Peneriman Pensiunan Badan Usaha dan Badan lainnya. c. menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai ketentuan undang- undang yang berlaku.

b. Premi asuransi ditarik melalui pemotongan gaji PNS/ABRI setiap bulannya dengan persentase tertentu. Selain melayani seluruh aparat PNS/ABRI dan pesiunannya, PT Askes juga menyelenggarakan asuransi kesehatan untuk komersil, dengan target masyarakat dengan penghasilan tetap (kelompok menengah keatas). Peserta askes jenis ini adalah peserta PT Askes dalam program Asuransi Kesehatan Sukarela, dimana premi yang dibayarkan lebih besar dari premi yang ditetapkan kepada peserta Askes yang berasal dari PNS/ABRI. Jenis asuransi komersil lainnya yang ditawarkan oleh PT Askes adalah Askes Diamond, Askes Platinum, Askes Gold, Askes Silver, Askes Blue, dan Askes Alba. 2. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) Berbeda dengan askes yang sebagian besar atau peserta utamanya adalah PNS/militer, Jamsostek adalah layanan jaminan kesejahteraan bagi buruh dan pegawai swasta. Misi dari Jamsostek adalah : a. Meningkatkan dan mengembangkan Mutu Pelayanan dan Manfaat kepada peserta berdasarkan Prinsip Profesionalisme. b. Meningkatkan jumlah kepesertaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja c. Meningkatkan Budaya Kerja melalui kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan penerapan Good Corporate Governance (GCG) d. Mengelola dana peserta secara optimal dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian (prudent) e. Meningkatkan Corporate Values dan Corporate Images.
Halaman 34 dari 60

Manfaat perlindungan dari Jamsostek adalah agar dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas kerja. Program ini merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap resiko-resiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya apabila terjadi resiko-resiko sosial ekonomi, dengan mekanisme asuransi yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan dalam bentuk 4 program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Premi Program Jaminan Hari Tua (JHT, untuk pegawai yang sudah pensiun umur 55 tahun) ditanggung bersama oleh perusahaan dan tenagakerja sendiri. Perusahaan membayar premi Jamsostek sebesar 3,7 persen dan pekerja atau buruh membayar hanya 2 persen. Sedangkan besarnya premi Jamsostek untuk program Jaminan pemeliharaan Kesehatan (JPK), yang harus dibayar perusahaan dirinci sebagai berikut: a. 3% dari upah tenaga kerja (maks Rp 1 juta ) untuk tenaga kerja lajang. b. 6% dari upah tenaga kerja (maks Rp 1 juta ) untuk tenaga kerja berkeluarga. Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab perusahaan sehingga perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) yang berkisar antara 0,24% sampai dengan 1,74% sesuai kelompok jenis usaha. Jaminan Kematian (JK) diperlukan sebagai upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Pengusaha wajib menanggung iuran Program Jaminan Kematian sebesar 0,3 % dengan jaminan kematian yang diberikan adalah Rp 7.5 Juta terdiri dari Rp 6 juta santunan kematian dan Rp 1.5 juta uang pemakaman dan santunan berkala. 3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) JPKM (2001-2005) merupakan kelanjutan dari program-program sosial sebelumnya yang dibuat untuk mengatasi krisis multi dimensi yang dialami masyarakat. Dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) tahun 1998-2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001, dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPSBBM) tahun 2002-2004. JPKM dirancang untuk memberi manfaat kepada semua pihak yang terkait dengan pemeliharaan kesehatan, baik masyarakat konsumen jasa kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dijenjang pelayanan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga, para badan penyelenggara (Bapel), pemerintah serta dunia usaha. Manfaatnya bagi masyarakat adalah :
Halaman 35 dari 60

a. Masyarakat terlindung/terjamin dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. b. Masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan paripurna (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif). c. Masyarakat memperoleh biaya yang ringan untuk kesehatan karena asas usaha bersama dan kekeluargaan dalam JPKM memungkinkan subsidi silang yang mana yang sehat membantu yang sakit dan yang muda membantu yang tua d. Terjaminnya pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. e. Meningkatnya derajat kesehatan masyarakat utamanya melalui upaya preventif, promotif agar seseorang tidak jatuh sakit. 4. ASKESKIN Askeskin atau asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin adalah JPKM khusus untuk masyarakat atau keluarga miskin (JPKMM atau JPK-Gakin). Pada akhir tahun 2004, pemerintah melalui Menteri Kesehatan dengan SK No. 1241/MENKES/SK/XI/2004, tanggal 12 Nopember 2004, menugaskan PT Askes dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin dengan berbasis asuransi sosial. Asuransi inilah yang kemudian sering disebut dengan istilah Askeskin. Prinsip penyelenggaraan JPKMM ini adalah diselenggarakan secara serentak di seluruh Indonesia sehingga terjadi subsidi silang, mengacu pada prinsip asuransi kesehatan sosial dan managed care, dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, menjaga tranparansi dan akuntabilitas, menjamin profitabilitas dan ekuitas dan diselenggarakan dengan konsep nirlaba. Premi untuk JPKMM ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah (sebagai bentuk kompensasi pengurangan subsidi BBM) sehingga masyarakat miskin tidak perlu membayarnya. Tujuan umum program JPKMM adalah untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu, agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk: a. meningkatnya jumlah masyrakat miskin yang mendapatkan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya. b. meningkatnya jumlah masyarakat miskin yang mendapatkan pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit, BP4 dan BKMM/BKIM. c. Terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat miskin sesuai standar d. Meningkatnya kepuasan masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan. e. Terlaksananya pengelolaan keuangan yang akuntabel f. Terselenggaranya kegiatan yang safe-guarding. g. Terselenggaranya kegiatan pendukung pelayanan kesehatan

Halaman 36 dari 60

Penentuan peserta Askeskin/JPKMM diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang mengacu pada data BPS. Berdasarkan daftar dari Bupati/Walikota kemudian dibuat kartu peserta Askeskin oleh PT Askes. Selama masa transisi, Masyarakat Miskin yang belum mempunyai kartu peserta Askeskin dapat menggunakan Surta Keterangan Tidak Mampu (SKTM)/Kartu Sehat/ Kartu Subsidi Langsung Tunani (SLT)/Kartu Gakin. Penerbitan dan distribusi kartu samapi ke peserta menjadi tanggunga jawab PT Askes dan bekerjasama dengan pemerintah daerah. 5. SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan Kartu Sehat Pada prinsipnya kartu sehat dan SKTM adalah sama, yakni surat keterangan tidak mampu yang bisa dimanfaatkan pemegangnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Sebelum program JPKMM diluncurkan pemerintah secara serentak sebagai bentuk dari kompensasi pengurangan subsidi BBM, beberapa pemerintah daerah sudah menjamin masyarakatnya yang miskin untuk mendapatakan pelayanan kesehatan secara gratis. Misalnya Pemda DKI Jakarta, sudah memberikan kartu sehat kepada warganya yang tidak mampu sejak tahun 2001. Sementara SKTM adalah Surat Keterangan Tidak Mampu atau Surat Keterangan Miskin dari pemerintah, yang diperoleh dengan cara harus mendapatkan persetujuan dari tingkat aparat pemerintah mulai RT sampai Kelurahan, diberikan kepada warga miskin yang tidak memiliki kartu sehat sebagai pengganti kartu sehat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis. Pelayanan ini bisa didapat di seluruh puskesmas di daerah tersebut, dan beberapa rumah sakit umum daerah yang ditunjuk pemerintah daerah tersebut. Pihak puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pemegang kartu sehat berhak mengklaim semua biaya yang dikeluarkan kepada pemerintah daerah tersebut. Jadi pemegang kartu sehat atau SKTM tidak membayarkan premi, karena sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. 6. Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) Askesos yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial (Depsos) adalah sistem perlindungan sosial bagi masyarakat pekerja mandiri dan pekerja di sektor informal dalam bentuk jaminan pengganti pendapatan keluarga, yang disebabkan peserta atau tertanggung mengalami penurunan atau kehilangan pendapatan akibat sakit, kecelakaan atau meninggal dunia. Dengan demikian Askesos diharapkan dapat mempertahankan stabilitas pendapatan warga, sekaligus mencegah terjadinya kemiskinan. Manfaat dari Askesos bagi pekerja mandiri dan pekerja informal adalah : a. Mendapatkan pengganti pendapatan (income) bila peserta mengalami musibah, menderita sakit, mengalami kecelakaan atau meninggal dunia. b. Memiliki tabungan yang sesuai dengan premi yang dibayarkan setiap bulan, karena premi/iuran akan dikembalikan ada atau tidak ada klaim.
Halaman 37 dari 60

c.

Mempertahankan pendapatan apabila pencari nafkah utama mengalami musibah.

d. Mendorong pola hidup hemat dan membiasakan menabung. Selain Depsos di tingkat nasional sebagai perumus kebijakan dan sebagai pengawas, instansi sosial propinsi dan kabupaten/kota menetapkan lembaga pelaksana Askesos, dan melakukan pembinaan. Lembaga pelaksana atau organisasi sosial (orsos), yang harus berbadan hukum, melakukan seleksi peserta, memberikan bimbingan dan motivasi, mengelola dana Askesos, mengadakan pembinaan lanjut serta melaporkan penyelenggaraan secara berjenjang. Yang dapat menjadi peserta Askesos termasuk : a. pedagang kecil (tukang jamu gendong, tukang kelontong, sembako, penjaja makanan keliling, penjual rokok pinggir jalan, dsb) b. penjual jasa (tukang tambala ban, tukang becak, tukang ojek, dll) c. buruh tani dan nelayan.

Mereka adalah pencari nafkah utama keluarga yang bekerja pada sektor informal atau pekerja mandiri, dengan penghasilan minimal Rp 200.000,-/bulan, berusia 21-60 tahun atau sudah menikah, serta memiliki identitas diri yang sah.

Halaman 38 dari 60

BAB III TEMUAN HASIL STUDI LAPANGAN


3.1 SEKTOR INFORMAL Definisi Sektor Informal, Kriteria, Dasar Hukum, Pengelompokkan dan Koordinasi dari Berbagai Institusi. Dari berbagai kunjungan ke berbagai institusi, baik institusi pemerintah maupun non-pemerintah, di wilayah Jawa Tengah dan di DKI Jakarta, ditemukan beberapa definisi atau pengertian yang berbeda mengenai sektor informal. Namun demikian pengertian-pengertian yang beragam tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa definisi dengan mengacu pada karakteristik khusus dari sektor informal yang digunakan masingmasing institusi. 1. Menurut PT Jamsostek, definisi dari sektor informal adalah tidak adanya hubungan industrial dan tidak berdasarkan kontrak kerja. Yang termasuk dalam kelompok pekerja sektor informal misalnya, pekerja keluarga, pekerja mandiri (self-employed, kecuali akuntan, dokter, notaris yang berbadan hukum), pekerja lepas/serabutan (casual workers) seperti buruh tani dan nelayan. Dengan berpijak pada UU no.3/1992 (tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja), PT Jamsostek bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mulai menjangkau sektor informal dalam hal jaminan sosial. Karena pekerja informal tidak memiliki pendapatan tetap, maka untuk penghitungan premi digunakan besarnya upah minimum. Selain dengan Depnakertrans dan Disnakertrans, Jamsostek juga berkoordinasi dengan Pemda dan Biro Pusat Statistik (BPS). 2. Badan Pusat Statistik di tingkat pusat sekarang menetapkan definisi kelompok pekerja informal dengan menggunakan kriteria yang merupakan kombinasi dari Status Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Utama. Untuk lebih jelasnya tabel dibawah ini dapat dijadikan acuan.

Halaman 39 dari 60

Tabel 10. Penetapan Kelompok Pekerja Informal Berdasarkan Status Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Utama
Jenis Pekerjaan Utama Status Pekerjaan Berusaha Sendiri Berusaha dengan Bantuan Buruh Tidak Tetap Berusaha dengan Bantuan Buruh Tetap Buruh/Karyawan/Pek erja Dibayar Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas di Non Pertanian Pekerja Tak Dibayar
Tenaga Profesional Tenaga Kepemimpinan Pejabat Pelaksan a & Tata Usaha Tenaga Penjualan Tenaga Usaha jasa Tenaga Usaha Pertanian Tenaga Produksi Tenaga Operasional Pekerja Kasar Lain nya

F F F F F F INF

F F F F F F INF

F F F F F F INF

INF F F F INF INF INF

INF F F F INF INF INF

INF INF F F INF INF INF

INF F F F INF INF INF

INF F F F INF INF INF

INF F F F INF INF INF

INF INF F F INF INF INF

Sumber: Dianalisa dari Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Katalog BPS: 3402, Februari 2006, Badan Pusat Statistik, Jakarta Catatan : F = FORMAL; INF = INFORMAL

Berbeda dengan definisi pekerja informal yang pernah digunakan oleh BPS sebelumnya, penggunaan kombinasi dari status pekerjaan dan jenis pekerjaan utama tampaknya lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sebelumnya, BPS hanya berpatokan pada status pekerjaan untuk menentukan pekerja informal, yaitu mereka yang berstatus sebagai berusaha sendiri, berusaha dengan buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non-pertanian, dan pekerja tidak dibayar. Tentu saja perubahan definisi pekerja sektor informal ini akan membawa dampak pada perubahan dalam penghitungan jumlahnya. BPS juga telah berkoordinasi dengan beberapa instansi seperti Depsos, Depkes, Depnaker, BKKBN dalam pembuatan kriteria-kriteria penduduk yang patut menerima bantuan dari pemerintah (contohnya untuk penerima Bantuan Langsung Tunai atau BLT). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 yang dilakukan BPS menyajikan data pekerja informal di Indonesia yang proporsinya lebih besar dari pekerja di sektor formal, yaitu sebesar 61,2 persen. Sebagian besar dari pekerja informal adalah perempuan (65 persen) sedangkan pekerja formal didominasi oleh laki-laki (lihat tabel 6).

Halaman 40 dari 60

Tabel 11. Status Tenaga Kerja Umur 10 Tahun ke Atas Berdasarkan Sektor Formal dan Informal & Jenis Kelamin, Indonesia 2004 Status Tenaga Kerja Informal Formal Total Jenis Kelamim Laki-laki Perempuan 59,2 65,0 40,8 35,0 100 100.0 Total 61,2 38,8 100.0

Sumber : Dianalisa dari BPS, Susenas 2004.

Tabel 12. Kategori Lapangan Usaha Sektor Informal Berdasarkan Klasifikasi Desa/Kelurahan, Indonesia 2004 Kategori Lapangan Usaha Pertanian, perburuan, & kehutanan Perikanan Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air Konstruksi bangunan Perdagangan besar & eceran Penyediaan akomodasi/makanan minuman Transportasi, pergudangan, & komunikasi Perantara keuangan Real estate, usaha persewaan & jasa perusahaan Administrasi pemerintahan Jasa pendidikan Jasa kesehatan & kegiatan sosial Jasa kemasyarakatan, sosial, & perorangan Jasa perorangan yg melayani rumah tangga Kegiatan yg belum jelas batasannya Total
Sumber : Dianalisa dari BPS, Susenas 2004.

Perkotaan (%) 24.3 3.4 0.7 6.8 0.1 5.5 37.4 1.7 11.3 0.0 0.4 0.0 0.0 0.2 3.3 4.5 0.2 100.0

Pedesaan (%) 76.4 2.4 0.4 3.5 0.0 2.0 10.0 0.2 3.3 0.0 0.1 0.0 0.0 0.1 0.6 1.0 0.1 100.0

Total (%) 63.1 2.7 0.5 4.3 0.0 2.9 17.0 0.6 5.3 0.0 0.1 0.0 0.0 0.1 1.3 1.9 0.1 100.0

Sedangkan jika dilihat lapangan usaha dimana pekerja sektor informal bekerja, jelas terlihat bahwa sebagian besar dari mereka (63,1 persen) berada pada lapangan usaha pertanian, perburuan dan kehutanan, yang proporsi terbesarnya berada di daerah pedesaan. Selain sektor pertanian, lapangan usaha lain yang banyak diminati oleh pekerja informal adalah perdagangan besar dan eceran. Untuk sektor ini kebanyakan dari mereka berusaha di daerah perkotaan (lihat tabel 7).

Halaman 41 dari 60

Badan Pusat Statistik juga memberikan saran untuk penetapan kelompok penduduk mana yang patut mendapat bantuan atau yang tidak perlu bantuan dalam rangka kepesertaan dalam jaminan sosial dan kesehatan. Saran tersebut adalah bahwa pekerja tidak dibayar tidak usah diikutkan dalam asuransi kesehatan karena mereka bukan pekerja. Mereka umumnya adalah anak sekolah atau ibu rumah tangga yang merupakan anggota keluarga dari pemilik usaha, yang sudah sewajarnya menjadi tanggung jawab si pemilik usaha. Pekerja yang mungkin tidak mampu membayar kepesertaan asuransi kesehatan adalah buruh lepas atau pekerja bebas, baik mereka yang di pertanian maupun non-pertanian. Pada umumnya, lebih dari 50 persen, mereka adalah penduduk miskin (dengan pendapatan dibawah Rp. 152.000,-/bulan). Lebih lanjut pihak BPS juga menyarankan untuk melihat juga pendapatan selain status pekerjaan dan jenis pekerjaan utama, dalam menentukan kelompok pekerja informal yang tidak mampu untuk membayar kepesertaan jaminan sosial dan kesehatan, sehingga mereka perlu dibantu. Untuk menentukan siapa-siapa yang memang pantas dibantu, data yang dikeluarkan BPS harus diuji publik lebih dahulu. Misalnya dengan mengadakan rembug desa terbuka dan penentuan siapa penerima bantuan tidak dilakukan oleh hanya 1 orang. 3. PT Askes, belum metetapkan secara khusus definisi ataupun kriteria bagi sektor informal. Untuk jaminan kesehatan bagi kelompok masyarakat seperti sektor informal, di Askes dikenal sebagai pelayanan Jaminan Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (divisi JKPBI). Penerima Bantuan Iuran atau PBI adalah kelompok penduduk tidak mampu yang untuk menjadi peserta jaminan kesehatan preminya dibayari sepenuhnya oleh pemerintah. Untuk mengetahui siapa Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau masyarakat yang tergolong miskin, dasarnya adalah ketetapan dari masing-masing bupati/walikota, dimana kriteria yang digunakan berbeda untuk daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam penentuan kriterianya masing-masing daerah berkoordinasi dengan Dinas Sosial, BKKBN, BPS, Dinas Kesehatan setempat. Menurut Surat Edaran dari Menko Kesra, mulai tahun 2007 acuan pokok untuk program-program kemiskinan harus menggunakan data BPS. Namun ketetapan tersebut dirasakan oleh berbagai pihak bahwa landasan hukumnya kurang kuat. Data BPS harus disertai verifikasi dengan melakukan uji publik, misalnya dengan mengadakan rembug desa terbuka untuk menegaskan siapa-siapa yang memang pantas menerima bantuan dari pemerintah. Apabila jaminan kesehatan akan diberikan khusus kepada sektor informal, maka beberapa aspek dari sektor informal yang perlu diperhatikan adalah : a. definisi nya apa ? b. bagaimana menentukan premi dengan tepat c. bagaimana mengumpulkan premi dengan tepat (misalnya untuk petani yang panen 3 bulan sekali).

4. Depnakertrans, definisi sektor informal sebagai mereka yang bekerja diluar hubungan kerja, terutama di tingkat pusat dan di tingkat propinsi (Dinas Nakertrans Propinsi). Contoh yang diberikan untuk mereka yang
Halaman 42 dari 60

berada diluar hubungan kerja adalah pekerja mandiri, pekerja keluarga dan pekerja bebas, yang tidak mempunyai ketrampilan dan memiliki penghasilan dibawah rata-rata serta tidak tetap. Umumnya kelompok penduduk seperti ini termasuk dalam penduduk miskin. Definisi yang sama digunakan juga oleh kantor PT Jamsostek (di pusat dan di daerah) dengan beberapa penyesuaian. Hal ini disebabkan karena PT Jamsostek bekerja sama dengan Depnakertrans untuk memberikan jaminan sosial bagi pekerja diluar hubungan kerja. Pada saat ini program tersebut masih dalam tahap sosialisasi di beberapa daerah. Kerjasama ini dalam rangka pelaksanaan dari UU no. 3/1992 (tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja) pasal 4 ayat 2 dan Peraturan Menteri Nakertrans no. 24/2006. Untuk ini Depnakertrans berkoordinasi dengan Depsos, MennegKop & UKM, dan ILO. Dinas Nakertrans Kabupaten Klaten menjelaskan lebih lanjut bahwa, pengertian pekerja formal adalah : ada pemberi kerja, ada yang diberi kerja dan ada upah yang diberikan. Dengan demikian, pekerja informal merupakan kebalikan dari pekerja formal, yaitu : tidak ada yang memberi kerja, tidak ada yang diberi kerja dan tidak ada upah yang diberikan. Dasar hukum yang dijadikan pijakan adalah UU no. 13/2003 (tentang Ketenagakerjaan), khususnya mengenai pekerja. Oleh Dinas Nakertrans Kabupaten Purbalingga ditambahkan dan diperjelas lagi, bahwa pengertian untuk sektor informal termasuk : a. tidak mempunyai majikan/pengusaha/boss (seperti pedagang asongan dan tukang rokok) b. tidak memiliki ketrampilan atau keahlian c. tidak menggunakan modal (biasanya pinjam pada pihak lain) d. jenis pekerjaannya khusus (sifatnya kasar, diluar pabrik dan pendidikan rendah). Di Purbalingga banyak terdapat pekerja lepas (kebanyakan ibu-ibu rumah tangga) yang bekerja dirumahrumah, yang kemudian menyetor hasil pekerjaannya ke pabrik. Banyak pula penduduk yang bekerja di perkebunan di Kalimantan, sehingga Dinas Nakertrans mengadakan kerjasama dengan perusahaan perkebunan di Kalimantan. 5. Departemen sosial (Depsos) Sektor informal adalah: mereka yang mempunyai penghasilan tidak tetap. Contohnya : tukang ojeg, tukang becak, penjual jamu gendong. Pada umumnya mereka masuk dalam kelompok keluarga miskin (Gakin) yang berpenghasilan dibawah Rp. 200.000,-. Pengertian mengenai sektor informal ini digunakan baik di Depsos pusat maupun di daerah dan menjadi acuan untuk pelaksanaan program Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos). Program Askesos ini ditujukan untuk membantu mereka yang berpenghasilan sangat rendah ketika terjadi gangguan terhadap kelancaran penghasilan, misalnya karena sakit atau meninggal. Dasar hukum untuk sektor informal ini tidak ada persis, namun program ini mengacu pada UUD 1945, UU no. 6/1974 ( tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial), dan UU no. 39/1999 (tentang Hak Asasi Manusia). Koordinasi dengan Depnakertrans dilakukan oleh Depsos khusus untuk menangani pekerja-pekerja informal.
Halaman 43 dari 60

6. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag) memiliki definisi yang agak berbeda mengenai sektor informal adalah yang digunakan oleh. Deperindag dan jajarannya di tingkat propinsi dan kabupaten/kota melihat sektor informal sebagai usaha kecil yang tidak terdaftar secara resmi. Di Klaten memang ada jenis usaha yang karena sifat usahanya tidak memerlukan ijin (yaitu usaha yang dilakukan oleh dirinya sendiri, tidak melibatkan tenaga kerja, kecuali yang berasal dari keluarga sendiri). Untuk ini ada pengecualian dari Pemerintah Daerah tentang ijin usaha perdagangan. Karena Deperindag berurusan dengan perusahaan-perusahaan yang harus didaftar (yang berarti formal), maka jika ada perusahaan yang tidak didaftar, itu berarti dia informal. Biasanya jenis usaha seperti ini dikelola oleh seorang wiraswasta, tanpa menggunakan tenaga kerja dari luar lingkungan keluarganya. Contohnya adalah pedagang keliling, warung/pedagang pinggir jalan. Untuk ketentuan mengenai usaha kecil informal, jajaran Deperindag mengacu pada UU 9/1995 (tentang pendaftaran perusahaan). Dalam melaksanakan tugasnya Deperindag berkoordinasi dengan Menteri Negeri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Departemen Pekerjaan Umum, Depnakertrans, Depsos, Depkes. 7. Departemen Kesehatan sebetulnya tidak memiliki definisi khusus untuk sektor informal. Namun demikian pengertian mengenai sektor informal yang diajukan oleh Dinas Kesehatan propinsi Jawa Tengah, adalah pekerja a) yang jam kerjanya tidak tetap dan tidak terjangkau peraturan-peraturan tertulis; b) yang modalnya kecil; dan c) yang sifatnya kekeluargaan. Dasar hukum khusus untuk definisi sektor informal belum ada di Depkes, namun untuk pembinaan kesehatan masyarakat (termasuk pekerja) dapat dilihat UU Kesehatan no. 23/1992. Pengertian lain mengenai sektor informal menurut Dinas Kesehatan Klaten adalah kelompok penduduk miskin. Kriteria penduduk miskin ini mengacu pada kriteria yang digunakan BKKBN. Pada saat ini, khusus untuk program Askeskin (Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin), kriteria penduduk miskin mengacu pada data yang dikumpulkan oleh BPS. Koordinasi yang telah dilakukan selama ini adalah dengan Depnakertrans dan Deperindag. Sedangkan Dinas Kesehatan Purbalingga menyatakan bahwa definisi sektror informal adalah individu atau kelompok yang tidak ada organisasi yang menaunginya dan pendapatannya tidak tetap (tergantung kerjanya). Dasar hukum untuk sektor informal ini sebetulnya belum jelas. Namun apabila sektor informal ini dikaitkan dengan penduduk miskin, maka khusus untuk kabupaten Purbalingga kriteria penduduk miskin sudah ditetapkan oleh bupati dengan SK Bupati. Data penduduk miskin yang digunakan adalah data dari BPS, terutama untuk program Askeskin. Pengelompokan pekerja informal di Purbalingga terutama berkaitan dengan program Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dalam upaya mengelola kesehatan kerja mereka dengan membentuk pos UKK. Program Upaya Kesehatan Kerja (UKK) ini mencakup kelompok-kelompok tukang bakso, pedagang kakilima, pemecah batu, supir angkot, buruh tani.

Halaman 44 dari 60

Koordinasi dan kerja sama dilakukan dengan Dinas Nakertrans (untuk Pos Sentinel di daerah industri dan pabrik) dan bagian Pembinaan Kesra Pemda (Sekda) yang menjadi koordinator untuk dapat masuk ke sektor lain. 8. Dinas Pertanian dan Kehutanan Purbalingga menyatakan bahwa institusi mereka tidak mengenal adanya pekerja formal dan informal. Mereka hanya mengenal pembagian petani sebagai : petani pemilik, petani penyewa dan buruh tani. Karena sifat pertanian di Indonesia adalah subsisten, dengan karakteristik seperti : a) lahan yang digarap sempit, b) tidak untuk bisnis, c) jika tidak ada pekerjaan di pertanian, petani akan pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan (jika tidak pergi mencari pekerjaan mereka akan membentuk penganggur tidak kentara); maka sebagian besar dari mereka sebetulnya dapat dikategorikan sebagai pekerja informal. Untuk membantu produk pertanian Dinas Pertanian dan Kehutanan berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian (untuk proses produksi) dan Dinas Perdagangan (untuk pemasaran) serta dengan Koperasi.

3.2.

PROGRAM JAMINAN SOSIAL DAN JAMINAN KESEHATAN

Jaminan Sosial/Kesehatan untuk Sektor Informal, Kepesertaan dan Kontribusi, Efektifitas dan Efisiensi, serta Koordinasi antar Instansi. Berbagai informasi mengenai jaminan sosial dan jaminan kesehatan diperoleh dari hasil penelusuran lapangan di propinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta di berbagai institusi. 1. PT Jamsostek yang bekerja sama dengan Depnakertrans telah menelurkan sebuah Peraturan Menteri Nakertrans tentang penyelenggaraan program jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan diluar hubungan kerja. Pada intinya, dengan menggunakan upah minimum regional/kabupaten/kota sebagai dasar penghitungan premi, pekerja informal (yang dianggap sebagai pekerjaan di luar hubungan kerja) ditawarkan untuk menjadi peserta program jaminan sosial yang termasuk didalamnya jaminan kesehatan. Khusus untuk pekerja informal, mereka diberikan kesempatan untuk memilih minimum 2 program dari 4 program jaminan sosial yang tersedia. Dengan kontribusi sebesar persentase tertentu (yang lebih kecil dari yang berlaku untuk pekerja formal), pekerja informal peserta program ini dapat memperoleh manfaat yang sama dengan apa yang diperoleh pekerja sektor formal. Yang mempunyai peran penting dalam program ini adalah adanya wadah kelompok yang menjadi tempat bagi pekerja informal untuk bergabung. Wadah ini disyaratkan oleh Peraturan Menteri Nakertrans no. 24/2006 yang menjadi dasar pelaksanaannya. Pada saat ini program ini masih bersifat pilot project dan hambatan yang dirasakan antara lain adalah dalam hal pelaksanaan sosialisasi dan adanya kenyataan bahwa usaha informal mudah dan sering mengalami kebangkrutan dan kemudian usaha tersebut bubar.
Halaman 45 dari 60

2. Dinas Kesehatan Purbalingga: Sejak tahun 2001 hingga 2005 program JPKM sebagai kelanjutan JPS-BK sudah berjalan dengan baik di wilayah Purbalingga dengan kepesertaan mencapai 68 persen dari total penduduk kabupaten. Khusus untuk program JPKM di Purbalingga terdapat 3 kriteria penduduk : a. Strata I = Penduduk Miskin (tidak mampu), premi dibayari oleh pemerintah, kepesertaannya wajib. b. Strata II = Penduduk Pasca Miskin (setengah mampu, dulu miskin tapi sekarang belum mampu), premi setengah dibayar pemerintah, setengah dibayar sendiri, kepesertaannya sukarela. c. Strata III = Penduduk Mampu, premi dibayar sendiri sepenuhnya.

Sistem rekrutmen JPKM selama ini melalui pertemuan kelompok di desa dimana kader menjual premi, kemudian hasilnya diserahkan kepada koordinator JPKM di Puskesmas. Pelaksanaan program ini belakangan menjadi tidak efisien dengan dijalankannya program Askeskin, karena seluruh penduduk (baik yang miskin dan tidak miskin) berharap mendapat pelayanan kesehatan secara gratis, sebagaimana ditawarkan oleh program Askeskin. 3. Dinas Pertanian dan Kehutanan Purbalingga: untuk pelayanan kesehatan para petani memperoleh bantuan dari koperasi selain terdapat juga JPKM. Dari pihak koperasi petani dapat dibantu dalam hal rawat inap. Selain itu ada organisasi petani yang disebut KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) yang dapat juga memberikan bantuan kepada petani, selain memiliki program arisan dan simpan pinjam bagi anggotanya. Program Askeskin belum berjalan dengan baik di wilayah ini.

3.3 POLA PENCARIAN PENGOBATAN BAGI KELOMPOK INFORMAL Pengumpulan informasi mengenai pola-pola pencarian pengobatan dari beberapa kelompok pekerja sektor informal telah memberikan gambaran bagaimana kelompok masyarakat tertentu di daerah tertentu memiliki cara berbeda dalam hal mengatasi masalah kesahatan mereka. 1. Persatuan Pedagang dan Jasa Pasar (PPJP), Pasar Karang Ayu, Semarang. Dalam hal terjadinya masalah kesehatan maka narasumber pedagang pasar Karang Ayu, Semarang, mengatakan bahwa pengobatannya lebih banyak dilakukan sendiri atau jika memang dirasa perlu, mereka akan pergi ke dokter praktek umum walaupun harus membayar Rp. 25.000,- setiap kali berkunjung. Mereka merasa kurang mantap untuk berobat ke Puskesmas, adalah alasan yang dikemukakan mengapa lebih memilih pergi ke dokter praktek walau dengan biaya yang lebih tinggi dibandingkan Puskesmas. Pendapatan pedagang di pasar memang beragam, dari yang rendah Rp. 600.000,-/bulan hingga yang tinggi yang dapat mencapai beberapa juta rupiah. Pada umumnya pedagang pasar Karang ayu menggunakan pendapatannya, tabungan (yang kecil jumlahnya), arisan atau pinjaman (umumnya pada lintah darat) untuk membayar keperluan-keperluan mereka, termasuk untuk pengobatan. Dari sekitar 400 pedagang, hanya 20
Halaman 46 dari 60

pedagang yang sudah menjadi peserta Jamsostek (program untuk pekerja informal). Umumnya mereka belum memiliki kesadaran untuk menabung dan mengikuti asuransi kesehatan. Alasan lain mengapa mereka belum menjadi peserta program adalah karena faktor umur (umumnya mereka sudah lanjut usia) dan dokter yang menjadi rujukan Jamsostek lokasinya jauh dari tempat tinggal mereka, serta tidak adanya teman yang mereka kenal yang sudah menjadi peserta. Nampaknya sosialisasi program menjadi faktor penting jika perluasan kepesertaan Jamsostek bagi pedagang pasar dan pekerja informal ingin dilakukan dimasa yang akan datang. 2. UKK (Upaya Kesehatan Kerja) Pemecah Batu, Pegandan, Semarang UKK ini merupakan binaan dari Puskesmas Pegandan, Semarang. Pos UKK ditangani oleh kader sukarela yang sudah dilatih sebelumnya dan merupakan upaya Dinas Kesehatan untuk membantu pelayanan kesehatan (promotif dan preventif) di tempat kerja, terutama bagi kelompok pekerja informal. Pelayanan yang diberikan adalah pelayanan kesehatan sederhana dan jika masalah berlanjut akan dirujuk ke rumah sakit. Sebagai perangsang, pada awal berdirinya UKK Dinas Kesehatan akan memberikan dana operasional sebesar Rp. 3 juta yang dapat digunakan untuk membeli peralatan keperluan bekerja seperti masker, sarung tangan, dan sebagainya. Selanjutnya masyarakat diharapkan dapat mengelola sendiri UKK yang sudah berjalan, misalnya dengan mengumpulkan iuran, dibawah pengawasan Puskesmas. Pada kenyataannya, pekerja pemecah batu di Pegandan jika mengalami masalah kesehatan akan pergi ke dokter atau bidan dengan membayar Rp. 25.000,-. Mereka agak enggan pergi ke Puskesmas karena meragukan keampuhan pengobatannya. Jika mereka tidak punya uang untuk membayar dokter, mereka akan berusaha untuk pinjam uang pada keluarga atau tetangga. Bagi yang memiliki Askeskin (tidak semua memilikinya) tentu saja akan mendapat pelayanan gratis di fasilitas kesehatan. Atau dengan memproleh SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari kelurahan masyarakat kurang mampu dapat juga memperoleh pelayanan gratis di fasilitas kesehatan. Pemecah batu yang juga pemegang kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai) ternyata juga dapat berobat gratis. Program JPKM kelihatnnya tidak berjalan dengan baik di daerah ini. 3. Paguyuban Rejeki, Koperasi PKL, Klaten Organisasi perkumpulan pedagang kakilima di Klaten ini didirikan pada tahun 1984 dengan jumlah anggota sebanyak 237 pedagang. Organisasi yang tujuan pendiriannya adalah memperjuangkan nasib anggotanya yang ketika itu mengalami penggusuran oleh petugas Pemda setempat, saat ini sudah menempati lokasi yang disediakan oleh Pemda di kota. Di lokasinya sekarang, pedagang harus membayar retribusi dan listrik.Dengan pendapatan sekitar Rp. 15.000,- perhari, mereka dapat dikatakan tidak mempunyai tabungan atau jika memang ada, jumlahnya kecil sekali. Salah seorang pengurus paguyuban mengatakan bahwa jika mengalami masalah kesehatan biasanya dia berobat sendiri atau pergi ke dokter. Jika ada kebutuhan mendadak yang cukup besar, dia dapat menjual beras yang dihasilkannya dari pekerjaan sampingannya
Halaman 47 dari 60

sebagai petani di tempat tinggalnya. Disamping keperluan rumah tangganya yang terdiri dari istri dan 1 orang anak, sebagai anggota masyarakat di lingkungannya, rumah tangga ini masih mampu mengikuti kegiatan koperasi dengan membayar iuran setiap bulan Rp 2000,-, mengikuti pengajian 2 kali dalam sebulan dengan membayar iuran Rp 1000,- setiap kali datang. 4. Asosiasi PKL, Paguyuban (Pra-Koperasi) Mayong Indah, Purbalingga Sebagai paguyuban yang diakui oleh Pemda kota setempat, para pedagang yang tergabung dalam paguyuban ini dapat memperoleh berbagai fasilitas untuk berdagang. Mereka boleh menempati tepi sebuah jalan yang diperuntukkan bagi mereka dengan ukuran yang dapat dipilih sesuai dengan kemampuan. Tempat berdagang tersebut juga memperoleh naungan tenda yang dapat dibeli dengan mencicil ke Dinas Perindag setempat. Dengan keuntungan sekitar Rp 50.000,- per hari seorang pengurus paguyuban yang berdagang sate dapat menghidupi keluarga dengan 6 orang anak. Selain keperluan rumah tangga, pedagang kakilima ini juga masih harus membayar cicilan tenda sebesar Rp 85.000,- per bulan, retribusi (Pemda) sebesar Rp 2.000,- per hari, kebersihan/sampah Rp 200,- per hari, dan iuran air dan listrik. Disamping kewajiban-kewajiban tersebut pedagang juga mengikuti arisan bulanan yang besarnya Rp 100.000,- (dan ditambah Rp 5.000,- untuk konsumsi), yang uangnya disetor setiap hari sebesar Rp 3.500,-. Ada pula arisan mingguan yang disetor setiap hari sebesar Rp 10.000,-. Jika dijumlahkan pengeluaran rutin seorang pedagang setiap bulan, yang berkaitan dengan usaha dagangnya, paling tidak mereka mengeluarkan uang sebesar sekitar Rp 500.000,-. Apabila mengalami masalah kesehatan mereka dapat menggunakan fasilitas JPKM yang mereka ikuti di tempat tinggalnya dengan iuran sebesar Rp 25.000,- per tahun. Program ini dikelola oleh PKK setempat dan pada umumnya para istri yang mengurus kepesertaan keluarga mereka dalam program tersebut. Dengan demikian apabila ada yang sakit mereka dapat berobat di Puskesmas atau RSUD dengan gratis. Untuk keperluan khusus tertentu yang mendadak pedagang dapat pula meminjam uang dengan agunan (sertifikat tanah, ijin berdagang, BPKB, dan sebagainya) ke BKK (Badan Kredit Kecamatan) yang sekarang dikenal sebagai BPR (Bank Perkreditan Rakyat). BKK juga berperan sebagai lembaga tempat menabung dengan menyediakan kotak tabungan bagi masing-masing pedagang setiap 2 minggu sekali. Jika BPR tidak dapat mengabulkan permintaan peminjaman maka pedagang dapat meminjam uang kepada rentenir yang tentu saja akan meminta bunga yang sangat tinggi. Selain lembaga perkreditan dan rentenir, paguyuban yang juga bakal menjadi koperasi dapat pula memberikan fasilitas simpan pinjam dengan modal pinjaman dari Disperindag. Paguyuban juga melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial bagi anggota, seperti santunan bagi anggota yang mengalami kematian ataupun anggota yang sakit. Untuk fasilitas santunan sosial ini, setiap anggota dibatasi paling banyak menerima 2 kali. Nampaknya kegiatan asuransi kesehatan kurang diminati oleh para pedagang anggota paguyuban. Alasan yang dikemukakan untuk kurang
Halaman 48 dari 60

diminatinya asuransi adalah karena klaim yang sulit dan karena premi yang harus dibayar tetap setiap bulan padahal pendapatan mereka tidak tetap. 5. Kelompok UKK Jamu Gendong Maju Sehat, Purbalingga Kelompok yang beranggotakan 70 orang ini memproduksi jamu gendong dalam 1 wilayah dan dibawah pembinaan Puskesmas. Sebagai UKK (Upaya Kesehatan Kerja) maka kelompok ini mendapat bimbingan dari Puskesmas dalam hal proses produksi yang higienis dan dalam hal menangani penyakit yang diderita para penjual jamu, seperti sakit punggung. Puskesmas juga memberikan stimulan awal bagi kelompok UKK ini berupa peralatan perlindungan kerja seperti masker, alat saring, dan sebagainya. Selanjutnya anggota kelompok UKK diharapkan dapat mengembangkan kelompoknya sendiri. Jika mengalami masalah kesehatan mereka umumnya akan berobat sendiri dengan menggunakan jamu yang mereka produksi. Jika dirasakan belum sembuh juga mereka akan pergi ke Puskesmas, dan jika masalah tersebut belum juga selesai mereka akan ke rumah sakit. Pada umumnya anggota kelompok pembuat dan penjual jamu di wilayah itu memiliki fasilitas JPKM atau Askeskin sehingga dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis. Bagi anggota yang tidak memiliki kedua fasilitas tersebut biasanya harus membayar sendiri jika berobat. Jika tidak memiliki cukup uang untuk membayar pengobatan, mereka akan meminjam uang (kepada teman atau keluarga), atau dengan menggunakan tabungan (jika ada), atau bahkan menjual tanah jika terpaksa. Kelompok UKK juga memiliki koperasi yang menyediakan fasilitas simpan pinjam bagi anggota yang harus menyetor iuran sebesar Rp 10.000,-. Kelompok UKK juga mengadakan arisan dalam pertemuan bulanan dengan iuran sebesar Rp 5.000,- setiap anggota. 6. Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Kabupaten Purbalingga Organisasi yang beranggotakan 32.000 orang ini (untuk kabupaten Purbalingga) terdiri dari petani, buruh tani dan pelaku tani lainnya. Organisasi yang tidak berbadan hukum ini (tapi memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) mendapat bimbingan dari Dinas Pertanian setempat, yaitu dengan diberikannya bantuan bahan pertanian dan pelatihan teknologi baru. Dalam hal masalah kesehatan, pada umumnya petani akan berusaha mengobati sendiri atau dibantu oleh majikannya, setelah itu akan ke Puskesmas jika masalah berlanjut. Mereka (sekitar 70 persen) memiliki Askeskin atau sebagian lagi dengan JPKM, sehingga dapat memperoleh layanan di rumah sakit secara gratis apabila diperlukan. Kesadaran masyarakat petani akan pelayanan kesehatan ternyata sudah cukup baik dengan tidak digunakannya lagi dukun untuk berobat. Bantuan lain dalam bentuk kredit dapat diperoleh dari Pemda setempat melalui Bank Bukopin atau BRI. Organisasi KTNA sebetulnya menyediakan fasilitas asuransi untuk anggota dengan iuran sebesar Rp 5.000,-. Namun belum seluruh anggota menjadi peserta asuransi kesehatan ini. KTNA tingkat pusat bahkan sudah mengadakan MOU dengan Perusahaan asuransi Bumida untuk memberikan fasilitas

Halaman 49 dari 60

asuransi kecelakaan dan biaya pengobatan. Diharapkan seluruh anggota KTNA dapat menjadi peserta walaupun sifatnya sukarela. 7. Asosiasi Kelompok Tani Olahan Kelompok Wanita Tani (KWT) AKTO yang sudah berdiri sejak 6 tahun yang lalu, mempunyai anggota sekitar 1.500 orang penghasil produk tanaman kesehatan (herbal) di seluruh wilayah Jakarta. Pendapatan mereka cukup besar, sekitar Rp 500.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,-, sehingga ketika mengalami masalah kesehatan mereka dapat mengatasinya sendiri. Kebanyakan dari mereka akan menggunakan jus herbal produksi sendiri sebagai obat terhadap penyakit yang diderita. Jika harus ke Puskesmas atau ke dokter praktek swasta, mereka pada umumnya dapat membayar biayanya sendiri. Atau jika mereka menghadapi kesulitan keuangan, mereka dapat memperoleh pinjaman dari keluarga atau teman, atau menjual barang. Mereka juga sudah mengenal dan menggunakan jasa perbankan namun kesadaran akan produk asuransi belum mereka miliki. Organisasi AKTO juga mengadakan arisan (Rp 15.000,- per bulan) setiap kali diadakan pertemuan, juga memotong 15 persen dari hasil penjualan tiap anggota untuk retribusi ke organisasi. Untuk membiayai kegiatan sosial bagi anggota seperti pengobatan gratis di dokter dengan herbal, para anggota ditarik iuran sebesar Rp 10.000,setiap bulan.

Halaman 50 dari 60

BAB IV PEMBAHASAN/ANALISIS HASIL STUDI


4.1 SEKTOR INFORMAL Dari hasil pemaparan mengenai sektor informal diatas dapat dikemukakan disini bahwa sektor informal atau sering juga disebut perekonomian informal, memiliki definisi atau pengertian konsep yang beragam. Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa pengertian yang beragam ini dapat disebabkan karena berbagai faktor: 1. Institusi/lembaga yang berbeda akan menggunakan pengertian yang berbeda pula terhadap sektor informal. Sebagaimana dipaparkan diatas, ILO (International Labour Organization) dan institusi internasional lain adalah contoh lembaga di tingkat internasional yang menggunakan pengertian berbeda untuk sektor informal. Di Indonesia sendiri ada banyak pemangku kepentingan yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan sektor informal, yang masing-masing memberikan berbagai pengertian mengenai sektor informal. Beberapa departemen teknis dan lembaga pemerintah mengartikan sektor informal sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Depnakertrans mengacu kepada pekerja yang bekerja diluar hubungan kerja, sedangkan Deperindag mengacu kepada usaha yang tidak memiliki ijin usaha atau tidak terdaftar. 2. Daerah/Lokasi tempat pekerja informal dapat membagi sektor informal menjadi beberapa kategori. Terdapat pekerja rumahan yang mengerjakan pekerjaannya di rumah untuk disetor ke pabrik, ada pula pekerja informal yang berlokasi di jalanan (asongan dan kakilima), dan pekerja informal musiman seperti buruh bangunan yang berada di lokasi bangunan, serta mereka yang selalu berjalan (seperti pemulung). 3. Unit ekonomi atau kegiatan. Dilihat dari jenis usahanya, sektor informal dikenal sebagai usaha yang tidak teratur, jarang mengikuti peraturan yang berlaku untuk mereka seperti mengenai pendaftaran, pembayaran pajak, kondisi pekerjaan dan lisensi untuk beroperasi. 4. Sifat ketenagakerjaan. Pekerjaan di sektor informal termasuk pekerjaan yang memberikan upah dan yang tidak memberikan upah. Jenis-jenis pekerja di sektor ini adalah pekerja mandiri, pekerja yang menerima upah (misalnya pegawai dari perusahaan informal), dan majikan (pemilik yang menjalankan usahanya sendiri). 5. Karakteristik sektor informal yang memberi ciri kepada kelompok tersebut telah memunculkan pula berbagai pengertian mengenai sektor informal. Seperti telah dipaparkan pada bagian sebelumnya yang merangkum berbagai hasil studi lapangan, sektor informal mempunyai berbagai ciri-ciri sebagai berikut : a. tidak adanya hubungan industrial dan tidak berdasarkan kontrak kerja b. tidak mempunyai majikan/pengusaha/boss
Halaman 51 dari 60

c. tidak memiliki ketrampilan atau keahlian d. tidak menggunakan modal (biasanya pinjam pada pihak lain) e. jenis pekerjaannya khusus (sifatnya kasar, diluar pabrik) f. mereka yang mempunyai penghasilan tidak tetap g. usaha kecil yang tidak terdaftar secara resmi h. jam kerjanya tidak tetap dan tidak terjangkau peraturan-peraturan tertulis i. j. sifatnya kekeluargaan kelompok penduduk miskin (tergantung kerjanya) l. resiko pekerjaan tidak dapat dipastikan (misalnya terjadi kekeringan atau gagal panen, yang dihadapi oleh buruh tani) Khusus untuk Indonesia, karakteristik pekerja sektor informal yang beragam sebagaimana dibahas diatas telah digunakan oleh berbagai institusi pemerintah untuk menciptakan berbagai program yang berkaitan dengan sektor informal. Tentu saja program yang diciptakan harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari institusi/departemen yang bersangkutan. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul berbagai definisi/pengertian mengenai sektor informal yang digunakan oleh berbagai institusi/departemen, yang disesuaikan dengan program-program milik masing-masing institusi/departemen tersebut. Karena target sasaran dari program-program tersebut adalah segmen penduduk yang sama, maka berbagai program dari institusi berbeda tersebut tumpang tindih menghujani penduduk tersebut. Akan lebih baik jika untuk masalah pekerja informal yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan ini ditangani atau dikoordinir oleh satu pihak yang dalam menjalankan tugasnya dapat menjangkau seluruh institusi/departemen yang terkait. Dengan demikian programprogram yang ditujukan kepada segmen penduduk tertentu ini dapat lebih terarah dan tidak saling tumpang tindih. Dengan berbagai karakteristik seperti diatas, selanjutnya pekerja di sektor informal selalu memperoleh sebutan lain yang umum, yaitu sebagai pekerja yang miskin dan tidak dapat menolong dirinya sendiri apabila terjadi musibah. Tetapi dalam kenyataannya, tidak semua pekerja informal tergolong tidak berdaya dan selalu memerlukan bantuan orang lain. Walaupun berstatus sebagai pekerja informal, sejumlah pekerja informal bahkan berpenghasilan cukup tinggi dan dapat mengikuti arisan yang diadakan oleh kelompoknya dengan membayar iuran yang cukup tinggi. Arisan memang sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk pekerja informal. Berapapun penghasilan seorang pekerja informal, mereka tidak pernah meninggalkan kegiatan arisan. Bagi yang mampu
Halaman 52 dari 60

k. individu atau kelompok yang tidak ada organisasi yang menaunginya dan pendapatannya tidak tetap

bahkan dapat mengikuti beberapa kelompok arisan. Dengan hasil dari arisan orang dapat menggunakan uangnya untuk melakukan berbagai kegiatan, termasuk untuk pengobatan penyakit. Kegiatan arisan ini sebetulnya sama dengan kegiatan menabung, tetapi tanpa melalui lembaga perbankan yang memberikan bunga untuk tabungan. Dengan pendapatan yang kecil dan pas-pasan nampaknya pekerja informal, sebagaimana juga masyarakat miskin Indonesia pada umumnya, memang tidak mengenal konsep tabungan. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian berbagai pihak, bagaimana caranya agar pekerja miskin ini dapat menyisihkan sebagian pendapatannya untuk tabungan, mengingat mereka selalu mampu untuk mengikuti arisan. Upaya yang dilakukan Badan Kredit Kecamatan (BKK) yang kemudian menjadi BPR (Bank Perkreditan Rakyat) di Purbalingga agar pedagang kaki lima (PKL) dapat menabung patut mendapat perhatian. BKK menyediakan kotak tabungan untuk masing-masing PKL setiap 2 minggu sekali yang diletakkan pada lokasi masing-masing PKL. Untuk tingkat nasional (agregat) konsep/definisi mengenai sektor informal yang dikembangkan oleh BPS, yang menggunakan kombinasi antara status pekerjaan dan jenis pekerjaan sebagai patokan, nampaknya telah menghasilkan data pekerja sektor informal yang cukup baik. Namun dalam upaya pengembangan programprogram pemberian bantuan oleh pemerintah kepada penduduk miskin, maka diperlukan definisi dan sekaligus data yang akurat dan rinci mengenai penduduk yang menjadi target dari program. Untuk mengetahui dan mencapai tempat keberadaan penduduk yang menjadi sasaran program maka sewajarnyalah data hasil identifikasi penduduk miskin oleh pemerintah lokal yang digunakan. Sebagaimana telah diterapkan oleh pemerintah kabupaten Purbalingga (dan juga DKI Jakarta), data mengenai pekerja informal (dan penduduk miskin pada umumnya) diperoleh dari petugas statistik (BPS) setempat yang kemudian masih harus di verifikasi oleh tim musyawarah desa (yang terdiri dari beberapa pihak terkait seperti pengurus RT/RW, Kader PKK, tokoh agama, guru). Dengan verifikasi ini diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam seleksi penerima bantuan karena mereka yang terpilih adalah benar-benar yang memerlukan bantuan, sesuai dengan yang diketahui orang-orang disekitarnya. Data dari kabupaten Purbalingga bahkan dapat merinci kelompok masyarakat miskin mana yang memang benar-benar perlu mendapat bantuan pembayaran iuran premi secara penuh dan kelompok masyarakat miskin yang mana yang mampu membayar iuran premi (walaupun tidak penuh, mungkin hanya separuhnya).

4.2

JAMINAN SOSIAL DAN JAMINAN KESEHATAN tergantung pada karakteristik

Kebutuhan akan jaminan sosial bagi pekerja sektor informal berbeda-beda

demografis mereka (perempuan, anak-anak, pemuda, lansia), derajat bahaya dalam jenis pekerjaan tertentu (contohnya: pengumpul sampah, pengemudi ojeg), tempat bekerja (rumah, di jalan, di lapak kecil), lingkungan
Halaman 53 dari 60

pergaualan (cenderung di komunitas dan bukan perusahaan), dan kemampuan mereka untuk berkontribusi sejumlah uang secara reguler kepada pengelola dana asuransi. Dalam upaya mengembangkan mekanisme yang sesuai untuk mencakup resiko yang dihadapi oleh pekerja informal, maka sangat penting untuk dimengerti ragam dan jenis-jenis resiko yang ada dan bagaimana menyusun prioritas atas resiko-resiko tersebut. Strategi yang mungkin digunakan oleh kaum miskin untuk mengatasi resiko-resiko ini harus dipelajari. Dengan begini akan dapat dikembangkan paket manfaat dan sistem pemberian pelayanan yang betul-betul merupakan tanggapan atas dan sesuai dengan kebutuhan para pekerja informal. Dengan peraturan yang sudah ada dan struktur pendanaan di Jamsostek sekarang, jelas akan terasa menyulitkan untuk menyertakan program-program bagi pekerja sektor informal kedalam program yang ada. Dalam peraturan yang berlaku, kontribusi dan manfaat sudah ditetapkan dan tidak memberikan fleksibilitas yang diperlukan oleh pekerja sektor informal. Misalnya, untuk dapat memperoleh manfaat dari program kecelakaan kerja, kecelakaan tersebut harus terjadi pada lokasi kerja dan tunjangan kecacatan baru dapat diberikan jika sesuai dengan daftar kecelakaan sebagaimana ditetapkan oleh majikan dan pihak medis. Hal ini nampaknya akan tidak sesuai dengan kondisi kerja dari banyak pekerja informal yang mempunyai lokasi kerja di daerah pedesaan. Mungkin memang akan lebih efektif apabila dikembangkan model pendanaan dan kontribusi yang baru bagi pekerja sektor informal untuk program jaminan kesehatan. Dan untuk dapat terbentuknya program baru ini (mungkin sebagai implementasi dari UU SJSN yang baru), harus dimulai dengan peraturan atau keputusan di tingkat menteri sebagai landasan. Selanjutnya berbagai alternatif dapat dijadikan pilihan. Salah satu alternatif adalah dengan berbasis kelompok, sebagaimana dilakukan oleh KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) di Purbalingga, dilakukan kerja sama dengan perusahaan asuransi swasta (seperti Bumiputra) untuk menyediakan program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk pekerja informal yang tergabung dalam kelompok tersebut (yang beranggotakan baik buruh tani maupun petani majikan). Skema seperti ini dapat bersifat independen atau dapat juga serupa dengan Jamsostek. Nampaknya kerja sama antara Depnakertrans dan Jamsostek yang menyelenggarakan program jaminan sosial untuk pekerja informal dengan melalui wadah kelompok merupakan salah satu upaya berbasis kelompok yang patut didukung pelaksanaannya. Namun, menurut hasil penelitian Angelini (2003), penggunaan kelompok (seperti koperasi di pedesaan, lembaga pendanaan mikro, organisasi mandiri lain) sebagai basis pelaksanaan berbagai program dikuatirkan sangat rawan terhadap berbagai masalah seperti terjadinya korupsi dan timbulnya biaya administrasi yang berlebihan. Dalam penelitian di lapangan ditemukan pula bahwa selain bantuan yang disediakan oleh organisasi (dalam hal ini kebanyakan berbentuk paguyuban) seperti santunan kematian dan santunan pengobatan, terdapat pula fasilitas simpan pinjam yang dapat dinikmati oleh anggota organisasi. Dengan fasilitas uang pinjaman tersebut anggota paguyuban dapat melakukan berbagai kegiatan khusus, termasuk untuk biaya pengobatan/perawatan
Halaman 54 dari 60

jika ada anggota rumah tangga yang sakit. Dengan fasilitas semacam ini dan adanya kegiatan arisan maka para pekerja informal tidak merasakan perlunya mereka mengikuti program asuransi walaupun musibah seringkali menimpa mereka. Apalagi menurut pedagang Pasar Karang Ayu, Semarang, yang sudah menjadi peserta jaminan pemeliharaan kesehatan dari program TKLHK (Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja) produk Depnakertrans dan Jamsostek, dokter rujukan dari program tersebut lokasinya jauh dari rumah mereka. Padahal biaya transportasi tidak dicakup dalam program jaminan kesehatan tersebut. Sebagian lagi dari mereka merasa menyayangkan apabila uang iuran premi yang mereka bayar tidak akan dikembalikan ke peserta program asuransi apabila tidak terjadi musibah. Sebagaimana ditetapkan dalam program TKLHK, peserta ditarik iuran premi yang ditentukan dengan berdasarkan upah minimum yang berlaku dan ternyata sebagian dari pedagang pasar tersebut memang mampu untuk membayar iuran tersebut. Khusus untuk pedagang di pasar Karang Ayu, Semarang, menurut pengurusnya sebagian besar dari mereka sudah berusia sekitar setengah abad (diatas 40 tahun, mendekati 50 tahun). Hal ini menyebabkan mereka enggan untuk menjadi peserta program jaminan sosial yang dibatasi usia pesertanya maksimum 55 tahun. Dengan pengertian mengenai sektor informal yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain dan data khusus hasil identifikasi penduduk miskin yang dimiliki oleh pemerintah lokal, maka seharusnya dimungkinkan untuk mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang khusus untuk masingmasing daerah yang berbeda-beda pula. Sebagaimana telah diterapkan juga di berbagai negara berkembang dalam upaya mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan, terlihat berbagai kekhasan yang mungkin diterapkan untuk masing-masing negara. Misalnya dalam hal badan penyelenggara program, ada yang merupakan kerjasama antara pemerintah dan perusahaan asuransi swasta serta masyarakat madani (di India). Program ini memungkinkan untuk membuat desain khusus untuk jaminan kesehatan yang dapat mencakup juga jaminan kematian, kecacatan dan perbaikan rumah tinggal yang rusak. Di Tanzania, jaminan pemeliharaan kesehatan melalui usaha asuransi mikro untuk pekerja informal diselenggarakan berbasis koperasi kesehatan. Sedangkan di Paraguay, konfederasi serikat pekerja menyediakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi anggotanya yang tidak mampu dengan bermitra dengan pusat kesehatan angkatan bersenjata yang memiliki jaringan yang luas. Hal yang penting juga untuk mendapat perhatian dalam kaitan dengan pengembangan model jaminan kesehatan bagi pekerja sektor informal di Indonesia adalah ruwetnya masalah peraturan perundangan yang berkaitan. Seperti telah dibahas dalam bagian sebelumnya, peraturan perundangan yang ada yang berkaitan dengan sektor informal dan jaminan kesehatan menunjukkan adanya saling tumpang tindih yang dapat menyebabkan pelaksanaannya membingungkan dan bahkan mungkin tujuan dari peraturan tersebut tidak tercapai secara optimal. Tumpang tindihnya peraturan perundangan ini disebabkan berbagai permasalahan, yang cukup panjang jalannya jika ingin diuraikan. Berbagai peraturan perundangan tersebut diterbitkan oleh
Halaman 55 dari 60

berbagai institusi/departemen yang memiliki program-program berbeda dan berjalan sendiri-sendiri yang ditujukan kepada segmen penduduk yang sama yaitu sektor informal. Keadaan ini telah berlangsung cukup lama sehingga ketika akan dikembangkan sebuah model nasional yang menyangkut seluruh aspek tersebut, ternyata sulit untuk dikoordinasikan.

Halaman 56 dari 60

BAB V KESIMPULAN & SARAN


5.1 KESIMPULAN Dari pembahasan diatas mengenai seluruh isu yang berkaitan dengan sektor informal dan jaminan pemeliharaan kesehatan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pekerja formal dan keluarganya masih banyak yang rentan terhadap kemiskinan dalam hal terjadi kecelakaan, kematian, penyakit atau pengangguran, dan mereka juga belum seluruhnya terjangkau oleh program jaminan sosial yang termasuk pula jaminan kesehatan. Untuk pekerja sektor informal bahkan secara umum dapat dikatakan bahwa jaminan sosial belum dapat menjangkau mereka. 2. Pengertian/konsep/definisi mengenai sektor informal yang ada dalam kenyataan ternyata beragam, tergantung kepada berbagai faktor yang terkait dengan sektor tersebut. Karakteristik sektor informal yang bermacam-macam telah digunakan oleh berbagai institusi/departemen yang ada untuk menciptakan program-program yang berbeda yang ditujukan kepada target sasaran yang sama. Dengan menyesuaikan pada bidang masing-masing, maka institusi/departemen tersebut menggunakan definisi/pengertian yang berbeda atas sektor informal karena mereka melihatnya dari sudut pandang berbeda. 3. Dengan tersedianya data identifikasi penduduk miskin yang sudah diverifikasi oleh masing-masing daerah, maka pelaksanaan berbagai program jaminan sosial yang mempunyai target sasaran kelompok pekerja informal di daerah yang berbeda-beda, sudah sewajarnya akan menunjukkan keragaman dalam hal proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasinya. 4. Ketentuan mengenai jaminan sosial dan jaminan kesehatan tidak/belum banyak tersedia untuk pekerja sektor informal yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Namun demikian pekerja informal di pedesaan masih dapat menyambung hidup dengan melakukan pertanian terbatas atau mendapat dukungan dari lingkungannya. Hal ini hampir tidak tersedia bagi pekerja informal di daerah perkotaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam hal resiko yang dihadapi, dan dengan demikian, terdapat pula perbedaan dalam hal kebutuhan akan jaminan sosial bagi pekerja informal di pedesaan dan di perkotaan. 5. Sebutan sebagai pekerja informal (dengan berbagai kategori yang ada) tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak dapat membayar pelayanan kesehatan yang mereka terima. Sebagian pekerja informal justru dapat menjadi peserta program jaminan kesehatan dengan membayar iuran premi yang ditentukan bagi mereka. Seperti yang dilakukan Pemda Kabupaten Purbalingga, penduduk dibagi menjadi 3 strata, yaitu
Halaman 57 dari 60

strata 1 adalah penduduk yang betul-betul sangat miskin, strata 2 adalah penduduk yang masuk kelompok pasca miskin dan strata 3 adalah mereka yang tergolong mampu. Kelompok penduduk sangat miskin akan memperoleh subsidi penuh dari pemerintah dalam hal pembayaran iuran premi sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan uang (atau gratis) ketika menikmati pelayanan kesehatan. Kelompok pasca miskin adalah mereka yang pernah miskin tetapi belum mandiri sepenuhnya sehingga mereka akan menerima subsidi sebagian (mungkin 50 persen atau persentase yang lain) untuk pembayaran premi kepesertaan mereka dalam program jaminan kesehatan. Sedangkan kelompok strata 3 harus membayar penuh premi kepesertaan mereka dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan. Pihak yang paling berkompeten dalam menilai dan membagi penduduk kedalam kelompok strata seperti diatas adalah Pemda setempat dengan dibantu verifikasi oleh aparat pemerintahan dan tokoh masyarakat (seperti kader PKK, guru, tokoh agama) di tingkat paling bawah. 6. Penggunaan kelompok sebagai basis penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu cara untuk memberikan jaminan sosial bagi pekerja informal. Sebagaimana telah diuji coba oleh Depnakertrans dan Jamsostek yang mensyaratkan adanya wadah kelompok sebagai unsur yang penting dalam pelaksanaan program jaminan sosial bagi pekerja yang bekerja diluar hubungan kerja. Demikian halnya yang terjadi dengan berbagai kelompok yang sudah berperan sebagai peserta program jaminan sosial bagi anggotanya yang pekerja informal, seperti Persatuan Pedagang Pasar Karang Ayu Semarang, Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Purbalingga, dan Paguyuban PKL Purbalingga. Namun dari hasil penelitian, kelompok-kelompok seperti ini rawan terhadap masalah-masalah seperti terjadinya korupsi dan timbulnya biaya administrasi yang tinggi. Bagi kelompok pekerja informal tertentu, seperti tukang ojeg, yang lokasi kerjanya sering berpindah, akan menimbulkan masalah lain lagi karena anggota kelompok tersebut suatu saat dapat tidak kembali ke lokasi kelompoknya. Tentu saja hal ini akan menyulitkan pemimpin kelompok dalam pengumpulan iuran premi. Tidak jarang pengurus kelompok pekerja informal memberikan talangan pembayaran iuran premi bagi anggotanya yang mempunyai masalah keuangan. 7. Pembahasan mengenai peraturan perundangan yang berkaitan dengan sektor informal dan jaminan kesehatan di Indonesia telah menunjukkan terjadinya tumpang tindih peraturan perundangan yang ada. Peraturan yang telah diterbitkan oleh institusi/departemen yang berbeda-beda tersebut disesuaikan dengan bidang tugas masing-masing. Terhadap target sasaran penduduk rentan yang sama, yaitu sektor informal, telah dibuat berbagai produk hukum yang berasal dari berbagai institusi/departemen berbeda. Hal ini sudah tentu akan menyebabkan terjadinya tumpang tindih pula dalam pelaksanaannya sehingga program tidak berjalan efektif dan efisien.

Halaman 58 dari 60

5.2 SARAN Dengan mempertimbangkan berbagai karakterisitik, kondisi dan lingkungan sektor informal di Indonesia, maka dalam upaya pelaksanaan UU SJSN, terutama mengenai jaminan pemeliharaan kesehatan, ada beberapa hal yang dapat disarankan bagi pembuat kebijakan. 1. Terus berusaha memperluas cakupan jaminan sosial dan jaminan kesehatan bagi pekerja formal yang belum tercakup dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang sudah berlaku. 2. Khusus untuk pekerja informal, program yang dirancang dengan hati-hati mungkin akan dapat menarik calon peserta yang dengan sukarela berkontribusi. Namun demikian, sangat beragamnya karakteristik pekerja informal membutuhkan upaya yang lebih serius untuk mempelajari perbedaan tingkat pendapatan mereka, kemampuan mereka untuk membayar, dan masalah administrasinya. Dengan data hasil identifikasi penduduk miskin yang dilakukan Pemda setempat dan kemudian diverifikasi oleh musyawarah desa (yang terdiri dari unsur masyarakat setempat), maka dapat dikembangkan program jaminan sosial yang sesuai dengan kebutuhan pekerja informal. 3. Apabila program bersubsidi bagi jaminan sosial dan kesehatan bagi pekerja informal khususnya dan penduduk miskin pada umumnya belum dapat diberlakukan, maka sebaiknya skema asuransi kesehatan mikro berbasis kontribusi dari kelompok patut dipertimbangkan bagi pekerja sektor informal. 4. Untuk memperluas cakupan jaminan sosial di perkotaan dan pedesaan maka diperlukan : (i) identifikasi kebutuhan jaminan sosial tertentu umtuk kelompok pekerja tertentu, (ii) penentuan resiko-resiko sosial mereka, (iii) pengembangan program yang didasarkan pada resiko, pendapatan dan kebutuhan, (iv) identifikasi mekanisme pengumpulan iuran dan dukungan oleh kelompok, (v) penggabungan dana dan pengasuransian kembali untuk meningkatkan kesinambungan, dan (vi) peran pemerintah dan sektor swasta yang memadai di semua tingkat. 5. Hasil identifikasi penduduk dapat digunakan untuk mengembangkan program jaminan sosial yang sesuai dengan sub-kelompok penduduk (termasuk pekerja informal) yang ada. Dari situ kemudian baru dapat diidentifikasi kelompok mana yang patut menerima bantuan iuran sepenuhnya dan kelompok mana yang dapat membayar sebagian iuran serta kelompok mana yang mampu untuk membayar iuran sendiri sepenuhnya. Tahapan ini sebaiknya dilakukan untuk masing-masing daerah dan didasari dengan landasan hukum yang memadai. 6. Pembentukan perangkat hukum yang diperlukan sebagai landasan dari pengembangan program-program jaminan sosial bagi pekerja informal, sebagai implementasi dari UU SJSN, sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini karena berdasarkan pengalaman, terdapat program-program yang tidak didukung oleh landasan hukum yang memadai. Apalagi kecenderungan yang nampaknya akan terjadi dimasa depan
Halaman 59 dari 60

adalah bahwa implementasi dari UU SJSN bagi sektor informal akan lebih terpusat di daerah-daerah, yaitu sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan akan jaminan sosial dari masyarakat miskin setempat. Dengan demikian landasan hukum yang kuat akan diperlukan untuk mengawal pelaksanaan desentralisasi dari program-program jaminan sosial bagi pekerja sektor informal ditingkat daerah. Di tingkat pusat yang diperlukan adalah rambu-rambu hukum dan peraturan yang nantinya dapat diterjemahkan menjadi petunjuk pelaksanaan program di tingkat daerah. 7. Adanya peraturan perundangan yang berkaitan dengan sektor informal dan jaminan kesehatan yang saling tumpang tindih seharusnya menyadarkan semua pihak yang terkait bahwa untuk itu diperlukan itikad baik dari seluruh pihak untuk mau duduk bersama membahasnya. Dibawah koordinasi dari satu pihak yang bertugas melihat keseluruhan aspek secara nasional, dengan meninggalkan arogansi sektoral, maka seharusnya sebuah model jaminan sosial nasional dapat mulai dikembangkan. Prosesnya harus dimulai dengan kesadaran bahwa yang menjadi target sasaran kebijakan adalah segmen penduduk rentan yang sama yang memiliki berbagai dimensi kehidupan yang bermacam-macam. Kepentingan dari penduduk rentan ini harus menjadi prioritas utama dan bukan kepentingan yang lain. Kemudian harus dicari kesepakatan terhadap pengertian secara utuh dari segmen penduduk ini, dengan tidak melihatnya secara terpisah-pisah dari sudut pandang institusi yang berkepentingan. Dengan pengertian yang utuh maka kebutuhan dari penduduk rentan ini akan dapat diidentifikasi secara utuh pula untuk kemudian dapat dikembangkan berbagai program guna memenuhi kebutuhan tersebut, termasuk untuk jaminan kesehatan.

Halaman 60 dari 60

You might also like