You are on page 1of 14

BAB I HUKUM PERDATA (HUKUM PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN) Hukum Perikatan diatur dalam buku ke III

KUH Perdata. Hukum Perikatan merupakan bagian dari Hukum Harta Kekayaan (Vermogenscrecht) dan Hukum Harta Kekayaan adalah bagian dari Hukum Benda. Hukum Perikatan mempunyai sistem terbuka sedangkan hukum benda mempunyai sistem yang tertutup. Sistem terbuka adalah adalah orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun isinya yang mereka kehendaki, baik yang diatur dalam undang-undang maupun yang tidak diatur dalam undang-undang. Inilah yang disebut kebebasan berkontrak (contractsvrijeid, partijautonomie) dengan syarat bahwa kebebasan berkontrak dibatasi dengan pembatasan umum, yaitu yang diatur dalam pasal 1337 sebabnya harus halal, tidak dilarang oleh undang-undang, atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Juga dibatasi pasal 1254 yaitu syaratnya harus mungkin terlaksana dan harus susila. Pembatasan khusus yaitu diatur dalam peraturan-peraturan khusus dari hukum pemaksa (misal : Undang-undang Perburuhan) artinya semua perjanjian yang menyimpang dari peraturan itu adalah batal. Hukum Perikatan yang diatur dalam buku ke III KUH Perdata adalah hukum pelengkap yang merupakan peraturan umum artinya orang bebas mengadakan perjanijian apapun isinya dan hukum perikatannya hanya bersifat melengkapi saja. 1. Definisi Hukum Perikatan Definisi Hukum Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata tetapi definisi ini diberikan oleh ilmu pengetahuan, yaitu Suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara 2 orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum; akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lainnya yang menimbulkan perikatan. Lapangan harta kekayaan artinya dapat dinilai dengan uang.

2. Subyek-subyek dari Perikatan

Subyek perikatan yaitu kreditur dan debitur. Kreditur disebut sebagai pihak yang aktif sedangkan debitur biasanya pihak yang pasif. Sebagai pihak yang aktif kreditur dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadpa debitur yang pasif yang tidak memenuhi kewajibannya. Kreditur adalah pihak yang mempunyai hak atas prestasi sedangkan debitur adalah pihak yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi. 3. Obyek Perikatan Obyek perikatan adalah prestasi, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi kepada debitur yang berhak atas suatu prestasi. Wujud prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak bebuat sesuatu (pasal 1234). Memberi sesuatu yaitu menyerahkan suatu barang, memberi kenikmatan atas sesuatu; berbuat sesuatu yaitu setiap prestasi untuk melakukan sesuatu, contohnya jasa potong rambut; tidak berbuat sesuatu yaitu tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Dalam prestasi untuk memberi sesuatu, jika prestasinya itu adalah menyerahkan barang tertentu, debitur juga mempunyai kewajiban memelihara barang itu sebaik baiknya sampai pada saat penyerahan. Memberi sesuatu dapat diartikan menyerahkan sesuatu baik penyerahan nyata maupun penyerahan yang yuridis, misalkan pinjam pakai, menyewakan atau menyerahkan hak milik. Syarat-syarat obyek perikatan agar perikatan sah : Obyeknya harus tertentu / dapat ditentukan : syarat ini diperlukan hanya terhadap perikatan yang timbul dari perjanjian (pasal 1320 ayat 2). Obyeknya harus diperbolehkan : tidak betrentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan. Obyeknya dapat dinilai dengan uang : untuk perikatan yang suatu hubungan hukum yangletaknya didalam lapangan harta kekayaan. Obyeknya harus mungkin : dibedakan atas ketidakmungkinan obyektif dan ketidakmungkinan subjektif. Ketidakmungkinan obyektif yaitu yang semua orang tidak ungkin dapat melakukannya. a. Schuld dan Haftung Schuld dan Haftung adalah saling bergantung erat satu sama lain.seseorang berhutang kepada orang lain disebut debitur dengan perkataan lain ia mempunyai schuld kepada orang lain yaitu kepada kreditur.

Disamping debitur mempunyai schuld juga ia harus bertanggungjawab atas schuld itu apabila ia tidak membayar hutang maka ia harus membiarkan sebagian atau seluruh harta bendanya untuk diambil oleh kreditur. Membiarkan harta bendanya diambil baik sebagian atau seluruhnya terhadap hutangnya yang tidak dibayar itu disebut haftung (ps.1131). jadi debitur mempunyai schuld dan haftung kepada kreditur. b. Wajib memikul (draagplicht) dan menanggung gugat (aansprakelijkheid) Wajib memikul adalah ia dimana untuk membayar hutangnya akhirnya digantungkan pada harta bendanya. Menanggung guagat adalah ia kepada siapa ugatan itu ditujukan. Menanggung gugat adalah debitur pokok dan penanggung sedangkan wajib memikul hanya pada debitur pokok saja.

4. Eksekusi Riil Kreditur dapat memaksa kepada debitur untuk memenuhi prestasinya, dalam hal ini kreditur dapat melakukan eksekusi sebagai suatu upaya hukum yang menuntut kepada hakim agar dengan putusannya memaksa debitur untuk memenuhi prestasinya, inilah yang dimaksud eksekusi riil. Dalam hal apa saja Eksekusi Riil dapat dilakukan : 1. Dalam hal prestasi untuk memberi sesuatu, yaitu dalam memperoleh hak eigendom, hak bezit atau menikmati sesuatu kebendaan pokoknya menyerahkan sesuatu. UU memberikan beberapa kemungkinan untuk terjadinya eksekusi riil yaitu : - prestasinya berupa uang, kreditur bisa menjual barang-barang debitur dimuka umum - debitur berkewajiban untuk memberikan hipotik (ps. 1171 KUH Perdata)

2. Dalam hal prestasi untuk berbuat sesuatu, kita harus melihat terlebih dahulu apakah prestasi itu melekat pada pribadi atau tidak. Jika prestasi itu melekat pada pribadi debitur misalkan keahliannya dan pengetahuannya maka eksekusi riil tidak mungkin dilakukan. 3. Dalam hal prestasi untuk tidak berbuat sesuatu, misal berjanji untuk tidak mendirikan bangunan. Jika suatu saat mendirikan bangunan maka dapat dilakukan eksekusi riil. Untuk mengatasi hal-hali yang tidak mungkin dilaksanakan ekseskusi riil dapat menggunakan upaya hukum yaitu kreditur dapat menuntut pengganti kerugian atau menuntut uang pemaksaan (dwangson).

5. Hak Perorangan dan Hak Kebendaan Hak Kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda yaitu yang dapat dipertahankan terhadap siapapun an mempunyai droit de suito. Hak Perorangan adalah relatif dan hanya mengikat orang-orang tertentu yaitu antara kreditur dan debitur.Hak kebendaan selalu dalam keadaan diam sedangkan hak perorangan suatu benda dalam keadaan bergerak. Pemilik benda adalah pemilik, pembeli ingin menjadi pemilik ia harus mengadakan perjanjian jual beli dan kemudiaan harus ada penyerahan. Hanya terhadap perikatan yang prestasinya tidak berbuat sesuatu maka hak perorangan bermaksud untukuntuk tetap dalam keadaan diam. 6. Pembagian Buku III KUH Perdata Buku III KUH Perdata mengatur tentang hukum Perikatan yang dibagi dalam 18 Bab. Bab I sampai dengan Bab IV mengatur tentang Bagian Umum dari Hukum Perikatan sedangkan Bab V sampai dengan Bab XVIII mengatur tentang bagian khusus dari Hukum Perikatan. Bagian umum merupakan Asas-asas dari hukum perikatan sedangkan bagian khusus mengatur lebih lanjut dari asas-asas ini untuk peristiwa khusus. Bagian khusus dari hukum perikatan merupakan perjanjianperjanjian khusus atau dapat disebut perjanjian-perjanjian bernama. 7. Sumber-sumber Perikatan Sumber pokok Perikatan (ps. 1233) adalah Perjanjian (ps. 1313) dan Undang-undang (ps. 1352). Undang-undang dibagi menjadi Undang-undang dan perbuatan manusia serta Undangundang melulu sedangkan sumber dari Undang-Undang dan Perbuatan manusia dibagi lagi menjadi Perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Di luar sumbersumber perikatan yang tersebut di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : Kesusilaan dan Kepatutan menimbulkan Perikatan wajar, penawaran, putusan Hakim. 8. Kesalahan Jika debitur tidak memenuhi kewajiban karena ada kesalahan disebut wanprestasi dan jika debitur tidak ada kesalahan maka terjadi overmacht (force majeur, keadaaan memaksa). Ada tiga unsur untuk adanya kesalahan : 1) Perbuatan yang dilakukan debitur dapat disesalkan 2) Debitur dapat menduga akibatnya. Dalam arti yang obyektif, yaitu sebagai manusia normal pada umumnya dapat menduga akibatnya.

Dalam arti yang subyektif, yaitu sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya. 3) Dapat dipertanggungjawabkan : yaitu debitur adalah dalam keadaan cakap.

9. Wanprestasi (cidera janji, ingkar janji) Bentuk-bentuk dari wanprestasi adalah : 1) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali 2) Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi 3) Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Akibat dari wanprestasi adalah kreditur dapat menuntut. Kreditur dapat menuntut salah satu dari 5 kemungkinan, yaitu : 1) Dapat menuntut pembatalan / pemutusan perjanjian 2) Dapat menuntut pemenuhan perjanjian 3) Dapat menuntut penggantian kerugian 4) Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian 5) Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian Wanprestasi dapat terjadi dengan sendiri dan dapat terjadi dengan tidak sendirinya. Hal ini sulit ditemukan kapan sebuah wanprestasi itu terjadi karena ada periaktan yang tidak ditentukan waktu prestasinya dan ada yang ditentukan waktu prestasinya. Untuk menentukan saat terjadinya wanprestasi / ingkar janji, Undang Undang memberikan upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai (ingebrekestelling / sommasi). Pernyataan lalai adalah pesan (pemberitahuan) kreditur kepada debitur yang menerangkan kapan selambat lambatnya debitur diharapkan memenuhi prestasinya. Fungsi dari pernyataan lalai ini merupakan upaya hukum untuk menentukan kapan terjadinya wanprestasi. 10. Pengganti kerugian, bentuk, dan unsur-unsurnya Bila Undang-Undang berbicara tentang pengganti kerugian yang timbul karena tidak memenuhi perikatan, maka yang dinyatakan kerugian adalah kerugian yang nyata yang timbul dari wanprestasi. Pengganti kerugian untuk kerugian yang disebabkan wanprestasi menurut pendapat umum hanya dapat diganti dengan uang (karena uang adalah bentuk pengganti kerugian yang paling sedikit menimbulkan perselisihan). Menurut pasal 1243, 1244 istilah yang dipakai oleh UU untuk pengganti kerugian adalah biaya, rugi dan bunga. Kerugian terdiri dari dua unsur yaitu kerugian yang nyata diderita meliputi biaya dan rugi dan keuntungan yang tidak

diperoleh meliputi bunga. Syarat syarat penggantian kerugian ditentukan dalam pasal pasal 1247 dan 1248, yaitu : a. Kerugian yang dapat diduga lebih dahulu atau seharusnya dapat diduga lebih dulu pada waktu perikatan timbul. b. Kerugian yang merupakan akibat langsung dan seketika dari wanprestasi. Kreditur yang menuntut pengganti kerugian harus menetapkan dan membuktikan bahwa debitur melakukan wanprestasi dan menimbulkan kerugian pada pihak kreditur. Macam macam bunga yang harus diganti oleh debitur adalah sebagai berikut : Bunga yang konvensional (Conventionele Interessen), merupakan bunga yang diperjanjikan terlebih dahulu dalam perjanjian Bunga yang konpensatoir (Conpensatoire Interessen), merupakan bunga yang tidak diperjanjikan terlebih dahulu, terbagi atas dua: a. Moratoir : bunga yang konpensatoir apabila debitur mengenai sejumlah uang tidak tepat dalam memenuhi kewajibannya b. Bunga yang tidak moratoir : debitur tidak mengenai sejumlah uang, tetapi debitur tidak tepat dalam menyerahkan barangnya sehingga menimbulkan bunga yang harus diganti oleh debitur

11. Bunga yang berbunga Hal ini diatur dalam pasal 1251 KUHPER yang sebenarnya adalah untuk melindungi debitur, yaitu yang melarang dijanjikannya dalam perjanjian tentang bunga pokok yang dapat ditagih dapat pula menghasilkan bunga kecuali karena suatu perminataan di muka Pengadilan atau karena suatu permintaan itu atau suatu perjanjian khusus asal saja suatu permintaan itu atau suatu perjanjian khusus itu mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu tahun. 12. Keadaan memaksa Pada umumnya yang tidak memenuhi perikatan adalah menjadi tanggung jawab dari debitur apabila ia baik karena sengaja maupun kelalaiannya tidak memenuhinya. Dengan kata lain, debitur yang karena kesalahannya tidak memenuhi prestasi ia harus bertanggung gugat untuk wanprestasi. Tetapi apabila debitur tidak memenuhi prestasi karena tidak ada kesalahan maka kita berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya (overmacht). Ada tiga syarat terjadinya overmacht, yaitu:

Harus ada halangan untuk memenuhi kewajibannya Halangan itu terjadi tidak karena kesalahan dari debitur Tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari debitur

Sedangkan akibat yang ditimbulkan dari overmacht ini adalah : Kreditur tidak dapat minta pemenuhan prestasi Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian Pihak lawan tidak perlu meminta pemutusan perjanjian Gugurnya kewajiban untuk berprestasi dari pihak lawan

13. Pembuktian Kreditur yang menggugat pengganti harus membuktikan bahwa perikatan telah terjadi dan debitur telah membuat kesalahan karena wanprestasi yang mengakibatkan kerugian bagi kreditu. Kreditur tidak perlu mengemukakan bahwa tidak ada overmacht. Debiturlah yang harus membuktikan bahwa wanprestasi itu adalah karena overmacht yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya jadi dengan cara eksepsi (tangkisan). 14. Risiko Pengertian risiko selalu berhubungan erat dengan adanya overmacht. Siapa yang harus bertanggung, siapa yang harus menanggung risiko atas kejadian-kejadian dalam keadaan memaksa. Perjanjian jual beli risiko terhadap overmacht telah diatur dalam pasal 1460, yaitu si pembeli tetap menanggung risiko dan ia harus tetap membayar harga pembelian meskipun barang yang dibeli sebelum diserahkan telah musnah. Terhadap berlakunya pasal 1460 ini telah dilakukan penafsiran yang sempit, yaitu jual beli barang tertentu dan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, pasal 1460 ini dianggap tidak berlaku lagi karena dianggap kurang adil. 15. Peristiwa-peristiwa yang mungkin menimbulkan Overmacht 1) Undang undang dan tindakan pemerintah 2) Sumpah 3) Perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga 4) Sakit 5) Pemogokan buruh 6) Tidak memilikan uang

16. Jenis-jenis Perikatan Perikatan dapat dibedakan sebagai berikut : 1) Perikatan perdata dan perikatan wajar 2) Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi 3) Perikatan yang principal dan perikatan yang accessoir 4) Perikatan yang spesifik dan perikatan yang generic 5) Perikatan yang sederhana dan perikatan yang berlipat ganda 6) Perikatan yang sepintas dan perikatan yang terus-menerus (berlanjut) 7) Perikatan yang murni dan perkitaran yang bersyarat, serta perikatan dengan ketentuan waktu.

17. Perikatan bersyarat Perikatan bersyarat ialah perikatan yang pemenuhan prestasinya digantungkan pula pada syarat tertentu. Syarat tersebut telah ditentukan dalam pasal 1253 yaitu digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan belum pasti terjadi, ada dua macam, yaitu : syarat yang menangguhkan dan syarat yang memutus/membatalkan. 18. Syarat-syrat yang tidak mungkin dan bertentangan dengan kesusilaan Pasal 1354 menentukan bahwa perikatan yang bertujuan melakukan yang tak mungkin terlaksana, bertentangan dengan kesusilaan dan yang dilarang oleh Undang-Undang adalah batal. Syarat yang tak mungkin terlaksana berarti secara obyektif syarat itu tidak mungkin dipenuhi. Untuk menyatakan apakah syarat-syarat itu bertentangan dengan kesusilaan atau Undang-Undang haruslah hati-hati. Syarat-syarat itu dibedakan menurut isinya : Syarat yang potestatif, syarat yang kebetulan, dan syarat yang campuran. 19. Perikatan dengan Ketentuan Waktu Perikatan dengan ketentuan waktu apabila pelaksanaan dari perikatan ditangguhkan sampai waktu yang tertentu atau belakunya perikatan sampai waktu yang tertentu atau berlakunya perikatan akan berakhir (terputus) sampai waktu yang ditentukan itu telah tiba. Jadi ada ketentuan waktu yang menangguhkan dan ada ketentuan waktu yang memutus. Perbedaan antara perikatan bersyarat dan perikatan dengan ketentuan waktu ialah hal hal sebagai berikut: 1) Debitur yang belum waktunya tiba telah memenuhi prestasi

Dalam perikatan beryarat, prestasinya dapat diminta kembali dan merupakan pembayaram yang tidak terutang Dalam perikatan dengan ketentuan waktu, prestasinya tidak dapat diminta kembali, karena waktu itu akan pasti tiba 2) Berlakunya pemenuhan prestasi Dalam perikatan beryarat, pemenuhan prestasi itu berlaku surut, sejak perjanjian itu dibuat. Karena syaratnya belum pasti terjadi Dalam perikatan dengan ketentuan waktu, pemenuhan prestasi itu tidak berlaku surut. Dalam pasal 1268. Ketentuan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya.

20. Pemutusan (pembatasan) perjanjian akibat dari Wanprestasi Pemutusan perjanjian yang timbal-balik diatur dalam pasal-pasal 1256 dan 1266, yaitu pasalpasal mengenai periktan bersyarat. Hal ini dikarenakan sesuai dengan asas yang dipakai oleh Hukum Romawi dulu yang kemudian diteruskan dalam KUHPER kita, yaitu bahwa dalam setiap perjanjian yang timbal-balik dianggap sebagai dilakukan dengan syarat yang memutus (batal) karena salah satu dari kedua pihak tidak memenuhi kewajiban. Exceptio Non Ad Impleti Contractus Exceptio ini sebetulnya berhubungan erat dengan pemutusan perjanjian dalam perjanjian yang timbal balik dalam pasal 1266. Salah satu pihak dalam perjanjian yang timbal balik yang lalai dalam memenuhi kewajibannya tidak dapat diminta pemenuhannya oleh pihak lain. Apabila ia menuntut pemenuhan kepada pihak lain, maka pihak lain ini dapat menangkis dengan apa yang disebut exceptio non ad impleti contractus, karena si penggugat sendiri telah melakukan wanprestasi. Exeptio non ad impleti contractus dapat dilakukan apabila dalam perjanjian timbal balik tidak ditentukan siapa yang harus berprestasi terlebih dahulum dalam hal ini asas itikad baik dan keputusan memegang peranan untuk penyelesaiannya. Tetapi exeptio non ad impleti contractus tidak dapat dilakukan apabila dalam perjanjian timbal balik telah ditentukan siapa yang harus berprestasi lebih dulu. Kalau sudah ditentukan siapa yang harus berprestasi terlebih dahulu dan ternyata tidak berprestasi, maka jelas ia telah melakukan wanprestasi. 21. Perikatan yang Obyeknya Lebih dari satu 1) Perikatan alternatif 2) Perikatan fakulatif

3) Perikatan komulatif 4) Perikatan generik

22. Hak memilih dari Perikatan Alternatif Apa yang harus dilaksanakan apabila orang yang harus memiih tetapi tidak mau melakasanakan haknya, tidak ada ketentuan dalam undang-undang? Dalam hal ini pihak lawan dapat minta kepada hakim untuk mengenakan uang pemaksa (dwangson) sejumlah tertentu setiap hari mulai saat itu sampai ia mengadakan pemilihan. 23. Perikatan Generik Dalam perikatan generic berlaku bahwa debitur tidak perlu menyerahkan yang paling baik tetapi juga tidak boleh menyerahkan yang paling jelek (pasal 969 dan pasal 1392). Pada perikatan genrerik debitur tidak dapat mengemukakan adanya overmacht, selama tidak semua jenisnya itu lenyap. 24. Perikatan yang Subyeknya lebih dari satu Perikatan yang subyeknya lebih dari satu terdiri dari : 1) Tanggungan rentang dan tak dapat dibagi-bagi 2) Perikatan tanggung renten dapat terjadi karena perjanjian atau karena ketentuan undangundang 3) Tanggung renteng aktif 4) Tanggung renteng pasif dan jaminannya

25. Janji hukuman atau Janji denda Dalam pasal 1304 dilukiskan bahwa janji hukuman adalah janji di mana debitur untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu dalam hal perikatan itu tidak dipenuhi. Biasanya janji dendan ini diperjanjikan dalam perikatan-perikatan hutang piutang dan lain-lain yang sebenarnya mempunyai maksud sebagai berikut : 1) Untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiaban dari debitur 2) Untuk menetapkan jumlah pengganti kerugian karena wanprestasi 3) Untuk menghindari persengketaan mengenai ganti rugi

BAB II PERIKATAN YANG LAHIR DARI PERJANJIAN 1. Pengertian Perjanjian Umumnya Perjanjian batasnya diatur dalam pasal 1313 KUHPER yang berbunyi : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang orang lain atau lebih.

2. Pengertian Perjanjian Terlalu Luas Pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan perjanjian kawin. Dalam mealngsungkan perkawinan diisyaratkan ikut sertanya pejabat tertentu. Sedang yang dimaksud perjanjian dalam pasal 1313 KUHPER adalah hubungan antara debitur dan kreditur, tidak diwajibkan ikut sertanya pejabat tertentu. Di mana hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja.

3. Tanpa Menyebut Tujuan Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk perjanjian sehingga pihakpihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa. Atas dasar alasan-alasan tersebut di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud dengan perjanjian itu, Rutten merumuskan sebagai berikut: Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing masing pihak secara timbal balik. Perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan. 4. Perbedaan Jenis-Jenis Perjanjian Ada beberapa cara untuk mengadakan pembedaan jenis jenis perjanjian menurut Vollmar perjanjian dapat dibedakan: 1. Perjanjian timbal balik : perjanjian dimana kedua belah pihak timbul kewajiban pokok

Perjanjian timbal balik tidak sempurna : dimana salah satu pihak timbul prestasi pokok sedangkan pihak lain ada kemungkinan untuk kewajiban sesuatu tanpa dapat dikatakan dengan pasti bahwa kedua prestasi itu adalah seimbang Perjanjian sepihak : hanya salah satu pihak saja yang mempunyai kewajiban pokok 2. Perjanjian dapat dibuat dengan cuma cuma atau dengan hak yang membebani 3. Dibedakan perjanjian bernama dan tidak bernama Perjanjian adalah bernama atau tidak bernama terutama apakah ia diatur dalam undang undang atau tidak, bukan karena ia mempunya nama tertentu 4. Perjanjian obligatoir : perjanjian yang menimbulkan perikatan yang meletakkan kewajiban kepada kedua belah pihak

5. Perjanjian Bernama, Perjanjian Tidak Bernama dan Campuran Perjanjian adalah bernama atau tidak bernama terutama apakah ia diatur dalam undang-undang atau tidak. Sebab ada perjanjian yang mempunyai nama sendiri tetapi tidak diatur dalam undangundang, misalnya : perjanjian sewa beli.

6. Berlakunya Perjanjian Diatur dalam Pasal 1315, 1318, dan 1340 KUHPER 1) Perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian 2) Perjanjian berlaku bagi para ahli waris edan mereka yang memperoleh hak 3) Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga

7. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan Dalam KUHPER terdapat dua istilah tidak cakap dan tidak brerwenang. Dalam pasal 1330, tak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah : 1) Orang-orang yang belum dewasa 2) Mereka yang di bawah pengampuan 3) Perempuan dsb

8. Suatu Sebab yang Halal Syarat suatu sebab yang halal ini mempunyai dua fungsi yaitu : perjanjian harus mempunyai sebab, tanpa syarat in perjanjian batal, sebabnya harus halal, kalau tidak halal perjanjian batal. 9. Tentang Akibat dari Perjanjian Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat, jadi mengikat pihak-pihak dalam perjanjian. Orang bebas membuat perjanjian karena adanya kebebasan berkontrak, orang boleh

membuat perjanjian yang menyimpang daripada yang ditentukan oleh Undang-Undang karena ketentuan undang-undang mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian adala hukum pelengkap.

10. Pasal 1338 berbunyi : Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat diterik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. 11. Azas Itikad Baik dan Kepatutan Pasal 1338 ayat 3 berbunyi : Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 menyatakan bahawa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti tidak lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasar keadilan dan kepatutan. 12. Perubahan Keadaan : Semenjak abad pertengahan pihak dalam perjanjian yang tidak mau dirugikan dalam suatu keadaan setelah dibuatnya perjanjian, ingin berlindung di bawah janji gugur secara diam-diam yaitu yang disebut Clausula Rebus sie Stantibus. Tetapi sekarang itikad baik dapat diperlukan sebagai pedoman dalam terjadinya perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian yaitu dalam pasal 1338 ayat 3. 13. Kebiasaan dan Janji yang Biasanya Tetap Diadakan Pasal 1339 menyebut kebiasaan sebgai suatu hal yang harus diperhatikan menurut sifat perjanjian itu. Pasal 1347 menyebut hal-hal yang menurut kebiasaan selaamnya diperjanjikan dianggap diam-diam dimasukkan dalam perjanjian. Kebiasaan pada umumnya dapat diartikan sebagai kebiasaan atau kebiasaan golongan (kebiasaan jabatan, perdagangan) yaitu aturanaturan yang diindahkan dalam lingkungan tertentu. 14. Actio Pauliana Kreditur dapat menyita harta benda dari debitur apabila debitur tidak memenuhi kewajiban dalam suatu perjanjian hutang-piutang(pasal 1131). Debitur masih dapat bebas mengalihkan harta bendanya supaya tidak disita oleh kreditur hingga dapat merugikan krediturnya. Tetapi kreditur dapat membatalkan perbuatan dari debitur yang merugikannya itu dn ini disbebut Actio Paulina yaitu berasal dari hukum Romawi dan penciptanya namanya Paulus.

TUGAS HUKUM PERDATA

HUKUM PERIKATAN

Disusun oleh : Citra Dinurrahmah Gunawan 11010111140704 Kelas D

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Tahun 2012

You might also like