You are on page 1of 23

1.2 Tujuan 1.2.

1 Tujuan Umum Tujuan dari pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah sebagai berikut: Merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengerti dan membandingkan disiplin ilmu yang didapat di dalam kelas dengan apikasi di lapangan. Praktek Kerja Lapangan ini merupakan mata kuliah yang dapat memberikan fasilitas untuk memperluas dan merealisasikan ilmu yang didapat secara praktis dan eksperimental. Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan profesi dan kerja mahasiswa dengan melakukan praktek kerja di Instansi yang diminatinya sesuai dengan bidangnya untuk mempersiapkan diri melakukan penelitian dan aplikasinya ke masyarakat melalui instansi atau lembaga penelitian sebagai salah satu bakti perguruan tinggi dalam bidang pengabdian kepada masyarakat. Memenuhi beban satuan kredit semester (SKS) yang harus itempuh sebagai persyaratan akademis di jurusan Magister Herbal Universitas Indonesia. 1.2.2 Tujuan Khusus Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu yang telah didapat dan dapat lebbih memahami proses pengolahan bahan baku sampai menjadi produk jamu, sehingga dapat mempersiapkan diri untuk melakukan penelitian serta aplikasinya di lingkungan masyarakat melalui instansi atau lembaga penelitian. 1.3 Manfaat 1.3.1 Manfaat Bagi Perguruan Tinggi

Sebagai tambahan referensi khususnya menganai perkembanan industry di Indonesia maupun proses dan teknologi yang mutakhir, dan dapat digunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan. 1.3.2 Manfaat Bagi Instansi Tempat Pelaksanaan PKL Sebagai sarana penghubung ntara instansi dengan lembaga perguruan tinggi. Hasil analisa dan penelitian yang dilakukan selama kerja praktek dapat menjadi bahan masukan bagi perusahaan dan/atau Rumah Sakit untuk menentukan kebijaksanaan di masa yang akan datang. Sebagai sarana penilaian criteria tenaga kerja yang akan dibutuhkan oleh instansi. 1.3.3 Manfaat Bagi Mahasiswa Mengetahui kenyataan yang ada dalam dunia kerja sehingga untuk ke depannya diharapkan mampu menerapkan ilmu yang telah didapat dalam dunia kerja. Dapat mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pembuatan tesis dan mengetahui secara lebih luas aplikasinya di masyarakat di masa mendatang di bidang medis dan kecantikan. Dapat mengenal lebih jauh realita ilmu yang telah diterima di bangku kuliah melalui kenyataan yang ada di lapangan dan aplikasinya. Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman selaku generasi yang terdidik untuk siap terjun langsung di masyarakat khususnya di lingkungan kerjanya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Obat tradisional merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang telah digunakan selama berabad-abad untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan dan pengobatan penyakit. Penggunaan obat dan pengobatan tradisional menjadi salah satu upaya pembangunan kesehatan yang dipilih masyarakat. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan merupakan upaya lintas sector yang melibatkan pemerintah, akademis, dunia usaha maupun masyarakat, sehingga diperlukan kolaborasi yang dinamis untuk mendukung kesejahteraan bersama (Departemen Kesehatan RI, 2008; BPOM, 2006). Pasal 1 Undang-undang no. 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Departemen Kesehatan RI, 2008). Obat tradisional menurut WHO, harus memenuhi criteria telah digunakan secara turun-temurun selama 3 generasi dan telah terbukti aman dan bermanfaat. Obat asli adalah suatu obat bahan alam yang ramuannya, cara pembuatannya, pembuktian khasiatnya dan keamanan serta cara penggunaannya dilakukan berdasarkan pengetahuan tradisional penduduk asli setempat. Obat bahan alam adalah semua obat yang dibuat dari bahan alam yang dalam proses pembuatannya belum sampai pada isolate murni maupun hasil pengembangan dari isolate tersebut. Obat bahan alam dapat merupakan hasil penemuan baru sama

sekali, obat asli dan obat tradisional serta hasil pengembangan dari obat asli atau obat tradisional tersebut (BPOM, 2006). 2.1 Penyediaan Bahan Baku Obat Bahan baku obat akan mempengaruhi kualitas simplisia atau ekstrak yang dihasilkan. Pengelolaan bahan baku dimulai sejak proses budidaya di lapangan, hingga proses pengelolaan panen dan pasca panen. Budidaya tanaman harus berdasarkan GAP (Good Agricultural Practices) (Tilaar M. et al, 2010). GAP adalah suatu pedoman dalam praktik pertanian yang baik dan benar untuk memperoleh hasil panen yang optimal, bermutu tinggi, terjamin, aman, efisien, berwawasan lingkungan, dan dapat dirunut kembali (treacealbe) asal-usul dan proses yang dilalui sebelum diperdagangkan dan digunakan. Pedoman tersebut merupakan seperangat prinsip dan prosedur yang digali dari tradsi pertanian yang ada dan adopsi gagasan dan inovasi teknologi untuk pembanngunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (Collega of Agriculture) 2.2 Kultivasi Tanaman Obat 2.2.1 Pemilihan Bibit Perbanyakan tanaman dapat dilakukan secara generative (dengan biji) dan secara vegetative (dengan stek, cangkok, okulasi, runduk dan kultur jaringan). Bibit yang digunakan untuk mendapatkan suatu jenis tanaman tertentu juga akan menentukan kualitas simplisia atau ekstrak yang dihasilkan. Bibit yang bagus akan mempengaruh dalam hal kandungan senyawa aktif yang optimal (Departemen Kesehaan RI, 2000).

2.2.2 Budidaya Tanaman Obat Tanaman obat dapat dibudidayakan untuk mendapatkan hasil yang optimal, hingga tercapai kandungan zat aktif dalam jumlah tertentu. Obat herbal biasanya memerlukan pemanenan mekanis yang sederhana dengan penyimpanan yang baik. Sifat lain yang diinginkan adalah perolehan yang tinggi, resisten terhadap pathogen (serangga, kutu, jamur, bakteri dan virus), hal yang bisa berulang, adaptasi yang baik dengan lokasi, kandungan air rendah (memudahkan proses pengeringan) dan stabilitas organ tanaman (Heinrich et.al, 2010). Tanaman budi daya diharapkan akan dapat meningkatkan mutu simplisia dengan cara (Goeswin, 2007) : a. Pemilihan bibit unggul sehingga simplisia yang dihasilkan memiliki kandungan senyawa aktif yang tinggi. b. Pengolahan tanah, pemilihan, pemupukan, dan perlindungan tanaman dapat dilakukan secara seksama dengan menggunakan teknologi agroindustri yang maju. 2.2.3 Pemanenan Tahapan pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan itu adalah masa panen. Berdasarkan garis besar pedoman panen, pengambilan bahan baku tanaman dilakukan sebagai berikut : a. Biji pengambilan biji dapat dilakukan pada saat mulai mengeringnya buah atau sebelum semuanya pecah.

b. Buah pengambilan buah tergantung tujuan dan pemanfaatan kandungan aktifnya. Panen buah bisa dilakukan saat menjelang masak (misalnya Piper nigrum), setelah benar-benar masak (misalnya adas), atau dengan cara melihat perubahan warna/bentuk buah yang bersangkutan (misalnya jeruk, papaya) c. Bunga pemanenan bunga dapat dilakukan pada saat menjelang penyerbukan, saat bunga masih kuncup (seperti pada melati), atau saat bunga sudah mulai mekar (misalnya mawar), tergantung dari tujuan pemanfaatan kandungan aktifnya. d. Daun atau herba panen daun dilakukan pada saat proses fotosintesis berlangsung maksimal, yang ditandai dengan saat-saat tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak. Pengambilan pucuk daun dianjurkan pada saat warna pucuk daun berubah menjadi daun tua. e. Kulit batang pemanenan kulit batang hanya dilakukan pada tanaman yang sudah cukup umur. Saat panen yang paling baik adalah awal musim kemarau. f. Umbi lapis panen umbi dilakukan pada saat akhir pertumbuhan g. Rimpang panen rimpang dilakukan pada saat awal musim kemarau. h. Akar panen akar dilakukan pada saat prses pertumbuhan berhenti atau tanaman sudah cukup umur. Panen yang dilakukan terhadap akar umumnya akan mematikan tanaman yang bersangkutan. 2.2.4 Penanganan Pasca Panen Penanganan pasca panen dapat dibagi menjadi berikut (Gunawan & Mulyani, 2004:

a. Sortasi basah: pemilahan hasil panen ketika tanaman masih segar. b. Pencucian: untuk membersihkan kotoran yang melekat, terutama untuk bahanbahan yang berasal dari dalam tanah dan bahan yang tercemar pestisida. c. Pengubahan bentuk: untuk memperluas permukaan bahan baku, meliputi beberapa perlakuan seperti perajangan, pengupasan, pemiprilan (pada jagung), pemotongan dan penyerutan. d. Pengeringan e. Sortasi kering: bahan dipilih setelah dikeringkan f. Pengepakan dan penyimpanan 2.3 Penyiapan Simplisia Simplisia adalah bahan alam yang belum mengalami perubahan apapun kecuali pengeringan. Penanganan simplisia harus memenuhi persyaratan bahan dan cara penanganan atau penyimpanan bahan, pengolahan dan cara pengemasan serta penyimpanan simplisia. Sumber simplisia tanaman obat dapat berupa tumbuhan liar atau tanaman hasil budidaya (kultivasi). Tumbuhan liar umumnya kurang baik dijadikan sumber simplisia dibandingkan dengan tanaman budidaya karena (Goeswin, 2007): a. Usia atau bagian tumbuhan yang diproses tidak tepat, sering sangat berbeda, sehingga mempengaruhi kandungan senyawa aktif. b. Jenis/spesies tumbuhan yang dipanen bila kurang diperhatikan secara seksama maka simplisia yang diperoleh tidak seragam. Apalagi jika yang memanen orang awam, maka bentuk yang mirip kemungkinan akan sulit dibedakan.

c. Tempat tumbuh yang berbeda (kualitas tanah, kadar air, sinar matahari dan sebagainya) dapat mempengaruhi kandungan senyawa aktifnya. 2.3.1 Penanganan Simplisia Simplisia yang sudah dikeringkan, lalu ditempatkan dalam satu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur satu sama lain. Faktor-faktor pada waktu pengepakan dan penyimpanan simplisia seperti cahaya, oksigen atau sirkulasi udara, reaksi kimia antara senyawa aktif dan wadah, penyerapan air, proses dehidrasi serta pengotoran dan atau pencemaran oleh serangga, kapan, dan sebagainya dapat mempengaruhi keadaan simplisia. Pada gudang-gudang industry jamu, wadah simplisia yang umum dipakai adalah karung goni, plastic, peti kayu, karton, kaleng dan aluminium. Bahan cair disimpan dalam botol kaca dan atau guci porselen, sementara untuk bahan beraroma digunakan peti kayu yang dilapisi timah atau kertas timah. 2.3.2 Pemeriksaan Mutu Pemeriksaan mutu simplisia : 1. Simplisia harus memenuhi persyaratan umum edisi terakhir dari buku resmi yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI seperti Farmakope Herbal Indonesia dan Materia Medika Indonesia. Jika tidak tercantum, maka harus memenuhi persyaratan sesuai monografinya. 2. Tersedia contoh sebagai simplisia pembanding yang setiap periode tertentu harus diperbaharui. 3. Harus dilakukan pemeriksaan mutu fisis meliputi :

a. Kurang kering atau mengandung air b. Termakan serangga atau hewan lain c. Ada tidaknya pertumbuhan kepang, dan d. Perubahan warna atau perubahan bau 4. Dilakukan pemeriksaan lengkap berupa : a. Pemeriksaan organoleptik: meliputi pemeriksaan warna, bau, rasa b. Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik c. Pemeriksaan fisika dan kimiawi d. Uji biologi, penerapan angka kuman, pencemaran dan percobaan terhadap binatang Untuk mendapatkan kualitas tanaman obat yang terbaik, maka perlu dilakukan hal berikut : a. Sumber bahan baku jelas dengan waktu dan cara panen yang tepat. b. Penyediaan dan pengerjaan bahan meliputi sortasi, pembersihan, pengubahan bentuk, pengeringan, pengepakan dan penyimpanan dilakukan sesuai dangan standar prosedur baku. c. Pengawetan dan penyimpanan dilakukan dengan tepat agar tidak tercampur dengan bahan lainnya serta dijaga dari pencemaran yang dapat terjadi. 2.4 Pembuatan ekstrak Berdasarkan buku Farmakope Indonesia Edisi 4, dikatakan bahwa ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan cara pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Departemen Kesehatan RI, 2000). Ekstrak cair adalah sediaan cair simpllisia nabati yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap mL ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening diendap-tuangkan (dekantasi). Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope. Ekstrak cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai (Departemen Kesehatan RI, 2000) Proses pembuatan ekstrak dimulai dari menghaluskan simplisia kasar menjadi serbuk, kemudian dicampur dengan pelarut. Setelah dipisahkan, kemudian dipekatkan dan terakhir dikeringkan. 2.4.1 Pembuatan Serbuk Simplisia Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk dari simplisia kering dengan peralatan tertentu sampai derajat kehaluasn tertentu tanpa menyebabkan kerusakan kandungan kimia (BPOM, 2006). 2.4.2 Cairan Pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilahan cairan penyari adalah berdasarkan selektivitas cairan, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan, ekonomis dan ramah lingkungan serta aman digunakan (Departemen Kesehatan RI, 2000). Sampai saat ini berlaku aturan bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alcohol (etanol) serta campurannya. Jenis pelarut lain seperti metanl (alcohol turunanya), heksana (hidrokarbon, aliphatic), toluene (hidrokarbon aromatic), kloroform (dan segolongannya), aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khususnya methanol, dihindari penggunaannya karena sifatnya yang toksik akut dan kronik (Departemen Kesehatan RI, 2000). 2.4.3 Separasi dan Pemurnian Bertujuan untuk menghilangkan (memisahkan) senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa mempengaruhi senyawa kandungan yang

dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni (Departemen Kesehatan RI, 2000). 2.4.4 Pemekatan/Penguapan (Vaporasi dan Evaporasi)

Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut) secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya menjadi kental/pekat (Departemen Kesehatan RI, 2000). Untuk meningkatan kecepatan penguapan diaplikasikan system vakum tanpa menyebabkan gangguan pada material sensitive panas (Goeswin, 2007). 2.4.5 Pengeringan Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses, tergantung proses dan peralatan yang digunakan (Departemen Kesehatan RI, 2000). Ada beberapa alat yang dapat digunakan (Goeswin, 2007): a. Pengeringan baki (tray dryer) Ini merupakan pengering yang paling sederhana dan murah, berupa lemari yang didalamnya dapat disusun seperangkat baki yang mengandung / menyimpan ekstrak yang akan dikeringkan. Udara dipanaskan dengan uap / pemanas elektrik pada temperature terkendali, dan ditiupkan di atas permukaan baki. Setelah beberapa waktu, baki dikeluarkan dari lemari. Bahan didinginkan dan dipisahkan, lalu diserbukkan menjadi serbuk halus. b. Pengeringan vakum (vacuum dryer) Ekstrak dipanaskan dengan uap bersuhu rendah. Ekstrak mengalami subjek vakum sehingga penguapan efektif, sekalipun pada suhu rendah. Pada akhir proses, material menjadi kering, lalu dikeluarkan dari alat, kemudian diserbukkan menjadi serbuk halus. c. Pengeringan semprot (spray dryer)

Peralatan ini paling sesuai untuk pengeringan ekstrak yang secara esensial akan menghasilkan produk mengalir bebas dan nonhigroskopis. Pengering jenis ini merupakan system pengeringan kontinu, efisien termel, dan menghasilkan produk dalam lingkungan bersih tanpa ada penanganan manusia secara manual. 2.4.6 Rendemen Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal (Departemen Kesehatan RI, 2000). 2.4.7 Parameter Uji Ekstrak Parameter uji ekstrak dapat dibedakan atas parameter spesifik dan parameter non spesifik. Disamping parameter uji ekstrak, juga ada uji kandungan kimia ekstak. Uji kandungan kimia ekstrak dapat menggunakan pola kromatogram, kadar total golongan kandungan kimia, dan kadar kandungan kimia tertentu (Departem Kesehatan RI, 2000). Parameter spesifik adalah untuk melihat indentitas ekstrak, organoleptik, senyawa terlerut dalam pelarut tertentu. Parameter non spesifik terdiri atas parameter yang mempunyai batasan berbeda pada setiap ekstrak seperti kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, ataupun sama seperti sisa pelarut organic, residu pestisida untuk fosfor dan klor organic, cemaran logam berat dan cemaran mikroba (Departemen Kesehatan RI, 2000). Batasan pada parameter non spesifik tersebut adalah (BPOM, 2006): a. Sisa pelarut organic yaitu tidak boleh dari 1,0%.

b. Residu pestisida untuk fosfor dan klor organic harus kurang dari 5 g/kg. c. Cemaran logam berat : Pb harus kurang dari 10 mg/kg, Cd harus kurang dari 0,3 mg/kg, dan As harus kurang dari 5 g/kg. d. Cemaran mikroba : angka lempeng total harus kurang dari 104 kol/g, angka kapang/khamir harus kurang dari 103 kol/g, MPN koliform harus negative, dan mikroba pathogen harus negative. 2.4.8 Uji Keamanan Keharusan adanya data uji farmakologi, uji toksisitas dan uji klinis mulai diberlakukan dengan keluarnya UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, agar obat tradisional lebih mampu bersaing dengan obat modern dan secara medic lebih dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya. Uji toksisitas diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat maupun bahan yang digunakan sebagai suplemen atau makanan. Berdasarkan lama paparan dan dosis diketahui ada 3 tingkatan uji toksisitas, yaitu akut, sub kronik dan kronik. Uji toksisitas akut digunakan untuk menilai sifat toksik suatu bahan uji dengan pemberian suatu bahan sampel dosis tunggal dalam waktu singkat (akut), biasanya 24 jam. Uji toksisitas sub-kronik dilakukan dengan pemberian suatu bahan sampel dengan dosis berulang selama jangka waktu kurang dari 3 bulan. Uji toksisitas kronik dilakukkan seperti sub kronik tetapi dengan waktu lebih dari 3 bulan. Uji toksisitas sub kronik dan kronik tetap diperlukan walaupun diketahui bahan uji memiliki kadar toksisitas rendah. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya efek toksik terhadap organ tubuh jika digunakan dalam waktu lama.

2.5 Proses Pembuatan Sediaan Pembuatan sediaan obat herbal memiliki tahapan seperti halnya obat konvensional meliputi desain formula, praformulasi, formulasi dan evaluasi. Industri herbal dan industry kosmetik harus memiliki sertifikasi yang menyatakan bahwa mereka dapat menghasilkan sebuah produk yang terjamin keamanan, khasiat dan kualitasnya. Desain formulasi obat herbal, sama seperti desain formulasi obat konvensional, meliputi 3 (tiga) komponen utama yang harus ada yaitu zat aktif, eksipien utama dan eksipien pendukung serta komponen tambahan yaitu labeling dan pengemasan. Zat aktif yang digunakan, dapat dalam bentuk ekstrak kering, ekstrak kental, ekstrak cair, simplisia kering dan simplisia basah. Eksipien utama mencakup bahan pengisi, pengikat, penghancur, lubrikan (pelincir), antiadherent dan glidan. Eksipien pendukung seperti pewarna, pengawet, antioksidan, chelating agent. Tahap preformulasi meliputi penyusunan formula, persiapan produksi, persiapan evaluasi, persiapan pengemas dan persiapan label. Pada tahap preformulasi dilakukan pengkajian untuk mengumpulkan data-data dasar tentang karakteristik fisika dan kimia obat yang dibuat menjadi bentuk sediaan farmasi tersebut. Bentuk sediaan obat herbal dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu sediaan padat, semi padat dan sediaan cair. Cara pemberiaan dapat secara oral dan topical. Bentuk sediaan padat dapat berupa granul/pil, tablet, kapsul, kaplet dan pilet

(tablet mini). Bentuk sediaan semi padat berupa krim dan gel. Sediaan cair dapat berupa sirup dan solusio. Tahap evaluasi bertujuan untuk mengetahui bila ada ketidakstabilitas formulasi obat herbal. Tahap ini dapat dideteksi dalam beberapa hal dengan suatu perubahan dalam penampilan fisik, warna, bau, rasa dan tekstur dari formulasi tersebut, dan adanya perubahan kimia yang dibuktikan melalui analisis kimia. Data ilmiah tentang kestabilan dari suatu formulasi menghasilkan ramalan shelf life yang diharapkan dari produk yang diteliti tersebut.

Pedoman untuk Penilaian Obat-Obat Herbal vol 1 Sehubungan dengan tujuan pedoman ini, obat herbal didefinisikan sebagai berikut: Produk obat jadi dalam kemasan akhir yang diberi penandaan, mengandung zat aktif yang berasal dari bagian tanaman di atas atau di bawah tanah, atau bagian tanaman lainnya, atau kombinasi dari bagian-bagian tersebut, baik dalam bentuk yang belum diolah maupun dalam bentuk preparat. Bagian tanaman tersebut termasuk sari, getah, minyak lemak, minyak atsiri atau zat-zat lainnya yang berasal dari tanaman. Selain zat aktif, obat herbal dapat mengandung eksipien. Obat yang mengandung bagian tanaman dikombinasikan dengan zat kimia aktif, termasuk zat kimia hasil isolasi dari tanaman, tidak termasuk obat herbal. Secara khusus, berdasarkan tradisi di beberapa Negara, obat herbal yang cukup berarti. Akibat promosi WHO untuk menggunakan obat tradisional, banyak negara meminta bantuan WHO dalam mengidentifikasi keamanan dan keefektifan obat-obat herbal yang akan digunakan dalam system pelayanan kesehatan nasional. Tujuan pedoman ini adalah untuk menentukan criteria dasar dalam evaluasi mutu, keamanan dan khasiat produk obat herbal sehingga dapat membantu badan pengawas nasional, organisasi ilmiah, dan pabrik pembuatan untuk melakukan penilaian terhadap dokumentasi/kepatuhan/catatan suatu produk herbal.

Penilaian Mutu Penilaian Farmasetik Penilaian ini harus meliputi semua aspek penting penilaian mutu obat herbal. Penilaian sebaiknya mengacu kepada monografi farmakope jika ada. Jika tidak ada monografi yang tersedia, monografi harus dibuat dan sebaiknya dibuat seperti dalam farmakope resmi. Semua prosedur harus disesuaikan dengan GMP. Bahan Tanaman yang Belum Diolah Definisi berdasarkan ilmu botani termasuk genus, spesies, dan kegunaan harus diberikan untuk memastikan kebenaran identifikasi suatu tanaman. Definisi dan deskripsi bagian tanaman yang digunakan sebagai obat (contohnya daun, bunga, akar) harus disebutkan, disertai informasi apakah bahan yang digunakan dalam bentuk segar, kering, atau diproses secara tradisional. Konstituen aktif dan karakteristik harus disebutkan dan jka memungkinkan batas kandungannya harus dicantumkan. Batasan jumlah senyawa asing, pengotoran dan mikroba harus ditentukan atau dibatasi. Contoh bahan yang mewakili tiap lot bahan tanaman yang diolah harus dibuktikan keasliannya oleh ahli botani yang berkualifikasi dan harus disimpan sekurangnya dalam kurun 10 tahun. Nomor lot harus ditentukan dan harus dicantumkan pada penandaan produk tersebut. Preparat Tanaman Preparat tanaman meliputi potongan atau serbuk tanaman, ekstrak, tingtur, minyak lemak, minyak atsiri, sari tanaman dan preparat lain yang pengolahannya menggunakan fraksinasi, pemurnian, dan pemekatan. Prosedur pembuatan

preparat tersebut harus dijelaskan secara rinci. Jika zat lain ditambahkan dalam pembuatan dengan maksud untuk menyesuaikan konsentrasi zat aktif atau konstituen yang khas atau untuk tujuan lainnya, zat yang ditambahkan tersebut harus disebutkan dalam prosedur pembuatan. Metode identifikasi dan jika memungkinkan penetapan kadar preparat tanaman juga harus dicantumkan. Jika identifikasi zat aktif utama tidak memungkinkan, cukup mengidentifikasi senyawa atau campuran senyawa yang khas (misalnya karakteristik fingerprint dengan kromatografi inframerah) untuk memastikan keseragaman mutu preparat tanaman. Produk jadi Prosedur dan formula pembuatan, termasuk jumlah eksipien yang digunakan harus diuraikan secara rinci. Spesifikasi produk jadi harus dijelaskan. Metode identifikasi dan jika memungkinkan penetapan konsentrasi secara kuantitatif bahan tanaman dalam produk jadi harus dipaparkan. Jika identifikasi zat aktif utama tidak memungkinkan, cukup dengan mengidentifikasi bahan atau campuran bahan yang khas (misalnya karateristik fingerprint dengan kromatografi inframerah) untuk memastikan keseragaman mutu produk. Produk jadi harus memenuhi persyaratann umum untuk bentuk sediaan tertentu. Stabilitas Stabilitas kimia dan fisika produk di dalam wadah yang akan dipasarkan, harus diuji pada kondisi penyimpanan yang ditentukan, dan masa edar produk tersebut harus ditetapkan. Penilaian Keamanan

Penilaian keamanan obat herbal harus meliputi semua aspek penilaian keamanan produk obat. Pada dasarnya, apabila suatu obat herbal telah digunakan secara tradisional tanpa menunjukkan bahaya, tidak ada tindakan pembatasan khusus yang perlu dilakukan oleh badan pengawas, kecuali jika ada bukti baru yang menunjukkan perlunya peninjauan kembali penilaian manfaat-risiko. Tinjauan literature terkait harus menggunakan artikel asli atau mengacu kepada artikel asli. Jika ada monografi resmi/hasil tinjauan, acuan dapat dibuat berdasarkan dokumen tersebut. Namun, walaupun penggunaan jangka panjang tanpa bukti munculnya risiko dapat menunjukkan bahwa obat tersebut tidak berbahaya, tidak selalu dapat dipastikan sejauh mana penilaian suattu produk dapat mengandalkan hanya pada penggunaan jangka panjang untuk memastikan bahwa obat tersebut tidak berbahaya, mengingat kekhawatiran yang muncul akhirakhir ini mengenai bahaya jangka panjang beberapa obat herbal. Efek-efek samping yang dilaporkan harus didokumentasikan sejalan dengan praktif farmasi umum yang hati-hati.

Dari buku vol. 2 Umum Tidak seperti produk farmasi konvensional, yang biasanya terbuat dari bahan sintetis dengan teknik dan prossedur pembuatan yang dapat diproduksi ulang, produk obat herbal dibuat dari bahan tumbuhan asal yang dapat terkontaminasi dan terurai, serta memiliki komposisi dan sifat yang bervariasi. Selain itu, dalam pembuatan dan pengawasan mutu produk obat herbal, prosedur dan teknik yang sering digunakan memiliki perbedaan mendasar dari yang digunakan pada produk konvensional. Pengawasan bahan awal, penyimpanan dan pengolahan dianggap sangat penting karena sifat banyak produk obat herbal yang sering kompleks dan variable serta jumlah dan kuantitas kecil dari penetapan bahan aktif yang terdapat di dalamnya. Bangunan Area penyimpanan Bahan tumbuhan obat harus disimpan dalam area yang terpisah. Area penyimpanan harus memiliki ventilasi yang baik dan dilengkapi sedemikian rupa sehingga terlindungi dari masuknya serangga atau hewan lain, terutama hewan pengerat. Tindakan yang efektif harus dilakukan untuk membatasi penyebaran hewan dan mikroba terhadap bahan tumbuhan serta untuk mencegah kontaminasi silang. Wadah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara bebas.

Perhatian khusus harus diberikan terhadap kebersihan dan pemeliharaan yang baik pada area penyimpanan, khususnya bila ada penumpukkan debu. Penyimpanan tumbuhan, ekstrak, tingtur, dan sediaan lainnya mungkin membutuhkan kondisi kelembaban dan suhu yang khusus atau perlindungan dari cahaya; langkah-langkah harus dilakukan untuk memastikan bahwa kondisi tersebut tersedia dan dipantau Area Produksi Untuk memudahkan pembersihan dan menghindari kontaminasi silang ketika ada penumpukan debu, tindakan pengamanan khusus harus dilakukan selama pengambilan sampel, penimbangan, pencampuran dan pengolahan tumbuhan obat, misalnya dengan menggunakan penghisap debu atau bangunan khusus. Pengawasan Mutu Karyawan unit pengawasan mutu harus memiliki keahlian khusus dalam produk obat herbal sehingga dapat melakukan uji identifikasi, dan pemeriksaan terhadap pengotor, adanya pertumbuhan atau gangguan jamur, ketidakseragaman pengiriman bahan tumbuhan obat, dan lain-lain. Sampel pembanding bahan tumbuhan harus tersedia untuk diggunakan dalam uji perbandingan, misalnya pemeriksaan secara visual dan mikroskopik serta kromatografi. Pengambilan sampel Pengambilan sampel harus dilakukan dengan penanganan yang hati-hati oleh karyawan yang memiliki keahlian yang diperlukan karena bahan tumbuhan obat

tersusun atas tumbuhan yang individual atau bagian tumbuhan sehingga bersifat heterogen sampai ke tingkat tertentu. Saran lebih lanjut mengenai pengambilan sapel, inspeksi secara visual, metode analisis, dan lain-lain, terdapat dalam Quality control methods for medicinal plant materials. Pengujian stabilitas Produk obat herbal tidak akan cukup ditentukan stabilitasnya hanya dari unsure pokok dengan aktivitas terapeutik yang telah diketahui, karena keseluruhan bahan tumbuhan atau sediaan tumbuhan dapat diduga sebagai bahan aktif. Uji stabilitas misalnya dengan perbandingan kromatogram, sedapat mungkin juga harus menunjukkan bahwa zat lain yang terdapat di dalamnya stabil dan kandungannya sebagai bagian keseluruhan yang tetap konstan. Bila suatu produk obat herbal mengandung beberapa bahan tumbuhan atau sediaan beberapa bahan tumbuhan, dan tidak mungkin untuk menetapkan stabilitas tiap bahan aktif, stabilitas produk harus ditetapkan dengan metode seperti kromatografi, metode penetapan kadar yang telah digunakan secara luas, serta uji fisik dan organoleptik atau uji lain yang sesuai.

You might also like